Anda di halaman 1dari 19

Nama obat Golongan

Ventolin neb agonis adrenoreseptor


(mengandung zat aktif beta-2 selektif
salbutamol) kerja pendek
Flixotide neb kortikosteroid
(Flixotide
mengandung zat aktif
Fluticasone
Propionat)
Bozym Antibiotic golongan
( Ceftadizime ) sefalosporin generasi
III
Ranitidine H2 Bloker
Cefotaxime Antibiotic golongan
sefalosporin generasi
III
Lasal ekspectoran Guaifenesin = sebagai
mengandung zat aktif ekpektoran
( GG = guaifenesin
dan Salbutamol ) Salbutamol =
golongan agonis
adrenoreseptor beta-2
selektif kerja pendek
Allopurinol Penghambat xanthine-
oxidase
Vectin ( erdostein ) Mukolitik =
pengencer dahak
Metformin Antidiabetes golongan
biguanide
Glikazide Antidiabetes golongan
sulfonylurea

A. Pengobatan pada hipoglikemia ringan:

1. Pemberian konsumsi makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana).

2. Glukosa murni merupakan pilihan utama, namun bentuk karbohidrat lain yang berisi
glukosa juga efektif untuk menaikkan glukosa darah.

3. Makanan yang mengandung lemak dapat memperlambat respon kenaikan glukosa darah.
4. Glukosa 15 – 20 g (2 – 3 sendok makan gula pasir) yang dilarutkan dalam air adalah terapi
pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih sadar.

5. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan setelah 15 menit pemberian
upaya terapi. Jika pada monitoring glukosa darah 15 menit setelah pengobatan
hipoglikemia masih tetap ada, pengobatan dapat diulang kembali.

6. Jika hasil pemeriksaan glukosa darah kadarnya sudah mencapai normal, pasien diminta
untuk makan atau mengkonsumsi snack untuk mencegah berulangnya hipoglikemia.

B. Pengobatan pada hipoglikemia berat :

1. Hentikan obat – obat antidiabetes. Jika pasien menggunakan insulin, maka perlu dilakukan
penyesuaian dosis.

2. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parenteral diperlukan berupa pemberian dextrose
10% sebanyak 150 mL dalam 15 menit, atau dextrose 40% sebanyak 25 mL(hati – hati
risiko terjadinya ekstravasasi).

3. Periksa glukosa darah tiap 15 – 30 menit setelah pemberian i.v tersebut dengan target t 70
mg/dL. Bila target belum tercapai maka prosedur dapat diulang.

4. Jika glukosa darah sudah mencapai target, maka pemeliharaannya diberikan dextrose 10%
dengan kecepatan 100 mL/jam (hati – hati pada pasien dengan gangguan ginjal dan
jantung) hingga pasien mampu untuk makan.

5. Pemberian glukagon 1 mg intramuskular dapat diberikan sebagai alternatif lain terapi


hipoglikemia (hati – hati pada pasien malnutrisi kronik, penyalahgunaan alkohol, dan
penyakit hati berat).

6. Lakukan evaluasi terhadap pemicu hipoglikemia.

C. Obat penyebab Hipoglikemik

1. sulfonilurea.

2. glinid

3. Insulin
D. Obat Hipoglikemik

1. Biguanid. Contoh metformin

2. Tiazolidinedion . Contoh pioglitazone

3. penghambat α-glukosidase. Contoh acarbose

4. penghambat DPP-4. Contoh sitagliptin, vildagliptin

5. penghambat SGLT-2. Contoh dapaglitozin, canaglifozin, empaglifozin

6. agonis reseptor GLP-1. Contoh liraglutid, semaglutid, lixisenatide .

E. Penatalksanaan Hipoglikemik Menurut ADA

Gunakan obat antidiabet golongan DPP-4I, jika HbA1c diatas target tambahkan SGLT2i atau
TZD, dan apabila masih diatas target tambahkan obat sulfonylurea atau basal insulin tetapi
dengan resiko sedikit terjadi hipoglikemia

Sumber: PERKENI. Pedoman pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 dewasa di Indonesia


2019.

Perhitungan Insulin

Diketahui : BB Pasien = 75KG


Ditanyakan : Kebutuhan insulin pasien?
Jawab :
 Kebutuhan Insulin Total = 0,5 x BB (KG)
= 0,5 x 75 kg
= 37,5 unit

 Insulin Prandial = 60% dari insulin total


= 60% x 37,5 unit
= 22,5 unit
- Dosis 3 x makan = 1/3 x insulin prandial
= 1/3 x 22,5
= 7,5 unit

 Insulin Basal = 40% dari insulin total


= 40% x 37,5
= 15 unit

Subjektif :
Tn Lg 47 tahun dengan diabetes tipe 2, BB 75 kg Beliau baru saja mendapatkan basal
insulin (determin) ditambah dengan beberapa obat lain yaitu metformin 1 gram 2x1 dan
glikazide 80 mg 2x1. Beliau mengeluh bangun dengan sakit kepala, pusing dan
kleyengan pada pagi hari. Sering merasa kesemutan dan terdapat luka di kaki yang tidak
sembuh dari 3 bulan yang lalu. HbA1C 9,2%. Tn Lg juga mengalami sesak nafas. Sesak
nafas semakin berat saat malam hari. Diketahui pasien mempunyai riwayat hipertiroid
Akhir-akhir ini mengeluh sering berkeringat dingin dan berat badan menurun
Vital sign: TD : 100/70 mmHg, N : 80x/menit, RR : 28x/menit

