Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ulkus mooren merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian
perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan
untuk perforasi ditandai tepi tukak bergaung dengan bagian sentral tanpa
adanya kelainan dalam waktu yang agak lama.1

Albert Mooren adalah seorang dokter Jerman pada tahun 1828-1899 yang
menguraikan ulkus serpiginosa kronik yang terdapat pada lansia. Ulkus mooren
adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi kornea dengan
bagian tepinya tergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan perforasi
atau hipopion. Lambat laun ulkus ini mengenai seluruh kornea.2

Ulkus Mooren adalah ulkus keratitis perifer (ulkus perifer kornea) yang
sangat nyeri dan kronis. Ulkus Mooren jarang dijumpai dan biasanya bersifat
idiopatik dan tanpa disertai penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi
terjadinya kerusakan pada kornea. Ulkus Mooren sering ditemui di Negara
Afrika bagian selatan dan tengah, cina, dan india. Penyakit ini lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan sangat jarang terjadi pada anak-
anak.3

Penyakit ini jarang terjadi dibagian utara tapi biasa terjadi dibagian selatan
dan tengah afrika, China dan negara bagian India. Sering terjadi pada laki-laki
(1,3:1) dari pada perempuan (1,6;1) dan paling jarang pada anak-anak.
Penelitian selama tiga tahun disebuah rumah sakit di Nigeria melaporkan 18
orang dengan ulkus Moorens dengan rentang umur 12-42 tahun (rata-rata 27
tahun). Insiden kasus ulkus Mooren bervariasi, dimana terdapat satu kasus per
tahun di klinik spesialis Eropa dan Amerika dan satu kasus dari 2200 klinik di

1
Nigeria dan India. Penelitian di China 715 mata dirawat dalam 36 tahun
menunjukkan kejadian 0,03% dari populasi. 3, 4
Penatalaksanaan ulkus mooren disamping medikamentosa adalah
Tindakan operatif yang salah satunya adalah keratoplasti. Keratoplasti
merupakan operasi penggantian jaringan kornea yang rusak (kornea resipien)
dengan kornea donor. Tindakan keratoplasti dapat menimbulkan komplikasi
diantaranya adalah graft failure dan graft rejection.5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kornea

Kornea (Latin Cornum= Seperti tanduk) adalah selaput bening mata,


bagian selaput mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang
menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas lapis :2

1. Epitel

2
 Tebalnya 550 mikrometer, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpeng tindih; satu sel lapis sel basal, sel
polygonal dan sel gepeng.

 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi sel lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosome dan
macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.

 Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat


kepadanya Bila terjadi gangguan akan mengakibatkan erosi rekuren.

 Epitel berasal dari ectoderm permukaan.2

2. Membran Bowman

 Terletak di bawah membrane basal epitel kornea yang merupakan


kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.

 Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi.2

3. Stroma

 Menyusun 90% ketebalan kornea.

 Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
Kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang

3
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.2

4. Membran Descement

 Merupakan membrane aseluler dan merupakan batas belakang


stroma kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane
basalnya.

 Bersifat sangat elastic dan berkembang terus seumur hidup,


mempunyai tebal 20 mikrometer. 2

5. Endotel

 Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk hexagona, besar 20-40


mikrometer, endotel-melekat pada membrane descement melalui
hemidesmosomdan zonula okluden.2

4
Gambar

Anatomi Mata.6

Gambar. Anatomi mata.6

Gambar Histologi.2

2.2

Fisiologi

5
Ketika cahaya jatuh ke retina, dua perubahan penting, fotokimia dan
listrik, terjadi. Perubahan fotokimia terjadi pada pigmen batang dan kerucut.
Cahaya memecah pigmen batang, rhodopsin yang merupakan kromoprotein,
menjadi retinena kuning (aldehida vitamin A) dan, akhirnya, menjadi vitamin
A. yang tidak berwarna Reaksinya dapat dibalik. Reaksi fotokimia ini
memulai respon visual dan menginduksi perubahan potensial listrik yang
ditransmisikan melalui sel bipolar ke sel ganglion dan kemudian sepanjang
serabut saraf optik ke otak. Perubahan kelistrikan bervariasi frekuensinya
dengan intensitas cahaya dan dapat direkam dengan elektroretinogram
(ERG).6

