Anda di halaman 1dari 11

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Tuhan seluruh alam Karena tanpa rahmat dan kasih sayang-
Nya, kami tak akan dapat menyelesaikan makalah kami tepat pada waktunya. Dan tak
lupa, sholawat serta salam semoga senantiasa terlimpah kepada junjungan kita, nabi
agung Muhammad SAW.

makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas kelompok untuk mata kuliah Tasawuf
Tematik pada semester III dengan mengangkat tema ‘Mujahadah’. Diharapkan,
makalah ini akan dapat membuka pengetahuan pembaca mengenai maqam
musyahadah yang jarang diketahui oleh masyarakat.

Ucapan terima kasih ibu Dr. Dian Siti Nurjanah, S.Psi, M.Ag., selaku dosen
pengampu mata kuliah Tasawuf Tematik yang telah memberi kesempatan untuk
memaparkan materi ini serta telah membimbing dalam menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Juga, kepada semua pihak yang telah berperan dalam
penyusunan makalah ini, kami ucapkan terima kasih.

Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari adanya banyak kekurangan serta
kesalahan yang berada di dalamnya, maka kami harapkan kritik serta saran yang
membangun sehingga di kemudian hari akan menjadi lebih baik. kami berharap
bahwa makalah ini akan bermanfaat bagi pembacanya.

Bandung, 18 Dessember 2018

Penyusun

2
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriyah dan
batiniyah. Pemahaman terhadap unsur kehidupan yang batiniyah tersebut melahirkan
tasawuf. Tasawuf pada awal pembentukannya adalah akhlak atau keagamaan yang
diatur dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Banyak tokoh-tokoh yang ada dalm ilmu
tasawuf, sehingga banyak pula perbedaan aliran. Tujuan tasawuf adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Allah SWT. Tercapainya tujuan bisa kita raih dengan
usaha yang panjang dan penuh rintangan. Hal itu bisa dimulai secara bertahap. Di
dalam perjalanan menuju Allah tersebut, kaum sufi harus menempuh berbagai
tahapan, yang dikenal dengan maqamat dan ahwal. Kedua hal tersebut tidak dapat
dipisahkan. Maqamat dan ahwal adalah dua hal yang bisa dialami oleh orang yang
menjalani tasawuf sebelum sampai pada tujuan.
Dan kami akan membahas tentang musyahadah yang termasuk dalam tahapan
awal, dan juga merupakan salah satu tahapan yang penting dalam tasawuf untuk
mencapai ma’rifat kepada Allah. Yang dalam karya kami ini akan membahas apa
pengertian musyahadah, tingkatan-tingkatannya dan bagaimana tahapan untuk
mencapai musyahadah itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu musyahadah?
2. Apa tingkatan-tingkatan pada musyahadah?
3. Bagaimana tahapan-tahapan pada musyahadah?

C. Tujuan
1. Mengetahui arti dari musyahadah
2. Mengetahui tingkatan pada musyahadah
3. Mengetahui tahapan pada musyahadah