Objektif :
Pemeriksaan laboratorium

Parameter Hasil Satuan Normal Keterangan


Tanggal 24 September 2019
Hb 15,4 g/dl 14,0 – 18,0 Normal
Leukosit 9.050 /µL 4.800–10.800 Normal
Hematokrit 49 % 42-52 Normal
Eritrosit 5,8 106/µl 4,7-6,1 Normal
Trombosit 84 Mg/dL 79-99 Normal
Segmen 71,9 40-70 Tinggi
SGOT 39 U/L 15-37 Tinggi
SGPT 53 U/L 30-65 Normal
Glukosa sewaktu 214 mg/dl ≤200 Tinggi
Asam urat 8,3 mg/dL 3,5-7,2
Ureum 19,8 mg/dL 14,98-38,52
Kreatinin 0,82 mg/dL 0,80-13,0
Tanggal 25 September 2019
BTA Negatif
Lekosit Positif
Epitel Positif
Tanggal 26 September 2019
Glukosa puasa 234 mg/dL 74-106 Tinggi
Glukosa 2jam PP 235 mg/dL ≤ 126 Tinggi
T3 20 mcg/dL 4,5-10,9 Tinggi
T4 400 Ng/dL 60-181 Tinggi

Assesment :
Parameter Hasil Satuan Normal Keterangan
Segmen 71,9 40-70 Tinggi
Segmen 71,9 40-70 Tinggi
SGOT 39 U/L 15-37 Tinggi
Glukosa sewaktu 214 mg/dl ≤200 Tinggi
Lekosit Positif
Epitel Positif
Glukosa puasa 234 mg/dL 74-106 Tinggi
Glukosa 2jam PP 235 mg/dL ≤ 126 Tinggi
T3 20 mcg/dL 4,5-10,9 Tinggi
T4 400 Ng/dL 60-181 Tinggi

Abnormalitas :
- Sgot (Tinggi)
Kadar SGOT Pasien : 39 U/L
Kadar SGOT Normal: 15-37 U/L
Jika hasil tes SGOT ternyata lebih tinggi dari normal, artinya ada kerusakan pada
salah satu organ atau otot yang mengandung enzim SGOT.Organ tersebut bisa jadi
hati, tapi bisa juga otot, jantung, otak, maupun ginjal.

- Segmen
Kadar Segmen Pasien : 71,9
Kadar Segmen Normal: 40-70

- Glukosa sewaktu
Kadar Glukosa sewaktu Pasien : 214 mg/dl
Kadar Glukosa sewaktu Normal: < 200 mg/dl
Kadar glukosa sewaktu bisa tinggi disebabkan karena Stres, infeksi, kurang
berolahraga, terlalu banyak mengonsumsi karbohidrat, atau melakukan aktivitas fisik
yang cukup berat di saat tingkat insulin rendah juga dapat menjadi
pemicu gula darah tinggi.
penyebab kadar gula darah yang tinggi adalah kurangnya pasokan hormon insulin
ataupun saat hormon insulin yang tidak bekerja dengan optimal akibat resistensi
insulin.
Insulin merupakan hormon yang berperan penting dalam menjaga kadar gula dalam
darah tetap normal. Hormon ini membantu proses penyerapan glukosa oleh sel-sel
tubuh untuk selanjutnya diubah menjadi energi.

- Leukosit (sel darah putih)


Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3
Nilai krisis leukositosis: 30.000/mm3. Lekositosis hingga 50.000/mm3
mengindikasikan gangguan di luar sumsum tulang (bone marrow). Nilai
leukosit yang sangat tinggi (di atas 20.000/mm3) dapat disebabkan oleh
leukemia. Penderita kanker post-operasi (setelah menjalani operasi)
menunjukkan pula peningkatan leukosit walaupun tidak dapat dikatakan infeksi.

- Glukosa puasa
Tingginya kadar gula darah puasa pada penderita Diabetes Melitus secara terus
menerus dapat meningkatkan terjadinya resiko komplikasi. Serangan jantung, stroke,
gagal ginjal kronik dan gangren adalah komplikasi paling utama. Selain kematian
fetus intrauterin pada ibu yang menderita Diabetes Melitus tidak terkontrol juga
meningkat.

- Nama obat Indikasi Keterangan Analisis Analisis DRP


berdasarkan DRP (ketepatan dosis,
kasus ketidakwaspadaan
pada ADRs,
interaksi)
1.Ventolin neb untuk Mengobati Obat tersebut Tidak ada Tidak ada DRP
pelega nafas penyakit pda sesuai dengan drp (dosis sesuai, tidak
(agonis adrenoreseptor saluran penyakit yang ada interaksi)
beta-2 selektif pernafasan diderita Tn.Lg
kerja pendek ada seperti asma dan
salbutamol PPOK
2.Flixotide neb pelega Mengobati Obat tersebut Tidak ada Tidak ada DRP
nafas profilaksis pda sesuai dengan drp (dosis sesuai, tidak
(Flixotide mengandung asma penyakit yang ada interaksi)
zat aktif Fluticasone ringan,sedang diderita Tn.Lg
Propionat, golongan dan berat pada
kortikostroid ) orang dewasa
dan anak-anak
diatas 1tahun
3.Biozyim(ceftadizime Golongan Obat Tidak ada DRP
) antibiotik salah (dosis sesuai, tidak
(Antibiotic golongan sefalosporin ada interaksi)
sefalosporin generasi yang berguna
III ) untuk
menghentikan
pertumbuhan
bakteri,
mencegah
infeksi bedah
pada pasien yang
menjalani
operasi prostat,
infeksi paru-paru
pseudomonal,
infeksi tulang
dan
sendi,meningitis
4.Ranitidin Menurunkan Pasien tdk Obat Dosis tidak sesuai
( H2 Blocker ) sekresi asam mendapat obat Tanpa Dosis max 150mg
lambung atau tdk Indikasi 2x1 atau 300mg 1x1
berlebih mendpat obat tidak ada interaksi
dgn benar

