Anda di halaman 1dari 7

Air Sisa Minuman

Maksudnya adalah air yang masih tersisa dalam bejana setelah diminum. Jenis air
semacam ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
1. Air sisa minuman manusia
Air sisa minuman manusia tetap suci, baik yang meminumnya orang Muslim, kafir,
sedang junub maupun sedang haid.
Allah swt. berfirman,

‫س‬ ‫جَن‬ ‫ن‬


َ ‫و‬‫ك‬ُ ِ
‫ر‬ ‫ش‬ ‫م‬ْ‫ل‬ ‫ا‬ ‫ا‬َ ِ‫ا‬...…
‫مَّن‬
ٌَ ْ ُ ْ
“Sesunggulnya orang-orang yang musyrik itu najis." (At-Taubah [9]:28)
Ayat ini menunjukkan bahwa orang musyrik adalah najis secara ma’nawi. Hal ini
karena dilihat dari aspek akidah mereka yang batil dan ketidakpeduliannya pada kotoran dan
najis, bukan badan atau tubuh mereka yang najis. Pada masa Rasulullah saw., mereka
diperbolehkan berinteraksi dengan kaum Muslimin. Utusan dan delegasi mereka terus
berdatangan menemui Rasulullah saw.. Bahkan ada di antara mereka yang diperkenankan
memasuki Masjid Nabawi. Meskipun demikian, Rasulullah saw. tidak pernah menyuruh agar
membasuh benda yang disentuh oleh anggota tubuh orang-orang kafir. Hal ini menjadi
landasan bahwa (badan) orang-orang kafir tidak najis. Sedangkan dalil yang menyatakan
bahwa air sisa minuman perempuan haid tidak najis adalah hadits Aisyah ra., ia berkata,
ُ
‫ض ُع َف اهُ َع َلى‬ ِ ‫ َفأ َن‬، ٌ‫ت أَ ْش َربُ َوأَ َن ا َح ا ِئض‬
َ ‫اولُ ُه ال َّن ِبيَّ ص لى هللا علي ه وس لم َف َي‬ ُ ‫ُك ْن‬
َّ‫َم ْوضِ ِع فِي‬
“Saya pernah meminum air ketika sedang luaid. Kemudian saya berikan bekas
minuman itu kepada Nabi Muhammad saw., beliau terus menempelkan mulutnya pada
tempat di mana aku menempelkan mulutku," HR Muslim

2. Air sisa minuman hewan yang halal dagingnya


Status air sisa yang telah diminum hewan yang boleh dimakan dagingnya adalah suci.
Sebab, air liurnya keluar dari daging yang suci. Dengan demikian, air sisa minumnya pun
tetap suci. Abu Bakar bin Mundzir berkata, “Para ulama sepakat (ijma') bahwa air sisa
minuman hewan yang halal dimakan dagingnya dapat diminum dan digunakan untuk
berwudhu.

3. Air sisa minuman keledai, burung dan binatang buas


Status sisa air minuman keledai, burung dan binatang buas adalah suci. Adapun
dalilnya adalah hadits Jabir ra. Rasulullah saw. pernah ditanya,

‫ت ْال ُح ُمرُ؟‬ َ ‫أَ َن َت َوضَّأ ُ ِب َما أَ ْف‬


ِ َ‫ضل‬
"Bolehkah kami berwudhu dengan air sisa minuman keledai?'
Beliau menjawab,

‫ت ال ِّس َبا ُع ُكلُّ َها‬ َ ‫َن َع ْم َو ِب َما أَ ْف‬


ِ َ‫ضل‬
‘Boleh. Begitu juga dengan air sisa minuman seluruh binatang buas." HR Syafi'i,
Daruquthni dan Baihaki
Baihaki berkata, jalur riwayat hadits ini banyak, dan antara yang satu dengan lainnya saling
menguatkan. Dari Ibnu Umar ra., ia berkata, “Pada suatu malam, Rasulullah saw: bepergian.
Beliau melewati seorang laki-laki yang sedang duduk dekat telaga miliknya. Umar bertanya,
“Apakah ada binatang buas yang minum air di telagamu pada malam hari?' Rasulullah saw.
langsung menyela pertanyaannya seraya berkata, “Wahai pemilik telaga, jangan kamu beri
tahu kepadanya, karena akan menyusahkan! Air yang sudah diminum binatang buas, itulah
rezekinya, sedangkan sisanya dapat kita minum dan suci.”' HR Daruquthni.
Dari Yahya bin Sa'id, ia berkata, “Umar pergi bersama rombongan dan ‘Amar bin
'Ash termasuk dalam rombongan itu, hingga mereka sampai di sebuah telaga. ‘Amar
bertanya, “Wahai pemilik kolam, apakah kolam milikmu ini pernah didatangi binatang buas
(untuk meminum airnya?)' Mendengar itu, Umar berkata, “Kamu tidak perlu
memberitahukan perkara itu kepada kami. Sebab, kami biasa minum di tempat minumnya
binatang buas, dan sebaliknya, binatang juga sering minum di tempat kami meminum.” HR
Malik.

4. Air sisa minuman kucing


Air sisa minuman kucing statusnya juga suci. Sebagai landasan atas hal tersebut
adalah hadits Kabsyah binti Ka'ab yang menjadi pelayan Abu Qatadah. Pada suatu ketika,
Abu Qatadah masuk ke rumahnya, sedangkan Kabsyah menyediakan air wudhu untuk Abu
Qatadah. Dengan tiba-tiba, seekor kucing datang lalu memasukkan kepalanya ke dalam
bejana dan meminum air tersebut. Kabsyah menceritakan, “Melihat hal itu, saya hanya
tertegun kebingungan.” Melihat Kabsyah dalam kebingungan, Abu Qatadah menegur,
“Apakah kamu merasa heran, wahai anak saudaraku?"
“Benar," jawab Kabsyah.
Abu Qatadah lantas berkata, sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda,

َّ ‫ِين َع َل ْي ُك ْم َو‬
ِ ‫الطوَّ ا َفا‬
‫ت‬ َّ ‫س إِ َّن َها م َِن‬
َ ‫الطوَّ اف‬ ٍ ‫ت ِب َن َج‬ َ ‫إِ َّن َها َلي‬
ْ ‫ْس‬
“Sesungguhnya Ia (kucing) bukanlah hewan najis. In termasuk hewan jinak yang
senantiasa berada di sekelilingmu." HR Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dan Nasai.
Imam Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan sahih” Bahkan, Imam Bukhari dan
yang lainya mengategorikannya sebagai hadits sahih.

5. Air sisa minuman anjing dan babi


Air sisa minuman anjing dan babi adalah najis dan harus dijauhi. Adapun dalil atas
kenajisannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. bersabda,

‫ب ْال َك ْلبُ فِي إِ َنا ِء أَ َح ِد ُك ْم َف ْل َي ْغسِ ْل ُه َس ْبعًا‬


َ ‫إِ َذا َش ِر‬
"Jika anjing meminum (air) dalam bejana salah seorang dari kalian, hendaknya ia
mencucinya sebanyak tujuh kali'."
Imam Ahmad dan Muslim juga meriwayatkan dengan redaksi,

ِ ‫ت أُواَل هُنَّ ِبال ُّت َرا‬


‫ب‬ ٍ ‫طهُو ُر إ َنا ِء أَ َح ِد ُك ْم إ َذا َو َل َغ فِي ِه ْال َك ْلبُ أَنْ َي ْغسِ َل ُه َسب َْع َمرَّ ا‬
ُ
“Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dengan
mencucinya sebanyak tujuh kali, yang salah satunya harus menggunakan debu."
Sebagai alasan atas kenajisannya adalah karena binatang ini kotor dan menjijikkan.

An-Najâsah (Najis)
Najis adalah kotoran yang diwajibkan bagi setiap Muslim untuk membersihkan dan
mensucikan darinya jika mengenai sesuatu. Allah berfirman,

‫ك َف َطه ِّۡر‬
َ ‫َو ِث َيا َب‬
“Dan pakaianmu bersihkanlah.” (Al-Mudatstsir [74] : 4)
Juga dalam firman-Nya,

‫اِنَّ هّٰللا َ ُيحِبُّ ال َّت َّو ِاب ۡي َن َو ُيحِبُّ ۡال ُم َت َطه ِِّر ۡي َن‬
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang taubat dan menyukai orang-orang
yang mensucikan diri.” (Al-Baqarah [2] : 222)
Rasulullah saw. bersabda,

ْ ُّ
ِ ‫الطه ُْو ُر َشط ُر ْا‬
ِ ‫إل ْي َم‬
‫ان‬
“Bersuci adalah sebagian dari iman."
Terkait dengan najis, ada beberapa permasalahan yang akan diuraikan lebih detail
sebagaimana berikut:

