NPM : 1606831823
Refrensi :
Johnson, D. P. (1986). Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid 2. Jakarta: Gramedia.
Tujuan utama Durkheim dalam karyanya berupa The Elementary Forms Life
adalah menjelaskan sebuah analisa mengenai kepercayaan-kepercayaan yang paling
primitif yang dikenal oleh manusia, dalam hal ini Durkheim menganalisa ritual-ritual
agama totemik orang Arunta, suku bangsa primitif di Australia Utara. Corak agama
dalam pandangan Durkheim adalah berhubungan dengan suatu dunia yang suci. Dia
mendefinisikan agama sebagai “suatu sistem yang terpadu mengenai keprcayaan-
kepercayaan praktek-praktek yang berhubungan dengan benda-benda suci, benda-benda
khusus (set apart) atau terlarang kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang
menyatu dalam satu komunitas yang disebut umat (gereja), semuanya yang
berhubungan dengan itu.”
Konsep mengenai yang suci berhubungan dengan suatu dunia yang dipercayai
sebagai terpisah dari dan seluruhnya berbeda dari yang biasa, yakni dunia kehidupan
profan sehari-hari. Durkheim yakin bahwa akar agama adalah masyarakat itu sendiri.
Ide mengenai yang suci muncul dari kehidupan kelompok yang sebenarnya mewakili
kenyataan kelompok itu melalui simbol. Klan-klan totemik primitif mengidentifikasikan
dirinya dengan nama-nama totemnya yang khusus.
Durkheim berpendapat bahwa agama adalah suatu pranata yang dibutuhkan oleh
masyarakat untuk mengikat individu menjadi satu-kesatuan melalui pembentukan
sistem kepercayaan dan ritus. Agama adalah cara untuk untuk mengekspresikan dirinya
dalam bentuk fakta sosial nonmaterial. Hal tersebut lambat laun akan berubah menjadi
sebuah moralitas yang dipegang erat bersama-sama (Collective Consciousness) yang
begitu kuat. Ketika telah terbentuk kesadaran kolektif yang kuat, maka akan
memunculkan energi kolektif yang disebut Collective Effervescent.
Durkheim juga melihat hubungan antara struktur sosial dan orientasi agama
sejajar dengan perkembangan solidaritas organik. Di masyarakat yang mulai modern,
agama dilihat secara personal, bahkan menyangkut pribadi. Sementara di masyarakat
klan primitif yang didasarkan pada totenisme, di mana individualisme belum
berkembang, agama pada dasarnya merupakan hal yang bersifat umum.
Selain itu, bahwa jenis-jenis pengalaman kolektif yang dramatis yang dalam
keyakinan Durkheim merupakan dasar bagi ide tentang yang suci, juga terjadi tidak
hanya di ranah agama, melainkan di banyak tempat di luar agama-agama yang sudah
mapan. Durkheim mencontohkan suatu collective efferscence yang muncul pada
pertandingan atletik, pertandingan sepak bola dan konser musik rock.
Teori Durkheim mengenai agama terlalu menekankan pada solidaritas. Hal ini
justru dapat menjadi kritik tersendiri bagi teorinya. Perspektif ini mengabaikan sejumlah
peristiwa dalam sejarah mengenai konflik agama yang mengerikan. Namun untuk
menjawab kritikan ini, justru konflik yang terjadi utamanya di internal agama itu sendiri
merupakan suatu kontrol sosial dimana suatu kelompok berusaha untuk memperkuat
kembali dasar-dasar moral dan melawan perilaku menyimpang.
Untuk di Amerika sendiri, pola pluralisme agama yang sudah mapan tidak
mencerminkan perpecahan yang tajam. Pelbagai kelompok agama utama yang sudah
mapan pada dasarnya kompak dalam mendukung “agama sipil” di Amerika. Agama
sipil pada dasarnya memperlihatkan suatu pengsakralan gaya hidup orang Amerika,
yang berhubungan erat dengan konsep Durkheim mengenai moralitas sipil sebagai suatu
dasar kekompakan sosial di tingkat nasional.