5.Cefotaxime Golongan Obat dosis sesuai


(Antibiotic golongan antibiotik salah
sefalosporin generasi sefalosporin
III ) yang bekerja
dengan cara
membunuh dan
menghambat
pertumbuhannya.
Kemudian bisa
juga mencegah
infeksi pada luka
operasi
6.Lasal ekspectoran Untu melegakan Pasien tdk Obat dosis sesuai
(GG dan Salbutamol) pernafasan dan mendapat obat salah Perhatian :
(mengandung zat aktif membantu atau tdk ( Karena hipertiroidisme
( GG = guaifenesin pengeluaran mendpat obat pasien
( Ekspetoran ) dan dahak pada dgn benar tidak
Salbutamol = SABA) kondisi asma berdahak
yang disertai hanya
batuk sesak
nafas )
7.Allopurinol Untuk Pasien Tidak ada Tidak ada DRP
(Penghambat xanthine- menurunkan memiliki kadar DRP (dosis sesuai, tidak
oxidase ) kadar asam urat asam urat ada interaksi)
dalam darah tinggi
akibat penyakit
asam urat (gout)
8.Vectin (endostein) Mengencerkan Pasien tdk Obat Tidak ada DRP
(Mukolitik = pengencer dahak yang mendapat obat Salah (dosis sesuai, tidak
dahak ) kental sehingga atau tdk ( Karena ada interaksi)
mudah mendpat obat pasien
dikeluarkan dgn benar tidak
berdahak
)
9.Metformin Mengontrol Obat tersebut Tidak ada Tidak ada DRP
Antidiabetes golongan kadar gula darah sesuai dengan (dosis sesuai, tidak
biguanide tinggi yang penyakit yang ada interaksi)
biasanya diderita Tn.Lg
diberikan pada
pasien Diabetes
tipe 2
10.Glikazide Mengontrol Obat tersebut Tidak ada dosis sesuai, tidak
Antidiabetes golongan kadar gula darah sesuai dengan ada interaksi
sulfonylurea pada pasien penyakit yang Efek samping : sakit
Diabetes tipe 2 diderita Tn.Lg kepala, pusing

11. Menderita Tidak ada obat Adanya


Hipertiroid hipertiroid Indikasi
tanpa obat
-
-
-

P (PLAN)

- Ventolin neb
Indikasi : Bronkospasme pada asma bronkial, bronkitis kronis & emfisema
Dosis : PENGGUNAAN OBAT INI HARUS SESUAI DENGAN PETUNJUK
DOKTER. Dewasa dan anak > 14 tahun : 10 - 20 ml. Anak 6 - 14 tahun : 10 ml.
Diberikan 2-3 kali/hari. Anak 2 - 6 tahun : 5 - 10 ml. Diberikan 2-3 kali/hari.
Aturan Pakai : Masukkan ke dalam nebulizer untuk dibuat menjadi partikel gas dan
dihirup
- Flixotide neb
Indikasi : Meredakan gejala dan eksaserbasi asma pada pasien yang sebelumnya
diterapi dengan bronkodilator saja atau dengan terapi pencegahan lain, pencegahan
asma berat pada pasien > 16 thn, terapi eksaserbasi akut asma ringan sampai sedang
pada anak-remaja.
Dosis : PENGGUNAAN OBAT INI HARUS SESUAI DENGAN PETUNJUK
DOKTER. 16 thn : 1-4 ampul 2x sehari, 4-16 thn : 2 ampul 2x sehari
Aturan Pakai : Obat di masukkan dalam alat nebulizer kemudian diuapkan sampai
cairan obat dalam alat habis
- Metformin Untuk control gula darah
- Glikazide untuk rangsang pancreas produksi insulin lebih banyak

1. Glukosa 2pp
Tes toleransi glukosa atau tes gula darah bertujuan untuk mengukur sejauh mana
kemampuan tubuh dapat memproses glukosa setelah mengonsumsi gula dalam jumlah
tertentu. Seperti yang kita ketahui, gula merupakan sumber energi utama tubuh.
Penggunaan glukosa dalam darah dipengaruhi oleh hormon insulin. Jika terjadi masalah
pada hormon insulin seperti pada penyakit diabetes, tentunya akan memengaruhi kadar
glukosa dalam darah. Kadar gula darah tinggi dapat mengindikasikan diabetes. Tes
toleransi glukosa dilakukan untuk mendeteksi diabetes atau tidak. Glukosa 2 jam
postprandial atau glukosa 2 jam PP adalah tes glukosa yang dilakukan setelah tes glukosa
darah puasa. Sebelum melakukan tes glukosa darah puasa, seseorang diharuskan untuk
berpuasa selama 8 hingga 12 jam. Setelah tes gula darah puasa dilakukan, Anda akan
diberikan minuman dengan kandungan glukosa sirup  dengan kandungan 75 gram gula.
Merupakan pemeriksaan lanjutan setelah gula darah puasa yakni dengan
mengukur  tingkat gula darah  2 jam setelah makan. Kadar gula darah 2 jam setelah
makan biasanya pada kisaran 80 – 140 mg/dl. Jika kadar gula darah Anda berada pada
140 – 199 mg/dl, maka Anda sudah termasuk dalam kategori pre-diabetes. Pemeriksaan
ini dilakukan untuk menilai seberapa besar fungsi pankrean untuk menetralisir gula darah

Nilai Normal Glukosa 2 Jam PP


Hasil dari tes glukosa 2 jam PP adalah kadar gula darah 2 jam setelah makan. Kadar gula
darah dinyatakan dalam mmol/L(milimoll per liter) atau mg/dL (miligram per desiliter).
Dilansir dari labtestonline.org berikut adalah rentang hasil pemeriksaan glukosa 2 jam PP
- Nilai normal glukosa 2 jam PP: di bawah 7,8 mmol/L atau 140 mg/dL
- Prediabetes (toleransi glukosa terganggu): 7,8-11,1 mmol/L atau 140-199 mg/dL
- Diabetes: di atas 11,1 mmol/L atau 200 mg/dL dalam lebih dari satu kali
pemeriksaan.
Nilai Glukosa 2 Jam PP Tidak Normal
Nilai glukosa 2 jam PP tidak normal bisa berarti nilai terlalu tinggi atau terlalu rendah.
Namun kemungkinan nilai glukosa di bawah normal lebih jarang ditemukan dalam tes ini
karena umumnya tes ini dilakukan untuk diagnosis diabetes.
A. Nilai glukosa terlalu tinggi
Nilai glukosa tinggi dapat diindikasikan sebagai diabetes tipe 1 atau diabetes tipe 2.
Jika seseorang memiliki glukosa darah puasa di atas 7,0 mmol/L atau 126 mg/dL dan
kadar glukosa darah 2 jam PP di atas 11,1 mmol/L atau 200 mgdL, maka dapat
didiagnosis diabetes. Dokter mungkin akan menyarankan lebih dari satu kali
pemeriksaan untuk memastikan diabetes. Kondisi lain yang bisa menyebabkan
tingginya kadar glukosa 2 jam PP adalah kondisi seperti berikut ini:
1. Stres akut
2. Penyakit ginjal kronis
3. Hipertiroid
4. Pankreatitis
5. Kanker pankreas
6. Akromegali
7. Penyakit infeksi parah

Ada beberapa factor hubungannya dengan penyakit lain diantaranya :

1. Gagal Ginjal Kronik


Nefropati diabetik timbul akibat dari kadar glukosa yang tinggi menyebabkan terjadinya
glikosilasi protein membran basalis, sehingga terjadi penebalan selaput membran basalis,
dan terjadi pula penumpukkan zat serupa glikoprotein membran basalis pada mesangium
sehingga lambat laun kapilerkapiler glomerulus terdesak, dan aliran darah terganggu
yang dapat menyebabkan glomerulosklerosis dan hipertrofi nefron. Perlu dilakukan
skrining setiap 6bulan melalui metode pemeriksaan urin untuk melihat apakah masih
terdapat mikroalbuminuria. Tingginya ekskesi albumin atau protein dalam urin
selanjutnya akan menjadi petunjuk tingkatan kerusakan ginjal. Jika sudah terjadi
gangguan faal ginjal yang kemudian menjadi kegagalan faal ginjal atau disebut gagal
ginjal.
(DaVita.StagesOf Chronic Kidney Disease: 2015)

2. T3 & T4

Hormon tiroid adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar tiroid yang tertelak pada leher
bagian depan. Hormon tiroid memiliki fungsi untuk mengatur segala jenis metabolisme yang
terjadi pada tubuh kita. Untuk mengetahui kondisi fungsional dari kelenjar tiroid maka
dokter akan memeriksa nilai hormon tiroid dari hasil lab darah :

 T4, (4.6-12 ug/dl)


 T4 bebas (0.7-1.9 ng/dl)
 T3 (80-180 ng/dl)
 T3 bebas (230-619 pg/dl)

 FATOFISIOLOGI
Pada kondisi hipertidroid (tingginya kadar hormon tiroid dalam tubuh) maka hasil
pemeriksaan lab tersebut akan meunjukan kadar yang tinggi melebihi nilai normal. Nilai
normal mungkin akan sedikit berbeda tergantung lab dan tergantung dari satuan yang
digunakan. Selain itu dokter biasanya akan memeriksakan nilai TSH (0.5-6 uU/ml). TSH
merupakan hormon yang diproduksi oleh kelenjar pituitari di otak. Hormon ini berfungsi
untuk memicu sekresi hormon tiroid. Kadar TSH yang rendah dapat menjadi tanda adanya
hipertiroid. Apabila mengalami hipertiroid maka biasanya akan terasa gejala-gejala sebagai
berikut :

 penurunan berat badan, walaupun makan seperti biasa


 sering buang air besar
 merasa sering terjadi perbahaan mood, merasa cemas
 merasa jantung berdebar-debar
 tangan gemetaran
 benjolan pada leher (gondok), baik besar maupun kecil. Namun hipertiroid juga dapat
terjadi tanpa menimbulkan pembengkakan pada kelenjar tiroid sehingga tidak teraba
benjolan di leher.
 Patofisiologi hipertiroid dapat melalui berbagai mekanisme, tergantung penyakit
dasarnya. Hipertiroid bisa terjadi melalui mekanisme autoimun yang menghasilkan
autoantibodi terhadap thyroid stimulating hormone receptor (TSHR-Ab). Autoantibodi
ini akan menstimulasi sintesis dan sekresi hormon tiroid secara berlebihan.  Mekanisme
ini terjadi pada Grave’s disease. Autoantibodi juga akan bereaksi dengan thyroid derived
thyroglobin di mata dan menyebabkan reaksi inflamasi dan penumpukan cairan sehingga
terjadi eksoftalmus.
 Hipertiroid juga bisa terjadi melalui mediasi thyroid stimulating hormone (TSH) yang
berlebihan misalnya pada TSH-secreting pituitary adenoma atau melalui human
chorionic gonadotropin pada kasus penyakit trofoblastik dan germ cell tumors. TSH yang
berlebihan ini akan menstimulasi sintesis dan sekresi hormon tiroid secara berlebihan.
 Mekanisme lain adalah autonomously hyperfunctioning nodules di kelenjar tiroid. Nodul
kelenjar tiroid secara otonom akan mensintesis hormon tiroid tanpa dipengaruhi
oleh feedback TSH. Mekanisme ini ditemui pada kasus toksik adenoma dan toksik
multinodular goitre
3. Bagaimana penatalaksanaan luka pada pasien Tn Lg?
Kendali luka (wound control): pembuangan jaringan terinfeksi dan nekrosis secara
teratur. Perawatan lokal pada luka, termasuk kontrol infeksi, dengan konsep TIME:
 Tissue debridement (membersihkan luka dari jaringan mati)
 Inflammation and Infection Control (kontrol inflamasi dan infeksi)
 Moisture Balance (menjaga kelembaban)
 Epithelial edge advancement (mendekatkan tepi epitel)
Sumber : Perkeni, 2015, KONSENSUS: PENGELOLAAN DAN PENCEGAHAN DIABETES
MELITUS TIPE 2 DI INDONESIA.