Stimulasi retina dengan cahaya menghasilkan tiga jenis sensasi indra


penglihatan, bentukan indera, dan indera warna. Indra penglihatan adalah
kemampuan yang memungkinkan kita untuk merasakan cahaya dari semua
gradasi intensitas. Jumlah minimum energi cahaya yang dapat menimbulkan
sensasi visual disebut minimum cahaya. Cahaya minimum sangat kecil jika
mata beradaptasi dengan gelap dan meningkat saat batang dan kerucut sakit.
Setelah memastikan cahaya minimum, jika intensitas cahaya ditingkatkan
secara bertahap, seseorang dapat melihat perbedaan dalam jumlah iluminasi,
yang disebut perbedaan cahaya. Perbedaan iluminasi yang paling tidak
terlihat memiliki hubungan konstan dengan iluminasi total dan dikenal
sebagai hukum Weber. Perbedaan cahaya juga dipengaruhi oleh adaptasi
mata dan meningkat pada gangguan yang mempengaruhi saraf optik.6
Indra bentuk adalah kemampuan yang memungkinkan kita untuk
melihat bentuk benda-benda di dunia luar. Ini adalah fungsi kerucut, dan
paling akut di fovea di mana kerucut dikemas dengan padat. Kemampuan
membedakan bentuk benda disebut ketajaman visual atau central vision.
Selain retinal, bentuk indra sebagian besar bersifat psikologis. Ini termasuk
rasa ringan, rasa posisi, dan rasa diskriminasi.6
Indra warna adalah kemampuan mata membedakan warna dan nada
warna yang berbeda. Ada tiga warna primer merah, hijau dan biru. Kerucut

6
bertanggung jawab untuk mengenali warna. Warna lebih dihargai di siang
hari sementara dalam cahaya redup terlihat abu-abu (shift Purkinje).6

2.3 Definisi

Ulkus Mooren, menurut definisi, adalah keratitis ulseratif perifer yang


progresif cepat dan nyeri yang terjadi tanpa adanya gangguan sistematis yang
dapat didiagnosis yang dapat bertanggung jawab untuk kerusakan progresif
kornea, tanpa skleritis terkait. Perubahan kornea dimulai 2-3 mm dari limbus,
pertama kali muncul sebagai pembengkakan abu-abu yang cepat mengerut,
mengenai sepertiga dangkal kornea dan kemudian berlanjut secara melingkar
dan terpusat selama 4-12 bulan. Ulkus Mooren pertama kali dijelaskan oleh
Bowman pada tahun 1849 dan kemudian oleh McKenzie pada tahun 1854
sebagai “Ulkus serpiginous kronis pada kornea atau ulkus rodens ”. Namun,
nama Mooren menjadi melekat pada kelainan langka ini karena dia publikasi
kasus pada tahun 1863 dan 1867.7

.4 Epidemiologi
Ulkus Mooren sering ditemukan di Negara Afrika bagian tengah dan
selatan, Cina, dan India. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan sangat jarang terjadi pada anak-anak.2

.5 Klasifikasi
Wood dan Kaufman membagi ulkus Mooren berdasarkanonset usia,
manifestasi klinik, dan prognosis menjadi dua tipe:2
 Tipe I : Limited type atau Benign Mooren’s ulcer,biasanya
bersifatunilateral dan gejala klinis yang ringan sampai sedang. Tipe ini
cenderung terjadi pada usia yang lebih tua (lebih dari 35 tahun) dan
memiliki respon yang baik terhadap pengobatan medikamentosa
maupun tindakan operasi.
 Tipe II: Atypical type atau malignant Mooren’s ulcer,biasanya bersifat
progresif. Kasus bilateral biasanya terjadi pada penderita yang lebih

