Terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden Republik Indonesia yang ke-7 telah
menciptakan sebuah gempa politik yang getarannya terasa sampai sekarang. Sebuah
fenomena yang mengundang decak kagum dan ketakjuban sekaligus pada saat yang
bersamaan membawa kita merenungkan maknanya.
Menurut penulis, kemenangan Joko Widodo dalam pilpres 2014 adalah fenomena
yang menarik. Namanya yang terdengar ganjil, pengalaman politik yang minim, dan
latar belakang kehidupannya yang tak banyak diketahui orang sempat membuatnya
menjadi kandidat yang diremehkan. Petinggi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia
(PDIP) semula pun tidak memperhitungkannya.
Namun Jokowi mampu membuyarkan semua prediksi dan analisis. Dari awalnya
bukan siapa-siapa - hanya seorang pengusaha meubel, lalu jadi Walikota Solo hingga
menjadi Gubernur Jakarta yang pengalamannya sebatas “mengeksekusi” beberapa
kebijakan. Jokowi melesat menjadi lawan tangguh Prabowo, sebelum akhirnya
mengalahkannya secara telak.
Publik sudah jenuh. Publik tidak butuh lagi gaya pemimpin yang elitis,
mementingkan citra diri, dan lamban dalam bekerja. Kondisi tersebut memungkinkan
publik untuk mencari figur pemimpin yang menggambarkan antitesa dari kepemimpinan
SBY.
Dengan begitu, kehadiran sosok yang jujur, serta pekerja keras, sangat
diperlukan. Apalagi, Indonesia sedang dihadapkan pada berbagai masalah yang harus
diselesaikan dengan cepat.
Intinya, di mata mereka yang sinis dengan kemenangan Jokowi, Jokowi terpilih
karena rakyat Indonesia tengah menjudikan nasib negaranya, bukan karena mereka
memilih dengan pilihan sadar dan rasional untuk mendapatkan pemimpin yang cakap.
Namun bagi para analis yang obyektif, kemenangan Jokowi tidak terjadi karena
faktor kebetulan, keberuntungan, atau hadiah dari Tuhan yang dijatuhkan dari langit
begitu saja. Jokowi menang karena dia memang pantas menang.
Selain kapasitas pribadinya yang memang cerdas, Jokowi juga memiliki bakat
kepemimpinan tinggi, simpatik, dan memiliki kharisma besar.
Jokowi telah mampu membingkai seluruh platform visi dan misinya dengan
menggugah salah satu inti eksistensi manusia, yaitu: “kebersahajaan”. Inilah yang
membedakannya secara diametral dengan lawannya Prabowo Subianto. Jokowi berhasil
menyentuh relung terdalam para pemilihnya, yang dengan dahsyatnya juga menyentuh
banyak orang.
Jokowi adalah figur muda yang tidak memiliki kaitan dengan masa lalu. Kuatnya
citra bahwa Jokowi sebagai figur muda lebih menjanjikan perubahan dapat mengeliminir
sebuah faktor yang sering diangkat sebagai kelemahannya, yakni belum
berpengalaman.
Sedikit atau banyak, kemenangan Jokowi di pilpres ini dapat dipastikan telah dan
akan memberikan pengaruh kepada kaum muda di Indonesia. Kemenangan Jokowi
dapat memberikan semangat tersendiri kepada kaum muda untuk tampil dalam pentas
politik untuk mencoba berkontribusi dalam menciptakan perubahan yang sesungguhnya.
Sesungguhnya kaum muda sudah pernah menunjukkan peran dalam bidang politik.
Akan tetapi, karena sirkulasi elite politik yang tidak lancar, maka politik kemudian
dikuasai oleh status quo dan kaum muda tak mampu menembus orbit kekuasaan. Nah,
Jokowi telah memberikan dobrakan yang sensasional dengan memberanikan diri
melakukan kompetisi yang sangat berat melawan tokoh senior dan selalu dipandang
lebih berpengalaman.
Secara kalkulatif, kaum muda memang harus memberanikan diri untuk segera
tampil, karena sebagian masyarakat telah mengalami perubahan logika politik dalam
memilih figur pemimpin. Agar kaum muda memiliki posisi tawar yang tinggi, maka
kaum muda harus menempatkan diri secara tepat, duduk sama rendah dan berdiri sama
tinggi dengan politisi yang sudah kawakan. Jangan sampai kaum muda membangun
hubungan yang membuat dirinya berada pada posisi subordinat. Posisi itu akan
menyulitkan jika kaum muda benar-benar dipercaya oleh rakyat untuk berkuasa.
Saat ini sudah tidak relevan lagi melihat figur capres atas dasar pertimbangan
etnis, geografis, dan ideologis. Terpenting, figur tersebut menjadikan Pancasila sebagai
pandangan hidup, jujur, pekerja keras, dan punya kemampuan mengurus negara di
tengah terpaan berbagai masalah.
Saat ini rakyat sudah mulai cerdas. Bagi mereka karakter pemimpin yang
merakyat, aspiratif dan memiliki integritas moral ( track record daerah asal) lebih penting
ketimbang kebijakan elitis para petinggi parpol (dukungan koalisi) yang berindikasi sarat
kepentingan. Seringkali keputusan koalisi tidak terkait persoalan populis tidaknya visi-
misi dan program yang ditawarkan kandidat terusung, melainkan lebih pada
pertimbangan politik transaksional, bagi-bagi jabatan di pemerintahan, jika kelak figur
yang dijagokan mereka menang. Hal ini, jelas bukan rahasia umum, oleh karenanya
sangat mungkin pembangkangan rakyat yang tidak sejalan dengan keputusan koalisi di
tingkat elit, berawal dari modus semacam itu.
Publik saat ini sangat membutuhkan figur-figur baru sehingga mereka bukan lagi
melihat partai politik melainkan tokoh yang diusung. Jokowi adalah tokoh baru dengan
beragam pengalaman yang menarik perhatian publik.
Sekali lagi, Fenomena politik Jokowi ini membuat politik sudah kembali pada
hakekatnya sepenuhnya. Politik adalah persoalan publik, dari publik untuk publik. Dari
kedaulatan rakyat ini mengalahkan fenomena politik yang terkenal dengan kekerasan
uang, dan kekuasaan. Politik sudah kembali pada urusan publik!!
Tetapi kita harus meyakini, bahwa Pemilu 2014 adalah momentum perubahan
kepemimpinan politik nasional. Bukan hanya dalam arti pergantian orang melainkan,
perubahan karakter, gaya, pendekatan, strategi, dan cara dalam menyelesaikan
masalah. ***
Data Penulis: