Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH KOMUNITAS

(PENCEGAHAN PENYAKIT MINIMAL PADA AREA SEKOLAH

DAN PENCEGAHAN PENYAKIT PADA AREA KERJA)

OLEH :

1. FRANSISCA Z. C. DASILVA
2. DEVINTA MALELAK
3. MILTIADES NATALIA DAHUT

UNIVERSITAS CITRA BANGSA

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena telah melimpahkan
rahmat Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada
waktunya. Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkonstribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa tersusun dengan baik dan rapi.

Saya berharap semoga makalah ini bsa menambah pengetahuan para pembaca. Namun,
terlepas dari itu, saya memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga
saya sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya makalah
selanjutnya yang lebih baik lagi.

KUPANG, 17 JULI 2021

PENULIS
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN........................................................................................i

KATA PENGANTAR......................................................................................ii

DAFTAR ISI....................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.2 Latar belakang................................................................................1


2.2 Rumusan masalah...........................................................................2
3.2 Tujuan.............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pencegahan Penyakit Pada area sekolah.........................................3


2.2 Pencegahan penyakit pada tempat kerja.........................................4
BAB III PENUTUP

3.1 KESIMPULAN...............................................................................21
3.2 SARAN...........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

1.2 LATAR BELAKANG


A. AREA SEKOLAH
Anak usia Sekolah Dasar (SD) adalah anak yang memasuki usia 6 hingga 12 tahun
(Damayanti, Lutfiya, & Nilamsari, 2019). Berdasarkan World Health Organization
(WHO) anak usia sekolah adalah anak yang memasuki usia 7-15 tahun. Fase anak
usia sekolah merupakan fase dimana anak sangat membutuhkan asupan makanan
yang bergizi untuk menunjang masa pertumbuhan dan perkembangan (Lestari,
Ernalia, & Restaunti, 2016). Pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak, nutrisi
memiliki peran yang sangat penting (Jadgal, Sayedrajabizadeh, Sadeghi, &
Moghaddam, 2020). Pemberian nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar akan
berdampak terhadap tumbuh kembang anak yang optimal (Noviani, Afifah, & Astiti,
2016). Keadekuatan nutrisi pada anak dapat dinilai dengan keadaan status gizi.
Asupan nutrisi yang kurang akan menyebabkan permasalahan kesehatan (Perdani,
Hasan, & Nurhasanah, 2017). Anak usia sekolah merupakan salah satu golongan
yang rentan terhadap permasalahan gizi dan kesehatan (Farapti et al., 2019). Masalah
gizi pada anak usia sekolah adalah masalah kesehatan yang berpengaruh terhadap
masa depan dan kecerdasan anak. Hal tersebut memerlukan perhatian yang lebih
serius (Rohmah, Subirman, & Iriyani, 2016). Salah satu masalah gizi yang terjadi
pada anak-anak dan mendapatkan perhatian khusus di dunia kesehatan adalah
obesitas (Yuliyana & Hanim, 2018). Obesitas adalah kondisi penumpukan lemak
yang berlebihan di jaringan adiposa yang berisiko menyebabkan gangguan kesehatan
(Karakus, Save, Ates, Kolasayin, & Tuncekin, 2019). Secara global 124 juta anak
menderita obesitas (Spinelli et al., 2019). Prevalensi obesitas pada kalangan anak-
anak dan remaja terus mengalami peningkatan di seluruh dunia. Prevalensi obesitas
pada anak usia sekolah di Eropa sebesar 4,9%.
B. PADA TEMPAT KERJA
Sumber daya manusia sebagai tenaga kerja dalam perusahaan tidak terlepas dari
adanya masalah yang berkaitan dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Kejadian Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) di
Indonesia tahun 2011 tercatat 96.314 kasus dengan korban meninggal 2.144 orang
dan cacat 42 orang. Pada tahun 2012 kasus PAK dan KAK meningkat menjadi
103.000 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa penerapan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) di Indonesia belum berjalan dengan baik.
Masalah K3 tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi tanggung jawab
dari semua pihak terutama pengusaha, tenaga kerja dan masyarakat. Pelaksanaan
SMK3 adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman,
sehat, bebas dari pencemaran lingkungan sehingga dapat mengurangi dan atau bebas
dari PAK dan KAK, pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas
kerja. (JKS 2015; 2: 91-95)

