PENDAHULUAN
Ulkus mooren merupakan ulkus kronik yang biasanya mulai dari bagian
perifer kornea berjalan progresif ke arah sentral tanpa adanya kecenderungan
untuk perforasi ditandai tepi tukak bergaung dengan bagian sentral tanpa
adanya kelainan dalam waktu yang agak lama.1
Albert Mooren adalah seorang dokter Jerman pada tahun 1828-1899 yang
menguraikan ulkus serpiginosa kronik yang terdapat pada lansia. Ulkus mooren
adalah suatu ulkus menahun superfisial yang dimulai dari tepi kornea dengan
bagian tepinya tergaung dan berjalan progresif tanpa kecenderungan perforasi
atau hipopion. Lambat laun ulkus ini mengenai seluruh kornea.2
Ulkus Mooren adalah ulkus keratitis perifer (ulkus perifer kornea) yang
sangat nyeri dan kronis. Ulkus Mooren jarang dijumpai dan biasanya bersifat
idiopatik dan tanpa disertai penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi
terjadinya kerusakan pada kornea. Ulkus Mooren sering ditemui di Negara
Afrika bagian selatan dan tengah, cina, dan india. Penyakit ini lebih banyak
terjadi pada laki-laki daripada perempuan dan sangat jarang terjadi pada anak-
anak.3
Penyakit ini jarang terjadi dibagian utara tapi biasa terjadi dibagian selatan
dan tengah afrika, China dan negara bagian India. Sering terjadi pada laki-laki
(1,3:1) dari pada perempuan (1,6;1) dan paling jarang pada anak-anak.
Penelitian selama tiga tahun disebuah rumah sakit di Nigeria melaporkan 18
orang dengan ulkus Moorens dengan rentang umur 12-42 tahun (rata-rata 27
tahun). Insiden kasus ulkus Mooren bervariasi, dimana terdapat satu kasus per
tahun di klinik spesialis Eropa dan Amerika dan satu kasus dari 2200 klinik di
1
Nigeria dan India. Penelitian di China 715 mata dirawat dalam 36 tahun
menunjukkan kejadian 0,03% dari populasi. 3, 4
Penatalaksanaan ulkus mooren disamping medikamentosa adalah
Tindakan operatif yang salah satunya adalah keratoplasti. Keratoplasti
merupakan operasi penggantian jaringan kornea yang rusak (kornea resipien)
dengan kornea donor. Tindakan keratoplasti dapat menimbulkan komplikasi
diantaranya adalah graft failure dan graft rejection.5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Kornea
1. Epitel
2
Tebalnya 550 mikrometer, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak
bertanduk yang saling tumpeng tindih; satu sel lapis sel basal, sel
polygonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
ke depan menjadi sel lapis sel sayap dan semakin maju ke depan
menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di
sampingnya dan sel polygonal di depannya melalui desmosome dan
macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,
dan glukosa yang merupakan barrier.
2. Membran Bowman
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu
dengan lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
Kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
3
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.2
4. Membran Descement
5. Endotel
4
Gambar
Anatomi Mata.6
Gambar Histologi.2
2.2
Fisiologi
5
Ketika cahaya jatuh ke retina, dua perubahan penting, fotokimia dan
listrik, terjadi. Perubahan fotokimia terjadi pada pigmen batang dan kerucut.
