Anda di halaman 1dari 46

Pajak Penghasilan Badan

1. Subjek Pajak Badan


A. Badan
Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi PT, CV, Perseroan
lainnya, BUMN/D, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan,
Perkumpulan, Yayasan, Organisasi Massa, Organisasi Sosial Politik, atau organisasi
yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk
reksadana.

B. Bentuk Usaha Tetap


Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha (place
of business) yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung termasuk juga mesin-
mesin dan peralatan. Bentuk usaha tetap juga mencakup orang pribadi atau badan
selaku agen yang kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama
orang pribadi atau badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia.
Dalam Undang-undang ini, bentuk usaha tetap ditentukan sebagai Subjek Pajak
tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya
dipersamakan dengan Subjek Pajak Badan, untuk pengenaan pajak penghasilan,
bentuk usaha tetap mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam
pengertian badan.

Untuk keperluan penghitungan pajaknya, subjek pajak badan dibagi ke dalam 2


kelompok Subjek Pajak, yaitu:
(1) Subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu:
 Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Pajak Penghasilan dihitung dari tarif pajak dikalikan penghasilan neto.

(2) Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu:


 Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,
yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui Bentuk Usaha
Tetap (BUT) di Indonesia atau yang menerima atau memperoleh penghasilan
dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
melalui Bentuk Usaha Tetap(BUT) di Indonesia.
Pajak Penghasilan dihitung dari tarif pajak dikalikan penghasilan bruto.

1
Pengenaan pajak secara khusus diterapkan terhadap BUT dimana pengenaan pajak
dilakukan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Perlakuan pajak sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri, dimana pajak diterapkan
dari laba neto BUT
2. Perlakuan pajak sebagai Subjek Pajak Luar Negeri, dimana pajak diterapkan dari
sisa laba setelah pajak yang siap dikirim ke negara asal.

2. Tidak termasuk Subjek Pajak Badan

A. Badan perwakilan negara asing seperti Kedutaan Besar dan Konsulat;


B. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
 Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut,
 Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota.
C. Unit-unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
 dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
 dibiayai dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD;
 penerimaan lembaga tersebut dimasukkan dalam anggaran;
 pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara

3. Objek Pajak (Pasal 4 ayat 1 UU Pajak Penghasilan)

Yang menjadi Objek Pajak Wajib Pajak BADAN adalah PENGHASILAN, yaitu

 Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib


Pajak,
 Baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
 Yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan,
 Dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:
1) Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
2) Laba usaha;
3) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta;
4) Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
5) Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian
utang;
6) Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk deviden dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian hasil usaha koperasi;
7) Royalti;
8) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
9) Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
10) Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
11) Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
12) Premi asuransi, yang diterima perusahaan asuransi;

2
13) Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
14) Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan
pajak.

15) penghasilan dari usaha berbasis syariah;

16) imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur


mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
17) surplus Bank Indonesia.

4. Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final (Pasal 4 ayat 2 UU Pajak


Penghasilan)

Dalam rangka memberikan kesederhanaan dalam pemungutan pajak, keadilan, dan


pemerataan dalam pengenaan pajaknya serta memperhatikan perkembangan ekonomi
dan moneter, pemerintah perlu memberikan perlakuan tersendiri terhadap pengenaan
pajak atas penghasilan dari jenis transaksi tertentu. Dengan mempertimbangkan
kemudahan dalam pelaksanaan pengenaan serta agar tidak menambah beban administrasi
baik bagi wajib pajak maupun Direktorat Jenderal Pajak, penghasilan dari transaksi
tertentu dikenakan pajak bersifat final. Ketentuan ini diatur tersendiri dengan Peraturan
Pemerintah.

Konsekuensi dari pengenaan pajak yang bersifat final ini adalah:

(1) penghasilan yang diterima atau diperoleh tidak dihitung kembali pajaknya pada
saat penghitungan pajak akhir tahun,
(2) pajak yang telah dibayar atau dipotong pada saat perolehan penghasilan atau saat
transaksi tidak dapat dikreditkan dengan pajak terutang yang dihitung pada saat
penghitungan pajak akhir tahun,
(3) biaya-biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan perolehan penghasilan yang
dikenakan pajak bersifat final tidak dapat dikurangkan dari penghasilan sebagai
dasar penghitungan pajak terutang.
Berikut adalah jenis-jenis penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final:

No Jenis Penghasilan Tarif Dasar Pengenaan Ket.

1 Bunga Deposito, Tabungan, Jumlah bruto Penghasilan PP


dan Diskonto SBI bunga/diskonto 131/2000
20%

2 Hadiah Undian 25% Jumlah bruto penghasilan PP


132/2000
harga pasar hadiah berupa
barang/kenikmatan

3 Bunga Simpanan Anggota 10% Jumlah penghasilan bunga PP


Koperasi (di atas Rp 240.000) 15/2009

3
4 Bunga/Diskonto Obligasi yg Jumlah bruto penghasilan PP 6/
dijual di Bursa Efek bunga/diskonto 2002
20%

5 Penjualan Saham di bursa 0.1% Jumlah bruto nilai transaksi PP


efek penjualan 14/1997

Tambahan untuk penjualan


0.5% saham pendiri

6 Penyalur/dealer/agen produk 0.3 % Penjualan Premium/Solar/ 254/KMK


Pertamina dan Premix Premix/Minyak Tanah/Gas .03/2001
LPG/Pelumas

7 Persewaan Tanah dan/atau 10% Jumlah bruto nilai sewa PP


Bangunan 5/2002

8 Jasa Konstruksi

 Pelaksana(kualifikasi usaha 2% Jumlah imbalan bruto PP


kecil) 51/2008
 Pelaksana(tanpa kualifikasi 3% Jumlah imbalan bruto
usaha)
4% Jumlah imbalan bruto
 Pelaksana(kualifiaksi
menengah & besar) 4% Jumlah imbalan bruto
 Perencana & Pengawas
(memiliki kualifikasi
usaha)
 Perencana & Pengawas 6% Jumlah imbalan bruto
(tanpa kualifikasi usaha)

5. Tidak termasuk Objek Pajak (Pasal 4 ayat 3 UU Pajak Penghasilan)

Undang-undang menentukan jenis-jenis penghasilan atau penerimaan yang bukan


merupakan objek pajak. Hal ini membawa konsekuensi bahwa penghasilan atau
penerimaan tersebut tidak perlu dihitung sebagai penghasilan yang dikenakan pajak pada
saat penghitungan pajak akhir tahun. Jenis-jenis penghasilan dan penerimaan itu adalah
sebagai berikut:

(1) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh Badan Amil Zakat atau
Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan Pemerintah; serta
Harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau
badan sosial atau pengusaha kecil termasuk Koperasi yang ditetapkan Menkeu;

sepanjang tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan


antara pihak-pihak yang bersangkutan.

4
(2) Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh Badan sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal
(3) Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh Perseroan Terbatas(PT),
Koperasi, BUMN/D, yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri dari penyertaan
modal pada badan usaha yang didirikan dan berkedudukan di Indonesia, dengan
syarat:
 deviden tersebut berasal dari cadangan laba yang ditahan;
 dalam hal penerima deviden adalah PT dan BUMN/D, kepemilikan saham pada
badan yang memberikan deviden paling rendah 25% dari jumlah modal yang
disetor;
 harus memiliki usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
(4) Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menkeu, baik dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai
(5) Penghasilan dana pensiun dari modal yang ditanamkan dalam bidang-bidang
tertentu, yaitu :
 deposito, sertifikat deposito, tabungan pada bank di Indonesia
 obligasi yang diperdagangkan di Pasar Modal Indonesia
 saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia
(6) Bunga Obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana selama 5 tahun
pertama sejak pendirian perusahaan atau sejak pemberian ijin usaha
(7) Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura, berupa bagian
laba dari pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha di Indonesia,
sepanjang perusahaan pasangan usaha tersebut:
 merupakan perusahaan kecil atau menengah atau yang menjalankan usaha dalam
sektor usaha yang ditetapkan Menkeu.
 sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia

(8) sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah
terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan
pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak
diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

5
6. Mekanisme Pengenaan Pajak Penghasilan

Uraian Rp.

xxx
Penghasilan Bruto (Penjualan/Pendapatan)

Pengurang Penghasilan Bruto (HPP dan Biaya Operasional) (xxx)

Penghasilan Neto dari Usaha (Laba Usaha) xxx

Penghasilan Neto Luar Usaha xxx

Biaya Luar Usaha (xxx)


Jumlah Penghasilan Neto (Laba Bersih) xxx

Kompensasi Rugi (lima tahun terakhir) (xxx)

Penghasilan Kena Pajak xxx


Tarif Pajak X%

PPh terutang xxx


KREDIT PAJAK :

 PPh 22, 23, 24 (xxx)

 PPh 25, Fiskal LN (xxx)

 PPh pengalihan hak atas Tanah/ Bangunan, kecuali yang


dibayarkan oleh Yayasan & Organisasi sejenis
(xxx)

PPh yang kurang (lebih) bayar xxx

Dalam menentukan Penghasilan Neto/Penghasilan Kena Pajak, Wajib Pajak Badan tidak
diperkenankan menghitung dengan menggunakan Norma Penghitungan. Wajib Pajak
Badan harus menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan standar akuntansi yang lazim
diterapkan di Indonesia.

7. Tarif Pajak

Tarif pajak tahun 2009 diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh Wajib
Pajak Badan atau Bentuk Usaha Tetap dengan tarif 28%. Tarif ini akan diturunkan
menjadi 25% dalam tahun 2010 dan seterusnya.

8. Penghitungan Pajak Penghasilan terutang

6
Berdasarkan Laporan Rugi Laba yang merupakan output dari pembukuan perusahaan,
maka akan dihasilkan Penghasilan Neto (Penghasilan Kena Pajak) yang siap dikenakan
tarif Pajak sesuai pasal 17 Undang-undang Pajak Penghasilan.

Contoh penghitungan pajak tahun 2019:

Penjualan Rp. 60.000.000.000

Harga Pokok Penjualan Rp. 59.750.000.000


Laba Kotor Rp. 250.000.000

Biaya Usaha Rp. 150.000.000


Laba Usaha Rp. 100.000.000

Penghasilan dari Luar Usaha Rp. 130.000.000

Biaya dari Luar Usaha Rp. (10.000.000)


Laba Bersih Rp. 220.000.000

Kompensasi Kerugian Rp. (120.000.000)


PENGHASILAN KENA PAJAK Rp. 100.000.000
PPh Terutang:

- 25% x Rp 100.000.000 Rp 25.000.000


.

9. Penghitungan PPh Pada Akhir Tahun

* Bagi wajib pajak Badan dalam negeri, Pajak Penghasilan yang terutang sebelum
dilunasi/dibayar terlebih dahulu dikurangi dengan kredit pajak (pajak yang
dibayar di muka/prepaid tax) untuk tahun pajak yang bersangkutan, yang terdiri
dari :

- PPh Pasal 22, yaitu pemungutan pajak oleh pihak lain atas penghasilan dari
kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain.
- PPh Pasal 23, yaitu pemotongan pajak oleh pihak lain atas penghasilan berupa
dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah dan penghargaan, dan imbalan jasa
tertentu.
- PPh Pasal 24 (kredit pajak luar negeri), yaitu pajak yang dibayar atau terutang
atas penghasilan dari luar negeri yang boleh dikreditkan.
- PPh Pasal 25, yaitu pembayaran (angsuran) pajak yang dilakukan oleh wajib
pajak sendiri.

7
- Fiskal Luar Negeri, yaitu pajak yang dibayarkan oleh penduduk Indonesia yang
bertolak ke luar negeri, baik melalui udara atau laut, untuk kepentingan dinas
perusahaan. Mulai 1 Januari 2011, ketentuan Fiskal LN dihapuskan.

* Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
di bidang perpajakan yang berlaku tidak dapat dikreditkan dengan pajak yang
terutang.
*Contoh :

Jumlah PPh terutang untuk tahun pajak 2019 = Rp 25.000.000,00


Dikurangi : Kredit Pajak :

- PPh Pasal 22 Rp 1.000.000,00


- PPh Pasal 23 Rp 3.000.000,00
- PPh Pasal 25 (angsuran bulanan) Rp 12.000.000,00

Rp
Jumlah kredit pajak
16.000.000,00

Rp
Pajak Penghasilan yg masih harus dibayar
9.000.000,00

* Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih kecil
dari pada jumlah kredit pajaknya, maka setelah dilakukan pemeriksaan, kelebihan
pembayaran pajak tersebut dikembalikan setelah diperhitungkan dengan utang
pajak berikut sanksi-sanksinya, kalau ada.
* Apabila jumlah pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata lebih besar
dari pada jumlah kredit pajaknya, maka kekurangan pajak yang terutang tersebut
harus dilunasi selambat-lambatnya pada akhir bulan keempat setelah tahun pajak
berakhir sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan (Surat Setoran Pajak-nya
dilampirkan dalam SPT tersebut).

HAL-HAL YANG HARUS DIPERHATIKAN DALAM MENGHITUNG


PENGHASILAN NETO WAJIB PAJAK BADAN:

Pada dasarnya, untuk menghitung penghasilan neto Wajib Pajak Badan dilakukan
dengan mengurangkan total biaya dari total penghasilan. Namun demikian, untuk
keperluan penghitungan pajak, kedua unsur laporan rugilaba tersebut (penghasilan dan
biaya) harus disesuaikan dengan ketentuan perpajakan terlebih dahulu. Dari sisi

8
penghasilan, kita harus mengeluarkan penghasilan yang telah dikenakan pajak bersifat
final dan penghasilan yang bukan obyek pajak (lihat pembahasan di awal bab ini). Selain
memperhatikan aspek penghasilan, kita juga harus memilah apakah terdapat unsur biaya
yang tidak diperkenankan oleh ketentuan pajak untuk dikurangkan dari penghasilan.
Berikut adalah ketentuan mengenai Biaya-biaya menurut ketentuan perpajakan yang
berlaku.

1. Biaya yang Dapat Dikurangkan dari Penghasilan (Pasal 6 UU No. 36/2008)

Untuk mendapatkan Penghasilan Kena Pajak, Penghasilan Bruto berupa


penjualan, atau pendapatan jasa dan penghasilan lainnya dikurangi terlebih dahulu
dengan Beban atau biaya yang dikeluarkan/terjadi sehubungan dengan kegiatan
usaha/pekerjaan bebasnya.

Beban yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dapat dibagi dalam dua
golongan, yaitu beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1
(satu) tahun dan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun. Beban yang
mempunyai masa manfaat kurang dari setahun merupakan biaya pada tahun yang
bersangkutan, misalnya gaji, transportasi, telepon, dll. Sedangkan pengeluaran yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun, pembebanannya dilakukan
melalui penyusutan atau amortisasi.

Di samping itu apabila dalam suatu tahun pajak didapat kerugian karena
penjualan harta atau karena selisih kurs, maka kerugian tersebut dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto.

Undang-undang Pajak Penghasilan menentukan Biaya-biaya yang


diperbolehkan menjadi pengurang penghasilan, yaitu:

a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;

2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji,


honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan
dalam bentuk uang;
3. bunga, sewa, dan royalti;
4. biaya perjalanan;
5. biaya pengolahan limbah;
6. premi asuransi;

7. biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau berdasarkan


Peraturan Menteri Keuangan;
8. biaya administrasi; dan
9. pajak kecuali Pajak Penghasilan;

b. penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan


amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain

9
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 11 dan Pasal 11A;

c. iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri
Keuangan;

d. kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan


digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan;

e. kerugian selisih kurs mata uang asing;

f. biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan di


Indonesia;

g. biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;

h. piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat:

1) telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;

2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat


ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan

3) telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri


atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya
perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang
antara kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau adanya
pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk
jumlah utang tertentu;

4) syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk


penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k;
yang pelaksanaannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan;

i. sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional yang


ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

j. sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di


Indonesia yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah;

k. biaya pembangunan infrastruktur sosial yang ketentuannya diatur dengan


Peraturan Pemerintah;

l. sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur dengan


Peraturan Pemerintah; dan

10
m. sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah.

n. Apabila penghasilan bruto setelah pengurangan biaya-biaya di atas didapat


kerugian, kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan mulai
tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan 5 (lima) tahun.

2. Biaya yang tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan (Pasal 9 UU No. 36/2008)

Pada prinsipnya biaya yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto adalah
biaya yang mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak
yang pembebanannya dapat dilakukan dalam tahun pengeluaran atau selama masa
manfaat dari pengeluaran tersebut.

Pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto juga


meliputi pengeluaran yang sifatnya adalah pemakaian penghasilan, atau yang
jumlahnya melebihi kewajaran. Undang-undang menentukan jenis-jenis biaya yang
tidak boleh dikurangkan dari penghasilan, yaitu:

a) pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

b) biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang


saham, sekutu, atau anggota;

c) pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali:

1) cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain
yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang;

2) cadangan untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang


dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

3) cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan;

4) cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan;

5) cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan; dan

6) cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah


industri untuk usaha pengolahan limbah industri, yang ketentuan dan
syarat-syaratnya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan;

d) penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan

11
dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan
minuman bagi seluruh pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan
pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

e) jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham atau
kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan
dengan pekerjaan yang dilakukan;

f) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali sumbangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m
serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh
lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah;

g) Pajak Penghasilan;

h) gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan


komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham;

i) sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundangundangan di
bidang perpajakan.

Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang


mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk
dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.

3. Penyusutan dan Amortisasi Fiskal

Aktiva Tetap adalah harta perusahaan yang dimiliki untuk menciptakan


penghasilan dan mempunyai masa manfaat (umur ekonomis) lebih dari satu tahun.
Terhadap aktiva ini diperkenankan untuk dilakukan alokasi pembebanan biaya melalui
penyusutan dan dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto.
Pada hakekatnya penyusutan adalah alokasi harga perolehan aktiva tetap kepada
periode dimanfaatkannya aktiva tersebut. Karena pembebanan biaya ini tidak melibatkan
uang tunai, maka pada akhir masa manfaat aktiva tersebut dapat terkumpul dana untuk
perolehan aktiva baru.

AMORTISASI dilakukan terhadap harta tak berwujud dan pengeluaran lain


yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1(satu) tahun. Sedangkan yang dimaksud harta
tak berwujud adalah suatu aktiva yang umurnya panjang, yang berguna dalam operasi

12
perusahaan, yang dimiliki bukan untuk dijual kembali, tetapi tidak mempunyai fisik,
misalnya hak cipta/paten, goodwil dan biaya pendirian perusahaan

A. Harta Yang Dapat Disusutkan Menurut Ketentuan Fiskal ( Pasal 11 Undang-


Undang Nomor 36 Tahun 2008 )
- Yaitu harta berwujud yang memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang
digunakan untuk mendapatkan menagih, dan memelihara penghasilan (obyek
pajak), kecuali tanah.
- Harta yang tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan tidak boleh disusutkan secara fiskal. Misalnya; kendaraan perusahaan
yang dikuasai dan dibawa pulang oleh karyawan (mulai tahun pajak 2003 sudah
diperbolehkan untuk disusutkan secara fiskal sebesar 50%), rumah dinas/mess
karyawan yang tidak terletak di daerah terpencil.
- Dalam hal harta yang tidak boleh disusutkan secara fiskal tersebut dijual
(dialihkan), keuntungannya merupakan obyek PPh, yang dihitung dari selisih
antara harga jual (nilai pasar) dengan harga perolehan. Dalam hal selisihnya negatif
(rugi), kerugian tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
- Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran kecuali untuk
harta yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan
selesainya pengerjaan harta tesebut. Penyusutan pada tahun pertama dihitung
secara pro-rata.
- Dengan persetujuan Dirjen Pajak, wajib pajak dapat melakukan penyusutan mulai
pada bulan digunakannya harta tersebut untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut mulai menghasilkan