7
muda (kurang dari 35 tahun). Tipe ini disertai rasa yang sangat sakit
dan tidak respon terhadap segala bentuk terapi.
Watson berdasarkan gejala klinis dan hasil fluorescein angiografi pada
segmen anterior membagi ulkus Mooren atas 3 tipe,yaitu:1
 Tipe I : Unilateral Mooren’s ulceration (UM),yaitu bentuk ulkus
Mooren yang terjadi pada penderita wanita dan usia yang lebih
tua,bersifat progresif dan disertai rasa sakit.Terjadi obliterasi pada
pembuluh darah superficial di dareah limbus.
 Tipe II : Bilateral Aggressif Mooren’s ulceration (BAM),terjadi pada
penderita yang lebih muda,perjalanan penyakitnya lebih cepat secara
sirkumferensial daripada menuju sentral kornea. Terjadi kebocoran
pembuluh darah dan terbentuknya pembuluh darah baru yang meluas
sampai ke daerah dasar ulkus.
 Tipe III: Bilateral Indolent Mooren’s ulceration(BIM),biasanya
terjadi pada usia pertengahan. Ditandai dengan adanya ulkus didaerah
perifer yeng bersifat progresif pada kedua mata,dan sedikit respon
inflamasi. Terjadi etensi pembuluh darah baru ke dalam ulkus

.6 Etiologi

Penyebab ulkus Mooren masih belum diketahui, namun respon


autoimun terbukti memegang peranan yang sangat penting. Terjadinya ulkus
Mooren diduga akibat adanya faktor pencetus berupa helminthiasis dan
infeksi hepatitis C.3, 8
HLA (Human Limfosit Antigen) juga memainkan peranan penting
dalam respon imun. Telah dideskripsikan juga adanya hubungan ulkus
Mooren dengan beberapa penyakit imun lain, seperti reumatoid artritis, grave
disease, dan multiple sklerosis.3

.7 Patogenesis

8
Mekanisme pasti terjadinya ulkus Mooren masih belum diketahui
secara pasti,tetapi diduga adanya proses autoimun.Terjadinya gangguan
immunologi ditandai dengan dihasilkannya antibodi sebagai reaksi terhadap
jaringan konjungtiva dan kornea yang terlibat.Trauma, pembedahan, dan
infestasi parasit (cacing) juga menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya
ulkus Mooren. Prinsip hipotesis yang didapat adalah bahwa inflamasi yang
terjadi akibat trauma dan infestasi parasit dapat menimbulkan suatu respon
antigen-antibodi pada kornea atau konjungtiva.9
Sejumlah besar sel dalam spesimen ulkus Mooren mengekspresikan
antigen MHC kelas II, yang mencerminkan derajat inflamasi yang dimediasi
oleh imun dalam jaringan. Telah dikemukakan bahwa autoreaktivitas
terhadap antigen spesifik kornea dapat berperan dalam patogenesis gangguan
ini, dan mekanisme imun yang dimediasi oleh sel dan humoral mungkin
terlibat dalam inisiasi dan pelestarian kerusakan kornea. Kedekatan lesi
ulseratif dengan limbus mungkin memiliki kepentingan patofisiologis (seperti
dibahas sebelumnya, di bagian PUK), karena reseksi atau resesi konjungtiva
limbal seringkali dapat memiliki efek terapeutik yang menguntungkan.9

.8 Gejala Klinis

Gejala klinis ulkus Mooren yang terpenting adanya rasa sakit yang
disertai dengan mata merah, berair dan silau. Ulkus Mooren juga bersifat
kronik progresif. Ulkus biasanya dimulai dari perifer kornea yang melingkar
dan meluas dari luar kedalam. Perforasi dapat terjadi apabila terjadi trauma
dan adanya infeksi sekunder.3,9

Pada beberapa pasien, kemungkinan sangat sulit untuk membedakan


ulkus Mooren dari ulkus perifer kornea idiopatik. Perbedaan penting yang
diutamakan adalah pada ulkus Mooren melibatkan kornea sedangkan pada
ulkus perifer kornea melibatkan sklera.9

9
Banyak pasien yang mengalami ulkus kornea terjadi parasitemia. Hal
ini memungkinkan bahwa terjadinya reaksi antigen-antibodi terhadap toksin
cacing atau antigen yang tersimpan dalam limbus kornea selama fase
perdarahan dari infestasi parasit.9

