TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi operasi terbagi manjadi dua, yaitu operasi minor dan operasi mayor.
Operasi minor adalah operasi yang secara umum bersifat selektif, bertujuan untuk
memperbaiki fungsi tubuh, mengangkat lesi pada kulit dan memperbaiki
deformitas, contohnya pencabutan gigi, pengangkatan kutil, kuretase, operasi
katarak, dan arthoskopi. Operasi mayor adalah operasi yang bersifat selektif,
urgen dan emergensi. Tujuan dari operasi ini adalah untuk menyelamatkan nyawa,
mengangkat atau memperbaiki bagian tubuh, memperbaiki fungsi tubuh dan
meningkatkan kesehatan, contohnya kolesistektomi, nefrektomi, kolostomi,
histerektomi, mastektomi, amputasi dan operasi akibat trauma (Brunner &
Sudarth 2010).
8
9
Tahapan operasi yaitu pre operasi, intra operasi dan post operasi. Preoperasi
merupakan masa sebelum dilakukannya tindakan pembedahan yang dimulai sejak
ditentukannya persiapan pembedahan dan berakhir sampai pasien berada di meja
bedah (Hidayat, 2006). Intra Operasi yaitu tahap yang dimulai setelah pasien
dipindahkan ke meja operasi dan berakhir ketika pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. Aktivitas di ruang operasi difokuskan untuk perbaikan, koreksi atau
menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien tanpa
mengenyampingkan psikologis pasien. Diperlukan kerjasama yang sinergis antar
anggota tim operasi yang disesuaikan dengan peran dan tanggung jawab masing-
masing. Salah satu peran dan tanggung jawab perawat adalah dalam hal posisi
pasien yang aman untuk aktifitas pembedahan dan anestesi. Post operasi adalah
masa setelah dilakukan pembedahan yang dimulai saat pasien dipindahkan ke
ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi selanjutnya (Uliyah & Hidayat,
2008).
Pasien anak post operasi sering mengalami nyeri akibat diskontinuitas jaringan
atau luka operasi akibat insisi pembedahan serta akibat posisi yang dipertahankan
selama prosedur pasca operasi sendiri. Dari segi penderita, timbulnya dan
beratnya rasa nyeri pasca bedah dipengaruhi fisik, psikis atau emosi, karakter
individu dan sosial kultural maupun pengalaman masa lalu terhadap rasa nyeri
(Widya, 2010). Anak belum bisa mengungkapkan nyeri, sehingga perawat harus
mengkaji respon nyeri pada anak. Pada orang dewasa kadang melaporkan nyeri
jika sudah patologis dan mengalami kerusakan fungsi (Tamsuri, 2007).
Menurut Mc. Caffery (dalam Tamsuri, 2006) teknik yang diterapkan dalam
mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan
pengobatan (farmakologis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa pengobatan).
Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik),
nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti- Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta ko-
analgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivat dari opium
seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan
member efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan
reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate seperti mu, delta, dan alpa) dan
mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat.
Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau sumber yang dapat
diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi nyeri dihubungkan dengan status
mental atau status psikologis, pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam
banyak hal dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi nyeri
adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional (Potter &
Perry, 2005). Berdasarkan definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa nyeri
adalah suatu pengalaman sensori yang tidak menyenangkan dan menyakitkan bagi
tubuh sebagai respon karena adanya kerusakan atau trauma jaringan maupun
gejolak psikologis yang diungkapkan secara subjektif oleh individu yang
mengalaminya.
c. Temperamen
Temperamen memainkan peran penting dalam dalam dalam memprediksi tingkat
distresdan nyeri pada anak selama kejadian yang menimbulkan nyeri (Ranger &
Campbell, 2008). Misalnya anak dengan “temperamen yang sulit” lebih
cenderung memiliki peningkatan respon distress terhadap nyeri. Perawat dapat
melakukan intervensi personal dalam tatanan klinik dan selama pengalaman nyeri
untuk menyesuaikan dengan temperamen anak dan ancaman kepribadian lain
pada anak dan keluarga.