PRINSIP PENATALAKSANAAN ULKUS KAKI DIABETES


Tujuan utama pengelolaan UKD yaitu untuk mengakses proses kearah penyembuhan luka
secepat mungkin karena perbaikan dari ulkus kaki dapat menurunkan kemungkinan terjadinya
amputasi dan kematian pasien diabetes. Secara umum pengelolaan UKD meliputi penanganan
iskemia, debridemen, penanganan luka, menurunkan tekanan plantar pedis (off-loading)
penanganan bedah, penanganan komorbiditas dan menurunkan risiko kekambuhan serta
pengelolaan infeksi.
Penanganan iskemia
Perfusi arteri merupakan hal penting dalam proses penyembuhan dan harus dinilai awal pada
pasien UKD. Penilaian kompetensi vaskular pedis pada UKD seringkali memerlukan bantuan
pemeriksaan penunjang seperti MRI angiogram, doppler maupun angiografi. Pemeriksaan
sederhana seperti perabaan pulsasi arteri poplitea, tibialis posterior dan dorsalis pedis dapat
dilakukan pada kasus UKD kecil yang tidak disertai edema ataupun selulitis yang luas. Ulkus
atau gangren kaki tidak akan sembuh bahkan dapat menyerang tempat lain di kemudian hari bila
penyempitan pembuluh darah kaki tidak diatasi. Bila pemeriksaan kompetensi vaskular
menunjukkan adanya penyumbatan, bedah vaskular rekonstruktif dapat meningkatkan prognosis
dan selayaknya diperlukan sebelum dilakukan debridemen luas atau amputasi parsial. Beberapa
tindakan bedah vaskular yang dapat dilakukan antara lain angioplasti transluminal
perkutaneus(ATP), tromboarterektomi dan bedah pintas terbuka (by pass). Berdasarkan
penelitian, revaskularisasi agresif pada tungkai yang mengalami iskemia dapat menghindarkan
amputasi dalam periode tiga tahun sebesar 98%. Bedah bypass dilaporkan e-fektif untuk jangka
panjang. Kesintasan (survival rate) dari ekstremitas bawah dalam 10 tahun pada mereka yang
memakai prosedur bedah bypass lebih dari 90%. Penggunaan antiplatelet ditujukan terhadap
keadaan insufisiensi arteri perifer untuk memperlambat progresifitas sumbatan dan kebutuhan
rekonstruksi pembuluh darah.
Debridemen
Debridemen merupakan upaya untuk membersihkan semua jaringan nekrotik, karena luka tidak
akan sembuh bila masih terdapat jaringan nonviable, debris dan fistula. Tindakan debridemen
juga dapat menghilangkan koloni bakteri pada luka. Saat ini terdapat beberapa jenis debridemen
yaitu autolitik, enzimatik, mekanik, biologik dan tajam. Debridemen dilakukan terhadap semua
jaringan lunak dan tulang yang nonviable. Tujuan debridemen yaitu untuk mengevakuasi
jaringan yang terkontaminasi bakteri, mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat
mempercepat penyembuhan, menghilangkan jaringan kalus serta mengurangi risiko infeksi
lokal.16 Debridemen yang teratur dan dilakukan secara terjadwal akan memelihara ulkus tetap
bersih dan merangsang terbentuknya jaringan granulasi sehat sehingga dapat mempercepat
proses penyembuhan ulkus.
Perawatan luka
Prinsip perawatan luka yaitu menciptakan lingkungan moist wound healing atau menjaga agar
luka senantiasa dalam keadaan lembab.6,10,11 Bila ulkus memroduksi sekret banyak maka
untuk pembalut (dressing) digunakan yang bersifat absorben. Sebaliknya bila ulkus kering maka
digunakan pembalut yang mampu melembabkan ulkus. Bila ulkus cukup lembab, maka dipilih
pembalut ulkus yang dapat mempertahankan kelembaban. Disamping bertujuan untuk menjaga
kelembaban, penggunaan pembalut juga selayaknya mempertimbangkan ukuran, kedalaman dan
lokasi ulkus.15 Untuk pembalut ulkus dapat digunakan pembalut konvensional yaitu kasa steril
yang dilembabkan dengan NaCl 0,9% maupun pembalut modern yang tersedia saat ini. Beberapa
jenis pembalut modern yang sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid,
hydrogel, calcium alginate, foam dan sebagainya. Pemilihan pembalut yang akan digunakan
hendaknya senantiasa mempertimbangkan cost effective dan kemampuan ekonomi pasien.
Menurunkan tekanan pada plantar pedis (off-loading).
Tindakan off-loading merupakan salah satu prinsip utama dalam penatalaksanaan ulkus kronik
dengan dasar neuropati. Tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada telapak kaki.
Tindakan offloading dapat dilakukan secara parsial maupun total. Mengurangi tekanan pada
ulkus neuropati dapat mengurangi trauma dan mempercepat proses penyembuhan luka. Kaki
yang mengalami ulkus harus sedapat mungkin dibebaskan dari penekanan. Sepatu pasien harus
dimodifikasi sesuai dengan bentuk kaki dan lokasi ulkus. Metode yang dipilih untuk off-loading
tergantung dari karakteristik fisik pasien, lokasi luka, derajat keparahan dan ketaatan pasien.
Beberapa metode off loading antara lain: total non-weight bearing, total contact cast, foot cast
dan boots, sepatu yang dimodifikasi (half shoe, wedge shoe), serta alat penyanggah tubuh seperti
cruthes dan walker.
Penanganan bedah
Jenis tindakan bedah tergantung dari berat ringannya UKD. Tindakan elektif ditujukan untuk
menghilangkan nyeri akibat deformitas seperti pada kelainan spur tulang, hammertoes atau
bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan untuk mencegah terjadinya ulkus atau ulkus
berulang pada pasien yang mengalami neuropati dengan melakukan koreksi deformitas sendi,
tulang atau tendon. Bedah kuratif diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan perawatan
konservatif, misalnya angioplasti atau bedah vaskular. Osteomielitis kronis merupakan indikasi
bedah kuratif. Bedah emergensi adalah tindakan yang paling sering dilakukan, dan diindikasikan
untuk menghambat atau menghentikan proses infeksi, misalnya ulkus dengan daerah infeksi
yang luas atau adanya gangren gas. Tindakan bedah emergensi dapat berupa amputasi atau
debridemen jaringan nekrotik.
Penanganan komorbiditas
Diabetes merupakan penyakit sistemik multiorgan sehingga komorbiditas lain harus dinilai dan
dikelola melalui pendekatan tim multidisiplin untuk mendapatkan hasil yang optimal.
Komplikasi kronik lain baik mikro maupun makroangiopati yang menyertai harus diidentifikasi
dan dikelola secara holistik. Kepatuhan pasien juga meru-pakan hal yang penting dalam
menentukan hasil pengobatan.
Mencegah kambuhnya ulkus
Pencegahan dianggap sebagai elemen kunci dalam menghindari amputasi kaki. Pasien diajarkan
untuk memperhatikan kebersihan kaki, memeriksa kaki setiap hari, menggunakan alas kaki yang
tepat, mengobati segera jika terdapat luka, pemeriksaan rutin ke podiatri, termasuk debridemen
pada kapalan dan kuku kaki yang tumbuh ke dalam. Sepatu dengan sol yang mengurangi tekanan
kaki dan kotak yang melindungi kaki berisiko tinggi merupakan elemen penting dari program
pencegahan.2
Pengelolaan infeksi
Infeksi pada UKD merupakan faktor pemberat yang turut menentukan derajat agresifitas
tindakan yang diperlukan dalam pengelolaan UKD. Dilain pihak infeksi pada UKD mempunyai
permasalahan sendiri dengan adanya berbagai risiko seperti status lokalis maupun sistemik yang
imunocompromised pada pasien DM, resistensi mikroba terhadap antibiotik, dan jenis mikroba
