Anda di halaman 1dari 10

Gambaran Akses Pelayanan Kesehatan pada Balita di Indonesia

Overview of Health Services Access for Toddlers in Indonesia


Zainul Khaqiqi Nantabah1, Zulfa Auliyati1, dan Agung Dwi Laksono 1

1
Puslitbang Humaniora dan Manajemen Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.
Jl. Percetakan Negara 29 Jakarta 10560, Indonesia
E-mail: z_nantabah@yahoo.com

ABSTRAK
Anak balita merupakan periode masa yang disebut golden age. Akses pelayanan kesehatan untuk
kelompok ini menjadi perhatian karena kesinambungan hidup pada kelompok tersebut menjadi salah satu
tolok ukur pembangunan kesehatan. Penelitian ini merupakan analisis lanjut data Riskesdas 2013, yang
disajikan secara deskriptif kuantitatif. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mengetahui gambaran akses
pelayanan kesehatan pada kelompok balita di Indonesia. Analisis dilakukan pada variabel-variabel
cakupan kunjungan balita ke pelayanan kesehatan. Pelayanan kesehatan dimaksud adalah Rumah Sakit,
Puskesmas/Pustu, Praktik Dokter/Klinik, dan Polindes/Praktik Bidan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa balita yang tinggal di perkotaan dan pada kelompok kaya dan sangat kaya memiliki akses yang
lebih baik di Rumah Sakit dan praktik dokter/klinik pada akses rawat jalan dan rawat inap. Sementara
mereka yang tinggal di perdesaan dan pada kelompok miskin memiliki akses yang lebih baik ke
Puskesmas/Pustu dan Polindes/praktik bidan baik di rawat jalan maupun rawat inap. Berdasarkan hasil
penelitian dapat disimpulkan bahwa balita yang tinggal di perkotaan dan pada kelompok kaya memiliki
akses yang lebih baik pada pelayanan kesehatan rujukan, sementara mereka yang tinggal di perdesaan dan
pada kelompok miskin memiliki akses yang lebih baik di fasilitas pelayanan kesehatan dasar.

Kata kunci: akses, pelayanan kesehatan, balita

ABSTRACT
Toddler is a period of time called golden age. Access to health services for this group is a concern
because the continuity of life in the group is one of the benchmarks for health development. This research
is an advance analysis of the Riskesdas 2013, which is presented in quantitative descriptive manner. This
article aims to find out an overview of health services access for toddler in Indonesia. Analysis was
carried out on the variables of coverage of toddler visits to health services. The intended health services
are hospitals, health center/Pustu, doctor/clinic, and Polindes/midwife, both on outpatient visits and
inpatients. The results showed that toddlers who lived in urban areas and in the rich and very rich groups
had better access in hospitals and doctor/clinic practices on access to outpatient and inpatient care. While
those who live in rural areas and the poor have better access to health center/Pustu and Polindes/
midwives both in outpatient and inpatient care. Based on the results of the study it can be concluded that
toddlers who live in urban areas and in rich groups have better access to referral health services, while
those who live in rural areas and in poor groups have better access to basic health care facilities.

Keyword: access, health services, toddler

1
LATAR BELAKANG
Anak Bawah Lima Tahun atau sering disingkat Anak Balita adalah anak yang telah
menginjak usia di atas satu tahun sampai dengan usia 5 tahun, atau biasa digunakan perhitungan
bulan usia 12-59 bulan. Anak balita merupakan periode masa yang disebut golden age. Tumbuh
kembang anak mengalami proses peningkatan yang pesat pada masa ini (Zaki, Farida, & Sari,
2018)(Simanjuntak, Haya, Suryani, & Ahmad, 2018).
Balita adalah salah satu kelompok rentan (vulnerable people) selain ibu hamil, dan orang
tua yang menjadi perhatian Badan Kesehatan Dunia atau WHO (World Health Organization,
2018). Dalam masa pertumbuhan Balita, tiga tahun pertama masa kehidupannya merupakan
masa paling rawan, karena gangguan yang terjadi pada masa-masa ini akan menimbulkan efek
yang menetap atau jangka panjang (Diana, 2010)(Wulansari, Sadewo, & Raflizal,
2015)(Pramono & Paramita, 2015)(Simanjuntak et al., 2018). Berbagai upaya untuk
mempertahankan keberlangsungan hidup kelompok Anak Balita pun menjadi fokus program
kerja pemerintah dalam bidang kesehatan.
Data Hasil sementara Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menunjukkan
AKB 22 per 1.000 kelahiran hidup dan AKBA 26 per 1.000 kelahiran hidup. Sedangkan target
MDGs yang ke-4 adalah menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) menjadi 23/1.000 kelahiran
hidup dan Angka Kematian Balita (AKBA) menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Hal tersebut
berarti bahwa target MDGs 4 dalam penurunan kematian Bayi dan Balita, tercapai. Meskipun
demikian jumlah kematian Balita secara absolut masih tetap tinggi, terutama kematian pada
kelompok usia neonatal. Penyebab utama kematian bayi dan Balita sebagian besar dapat dicegah.
Untuk itu, upaya pencegahan kesakitan dan kematian bayi dan Balita ini menjadi upaya prioritas
dan perlu diperkuat dan ditingkatkan (Kementerian Kesehatan RI., 2016).
Akses keterjangkauan dan mutu pelayanan kesehatan memberi pengaruh yang besar
terhadap keberhasilan pelaksanaan pembangunan bidang kesehatan itu sendiri. Dimana Indonesia
merupakan wilayah dengan kondisi geografis yang cukup kompleks serta masih adanya
ketimpangan sebaran fasilitas kesehatan, sehingga akses ke pelayanan kesehatan masih menjadi
tugas penting untuk diselesaikan bersama agar seluruh masyarakat merasakan manfaat yang adil
dan merata (Suharmiati, Laksono, & Astuti, 2013)(Laksono, 2016).
Demikian juga akses pelayanan kesehatan untuk kelompok balita menjadi perhatian karena
kesinambungan hidup pada kelompok tersebut menjadi salah satu tolok ukur pembangunan
kesehatan. Diberlakukannya JKN dan pencapaian target UHC pada tahun 2019, menuntut adanya
peningkatan akses dan mutu pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan (Sekretariat Jenderal
Kementerian Kesehatan RI., 2015b). Rata-rata cakupan pelayanan kesehatan anak balita secara
nasional pada tahun 2014 sebesar 75,82 %, sedangkan target renstra tahun 2014 adalah 85%. Hal
tersebut berarti bahwa terdapat sekitar 10,18% anak balita belum mendapatkan pelayanan
kesehatan yang memadai (Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI., 2015a).
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka tujuan penulisan artikel ini adalah untuk
mengetahui gambaran akses pelayanan kesehatan pada kelompok balita di Indonesia. Sarana
pelayanan kesehatan yang dimaksud meliputi Rumah sakit, Puskesmas/Pustu, Klinik/ Dokter
praktik pribadi dan Polindes.

METODE
Penelitian mengenai akses pelayanan kesehatan pada balita ini mengambil data dari Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013. Riskesdas adalah survei skala nasional yang didesain
secara cross sectional. Ada 1.027.763 individu yang diambil sebagai sampel Riskesdas (National