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Musyahadah
Musyahadah adalah penyaksian setelah tirai itu terbuka. Secara etimologi,
kata musyahadah berasal dari rumpun kata syahida-syahada, yang berarti
bersaksi-menyaksikan. Seseorang yang akan memasuki agama Islam, wajib
mengucapkan dua kalimat syahadat. Tanpa ucapan kalimat syahadat, ia belum
dapat dikatakan penganut agama Islam.
Pengertian musyahadah dalam kitab Ar-Risalah karya Al-Qusyairi adalah :
“musyahadah adalah kehadiran kepada Allah “. Dalam bagian lain, Al-Qusyairi
juga menjelaskan musyahadah ini dalam ungkapannya :
“Al-Musyahadah adalah kehadiran Al-Haqq tanpa adanya prasangka.”
Kehadiran tingkat musyahadah ini didahului al-muhadharah. Muhadharah
yang dimaksud adalah kehadiran hati beserta Allah (hudhur al-qalb). Setelah
sampai pada tingkat Al mukasyafah (terbukanya rahasia) setelah itu barulah
seseorang dapat mencapai tingkat al-Musyahadah.
Dalam kitab Iqazhul Himam, musyahadah dijelaskan sebagai berikut :
“musyahadah adalah terbukanya hijab alam perasaan dari pancaran Nur yang
Mahasuci, yaitu tersingkapnya tabir pemeliharaan alam wujud. Ketika itu engkau
melihat Allah dalam alam ghaib atau alam malakut. Allah pun melihat kamu
dalam alam wujud. Ketika itu engkau melihat rahasia ketuhanannya , dan Allah
pun melihat pengabdianmu. Adapun pandangan Tuhan terhadap hamba-Nya,
adalah meliputi ilmunya,ahwalnya, dan hatinya. Artinya, Allah apa-apa yang
diketahui hamba-Nya dan apa-apa yang tergores dalam hati sanubari hamba-
Nya.”
Musyahadah atau bisa di artikan menyaksikan juga bisa disebut dengan
istilah Ru’yatullah. Ru’yatullah adalah dimana hamba-Nya dapat melihat Allah.
Syaikh Ibrahim Al-Laqqani mengungkapkan dalam syairnya :
“Di antara perkara yang ja’iz atas Allah adalah bahwa Dia dapat dilihat dengan
mata bagi orang-orang mukmin, akan tetapi dengan tanpa cara dan tidak

4
berbatas. (sebabnya ja’iz adalah) karena ru’yatullah itu dihubungkan dengan
perkara yang ja’iz. Pahamilah ini! Dan bagi Nabi yang terpilih tetap juga ru’yah
itu di dunia”.1
Syair dari syaikh Ibrahim Al-Laqqani tersebut menjelaskan bahwa
ru’yatullah itu sesuatu yang boleh-boleh saja atau bersifat ja’iz menurut akal, di
dunia maupun di akhirat. Hal in karena Allah adalah maujud dan setiap yang
maujud boleh-boleh saja dilihat. Akan tetapi ru’yah di dunia tidak pernah terjadi
selain Nabi Muhammad saw.
Memang tidak mudah mencapai maqomat Musyahadah tersebut, tetapi
bukan berarti manusia tidak dapat mencapai maqomat tersebut, membutuhkan
usaha yang keras dan harus istiqomah dalam menaiki setiap tangga maqomat.
B. Dalil-dalil Musyahadah
Disebutkan dalam kitab Raba’in Nawawi hadits yang kedua Rasulullah saw
saat masih duduk bersama sahabat di masjid, ada seorang yang menghampiri
Rasul, pemuda yang belum pernah dilihat oleh para sahabat di sekitar situ, dan
pemuda itu bertanya kepada Rasulullah.

