Hambatan tentang perilaku terbatas meliputi hambatan yang terjadi di beberapa area
berikut ini antara lain: sangat meyukai perilaku yang diulangulang, misalnya flapping
danmenata mobil mainan, mempunyai cara komunikasi yang tidak lazim/unik antara
lain echolalia, monologues, jargon. Cenderung melakukan kegiatan yang sama atau rutin,
cenderung memiliki ketertarikan yang dominan pada hal-hal yang spesifik (highly restricted,
fixated special interests). Memiliki sensori yang terkadang sangat sensitive atau sebaliknya
(Hyper-or hypo-reactivity to sensory input). Memiliki sensori terhadap lingkungan yang tidak
lazim sepertibenda berputar, pembauan/penciuman, perabaan, dan sejenisnya itu
merupakan karakteristik penyandang autis
Hambatan komukasi sosial dan interaksi sosial meliputi hambatan yang terjadi dibeberapa
area berikut ini antara lain: karakteristik penyandang autis membuka dan melanjutkan
percakapan, komunikasi secara non verbal, berbagi kesenangan atau hobi dengan orang
lain, memahami emosi yang terjadi pada diri sendiri dan orang lain, berinisiatif untuk
melakukan interaksi sosial, memelihara dan mengembangkan suatu hubungan dalam
pergaulan, tidak tertarik untuk berteman, perilaku yang sulit beradaptasi terhadap suatu
perubahan, hambatan dalam berbicara dan logika berpikir.
Bila dilihat dari penampilan luar secara fisik, maka peserta didik autis tidak berbeda dengan
anak-anak lain pada umumnya. Perbedaannya baru dapat dilihat apabila mereka
melakukan aktivitas seperti : berkomunikasi, bermain dsb. Ronald (1992) mengatakan
bahwa anak dengan gangguan autisme tidak akan merespon stimulus dari lingkungan
sebagaimana mestinya, memperlihatkan kemiskinan kemampuan dan sering merespon
lingkungan secara aneh.
Leo Kanner dalam Peeters (1994) dan Widyawati (2002) memberikan penjelasan mengenai
karakteristik penyandang autis yang khusus anak-anak dengan autisme. Dengan
memahami karakteristiknya ini kita dapat membedakan peserta didik autis dengan anak
yang lain yang bukan karakteristik penyandang autisme. Karakteristik tersebut ditinjau dari
interaksi sosial, komunikasi dan pola bermain,serta aktivitas dan minat.
3. Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif
ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat
dilaksanakan.
Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh
terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran.
Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara
memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara penanganannya (Johnson &
Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati, 2005).
2. Interaksi promotif
Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya lebih
menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran
kompetitif dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang
berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan
rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang merusak untuk membangun
kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya untuk
kelompok yang homogen yang memungkinkan semua anggota berkompetisi memiliki
peluang yang relatif sama untuk menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali
lagi hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang efektif
untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai
kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum, dan yang terbaik adalah
kompetisi dengan diri sendiri.
Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi
akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus
melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga
tujuan keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan
bekerjasama mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain,
menghargai pikiran orang lain, dan tenggang rasa.
4. Pembelajaran adaptif
Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaftif
atau program pembelajaran individual (individualized instructional programs). Program
pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar
tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program
pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi
tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.
5. Konsultasi kolaboratif
Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula
dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang
sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan
di sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang
biasa disebut dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya
mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang
erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat
berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat
mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang
lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh
keluarga merupakan landasan penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif
taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan semakin
majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki
keterampilan belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil
penelitian mengenai anak-anak kesulitan belajar (students with learning difficulties)
menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan
control diri, cenderung bergantung (dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar.
Sehubungan dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan
berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau memodifikasi
perilaku.
4.