2
Institute of Health Research and Development of Ministry of Health of the Republic of
Indonesia, 2013). Sedang sampel yang dianalisis dalam artikel ini adalah anak yang berusia 1-5
tahun, sejumlah 67.886 balita, yang dalam proses wawancara diwakili oleh orang tuanya.
Analisis dilakukan pada variabel-variabel cakupan kunjungan balita ke pelayanan
kesehatan. Pelayanan kesehatan dimaksud adalah Rumah Sakit, Puskesmas/Pustu, Praktik
Dokter/Klinik, dan Polindes/Praktik Bidan. Kunjungan meliputi rawat jalan maupun rawat inap.
Informasi mengenai cakupan-cakupan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan tersebut
bersumber pada pengakuan responden yang diwawancara dengan kuesioner terstruktur. Data
variabel cakupan kunjungan ke fasilitas pelayanan kesehatan dianalisis secara deskriptif
kuantitatif dengan menggunakan perspektif sosial-ekonomi dan karakterisitik wilayah
(desa/kota) untuk melihat pemerataan atau kesenjangannya (Mubasyiroh, Nurhotimah, &
Laksono, 2016)(Saha, Annear, & Pathak, 2013)(Laksono, 2016).

HASIL
Sebagai salah satu kelompok rentan, status kesehatan balita merupakan salah satu tolok
ukur pembangunan kesehatan di suatu wilayah. Pada umur tiga tahun pertama umur balita,
merupakan masa rawan yang rentan untuk sakit. Gangguan pada masa ini bisa berdampak dalam
jangka panjang (Wulansari et al., 2015)(Pramono & Paramita, 2015)(Simanjuntak et al., 2018).
Karena alasan itulah maka perhatian pada akses balita ke pelayanan kesehatan menjadi sangat
penting.
Tabel 1. Karakteristik Tempat Tinggal dan Status Sosial-Ekonomi Balita di Indonesia Tahun
2013.
Status Sosial-Ekonomi
Sangat Sangat Total
Karakteristrik Balita Miskin Menengah Kaya
Miskin Kaya (%)
(%) (%) (%)
(%) (%)
Kategori Wilayah Perkotaan 3,4 11,1 19,4 31,2 34,9 100,0
Perdesaan 24,9 22,0 20,2 17,6 15,3 100,0
Total 12,4 15,6 19,7 25,5 26,8 100,0
Sumber: Riskesdas 2013
Tabel 1 menunjukkan bahwa balita yang tinggal di kawasan perkotaan lebih dominan
berada pada kategori rumah tangga yang kaya dan sangat kaya. Ada 66,1% balita di Indonesia
yang berada pada kelompok tersebut. Pada wilayah perdesaan kondisi tersebut terlihat
berkebalikan. Balita di kawasan perdesaan justru dominan pada kelompok sangat miskin dan
miskin. Sebanyak 46,5% balita di perdesaan masuk pada kategori tersebut.

Akses Balita ke Rumah Sakit


Pada Tabel 2 menunjukkan akses balita ke Rumah Sakit. Akses di Rumah Sakit
menunjukkan gambaran pengobatan lanjutan atau rujukan setelah tidak bisa diatasi di pelayanan
dasar. Kecenderungan akses balita di Rumah Sakit lebih banyak terjadi pada balita yang tinggal
di perkotaan. Sementara itu berdasarkan status Sosial-Ekonomi, kecenderungan akses
menunjukkan bahwa semakin tinggi status sosial-ekonomi keluarga balita, akses ke Rumah Sakit
juga cenderung semakin tinggi. Kondisi ini berlaku sama saja antara rawat jalan maupun rawat
inap.

3
Tabel 2. Akses Balita ke Rumah Sakit Berdasarkan Kategori Wilayah dan Status Sosial-Ekonomi
di Indonesia pada Tahun 2013
Akses ke Rumah Sakit
Karakteristrik Balita Tidak Rawat Tidak Rawat
Rawat Jalan Rawat Inap
Jalan Inap
(%) (%)
(%) (%)
Kategori Wilayah Perkotaan 10,7 89,3 86,1 13,9
Perdesaan 4,8 95,2 64,6 35,4
Total 7,5 92,5 77,1 22,9
Status Sosial-Ekonomi Sangat Miskin 3,8 96,2 59,5 40,5
Miskin 4,8 95,2 67,2 32,8
Menengah 6,5 93,5 75,7 24,3
Kaya 8,2 91,8 82,7 17,3
Sangat Kaya 14,4 85,6 86,9 13,1
Total 7,5 92,5 77,1 22,9
Sumber: Riskesdas 2013

Akses Balita ke Puskesmas/Pustu


Tabel 3. Akses Balita ke Puskesmas/Pustu Berdasarkan Kategori Wilayah dan Status Sosial-
Ekonomi di Indonesia pada Tahun 2013
Akses ke Puskesmas/Pustu
Karakteristrik Balita Tidak Rawat Tidak Rawat
Rawat Jalan Rawat Inap
Jalan Inap
(%) (%)
(%) (%)
Kategori Wilayah Perkotaan 40,3 59,7 11,6 88,4
Perdesaan 44,8 55,2 30,1 69,9
Total 42,7 57,3 19,3 80,7
Status Sosial-Ekonomi Sangat Miskin 59,2 40,8 38,4 61,6
Miskin 48,5 51,5 29,4 70,6
Menengah 44,1 55,9 19,5 80,5
Kaya 36,8 63,2 14,0 86,0
Sangat Kaya 25,3 74,7 9,8 90,2
Total 42,7 57,3 19,3 80,7
Sumber: Riskesdas 2013
Tabel 3 menunjukkan akses balita ke Puskesmas/Pustu. Akses pada fasilitas pelayanan
kesehatan Puskesmas/Pustu menggambarkan akses balita ke pelayanan kesehatan dasar. Pada
tabel ini kecenderungan akses balita lebih banyak terjadi pada balita yang tinggal di perdesaan.
Balita yang miskin dan sangat miskin juga memiliki kecenderungan untuk lebih banyak
mengakses Puskesmas/Pustu dibanding kelompok lainnya. Kondisi ini berlaku untuk rawat jalan
maupun rawat inap.

4
Akses Balita ke Dokter Praktik/Klinik)
Tabel 4. Akses Balita ke Dokter Praktik/Klinik Berdasarkan Kategori Wilayah dan Status Sosial-
Ekonomi di Indonesia pada Tahun 2013
Akses ke Dokter Praktik/Klinik
Karakteristrik Balita Tidak Rawat Tidak Rawat
Rawat Jalan Rawat Inap
Jalan Inap
(%) (%)
(%) (%)
Kategori Wilayah Perkotaan 32,8 67,2 2,9 97,1
Perdesaan 20,5 79,5 4,3 95,7
Total 26,2 73,8 3,5 96,5
Status Sosial-Ekonomi Sangat Miskin 13,3 86,7 1,3 98,7
Miskin 19,2 80,8 3,1 96,9
Menengah 22,9 77,1 4,1 95,9
Kaya 31,9 68,1 3,8 96,2
Sangat Kaya 43,6 56,4 4,2 95,8
Total 26,2 73,8 3,5 96,5
Sumber: Riskesdas 2013
Tabel 4 menunjukkan bahwa balita yang tinggal di perkotaan memiliki akses yang
cenderung lebih tinggi ke dokter praktik/klinik dibanding mereka yang tinggal perdesaan. Balita
yang berada pada keluarga kaya juga menunjukkan akses yang lebih baik ke dokter
praktik/klinik. Kondisi ini tidak ada perbedaan antara akses rawat jalan maupun rawat inap.

Akses Balita ke Polindes/Praktik Bidan


Tabel 5. Akses Balita ke Polindes/Praktik Bidan Berdasarkan Kategori Wilayah dan Status
Sosial-Ekonomi di Indonesia pada Tahun 2013
Akses ke Polindes/Praktik Bidan
Karakteristrik Balita Tidak Rawat Tidak Rawat
Rawat Jalan Rawat Inap
Jalan Inap
(%) (%)
(%) (%)
Kategori Wilayah Perkotaan 21,3 78,7 0,9 99,1
Perdesaan 34,4 65,6 2,0 98,0
Total 28,4 71,6 1,4 98,6
Status Sosial-Ekonomi Sangat Miskin 28,4 71,6 2,2 97,8
Miskin 32,5 67,5 0,7 99,3
Menengah 31,1 68,9 3,0 97,0
Kaya 27,8 72,2 1,3 98,7
Sangat Kaya 21,5 78,5 0,4 99,6
Total 28,4 71,6 1,4 98,6
Sumber: Riskesdas 2013
Tabel 5 menunjukkan akses balita ke fasilitas pelayanan kesehatan Polindes/praktik
bidan. Pada kategori ini akses balita memiliki kecenderungan yang mirip dengan akses balita ke
Puskesmas/Pustu. Baik pada akses rawat jalan maupun rawat inap balita yang tinggal di wilayah

5
perdesaan dan berada pada kelompok miskin cenderung memiliki akses yang lebih baik ke
Polindes/praktik bidan.

PEMBAHASAN
Hasil penelitian menemukan bahwa balita yang tinggal di wilayah urban dan memiliki
status sosial-ekonomi keluarga yang lebih baik cenderung memiliki akses yang lebih baik ke
rumah sakit dan klinik. Rumah sakit sebagai fasilitas pelayanan kesehatan rujukan dan klinik
cenderung memerlukan biaya yang lebih besar dibanding fasilitas pelayanan kesehatan lainnya
(Jacobs & Weissert, 2007)(Xu et al., 2018). Hal ini membawa konsekuensi akses yang berbeda
pada masyarakat dengan tingkat sosial-ekonomi yang berbeda.
Hasil penelitian yang didapatkan tersebut relatif sama dengan temuan-temuan penelitian
lainnya. Sebuah studi yang membandingkan angka kesakitan tumor Wilms antara negara-negara
Eropa dengan Amerika menyimpulkan bahwa anak-anak di wilayah rural dan dengan status
sosial-ekonomi rendah tidak menikmati fasilitas rumah sakit yang sama dibanding anak-anak
yang memiliki kondisi lebih baik (Doganis et al., 2018). Kesimpulan yang sama juga
disimpulkan pada sebuah penelitian pada penderita obstructive sleep apnea di Amerika Serikat.
Hasil penelitian menemukan adanya perbedaan akses yang signifikan pada kategori status sosial-
ekonomi (Xie et al., 2018). Mereka yang memiliki status sosial-ekonomi lebih baik terbukti lebih
bisa memanfaatakan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada (Sibley & Weiner, 2011)(Vanamail
& Gunasekaran, 2011)(Thin Zaw, Liabsuetrakul, Htay, & McNeil, 2012) (Dhruve, Badgaiyan, &
Pandey, 2016)(Yu, Matthes, & Wei, 2018)(Boulton, Carlson, Power, & Wagner, 2018).
Perbedaan antara wilayah rural dengan urban juga menimbulkan akses ke rumah sakit
yang berbeda pula. Ketersediaan rumah sakit yang seringkali berada di wilayah urban, membuat
akses rumah sakit secara fisik di wilayah urban cenderung lebih bagus (Meng et al.,
2012)(Gonzales et al., 2017)(Li, Shi, Liang, Ding, & Xu, 2018)(Wulandari, Supriyanto,
Qomaruddin, & Laksono, 2019)(Wulandari & Laksono, 2019). Selain karena ketersediaan rumah
sakit, juga karena akses jalan dan transportasi yang lebih baik. Jarak fasilitas kesehatan yang
sangat berbeda menyebabkan pemanfaatan pelayanan kesehatan yang tidak sama. Alasan inilah
yang membuat analisis spatial sebelum mendirikan fasilitas pelayanan kesehatan diperlukan
(Owen, Obregón, & Jacobsen, 2010)(Huerta Munoz & Källestål, 2012)(Gao, Kihal, Meur,
Souris, & Deguen, 2017)(Ehara, 2017)(Megatsari, Laksono, Ridlo, Yoto, & Azizah, 2018). Di
China penelitian tentang akses fasilitas pelayanan kesehatan menyimpulkan bahwa mereka yang
tinggal di wilayah rural lebih membutuhkan perhatian. Hal ini dikarenakan akses yang lebih
buruk dibanding dengan mereka yang tinggal di kota (Zhang et al., 2017).
Berbeda dengan rumah sakit dan klinik, akses balita ke Puskesmas dan Polindes
cenderung lebih baik pada mereka yang memiliki status sosial ekonomi-rendah. Pada konteks
Indonesia hal ini bisa dipahami sebagai dampak dari kebijakan di banyak wilayah yang memberi
akses universal pada Puskesmas sebagai primary health care (Rukmini, Rachmawaty, &
Laksono, 2013). Biaya berobat ke Puskesmas yang murah cenderung digratiskan sebagai janji
politik kepala daerah. Kondisi ini sejalur dengan hasil penelitian di Mongolia yang menemukan
akses ke primary health care yang lebih baik pada wilayah rural dan mereka yang miskin. Dalam
konteks Mongolia hal ini dikarenakan akses ke primary health care yang gratis dan universal
(Dorjdagva et al., 2017).
Upaya pemerataan akses ke fasilitas pelayanan kesehatan akibat ketimpangan status
sosial ekonomi bisa saja dilakukan dengan memberi subsidi. Tetapi ketika pemerintah
mengeluarkan kebijakan untuk memberikan subsidi biaya berobat bagi semua balita, maka

6
seyogyanya semua balita harus memiliki akses yang sama ke fasilitas pelayanan kesehatan
(Carrin, Mathauer, Xu, & Evans, 2008)(Thin Zaw et al., 2012)(Ravindran, 2012)(Qian et al.,
2017)(Al Hilfi, Lafta, & Burnham, 2013)(Kim & Kwon, 2015)(Ehara, 2017)(Pratiwi et al.,
2014).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa balita yang tinggal di wilayah
perdesaan dan masuk kategori miskin cenderung memiliki akses yang lebih tinggi pada
pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas/Pustu dan Polindes/Praktik Bidan. Sementara kelompok
balita yang tinggal di perkotaan dan masuk kategori kaya memiliki akses yang lebih baik di
pelayanan dasar dokter praktik/klinik dan pelayanan kesehatan lanjutan atau rujukan di Rumah
Sakit.
SARAN
Berdasarkan simpulan maka disarankan untuk melakukan pemerataan akses pelayanan
kesehatan, terutama rumah sakit, pada balita dengan menitikberatkan perhatian pada balita
dengan keluarga miskin dan yang tinggal di wilayah rural. Pemerataan akses untuk balita pada
keluarga miskin sudah dilakukan dengan kebijakan Kartu Indonesia Sehat untuk keluarga
miskin, yang belum dilakukan adalah kebijakan untuk subsidi akses secara fisik atau transportasi
untuk pemerataan yang lebih baik.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia yang telah menyediakan data Riskesdas 2013 sebagai bahan analisis dalam
artikel ini.

DAFTAR PUSTAKA
Al Hilfi, T. K., Lafta, R., & Burnham, G. (2013). Health services in Iraq. The Lancet.
https://doi.org/10.1016/S0140-6736(13)60320-7
Boulton, M. L., Carlson, B. F., Power, L. E., & Wagner, A. L. (2018). Socioeconomic factors
associated with full childhood vaccination in Bangladesh, 2014. International Journal of
Infectious Diseases, 69, 35–40. https://doi.org/10.1016/j.ijid.2018.01.035
Carrin, G., Mathauer, I., Xu, K., & Evans, D. B. (2008). Universal coverage of health services:
Tailoring its implementation. Bulletin of the World Health Organization, 86, 857–863.
https://doi.org/10.2471/BLT.07.049387
Dhruve, S., Badgaiyan, Y. D., & Pandey, S. (2016). A Study of Socio Economic Factors
Affecting Family Planning Services in An Urban Area. International Journal of Scientific
Research, 5(6), 618–620. Retrieved from
https://www.researchgate.net/publication/316941142
Diana, F. M. (2010). Pemantauan Perkembangan Anak Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat,
4(2).
Doganis, D., Panagopoulou, P., Tragiannidis, A., Vichos, T., Moschovi, M., Polychronopoulou,
S., … Perisic, S. Z. (2018). Survival and mortality rates of Wilms tumour in Southern and
Eastern European countries: Socioeconomic differentials compared with the United States
of America. European Journal of Cancer, 101, 38–46.
https://doi.org/10.1016/j.ejca.2018.06.012
Dorjdagva, J., Batbaatar, E., Svensson, M., Dorjsuren, B., Batmunkh, B., & Kauhanen, J. (2017).

