Anda di halaman 1dari 5

1. a.

     Karakteristik Anak Tunanetra


Anak tunanetra adalah anak-anak yang mengalami kelainan atau gangguan fungsi
penglihatan yang dinyatakan dengan tingkay ketajaman penglihatan atau visus sentralitas di atas
20/200 dan secara paedagosis membutuhkan layanan khusus dalam belajarnya di sekolah.      
Beberapa karakteristik anak-anak tunanetra adalah:
Secara fisik anak-anak tunanetra nampak sekali adanya kelainan pada organ matanya yang secara
nyata dapat dibedakan dengan anak-anak normal pada umumnya, hal ini terlihat dalam aktivitas
mobilitas dan respon motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.
-          Dilihat dari segi motorik anak tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan
sehingga mereka harus belajar bagaimana berjalan dengan anak dan efisien dalam suatu
lingkungan dengan berbagai keterampilan orientasi dan mobilitas.
-          Anak tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang
tidak semestinya, misalnya sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya,
menggoyang-goyangkan kepala dan badan atau berputar-putar.
-          Pada dasarnya anak-anak tunanetra kemampuan akademiknya seperti anak normal pada
umumnya hanya saja pengaruhnya pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya
dalam bidang membaca dan menulis. Dengan kondisi yang demikian maka tunanetra
mempergunakan berbagai alternatif media atau alat untuk membaca dan menulis sesuai dengan
kebutuhannya masing-masing. Misalnya menggunakan huruf braille atau huruf cetak dengan
berbagai alternatif ukuran. Dengan penilaian dan pembelajaran yang sesuai, tunanetra dapat
mengembangkan kemampuan membaca dan menulisnya seperti anak-anak lain yang dapat
melihat.
-          Anak tunanetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Hal
ini akibatnya dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial, oleh sebab
itu perlu mendapatkan latihan langsung dalam bidang pengembangan persahabatan, menjaga
kontak mata atau orientasi wajah, penampilan postur tubuh yang bai, mempergunakan gerakan
tubuh dan ekspresi wajah, mempergunakan inotasi suara atau wicara dalam mengekspresikan
perasaan, menyampaikan pesan yang tepat pada waktu melakukan komunikasi. Dengan adanya
keterbatasan pada anak tunanetra maka mengakibatkan dalam memperoleh pengalaman sangat
sedikit. Hal ini berpengaruh pada sikapnya, dimana ia selalu curiga, mudah tersinggung dan
terfantung pada orang lain dalam melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari.

b.      Katakteristik Anak Tunarungu


Tunarungu adalah anak yang memiliki kondisi ketidakfungsian organ pendengarannya
atau telinganya. Kondisi ini menyebabkan mereka memiliki karakteristik yang berbeda dengan
anak normal lainnya. Adapun karakteristiknya diantaranya adalah;
-          Anak tunarungu dari segi fisik berjalannya kaku, agak membungkuk, bernafasnya pendek, tidak
teratur dan cara melihatnya agak beringas.
-          Anak tunarungubahasanya miskin akan kosa kata, sulit mengartikan kata-kata yang
mengandung ungkapan dan tata bahasanya kurang teratur.
-          Anak tunarungu intelektualnya normal, namun akibatnya dari keterbatasannya dalam
berkomunikasi dan berbahasa makan perkembangannya menjadi lamban. Hal ini mengakibatkan
perkembangan akademiknya mengalami keterlambatan.
-          Anak tunarungu dalam hubungan sosialnya denga orang lain sering merasa curiga, bersikap
agresif. Hal ini terjadi karena mereka tidak dapat memahami apa yang dibicarakan orang lain
akibat dari kelainan pada fungsi pendengarannya.
c.       Karakteristik Anak Tunadaksa
Anak tunadaksa adalah anak-anak yang mengalami kelainan fisik atau cacat tubuh, yang
mencakup kelainan anggota tubuh maupun yang mengalami kelainan anggota gerak dan
kelumpuhan yang disebabkan karena kelaianan yang ada di syaraf pusat atau otak. Kelaianan
seperti ini disebut dengan cerebral palacsy (CP), dengan karakteristik sebagai berikut:
-          Gangguan motorik meliputi motorik halus dan kasar yang meliputi kekakuan, kelumpuhan,
gerakan-gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan.
-          Gangguan sensoriknya berupa gangguan pada penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman,
dan perasa. Hal ini terjadi karena katidak seimbangan otat-otat mata sebagai akibat kerusakan
otak.
-          Tingkat kecerdsan pada anak cerebral palcsy bervariasi mulai dari tingkat yang paling rendah
sampai giffed. Sekitar 45% mengalami keterbelakangan mental, dan 35% lagi mempunyai
tingkat kecerdasan normal dan di atas rata-rata sedangkan sisanya cenderung dibawah rata-rata.
-          Anak cerebral palcsy mengalami gangguan wicara yanf disebabkan oleh kelainan motorik otot-
otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti lidah, bibir, dan rahang bawah, ada pula yang
disebabkan karena kurang terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan kondisi seperti itu
maka anak-anak cerebral palcsy berbicara kurang jelas dan sulit diterima oleh orang lain.
-          Emosi anak cerebral palcsy secara umum tidak jauh berbeda dengan anak-anak normal pada
umumnya, hal saja jika ada kebutuhan yang tidak terpenuhi dapat menyebabkanemosinya tidak
terkendali. Selain itu dipengaruhi juga oleh sikap masyarakat terhadap anak-anak yang kurang
beruntung tersebut dapat menimbulkan anak rendah diri, mudah tersinggung, menyendiri,
kepercayaan dirinya kurang, kurang dapat menyesuaikan diri dan kurang dapat bergaul dengan
lingkungannya.