yang adakalanya memerlukan antibiotik spesifik yang mahal dan berkepanjangan. Dasar utama
pemilihan antibiotik dalam penatalaksanaa UKD yaitu berdasarkan hasil kultur sekret dan
sensitivitas sel. Cara pengambilan dan penanganan sampel berpengaruh besar terhadap ketepatan
hasil kultur kuman. Telah dilaporkan bahwa terdapat perbedaan jenis kuman yang didapat pada
bahan sekret yang diambil superfisial dengan yang deep swab. Sambil menunggu hasil kultur,
pada UKD yang terinfeksi penggunaan antibiotik dapat dipilih secara empirik. Terdapat berbagai
klasifikasi pengelolaan kaki diabetes mulai dari yang sederhana sampai kompleks yang
mencantumkan tuntunan penggunaan antibiotika. Beberapa klasifikasi tersebut yaitu klasifikasi
Wagner, The University of Texas classification, klasifikasi PEDIS oleh International Consensus
on the Diabetic Foot, dan klasifikasi berdasarkan derajat keparahan oleh Infectious Disease
Society of America (IDSA). Secara klinis, infeksi yang tidak mengancam tungkai biasanya
terlihat sebagai ulserasi yang dangkal, tanpa iskemia yang nyata, tidak mengenai tulang atau
sendi, dan area selulitis tidak lebih dari 2 cm dari pusat ulkus. Pasien tampak stabil serta tidak
memperlihatkan tanda dan gejala infeksi sistemik. Pengelolaan pasien dilakukan sebagai pasien
rawat jalan. Perawatan di rumah sakit hanya bila tidak ada perbaikan setelah 48-72 jam atau
kondisi memburuk. Antibiotik langsung diberikan disertai pembersihan dan debridemen ulkus.
Penanganan ulkus ini selanjutnya seperti yang diuraikan sebelumnya, koreksi hiperglikemia dan
kontrol komorbid lainnya. Respon terhadap pengobatan dievaluasi setelah 48-72 jam untuk
menilai tindakan yang mungkin perlu dilakukan. Aspek pencegahan, pendidikan pasien,
perawatan dan penanganan ortotik juga dilakukan secara terpadu. Infeksi disebut mengancam
bila UKD berupa ulkus yang dalam sampai mengenai tulang dengan selulitis yang lebih dari 2
cm dan/atau disertai gambaran klinis infeksi sistemik berupa demam, edema, limfangitis,
hiperglikemia, leukositosis dan iskemia. Perlu diperhatikan, tidak semua pasien diabetes dengan
infeksi yang relatif berat akan menunjukkan tanda dan gejala sistemik seperti tersebut diatas. Jika
ulkus mencapai tulang atau sendi, kemungkinan besar akan terjadi osteomielitis. Pasien dengan
infeksi yang mengancam ekstremitas harus dirawat di rumah sakit untuk manajemen yang tepat.
Debridemen dilakukan sejak awal dengan tetap memperhitungkan ada/tidaknya kompetensi
vaskular tungkai. Jaringan yang diambil dari luka dikirim untuk kultur. Tindakan ini mungkin
perlu dilakukan berulang untuk mengendalikan infeksi. Terapi empiris untuk infeksi berat harus
berspektrum luas dan diberikan secara intravena dengan mempertimbangkan faktor lain seperti
biaya, toleransi pasien, alergi, potensi efek yang merugikan ginjal atau hati, kemudahan
pemberian dan pola resistensi antibiotik setempat. Infeksi kronik dan berat yang mengancam
tungkai umumnya disebabkan oleh infeksi polimikroba yang mencakup organisme aerob gram
positif dan negatif serta anaerob. Pseudomonas sering diperoleh dari isolasi luka yang
menggunakan pembalutan basah; enterokokus umumnya dibiakkan dari pasien yang sebelumnya
telah diterapi sefalosporin; kuman anaerob sering ditemukan pada luka dengan keterlibatan
jaringan yang dalam dan nekrosis dan methicillin-resistant Staphylococcy aureus (MRSA) sering
diperoleh pada pasien yang sebelumnya pernah di rawat inap atau diberikan terapi antibiotika.
Bila terjadi infeksi berulang meskipun terapi antibiotik tetap diberikan, perlu dilakukan kultur
ulang jaringan untuk menyingkirkan infeksi superimposed. Lamanya pemberian antibiotik
tergantung pada gejala klinis, luas dan dalamnya jaringan yang terkena serta beratnya infeksi.
Pada infeksi ringan sampai sedang antibiotik dapat diberikan 1-2 minggu, sedangkan pada
infeksi yang lebih berat antibiotik diberikan 2-4 minggu. Debridemen yang adekuat, reseksi atau
amputasi jaringan nekrosis dapat mempersingkat waktu pemberian antibiotik. Pada kasus
osteomielitis, jika tulang terinfeksi tidak dievakuasi, maka antibiotik harus diberikan selama 6-8
minggu, bahkan beberapa literatur menganjurkan sampai 6 bulan. Jika semua tulang yang
terinfeksi dievakuasi, antibiotik dapat diberikan lebih singkat, yaitu 1-2 minggu dan ditujukan
untuk infeksi jaringan lunak. Efektivitas terapi dievaluasi dengan beberapa parameter, antara lain
respon klinis pasien, suhu, leukosit dan hitung jenis, laju endap darah dan penanda inflamasi
lainnya, kontrol gula darah dan parameter metabolik, serta tanda-tanda penyembuhan luka dan
peradangan. Pada keadaan kompetensi vaskular yang baik, pengukuran suhu kaki merupakan
parameter klinis inflamasi yang dapat dipegang. Jika terdapat iskemi jaringan luka, antibiotik
mungkin tidak dapat mencapai lokasi yang terinfeksi. Oleh karena itu, prosedur rekonstruksi
vaskular mungkin harus dilakukan untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan yang terinfeksi.
TERAPI LAIN
Terapi ajuvan yang sering digunakan dalam pengelolaan UKD ialah terapi oksigen hiperbarik
(TOH). TOH merupakan pemberian oksigen untuk pasien dengan tekanan yang lebih tinggi dari
tekanan atmosfer normal. Hal ini menyebabkan peningkatan konsentrasi oksigen dalam darah
dan peningkatan kapasitas difusi jaringan. Tekanan parsial oksigen dalam jaringan yang
meningkat akan merangsang neovaskularisasi dan replikasi fibroblas serta meningkatkan
fagositosis dan leucocyte-mediated killing dari bakteri.10,15,24 Indikasi pemberian TOH yaitu
UKD yang memenuhi kriteria luka derajat 3 dalam klasifikasi Wagner dan luka yang gagal
sembuh setelah 30 hari pengobatan standar, dan terutama ditujukan pada ulkus kronis dengan
iskemia. Penggunaan granulocyte colony stimulating factors (GCSF) merupakan terapi alternatif
yang masih dalam penelitian. GSCF diketahui dapat meningkatkan aktivitas neutrofil pada
pasien DM. 18 Pemberian suntikan GSCF subkutan selama satu minggu pada UKD yang disertai
infeksi terbukti mempercepat eradikasi kuman, memperpendek waktu pemberian antibiotik serta
menurunkan angka amputasi. Terapi ajuvan lain dalam pengelolaan UKD yang masih dalam
tahap penelitan yaitu penggunaan faktor pertumbuhan (growth factor therapy) dan bioengineered
tissue. Platelet-derived growth factor beca plermin (PDGF-b, becaplermin) digunakan untuk
merangsang penyembuhan luka dan dianjurkan pada neuropati kaki diabetes. Pemakaian bahan
ini secara topikal dikatakan efektif dan aman, namun belum terdapat data yang memadai. Produk
bioengineered tissue seperti bioengineered skin (Apligraf) dan human dermis (Dermagraf)
merupakan implan biologik aktif untuk mempercepat penyembuhan ulkus kronik. Produk
bioengineered ini bekerja pada sistem penghantaran growth factor dan komponen matriks dermal
melalui aktifitas fibroblas yang merangsang pertumbuhan jaringan dan penutupan luka