Jenis-jenis Najis
1. Bangkai
Bangkai merupakan binatang yang mati dengan tanpa proses penyembelihan,
sebagaimana yang telah ditentukan syariat Islam. Anggota tubuh binatang yang dipotong
ketika masih hidup juga masuk dalam kategori bangkai. Sebagai dasar atas hal tersebut
adalah hadits Abu Waqid al-Laitsi, ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

‫ِي َحي ٌَّة َفه َُو َم ْي َت ٌة‬


َ ‫َما قُطِ َع م َِن ْال َب ِهي َم ِة َوه‬
"Apa saja anggota tubuh hewan ternak yang dipotong sedangkan hewan itu masih
hidup, maka ia termasuk bangkai'."
Imam Tirmidzi berkata, “Para ulama mengakui ketentuan isi hadits ini.” Namun, ada
beberapa pengecualian bangkai dari kondisi di atas, yaitu:
a. Bangkai ikan dan belalang. Kedua bangkai hewan tersebut tetap suci. Hal ini berlandaskan
pada hadits Ibnu Umar ra., ia berkata, Rasulullah saw. bersabda,

ُ
ِ ‫ َوأَمَّا ال َّد َم‬،‫وت َو ْال َج َرا ُد‬
‫ان َف ْال َك ِب ُد‬ ِ ‫ أَمَّا ْال َم ْي َت َت‬:‫ان‬
ُ ‫ان َف ْال َح‬ ِ ‫أ ِح َّل َل َنا َم ْي َت َت‬
ِ ‫ان َودَ َم‬
ِّ ‫َو‬
‫الط َحا ُل‬
"Di halalkan bagi kita dua jenis bangkai dan darah. Adapun dua jenis bangkai yang dimaksud
adalah, bangkai ikan dan belalang. Sedangkan dua jenis darah adalah hati dan empedu."' HR
Ahmad, Syafi'i, Ibnu Majah, Baihaki dan Daruquthni
Hadits ini dianggap dha'if. Meskipun Imam Ahmad mengategorikannya sebagai hadits
mauqûf, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Abu Zir’ah dan Abu Hatim. Jika demikian
adanya, berarti hadits di atas termasuk hadits marfû'. Sebab, ucapan sahabat yang
menyatakan, “Dihalalkan bagi kami atau diharamkan bagi kami” sama dengan ungkapan
sahabat, “Diperintah bagi kami atau dilarang bagi kami.” Hal seperti ini sama dengan sabda
Rasulullah saw. dari sisi maknanya. Bahkan kandungan hadits di atas diperkuat lagi dengan
sabda Rasulullah saw. yang menegaskan,

َّ ‫ه َُو‬ 
‫الطهُو ُر َماؤُ هُ ْال ِح ُّل َم ْي َت ُت ُه‬
“Air laut itu suci dan bangkai di dalamnya halal (dimakan)."
b. Bangkai binatang yang darahnya tidak mengalir, seperti semut, lebah dan lainnya. Status
bangkai binatang semacam ini suci. Apabila ia jatuh mengenai sesuatu dan mati di dalamnya,
maka ia tidak menjadikan benda yang terkena olehnya menjadi najis.
Ibnu Mundzir berkata, “Sepengetahuan saya, tidak terdapat perbedaan pendapat di antara
para ulama mengenai kesucian air yang terkena bangkai binatang yang tidak mengalirkan
darah. Tetapi, ada satu pendapat yang diriwayatkan oleh Syafi'i, dan ini merupakan pendapat
yang masyhur dalam mazhabnya, bahwa bangkai binatang seperti ini adalah najis. Apabila
ada binatang yang jatuh ke benda cair, maka hukumnya dimaafkan selama tidak mengalami
perubahan zatnya."
c. Tulang, tanduk, bulu, rambut, kuku dan kulit bangkai' serta benda-benda yang sejenis
dengannya, juga suci. Sebab, pada dasarnya semua benda sebagaimana yang telah
disebutkan sebelumnya- suci dan tidak terdapat satu dalil pun yang menyatakan kenajisannya.
Az-Zuhri memberi komentar mengenai tulang-belulang bangkai, seperti gading gajah dan
lainnya, ia berkata, “Saya pernah melihat sebagian ulama salaf mengambilnya, kemudian
menjadikannya sebagai sikat dan minyak rambut. Mereka menyatakan bahwa apa yang
dilakukannya merupakan sesuatu yang lazim." HR Bukhari.
Dari Ibnu ‘Abbas ra., ia berkata, Maula Maimunah bersedekah kepadaku seekor kambing.
Tiba-tiba ia mati. Suatu ketika, Rasulullah saw. Melintasi bangkai kambing tersebut dan
bertanya 'Apakah kamu mengambil kulitnya lalu menyamaknya, kemudian
memanfaatkannya?' Para sahabat berkata, 'Sesungguhnya (kambing itu) sudah menjadi
bangkai?'. Lantas Rasulullah saw. bersabda,