f. Faktor Situasional
Faktor situasional melibatkan faktor atau elemen yang berinteraksi dengan anak
dan situasi anak saat ini yang berkaitan dengan pengalaman nyeri. Faktor ini
sangat beragam dan bergantung pada situasi yang spesifik. Faktor situasional hasil
dari konteks ketika anak mengalami nyeri dan mencakup kognitif mengenai apa
yang dipahami dan diyakini anak mengenai pengalaman nyeri; perilaku adalah
cara anak dan keluarga bereaksi dan apa yang mereka lakukan mengenai
pengalaman nyeri; dan emosi, adalah cara anak dan keluarga rasakan tentang
pengalaman nyeri (Crowell, 2009).
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung selama lebih dari 6 bulan. Nyeri
kronik berlangsung di luar waktu penyembuhan yang diperkirakan, karena
biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan
pada penyebabnya. Jadi nyeri ini biasanya dikaitkan dengan kerusakan jaringan
(Guyton & Hall, 2008). Nyeri kronik mengakibatkan supresi pada fungsi sistem
imun yang dapat meningkatkan pertumbuhan tumor, depresi, dan
ketidakmampuan.
b. Nyeri Neuropatik
Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf. Nyeri neuropatik
terasa seperti terbakar kesemutan dan hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin.
Nyeri spesifik terdiri atas beberapa macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang
umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superficial) pada otot
dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri menjalar (referred pain) yaitu nyeri yang
dirasakan di bagian tubuh yang jauh letaknya dari jaringan yang menyebabkan
rasa nyeri, biasanya dari cidera organ visceral. Sedangkan nyeri visceral adalah
nyeri yang berasal dari bermacam-macam organ viscera dalam abdomen dan dada
(Guyton & Hall, 2008).
Proses ketiga adalah modulasi yaitu aktivitas saraf yang bertujuan mengontrol
transmisi nyeri. Suatu senyawa tertentu telah diternukan di sistem saraf pusat yang
secara selektif menghambat transmisi nyeri di medulla spinalis. Senyawa ini
diaktifkan jika terjadi relaksasi atau obat analgetika seperti morfin (Dewanto,
2003).
Proses terakhir adalah persepsi, proses impuls nyeri yang ditransmisikan hingga
menimbulkan perasaan subyektif dari nyeri sama sekali belum jelas. Bahkan
struktur otak yang menimbulkan persepsi tersebut juga tidak jelas. Sangat
disayangkan karena nyeri secara mendasar merupakan pengalaman subyektif yang
dialami seseorang sehingga sangat sulit untuk memahaminya (Dewanto, 2003).
Nyeri diawali sebagai pesan yang diterima oleh saraf-saraf perifer. Zat kimia
(substansi P, bradikinin, prostaglandin) dilepaskan, kemudian menstimulasi saraf
perifer, membantu mengantarkan pesan nyeri dari daerah yang terluka ke otak.
Sinyal nyeri dari daerah yang terluka berjalan sebagai impuls elektrokimia di
sepanjang nervus ke bagian dorsal spinal cord (daerah pada spinal yang menerima
sinyal dari seluruh tubuh). Pesan kemudian dihantarkan ke thalamus, pusat
sensoris di otak di mana sensasi seperti panas, dingin, nyeri, dan sentuhan pertama
kali dipersepsikan.Pesan lalu dihantarkan ke cortex, di mana intensitas dan lokasi
nyeri dipersepsikan.
Penyembuhan nyeri dimulai sebagai tanda dari otak kemudian turun ke spinal
cord. Di bagian dorsal, zat kimia seperti endorphin dilepaskan untuk mcngurangi
nyeri di daerah yang terluka (Potter & Perry, 2005). Di dalam spinal cord, ada
gerbang yang dapat terbuka atau tertutup. Saat gerbang terbuka, impuls nyeri
lewat dan dikirim ke otak. Gerbang juga bisa ditutup. Stimulasi saraf sensoris
dengan cara menggaruk atau mengelus secara lembut di dekat daerah nyeri dapat
menutup gerbang sehingga rnencegah transmisi impuls nyeri. Impuls dari pusat
juga dapat menutup gerbang, misalnya motivasi dari individu yang bersemangat
ingin sembuh dapat mengurangi dampak atau beratnya nyeri yang dirasakan
(Potter & Perry, 2005).