Patofisiologi diabetes dengan foot ulcer


Keadaan kadar glukosa darah meningkat dapat menyebabkan terjadinya resiko ulkus kaki yang
sukar disembuhkan antara lain penurunan kemampuan pembuluh darah dalam berkontraksi
maupun relaksasi akibatnya perfusi jaringan bagian distal dari tungkai kurang baik dan keadaan
hiperglikemia merupakan lingkungan yang subur untuk berkembang biaknya kuman patogen
yang bersifat anaerob karena plasma darah penderita diabetes yang tidak terkontrol baik dan
kekentalan (viskositas) yang tinggi akibatnya aliran darah melambat dan suplai oksigen
berkurang.5 Faktor resiko terjadinya ulkus kaki meliputi usia, lama menderita diabetes mellitus,
jeni kelamin, neuropati diabetes, penyakit arteri perifer, riwayat ulserasi kaki atau amputasi,
kontrol gula darah yang buruk, deformitas kaki, dan merokok6 , sedangkan faktor yang
mempengaruhi kadar gula darah antara lain diet yang tidak teratur, olahraga yang kurang, obat-
obatan
Patofis Asma
Adanya allergen yang berinteraksi dg IgE yang berikatan dengan sel mast sehingga
meningkatkan responsivitas bronkial serta obstruksi jalan napas secara episodic ( berulang )
seperti mengi, sesak napas dan rasa berat di dada kh8ususnya di malam hari
Penatalaksanaan Asma Untuk usia lebih dari 12 tahun menurut GINA untuk control gejala
Step 1 Low dose ICS-Formoterol ketika dibutuhkan ( ketika gejala muncul kurang dari 2 kali
sebulan )
Step 2 Low dose ICS setiap hari ( Gejala muncul 2 atau lebih dalam sebulan tetapi kurang dari
biasanya )
Step 3 Low dose ICS-LABA ( Gejala muncul setiap hari atau ketika bangun mengalami sesak
sekali dalam seminggu )
Step 4 Medium dose ICS – LABA (Gejala muncul setiap hari atau ketika bangun mengalami
sesak sekali dalam seminggu atau penurunan fungsi paru )
Step 5 High dose ICS-LABA

Penatalaksanaan HbA1c
1. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa < 7,5% maka pengobatan dimulai
dengan modifikasi gaya hidup sehat dan monoterapi oral.

2. Untuk pasien DM tipe 2 dengan HbA1c saat diperiksa ≥ 7,5%, atau pasien yang sudah
mendapatkan monoterapi dalam waktu 3 bulan namun tidak bisa mencapai target HbA1c < 7%,
maka dimulai terapi kombinasi 2 macam obat yang terdiri dari metformin ditambah dengan obat
lain yang memiliki mekanisme kerja berbeda. Bila terdapat intoleransi terhadap metformin, maka
diberikan obat lain seperti tabel lini pertama dan ditambah dengan obat lain yang mempunyai
mekanisme kerja yang berbeda.

3. Kombinasi 3 obat perlu diberikan bila sesudah terapi 2 macam obat selama 3 bulan tidak
mencapai target HbA1c < 7%

4. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% namun tanpa disertai dengan gejala
dekompensasi metabolik atau penurunan berat badan yang cepat, maka boleh diberikan terapi
kombinasi 2 atau 3 obat, yang terdiri dari metformin (atau obat lain pada lini pertama bila ada
intoleransi terhadap metformin) ditambah obat dari lini ke 2.

5. Untuk pasien dengan HbA1c saat diperiksa > 9% dengan disertai gejala dekompensasi
metabolik maka diberikan terapi kombinasi insulin dan obat hipoglikemik lainnya.
( berikan 2 kombinasi obat metformin dan Sulfonilurea serta tambahan insulin )
6. Pasien yang telah mendapat terapi kombinasi 3 obat dengan atau tanpa insulin, namun tidak
mencapai target HbA1c < 7% selama minimal 3 bulan pengobatan, maka harus segera
dilanjutkan dengan terapi intensifikasi insulin.

7. Jika pemeriksaan HbA1c tidak dapat dilakukan, maka keputusan pemberian terapi dapat
menggunakan pemeriksaan glukosa darah.

8. HbA1c 7 % setara dengan rerata glukosa darah sewaktu 154 mg/dL. HbA1c 7 – 7,49% setara
dengan rerata glukosa darah puasa atau sebelum makan 152 mg/dL, atau rerata glukosa darah
post prandial 176 mg/dL. HbA1c > 9% setara dengan rerata glukosa darah sewaktu t 212 mg/dL.
Sumber : Perkeni

Penatalksanaan Hipertiroid
Pilihan utama yaitu terapi yodium, obat – obatan antitiroid ( golongan Propilthiourasil seperti
methimazole ) dan tiroidektomi ( pengangkatan tiroid ). Golongan PTU jarang digunakan karena
memiliki efek samping yang serius seperti menurunkan kadar sel darah putih, kerusakan hati,
adanya reaksi alergi. Pilihan yang direkomendasikan untuk hipertiroid adalah terapi radioaktif
iodine ( RAI ), yaitu dengan merusak sel sel yang membuat hormone tiroid yang diberikan secara
oral sehingga tiroid yang terlalu aktif akan berikatan dengan yodium radiokaktif ( ATA )
Dosis RAI dengan aktivitas < 30 mCi memiliki laju dosis < 50 mikroSv/jam yang sesuai dengan
peraturan proteksi radiasi menurut NRC amerika bahwa dengan aktivitas < 30 mCi memiliki laju
dosis < 50 mikroSv/jam terbukti aman. ( Ahmad Mutokar, 2017 )

Plan
Untuk obat antidiabetes ( metformin 500 mg , glikazide 80 mg, dan insulin basal ) diperhatikan
dosis insulinnya karena pasien mengalami kleyengan di pagi hari yang mengindikasikan terjadi
hipoglikemik. Pasien diberikan langsung 3 obat karena nilai HbA1c nya > 9%, diberikan obat
antidiabet sampai nilai HbA1c nya < 7%. Pasien tidak mengalami penyakit lambung, batuk
berdahak sehingga ranitidn, vectin, dan lasal ekspetoran dihilangkan karena pasien tidak
mengalami hal itu. Untuk penyakit asma uratnya diberikan allopurinol 100 mg – 200 mg
sebanyak 2x sehari. Untuk asma direkomendasikan untuk mengecek FEV1 untuk mengetahui
derajat asma yang diderita. Asma diobati dengan pelega nafas ventolin nebulizer 10 – 20 ml 2 –
3 kali sehari. Untuk antibiotic yang diberika cefotaxim dan cefatidizime diganti dengan
Ciprofloxacin 400 mg secara iv 2x sehari. Untuk hipertiroid diberika methamizol dengan dosis
300 mg yang dibagi 3x sehari ( 100 mg per 1 kali makan ).
Monitoring :
*Asma
1. Lakukan pemantauan 1-2 minggu (selama 1-6 bulan)
2. Lakukan pemantauan kadar FEV1/PEF
3. Jika hasil monitoring bagus lakukan step down, jika sebaliknya lakukan step-up
4. Pastikan pasien sudah memahami teknik pengobatan inhaler
5. Pantau apakah ada paparan alergen/tidak

*DM
1. Lakukan pemantauan pre (90-130 mg/dL) dan post (< 180mg/dL) prandial plasma glucose
2. Target HbA1C < 6.5%
3. Insulin menyebabkan hipoglikemik (peningkatan BB)
4. Metformin menyebabkan defisiensi Vit B12
5. Sulfonilurea menyebabkan hipoglikemik

*Hipertiroid
1. Lakukan penecekan kadar T3 dan T4 atau TSH secara berkala

Anda mungkin juga menyukai