‫إِ َّن َما َح ُر َم أَ ْكلُ َها‬


"Yang diharamkan hanyalah memakannya saja'."
Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasai dan Ahmad yang di dalam
riwayatnya disebutkan “dari Maimunah,” sementara Riwayat Imam Bukhari dan Nasai juga
tidak menyebutkan masalah 'menyamak kulit'.
Dari Ibnu Abbas ra., ia pernah membaca ayat berikut ini,

...‫‌قُل اَّل ۤ اَ ِج ُد ف ِۡى َم ۤا ا ُ ۡوح َِى ِا َلىَّ م َُحرَّ مًا َع ٰلى َطاعِ ٍم ي َّۡط َعم ُٗۤه ِااَّل ۤ اَ ۡن َّي ُك ۡو َن َم ۡي َت ًة‬
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai...'"
(Al-An'âm [6] : 145)
Lebih lanjut, Ibnu Abbas menjelaskan, “Yang diharamkan hanya bagian- bagian yang dapat
dimakan, yaitu daging. Sedangkan kulit, lemak, gigi, tulang, rambut dan bulu binatang
tersebut tetap dihalalkan” HR Ibnu Mundzir dan Ibnu Hatim.
Demikian juga dengan air susu bangkai, ia suci. Ketika para sahabat menaklukkan Negeri
Iraq, mereka memakan keju orang-orang Majusi yang terbuat dari susu, padahal (hasil)
sembelihan mereka dianggap sama seperti bangkai. Dalam sebuah riwayat dari Salman al-
Farisi ra., ia pernah ditanya tentang keju, lemak dan bulu. Ia menjawab, “Yang dimaksud
dengan halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya. Dan yang dimaksud dengan
haram adalah apa yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sementara perkara-perkara yang
tidak dijumpai keterangannya, maka itu merupakan sesuatu yang dimaafkan."
Kita mengetahui bahwa pertanyaan ini berkaitan dengan keju milik orang-orang Majusi, yaitu
ketika Salman menjabat sebagai Gubernur pada masa pemerintahan Umar bin Khaththab di
wilayah Mada’in.
___________________________
1.
HR Abu Daud, jilid I, hal. 17. Nasai jilid I, hal. 46. Tirmidzi [67]. Ahmad, jilid I, hal. 314.
Daruquthni, jilid 1, hal. 187. Hakim dalam al-Mustadrak, jilid I, hal. 133. Al-Albani
mengklasifikasikannya sebagai hadits shahih dalam Irwâ' al-Ghalil, jilid I, hal. 60 dan Shahîh
al-Jami' [758].
2.
HR Muslim kitab “ath-Thahârah" bab “Khidmah al-Ha'idh Zaujahâ," jilid III, hal. 210. Nasai
kitab “ath-Thaharah," bab "al-Intifa’ bi Fadhl al-Haidh," jilid 1, hal. 149. Musnad Ahmad,
jilid VI, hal. 210. Syarh as-Sunnah oleh al-Baghawi, jilid II, hal. 134 meskipun terdapat
perbedaan dari segi redaksi hadits.
3.
Diriwayatkan dalam kitab Musnad asy-Syafi'i, hal. 8.” bab“Mân Kharaja min kitab al-
Wudhu?"."Daruquthni kitab “ath-Thahârah" bab “al-Asar” [200], jilid 1, hal. 62. Daruquthni
berkata, "Di antara perawi hadits ini, ada yang bernama Ibnu Abu Habibah, beliau dikenal
sebagai terdapat dalam ais-Sunan al-Kubrâ oleh Baihaki, jilid 1, hal. 249. Pengarang Talkhîsh
al-Hâbir berkata: “Hadits ini diriwayatkan dari Abu Sa'id, Abu Hurairah dan Ibnu Umar.
Namun dikategorikan sebagai hadis dha'if oleh Daruquthni.” Riwayat Abu Sa'id terdapat
dalam Sunan Ibnu Majah, sedangkan riwayat Ibnu Umar terdapat dalam al-Muwattha', jilid I,