B. Harga Perolehan Aktiva Tetap (Pasal 10 Undang-Undang Nomor 36 Tahun


2008)
- Jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan untuk mendapatkan harta yang
bersangkutan, dalam hal harta tersebut diperoleh dalam transaksi jual beli yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa (Pasal 18 Undang-Undang Nomor 36/2008).
Apabila dipengaruhi adanya hubungan istimewa, harga perolehan dihitung
berdasarkan jumlah yang seharusnya dikeluarkan (harga pasar wajar).
- Jumlah yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar wajar, dalam hal
harta tersebut diperoleh dengan tukar-menukar.
- Jumlah yang seharusnya dikeluarkan berdasarkan harga pasar wajar, dalam hal
harta tersebut diperoleh dalam rangka likuidasi, penggabungan, pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan perusahaan, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri
Keuangan.
- Nilai sisa buku fiskal harta yang bersangkutan atau nilai yang ditetapkan oleh
Dirjen Pajak, dalam hal harta tersebut diperoleh karena sumbangan, bantuan, zakat,
hibah serta warisan yang memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-

13
Undang Nomor 36 Tahun 2008.
- Nilai pasar dari harta yang bersangkutan, dalam hal harta tersebut diperoleh dalam
rangka setoran modal sebagai pengganti saham atau penyertaan modal (Pasal 4
ayat (3) huruf c Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008).
- Harga perolehan aktiva yang dibangun sendiri :

- Yaitu biaya-biaya untuk membangun atau membuat aktiva tersebut, dimana


harus dikeluarkan (dikoreksi) unsur-unsur biaya yang menurut ketentuan fiskal
tidak dapat dibebankan (non deductible).
- Dalam hal aktiva tersebut dibangun dengan dana yang berasal dari pinjaman,
biaya bunga pinjaman tersebut harus dikapitalisir dalam harga perolehan aktiva
yang bersangkutan (menjadi unsur harga perolehan).

C. Metode Penyusutan Aktiva Tetap ( Pasal 11 UU Nomor 36 Tahun 2008 )


Terhadap aktiva yang temasuk Kelompok I s.d. Kelompok IV, wajib pajak
* diperkenankan untuk memilih antara metode garis lurus (straight line methode)
atau metode saldo menurun (decline balance methode).
Terhadap aktiva kelompok bangunan, wajib pajak harus menerapkan metode garis
*
lurus.
* Penggunaan metode penyusutan tersebut harus dilakukan secara taat azas.
Masa manfaat dan tarif penyusutan aktiva untuk masing-masing kelompok telah
*
ditetapkan sebagai berikut :
 Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat Tarif PenyusutanTarif Penyusutan
Metode GarisMetode Saldo
Lurus Menurun
I. Bukan Bangunan      
  Kelompok I 4 Tahun 25% 50%
  Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25%
  Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5%
  Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%

II. Bangunan :
  Permanen 20 Tahun 5%
  Tidak Permanen 10 Tahun 10%

14
Contoh penggunaan metode garis lurus :

Sebuah gedung yang harga perolehannya Rp 100.000.000,00 dan masa manfaatnya


20 tahun, penyusutannya setiap tahun adalah sebesar Rp 5.000.000,00
(Rp100.000.000 / 20)

Contoh penggunaan metode saldo menurun :

Sebuah mesin dibeli pada bulan Januari 2015 dengan harga perolehan Rp
150.000.000,00. Masa manfaat mesin tersebut adalah 4 tahun (tarif penyusutannya
50%). Maka perhitungan penyusutannya adalah sbb :
Tahun Tarif Penyusutan Nilai Sisa Buku

Harga perolehan   150.000.000,00

2015 50% 75.000.000,00 75.000.000,00

2016 50% 37.500.000,00 37.500.000,00

2017 50% 18.750.000,00 18.750.000,00

Disusutkan sekaligus
2018 sebesar nilai sisa 18.750.000,00 0
buku

  Penetapan kelompok-kelompok aktiva tetap diatur dalam Keputusan Menteri


Keuangan (Kelompok aktiva non bangunan dalam Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 138/KMK.03/2002 tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 520/KMK.04/2000 dan khusus untuk perusahaan pertambangan diatur
dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 521/KMK.04/2000
  Bangunan tidak permanen adalah  bangunan yang bersifat sementara dan terbuat
dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipidah-pindahkan yang
masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun. Misalnya, barak atau asrama yang
dibuat dari kayu untuk karyawan.
  Dalam rangka menyesuaikan dengan karakteristik bidang-bidang usaha tertentu,
seperti pertambangan minyak dan gas bumi, perkebunan tanaman keras, perlu
diberikan pengaturan tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang digunakan
dalam usaha tersebut, yang ketentuannya akan ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan.
  Apabila terjadi pengalihan atau penarikan aktiva tetap tersebut di atas, maka
jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva tersebut dapat dibebankan sebagai biaya dan
jumlah harga jual (nilai pasar) atau penggantian asuransi yang diterima atau
diperoleh diakui sebagai penghasilan.
  Dalam hal penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat

15
diketahui dengan pasti di masa kemudian, maka dengan persetujuan Dirjen Pajak
jumlah nilai sisa buku fiskal aktiva yang bersangkutan dapat dibebankan sebagai
biaya masa kemudian tersebut (matching expense against revenue).
  Dalam hal pengalihan aktiva berupa bantuan, sumbangan, atau hibah yang
memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 36 TAHUN
2008, maka nilai sisa buku fiskal harta tersebut tidak dapat dibebankan sebagai
biaya (kerugian) bagi pihak yang mengalihkan dan bukan penghasilan bagi pihak
yang menerima. Sebaliknya, apabila tidak memenuhi syarat Pasal 4 ayat (3) huruf a
dan b Undang-Undang Nomor 36 TAHUN 2008, maka bagi pihak yang
mengalihkan nilai sisa bukunya tidak dapat diakui sebagai biaya, dan bagi
penerimanya merupakan penghasilan.

D. Harta Tak Berwujud Yang Dapat Diamortisasi ( Pasal 11A Undang-Undang


Nomor 36 TAHUN 2008 )
- Pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya
(termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai)
yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, yang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Metode amortisasinya sbb :

Kelompok Harta Masa Manfaat Tarif Penyusutan Tarif Penyusutan


Tak Berwujud Metode Garis Lurus Metode Saldo
Menurun

Kelompok I 4 Tahun 25% 50%

Kelompok II 8 Tahun 12,5% 25%

Kelompok III 16 Tahun 6,25% 12,5%

Kelompok IV 20 Tahun 5% 10%

- Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal (dapat dipilih
apakah diamortisasi dengan metode di atas atau langsung dibebankan seluruhnya
pada tahun terjadinya).
- Pengeluaran yang dilakukan sebelum perusahaan beroperasi komersial yang
memiliki masa manfaat lebih dari satu tahun, dikapitalisasi (sebagai biaya
praoperasi) kemudian dimortisasi dengan metode di atas.
- Yang termasuk pengeluaran praoperasi adalah biaya-biaya yang dikeluarkan
sebelum perusahaan beroperasi komersial, misalnya biaya study kelayakan dan
biaya produksi percobaan, tetapi tidak termasuk biaya-biaya operasional yang

16
sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, rekening listrik dan telepon, dan biaya kantor
lainnya. Pengeluaran yang rutin tersebut harus dibebankan sekaligus pada tahun
terjadinya.
- Pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain yang mempunyai masa
manfaat lebih dari 1 tahun di bidang penambangan minyak dan gas bumi
dengan menggunakan metode satuan produksi, yaitu :

= {Produksi tahun ini / Taksiran deposit minyak mentah (gas bumi) yang bisa
ditambang} x 100 %
- Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain migas, hak pengusahaan
hutan, dan hak pengusahaan sumber alam/hasil alam lainnya yang memiliki masa
manfaat lebih dari satu tahun, dengan menggunakan metode satuan produksi paling
tinggi 20%. Yaitu :

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) :

= {Produksi tahun ini / Taksiran produksi dalam konsesi HPH} x 100%,


maksimum 20%.

Hak Penambangan selain minyak dan gas bumi :

= {Produksi tahun ini / Taksiran deposit mineral yang bisa ditambang} x


100%, maksimum 20%.

Catatan :

Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari jumlah
taksiran produksi, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh
hak atau pengeluaran lain (yang belum diamortisasi), maka sisa pengeluaran yang
belum diamortisasi tersebut dapat dibebankan sekaligus dalam tahun pajak yang
bersangkutan.

- Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau hak-hak tersebut di atas, maka nilai
sisa buku fiskalnya dibebankan sebagai biaya, sedangkan jumlah yang diterima atau
diperoleh sebagai penggantiannya merupakan penghasilan.
- Apabila pengalihan tersebut dalam rangka sumbangan, hibah, bantuan, dan warisan
yang memenuhi syarat dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU Nomor 36 TAHUN 2008,
maka nilai sisa buku fiskalnya tidak dapat diakui sebagai biaya dan bagi penerimanya
bukan penghasilan.

17
E. Jenis-Jenis Harta Berwujud (138/KMK.03/2002)

Kelompok I

No. Jenis Usaha Jenis Harta

1. Semua Jenis Usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan termasuk
meja, bangku, kursi, almari dan yang sejenisnya
yang bukan bagian dari bangunan
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung,
duplikator, mesin fotokopi, mesin
akunting/pembukuan, komputer, printer, scanner
dan sejenisnya
c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier,
tape/cassette, video recorder, televisi dan
sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak
e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi industri/jasa
yang bersangkutan
f. Alat dapur untuk memasak, makanan dan
minuman
g. Dies, jigs, dan mould.

2. Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin


kehutanan, dan
perikanan

3. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan seperti,


minuman huller, pemecah kulit, penyosoh, pengering, pallet,
dan sejenisnya

4. Perhubungan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai


pergudangan dan angkutan umum.
komunikasi

5. Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test
system, elimination (PE8-1), pose checker.

Kelompok II

No. Jenis Usaha Jenis Harta

18
1. Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari logam temasuk meja,
bangku, kursi, almari dan sejenisnya yang bukan
merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur
udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.

2. Pertanian, perkebunan, a. Mesin pertanian / perkebunan seperti traktor dan


kehutanan, perikanan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar
benih dan sejenisnya.
b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau
memproduksi bahan atau barang pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan perikanan.

3. Industri makanan dan a. Mesin yang mengolah produk asal binatang,


minuman unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu,
pengalengan ikan
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya
mesin minyak kelapa, magarine, penggilingan
kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian
seperti penggilingan beras, gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan / memproduksi
minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis.
d. Mesin yang menghasilkan / memproduksi bahan-
bahan makanan dan makanan segala jenis.

4. Industri mesin Mesin yang menghasilkan / memproduksi mesin


ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).

5. Perkayuan Mesin dan peralatan penebangan kayu.

6. Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat,


dump truck, crane buldozer dan sejenisnya.

7. Perhubungan, a. Truck kerja untuk pengangkutan dan bongkar


pergudangan dan muat, truck peron, truck ngangkang, dan
komunikasi sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus
dibuat untuk pengangkutan barang tertentu
(misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang dan
sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal
tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang
mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau
mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan
sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan
100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang

19
mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
e. Kapal balon.

8. Telekomunikasi a. Perangkat pesawat telepon;


b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman
dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.
9. Industri semi konduktor Auto frame loader, automatic logic handler, baking
oven, ball shear tester, bipolar test handler
(automatic), cleaning machine, coating machine,
curing oven, cutting press, dambar cut machine,
dicer, die bonder, die shear test, dynamic burn-in
system oven, dynamic test handler, eliminator
(PGE-01), full automatic handler, full automatic
mark, hand maker, individual mark, inserter
remover machine, laser marker (FUM A-01), logic
test system, marker (mark), memory test system,
molding, mounter, MPS automatic, MPS manual,
O/S tester manual, pass oven, pose checker, re-form
machine, SMD stocker, taping machine, tiebar cut
press, trimming/forming machine, wire bonder, wire
pull tester.

Kelompok III

No. Jenis Usaha Jenis Harta

1. Pertambangan selain Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang pertambangan,


minyak dan gas termasuk mesin - mesin yang mengolah produk pelikan.

2. Permintalan, pertenunan a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk-produk


dan pencelupan tekstil (misalnya kain katun, sutra, serat-serat buatan,
wol dan bulu hewan lainnya, lena rami, permadani,
kain-kain bulu, tule).
b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing,
printing, finishing, texturing, packaging dan
sejenisnya. 
3. Perkayuan a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk -
produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput dan
bahan anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu

4. Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah / menghasilkan

20
produk industri kimia dan industri yang ada
hubungannya dengan industri kimia (misalnya bahan
kimia anorganis, persenyawaan organis dan anorganis
dan logam mulia, elemen radio aktif, isotop, bahan
kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup,
obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris dan
resinoida-resinonida wangi-wangian, obat kecantikan
dan obat rias, sabun, detergent dan bahan organis
pembersih lainnya, zat albumina, perekat, bahan
peledak, produk pirotehnik, korek api, alloy piroforis,
barang fotografi dan sinematografi.
b. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk industri
lainnya (misalnya damar tiruan, bahan plastik, ester
dan eter dari selulosa, karet sintetis, karet tiruan, kulit
samak, jangat dan kulit mentah).
5. Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin
menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin
kapal).

6. Perhubungan, dan a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus dibuat


komunikasi untuk pengangkutan barang-barang tertentu (misalnya
gandum, batu-batuan, biji tambang dan sejenisnya)
termasuk kapal pendingin dan kapal tangki, kapal
penangkapan ikan dan sejenisnya, yang mempunyai
berat di atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau mendorong
kapal, kapal suar, kapal pemadam kebakaran, kapal
keruk, keran terapung dan sejenisnya, yang
mempunyai berat di atas 100 DWT sampai dengan
1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang mempunyai
berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala
jenis.

7. Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak jauh.

KELOMPOK IV

No. Jenis Usaha Jenis Harta

1. Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi

21
2. Perhubungan dan komunikasi a. Lokomotif uap dan tender atas rel
b. Lokomotif uap atas rel, dijalankan dengan
baterai atau dengan tenaga listrik dari sumber
luar
c. Lokomotif atas rel lainnya
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang,
termasuk kontainer khusus dibuat dan
diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat
atau beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal
khusus dibuat untuk pengangkutan barang-
barang tertentu (misalnya gandum, batu-
batuan, biji tambang dan sejenisnya) termasuk
kapal pendingin dan kapal tangki, kapal
penangkap ikan dan sejenisnya, yang
mempunyai berat di atas 1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung
dan sebagainya, yang mempunyai berat di
atas 1.000 DWT
g. Dok-dok terapung. 

F. Jenis-Jenis Harta Berwujud Untuk Usaha Jasa Telekomunikasi Seluler

Kelompok Harta Berwujud


No. Jenis Harta

1. I Base Station Controller

2. II Mobile Swiching Center, Home Location Register,


Visitor Location Register, Authentication Centre,
Equipment Identity Register, Intelligent Network
Service Management Point, Radio Base Station,
Transceiver Unit, Terminal SDH/Mini Link, Antenna

4. Penilaian Persediaan

Pada umumnya terdapat tiga golongan persediaan barang, yaitu barang dagangan
atau barang jadi, barang dalam proses, serta bahan baku & pembantu. Untuk menghitung

22
Harga Pokok Penjualan, persediaan barang yang masih tersedia pada akhir tahun pajak
harus dinilai.
Ketentuan fiskal mengharuskan penilaian persediaan berdasarkan harga perolehan
(cost method) yang dilakukan secara rata-rata (Average method) atau dengan cara
mendahulukan persediaan yang diperoleh pertama (Fifo methode).
Artinya, wajib pajak tidak diperkenankan menggunakan metode penilaian mana
yang lebih rendah antara harga perolehan dengan harga pasar (COMWIL) ataupun
menggunakan sistem mendahulukan persediaan yang diperoleh terakhir (LIFO method).

Contoh:

Tanggal Uraian Jumlah Unit Harga per unit

1 Persediaan Awal 100 Rp 9.00

2 Pembelian 100 Rp 12.00

3 Pembelian 100 Rp 11.25

4 Penjualan 100

5 Penjualan 100

Metode Rata-rata:

Tgl Pembelian Penjualan Sisa Persediaan

1 - - 100 @ 9 = Rp 900

2 100 @ 12 = Rp 1.200 - 200 @10.5 = Rp 2.100

3 100 @ 11,25 = Rp 1.125 - 300 @10.75 = Rp 3.225

4 100 @ 10.75 = Rp 1.075 200 @10.75 = Rp 2.150

5 100 @ 10.75 = Rp 1.075 100 @10.75 = Rp 1.075

Metode FIFO:

Tanggal Pembelian Penjualan Sisa Persediaan

1 100 @ 9 = Rp 900

2 100@12 = Rp 1.200 100 @ 9 = Rp 900

23
100 @ 12 = Rp 1.200

3 100@11,25 = Rp 1.125 100 @ 9 = Rp 900

100 @ 12 = Rp 1.200

100 @ 11,25= Rp 1.125

4 100 @ 9 = Rp 900 100 @ 12 = Rp 1.200

100 @ 11,25= Rp 1.125

5 100 @ 12 = Rp 1.200 100@11.25 = Rp 1.125

5. Perlakuan Pajak terhadap Biaya Tertentu

A. Biaya Bunga

- Biaya bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan


pengembalian utang merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan
bruto.
- Bunga pinjaman selama masa konstruksi suatu aset merupakan komponen biaya
langsung atas harga pokok atau harga perolehan aset yang bersangkutan.
Sehingga, biaya bunga dalam masa konstruksi suatu aset tersebut harus
dikapitalisir menjadi komponen harga pokok atau harga perolehan aset yang
bersangkutan sampai dengan konstruksi aset tersebut selesai. Selanjutnya,
pembebanan biaya bunga tersebut dilakukan melalui penyusutan/amortisasi atau
diakui pada saat penjualan barang (sebagai bagian dari harga pokok penjualan).
Lihat SE-20/PJ.42/1994
- Apabila terdapat penempatan deposito atau tabungan yang dananya langsung atau
tidak langsung berasal dari dana pinjaman yang dibebani bunga, maka :
* Apabila jumlah rata-rata pinjaman sama besarnya atau lebih kecil dibanding
jumlah rata-rata deposito atau tabungan, maka bunga atas pinjaman tersebut
seluruhnya tidak dapat dikurangkan sebagai biaya.
* Apabila jumlah rata-rata pinjaman lebih besar dibanding jumlah rata-rata
deposito atau tabungan, maka bunga atas pinjaman yang boleh dikurangkan
sebagai biaya adalah biaya bunga atas selisih antara jumlah rata-rata pinjaman
dengan jumlah rata-rata deposito atau tabungan.
* Misalnya ;
Jumlah rata-rata pinjaman dalam 1 tahun = Rp 150.000.000,00
Jumlah rata-rata deposito dalam 1 tahun = Rp 40.000.00000
Bunga pinjaman seluruhnya = Rp 30.000.000,00
Bunga pinjaman yang dapat dikurangkan sebagai biaya = {(150 juta - 40 juta) /

24
150 juta} x Rp 30 juta = Rp 22 Juta.
* Bukan termasuk dalam pengertian deposito/tabungan seperti tersebut di atas
adalah:
- Dana pinjaman yang ditempatkan dalam bentuk rekening giro yang atas
jasanya dikenakan PPh Final.
- Adanya keharusan bagi wajib pajak untuk menempatkan dana dalam jumlah
tertentu pada suatu bank dalam bentuk deposito berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, sepanjang jumlah deposito/tabungan
tersebut semata-mata untuk memenuhi ketentuan yang berlaku.