‫ات َي ْو ٍم إِ ْذ َطلَ َع َعلَ ْي َنا‬ َ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم َذ‬ َ ‫هللا‬ ِ ‫ َب ْي َن َما َنحْ نُ جُل ُ ْوسٌ عِ ْندَ َرس ُْو ِل‬: ‫َعنْ ُع َم َر َرضِ َي هللا ُ َع ْن ُه أَيْضًا َقا َل‬
ِّ‫س إِلَى ال َّن ِبي‬ َ َ‫ َح َّتى َجل‬,‫ الَ ي َُرى َعلَ ْي ِه أَ َث ُر ال َّس َف ِر َوالَ َيعْ ِرفُ ُه ِم َّنا أَ َح ٌد‬,‫ب َش ِد ْي ُد َس َوا ِد ال َّشعْ ِر‬ ِّ ‫اض‬
ِ ‫الث َيا‬ ِ ‫َر ُج ٌل َش ِد ْي ُد َب َي‬
َ ْ َ‫ فأَسْ َند‬,‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّم‬
,‫اإلسْ الَ ِم‬ ِ ‫ َيا م َُح َّم ُد أ ْخ ِبرْ نِيْ َع ِن‬: ‫ َو َقا َل‬,ِ‫ض َع َك َّف ْي ِه َعلَى َفخ َِذ ْيه‬ ْ ‫رُك َب َت ْي ِه إِلَى‬
َ ‫ َو َو‬,ِ‫رُك َب َت ْيه‬ َ
,‫صالَ َة‬ َّ ‫ َو ُتقِ ْي ُم ال‬,‫هللا‬ َ َ
ِ ‫إلسْ الَ ُم أنْ َت ْش َهدَ أنْ الَإِ لَ َه إِالَّ هللا ُ َو أنَّ م َُحم ًَّدا َرس ُْو ُل‬ َ َ ‫ا‬ : ‫م‬ َّ ‫ل‬ ‫س‬
َ ‫و‬
َ ‫ه‬
ِ ‫ي‬ْ َ ‫ل‬ ‫ع‬
َ ُ ‫هللا‬ ‫ى‬ َّ ‫ل‬ ‫ص‬
َ ‫هللا‬
ِ ‫ل‬ُ ْ
‫ُو‬ ‫س‬ ‫ر‬
َ ‫ل‬َ ‫ا‬ ‫َف َق‬
ِ
ُ
.ُ‫ُص ِّدقه‬ ُ َ
َ ‫ َف َع ِج ْب َنا ل ُه َيسْ َئل ُه َوي‬.‫ت‬ ْ
ُ ‫صدَ ق‬ ً
َ : ‫ َقا َل‬.‫ت إِل ْي ِه َس ِب ْيال‬ َ َ
َ ْ‫ْت إِ ِن اسْ َتطع‬ ْ
َ ‫ َو َت ُح َّج ال َبي‬,‫ان‬ َ ‫ض‬ َّ
َ ‫ َو َتص ُْو َم َر َم‬,‫َوت ْؤت َِي الز َكا َة‬ ُ
َ َ ْ َ ْ ُ ْ
.ِ‫ َو ت ْؤم َِن ِبالقد ِر خي ِْر ِه َو شرِّ ه‬,‫ َوال َي ْو ِم اآلخ ِِر‬,ِ‫ َو ُر ُسلِه‬,ِ‫ َوكت ِبه‬,ِ‫ َو َمال ِئك ِته‬,‫هلل‬ ُ ُ َ َ َ
ِ ‫ أنْ ِبا‬: ‫ قا َل‬,‫ان‬ َ ِ ‫ َفأ َ ْخ ِبرْ نِيْ َع ِن اإلِ ْي َم‬: ‫َقا َل‬
: ‫ َقا َل‬.‫ك‬ َ ‫ك َت َراهُ َفإِنْ لَ ْم َت ُكنْ َت َراهُ َفإِ َّن ُه َي َرا‬ َ ‫هللا َكأ َ َّن‬
َ َ‫ أَنْ َتعْ بُد‬: ‫ َقا َل‬,‫ان‬ ِ ‫اإلحْ َس‬ ِ ‫ َفأ ْخ ِبرْ نِيْ َع ِن‬: ‫ َقا َل‬.‫ت‬
َ َ ‫صدَ ْق‬ َ : ‫َقا َل‬
ُ‫ أَنْ َتلِ َد األَ َمة‬: ‫ َقا َل‬,‫ارا ِت َها‬ َ َ َ
َ ‫ َفأ ْخ ِبرْ نِيْ َعنْ أ َم‬: ‫ َقا َل‬.‫ َما ال َمسْ ؤُ ْو ُل َع ْن َها ِبأعْ لَ َم م َِن السَّائ ِِل‬: ‫َّاع ِة َقا َل‬ ْ َ ‫َفأ َ ْخ ِبرْ نِيْ َع ِن الس‬
,ُ‫ َيا ُع َمر‬: ‫ ُث َّم َقا َل‬,‫ت َملِ ًّيا‬ ُ ‫ َفلَ ِب ْث‬,‫ ثم اَ ْن َطلَ َق‬,‫ان‬ ِ ‫ َوأَنْ َت َرى ْال ُح َفا َة ْالع َُرا َة ْال َعالَ َة ِر َعا َء ال َّشا ِء َي َت َط َاول ُ ْو َن فِيْ ْال ُب ْن َي‬,‫َر َّب َت َها‬
‫ َر َواهُ مُسْ لِ ٌم‬.‫ َفإِ َّن ُه ِجب ِْر ْي ُل أَ َتا ُك ْم ُي َعلِّ ُم ُك ْم ِد ْي َن ُك ْم‬: ‫ َقا َل‬.‫ هللا ُ َو َرس ُْول ُ ُه أَعْ لَ ُم‬: ‫ت‬ ُ ‫أَ َت ْد ِريْ َم ِن السَّائِل؟ قُ ْل‬2