2. 1) Perilaku terbatas dan Perilaku mengulang

Hambatan tentang perilaku terbatas meliputi hambatan yang terjadi di beberapa area
berikut ini antara lain: sangat meyukai perilaku yang diulangulang, misalnya flapping
danmenata mobil mainan, mempunyai cara komunikasi yang tidak lazim/unik antara
lain echolalia, monologues, jargon. Cenderung melakukan kegiatan yang sama atau rutin,
cenderung memiliki ketertarikan yang dominan pada hal-hal yang spesifik (highly restricted,
fixated special interests). Memiliki sensori yang terkadang sangat sensitive atau sebaliknya
(Hyper-or hypo-reactivity to sensory input). Memiliki sensori terhadap lingkungan yang tidak
lazim sepertibenda berputar, pembauan/penciuman, perabaan, dan sejenisnya itu
merupakan karakteristik penyandang autis

2) Hambatan kumunikasi dan berinteraksi sosial

Hambatan komukasi sosial dan interaksi sosial meliputi hambatan yang terjadi dibeberapa
area berikut ini antara lain: karakteristik penyandang autis  membuka dan melanjutkan
percakapan, komunikasi secara non verbal, berbagi kesenangan atau hobi dengan orang
lain, memahami emosi yang terjadi pada diri sendiri dan orang lain, berinisiatif untuk
melakukan interaksi sosial, memelihara dan mengembangkan suatu hubungan dalam
pergaulan, tidak tertarik untuk berteman, perilaku yang sulit beradaptasi terhadap suatu
perubahan, hambatan dalam berbicara dan logika berpikir.
Bila dilihat dari penampilan luar secara fisik, maka peserta didik autis tidak berbeda dengan
anak-anak lain pada umumnya. Perbedaannya baru dapat dilihat apabila mereka
melakukan aktivitas seperti : berkomunikasi, bermain dsb. Ronald (1992) mengatakan
bahwa anak dengan gangguan autisme tidak akan merespon stimulus dari lingkungan
sebagaimana mestinya, memperlihatkan kemiskinan kemampuan dan sering merespon
lingkungan secara aneh.

Leo Kanner dalam Peeters (1994) dan Widyawati (2002) memberikan penjelasan mengenai
karakteristik penyandang autis yang khusus anak-anak dengan autisme. Dengan
memahami karakteristiknya ini kita dapat membedakan peserta didik autis dengan anak
yang lain yang bukan karakteristik penyandang autisme. Karakteristik tersebut ditinjau dari
interaksi sosial, komunikasi dan pola bermain,serta aktivitas dan minat.

3. Mulyono dalam Sri Wahyu Ambarwati (2005) mengidentifikasikan prinsip pendidikan inklusif
ke dalam sembilan elemen dasar yang memungkinkan pendidikan inklusif dapat
dilaksanakan.

1. Sikap guru yang positif terhadap kebhinekaan

Elemen paling penting dalam pendidikan inklusif adalah sikap guru terhadap siswa yang
membutuhkan layanan pendidikan khusus. Sikap guru tidak hanya berpengaruh
terhadapclassroom setting tetapi juga dalam pemilihan strategi pembelajaran.

