Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Post Operasi

1. Definisi

Tahap pasca operatif dimulai dengan memindahkan pasien dari


kamar bedah ke unit pasca operasi dan berakhir dengan pulangnya pasien.
Fokus intervensi keperawataan pada tahap pascaoperatif adalah
memulihkan fungsi pasien seoptimal dan secepat mungkin (Baradero dkk,
2009).

Tahap post operatif merupakan tahap lanjutan dari perawatan pre


operatif dan intra operatif yang dimulai ketika klien diterima di ruang
pemulihan dan berakhir sampai evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik
atau di rumah (Maryunani Anik, 2014).

2. Ruang lingkup keperawatan post operatif

Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup rentang


aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus pengkajian
meliputi efek agen anestesi dan memantau fungsi vital serta mencegah
komlpikasi. Aktivitas keperawatan kemudia berfokus pada peningkatan
penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan, perawatan tindak lanjut
dan rujukan yang penting untuk penyembuhan dan rehabilitasi serta
pemulangan ke rumah (Maryunani Anik, 2014).

3. Tahapan pasca operatif

Tindakan pasca operatif dilakukan dalam dua tahap, yaitu periode


pemulihan segera dan pemulihan berkelanjutan setelah fase pasca operatif.
Untuk klien yang menjalani bedah sehari, pemulihan normalnnya terjadi
hanya dalam 1 sampai 2 jam. Dan penyembuhan dilakukan dirumah.
Untuk klien yang dirawat dirumah sakit, pemulihan terjadi selama

8
9

beberapa jam dan penyembuhan berlangsung selama satu hari atau lebih
bergantung pada luasnya pembedahan dan respons klien (Potter and Perry,
2006).

4. Panduan pendidikan kesehatan pasien dan keluarga dalam hal


persiapan sebelum operasi pada saat sesudah operasi

Perlu diberikan pendidikan kesehatan kepada pasien dan jelaskan


kepada pasien tentang prosedur setelah operasi/ post-operasi:

a. Kondisi tersadar di ruang pemulihan


b. Tujuan dari pengkajian tanda-tanda vital yang sering dilakukan
c. Pengendalian nyeri dan tindakan-tindakan kenyamanan lainnya
d. Pentingnya untuk merubah posisi, batuk dan nafas dalam (Maryunani
Anik, 2014).

5. Intervensi keperawatan pasca operatif

Berikut merupakan intervensi keperawatan pasca operatif yang


seharusnya dilakukan oleh perawat yaitu:

a. Penyuluhan pasien/keluarga
Sebagian besar penyuluhan eksehatan pada tahap ini melanjutkan
penyuluhan yang diberikan sebelum pembedahan. Ada kemungkinan
informasi yang telah diberikan perlu dipertegas dengan mengulangnya
dan mengklarifikasi bila perlu. Perawat perlu menerangkan kepada
pasien dan keluaganya mengenai obat yang diteruskan dirumah,
perawatan luka bedah, tanda dan gejala komplikasi, pembatasan
kegiatan dan tindak lanjut asuhan.
b. Pemeliharaan fungsi pernapasan
1) Pemeliharaan kepatenan jalan napas
Sekresi yang banyak dalam saluran napas dapat
menyebabkan obstruksi jalan napas parsial atau total. Apabila
sekresi mengumpul pada saluran napas bawah karena
imobilitas atau napas dangkal, infeksi pulmonal bisa timbul.
Untuk mencegah penyumbatan dan infeksi saluran napas
bawah, sekresi harus dikeluarkan melalui latihan seperti batuk
yang efektif, bernapas dalam dan mobilisasi. Apabila intervensi
tidak berhasil, sekresi harus dikeluarkan melalui pengisapan.
2) Pemeliharaan pertukaran gas
Pertukaran gas dapat dipertahankan dengan pemberian
oksigen, napas dalam, batuk yang efektif, menguap, posisi
tubuh yang membantu, pemberian obat yang berefek pada
anestesia.
c. Pemeliharaan sirkulasi
1) Pemeliharaan aliran balik vena
Tromboflebitis pascaoperasi dapat dicegah dengan intervensi
keperawatan. Misalhnya dengan tidak memberi tekanan pada
daerah popliteal. Apabila perlu menyokong kaki dengan bantal,
perhatikan agar tekanan merata pada seluruh bantal.
2) Pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit
Kebanyakan pasien pasca operasi menerima cairan intravena
untuk mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemantauan yang ketat terhadap asupan dan haluaran sangat
penting untk mencegah kelebihan beban cairan. Cairan per oral
bisa dimulai apabila sudah ada gerakan peristaltis (ada flatus) dan
refleks muntah serta batuk.
d. Pemeliharaan termoregulasi
Suhu tubuh dipantau tersu menerus. Termometer per aksila. Oral
dan rektal hanya bisa mengukur suhu kulit dan hasilnya tidak seakurat
suhu tubuh, yang diukur menggunakan termometer timpanik (dalam
telinga) atau temperatur esofagus.
e. Peningkatan kenyamanan
Penanganan nyeri yang efektif dimulai dengan hubungan saling
percaya antara perawat-pasien. Pasien diberi penjelasan mengenai sifat
nyeri dan pengertian cara mengevaluasi serta mengomunikasikan nyeri
yang dialaminya kepada perawatnya. Analgesik menjadi lebih efektif
apabila diberikan sebelum nyeri itu memuncak atau semakin hebat.
f. Peningkatan eliminasi urin
Haluaran urin harus dipantau dengan ketat samapi fungsi normal
ginjal pulih. Berkemih pertama kali pasca operasi dapat dibantu
dengan intervensi keperawatan seperti membatu pasien ke kamar kecil,
menyiram perinium dengan air, memberi waktu dan privasi, membuka
kran agar pasien mendengar air yang mengalir. Apabila tindakan ini
tidak efektif, maka kateter folley dapat dipasang sesuai program dokter
(Baradero dkk, 2009).

B. General Anesthesia

1. Definisi

Istilah anestesia berasal dari kata yunani anaisthesis yang


mempunyai arti “tidak ada sensasi”. Pada awal abad ke-19, dokter bedah
memakai alkohol dan opium untuk mengurangi rasa nyeri dan membuat
otot menjadi rileks (Baradero dkk, 2009).

Anestesi diklasifikasikan atau dibagi menurut efeknya pada


sensorium pasien (sistem saraf pusat) dan persepsi nyeri. Anestesia umum
dikatakan juga sebagai pembiusan total, dengan tanda hilangnya kesadaran
total. Anestesia umum didefinisikan sebagai hilangnya sensasi disertai
dengan hilangnya kesadaran, relaksasi otot rangka, analgesia dan
elimininasi respon somatik, otonom dan endokrin (Maryunani Anik,
2014).

Anestesia umum adalah menghilangkan semua sensasi dan


kesadaran. Dibawah pengaruh anestesia umum, refleks proteksi seperti
refleks batuk dan gag hilang. Anestesia umum bekerja dengan memblok
pusat kesadaran di otak sehingga terjadi amnesia (kehilangan memori),
analgesia (insesibilias terhadap nyeri), hypnosis (tidur palsu), dan relaksasi
(mengurangi ketegangan pada beberapa bagian tubuh). (Kozier, 2011).

2. Jenis jenis anesthesia

Anestesia digolongkan dalam dua golongan besar, yaitu anestesia


umum (general) dan anestesia lokal. Pada anestesia umum, pasien menjadi
tidak sadar dan tidak merasakan sensasi nyeri secara total, sedangkan pada
anestesi lokal, pasien tetap sadar dan tidak merasakan sensasi nyeri pada
area rubuh tertentu (Baradero dkk, 2009).

Anestesi umum biasanya diberikan melalui infusi intravena atau


dengan inhalasi gas melalui masker atau melalui selang endotrakea yang
dimasukkan ke dalam trakea. Anestesi umum memiliki keunggulan
tertentu. Karena tidak sadar, bukan sadar dan terjaga, fungsi pernapasan
dan jantung teratur. Selain itu anestesia dapat disesuaikan dengan lamanya
operasi serta usia dan fisik klien. Kerugian utama anestesia umum adalah
mendepresi fungsi pernapasan dan sirkulasi (Kozier, 2011).

Pada pemberian obat anestesi secara intravena, obat-obatan seperti


thiopenthone, propofol, fentanyl, menyebabkan depresi pernapasan
sehingga perlu dikombinasikan dengan alat bantu napas ETT untuk
mempertahankan napas pasien. Sedangkan obat-obatan pada anestesi
secara inhalasi seperti halotan, eter dapat menyebabkan iritasi membran
mukosa pada saluran napas (Mangku, G., 2010). Ini menunjukkan bahwa
anestesi umum secara inhalasi dan intravena menyebabkan akumulasi
lendir pada pasien.

Anestesi regional adalah pemutusan sementara transimisi impuls


saraf ke dan dari area atau bagian tubuh tertentu (Kozier, 2011). Anestesi
regional adalah anestesi lokal dengan menyuntikkan agens anestetik di
sekitar saraf sehingga area yang dipersarafi oleh saraf ini teranestesi.
Pasien dalam anestesi spinal atau lokal masih bangun dan sadar tentang
sekelilingnya (Brunner and Suddarth dalam Smeltzer and Bare, 2002).
3. Tahapan Anestesia

Tiga tahap anestesia umum (general) adalah fase induksi, fase


pemeliharaan (maintenance), dan fase emergensi. Fase induksi dimulai
dengan pemberian obat anestetik per intravena atau per inhalasi dengan
oksigen. Intubasi endotrakeal dilaksanakan pada tahap ini. Fase induksi
berakhir pada pemberian posisi pasien yang diinginkan dokter bedah,
selesainya persiapan kulit dan dokter memberi insisi. Pada fase
maintenance, ahli anestesi mempertahankan tingkat anestesia yang cocok
dengan obat anestesia inhalasi atau intravena. Pada tahap ini, ahli anestesi
memperhatikan apa yang dilaksanakan dokter bedah agar ia bisa
mengantisipasi dan menyesuaikan tingkat anestesia yang diperlukan oleh
dokter bedah. Fase emergensi, berawal ketika ahli anestesia mengurangi
obat dan pasien mulai sadar kembali. Pada saat ini, selang endotrakea juga
dilepas dan biasanya diganti dengan jalan napas oral. Komplikasi potensial
pada tahap ini adalah laringospasme, muntah, pernapasan lambat dan
gerakan refleks yang tidak terkendali.

Gambar 2.1
Intubasi Endotrakeal
4. Pasien yang memerlukan anestesia umum

Anestesi umum biasanya merupakan teknik pilihan untuk pasien-


pasien sebagai berikut:

a. Pasien-pasien yang mengalami prosedur pembedahan yang


memerlukan relakasasi otot rangka, berlangsung dalam periode waktu
yang lama, memerlukan posisi tertentu karena lokasi area insisi atau
memerlukan kontrol pernafasan.
b. Pasien-pasien yang sangat cemas
c. Pasien yang menolak atau mengalami kontraindikasi untuk teknik
anestesi lokal atau regional
d. Pasien yang tidak kooperatif karena status emosionalnya, kurang
matang/dewasa, intoksikasi, trauma kepala atau proses patofisiologis
yang tidak memungkinkannya untuk tetap imobilisasi selama periode
waktu yang lama (Maryunani Anik, 2014).

5. Masalah pernapasan pasca operatif yang potensial setelah pasca-


anestesia umum

Kerugian utama anestesi umum adalah mendepresi fungsi sistem


pernapasan dan sirkulasi. Mukus dapat terbentuk dan tetap di dalam paru
akibat efek anestesia dan analgetik. Obat-obat ini menekan kerja silia pada
membran mukosa yang melapisi saluran napas dan pusat pernapasan di
otak (Kozier, 2011). Berikut potensial masalah sistem pernapasan yang
bisa saja muncul saat setelah dilakukan anestesi sesudah tindakan operasi,
diantaranya:

Tabel 2.1 Masalah Pasca Operatif setelah Anestesi

Tanda Tindakan
Masalah Deskripsi Penyebab
klinis pencegahan
Pneumonia Inflamasi Infeksi, toksin
Peningkatan Latihan
pada alveoli atau iritan
suhu, batuk, napas dalam
menyebabkan
proses inflamasi
ekspektorasi dan batuk,
15

Pneumonia Mungkin Organisme sputum bergerak di


infeksius hanya umum bercampur tempat tidur,
terbatas termasuk darah atau ambulasi
pada satu Streptococcus sputum dini.
atau lebih pneumoniae, purulen,
lobus atau Haemaphillus dispneu,
terlihat influenza, dan nyeri dada
seperti Staphilococcus
bercak- aureus.
bercak yang
menyebar
di seluruh
lapang paru
Pneumonia Imobilitas dan
hipostatik gangguan
ventilasi
mengakibatkan
atelektasis dan
pertumbuhan
kuman patogen
Pneumonia Proses Aspirasi cairan
aspirasi inflamasi lambung,
akibat makanan, atau
iritasi pada zat lainnya.
jarignan Sering
paru oleh berkaitan
materi yang dengan
teraspirasi, hilangnya
terutama refleks gag
HCl dari
lambung
Atelektasis Kondisi Sumbatan Dispneu,
ketika mukus pada takipneu,
alveoli jalan napas takikardia,
kolaps dan bronkiolus, diaforesis,
tidak ekspansi paru ansietas,
mendapat tidak adekuat, nyeri pleura,
ventilasi analgesik, penurunan
imobilitas gerakan
dada, suara
napas
tumpul atau
tidak ada,
penurunan
saturasi
oksigen
16

Emboli Bekuan Stasis darah Nyeri dada Berbalik,


paru darah yang vena akibat mendadak, ambulasi,
bergerak ke imobilisasi, pendek stoking
paru dan cedera vena napas, antiemboli,
menyumbat akibat fraktur sianosis, alat
arteri atau selama syok. kompres.
pulmonal, pembedahan,
akibatnya penggunaan
aliran darah kontrasepsi
tersumbat oral tinggi
ke bagian esterogen,
paru masalah
koagulasi atau
gangguan
sirkulasi yang
ada
Sumber: Kozier, 2011

C. Aromaterapi Peppermint

1. Pengertian Aromaterapi

Aroma terapi berasal dari kata aroma yang berarti harum atau
wangi, dan therapy yang dapat diartikan sebagai cara pengobatan atau
penyembuhan. Sehingga aroma terapi dapat diartikan sebagai: “suatu cara
perawatan tubuh dan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan
minyak essensial” (Jaelani, 2017).

Aromaterapi adalah istilah modern yang dipakai untuk proses


penyembuhan kuno yang menggunakan sari tumbuhan aromatik murni.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan tubuh,
pikiran dan jiwa (Primadiati, 2002).

Aromaterapi bekerja pada tubuh secara alami dan menyeluruh


sehingga dapat mengaktifkan kekuatan penyembuhan yang dimiliki oleh
tubuh tersebut, selain membantu menyeimbangkan tubuh dan pikiran
perawatan aromaterapi merupakan upaya meningkatkan kualitas tubuh
baik dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh ataupun meminimalisasi
ganggguan atau masalah yang timbul sehingga proses penyembuhan akan
berlangsung lebih cepat (Primadiati, 2002).

2. Jenis aromaterapi

Menurut Jaelani (2017), penggunaan cara terapi yang tepat akan sangat
membantu daya kerja bahan aktif sealigus efisien dan akurat dalam
penggunaan sediaan aromaterapi. Berikut beberapa jenis penggunaan
aromaterapi:

a. Terapi secara internal (terapi melalui oral, terapi melalui inhalasi).


b. Terapi secara eksternal (terapi pemijatan, terapi air)

Terapi secara inhalasi sangat berguna untuk mengatasi dan


meringankan keadaan-keadaan yang berhubungan dengan kondisi
kesehatan seseorang. Khususnya penyakit yang berhubungan dengan
gangguan saluran pernapasan dan gangguan sistem tubuh lainnya. Adapun
maksud dari cara terapi ini adalah untuk menyalurkan khasiat zat-zat
dengan mengalirkan uap secara langsung atau melalui alat bantu seperti
tabung inhaler, spray, angli, lilin atau pemanas elektrik (Jaelani, 2017).

Metode dengan diffuser biasanya dilakukan untuk menenangkan


saraf atau mengobati masalah pernapasan dengan menyemprotkan
kandungan minyak essensial ke udara seperti pewangi ruangan. Dapat juga
dilakukan dengan meletakkan beberapa kaki minyak essensial dalam
diffuser dan nyalakan sumber pemanasnya. Letakkan 3 kaki dari diffuser
dan lakukan pengobatan selama 30 menit (Gaware,2013 ; Craig Hospital
2015)

Melalui penghirupan, sebagian molekul akan masuk ke dalam paru-


paru. Cara ini sangat dianjurkan untuk digunakan pada mereka yang
memiliki masalah gangguan pernapasan. Molekul aromatik akan diserap
oleh lapisan mukosa pada saluran pernapasan, baik pada bronkus maupun
pada cabang halusnya secara mudah. Pada saat terjadi pertukaran gas di
dalam alveoli, molekul kecil tersebut akan diangkut oleh sirkulasi darah di
dalam paru-paru. Pernapasan yang dalam akan meningkatkan jumlah
bahan aromatik ke dalam tubuh (Primadiati, 2002).

3. Minyak esensial

Minyak esensisal merupakan bahan baku utama untuk kepentingan


sediaan aromaterapi. Minyak esensial memiliki peran amat penting bagi
pengembangan kesehatan masa kini, yaitu sebagai sumber obat-obatan
alami yang aman dan murah. Tanaman dari daun yang menghasilkan
minyak esensial diantaranya:

a. Sirih (Pepper betle)


Daunnya mengandung senyawa aktif kadinen untuk mengatasi bau
badan, antiseptik, penyegar mulut dan mengobati batuk.
b. Pipermint (Mentha piperita)
Tanaman ini mengandung menthol 50%. Berguna sebagai bahan
antiseptik dan penyegar mulut serta pelega tenggorokan. Sebagai
bahan obat, pipermint sangat baik sebagai diaforetik, karminatif dan
ekspektoran, antara lain untuk mengatasi sakit tenggorokan, batuk
serta membantu proses berpikir.
c. Ekaliptus (Eucalyptus globules)
Daun mengandung senyawa sineola hingga 70%. Setelah diekstraksi
dapat menghasilkan minyak ekaliptus sebagai obat gosok untuk perut
kembung, pegal-pegal, rematik, demam dan sebagai anti nyamuk.
d. Kayu putih (Melaleuca leucandendron)
Dalam tanaman ini terdapat resin utuk berkhasiat sebagai pengobatan
sakit perut, masuk angin, pegal-pegal, kedinginan, linu, nyeri otot dan
mengusir nyamuk (Jaelani, 2017).
4. Bagian tumbuhan sebagai obat

Bentuk kekuatan lain dari tanaman berasal dari bagian daun. Daun
yang warnanya hijau mempunyai kekuatan yang lebih baik dibandingkan
daun lainnya yang warnanya bukan hijau. Daun berwarna hijau melakukan
proses fotosintesa dengan lebih intens sehingga aktivitas ektohormonalnya
lebih banyak diakukan untuk proses pematangan. Daun merupakan bagian
tumbuhan yang dapat menjaga keserasian lingkungannya dan mempunyai
sumber kekuatan untuk memekarkan bunga, bagian daun ini sangat
berkaitan erat dengan kepala sebagai pusat fungsi saraf pada tubuh
manusia (Jaelani, 2017).

5. Peppermint (Mentha Piperita)

Ada banyak jenis dari mint tetapi satu yang umum dipakai dalam
aromaterapi adalah peppermint (Mentha piperita) yang merupakan
cangkokan antara watermint dan spearmint (Balkam, 2001). Tanaman ini
memiliki bahan aktif menthol 50%. Berguna sebagai bahan antiseptik dan
penyegar mulut serta pelega tenggorokan. Sebagai bahan obat, peppermint
sangat baik sebagai diaforetik, karminatif dan ekspektoran antara lain
untuk mengatasi sakit tenggorokan dan batuk dalam Jaelani (2017). Sangat
baik untuk mengatasi gangguan pencernaan, batuk atau influenza
(Primadiati, 2002).

Tabel 2.2. Kandungan mentha piperita

No Kandungan Persentase %
1 Limonene 1-5
2 Cionele 3,5-14
3 Menthone 14-32
4 Menthofuran 1-9
5 Isomenthone 1,5-10
6 Mentyl-asetat 2,8-10
7 Isopulegol 0,2
8 Mentol 30-55
9 Pulegone 4
10 Carvone 1
Sumber: Loolaie, 2017

6. Manfaat menthol pada peppermint

Berguna untuk mengeluarkan gas (dalam perut);


mendorog/merangsang pikiran; membantu mengatasi masalah pencernaan;
menghilangkan nyeri; menurunkan demam; mengatasi kelancaran cairan
tubuh dengan urinas dan keutamaannya sebagai antiradang, antiseptik, anti-
kejang, antivirus, peringkas pori, deodoran dan pengencer dahak (Balkam,
2001).

Menurut ESCOP, terapi inhalasi minyak yang mengandung


menthol untuk membantu kongesti yang disebabkan oleh kedinginan,
dipecaya dapat memudahkan kongesti, membantu melancarkan
pernapasan. Sekretolitik dalam bronkus dan dekongestan pada hidung juga
membantu sistem pernapasan (European Medicines Agency, 2008).

Terapi inhalasi pepermint digunakan sebagai kongesti saluran


pernapasan (Rita dan Animesh, 2011). Menurut penelitian Alankar (2009),
minyak dari mentha piperita digunakan untuk mengatasi penyakit perut
tertentu seperti gangguan pencernaan, masalah pada gas, keasaman, dll.
Minyak tersebut merupakan sumber alami menthol yang merupakan
komposisi utama dari beberapa obat batuk, inhalasi dan salep. Pada terapi
inhalasi, minyak pepermint dapat membantu untuk meningkatkan
konsentrasi dan menstimulasi pikiran sebaik seperti membantu batuk, sakit
kepala dan nausea.

Dalam medis, menthol digunakan sebagai komposisi utama dan


secara luas digunakan sebagai kongesti sistem pernapasan (Loolaie dkk,
2017). Kegunaan mentol dalam pernapasan sudah ditinjau secara luas.
Menthol sering digunakan sebagai dekongestan hidung, meningkatkan
persepsi pola napas dan membuat seseorang merasa rileks setelah
menghirup menthol (Ahijevych dan Garret, 2004).