hal. 41, secara mauquf dari Ibnu Umar Al-Albani mengklasifikasikannya sebagai dha'if
dalam kitabnya Tamám al-Minnah [47].
4.
HR Daruquthni kitab “ath-Thahârah," bab “Hukm al-Ma'idza Lâqathu an-Najâsah” [30], jilid
I, hal. 26. Hadits ini adalah dha'if, bahkan Ibnu Hajar dalam at-Talkhish dan asy-Syawkani
mengklasifikasikannya sebagai hadits dha'if. Demikian juga al-Albani dalam Tamâm al-
Minnah [48].
5.
Diriwayatkan dalam al-Muwattha' oleh Malik kitab “ath-Thahârah" bab “ath-Thuhûr li al
Wudhû” [14], jilid I, hal. 23-24. Baihaki dalam as-Sunan al-Kubrâ, jilid I, hal. 250.
Daruquthni dalam Sunan-nya, jilid I, hal. 22. Ia diklasifikasikan sebagai hadis dha'if oleh al-
Albani dalam Tamam al-Minnah [48]. Hadits ini, diriwayatkan dari Yahya bin Abdurrahman
bin Hathib bahwa Umar... bukannya Yahya bin Sa'id bahwa Umar...
6
. HR Abu Daud kitab “ath-Thahârah,” bab “Su’r al-Hirrah,” jilid I, hal. 18. An-Nasai kitab
“ath-Thahârah” bab “Su'r al-Hirrah, jilid I, hal. 55. Tirmidzi dalam “Abwâb ath-Thahârah bab
“Mâ Jâa fi Su'r al-Hirrah” [92], jilid I, hal. 153 dan beliau berkata: “Hadits ini, hasan lagi
shahih.”: Ibnu Majah kitab “ath-Thahârah” bab “al-Wudhủ' bi Su'r al-Hirrah wa ar-Rukhshah
fi Dzalik,” jilid I, hal. 131. Musnad Ahmad, jilid V, hal. 296, 303 dan 309. Al-Albani
mengklasifikasikannya sebagai shahih dalam Shahîh an-Nasa'i, jilid 1, hal. 16-73. Shahih
Ibnu Majah [367. Irwâ' al-Ghalil [173], dan Shahih al-Jâmi' [2437].
7.
HR Bukhari kitab “al-Wudhứ bab “al-Ma' al-Ladî Yaghsil bihi Sya'r al-Insân” jilid I, hal. 54.
Muslim kitab “ath-Thahârah," bab “Hukm Wulugh al-Kalb," jilid III, hal. 182. Nasai kitab
ath-Thahârah,” bab “Su'r al-Kalb jilid I, hal. 52 (Terdapat perbedaan dari segi susunan lafal).
Musnad Ahmad, jilid II, hal. 460. Sunan al-Baihaki kitab “ath-Thahârah” Bab “Ghusl al-Ina'
min Wulugh al-Kalb Saba Marrat," jilid I, hal. 240-256.
8.
HR Muslim kitab "ath-Thahârah,” bab “Hukm Wulugh al-Kalb” [91], jilid I, hal. 234. Abu
Daud kitab “ath-Thahârah" bab “al-Wudhû’bi Su’r al-Kalb” jilid I, hal. 17. Musnad Ahmad,
jilid II, hal. 427. Baihaki, jilid I, hal. 240.
9.
HR Muslim kitab “ath-Thahârah” bab "Fadhl al-Wudhủ” [1], jilid I, hal. 203. Tirmidzi kitab
“ad-Da'awat” [3517] dengan redaksi ( ), jilid V, hal. 535 dan beliau berkata: “Hadits ini
shahih” Darimi kitab “ash-Shalâh wa ath-Thahârah,” bab “Mâ Jâa fi ath-Thuhûr” [659], jilid
I, hal. 132. Imam Ahmad dalam kitab Musnad Ahmad, jilid IV, hal. 250 dan jilid V, hal. 342.
10.
Najis terbagi menjadi dua bagian, Pertama, najis haqiqi. Pada umumnya, najis seperti ini
dapat dirasa dan dilihat secara kasat mata, seperti kencing dan darah. Kedua, najis hukmi.
Najis semacam ini kebalikan dari najis hakiki; tidak dapat dirasa dan dilihat, seperti Junub.
11.
HR Abu Daud kitab “ash-Shaid," bab“ fi Shaidin Quthi’a minhu Qithathan” [2858], jilid III,
hal. 277. Tirmidzi kitab “al-ath’imah” bab “Mâ Quthi'a min al-Hayy Fahuwa min al.