Artinya : Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata : Suatu ketika, kami (para
sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada
kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak
terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang
mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi
dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata : “Hai,
Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar
melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan
shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke
1
Al-Laqqani, Syaikh Ibrahim, 2010, Permata Ilmu Tauhid (Mendalami Iktikad Ahlussunnah Wal-Jama’ah),
Surabaya : Mutiara Ilmu. Hal 158
2
Kitab Arbain Nawawi, Hadits bagian kedua

5
Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya,” lelaki itu berkata,”Engkau benar,” maka
kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya. Kemudian ia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang Iman”. Nabi menjawab,”Iman adalah, engkau beriman
kepada Allah; malaikatNya; kitab-kitabNya; para RasulNya; hari Akhir, dan beriman kepada
takdir Allah yang baik dan yang buruk,” ia berkata, “Engkau benar.” Dia bertanya lagi:
“Beritahukan kepadaku tentang ihsan”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab,”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya.
Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.” Lelaki itu berkata lagi :
“Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?” Nabi menjawab,”Yang ditanya tidaklah lebih
tahu daripada yang bertanya.” Dia pun bertanya lagi : “Beritahukan kepadaku tentang tanda-
tandanya!” Nabi menjawab,”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika
engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta
pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang
menjulang tinggi.” Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi
bertanya kepadaku : “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?” Aku
menjawab,”Allah dan RasulNya lebih mengetahui,” Beliau bersabda,”Dia adalah Jibril yang
mengajarkan kalian tentang agama kalian.” [HR Muslim]

Sikap musyahadah adalah tindak lanjut dari ajaran ihsan yang mengacu pada percakapan
antara Rasulullah dengan malaikat Jibril diatas, yaitu seorang hamba beribadah kepada Allah
seakan-akan melihat Allah, apabila belum bisa seakan-akan melihat Allah maka merasakan
bahwa Allah melihat hamba-Nya. Menandakan bahwa setiap manusia dalam beribadah
hendaknya bermusyahadah dengan seakan-akan melihat Allah. Agar dalam setiap ibadah dari
seorang hamba hanya tertuju kepada Allah.

C. Terjadinya Musyahadah
Alat untuk memperoleh ma’rifat sebagai maqam tertinggi adalah sirr. Salah
satu perbaikan sirr adalah musyahadah. Adapun Nur musyahadah adalah di dalam
hati, terbagi atas berikut ini.
1. Nur Musyahadah 1: adalah yang membukakan jalan dekat kepada Allah.
Tanda-tandanya ialah seseorang merasa muraqabah (berintai-intai dengan
Allah).
2. Nur Musyahadah 11 : tampaknya keadaan adamiah, yakni hilangnya segala
maujud, ke dalam wujud Allah dan bagi-Nyalah wujud yang hakiki.
3. Nur Musyahadah 111 : adalah tampaknya Allah Yang Mahasuci. Seseorang
telah berada dalam fana’ sempurna (al-fana’ al-kamil),yakni dirinya telah
lebur (fana’) dan yang baqa hanyalah Allah semata.