2.2 RUMUSAN MASALAH


1) Untuk menjelaskan apa itu penyakit pada area sekolah dan pada tempat kerja.
2) Untuk menjelaskan bagaimana mencegah penyakit pada area sekolah dan area
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pencegahan Penyakit Minimal Pada Area Sekolah


Anak usia sekolah merupakan salah satu golongan yang rentan terhadap permasalahan gizi
dan kesehatan (Farapti et al., 2019). Masalah gizi pada anak usia sekolah adalah masalah
kesehatan yang berpengaruh terhadap masa depan dan kecerdasan anak. Hal tersebut
memerlukan perhatian yang lebih serius (Rohmah, Subirman, & Iriyani, 2016). Salah satu
masalah gizi yang terjadi pada anak-anak dan mendapatkan perhatian khusus di dunia kesehatan
adalah obesitas (Yuliyana & Hanim, 2018). Obesitas adalah kondisi penumpukan lemak yang
berlebihan di jaringan adiposa yang berisiko menyebabkan gangguan kesehatan (Karakus, Save,
Ates, Kolasayin, & Tuncekin, 2019). Secara global 124 juta anak menderita obesitas (Spinelli et
al., 2019). Prevalensi obesitas pada kalangan anak-anak dan remaja terus mengalami peningkatan
di seluruh dunia. Prevalensi obesitas pada anak usia sekolah di Eropa sebesar 4,9%. Sebuah
penelitian menunjukkan bahwa kejadian obesitas pada anak dan remaja adalah tingkat prevalensi
tertinggi di Asia (Zhang et al., 2018). Prevalensi obesitas pada anak usia sekolah di Asia Timur
sebesar 24,5% dan Asia Barat sebesar 11,9% (Mazidi, Banach, & Kengne, 2018). Prevalensi
obesitas pada anak usia sekolah di Indonesia juga terus mengalami peningkatan (Rahmad, 2019).
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (2013) secara nasional masalah kelebihan berat badan
pada anak umur 5-12 tahun masih tinggi yaitu 18,8% yang terdiri dari overweight 10,8% dan
obesitas 8,8% (Suryamulyawan & Arimbawa, 2019). Pada tahun 2018 prevalensi kelebihan berat
badan pada anak meningkat sebesar 21,8%, yang terdiri dari overweight 10,8% dan obesitas
9,2% (Kementrian Kesehatan RI, 2018). Kegemukan dan obesitas pada anak paling utama
disebabkan oleh faktor lingkungan (Yakovenko et al., 2019)
 Etiologi
Pengaruh faktor lingkungan terutama terjadi melalui ketidakseimbangan antara pola
makan, perilaku makan dan aktivitas fisik (Poedji et al., 2017). Penelitian yang dilakukan
oleh Pinto et al., (2018) menyebutkan bahwa aktivitas fisik secara signifikan berhubungan
terhadap kejadian obeitas pada anak. Dan penelitian yang dilakukan oleh Cirak, Yilmaz, &
Ahyan (2018) menyebutkan bahwa perilaku makan secara signifikan berhubungan terhadap
kejadian obesitas pada anak. Pola aktivitas yang minim berperan besar dalam peningkatan
risiko obesitas pada anak (Cirak et al., 2018). Kurangnya aktivitas fisik disebabkan oleh
jumlah kalori yang dibakar lebih sedikit dibandingkan jumlah kalori yang diperoleh dari
makanan yang dikonsumsi sehingga berpotensi menimbulkan penimbunan lemak berlebih di
dalam tubuh (Setyawan, 2017). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Guerra, Silveira, &
Salvador (2016) menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan dengan
kejadian obeitas pada anak. Hal tersebut juga dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh
Zamzani, Hadi, & Astiti (2017) menunjukkan hasil bahwa aktivitas fisik memiliki hubungan
yang signifikan dengan kejadian obesitas pada anak.
Kebiasaan makan yang tidak baik seperti kelebihan mengkonsumsi jajanan yang tinggi
lemak, tinggi gula dan tinggi kalori dapat menyebabkan obesitas pada anak (Nisak &
Mahmudino, 2017). Makanan yang sering dikonsumsi oleh anak obesitas biasanya berupa
snack, biskuit, cokelat, soft drink, fast food (Lee & Ham, 2015). Makanan dan minuman
tersebut berkalori tinggi dan rendah nutirisi (vitamin dan mineral) sehingga bisa
menyebabkan obesitas jika dikonsumsi secara berlebihan (Caballero, Vorkoper, Anand, &
Rivera, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Amalia, Sulastri, & Semiarty (2016) diperoleh
hasil konsumsi junk food memiliki hubungan yang signifikan terhadap status gizi lebih pada
anak dengan rata-rata body mass index (BMI) 16,9. Penelitian yang dilakukan oleh
Fatmawati (2019) diperoleh hasil asupan gula sederhana yang banyak terdapat di dalam
makanan dan minuman yang manis berkontribusi 5,7 kali terhadap terjadinya obeitas pada
anak. Masih tingginya prevalensi obesitas menyebabkan dampak terhadap kesehatan pada
anak (Mahmood, 2015).
 Dampak
Dampak obesitas pada anak usia sekolah adalah asma, diabetes dan apnea saat tidur, dan
penyakit kardiovaskular. Risiko penyakit kardiovaskular berupa peningkatan kolesterol
total, trigliserida, kadar insulin dan peningkatan tekanan darah ditemukam di 60% dari
anak-anak obesitas berusia 5-10 tahun (Williams & Greene, 2018). Anak-anak yang
mengalami obesitas lebih cenderung mengalami obesitas di masa dewasa. Selain dampak
fisik, anak yang mengalami obesitas juga akan terkena dampak psikologis (Spinelli et al.,
2019).
Efek psikologis akan menyebabkan anak dengan kelebihan berat badan dan obesitas lebih
rentan terhadap mengalami harga diri rendah (Lo et al., 2014). Selain itu, pada anak
obesitas akan mengalami bau badan yang kurang sedap sehingga anak akan menjadi
minder, merasa depresi karena bentuk tubuhnya dan berisiko tinggi mendapat perlakuan
bully di sekolah (Quek, Tam, Zhang, & Ho, 2017). Berbagai upaya telah dilakukan dalam
mengatasi permasalahan obesitas pada anak (Wiradnyani, Pramesthi, Raiyan, Nuraliffah,
& Nurjanatun, 2016).
 Program Pencegahan
Program pencegahan obesitas pada anak usia sekolah telah banyak dilakukan.
Setting intervensi pencegahan obesitas dapat dilakukan dengan family based setting
dengan melibatkan anak dan orang tua, primary cared based setting yang dilakukan
dalam pengaturan klinis untuk mempegaruhi anak dan orang tua dan school setting yang
dilakukan di lingkungan sekolah. Keluarga, perawat, sekolah dan komunias mewakili
setting yang penting untuk upaya pencegahan obesitas pada anak-anak (Merrotsy,
McCarthy, Flack, & Coppinger, 2018).
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia telah menerbitkan “Pedoman
Pencegahan dan Penanggulangan Kegemukan dan Obesitas pada Anak Sekolah”.
Pedoman tersebut dikeluarkan pada tahun 2012 yang merupakan acuan agar terjadi
kesamaan pemahaman pada semua pihak meliputi pemerintah pusat, daerah, isntitusi
sekolah, pihak swasta, dan lembaga swadaya masyarakat dalam melaksanakan
pencegahan dan penanggulangan kegemukan dan obesitas pada anak sekolah
(Muhammad, 2019). Program lain yang telah diterapkan adalah Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat (PHBS) (Lina, 2017).