- Dapat dibuktikan bahwa penempatan deposito/tabungan tersebut dananya


berasal dari tambahan modal atau sisa laba setelah pajak.
B. Biaya Entertainment

Biaya entertainment atau jamuan dan sejenisnya dapat dikurangkan sebagai biaya
dengan syarat:

 Benar-benar dikeluarkan dan ada hubungannya dengan kegiatan usaha wajib pajak
 Dibuatkan daftar nominatif dan dilampirkan dalam SPT Tahunan PPh, yang memuat
nomor urut, tanggal dan jenis entertainment, nama tempat, alamat, jumlah, nama
relasi, posisi, nama perusahaan, jenis usaha.

C. Selisih Kurs Mata Uang Asing


 - Kerugian selisih kurs merupakan biaya (deductable expense).
- Selisih kurs karena fluktuasi :

* Apabila wajib pajak membukukan transaksi yang bersangkutan dengan kurs


tetap, maka selisih kurs diakui pada saat terjadi realisasi pembayaran.
* Apabila wajib pajak membukukan transaksi yang bersangkutan dengan kurs
tengah BI (kurs yang sebenarnya berlaku pada akhir tahun), maka selisih kurs
diakui pada akhir tahun.
* Wajib Pajak harus menggunakan metode di atas secara taat azas.
- Selisih kurs karena kebijakan Pemerintah di bidang moneter :
* Selisih kurs dibukukan dalam akun sementara di neraca, dan pembebanannya
dilakukan secara bertahap berdasarkan realisasi pembayaran valas tersebut.
* Selisih kurs krisis moneter tahun 1997 baik yang sudah direalisir maupun
belum, dapat dibebankan sekaligus atau diamortisasi selama 5 tahun.

25
D. Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu
(KEP-213/PJ/2002)

  Daerah tertentu adalah daerah terpencil yaitu daerah yang secara ekonomis
mempunyai potensi untuk dikembangkan namun sarana dan prasarananya kurang
memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum atau daerah perairan laut yang
mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh) meter yang dasar lautnya memiliki
cadangan mineral.
  Pemberian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi kerja dan bukan penghasilan bagi
pegawai.
  Penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto berupa :
a. tempat tinggal, termasuk perumahan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di
lokasi bekerja tersebut tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa;
b. pelayanan kesehatan, sepanjang dilokasi bekerja tersebut tidak ada sarana kesehatan;
c. pendidikan bagi pegawai dan keluarganya, sepanjang di lokasi bekerja tersebut tidak
ada sarana pendidikan yang setara;

d. pengangkutan bagi pegawai di Lokasi bekerja, sedangkan pengangkutan anggota


keluarga dari pegawai yang bersangkutan terbatas pada pengangkutan sehubungan
dengan kedatangan pertama ke Iokasi bekerja dan kepergian pegawai dan keluarganya
karena terhentinya hubungan kerja;
e. olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak termasuk golf, boating dan pacuan kuda,
sepanjang di Iokasi bekerja tersebut tidak tersedia sarana dimaksud.
  Pengeluaran dalam bentuk natura dan kenikmatan dibebankan sebagai biaya oleh
pemberi kerja pada tahun pajak biaya tersebut dibayarkan atau terutang.

E. Biaya Pemakaian Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan


Dasar Hukum : 

 - Biaya perolehan atau pembelian ponsel yang di miliki dan dipergunakan


perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat
dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen)  melalui
penyusutan aktiva kelompok I.
- Biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan ponsel tersebut dapat
dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).
- Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau

26
yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu
karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sebesar 50% (lima puluh persen) melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II.
- Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan
sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50% (lima puluh persen).
- Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus,
atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput
para pegawai, dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui
penyusutan aktiva tetap kelompok II.
- Biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan
seluruhnya sebagai biaya rutin perusahaan.
- Atas penghasilan wajib pajak yang telah dikenakan PPh Final atau berdasarkan
norma penghitungan khusus, maka pembebanan biaya-biaya tersebut sudah
termasuk dalam penghitungan PPh Final atau berdasarkan norma penghitungan
khusus
- Biaya-biaya tersebut bukan penghasilan bagi pegawai yang menerimanya

 F. Pengeluaran/Biaya Perolehan Perangkat Lunak (Software) Komputer, mulai


berlaku pada tahun pajak 2003
  Perangkat lunak (software) komputer adalah semua program yang dapat digunakan
pada sistem operasi komputer, dapat berupa :
- Program aplikasi umum yaitu program yang dapat dipergunakan oleh pengguna
(users) umum untuk memproses berbagai pekerjaan dengan komputer.
- Program aplikasi khusus yaitu program yang dirancang khusus untuk keperluan
otomatisasi sistem administrasi, pekerjaan atau kegiatan usaha tertentu, seperti
dibidang perbangkan, pasar modal, perhotelan, rumah sakit atau penerbangan.
Pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade software berupa program aplikasi umum
  yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan pembebanannya dilakukan sekaligus dalam
bulan pengeluaran.
Pengeluaran/biaya perolehan dan upgrade software berupa program aplikasi khusus
yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan pembebanannya dilakukan melalui
  amortisasi harta tak berwujud kelompok 1.

G. Penilaian kembali (Revaluasi) Aktiva Tetap

- Wajib pajak yang diperkenakan untuk melakukan penilaian kembali aktiva tetap

27
adalah ; wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap(BUT) yang mempunyai
aktiva tetap berwujud yang terletak/berada di Indonesia yang dimiliki dan
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
merupakan Objek Pajak, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya
sampai dengan masa pajak terakhir sebelum penilaian kembali.
- Aktiva tetap yang dapat dinilai kembali meliputi ; tanah, bangunan, dan bukan
bangunan, dengan syarat tidak dimaksudkan untuk dialihkan termasuk yang sudah
pernah dilakukan penilaian kembali sebelumnya dengan catatan paling banyak 1
(satu) kali dalam tahun yang sama.
- Penilaian kembali dapat dilakukan baik terhadap keseluruhan aktiva tetap maupun
sebagian aktiva tetap yang dimiliki. Penilaian didasarkan pada nilai pasar wajar pada
saat penilaian yang dilakukan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang
diakui/memperoleh ijin Pemerintah.

- Sisa manfaat fiskal aktiva tetap yang telah dilakukan penilaian kembali mulai bulan
dilakukannya penilaian kembali disesuaikan kembali menjadi masa manfaat penuh
untuk kelompok aktiva tetap tersebut.

- PPh Final yang terutang = 10% x (Selisih antara nilai pasar dengan nilai sisa buku
fiskal aktiva tetap - Kompensasi kerugian yang masih diperkenankan).

H. Kompensasi Kerugian

Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperkenankan berdasarkan ketentuan dalam


pasal 6 Undang-undang Pajak Penghasilan setelah dikurangkan dari penghasilan bruto
didapat kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto
atau laba fiskal selama 5(lima) tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya
sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut.

Contoh:

PT A dalam tahun 2015 menderita kerugian fiscal sebesar Rp 1.200.000.000.


Sementara itu, dalam 5(lima) tahun berikutnya laba rugi fiscal PT A adalah sebagai
berikut:

2016 : laba fiskal Rp 200.000.000

2017 : rugi fiskal ( Rp 300.000.000 )

2018 : NIHIL

2019 : laba fiskal Rp 100.000.000

2020 : laba fiskal Rp 800.000.000

28
Kompensasi kerugian dilakukan sebagai berikut:

Rugi fiskal tahun 2015 ( Rp 1.200.000.000 )

Laba Fiskal 2016 Rp 200.000.000


Sisa Rugi fiskal tahun 2015 ( Rp 1.000.000.000 )

Rugi Fiskal 2017 ( Rp 300.000.000 )


Sisa Rugi Fiskal tahun 2015 ( Rp 1.000.000.000 )

Laba Fiskal 2018 N I H I L


Sisa Rugi Fiskal 2015 ( Rp 1.000.000.000 )

Laba Fiskal 2019 Rp 100.000.000


Sisa Rugi Fiskal 2015 ( Rp 900.000.000 )

Laba Fiskal 2020 Rp 800.000.000

Sisa rugi fiskal tahun 2015 sebesar Rp 100.000.000 yang masih tersisa pada akhir
tahun 2020 tidak boleh dikompensasikan lagi dengan laba fiskal tahun 2021 dan
seterusnya, sedangkan rugi fiscal tahun 2017 sebesar ( Rp 300.000.000 ) masih dapat
dikompensasikan sampai tahun 2022.

I. Pasal 24

 (1) Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri
yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap
pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
 (2) Besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-undang ini.
 (3) Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, penentuan sumber
penghasilan adalah sebagai berikut :

a) penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut bertempat kedudukan;
b) penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan penggunaan
harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani bunga,
royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau berada;
c) penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak;
d) penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani imbalan tersebut
bertempat kedudukan atau berada;

29
e) penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan
 (4) Penentuan sumber penghasilan selain penghasilan sebagaimana dimaksud pada
angka (3) menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang dimaksud pada
angka tersebut.
 (5) Apabila pajak atas penghasilan dari luar negeri yang dikreditkan ternyata
kemudian dikurangkan atau dikembalikan, maka pajak yang terutang menurut
Undang-undang ini harus ditambah dengan jumlah tersebut pada tahun
pengurangan atau pengembalian itu dilakukan.
 (6) Ketentuan mengenai pelaksanaan pengkreditan pajak atas penghasilan dari luar
negeri ditetapkan dengan keputusan Menteri Keuangan.

(A) Penggabungan Penghasilan yang Berasal dari Luar Negeri

Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar negeri dilakukan sebagai berikut :
- Untuk penghasilan berupa dividen, dilakukan dalam tahun pajak pada saat perolehan
dividen tersebut
- Untuk penghasilan lainnya, dilakukan dalam tahun pajak diterimanya penghasilan
tersebut
- Kerugian yang diderita di luar negeri tidak boleh digabungkan dalam menghitung
Penghasilan Kena Pajak di Indonesia.