Sesungguhnya perkara terjadinya musyahadah hanya satu wujud, ialah wujud


Allah SWT. Semata-mata dan yang lain sudah tidak mempunyai wujud lagi,
artinya: “seseorang telah musyahadah ayau berpandang-pandangan dengan
Allah dan ia tiada lagi bermusyahadah sertanya selain Allah.”

6
Terjadinya keadaan ini adalah seseorang yang sudah tahqiq benar-benar
berada dalam maqam fana’, yaitu penglihatannya selain Tuhannya semata-mata
Dalam hal ini, terjadilah musyahadah, karena wujud hakiki kekal bagi Allah
semata-mata, sedangkan wujud lain tiada lagi.

Dalam pandangan tasawuf, musyahadah biasa tercapai dengan adanya


mujahadah (kesungguhan beramal atau kesungguhan meninggalkan sifat-sifat
jelek dari jiwa). Jiwa yang tadinya sebelum dibungkus dengan badan dalam
keadaan bersih, kemudian mengalami kekotoran setelah terpengaruh kemauan
jasad. Kekotoran setelah terpengaruh kemauan jasad. Kekotoran ini yang menjadi
penyebab seseorang tidak dapat ber-musyahadah. Untuk menghilangkan kotoran
itu dibutuhkan mujahadah agar jiwa bersih kembali. Pada jiwa yang bersih, dalam
pandangan tasawuf, akan dapat menyaksikan Al-Haqq. Selanjutnya, dapat pula
menyaksikan Arasy, Kursiy dan lain-laim yang berada dalam alam malakut.

D. Tingkatan Musyahadah
Menurut al-Sarraj, musyahadah adalah hal yang tinggi, ia merupakan
gambaran-gambaran yang menambah hakikat keyakinan. Tingginya hal
musyahadah ditunjukkan oleh firman Allah:

‫الس ْم َع َو ُه َو َش ِهي ٌد‬


َّ ‫ْب أ َْو أَلْ َقى‬ ِ ِ َ ِ‫إِ َّن فِي ذَل‬
ٌ ‫ك لَذ ْك َرى ل َم ْن َكا َن لَهُ َقل‬

Artinya :
“sungguh, pada yang demikian itu pasti terdapat peringatan bagi orang-orang
yang mempunyai [QS. Qaf : 37]
Menyaksikan dalam ayat ini berarti menghadirkan hati atau kesaksian hati bukan
mata. Hal musyahadah ini dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari tasawuf,
yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan seseorang hamba dengan
Allah. Menurut Al-Sarraj Musyahadah terbagi atas tiga tingkatan :
1. Tingkatan pertama, adalah kelompok Ashagir (pemula), yakni mereka yang
berkehendak.
2. Tingkat kedua, kelompok pertengahan (Al-Awsath). Dalam pandangan
kelompok ini musyahadah berarti bahwa ciptaan ada pada genggaman yang
Haq dan pada kerajaan-Nya.