Cahaya memecah pigmen batang, rhodopsin yang merupakan kromoprotein,
menjadi retinena kuning (aldehida vitamin A) dan, akhirnya, menjadi vitamin
A. yang tidak berwarna Reaksinya dapat dibalik. Reaksi fotokimia ini
memulai respon visual dan menginduksi perubahan potensial listrik yang
ditransmisikan melalui sel bipolar ke sel ganglion dan kemudian sepanjang
serabut saraf optik ke otak. Perubahan kelistrikan bervariasi frekuensinya
dengan intensitas cahaya dan dapat direkam dengan elektroretinogram
(ERG).6
6
bertanggung jawab untuk mengenali warna. Warna lebih dihargai di siang
hari sementara dalam cahaya redup terlihat abu-abu (shift Purkinje).6
2.3 Definisi
.4 Epidemiologi
Ulkus Mooren sering ditemukan di Negara Afrika bagian tengah dan
selatan, Cina, dan India. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki
dibandingkan perempuan dan sangat jarang terjadi pada anak-anak.2
.5 Klasifikasi
Wood dan Kaufman membagi ulkus Mooren berdasarkanonset usia,
manifestasi klinik, dan prognosis menjadi dua tipe:2
Tipe I : Limited type atau Benign Mooren’s ulcer,biasanya
bersifatunilateral dan gejala klinis yang ringan sampai sedang. Tipe ini
cenderung terjadi pada usia yang lebih tua (lebih dari 35 tahun) dan
memiliki respon yang baik terhadap pengobatan medikamentosa
maupun tindakan operasi.
Tipe II: Atypical type atau malignant Mooren’s ulcer,biasanya bersifat
progresif. Kasus bilateral biasanya terjadi pada penderita yang lebih
7
muda (kurang dari 35 tahun). Tipe ini disertai rasa yang sangat sakit
dan tidak respon terhadap segala bentuk terapi.
Watson berdasarkan gejala klinis dan hasil fluorescein angiografi pada
segmen anterior membagi ulkus Mooren atas 3 tipe,yaitu:1
Tipe I : Unilateral Mooren’s ulceration (UM),yaitu bentuk ulkus
Mooren yang terjadi pada penderita wanita dan usia yang lebih
tua,bersifat progresif dan disertai rasa sakit.Terjadi obliterasi pada
pembuluh darah superficial di dareah limbus.
Tipe II : Bilateral Aggressif Mooren’s ulceration (BAM),terjadi pada
penderita yang lebih muda,perjalanan penyakitnya lebih cepat secara
sirkumferensial daripada menuju sentral kornea. Terjadi kebocoran
pembuluh darah dan terbentuknya pembuluh darah baru yang meluas
sampai ke daerah dasar ulkus.
Tipe III: Bilateral Indolent Mooren’s ulceration(BIM),biasanya
terjadi pada usia pertengahan. Ditandai dengan adanya ulkus didaerah
perifer yeng bersifat progresif pada kedua mata,dan sedikit respon
inflamasi. Terjadi etensi pembuluh darah baru ke dalam ulkus
.6 Etiologi
.7 Patogenesis
8
Mekanisme pasti terjadinya ulkus Mooren masih belum diketahui
secara pasti,tetapi diduga adanya proses autoimun.Terjadinya gangguan
immunologi ditandai dengan dihasilkannya antibodi sebagai reaksi terhadap
jaringan konjungtiva dan kornea yang terlibat.Trauma, pembedahan, dan
infestasi parasit (cacing) juga menjadi faktor predisposisi terhadap terjadinya
ulkus Mooren. Prinsip hipotesis yang didapat adalah bahwa inflamasi yang
terjadi akibat trauma dan infestasi parasit dapat menimbulkan suatu respon
antigen-antibodi pada kornea atau konjungtiva.9
Sejumlah besar sel dalam spesimen ulkus Mooren mengekspresikan
antigen MHC kelas II, yang mencerminkan derajat inflamasi yang dimediasi
oleh imun dalam jaringan. Telah dikemukakan bahwa autoreaktivitas