Gambar Ulkus Mooren.10

10
Gambar Ulkus Mooren dengan ulkus pada limbus superior yang parah.10

.9 Diagnosa

Diagnosis ulkus Mooren ditegakkan berdasarkan anamnesis,


pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis akan
didapatkan keluhan berupa nyeri pada mata, injeksi siliar, injeksi konjungtiva,
dan fotofobia. Pemeriksaan fisik pada mata ditemukan ulkus pada kornea
bagian perifer dan iris sukar dilihat karena kornea edema dan infiltrat sel
radang pada kornea.,9
Dalam menegakan diagnosa ulkus Mooren harus diperhatikan apakah
ulkus Mooren disertai adanya skleritis, keterlibatan limbus, sensasi kornea,
blepharitis dan keratitis, ulkus pada stroma kornea, epitel kornea, dan bagian
lainnya untuk membedakannya dengan penyakit lain yang dapat
menyebabkan keratitis ulseratif perifer.9, 10
Hal lain yang perlu diperhatikan juga termasuk penyakit-penyakit yang
berhubungan dengan kolagen, seperti rheumatoid arthritis, wegener’s
granulomatosis dan poliarteritis nodosa. Selain itu, penyakit degenerasi kornea
(Terrien’s marginal degenerasi dan degenerasi pellucid) juga diperhatikan. 9

.10 Tatalaksana

Terapi opikal 2% CsA dapat menjadi tambahan yang aman dan


berguna untuk terapi medis standar pada kasus ulkus Mooren yang
berulang. Penatalaksanaan awal untuk kondisi ini adalah dengan
penggunaan kortikosteroid topikal. namun, beberapa kasus mungkin tidak
responsif terhadap steroid topikal dan dapat berkembang terus menerus.
mengancam sumbu visual. Imunosupresi telah terbukti bermanfaat dalam
kasus-kasus seperti itu bila digunakan sebagai tambahan untuk terapi
konvensional. Beberapa penelitian telah melaporkan kemanjuran
siklosporin A (CsA), sistemik atau topikal, sebagai modalitas pengobatan
untuk ulkus Mooren.11

11
IFN 2a topikal sebagai agen terapeutik tunggal merupakan
alternatif yang efektif dalam pengobatan 2 pasien kami dengan ulkus
Mooren. Ini menawarkan manfaat terapi topikal dan pembedahan yang
dihindari atau intervensi lain yang dapat menyebabkan defisiensi sel induk.
Studi terkontrol yang lebih besar diperlukan untuk memastikan
kemanjuran dan keamanan pengobatan jangka panjang ini.12
Pengobatan pada pasien ulkus Mooren bertujuan untuk menghalangi
proses destruksi lapisan kornea dan merangsang proses penyembuhan serta
reepitelisasi lapisan kornea.9
1. Steroid topikal
Terapi inisial harus mencakupi program topikal intensif: prednisolon asetat
atau prednisolon phosphate 1% tiap jam, yang disertai dengan pemakaian
sikloplegik dan antibiotik profilaksis. Penyembuhan epitel tidak akan
terjadi dalam 2-3 hari, frekuensi penggunaan steroid topikal dapat
ditingkatkan menjadi tiap 30 menit. Jika penyembuhan epitel terjadi maka
penggunaan topikal steroid harus dikurangi secara perlahan-lahan selama
beberapa bulan. Pada ulkus Mooren yang jinak dan unilateral hal ini
memperlihatkan hasil yang baik. Penggunaan steroid secara oral
( prednison 60-100 mg tiap hari ) dapat dipertimbangkan jika pengobatan
dengan steroid topikal tidak efektif dalam 7-10 hari atau pada beberapa
kasus dimana penggunaan steroid menjadi kontraindikasi.9
2. Reseksi konjungtiva
Jika ulkus terus berkembang walaupun sudah diterapi dengan steroid,
maka reseksi konjungtiva harus dilakukan dengan menggunakan anestesi
topikal dan subkonjungtiva, konjungtiva dieksisi kearah sklera setidaknya
sebanyak 2 mm dari arah sisi perifer ulkus, dan sekitar 4 mm ke arah
posterior dari korneoskleral limbus dan sejajar dari ulkus. Penggunaan soft
kontak lens setelah dilakukan reseksi konjungtiva berguna untuk
membantu penyembuhan epitel. Penyembuhan konjungtiva dan ulkus
tersebut dapat terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
dilakukan prosedur ini. Krioterapi pada konjungtiva di daerah limbus oleh