7. Dosis penggunaan minyak peppermint

Secara umum, dosis minyak esensial yang digunakan adalah 4 tetes


campuran 1-2 liter air panas (Primadiati, 2002). Pada terapi inhalasi, dosis
yang dianjurkan yaitu melarutkan 10-15 tetes minyak esensial murni ke
dalam 1 liter air mendidih untuk satu kali pemakaian (Jaelani 2017).

Menurut penelitian Alankar (2009), untuk terapi inhalasi berikan 3-


4 tetes ke dalam air panas, dengan rata-rata pemakaian 6-12 tetes per hari.
Untuk topikal nasal, berikan 1-5% minyak esensial menthol. Dalam jurnal
European Medicines Agency (2008), perhitungan dosis 1 mg menthol/kg
ditambahkan ke dalam air panas sebagai penguap.

Secara tradisional, 3-4 tetes minyak ditambahkan ke dalam air


panas dan dihirup untuk mengeluarkan sekret. Secara alternatif, 62,5 mg
menthol dalam 1 mL petrolatum diaplikasikan dan dihirup sebagai
dekongestan hidung (artikel Journal of Herbal Pharmacotherapy, 2008).

8. Kontraindikasi peppermint

Menurut penelitian Alankar (2009), kontraindikasi pada pasien


dengan obstruksi saluran empedu, inflamasi kandung empedu dan
kerusakan hati parah. Pada kasus batu empedu, hanya digunakan setelah
berkonsultasi pada ahlinya. Menthol, thymol dan methyl salisilat
menyebabkan penurunan tekanan darah, namun tidak memiliki efek pada
sistem respirasi, denyut nadi dan aliran darah dalam arteri femoralis atau
otot pencernaan (Rita dan Animesh, 2011). Kandungan pulegone dalam
peppermint telah dikonfirmasi dapat menyebabkan toksisitas liver dan
berakhir pada keracunan hati (EME/HMPC/2005 dalam EMA, 2008).
Selain itu juga dapat meningkatkan bilirubin (EMA, 2008). Percobaan
yang dilakukan kepada tikus, pulegone pada dosis 80-160 mg dalam 28
hari dapat menyebabkan perubahan pada liver diakibatkan terjadi
perubahan pada hepatoseluler tikus (Looaie, 2017). Hal ini menyebabkan
menthol tidak disarankan untuk pasien yang memiliki masalah pada
empedu dan liver.

9. Cara penghirupan menthol

Melalui penghirupan, sebagian molekul akan masuk ke dalam paru-


paru. Cara ini sangat dianjurkan untuk digunakan pada mereka yang
memiliki gangguan pernapasan. Molekul aromatik akan diserap oleh
lapisan mukosa pada saluran pernapasan, baik pada bronkus maupun pada
cabang halusnya (bronkioli) secara mudah.

Penggunaan minyak esensial secara inhalasi merupakan cara yang


cepat, sederhana dan efektif untuk mendapatkan manfaat pengobatan.
Beberapa jenis minyak yang selalu digunakan untuk penghirupan di
antaranya chamomile, minyak kayu putih, kemenyan, myrrh dan
pepermint. Metode inhalasi hanya boleh digunakan maksimal selama 30
detik. Seandainya tidak timbul masalah pada pemakaian pertama,
perpanjang lama pemakaian sampai satu menit untuk pemakaian
selanjutnya. Demikian seterusnya sampai maksimal 3-5 menit (Primadiati,
2002).

Menurut penelitian sebelumnya, Ahijevych (2004) telah diukur


inhalasi penguapan pada 31 subyek sebelum dan sesudah selama 5 menit
dengan menggunakan penguapan menthol.
D. Batuk Efektif

1. Definisi

Batuk dapat membantu mengeluarkan lendir yang tertahan pada


jalan napas. Batuk dalam dan produktif lebih menguntungkan daripada
membersihkan tenggorok (Potter dan Perry, 2006)

Batuk efektif merupakan suatu upaya untuk mengeluarkan dahak


dan menjaga paru-paru agar tetap bersih, disamping dengan memberikan
tindakan nebulizer dan postural drainage. Batuk efektif dapat diberikan
pada pasien dengan cara diberikan posisi yang sesuai agar pengeluaran
dahak dapat lancar. Batuk efektif ini merupakan bagian tindakan
keperawatan untuk pasien dengan gangguan pernapasan akut dan kronis
(Nugroho, 2011).

Batuk efektif adalah suatu metode batuk dengan benar dan pasien
dapat mengeluarkan dahak secara maksimal. Batuk dapat mengeluarkan
lendir yang tertahan pada jalan napas. Batuk dalam dan produktif lebih
menguntungkan daripada membersihkan tenggorok. Batuk yang dilakukan
secara berurutan tanpa henti membantu pengeluaran mukus lebih efektif
dan lengkap daripada hanya satu kali batuk yang kuat (Potter dan Perry,
2006).

2. Tujuan batuk efektif

Salah satu tujuan dari asuhan keperawatan praoperatif adalah untuk


mengajar pasien cara untuk meningkatkan ventilasi paru dan oksigenasi
darah setelah anestesi umum. Hal ini dicapai dengan memeragakan pada
pasien bagaimana melakukan napas dalam, kemudian perawat
memperagakan bagaimana garis insisi dapat dibebat sehingga tekanan
dapat diminimalkan dan nyeri terkontrol. Meletakkan jalinan tangan diatas
luka insisi dan bertindak sebagai bebat yang efektif ketika batuk. Selain
itu, pasien diinformasikan bahwa medikasi akan diberikan untuk
mengontrol nyeri (Brunner dan Suddarth dalam Smeltzer dan Bare, 2002).

Dengan meningkatkan ekspansi paru dan mencegah akumulasi


sekresi, napas dam dan batuk efektif membantu mencegah pneumonia dan
atelektasis, yang dapat terjadi akibat cairan statis cairan dalam paru
(Kozier, 2011).

Tujuan dalam meningkatkan batuk adalah memobilisasi sekresi


sehingga dapat dikeluarkan. Ketika dilakukan napas dalam sebelum batuk,
refleks batuk dirangsang. Jika pasien tidak dapat batuk secara efektif,
pneumonia hipostatik dan komplkasi paru lainnya dapat terjadi (Brunner
dan Suddarth dalam Smeltzer dan Bare, 2002).

Batuk yang dangkal tidak saja kurang efektif, tetapi bisa


melelahkan pasien. Pasien dengan pembedahan toraks dan abdominal
perlu diberitahu bahwa batuk yang dalam bisa menimbulkan nyeri, namun
ia akan diberi bantuan untuk mengurangi rasa nyeri. Pasien akan merasa
sangat terbantu apabila abdomen atau toraks dibelat dengan handuk atau
kain supaya ada sokongan ketika ia batuk dalam (Baradero dkk, 2009).

3. Latihan Batuk

Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama


klien yang mengalami operasi dengan anestesi general. Karena pasien
akan mengalami pemasangan alat bantu napas selama kondisi teranestesi.
Sehingga ketika sadar pasien akan mengalami rasa tidak nyaman pada
tenggorokan dengan terasa banyak lendir kental di tenggorokan. Latihan
batuk efektif sangat bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk
mengeluarkan lendir atau sekret tersebut (Maryunani Anik, 2014).

Napas dalam seringkali memancing refleksi batuk. Batuk volunter


setelah napas dalam memfasilitasi pergerakan dan ekpektorasi sekresi
saluran napas. Dorong klien untuk melakukan napas dalam dan latihan
batuk setiap jam, atau sedikitnya setiap dua jam, selama terjaga untuk
beberapa hari pertama. Klien dapat menahan area insisi menggunakan
bantal ketika batuk, atau perawat dapat membantu menahan insisi untuk
meredakan rasa tidak nyaman pada pasien (Kozier, 2011).

Pasien perlu diintruksikan untuk melakukan batuk efektif agar


sekret dapat dikeluarkan, instruksi akan dijelaskan secara bertahap.

a. Condong sedikit ke depan dari posisi duduk di tempat tidur, jalinkan


jari-jari tangan dan letakkan tangan melintang letak insisi untuk
bertindak sebagai bebat ketika batuk
b. Napas dengan diafragma
c. Dengan mulut agak terbuka, hirup napas dengan penuh
d. “Hak”kan keluar dengan keras dengan tiga kali napas pendek

Kemudian dengan mulut tetap terbuka, lakukan napas dalam dengan


cepat batuk dengan kuat satu atau dua kali. Hal ini membantu
membersihkan sekresi dari dada. Hal ini dapat menyebabkan
ketidaknyamanan tetapi tidak akan membahayakan insisi.

4. Penyulit batuk efektif

Batuk efektif bisa mengeluarkan sekresi. Batuk tidak danjurkan


untuk pembedahan otak, spinal dan mata karena bisa menambah tekanan
intrakranial dan tekanan intraokular (Baradero dkk, 2009).

Klien seringkali mengungkapkan alasannya setiap instruksi dan


latihan. Nyeri insisi pada pasca operatif membuat klien sulit batuk. Klien
harus mengantisipasi nyeri dan memahami pentingnya batuk. Perawat juga
mengajarkan klien agar menekan tempat insisi untuk meminimalkan nyeri
saat batuk (Potter dan Perry, 2006).

Menurut penelitian Budianto (2016), salah satu faktor adalah nyeri


operasi yang dialami responden, yang mengakibatkan responden takut
untuk batuk dan bergerak. Sebanyak 32,3% jumlah operasi terbanyak
adalah dibagian abdomen, dan diperkuat oleh teori Sjamsuhidajat (2004)
yang menyatakan bahwa pasca anestesi biasanya kemampuan batuk
menurun, lebih lagi pada pembedahan rongga perut, hal ini diperberat oleh
nyeri luka sehingga mudah terjadi penumpukan sekret yang dapat
menyebabkan atelektasis dan pneumonia.

Menurut penelitian Nugroho (2011), lebih dari 50% responden


kesulitan mengeluarkan dahak yang menumpuk di saluran pernapasan
dengan keadaan sesak, lemas dan susah untuk batuk yang memungkinkan
responden kesulitan untuk mengeluarkan dahak.

Masalah-masalah yang biasa terjadi berkaitan dengan pemberian


pendidikan kesehatan batuk efektif:

a. Pasien menolak berpartisipasi dalam pendidikan kesehatan


b. Pasien tidak mampu memahami penjelasan
c. Pasien menjadi marah
d. Pasien tidak dipersiapkan untuk pembedahan secara adekuat
e. Pasien menjadi depresi karena diliputi kecemasan dan perasaan tidak
berdaya (Maryunani Anik, 2014).

5. Dampak bila tidak melakukan batuk efektif

Perawat perlu meminta klien untuk melakukan latihan batuk dan


napas dalam. Hal ini mengurangi resiko atelektasis, kolaps atau
berkurangnya dara pada bagian paru akibat penumpukan mukosa atau
cairan (Potter dan Perry, 2006).

Dalam penelitian Nugroho (2011), dampak dari pengeluaran dahak


yang tidak lancar akibat ketidakefektifan jalan napas adalah penderita
mengalami kesulitan bernapas dan gangguan pertukaran gas di dalam paru
yang mengakibatkan timbulnya sianosis, kelelahan, apatis serta merasa
lemah. Dalam tahap selanjutnya akan mengalami penyempitan jalan napas
sehingga perlengketan jalan napas terjadi dan obtruksi jalan napas. Untuk
itu perlu bantuan untuk mengeluarkan dahak yang lengket sehingga
bersihan jalan napas kembali efektif.

Dalam penelitian Vidiany (2016), sekresi mukus yang berlebihan


pada pasien setelah operasi dapat menyebabkan peningkatan kolonisasi
bakteri serta menutup sebagian jalan udara yang kecil sehingga
menyebabkan ventilasi menjadi tidak adekuat dan gangguan pernapasan
yang mengakibatkan hipoventilasi, hiperkapnea dan hipoksemia.

6. Jenis-jenis teknik batuk efektif

Batuk efektif unutuk mempertahankan kepatenan jalan napas.


Keefektifan batuk klien dievaluasi dengan melihat apakah ada sputum cair,
laporan klien tentang sputum yang ditelan, atau terdengarnya bunyi napas
tambahan yang jelas saat klien diauskultasi. Klien yang memiliki sputum
dalam jumlah yang besar harus didorong untuk batuk setiap jam terjaga
dan setiap dua sampai tiga jam sat tidur samapi fase akut produksi lendir
berakhir. Teknik batuk mencakup teknik napas dalam dan batuk untuk
klien pasca operasi, batuk cascade, batuk huff dan batuk quad yang akan
dijelaskan sebagai berikut:

a. Napas dalam
Pasien diletakkan dalam posisi duduk untuk memberikan ekspansi paru
yang maksimum. Latihan napas dalam dapat membantu mengeluarkan
mukus yang dapat dibentuk dan tetap di dalam paru akibat efek
anestesia umum dan anelgesik. Klien dminta mengambil napas dalam
secara lambat dan menghirup napas melalui hidung. Setelah menahan
napas sampai hitungan ketiga dan perlahan-lahan hembuskan napas
melalui mulut ulangi sebanyak 3 sampai 5 kali (Potter dan Perry,
2006).
b. Batuk pasca operasi
Latihan batuk efektif juga sangat diperlukan bagi klien terutama klien
yang mengalami operasi dengan anestesi general dan sangat
bermanfaat bagi pasien setelah operasi untuk mengeluarkan lendir atau
sekret tersebut. Pasien melakukan napas dalam sebanyak 3-5 kali,
menambahkan bantal atau gulungan handuk yang lembut untuk
menahan area operasi untuk mengurangi guncangan pada tubuh dan
segera batukkan (Maryunani, A. 2014).
c. Batuk cascade
Dengan batuk cascade, klien mengambil napas dalam dengan lambat
dan menahannya selama dua detik sambil mengontraksikan otot-otot
ekspirasi. Kemudian klien membuka mulut dan melakukan
serangkaian batuk ekshalasi. Dengan demikian klien batuk pada
volume paru yang menurun secara progresif. Teknik ini meningkatkan
bersihan jalan napas dan meningkatkan kepatenan jalan napas pada
klien dengan volume sputum yang banyak.
d. Batuk huff
Batuk huff menstimulasi reflek batuk alamiah dan umumnya efektif
hanya untuk membersihkan jalan napas pusat. Saat mengeluarkan
udara, klien membukan glotis dengan mengatakan kata huff. Dengan
melakukan batuk ini, klien menghirup lebih banyak udara dan bahkan
mampu meningkat ke batuk cascade.
e. Batuk quad
Teknik batuk quad digunakan untuk klien tanpa kontrol otot abdomen,
seperti pada klien yang mengalami cedera medulla spinalis. Saat klien
mengeluarkan napas dengan upaya ekspirasi maksimal, klien atau
perawat mendorong ke luar dan ke atas pada otot-otot abdomen
melalui diafragma, sehingga menyebabkan batuk (Potter dan Perry,
2006).
E. Bersihan Jalan Napas

1. Definisi

Ketidakefektifan bersihan jalan napas adalah ketidakmampuan


membersihkan sekret atau sumbatan dari saluran pernapasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan napas (Kozier, 2011).

Ketidakefektifan bersihan jalan napas merupakan ketidakmampuan


untuk membersihkan sekret atau obstruksi dari saluran pernapasan untuk
mempertahankan kebersihan jalan napas (North American Nursing
Diagnosis Association, 2018).

Bersihan jalan napas tidak efektif adalah ketidakmampuan


membersihkan sekret atau obstruksi jalan napas untuk mempertahankan
jalan napas tetap paten (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017).

Penumpukan sekresi dapat menghambat jalan napas pada banyak


pasien. Perubahan pola pernapasan dan upaya bernapas menjadi
meningkat. Terdapat beberapa tindakan yang dapat digunakan untuk
mengencerkan sekresi. Melembabkan lingkungan dengan vaporizer
ruangan atau menghirup uap juga dapat mengencerkan sekresi dan
mengurangi inflamasi membran mukosa (Smeltzer dan Bare, 2002).

2. Penyebab bersihan jalan napas tidak efektif

Berikut beberapa penyebab bersihan jalan napas tidak efektif:

Tabel 2.3 Penyebab bersihan jalan napas tidak efektif

Fisiologis Situasional
a. Spasme jalan napas a. Merokok aktif
b. Hipersekresi jalan napas b. Merokok pasif
c. Disfungsi neuromuskuler c. Terpajan polutan
d. Benda asing dalam jalan napas
30

e. Adanya jalan napas buatan


f. Sekresi yang tertahan
g. Hiperplasia dinding jalan napas
h. Proses infeksi
i. Respon alergi
j. Efek agen farmakologis (misalnya
anestesi).
Sumber: Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia, 2017

3. Tanda dan gejala

Gejala dan tanda subjektif pada bersihan jalan napas yang tidak
efektif yaitu adanya dispneu, sulit bicara dan ortopneu. Sedangkan pada
gejala dan tanda objektif meliputi batuk yang tidak efektif, tidak mampu
batuk, sputum berlebih, mengi, wheezing dan /atau batuk kering, gelisah,
sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah dan pola napas
berubah (SDKI, 2017).