(B) Mekanisme Pengkreditan PPh yang Dibayar di Luar Negeri

- Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang di Indonesia.
- Pengkreditan PPh yang dibayar di Luar Negeri (PPh Pasal 24) dilakukan dalam tahun
pajak digabungkannya penghasilan dari luar negeri tersebut dengan penghasilan di
Indonesia.
- Jumlah PPh Pasal 24 yang dapat dikreditkan maksimum sebesar jumlah yang lebih
rendah di antara PPh yang dibayar atau terutang di Luar Negeri dan jumlah yang
dihitung menurut perbandingan antara penghasilan dari luar negeri dan seluruh
Penghasilan Kena Pajak, atau maksimum sebesar PPh yang terutang atas seluruh

30
Penghasilan Kena Pajak dalam hal di dalam negeri mengalami kerugian (Penghasilan
dari LN lebih besar dari jumlah Penghasilan Kena Pajak).
- Apabila penghasilan dari luar negeri berasal dari beberapa negara, maka
penghitungan PPh Pasal 24 dilakukan untuk masing-masing negara.
- Dalam hal jumlah PPh yang dibayar atau terutang di luar negeri melebihi PPh Pasal
24 yang dapat dikreditkan, kelebihan tersebut tidak dapat diperhitungkan di tahun
berikutnya, tidak bleh dibebankan sebagai biaya, dan tidak dapat direstitusi.
- Untuk melaksanakan prengkreditan PPh Luar Negeri, wajib pajak wajib
menyampaikan permohonan ke KPP bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunnan
PPh, dilampiri dengan :

- Laporan Keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri


- Foto kopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri
- Dokumen pembayaran PPh di luar negeri.
- Atas permohonan wajib pajak, Kepala KPP dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran di atas, karena alasan-alasan di luar kekuasaan wajib
pajak.
- Dalam hal terjadi perubahan besarnya penghasilan yang berasal dari luar negeri,
wajib pajak harus melakukan pembetulan SPT Tahunan yang bersangkutan dengan
melampirkan dokumen-dokumen yang berkenaan dengan perubahan tersebut.
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan PPh kurang dibayar, maka
atas kekurangan bayar tersebut tidak dikenakan sanksi bunga.
- Apabila karena pembetulan SPT tersebut menyebabkan lebih bayar, maka atas
kelebihan tersebut dapat dikembalikan kepada wajib pajak setelah diperhitungkan
dengan utang pajak lainnya.

1. Contoh a :

PT X berkedudukan di Jakarta memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 adalah sbb
:

- Penghasilan neto dari dalam negeri sebesar Rp 8.000.000.000,00.

Di Singapura memperoleh penghasilan (laba neto) Rp 2.000.000.000,00, dimana PPh


-
yang dibayar di Singapura sebesar Rp 800.000.000,00
Di Vietnam memperoleh penghasilan (laba neto) sebesar Rp 6.000.000.000,00, dimana
-
PPh yang dibayar sebesar Rp 1.200.000.000,00
- Di Malaysia menderita kerugian (rugi neto) sebesar Rp 5.000.000.000,00.

31
Perhitungan Kredit PPh Luar Negeri-nya adalah sbb :

Penghasilan neto dalam negeri Rp 8.000.000.000,00


Penghasilan neto dari Singapura Rp 2.000.000.000,00
Penghasilan neto dari Vietnam Rp 6.000.000.000,00

Jumlah Penghasilan Neto Rp 16.000.000.000,00


Rugi neto yang berasal dari Malaysia tidak boleh digabung (tidak diakui).

Perhitungan PPh Terutang :

25% x Rp 16.000.000.000,00 Rp 4.000.000.000,00


Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :

- Singapura = (2 Milyar / 16 Milyar) x Rp 4.000.000.000,00 = Rp 500.000.000,00


PPh yang dapat dikreditkan hanya Rp 500.000.000,00 meskipun secara nyata
membayar PPh di Singapura sebesar Rp 800.000.000,00. Sisanya tidak boleh
dikompensasi ke tahun berikutnya, direstitusi, maupun dibebankan sebagai biaya.

- Vietnam = (6 Milyar / 16 Milyar) x Rp 4.000.000.000,00 =Rp 1.500.000.000,00.


PPh yang dapat dikreditkan sebesar Rp 1.200.000.000,00 (sebesar yang nyata-nyata
dibayar/terutang di Vietnam).

2. Contoh b :

PT Y berkedudukan di Surabaya memperoleh penghasilan neto dalam tahun 2019 sbb :

- Penghasilan neto (rugi) di dalam negeri Rp (600.000.000,00)


- Penghasilan neto dari usaha di Philipina Rp 3.000.000.000,00

- Jumlah Rp 2.400.000.000,00
- PPh yang terutang di Philipina sebesar Rp 900.000.000,00
Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri :

Jumlah Penghasilan Neto (Penghsl. Kena Pajak) Rp 2.400.000.000,00

PPh Terutang :

25% x Rp 2.400.000.000,00 = Rp 600.000.000,00


Batas Maksimum Kredit Pajak Luar Negeri :

Karena jumlah Penghasilan Kena Pajaknya lebih kecil dari pada Penghasilan Neto dari
Luar Negeri (di Dalam Negeri mengalami kerugian), maka maksimum Kredit Pajak
Luar Negeri adalah sama dengan jumlah PPh yang terutang, yaitu Rp 600.000.000,00.

32
PPh yang telah dibayar di Philipina adalah sebesar Rp 900.000.000,00, sehingga
terdapat sisa sebesar Rp 300.000.000,00, yang tidak dapat dikompensasi ke tahun
berikutnya, direstitusi, maupun diakui sebagai biaya.

J. Pasal 25
A. Penghitungan PPh Pasal 25 Secara Umum

(1) Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan sama dengan PPh yang
terutang menurut SPT Tahunan PPh tahun pajak yang lalu dikurangi dengan PPh
yang telah dipotong/dipungut pihak lain (PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, dan PPh Pasal
24) dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

Contoh 1 :
Pajak Penghasilan yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan PPh tahun sebelumnya(2018) Rp 50.000.000,00

Dikurangi dengan :
PPh Pasal 22 Rp 10.000.000,00
PPh Pasal 23 Rp 17.500.000,00
Kredit pajak luar negeri (PPh Pasal 24) Rp 7.500.000,00

Jumlah kredit pajak Rp 35.000.000,00

Dasar Perhitungan PPh Pasal 25 Rp 15.000.000,00

Besarnya angsuran PPh yang harus dibayar sendiri setiap bulan dalam tahun 2019
adalah Rp 15.000.00,00 / 12 = Rp 1.250.000,00. Angsuran mulai dibayar untuk
masa disampaikannya SPT Tahunan tahun sebelumnya (2018). Bila SPT Tahunan
disampaikan tanggal 20 Pebruari 2019, maka untuk masa Pebruari 2019 sudah harus
membayar PPh 25 sebesar Rp 1.250.000 yang dibayar selambat-lambatnya tanggal
15 Maret 2019.

33
(2) Besarnya PPh Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT
Tahunan PPh adalah sama dengan besarnya angsuran PPh untuk bulan terakhir tahun
pajak yang lalu.
Contoh:
Apabila SPT Tahunan PPh tahun 2018 disampaikan pada bulan April 2019, maka
besarnya angsuran PPh yang harus dibayar wajib pajak untuk bulan Januari,
Februari, dan Maret 2019 adalah sama dengan angsuran bulan Desember 2018,
misalnya sebesar Rp1.000.000,00.

B. Angsuran Bulanan PPh Pasal 25 Apabila Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak atas
Tahun Pajak Yang Lalu

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak untuk tahun pajak yang
lalu, maka angsuran PPh dihitung berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut, dimana
perubahan angsuran berlaku mulai bulan berikutnya setelah diterbitkannya surat
ketetapan pajak.
Contoh :

Berdasarkan SPT Tahunan PPh tahun 2018 yang disampaikan pada bulan April 2019,
perhitungan angsuran PPh yang harus dibayar adalah Rp 1.250.000,00. Dalam bulan
Oktober 2019 diterbitkan surat ketetapan pajak (SKPKB) atas pemeriksaan pajak tahun
pajak 2018 yang menghasilkan besaran angsuran PPh setiap bulan menjadi sebesar
Rp2.000.000,00.

Berdasarkan penghitungan tersebut, besarnya angsuran PPh mulai masa pajak Nopember
2019 (yang dibayar paling lambat 15 Desember 2019) adalah Rp 2.000.000,00.
Penetapan besarnya angsuran PPh berdasarkan surat ketetapan pajak tersebut bisa sama,
lebih besar, atau lebih kecil dari angsuran pajak sebelumnya bedasarkan SPT Tahunan.

C. Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Berhak atas Kompensasi Kerugian

Contoh :

Penghasilan Neto PT ABC tahun 2018 Rp 120.000.000,00

Sisa kerugian tahun sebelumnya yang masih dapat Rp 140.000.000,00


dikompensasikan

Sisa kerugian yang masih dapat dikompensasikan di tahun 2019 Rp 20.000.000,00

Perhitungan PPh Pasal 25 tahun 2019 adalah sebagai berikut :

34
Penghasilan yag dijadikan dasar perhitungan PPh Pasal 25 adalah

Rp 120.000.000,00 - Rp 20.000.000,00 = Rp 100.000.000,00


PPh terutang tahun 2019 diestimasi sebesar :

25% x Rp 100.000.000,00 = Rp 25.000.000,00


Dengan asumsi dalam tahun 2018 besarnya PPh yang dipotong atau dipungut pihak lain
(PPh Pasal 22 dan PPh Pasal 23) sebesar Rp 5.000.000,00, maka besarnya angsuran PPh
Pasal 25 PT ABC tahun 2019 adalah = 1/12 x (Rp 25.000.000 – Rp 5.000.000) = Rp
1.666.600,-.

D. Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Memperoleh Penghasilan Tidak Teratur

Contoh:
Penghasilan teratur PT ABC dari usaha industri mebel dalam tahun 2018 adalah Rp
80.000.000,00, dan penghasilan tidak teratur yang berasal dari menjual mesin adalah Rp
50.000.000,00.

Mengingat penghasilan yang tidak teratur tersebut belum tentu diterima lagi di tahun
2019, maka penghasilan yang dipakai sebagai dasar penghitungan angsuran PPh Pasal 25
dalam tahun 2019 adalah hanya berdasarkan penghasilan teratur sebesar Rp
80.000.000,00.

E. Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Mengalami Perubahan Keadaan
Usaha

- Perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak dapat berupa penurunan atau
peningkatan usaha.
- Misalnya, PT B yang bergerak di bidang produksi benang dalam tahun 2019
membayar angsuran bulanan sebesar Rp 15.000.000,00. Dalam bulan Juli 2019 pabrik
milik PT B terbakar, sehingga Dirjen Pajak mengeluarkan keputusan bahwa mulai
bulan Juli 2019 angsuran PPh-nya disesuaikan menjadi lebih kecil dari Rp
15.000.000,00. Sebaliknya, apabila PT B mengalami peningkatan usaha, misalnya
adanya peningkatan penjualan dan diperkirakan Penghasilan Kena Pajaknya akan
lebih besar dibadingkan dengan tahun sebelumnya. Berdasarkan hal tersebut, Dirjen
Pajak dapat mengeluarkan keputusan tentang penyesuaian besarnya angsuran PPh PT
B menjadi lebih besar.
- Apabila setelah 3 bulan atau lebih dalam suatu tahun pajak wajib pajak dapat
menunjukkan bahwa PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut kurang dari
75% dari PPh yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, wajib pajak tersebut
dapat mengajukan permohonan pengurangan angsuran PPh Pasal 25 kepada Kepala
KPP setempat.

35
Syarat :
- Diajukan secara tertulis

- Menyampaikan perhitungan besarnya PPh yang akan terutang berdasarkan


perkiraan penghasilan yang diterima/diperoleh, dan besarnya PPh Pasal 25 untuk
bulan-bulan yang masih tersisa dari tahun pajak ybs.
- Kepala KPP ybs akan memberikan keputusan dalam jangka waktu 1 bulan sejak
permohonan diterima secara lengkap. Apabila dalam jangka waktu 1 bulan belum
diberikan keputusan, berarti permohonan dikabulkan.
- Apabila dalam suatu tahun pajak wajib pajak mengalami peningkatan usaha dan
diperkirakan PPh yang akan terutang untuk tahun pajak tersebut lebih dari 150% dari
PPh yang menjadi dasar penghitungan PPh Pasal 25, maka PPh Pasal 25 untuk bulan-
bulan yang masih tersisa dihitung kembali berdasarkan perkiraan PPh yang terutang
di tahun tersebut.

F. Angsuran PPh Pasal 25 Bagi Wajib Pajak yang Menyampaikan SPT Lewat Batas
Waktu

 Wajib Pajak Tidak diberi Ijin Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian


SPT
- Besarnya angsuran PPh Pasal 25 mulai batas waktu s.d. bulan disampaikannya SPT
sama dengan angsuran bulan terakhir tahun pajak sebelumnya.
- Setelah SPT Tahunan PPh disampaikan, besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus
dihitung kembali bedasarkan SPT Tahunan PPh yang disampaikan.
- Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu
penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak jatuh
tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran (akan
ditagih dengan STP).
- Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan setor mulai batas waktu penyampaian SPT
tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara
pemindahbukuan.

 Wajib Pajak Diberi Ijin Perpanjangan Jangka Waktu Penyampaian SPT


- Besarnya angsuran PPh Pasal 25 mulai batas waktu penyampaian SPT s.d. bulan
disampaikannya SPT dihitung berdasarkan perhitungan sementara PPh terutang yang
disampaikan wajib pajak.
- Setelah SPT Tahunan PPh disampaikan, besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung
kembali berdasarkan SPT Tahunan tersebut.
- Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu
penyampaian SPT harus disetor dan terutang bunga 2% per bulan, dihitung sejak

36
jatuh tempo penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran
(akan ditagih dengan STP).
- Apabila terjadi lebih setor, kelebihan setor mulai batas waktu penyampaian SPT
tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara
pemindahbukuan.
G. Wajib Pajak Membetulkan SPT Tahunan PPh :

- PPh Pasal 25 dihitung kembali berdasarkan SPT Pembetulan dan berlaku mulai batas
waktu penyampaian SPT Tahunan PPh tersebut.
- Apabila terjadi kekurangan setor, kekurangan angsuran mulai batas waktu penyampaian
SPT harus disetor dan terutang bunga 2% per bulan dihitung sejak jatuh tempo
penyetoran PPh Pasal 25 masing-masing bulan s.d. tanggal penyetoran (akan ditagih
dengan STP).
- Apabila terjadi kelebihan setor, kelebihan angsuran mulai batas waktu penyampaian
SPT tersebut dapat diperhitungkan dengan angsuran bulan berikutnya, dengan cara
pemindahbukuan.

 Angsuran PPh 25 untuk Wajib Pajak baru berdasarkan Peraturan Menteri


Keuangan Nomor PMK-215/PMK.03/2018 tanggal 31 Desember 2018

6. Tarif Pajak bagi Wajib Pajak Badan adalah sebagai berikut.

a. Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto kurang dari Rp 4.800.000.000,- adalah
sebesar 0,5% dari peredaran bruto (PP 23 Tahun 2018, mulai berlaku Juli tahun 2018).

b. Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp 4.800.000.000,- sampai
dengan Rp 50.000.000.000 berdasarkan pasal 31 E UU PPh,- adalah

= (50% x 25% x penghasilan kena pajak yang mendapat fasilitas)

+ (25% x penghasilan kena pajak yang tidak mendapat fasilitas

Untuk memperoleh penghasilan kena pajak yang memperoleh fasilitas adalah =

(Rp 4.800.000.000/penghasilan bruto) x Penghasilan Kena Pajak

Sedangkan untuk memperoleh penghasilan kena pajak yang tidak mendapat fasilitas adalah
Penghasilan Kena Pajak- Penghasilan Kena Pajak yang mendapat fasilitas.

c. Bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling
sedikit 40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu lainnya
dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah daripada tarif

37
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan ayat (2a) yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah, dikenai pajak berdasarkan pasal 17 ayat 2b UU PPh.

d. Bagi Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto lebih dari Rp 50.000.000.000,-
berdasarkan pasal 17 adalah 25% x Penghasilan Kena Pajak.

Catatan : yang dimaksud dengan peredaran bruto adalah penghasilan yang diterima atau
diperoleh dari kegiatan usaha sebelum dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
meliputi:

1) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan bersifat final;

2) Penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan tidak bersifat final;

3) Penghasilan yang dikecualikan dari obyek pajak.

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan


atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu

A. Tujuan Kebijakan Pajak Penghasilan Atas Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu
 Kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan
 Meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi masyarakat
 Terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban perpajakan

B. Maksud Kebijakan Pajak Penghasilan Atas Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu
 Kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan;
 Mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi;
 Mengedukasi masyarakat untuk transparansi;
 Memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam penyelenggaraan
negara

C. Hasil yang diharapkan


Penerimaan pajak meningkat sehingga kesempatan untuk mensejahterakan masyarakat
meningkat

D. Dasar Hukum
 Pasal 4 ayat (2) huruf e UU PPh :
Dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) dapat ditetapkan cara menghitung
Pajak Penghasilan yang lebih sederhana dibandingkan dengan menggunakan UU
PPh secara umum.

38
Penyederhanaannya yakni WP hanya menghitung dan membayar pajak berdasarkan
peredaran bruto (omzet ).

 Pasal 17 ayat (7) UU PPh :


Pada intinya penerbitan PP 23 Tahun 2018 ditujukan terutama untuk kesederhanaan
dan pemerataan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.

E. Apa yang dikenai pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018?


 Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan peredaran
bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 tahun pajak.
 peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto (omzet) semua
gerai/counter/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya.
 Peredaran bruto yang dijadikan dasar pengenaan pajak merupakan imbalan atau nilai
pengganti berupa uang atau nilai uang yang diterima atau diperoleh dari usaha,
sebelum dikurangi potongan penjualan, potongan tunai, dan/atau potongan sejenis.
 Pajak yang terutang dan harus dibayar adalah 0,5% dari jumlah peredaran bruto
(omzet)
 Usaha antara lain usaha dagang, industri, dan jasa, seperti misalnya toko/kios/los
kelontong, pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan
usaha lainnya.

F. Apa yang tidak dikenai pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018?


 Penghasilan dari jasa sehubungan dengan Pekerjaan Bebas, meiputi : dokter,
advokat/pengacara, akuntan, notaris,PPAT, arsitek, pemain musik, pembawa acara,
dan sebagaimana dalam penjelasan Pasal 2 ayat (4) PP 23 Tahun 2018.
 Penghasilan dari usaha dagang dan jasa yang dikenai PPh Final (Pasal 4 ayat (2)),
seperti misalnya sewa kamar kos, sewa rumah, jasa konstruksi (perencanaan,
pelaksanaan dan pengawasan), PPh usaha migas, dan lain sebagainya yang diatur
berdasarkan Peraturan Pemerintah.