Kozier, dkk. (2009) mengatakan bahwa nyeri akan menyebabkan respon tubuh
meliputi aspek pisiologis dan psikologis, merangsang respon otonom (simpatis
dan parasimpatis respon simpatis akibat nyeri seperti peningkatan tekanan darah,
peningkatan denyut nadi, peningkatan pernapasan, meningkatkan tegangan otot,
dilatasi pupil, wajah pucat, diaphoresis, sedangkan respon parasimpatis seperti
nyeri dalam, berat , berakibat tekanan darah turun nadi turun, mual dan muntah,
kelemahan, kelelahan, dan pucat .
Kasus nyeri yang parah dan serangan mendadak merupakan ancaman yang
mempengaruhi manusia sebagai sistem terbuka untuk beradaptasi dari stressor
yang mengancam dan menganggap keseimbangan. Hipotalamus merespon
terhadap stimulus nyeri dari reseptor perifer atau korteks cerebral melalui sistem
hipotalamus pituitary dan adrenal dengan mekanisme medula adrenal hipofise
untuk menekan fungsi yang tidak penting bagi kehidupan sehingga menyebabkan
hilangnya situasi menegangkan dan mekanisme kortek adrenal hipofise untuk
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dan menyediakan energi
kondisi emergency untuk mempercepat penyembuhan. Apabila mekanisme ini
tidak berhasil mengatasi stressor (nyeri) dapat menimbulkan respon stress seperti
turunnya sistem imun pada peradangan dan menghambat penyembuhan dan kalau
makin parah dapat terjadi syok ataupun perilaku yang meladaptif (Potter & Perry,
2005).
Kontrol nyeri post operasi sangat penting untuk dilakukan karena dapat
mengurangi kecemasan, bernafas menjadi lebih mudah dan dalam serta dapat
mentoleransi mobilisasi yang cepat. Nyeri post operasi merupakan komplikasi
bermakna pada sebagian besar pasien, terutama pada pasien anak.
Orang tua dalam hal ini memiliki peranan yang sangat penting dalam mengkaji
nyeri pada anak. Orang tua yang lebih sering memberikan informasi mengenai
pengalaman anak terhadap respon nyeri yng dialami. Melibatkan orang tua dalam
pengkajian mampu menciptakan pengalaman positif terhadap anak. Pertanyaan
yang diajukan ke orang tua memiliki fokus yang sama seperti pada pertanyaan
yang diajukan kepada anak. Bagaimanapun informasi yang lebih rinci didapat dari
orang tua karena mampu menjelasakan secara lengkap dan detail akibat tingkat
kognitif yang lebih tinggi dan orang tua paling mengetahui tentang anaknya.
Hasil pengkajian nyeri pada anak akan akurat apabila perawat dalam melakukan
pengkajiannya menggunakan berbagai strategi. Misalnya, strategi dalam
penggunaan skala nyeri, pengamatan perilaku, pengamatan respon psikologik, dan
komunikasi (Engel, 2009). Prosedur pengkajian pada anak meliputi: riwayat nyeri
anak, laporan nyeri dari anak itu sendiri, observasi langsung, laporan dari orang
yang selalu berada disampingnya (orang tua/primary care giver), indikator
fisiologik, dan respon terhadap pemberian anlgetik. Tindakan menurunkan rasa
takut, serta penggunaan tehnik farmakologis dan non farmakologis merupakan
sebuah intervensi untuk mengendalikan dan meredakan nyeri (Oman, McLain, &
Scheetz, 2008). Oleh sebab itu pengkajian anak dibedakan berdasarkan usia dan
perkembangan kognitifnya.