PHBS adalah praktik kebiasaan hidup bersih dan sehat dalam kehidupan sehari-
hari (Gustina, Abdussalam, & Saputra, 2019). Indikator PHBS pada anak di lingkungan
sekolah antara lain :
a. Mencuci tangan dengan air yang mengalir dan memakai sabun.
b. Mengkonsumsi jajanan sehat di kantin sekolah,
c. Menggunakan jamban yang bersih dan sehat,
d. Olahraga yang teratur dan terukur,
e. Memberantas jentik nyamuk,
f. Tidak merokok di sekolah,
g. Menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan setiap bulan, dan
membuang sampah pada tempatnya (Kurniawan, Putri, & Widiani, 2019).
Namun pada pelaksanaan di lapangan, program-program yang bertujuan untuk
mencegah kejadian obesitas masih belum dilakukan dengan maksimal
(Muhammad, 2019).
Memantau status gizi anak setiap bulan adalah hal yang penting untuk
dilakukan sebagai upaya perbaikan atau pemeliharaan status gizi. Indikator status
gizi yang digunakan untuk anak usia 5-18 tahun adalah body mass index (BMI)
menurut usia (Fikawati, Syafiq, & Veratamala, 2017). BMI merupakan alat atau
cara yang sederhana unutk memantau status gizi khususnya yang berkaitan
dengan kekurangan dan kelebihan berat badan (Supariasa, Bakri, & Fajar, 2013).
Perawat mempunyai peran yang penting dalam memberikan pemahaman
tentang pencegahan dan penanganan obesitas dengan memberikan edukasi
(Kristina & Huriah, 2020). Salah satu cara untuk meningkatkan pengetahuan,
sikap dan perilaku untuk membentuk perilaku kesehatan adalah dengan
memberikan pendidikan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Pendidikan kesehatan
adalah unsur program kesehatan yang didalamnya terkandung rencana untuk
mengubah perilaku seseorang dan masyarakat dengan tujuan membantu
tercapainya program pengobatan, rehabilitasi, pencegahan penyakit dan
peningkatan kesehatan (Supariasa, 2012).
Informasi tentang ilmu gizi, khususnya yang harus dimakan dan apa yang
tidak boleh dimakan dapat diperoleh dari pendidikan gizi. Pendidikan gizi adalah
suatu proses yang berkesinambungan untuk menambah pengetahuan tentang gizi,
yang membentuk sikap dan perilaku hidup sehat dengan memerhatikan pola
makan sehari-hari dan faktor lain yang memengaruhi makanan serta membangun
komitmen untuk selalu meningkatkan derajat kesehatan dan gizi individu serta
masyarakat (Riswanti, 2016). Pendidikan gizi merupakan kegiatan yang
dilaksanakan melalui penyuluhan sebagai upaya yang menanamkan pengertian
gizi, pengenalan masalah makan, perencanaan makan dan perencanaan diet yang
disepakati (Simbolon, Tafrieani, & Dahrizal, 2018).
Pemberian pendidikan gizi pada anak dengan kelebihan berat badan dapat
menurunkan BMI melalui peningkatan pengetahuan tentang gizi. Peningkatan
pengetahuan gizi dapat mempengaruhi perubahan perilaku menjadi positif seperti
menurunkan tingkat kecukupan protein, presentase asupan lemak dan
meningkatkan asupan serat. Rata-rata asupan energi, karbohidrat, protein dan
lemak harian pada anak obesitas lebih tinggi dibandingkan dengan anak non
obesitas (Loliana & Siti, 2015).

2.2 Pencegahan Penyakit Pada tempat Kerja


Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan
lingkungan kerja. Faktor risiko PAK antara lain: Golongan fisik, kimiawi, biologis atau
psikososial di tempat kerja. Faktor tersebut di dalam lingkungan kerja merupakan
penyebab yang pokok dan menentukan terjadinya penyakit akibat kerja. Faktor lain
seperti kerentanan individual juga berperan dalam perkembangan penyakit di antara
pekerja yang terpajang.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya PAK adalah sebagai berikut :
1) Golongan fisik
a. Kebisingan dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran sampai dengan
Non-induced hearing loss.
b. Radiasi (sinar radio aktif) dapat mengakibatkan kelainan darah dan kulit. Suhu
udara yang tinggi dapat mengakibatkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia.
c. Sedangkan suhu udara yang rendah dapat mengakibatkan frostbite, trenchfoot
atau hypothermia.
d. Tekanan udara yang tinggi dapat mengakibatkan caison disease.
e. Pencahayaan yang tidak cukup dapat mengakibatkan kelahan mata.
f. Pencahayaan yang tinggi dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan.
2) Golongan kimia
a) Debu dapat mengakibatkan pneumokoniosi.
b) Uap dapat mengakibatkan metal fume fever, dermatitis dan keracunan.
c) Gas dapat mengakibatkan keracunan CO dan H2S.
d) Larutan dapat mengakibatkan dermatitis. Insektisida dapat mengakibatkan
keracunan.
3) Golongan infeksi
a) Anthrax
b) Brucell.
c) HIV/AIDS
4) Golongan fisiologis
Dapat disebabkan oleh kesalahan kontruksi, mesin, sikap badan yang kurang baik,
salah cara melakukan suatu pekerjaan yang dapat mengakibatkan kelelahan fisik
bahkan lambat laun dapat menyebabkan perubahan fisik pada tubuh pekerja.
5) Golongan mental
Dapat disebabkan oleh hubungan kerja yang tidak baik atau keadaan pekerjaan
yang monoton yang menyebabkan kebosanan.

Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1981


dan Keputusan Presiden RI No 22/1993 terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja yaitu sebagai
berikut:
1) Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut
(silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2) Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
logam keras.
3) Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang
dikenal berada dalam proses pekerjaan.
5) Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan
debu organic.
6) Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau persenyawaannya yang beracun.
7) Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8) Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10) Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11) Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12) Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
13) Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
14) Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya yang beracun.
15) Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
16) Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik
atau aromatik yang beracun.
17) Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
18) Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau homolognya
yang beracun.
19) Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20) Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21) Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti
karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun,
amoniak, seng, braso dan nikel.
22) Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23) Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang
persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi).
24) Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih.
25) Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi yang mengion.
26) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologik.
27) Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral,
antrasena, atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28) Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29) Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang didapat dalam
suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminasi khusus.
30) Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi.
31) Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.
A. Diagnosis Penyakit Akibat Kerja
Secara teknis penegakan diagnosis dilakukan dengan cara berikut ini:2
a) Tentukan diagnosis klinis dengan anamnesis yang baik, pemeriksaan fisik diagnostik dan
pemeriksaan penunjang.
b) Tentukan pajanan terhadap faktor risiko dengan melakukan anamnesis mengenai riwayat
pekerjaan secara cermat dan teliti yang mencakup: Kapan pertama kali bekerja, sudah
berapa lama bekerja, apa yang dikerjakan, bahan yang digunakan, informasi bahan yang
digunakan (Material Safety Data Sheet/MSDS), bahan yang diproduksi, jenis bahaya
yang ada, jumlah pajanan, kapan mulai timbul gejala, kejadian sama pada pekerja lain,
pemakaian alat pelindung diri, cara melakukan pekerjan, pekerjaan lain yang dilakukan,
kegemaran (hobi) dan kebiasaan lain (merokok, alkohol) .
c) Membandingkan gejala penyakit sewaktu bekerja dan dalam keadaan tidak bekerja:
 Pada saat bekerja maka gejala timbul atau menjadi lebih berat, tetapi pada saat tidak
bekerja atau istirahat maka gejala berkurang atau hilang.
 Perhatikan juga kemungkinan pemajanan di luar tempat kerja
 Informasi tentang ini dapat ditanyakan dalam anamnesis atau dari data penyakit di
perusahaan
d) Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan catatan :
 Tanda dan gejala yang muncul mungkin tidak spesifik.
 Pemeriksaan laboratorium penunjang membantu diagnostik klinis.
 Dugan adanya penyakit akibat kerja dilakukan juga melalui pemeriksaan
laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis.
e) Pemeriksaan laboratorium khusus atau pemeriksaan biomedis
 Seperti pemeriksaan spirometri dan rontgen paru (pneumokoniosis-pembacaan
standar ILO).
 Pemeriksaan audiometrik .
 Pemeriksaan hasil metabolit dalam darah atau urin
f) Pemeriksaan atau pengujian lingkungan kerja atau data hygiene perusahaan yang
memerlukan :
 Kerja sama dengan tenaga ahli hygiene perusahaan.
 Kemampuan mengevaluasi faktor fisik dan kimia berdasarkan data yang ada
 Pengenalan secara langsung sistem kerja, intensitas dan lama pemajanan.
g) Konsultasi keahlian medis dan keahlian lain:
 Seringkali penyakit akibat kerja ditentukan setelah ada diagnosis klinis, kemudian
dicari faktor penyebabnya di tempat kerja atau melalui pengamatan (penelitian)
yang relatif lebih lama.
 Dokter spesialis lainnya, ahli toksikologi dan dokter penasihat (kaitan dengan
kompensasi).