Sikap positif guru terhadap keragaman kebutuhan siswa dapat ditingkatkan dengan cara
memberikan informasi yang akurat tentang siswa dan cara penanganannya (Johnson &
Johnson, 1984 dalam Whayu Sri Ambarwati, 2005).

2. Interaksi promotif

Penyelenggaraan pendidikan inklusif menuntut adanya interaksi promotif antara siswa.


Yang dimaksud interaksi promotif adalah upaya untuk saling menolong dan saling memberi
motivasi dalam belajar. Interaksi promotif hanya dimungkinkan jika terdapat rasa saling
menghargai dan saling memberikan urunan dalam meraih keberhasilan belajar bersama.
Interaksi promotif pada hakekatnya sama dengan interaksi transpersonal, yaitu interaksi
yang didasarkan atas rasa saling menghormati, tidak hanya terhadap sesama manusia
tetapi juga sesama makluk ciptaan Tuhan. Interaksi promotif hanya di mungkinkan jika guru
menciptakan suasana belajar kooperatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam
suasana belajar kooperatif, siswa cenderung memperoleh prestasi belajar matematika lebih
tinggi dari pada dalam suasana belajar kompetitif (Mulyono, 1994).

Dalam pendidikan inklusif, suasana belajar kooperatif harus dominan sedangkan


suasanabelajar kompetitif hanya untuk bersenang-senang atau untuk selingan atau untuk
materi belajar yang membosankan. Hasil penelitian Johnson & Johnson (Wahyu Sri
Ambarwati, 2005) menunjukkan bahwa suasana belajar kompetitif dapat menimbulkan
perasaan rendah diri bagi siswa yang memiliki kemampuan kurang.

Lebih lanjut hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa para guru umumnya lebih
menyukai pembelajaran kompetitif dan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai dalam penyelenggaraan pembelajaran kooperatif. Padahal, pembelajaran
kompetitif dalam kelompok heterogen dapat menghancurkan rasa harga diri siswa yang
berkekurangan dan merasa bosan terhadap siswa yang memiliki keunggulan. Perasaan
rendah diri dan perasaan bosan merupakan elemen yang merusak untuk membangun
kehidupan bersama yang lebih baik. Kompetisi bukan tidak bermanfaat tetapi hanya untuk
kelompok yang homogen yang memungkinkan semua anggota berkompetisi memiliki
peluang yang relatif sama untuk menang dan kalah. Menguatkan pembahasan ini, sekali
lagi hasil penelitian Mulyono (1994) menunjukkan bahwa interaksi kompetitif yang efektif
untuk mencapai tujuan pembelajaran adalah kompetisi antar siswa yang mempunyai
kemampuan seimbang, kompetisi dengan standar nilai minimum, dan yang terbaik adalah
kompetisi dengan diri sendiri.

3. Pencapaian kompetensi akademik dan sosial

Pendidikan inklusif tidak hanya menekankan pencapaian tujuan dalam bentuk kompetensi
akademik tetapi juga kompetensi sosial. Oleh sebab itu, perencanaan pembelajaran harus
melibatkan tidak hanya pencapaian tujuan akademik (academic objectives) tetapi juga
tujuan keterampilan bekerjasama (collaborative skills objectives). Tujuan keterampilan
bekerjasama mencakup keterampilan memimpin, memahami perasaan orang lain,
menghargai pikiran orang lain, dan tenggang rasa.

4. Pembelajaran adaptif

Ciri khas dari pendidikan inklusif adalah tersedianya program pembelajaran yang adaftif
atau program pembelajaran individual (individualized instructional programs). Program
pembelajaran adaptif tidak hanya ditujukan kepada peserta didik dengan problema belajar
tetapi juga untuk peserta didik yang dikaruniai keunggulan. Penyusunan program
pembelajaran adaptif menuntut keterlibatan tidak hanya guru kelas atau guru bidang studi
tetapi juga guru PLB, orangtua, guru BK, dan ahli-ahli lain yang terkait.