4. Tujuan Bersihan Jalan Napas

Tujuan bersihan jalan napas yaitu untuk mempertahankan jalan


napas paten dengan bunyi napas bersih atau jelas (Manurung dkk, 2009).

Membuang sekret adalah penting karena sekresi yang tertahan akan


mengganggu pertukaran gas dan dapat memperlambat pemulihan
(Smeltzer dan Bare, 2002).

5. Kriteria hasil jalan napas yang paten

Kriteria hasil untuk menghasilkan jalan napas yang paten yaitu

a. Batuk efektif dan mengeluarkan sekret


b. Frekuensi dan bunyi napas normal (Pada dewasa 12-20 kali per menit)
menurut (Manurung dkk, 2009).
31

Kriteria hasil status pernapasan: Jalan napas paten seperti ditandai dengan:

a. Demam tidak ada


b. Frekuensi pernapasan berada dalam rentang yang diharapkan
c. Sputum keluar dari jalan napas
d. Tidak ada bunyi napas tambahan (Kozier, 2011).

Sedangkan menurut Doenges (2015), hasil yang diharapkan atau


kriteria evaluasi kepatenan jalan napas adalah saluran trakeobronkial yang
terbuka dan bersih untuk pertukaran udara dengan perilaku klien:

a. Mempertahankan kepatenan jalan napas


b. Mengeluarkan atau membersihkan sekresi dengan mudah
c. Menunjukkan ketidakadaan atau penurunan kongesti dengan suara
napas bersih, pernapasan tidak bersuara, pertukaran oksigen
membaik (mis. tidak ada sianosis, hasil gas darah arteri dalam
batas normal klien)
d. Menyatakan pemahaman tentang penyebab dan program
penatalaksanaan terapeutik
e. Menunjukkan perilaku untuk memperbaiki atau mempertahankan
kebersihan jalan napas yang bersih
f. Mengidentifikasi komplikasi potensial dan cara memulai tindakan
preventif atau korektif yang tepat.

F. Penelitian Terkait

Nugroho dan Kristiani (2011), batuk efektif dalam pengeluaran


dahak pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan nafas di Instalasi
Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis Kediri. Analisa menggunakan
Wilcoxon dengan software computer diperoleh nilai p = 0,003. Nilai p <
0,05 artinya ada pengaruh yang signifikan sebelum dan sesudah pemberian
batuk efektif.
Edy Siswantoro (2015), pengaruh aroma terapi daun mint dengan
inhalasi sederhana terhadap penurunan sesak nafas pada pasien
tuberculosis paru di Puskesmas Sooko Mojokerto. Analisa menggunakan
Wilcoxon diperoleh data p value 0,008. Nilai p < 0,05 menunjukkan ada
pengaruh aromaterapi daun mint dengan inhalasi sederhana terhadap
penurunan sesak dan pada hasil uji Mann Whitney U menunjukkan p value
0,006 < 0,05 yang berarti ada beda antara nilai skala sesak nafas kelompok
kontrol tanpa diberikan aroma terapi daun mint dengan inhalasi sederhana.

Budianto dan Agustanti (2017), pengaruh edukasi batuk efektif


terhadap perilaku batuk efektif pasien post operasi dengan anestesi umum
di Rumah Sakit Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung. Analisa
menggunakan uji Wilcoxon diperoleh p-value sebesar 0,000. P < 0,05
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh antara pendidikan kesehatan
terhadap perilaku batuk efektif pasien post operasi dengan anestesi umum.
G. Kerangka Teori

Anestesi

Anestesi umum

Intervensi post-operasi:
Secara inhalasi dan
1. Penyuluhan
pasien/keluarga intravena
2. Pemeliharaan fungsi
pernapasan Jenis penggunaan
(pemeliharaan Depresi fungsi aromaterapi:
kepatenan jalan pernapasan
napas dan pertukaran 1. Terapi secara
gas) internal (oral,
3. Pemeliharaan inhalasi).
sirkulasi Menekan silia pada 2. Terapi secara
4. Pemeliharaan membran mukosa
keseimbangan cairan eksternal (pijat,
pada saluran napas air/hidrasi).
dan elektrolit
5. Pemeliharaan
termoregulasi
Terbentuk mukus dan
6. Peningkatan Manfaat terapi inhalasi
kenyamanan menetap di paru
peppermint:
7. Peningkatan
eliminasi urine. 1. Diaforetik
Pengeluaran sekret 2. Karminatif
3. Ekspektoran

Jalan napas bersih

Jalan napas paten

Gambar 2.2 Kerangka Teori


Sumber: Potter dan Perry (2006), Kozier (2011) dan Jaelani (2017)
dimodifikasi.
H. Kerangka Konsep

Kerangka konsep suatu penelitian adalah suatu uraian dan


visualisasi hubungan atau kaitan antara konsep satu terhadap konsep
lainnya, atau antara variabel satu dengan variabel yang lain dari masalah
yang ingin diteliti. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud kerangka
konsep penelitian adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep-konsep
atau variabel-variabel yang akan diamati melalui penelitian yang dimaksud
(Notoatmodjo, 2018).

Kerangka konsep pada penelitian yang berjudul “pengaruh batuk


efektif dan aromaterapi peppermint terhadap bersihan jalan napas post
operasi pasca general anastesi di ruang rawat inap bedah RSUD Abdoel
Moeoloek Provinsi Lampung” dapat dilihat pada gambar 2.3 dibawah ini

Bersihan jalan Batuk efektif Bersihan jalan


napas sebelum dan aromaterapi napas sesudah
eksperimen peppermint eksperimen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Anda mungkin juga menyukai