Bahîmah" [1480], jilid IV, hal. 74, beliau berkata: “Hadits ini hasan lagi gharib”. Ibnu Majah
kitab “ash-Shaid bab “Mê Quthi'a min al-Bahîmah” [3216], jilid II, hal. 1073. Musnad
Ahmad, jilid V, hal. 218. as-Sunan al-Kubrâ oleh Baihaki kitab “ath-Thahârah" jilid 1, hal. 32
dan kitab “ash-Shaid wa adz-Dzabâ’ih,” jilid IX, hal. 245 dengan menggunakan lafal (....).
Riwayat ini diklasifikasikan sebagai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud [2858.
Shahîh Ibnu Majah [3216], dan Ghầyah al-Marâm [41].
12.
HR Ibnu Majah kitab “al-Ath’imah" bab “al-Kabid wa ath-Thihâl” [3314], jilid II, hal. 1102.
Musnad Ahmad, jilid II, hal. 97. Pengarang kitab Fath al-Bâri berkata: “Hadits ini
diriwayatkan Ahmad dan Daruquthni secara marfů.” Tambahnya, “Malah dikategorikan
sebagai mauquf, lebih shahih. Baihaki mengoreksinya sebagai hadsis mauquf, walaupun
begitu, hadits ini dihukumkan sebagai hadits marfû” Lihat Fath al-Bâri, jilid IX, hal. 621.
Baihaki dalam as-Sunan al-Kubrâ, jilid IX, hal. 257 dan beliau mengategorikannya sebagai
hadits marfu'. Daruquthni kitab “ash-Shaid,” bab “ash-Shaid wa Adz-Dzabářih” [25], jilid IV,
hal. 270. Dan diklasifikasikan sebagai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah [3218.
Misykâh al-Mashâbih [4142], dan ash-Shahihah [1118].
13.
Lihat takhrij hadits yang serupa sebelumnya.
14.
Kulit bangkai setelah disamak statusnya berubah menjadi suci berdasarkan hadits Ibnu Abbas
ra. Adapun riwayat Muslim dan lainnya, di mana Rasulullah saw. bersabda: (........) “Jika kulit
sudah disamak, maka ia suci.” Sebaliknya, jika belum disamak, kulitnya tidak menjadi suci.
15.
HR Bukhari, jilid IV, hal. 10. Muslim kitab "al-Haidh,” bab “Thahârah Julûd al-Maitah bi ad-
Dibâgh” [100], jilid I, hal. 276. Abu Daud kitab “al-Libâs," bab “fi Uhub al-Maitah”. [4120],
jilid IV, hal. 365-366. Nasai kitab "al-Fara wa al-'atirah” baố “Julûd al-Maitah” [4235], jilid
VII, hal. 172. Tirmidzi kitab "al-Libâs,” bab “Mâ Jâa fi Julûd al-Maitah idza Dubighat”
[1727], jilid IV, hal. 220. Ibnu Majah kitab “al-Libâs” (Pakaian), bab “Lubs Julûd al-Maitah
idza Dubighat” [3610], jilid II, hal. 1193.
16
. HR Daruquthni kitab “ath-Thahârah" bab “ad-Dibâgh” [18], jilid I, hal. 46-47. Jalur sanad
hadits ini terdapat Abu Bakar al-Hudzali. Nama lengkapnya adalah Salma bin Abdullah bin
Salma al-Bashri. Daruquthni berkata, “Abu Bakar al-Hudzali dikategorikan sebagai perawi
yang dha'if. Dalam Sunan ad-Daruquthni ditegaskan, bahwa atsar tersebut merupakan
perkataan Syabbabah bukan perkataan Ibnu Abbas. Namun mengikuti pendapat pengarang
(Sayyid as-Sabiq), pernyataan ini merupakan perkataan Ibnu Abbas. Menurutnya, bangkai
adalah haram jika dimakan. Sedangkan gigi, tulang, tanduk, woll, bulu dan uratnya tidak
diharamkan dan untuk menyucikannya cukup dengan membasuhnya saja. Lihat as-Sunan,
jilid I, hal. 47.

Anda mungkin juga menyukai