12
beberapa ahli dapat memberikan hasil yang sama. Reseksi konjungtiva dan
termokoagulasi juga dapat memperbaiki daerah ulkus.Akan tetapi,
kekambuhan dapat terjadi denganangka kekambuhannya sampai 80%.9
3. Immunosuppressive chemotherapy
Pada kasus – kasus bilateral atau progresif dimana ulkus Mooren gagal
diterapi dengan steroid dan reseksi konjungtiva, maka penggunaan
kemoterapi sistemik diperlukan untuk menghentikan kerusakan lanjut pada
kornea. Penggunaan immunosuppressive sistemik seperti,
cyclophosphamide (2mg/kgBB/hari), methotrexate (7,5-15mg/minggu),

azathioprin (2mg/kgBB/hari) dan topikal cyclosporine A (0,05%)


menunjukkan hasil yang menjanjikan pada kasus-kasus ulkus Mooren.
Foster melaporkan hasil yang sangat memuaskan dengan
menggunakan cyclophosphamide (Cytoxan) dengan dosis 2-3
mg/kgBB.Penggunaan kemoterapi harus dibawah pengawasan
rheumatologist, oncologist atau internist.9

.11 Diagnosis Banding

 Degenerasi pellucid menyebabkan penipisan kornea inferior bilateral


yang mengarah ke astigmatisme yang ditandai, tidak teratur, dan
bertentangan dengan aturan. Nyeri dan peradangan kurang dan epitel
masih utuh, sehingga membedakannya dari ulkus Mooren.9

Gambar Pellucid Marginal.13

13
 marginal stafilokokus dapat muncul sebagai infiltrat kornea perifer
dengan kerusakan epitel di atasnya. Ada zona intervensi yang jelas antara
infiltrat dan limbus, dan keratitis sering disertai blepharitis. Pasien
mengeluhkan fotofobia dan iritasi, tetapi rasa sakit yang parah dan
melemahkan seperti ulkus Mooren tidak dijelaskan. Perbaikan klinis
yang cepat biasanya dapat dilihat dengan steroid topikal ringan. Ulkus
diyakini mewakili reaksi yang dimediasi kompleks imun terhadap
antigen mikroba.9

Gambar Staphylococcal marginal keratitis.14

 Ulkus kornea Acanthamoeba Awal dirasakan sakit yang tidak sebanding


dengan temuan kliniknya, kemerahan dan fotofobia. Tanda klinik khas
adalah ulkus kornea indolen, cincin stroma, dan perineural. infiltrat
perineural.1

14
Gambar
kornea

Acanthamoeba1

 Terriens Marginal Degenerationn ini berbeda dari ulkus Mooren karena


biasanya tidak menimbulkan rasa sakit, tidak memborok dan biasanya
non inflamasi. Ini telah dilaporkan lebih sering pada pria dan dapat
terjadi pada semua usia. Penyakit ini biasanya bilateral tetapi mungkin
asimetris. Degenerasi Terrien biasanya dimulai di kornea superior,
berbeda dengan ulkus Mooren, yang biasanya dimulai di daerah
interpalpebral sebagai opasitas stroma halus, belang-belang, dan stroma.
Zona yang jelas ada antara infiltrasi dan limbus, yang menjadi
vaskularisasi superfisial. Penipisan progresif lambat mengikuti. Area tipis
memiliki batas tepi yang miring dan tepi tengah yang tajam yang disorot
oleh garis lipid putih. Epitel tetap utuh, meskipun stroma tipis
menggembung menyebabkan astigmatisme yang signifikan. Penipisan
perlahan-lahan berkembang secara melingkar tetapi jarang terpusat.

15
Gambar 1: (a) Foto celah lampu mata kanan menunjukkan penipisan kornea perifer 360 ° dengan
area deposisi lipid dan vaskularisasi superfisial. (b) Foto slit lamp mata kiri yang menunjukkan
perforasi kornea dengan prolaps iris berdekatan dengan limbus. (c) Foto slit lamp mata kiri yang
menunjukkan graft bening di bagian superior dengan area deposisi lipid secara superonasal dan
inferior.15