5. Konsultasi kolaboratif

Konsultasi kolaboratif (collaborative consultation) adalah saling tukar informasi antar


profesional dari semua disiplin yang terkait untuk memperoleh keputusan legal dan
instruksional yang berhubungan dengan siswa yang membutuhkan layanan pendidikan
khusus. Yang dimaksud dengan profesional dalam hal ini adalah guru PLB, guru kelas atau
guru bidang studi, konselor, psikolog, dan atau ahli-ahli lain yang terkait. Beberapa ahli
telah mengembangkan model konsultasi kolaboratif untuk melakukan tindakan pencegahan
dan rahabilitasi siswa yang membutuhkan layanan pendidikan khusus di kelas reguler.
Berdasarkan model yang mereka buat guru PLB dan guru reguler bersama anggota tim
lainnya melakukan diskusi untuk menentukan sifat dan ukuran-ukuraaan yang
dipergunakan untuk menentukan masalah siswa, memilih dan merekomendasikan tindakan,
merencanakan danmengimplementasikan program pembelajaran, dan melakukan evaluasi
hasil intervensi serta melakukan perencanaan ulang jika diperlukan.

6. Hidup dan belajar dalam masyarakat


Dalam pendidikan inklusif kelas harus merupakan bentuk mini dari suatu kehidupan
masyarakat yang diidealkan. Di dalam kelas diciptakan suasana yang silih asah, silih asih,
dan silih asuh. Dengan kata lain, suasana belajar yang kooperatif harus diciptakan
sehingga di antara siswa terjalin hubungan yang saling menghargai. Semua siswa tidak
peduli betapapun perbedaannya, harus dipandang sebagai individu unik yang memiliki
potensi kemanusiaan yang harus dikembangkan dan diaktualisasikan dalam kehidupan.

7. Hubungan kemitraan antara sekolah dengan keluarga.

Keluarga merupakan fondasi tempat anak-anak belajar dan berkembang. Begitu pula
dengan sekolah, juga tempat anak belajar dan berkembang. Keduanya memiliki fungsi yang
sama. Perbedaannya, pendidikan dalam keluarga tidak terprogram dan terukur sedangkan
di sekolah pendidikan lebih banyak dilakukan secara terprogram dan terukur atau yang
biasa disebut dengan pembelajaran. Karena kedua lembaga tersebut hakekatnya
mempunyai fungsi yang sama, maka keduanya harus menjalin hubungan kemitraan yang
erat dalam upaya memberdayakan semua potensi kemanusiaan siswa agar dapat
berkembang optimal dan terintegrasi. Keluarga memiliki informasi yang lebih akurat
mengenai keunikan, kekuatan, dan minat anak, sedangkan sekolah memiliki informasi yang
lebih akurat mengenai prestasi akademik siswa. Informasi mengenai anak yang dimiliki oleh
keluarga merupakan landasan penting bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif.

8. Belajar dan berfikir independen.

Dalam pendidikan inklusif guru mendorong agar siswa mencapai perkembangan kognitif
taraf tinggi dan kreatif agar mampu berfikir independen. Berkenaan dengan semakin
majunya ilmu dan teknologi, pendidikan inklusif sangat menekankan agar siswa memiliki
keterampilan belajar dan berpikir. Guru hendaknya juga mengetahui bahwa hasil-hasil
penelitian mengenai anak-anak kesulitan belajar (students with learning difficulties)
menunjukkan bahwa mereka umumnya pasif dalam belajar, kurang mampu melakukan
control diri, cenderung bergantung (dependent),dan kurang memiliki strategi untuk belajar.
Sehubungan dengan karakteristik siswa berkesulitan belajar semacam itu maka guru perlu
memiliki kemampuan untuk memberikan dorongan atau motivasi dengan menerapkan
berbagai teknik, terutama yang berkenaan dengan manajemen perilaku atau memodifikasi
perilaku.

9. Belajar sepanjang hayat

Pendidikan inklusif memandang pendidikan di sekolah sebagai bagian dari perjalanan


panjang hidup seorang manusia; dan manusia belajar sepanjang hidupnya (lifelong
learning). Belajar sepanjang hayat memiliki makna yang melampaui sekedar menguasai
berbagai kompetensi yang menjadi tuntutan kurikulum dan upaya untuk naik kelas. Belajar
sepanjang hayat pada hakekatnya adalah belajar untuk berfikir kritis dan belajar untuk
menyelesaikan berbagai masalah kehidupan. Oleh karena itu, pendidikan inklusif
menekankan pada pengalaman belajar yang bermanfaat bagi kelangsungan proses belajar
peserta didik dalam kehidupan masyarakat.

4.

Anda mungkin juga menyukai