7
3. Tingkat ketiga seperti yang diterangkan Al-Makki, hati kaum Arifin ketika
menyaksikan Allah seseungguhnya menyaksikan dengan kesaksian yang
kokoh.
E. Derajat Musyahadah
Musyahadah adalah ketersingkapan nyata, yang tidak lagi butuh bukti dan
penjelasan, tak ada imajinasi maupun keraguan. Dikatakan, “syuhud itu dari
penyaksian yang disaksikan dan tersingkapnya wujud. Musyahadah inilah yang
meruntuhkan hijab dan bukan merupakan wujud dari keruntuhan itu. Runtuhnya
hijab diikuti dengan musyahadah.
Ada tiga derajat musyahadah, yaitu:
1. Musyahadah ma’rifat, yang berlalu di atas batasan ilmu, dalam cahaya wujud
dan berada dalam kefanaan kebersamaan. Ini merupakan landasan golongan
ini, bahwa ma’rifat diatas ilmu. Ilmu menurut mereka adalah pengetahuan
tentang data, sedangkan ma’rifat merupakan penguasaan sesuatu dan
batasannya. Dengan begitu ma’rifat lebih tinggi dibandingkan dengan ilmu.
Ada pula yang mengatakan bahwa amal seseorang yang berbuat baik
berdasarkan ilmu, sedangkan amal orang-orang yang taqarrub berdasarkan
ma’rifat. Di satu sisi pendapat ini bisa dibenarkan, tapi di sisi lain dianggap
salah. Orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang taqarrub lebih
sempurna dari pada orang-orang yang berbuat baik, toh keduanya sama-sama
ahli ma’rifat dan ilmu.
Orang-orang yang berbuat kebaikan tidak akan menyingkirkan ma’rifat dan
orang-orang yang taqarrub tetap membutuhkan ilmu. Nabi SAW pernah
menasihati Mu’adz bin Jabal, “engkau akan menemui suatu kaum dari Ahli
Kitab. Maka hendaklah seruanmu yang pertama kepada mereka adalah
syahadat. Jika mereka telah mengetahui Allah, kabarkanlah kepada mereka
bahwa Allah telah mewajibkan sholat 5 waktu sehari semalam.” Mu’adz bin
Jabal harus membuat mereka tahu tentang Allah sebelum menyuruh mereka
mendirikan shalat dan membayar zakat. Tidak dapat diragukan bahwa ma’rifat
seperti ini tidak seperti ma’rifatnya orang-orang muhajirin dan anshar.
Manusia berbeda-beda dalam tingkat ma’rifatnya.
2. Musyahadah dengan mata kepala, yang memotong tali kesaksian, mengenakan
sifat kesucian dan mengelukan lidah isyarat. Derajat ini lebih tinggi daripada
derajat yang pertama, sebab derajat yang pertama merupakan kesaksian kilat

8
yang berasal dari ilmu mengenai tauhid, sehingga orangnya dapat melihat
semua sebab. Sedangkan orang yang ada dalam derajat ini tidak memilikii tali
kesaksian, bebas dari sifaft-sifat jiwa, dan sebagai gantinya dia mengenakan
sifat kesucian serta lidahnya tidak membicarakan isyarat kepada apa yang
disaksikannya. Ini merupakan kesaksian wujud itu sendiri, tanpa disertai kilat
dan cahaya, yang berarti deajatnya lebih tinggi.
3. Musyahadah kebersamaaan, yang menarik kepada kebersamaan, yang
mencakup kebenaran perjalanannya dan menumpang perahu wujud. Menurut
syaikh, orang yang ada dalam derajat ini lebih mantap dalam dalam kedudukan
musyahadah, kebersamaan dan wujud serta lebih mampu membawa beban
perjalanannya, yang berupa berbagai macam pengungkapan dan ma’rifat.

Seseungguhnya musyahadah yang sempurna dihasilkan apabila telah sempurna


suluknya, sempurna mencapai maqam fana’ af’al, fana sifat, fana asma’, dan fana
Zat. Yakni dasarnya adalah, apabila telah sempurna kesucian nafsu yang
menghalang dari ingatan kepada Allah Ta’ala.

9
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
B. SARAN

10
Daftar pustaka

Solihin, Muhammad. 2003. Tasawuf Tematik. Bandung: CV PUSTAKA SETIA

Al-Ghazali, Al-Imam Abu Hamid. 2016. Ringkasan Ihya’ ‘Ulumuddin. Bandung:


Sinar Baru Algensindo

Hedaranie H.N. Ma’rifat, Musyahadah, Mukasyafah, Mahabbah. Surabaya:


CV.Amin

An-Nawawi, Muhyiddin yahya bin Syarifuddin, Arbain Nawawi

11

Anda mungkin juga menyukai