.12 Prognosis

Setelah ulserasi aktif berhenti dan kornea yang tersisa telah


sepenuhnya opacified, adalah mungkin untuk melakukan keratoplasti
penetrasi pada pasien ini, bahkan pada wajah kornea yang menipis dan
mengalami vaskularisasi. Dalam kasus ini, cangkok kornea tektonik 13
mm pertama-tama dijahit di tempat dengan jahitan nilon atau prolene 10-0
yang terputus dengan gigitan penerima meluas ke sklera sehingga jahitan
tidak akan menarik melalui kornea inang yang tipis dan kemudian jahitan
7.5 atau 8.0 cangkok terapeutik mm ditempatkan. Upaya bedah untuk
rehabilitasi ulserasi Mooren dilakukan hanya dengan imunosupresi
bersamaan, bahkan ketika penyakit aktif telah ditangkap, atau 'terbakar
habis', karena upaya penetrasi keratoplasti sering dikaitkan dengan
kekambuhan dan kegagalan cangkok. Dipercaya bahwa pasien dengan
ulkus Mooren yang dirawat harus imunosupresi sebelum operasi katarak
atau prosedur pencangkokan kornea. Dengan tidak adanya donor kornea,
tmenyarankan penggunaan auto graft lamellar scleral gratis untuk
memulihkan defek kornea, diikuti dengan penetrasi keratoplasti nanti.
Dalam rangkaian mata dengan ulkus kornea, enam mata dengan prolaps
iris progresif dan ruang anterior datar direkonstruksi dengan teknik di
atas.9

16
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

17
1. Ulkus Mooren jarang dijumpai dan biasanya bersifat idiopatik dan tanpa
disertai penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi terjadinya
kerusakan pada kornea.

2. Ulkus Mooren adalah ulkus perifer kornea yang bersifat kronis progresif
dan serta disertai rasa sakit. Penyakit di mulai bagian perifer ke daerah
sentral terkena bagian superficial.

DAFTAR PUSTAKA
1. Yusi Farida: Corneal Ulcers Treatment. 2015, 04:01
2. Sidarta Ilyas, Sri Rahayu: Ilmu Penyakit Mata. Ed ke V. 2014. 170-171.
3. Alhassan MB, Rabiu M, Agbabiaka IO. Interventions for Mooren’s Ulcer
(Review). The Cochrane Collaboration. 2014, p.1-17.

18
4. Schallenberg M, Westekemper H, Steuhl KP, Meller D. Amniotic
Membrane Transplantation Ineffective as Additional Therapy in Patiens
with Aggressive Mooren’s Ulcer. Bio Medical Central Ophtalmology.
2013, 13:81.
5. Dini Herdianti, Delfitri L, Ismi, Ratna: Graft Rejection Keratoplasty in
Mooren ulcer’s Manage By Unsutured Frizen Amnion Graft. 2008, 06:03
6. HV Nema, Nitin Nema : Text Book of Ophtalmology. 5th Edition. 2008.
7. Rafi KB, Vijayta G, Meenakshi S, Ridham N; Atipical mooren Ulcer’s:
Our experience. Journal Of medical Science and Clinical Research. 2017.
05,07.
8. Taylor, Smith, Morgan, et al. HLA and Mooren’s Ulceration. Br J
Ophtalmol. 2000, 84: 72-75.
9. Rahul V. Mooren’s ulcer. AECS Illumination. 2014, 14:2.
10. American Academy of Ophtalmology. External Disease and Cornea
Section. Basic and Clinical Science Cource. 2016-2017, p.117

11. Radhika T, MD, Bavna C, Kamna V. Outcome of Treatment of Mooren


Ulcer With Topical Cyclosporine A 2%. Journal Clinical Science. 2008.
859-861.

12. Uzeyir E, Hurkan K, Fatih C, Selim D. Treatment of Mooren’s Ulcer with


Topical Administration f Interferon Alfa 2a. 2007. 446-449

13. Jinabhai, A., Radhakrishnan, H., & O’Donnell, C. (2011). Pellucid corneal
marginal degeneration: A review. Contact Lens and Anterior Eye, 34(2),
56–63. doi:10.1016/j.clae.2010.11.007 

14. Hoffman, J., & Hassan, A. (2015). Severe staphylococcal marginal


keratitis presenting with hypopyon. BMJ Case Reports, bcr2015211979.
doi:10.1136/bcr-2015-211979 

19
15. Fernandes, M., & Vira, D. (2015). Patch graft for corneal perforation
following trivial trauma in bilateral terrien′s marginal degeneration.
Middle East African Journal of Ophthalmology, 22(2),
255.doi:10.4103/0974-9233.151873 

20

Anda mungkin juga menyukai