G. Siapa yang dikenai pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018?


 Orang pribadi
 Badan Koperasi, CV, Firma dan PT
yang menerima penghasilan dari usaha dengan peredaran bruto (omzet) yang tidak
melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak
menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

H. Siapa yang tidak dikenai pajak berdasarkan PP 23 Tahun 2018?


 Wajib Pajak yang memilih dikenai pajak berdasarkan tarif umum
 Badan yang modalnya tidak terbagi atas saham dan melakukan jenis usaha
sebagaimana pekerjaan bebas yang dikecualikan dalam PP 23 Tahun 2018.
 Wajib Pajak badan memperoleh fasilitas Pajak Penghasilan berdasarkan: 1. Pasal
31A Undang-Undang Pajak Penghasilan; atau

39
Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan
Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan beserta
perubahan atau penggantinya;
 Wajib Pajak berbentuk Bentuk Usaha Tetap.
Orang Pribadi atau Badan yang diterangkan di atas wajib melaksanakan ketentuan
Perpajakan sesuai dengan UU KUP maupun UU PPh secara umum.

I. Angsuran Masa
 Pembayaran bulanan merupakan PPh Pasal 4 ayat (2), bukan PPh Pasal 25.
 Jika penghasilan semata-mata dikenai PPh final, tidak wajib membayar PPh Pasal 25.
 Penyetoran paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya
 SSP/ BPN berfungsi sekaligus sebagai SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2). Jika SSP
sudah validasi NTPN tidak perlu lapor SPT Masa PPh Pasal 4 ayat (2).
Penghasilan yang dibayar berdasarkan PP No. 46 Tahun 2013 dilaporkan dalam SPT
Tahunan PPh pada kelompok penghasilan yang dikenai pajak final dan/atau bersifat final

J. Permohonan Surat Keterangan PP 23

Wajib Pajak yg atas Penghasilannya dikenakan pajak berdasarkan Peraturan


Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, dapat mengajukan Surat Keterangan PP 23 ke
KPP terdaftar/ KPP tempat NPWP pusat terdaftar. Fungsi Surat Keterangan PP23
tersebut agar pemotong/pemungut yang bertransaksi dengan Wajib Pajak yang
dikenai pajak berdasarkan PP tersebut memotong PPh atas penghasilan pemilik Surat
keterangan PP 23 sebesar 0,5%dari omzet. S-Ket PP 23 tersebut tidak perlu
diperpanjang setiap tahun tetapi berlaku jangka waktu sebagai berikut :
a. 7 (tujuh) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak orang pribadi;
b. 4 (empat) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk koperasi, persekutuan
komanditer, atau firma; dan
c. 3 (tiga) Tahun Pajak bagi Wajib Pajak badan berbentuk perseroan terbatas.

40
STUDI KASUS

KASUS 1:

PT. Nusa Indah NPWP 01.937.654.2-031.000 beralamat di Jl. S. Parman No. 103 C
Jakarta Barat 11480, bergerak di bidang industry perkayuan, memiliki data-data
pembukuan tahun 2019 sebagai berikut :
Rp. 6.200.000.000
Penjualan bersih
Harga Pokok Penjualan Rp. 4.900.000.000

Biaya Operasi :
Gaji dan Upah Rp. 250.000.000
Kesejahteraan Rp. 80.000.000
Alat-alat kantor Rp. 212.000.000
Biaya Perjalanan Rp. 300.000.000
Biaya pemeliharaan / Repair Rp. 230.000.000
Biaya entertainment Rp. 132.000.000
Biaya kantor Rp. 163.000.000
Biaya Sewa Rp. 21.000.000
Profesional fee Rp. 9.000.000
Biaya lain-lain Rp. 25.000.000

Penghasilan Lain : Rp.


Bunga Deposito Rp. 78.000.000
Sewa Bangunan Rp. 2.000.000

41
Laba Selisih Kurs Rp. 99.000.000

Keterangan lain:

a. Dalam Perincian Perhitungan Harga Pokok Penjualan ternyata terselip pembebanan


sumbangan kepada Panitia Perayaan HUT Kemerdekaan dan Sumpah Pemuda
sejumlah Rp. 18.000.000
b. Pada pos kesejahteraan telah dibukukan oleh juru bukunya pemberian santunan
kepada para Hansip kelurahan Palmerah sejumlah 12.000.000
c. Dalam perjalanan dinas keluar negeri dan domestik para Direksi sesekali membawa
keluarga mereka, ternyata setelah diperinci terdapat sejumlah Rp. 50.000.000 yang
merupakan pengeluaran untuk isteri/anak-anaknya. Pemberian tiket pesawat terbang
untuk para pejabat pemerintah sejumlah Rp. 64.000.000.
d. Perbaikan/reparasi atas kendaraan roda empat atas nama Direktur Utama dalam
tahun 2019 ada sejumlah 17.000.000 dan ada sejumlah Rp. 2.000.000 untuk
perbaikan sepeda motor milik Joko, supir Direktur Utama. Di samping itu telah
dimasukkan biaya pemeliharaan gelanggang olahraga Karang Taruna di samping
Kantor Rp. 67.000.000.
e. Biaya entertain/jamuan makan yang dikeluarkan untuk relasi lengkap dengan
perincian dan bukti-buktinya ada sejumlah Rp. 100.000.000
f. Dalam biaya lain-lain tercantum perincian :
 Sumbangan ke masjid Ponpes Hidayah sebesar Rp. 12.000.000
 Bingkisan untuk relasi/pejabat pada hari-hari raya dan Natal/Tahun Baru Rp.
13.000.000
g. Pembelian alat kantor untuk keperluan rumah direksi berupa Personal Computer dan
laptop/notebook untuk putranya Rp. 65.000.000
h. Biaya kantor sudah termasuk biaya listrik, telepon dan PAM rumah-rumah Satpam
perusahaan sebesar Rp. 7.000.000
i. Kredit pajak tahun 2019 adalah sebagai berikut :
a. PPh Pasal 22 Rp. 1.500.000
b. PPh Pasal 23 Rp. 750.000
c. PPh Pasal 25 Rp. 48.000.000

Diminta :

Buatlah rekonsiliasi fiskal yang diperlukan guna menghitung Penghasilan Kena Pajak
dan Pajak Penghasilan terutang tahun 2019 dari PT. Nusa Indah.

42
LAMPIRAN 2

PT ANDINI

LAPORAN LABA RUGI

UNTUK TAHUN YANG BERAKHIR 31 DESEMBER 2019

Penjualan   5,000,000,000

Harga Pokok Penjualan   3,500,000,000

LABA KOTOR   1,500,000,000

Biaya Operasional    

- Biaya Gaji dan Tunjangan 500,000,000  

- Tunjangan Pengobatan 30,000,000  

- Biaya Perjalanan Dinas 60,000,000  

- Biaya Transportasi 15,000,000  

- Biaya Sewa Kantor 100,000,000  

- Biaya Listrik, Air, Telpon 23,000,000  

- Biaya Penyusutan 28,000,000  

- Biaya Pajak Penghasilan 4,000,000  

- Biaya Sumbangan 25,000,000  

- Biaya Perjamuan 40,000,000  

- Biaya Lain-lain 75,000,000  

Jumlah Biaya Operasional   900,000,000

LABA USAHA   600,000,000

Penghasilan (Biaya) di luar Usaha    

- Penghasilan Sewa Mesin 10,000,000  

43
- Penghasilan Sewa Ruangan 50,000,000  

- Penghasilan Bunga Deposito 20,000,000  

- Deviden (penyertaan saham pada PT X 30%) 5,000,000  

- Kerugian kebakaran gudang (180,000,000)  

- Rugi Selisih Kurs (45,000,000)  

Jumlah Penghasilan (Biaya) di Luar Usaha   (140,000,000)

LABA BERSIH   460,000,000

44
LAMPIRAN 3

PT ANDINI

REKONSILIASI FISKAL

  Lap. Komersial Koreksi Lap. Fiskal

Penjualan 5,000,000,000   5,000,000,000

Harga Pokok Penjualan 3,500,000,000   3,500,000,000

LABA KOTOR 1,500,000,000   1,500,000,000

Biaya Operasional    

- Biaya Gaji dan Tunjangan 500,000,000   500,000,000

- Tunjangan Pengobatan 30,000,000   30,000,000

- Biaya Perjalanan Dinas 60,000,000 13,000,000 47,000,000

- Biaya Transportasi 15,000,000   15,000,000

- Biaya Sewa Kantor 100,000,000   100,000,000

- Biaya Listrik, Air, Telpon 23,000,000 8,000,000 15,000,000

- Biaya Penyusutan 28,000,000 5,000,000 23,000,000

- Biaya Pajak Penghasilan 4,000,000 4,000,000 0

- Biaya Sumbangan 25,000,000 25,000,000 0

- Biaya Perjamuan 40,000,000 25,000,000 15,000,000

- Biaya Lain-lain 75,000,000 10,000,000 65,000,000

Jumlah Biaya Operasional 900,000,000 90,000,000 810,000,000

LABA USAHA 600,000,000 90,000,000 690,000,000

Penghasilan (Biaya) di luar Usaha     0

- Penghasilan Sewa Mesin 10,000,000   10,000,000

- Penghasilan Sewa Ruangan 50,000,000 (50,000,000) 0

- Penghasilan Bunga Deposito 20,000,000 (20,000,000) 0

- Deviden (penyertaan saham pada PT X 5,000,000 (5,000,000) 0

45
30%)

- Kerugian kebakaran gudang (180,000,000)   (180,000,000)

- Rugi Selisih Kurs (45,000,000)   (45,000,000)

Jml. Penghasilan (Biaya) di Luar Usaha (140,000,000) (75,000,000) (215,000,000)

LABA BERSIH 460,000,000 15,000,000 475,000,000

PAJAK PENGHASILAN :

12,5% X ((4.800.000.000:5.000.000.000) X 475.000.000) 57.000.000

25% X (475.000.000-456.000.000) 4.750.000

PPh Terutang 61.750.000

Kredit Pajak (PPh yang telah dibayar/dipotong pihak lain)

- PPh Pasal 23 atas sewa mesin 600,000

- PPh Pasal 25 (Rp 5.000.000 per bulan) 60,000,000

Jumlah PPh yang bisa dikreditkan 60.600.000

PPH YANG MASIH HARUS


DIBAYAR 1.150.000

46

Anda mungkin juga menyukai