terhadap antigen spesifik kornea dapat berperan dalam patogenesis gangguan
ini, dan mekanisme imun yang dimediasi oleh sel dan humoral mungkin
terlibat dalam inisiasi dan pelestarian kerusakan kornea. Kedekatan lesi
ulseratif dengan limbus mungkin memiliki kepentingan patofisiologis (seperti
dibahas sebelumnya, di bagian PUK), karena reseksi atau resesi konjungtiva
limbal seringkali dapat memiliki efek terapeutik yang menguntungkan.9
.8 Gejala Klinis
Gejala klinis ulkus Mooren yang terpenting adanya rasa sakit yang
disertai dengan mata merah, berair dan silau. Ulkus Mooren juga bersifat
kronik progresif. Ulkus biasanya dimulai dari perifer kornea yang melingkar
dan meluas dari luar kedalam. Perforasi dapat terjadi apabila terjadi trauma
dan adanya infeksi sekunder.3,9
9
Banyak pasien yang mengalami ulkus kornea terjadi parasitemia. Hal
ini memungkinkan bahwa terjadinya reaksi antigen-antibodi terhadap toksin
cacing atau antigen yang tersimpan dalam limbus kornea selama fase
perdarahan dari infestasi parasit.9
10
Gambar Ulkus Mooren dengan ulkus pada limbus superior yang parah.10
.9 Diagnosa
.10 Tatalaksana
11
IFN 2a topikal sebagai agen terapeutik tunggal merupakan
alternatif yang efektif dalam pengobatan 2 pasien kami dengan ulkus
Mooren. Ini menawarkan manfaat terapi topikal dan pembedahan yang
dihindari atau intervensi lain yang dapat menyebabkan defisiensi sel induk.
Studi terkontrol yang lebih besar diperlukan untuk memastikan
kemanjuran dan keamanan pengobatan jangka panjang ini.12
Pengobatan pada pasien ulkus Mooren bertujuan untuk menghalangi
proses destruksi lapisan kornea dan merangsang proses penyembuhan serta
reepitelisasi lapisan kornea.9
1. Steroid topikal
Terapi inisial harus mencakupi program topikal intensif: prednisolon asetat
atau prednisolon phosphate 1% tiap jam, yang disertai dengan pemakaian
sikloplegik dan antibiotik profilaksis. Penyembuhan epitel tidak akan
terjadi dalam 2-3 hari, frekuensi penggunaan steroid topikal dapat
ditingkatkan menjadi tiap 30 menit. Jika penyembuhan epitel terjadi maka
penggunaan topikal steroid harus dikurangi secara perlahan-lahan selama
beberapa bulan. Pada ulkus Mooren yang jinak dan unilateral hal ini
memperlihatkan hasil yang baik. Penggunaan steroid secara oral
( prednison 60-100 mg tiap hari ) dapat dipertimbangkan jika pengobatan
dengan steroid topikal tidak efektif dalam 7-10 hari atau pada beberapa
kasus dimana penggunaan steroid menjadi kontraindikasi.9
2. Reseksi konjungtiva
Jika ulkus terus berkembang walaupun sudah diterapi dengan steroid,
maka reseksi konjungtiva harus dilakukan dengan menggunakan anestesi
topikal dan subkonjungtiva, konjungtiva dieksisi kearah sklera setidaknya
sebanyak 2 mm dari arah sisi perifer ulkus, dan sekitar 4 mm ke arah
posterior dari korneoskleral limbus dan sejajar dari ulkus. Penggunaan soft
kontak lens setelah dilakukan reseksi konjungtiva berguna untuk
membantu penyembuhan epitel. Penyembuhan konjungtiva dan ulkus
tersebut dapat terjadi beberapa hari sampai beberapa minggu setelah
dilakukan prosedur ini. Krioterapi pada konjungtiva di daerah limbus oleh
12
beberapa ahli dapat memberikan hasil yang sama. Reseksi konjungtiva dan
termokoagulasi juga dapat memperbaiki daerah ulkus.Akan tetapi,
kekambuhan dapat terjadi denganangka kekambuhannya sampai 80%.9
3. Immunosuppressive chemotherapy
Pada kasus – kasus bilateral atau progresif dimana ulkus Mooren gagal
diterapi dengan steroid dan reseksi konjungtiva, maka penggunaan
kemoterapi sistemik diperlukan untuk menghentikan kerusakan lanjut pada
kornea. Penggunaan immunosuppressive sistemik seperti,
cyclophosphamide (2mg/kgBB/hari), methotrexate (7,5-15mg/minggu),
13
marginal stafilokokus dapat muncul sebagai infiltrat kornea perifer
dengan kerusakan epitel di atasnya. Ada zona intervensi yang jelas antara
infiltrat dan limbus, dan keratitis sering disertai blepharitis. Pasien
mengeluhkan fotofobia dan iritasi, tetapi rasa sakit yang parah dan
melemahkan seperti ulkus Mooren tidak dijelaskan. Perbaikan klinis
yang cepat biasanya dapat dilihat dengan steroid topikal ringan. Ulkus
diyakini mewakili reaksi yang dimediasi kompleks imun terhadap
antigen mikroba.9
14
Gambar
kornea
Acanthamoeba1
15
Gambar 1: (a) Foto celah lampu mata kanan menunjukkan penipisan kornea perifer 360 ° dengan
area deposisi lipid dan vaskularisasi superfisial. (b) Foto slit lamp mata kiri yang menunjukkan
perforasi kornea dengan prolaps iris berdekatan dengan limbus. (c) Foto slit lamp mata kiri yang
menunjukkan graft bening di bagian superior dengan area deposisi lipid secara superonasal dan
inferior.15
.12 Prognosis
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
17
1. Ulkus Mooren jarang dijumpai dan biasanya bersifat idiopatik dan tanpa
disertai penyakit sistemik yang dapat mempengaruhi terjadinya
kerusakan pada kornea.
2. Ulkus Mooren adalah ulkus perifer kornea yang bersifat kronis progresif
dan serta disertai rasa sakit. Penyakit di mulai bagian perifer ke daerah
sentral terkena bagian superficial.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yusi Farida: Corneal Ulcers Treatment. 2015, 04:01
2. Sidarta Ilyas, Sri Rahayu: Ilmu Penyakit Mata. Ed ke V. 2014. 170-171.
3. Alhassan MB, Rabiu M, Agbabiaka IO. Interventions for Mooren’s Ulcer
(Review). The Cochrane Collaboration. 2014, p.1-17.
18
4. Schallenberg M, Westekemper H, Steuhl KP, Meller D. Amniotic
Membrane Transplantation Ineffective as Additional Therapy in Patiens
with Aggressive Mooren’s Ulcer. Bio Medical Central Ophtalmology.
2013, 13:81.
5. Dini Herdianti, Delfitri L, Ismi, Ratna: Graft Rejection Keratoplasty in
Mooren ulcer’s Manage By Unsutured Frizen Amnion Graft. 2008, 06:03
6. HV Nema, Nitin Nema : Text Book of Ophtalmology. 5th Edition. 2008.
7. Rafi KB, Vijayta G, Meenakshi S, Ridham N; Atipical mooren Ulcer’s:
Our experience. Journal Of medical Science and Clinical Research. 2017.
05,07.
8. Taylor, Smith, Morgan, et al. HLA and Mooren’s Ulceration. Br J
Ophtalmol. 2000, 84: 72-75.
9. Rahul V. Mooren’s ulcer. AECS Illumination. 2014, 14:2.
10. American Academy of Ophtalmology. External Disease and Cornea
Section. Basic and Clinical Science Cource. 2016-2017, p.117
13. Jinabhai, A., Radhakrishnan, H., & O’Donnell, C. (2011). Pellucid corneal
marginal degeneration: A review. Contact Lens and Anterior Eye, 34(2),
56–63. doi:10.1016/j.clae.2010.11.007
19
15. Fernandes, M., & Vira, D. (2015). Patch graft for corneal perforation
following trivial trauma in bilateral terrien′s marginal degeneration.
Middle East African Journal of Ophthalmology, 22(2),
255.doi:10.4103/0974-9233.151873
20