Gambar 2.3 Skala Penilaian Nyeri Oucher. (digunakan atas izin Beyer, J.E., Denyes, M.J., &
Villaruel, A.M (1992) . The Creation, validation, and continuing development of
the Oucher: A measure of pain intensity in children. Journal of Pediatric Nursing,
7(5), 335-346.)
Jika anak sadar, observasi selama 2 hingga 5 menit; jika tidur, observasi anak
selama 5 menit atau lebih. Setiap parameter diberi nilai 0,1, atau 2. Nilai ini
dijumlahkan, dengan nilai maksimal yang dapat dicapai adalah 10. Sama seperti
alat pengkajian lain, nilai yang lebih tinggi menunjukkan nyeri semakin hebat.
Ukuran skor nyeri “0” yang artinya tidak nyeri. Skor nyeri ringan 1-3, nyeri
sedang 4-6 dan nyeri berat 7-10.
Kemampuan
untuk dapat Senang, rileks 0
dihibur Ditegaskan dengan terkadang menyentuh, memeluk, atau 1
berbicara dapat dialihkan
Sulit untuk dihibur atau sulit untuk nyaman 2
2) Distraksi
Distraksi melibatkan anak untuk fokus pada stimulus lain, dengan demikian
berusaha untuk melindungi klien dari nyeri. Penelitian menunjukkan bahwa
distraksi menjadi intervensi penting secara statistik dan klinis dalam
mengurangi nyeri. Metode ini lebih hemat waktu dan biaya (Cohan, 2007).
Teknik ini tidak menghilangkan nyeri, tetapi membuat nyeri menjadi lebih
ditoleransi. Beragam metode dapat digunakan untuk distraksi, antara lain :
menghitung, mengulang frase atau kata tertentu, seperti “ouch”,
mendengarkan musik atau bernyanyi, bermain game, termasuk game yang ada
dikomputer dan video game, meniup gelembung atau meniup pinwheel
mendengar cerita kesukaan, menonton kartun atau film. Pastikan setiap
permainan disesuaikan dengan usia anak dan menetukan siapa yang akan
membuat anak tertawa.
3) Imajinasi
Imajinasi melibatkan penggunaan imajinasi untuk menciptakan gambaran
mental. Gambaran mental ini biasanya gambar yang positif dan
menyenangkan, tetapi tidak perlu nyata. Anak didorong untuk menyertakan
detail dan sensasi yang berkaitan dengan gambar, seperti penjelasan khusus
gambar, warna, suara, perasaan dan bau. Pada beberapa keadaan, anak dapat
menulis atau merekam gambar pada kaset atau compact disc. Ketika nyeri
terjadi, anak dimotivasi untuk menciptakan gambaran mental atau membaca
atau mendengarkan penjelasan.
4) Biofeedback
Biofeedback meminta anak memperoleh kesadaran mengenai fungsi tubuhnya
dan mempelajari cara untuk memodifikasinya secara volunter. Anak biasanya
memikirkan keterampilan khusus mengenai cara memodifikasi fungsi tubuh
menggunakan alat yang mengukur perubahan terkait nyeri pada tonus otot
atau data psikologis, seperti tekanan darah atau denyut nadi. Pembelajaran ini
biasanya dilakukan oleh perawat dan terjadi selama lebih dari beberapa sesi,
seiring dengan peningkatan nyeri. Dengan praktik, anak mulai belajar
mengendalikan perubahan tanpa alat.
5) Thought Stopping
Thought stopping berarti mengganti pengalaman nyeri dengan pikiran positif
yang menyenangkan. Contoh pikiran positif, “ini hanya sebentar saja”, hal ini
penting sehingga saya menjadi lebih baik”. Though stopping juga mencakup
frase pendek dan positif. Though stopping adalah metode yang bergunauntuk
mengurangi ansietas sebelum dan selama nyeri berlangsung dan dapat
meningkatkan rasa kendali anak terhadap situasi tersebut.
Panas menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran darah ke area. Hal ini
juga menyebabkan penurunan stimulasi nosiseptif dan memindahkan zat kimia
yang dapat menstimulasi serabut nosiseptif. Peningkatan aliran darah
mengubah permeabilitas kapiler, menyebabkan pengurangan edema dan
tekanan pada serabut saraf nosiseptif. Panas juga dapat memicu pelepasan
opioid endogen yang menjadi perantara respon nyeri.
a. Analgesik Nonopioid
Obat-obatan analgesik nonopioid yang paling umum digunakan diseluruh dunia
adalah aspirin, paracetamol, dan OAINS, yang merupakan obat-obatan utama
untuk nyeri ringan sampai sedang. Aspirin adalah analgesik yang efektif dan
tersedia secara luas di seluruh dunia. Obat ini dikonsumsi per oral dan bekerja
cepat karena segera dimetabolisme menjadi asam salisilat yang memiliki sifat
analgesik dan, mungkin, anti-inflamasi. Dalam dosis terapeutik, asam salisilat
memiliki waktu paruh hingga 4 jam. Eksresinya tergantung oleh dosis, sehingga
dosis tinggi akan mengakibatkan obat diekskresi lebih lambat. Durasi kerja aspirin
dapat berkurang apabila diberika bersama-sama dengan antasida. Dosis berkisar
dari minimal 500 mg peroral, setiap 4 jam hingga maksimum 4 g, peroral perhari.
Aspirin memiliki efek samping yang cukup besar pada saluran pencernaan,
menyebabkan mual, gangguan dan perdarahan gastrointestinal akibat efek
antiplateletnya yang irreversibel. Karena alasan ini, penggunaan aspirin untuk
pain relief pascaoperasi harus dihindari apabila masih tersedia obat-obatan
alternatif lainnya.
Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS) memiliki dua efek, analgesik dan
antiinflamasi. Mekanisme kerjanya didominasi oleh inhibisi sintesis prostaglandin
oleh enzim cyclo-oxygenase yang mengkatalisa konversi asam arakidonat menjadi
prostaglandin yang merupakan mediator utama peradangan. Semua OAINS
bekerja dengan cara yang sama dan karenanya tidak ada gunanya memberi lebih
dari satu OAINS pada satu waktu. OAINS pada umumnya, lebih berguna bagi
rasa sakit yang timbul dari permukaan kulit, mukosa buccal, dan permukaan sendi
tulang.
b. Analgesik Opioid
Analgesik opioid biasanya digunakan untuk nyeri sedang hingga berat.
Analgesik ini diklasifikasikan sebagai agonis ketika opioid ini bertindak
sebagai neurotransmitter pada sisi reseptor atau antagonis ketika menghambat
kerja pada sisi reseptor. Agen opioid yang bekerja sebagai agonis, antara lain
morphine, codeine, fentanyl, meperidin, hidromorfon, oksikodon, dan
hidrokodon. Opioid itu sendiri terbagi menjadi opioid lemah dan kuat.
1) Opioid Lemah
a. Codeine
Merupakan opioid lemah yang berasal dari opium alkaloid (seperti
morphine). Codeine kurang aktif daripada morphine, memiliki efek yang
dapat diprediksi bila diberikan secara oral dan efektif terhadap rasa sakit
ringan hingga sedang. Codeine dapat dikombinasikan dengan
parasetamol tetapi harus berhati-hati untuk tidak melampaui
maksimum dosis yang dianjurkan bila menggunakan kombinasi
parasetamol tablet. Dosis berkisar antara 15 mg – 60 mg setiap 4 jam
dengan maksimum 300 mg setiap hari. Dextropropoxyphene secara
struktural berkaitan dengan metadon tetapi memiliki sifat analgesik yang
relatif miskin. Hal ini sering dipasarkan dalam kombinasi dengan
parasetamol dan kewaspadaan yang sama seperti codeine harus diawasi.