B. PENCEGAHAN/PENANGGULANGAN
Berikut ini adalah penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit (five level of
prevention disease) pada penyakit akibat kerja, yakni:
a) Peningkatan kesehatan (health promotion). Misalnya: penyuluhan kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik,
pengembangan kepribadian, perusahaan yang sehat dan memadai, rekreasi, lingkungan
kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan pendidikan seksual, konsultasi tentang
keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
b) Perlindungan khusus (specific protection). Misalnya: imunisasi, hygiene perorangan,
sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm, kacamata kerja, masker, penutup
telinga (ear muff dan ear plug) baju tahan panas, sarung tangan, dan sebagainya.
c) Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk
mencegah terjadinya komplikasi.
d) Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation). Misalnya: memeriksa dan
mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga kerja secara sempurna
dan pendidikan kesehatan.
e) Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan mempekerjakan kemali
para pekerja yang menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba menempatkan
keryawan-karyawan cacat di jabatan yang sesuai.
Upaya yang dapat dilakukan oleh perusahaan untuk mencegah PAK adalah sebagai berikut:4
1. Menyingkirkan atau mengurangi risiko pada sumbernya, misalnya menggantikan bahan
kimia yang berbahaya dengan bahan yang tidak berbahaya.
2. Mengurangi risiko dengan pengaturan mesin atau menggunakan APD.
3. Menetapkan prosedur kerja secara aman untuk mengurangi risiko lebih lanjut.
4. Menyediakan, memakai dan merawat APD

BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Kehidupan manusia tidak pernah terlepas dari pekerjaan, apapun jenis pekerjaan
selalu dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan sehari-hari, mulai dari pekerjaan
berisiko rendah hingga berisiko tinggi.5 Disamping itu pemahaman dan penerapan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih kurang di perhatikan oleh pekerja formal
maupun informal. Pada hal faktor K3 sangat penting dan harus diperhatikan oleh pekerja
dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, perlu adanya kerja sama antara pemerintah,
perusahaan dan pekerja agar terhindar dari Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan Penyakit
Akibat Kerja (PAK).Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan upaya perlindungan
tenaga kerja dari bahaya, penyakit dan kecelakaan akibat kerja maupun lingkungan kerja.
Anak usia Sekolah Dasar (SD) adalah anak yang memasuki usia 6 hingga 12
tahun (Damayanti, Lutfiya, & Nilamsari, 2019). Berdasarkan World Health Organization
(WHO) anak usia sekolah adalah anak yang memasuki usia 7-15 tahun. Fase anak usia
sekolah merupakan fase dimana anak sangat membutuhkan asupan makanan yang bergizi
untuk menunjang masa pertumbuhan dan perkembangan (Lestari, Ernalia, & Restaunti,
2016). Pada masa pertumbuhan dan perkembangan anak, nutrisi memiliki peran yang
sangat penting (Jadgal, Sayedrajabizadeh, Sadeghi, & Moghaddam, 2020). Pemberian
nutrisi dengan kualitas dan kuantitas yang benar akan berdampak terhadap tumbuh
kembang anak yang optimal (Noviani, Afifah, & Astiti, 2016).

DAFTAR PUSTAKA

Republik Indonesia. Keputusan Presiden No. 22 Tahun 1993 tentang Penyakit yang
Timbul Karena Hubungan Kerja. Presiden Republik Indonesia: Jakarta; 1993
Efendi, F. dan Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas Teori dan Praktik dalam
Keperawatan. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2009.
Jeyaratnam J. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC; 2009.
Salawati, Lisa.(2015). Penyakit Akibat Kerja Dan Pencegahan. JURNAL
KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 15 Nomor 2 Agustus 2015.

Anda mungkin juga menyukai