Dosis berkisar dari 32.5mg (dalam kombinasi dengan parasetamol)
sampai 60 mg setiap 4 jam dengan maksimum 300 mg setiap hari.
Kombinasi opioid lemah dan obat-obatan yang bekerja di perifer sangat
berguna dalam prosedur pembedahan kecil di mana rasa sakit yang
berlebihan tidak diantisipasi sebelumnya atau untuk rawat jalan
digunakan: Parasetamol 500 mg / codeine 8 mg tablet, 2 tablet setiap 4
jam sampai maksimum 8 tablet perhari. Apabila analgesia tidak
mencukupi Parasetamol 1g secara oral dengan Codeine 30 sampai 60 mg
setiap 4-6 per jam sampai maksimum 4 dosis dapat digunakan.
b. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgesik sentral dengan afinitas rendah pada
reseptor dan kelemahan analgesiknya 10-20 % dari morphine. Tramal
dapat diberikan secara oral dan dapat diulang setiap 4-6 jam dengan dosis
maksimal 400 mg per hari.
2) Opioid Kuat
Nyeri hebat yang berasal dari organ dalam dan struktur viseral
membutuhkan opioid kuat sebagai analgesianya. Rute oral mungkin
tersedia pada pasien yang telah sembuh dari pembedahan mayor
sehingga opioid kuat seperti morphine dapat digunakan karena morphine
sangat efektif per oral. Bila pasien tidak dapat mengkonsumsi obat melalui
rute oral cara pemberian lain harus dilakukan yaitu intramuskular.
a. Morphine
Morphine paling larut dalam air dibandingkan golongan opioid lainnya
dan kerja analgesiknya cukup panjang (long acting). Morphine memiliki
dua sifat yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) yaitu depresi
(analgesi, sedasi, perubahan emosi dan hipoventilasi alveolar) dan
stimulasi (stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiperaktif refleks
spinal, konvulsi dan sekresi hormon anti diuretik / ADH). Morphine juga
menyebabkan hipotensi ortostatik. Kontra indikasi pemakaian morphine.
pada kasus asma dan bronkitis kronis karena efek bronko kontriksinya.
Efek sampingnya juga menyebabkan pruritus, konstipasi dan retensio urin.
Morfin dapat diberikan secara sub kutan, intra muskular, intra vena,
epidural dan intra tekal. Dosis anjuran untuk mengurangi nyeri sedang
adalah 0,1-0,2 mg/kgBB secara sub kutan, intra muskular dan dapat
diulang tiap 4 jam. Untuk nyeri hebat dewasa dapat diberikan 1-2 mg intra
vena dan diulang sesuai kebutuhan. Untuk megurangi nyeri dewasa paska
bedah dan nyeri persalinan digunakan dosis 2-4 mg epidural atau 0,05-0,2
mg intra tekal, dan ini dapat diulang antara 6-12 jam.
b. Petidin
Petidin (meperidin, Demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat
berbeda dengan morfin, tetapi memiliki efek klinik dan efek samping yang
mendekati asma. Perbedaan dengan morfin adalah sebagai berikut:
Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih
larut dalam air.
1. Metabolisme oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin,
asam meperidinat dan asam normeperidinat.
2. Petidin bersifat seperti atropin menyebabkan kekeringan mulut,
kekaburan pandangan, dan takikardi.
3. Seperti morfin, dapat menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap
sfingter Oddi lebih ringan.
4. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetar pasca bedah yang
tidak ada hubungan dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada
dewasa. Sedangkan morfin tidak.
5. Lama kerja petidin lebih pendek daripada morfin.
c. Fentanyl
Fentanyl adalah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100 kali
morfin, lebih larut dalam lemak dan menembus sawar jaringan dengan
mudah. Efek depresi nafas lebih lama dibandingkan dengan efek
analgesiknya. Dosis 1-3 µg/kgBB analgesiknya berlangsung kira-kira 30
menit, karena itu hanya digunakan untuk anestesi pembedahan dan tidak
untuk pasca bedah.