7
Free and universal, but unequal utilization of primary health care in the rural and urban
areas of Mongolia. International Journal for Equity in Health, 16(1).
https://doi.org/10.1186/s12939-017-0572-4
Ehara, A. (2017). Unequal accessibility of nurseries for sick children in over- and under-
populated areas of Japan. Tohoku Journal of Experimental Medicine, 24(2), 97–102.
https://doi.org/10.1620/tjem.241.97
Gao, F., Kihal, W., Meur, N., Souris, M., & Deguen, S. (2017). Does the edge effect impact on
the measure of spatial accessibility to healthcare providers? International Journal of Health
Geographics, 16(1). https://doi.org/10.1186/s12942-017-0119-3
Gonzales, S., Mullen, M. T., Skolarus, L., Thibault, D. P., Udoeyo, U., & Willis, A. W. (2017).
Progressive rural-urban disparity in acute stroke care. Neurology, 88(5), 441–448.
https://doi.org/10.1212/WNL.0000000000003562
Huerta Munoz, U., & Källestål, C. C. (2012). Geographical accessibility and spatial coverage
modeling of the primary health care network in the Western Province of Rwanda.
International Journal of Health Geographics. https://doi.org/10.1186/1476-072X-11-40
Jacobs, B., & Weissert, W. (2007). Helping protect the elderly and the public against the
catastrophic costs of long-term care. Journal of Policy Analysis and Management, 5(2),
378–383. https://doi.org/10.1002/pam.4050050214
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Undang-undang lindungi hak anak untuk dapatkan
pelayanan kesehatan. Retrieved July 13, 2018, from
http://www.depkes.go.id/article/print/16051800001/undang-undang-lindungi-hak-anak-
untuk-dapatkan-pelayanan-kesehatan.html
Kim, S., & Kwon, S. (2015). Impact of the policy of expanding benefit coverage for cancer
patients on catastrophic health expenditure across different income groups in South Korea.
Social Science and Medicine, 138, 241–247.
https://doi.org/10.1016/j.socscimed.2015.06.012
Laksono, A. D. (2016). Health Care Accessibility (Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan). In S.
Supriyanto, D. Chalidyanto, & R. D. Wulandari (Eds.), Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan
di Indonesia (pp. 5–20). Jogjakarta: PT Kanisius.
Li, J., Shi, L., Liang, H., Ding, G., & Xu, L. (2018). Urban-rural disparities in health care
utilization among Chinese adults from 1993 to 2011. BMC Health Services Research,
18(102), 1–9. https://doi.org/10.1186/s12913-018-2905-4
Megatsari, H., Laksono, A. D., Ridlo, I. A., Yoto, M., & Azizah, A. N. (2018). Community
Perspective about Health Services Access. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 21, 247–
253. https://doi.org/10.22435/hsr.v2Ii4.231
Meng, Q., Xu, L., Zhang, Y., Qian, J., Cai, M., Xin, Y., … Barber, S. L. (2012). Trends in access
to health services and financial protection in China between 2003 and 2011: A cross-
sectional study. The Lancet, 379, 805–814. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(12)60278-5
Mubasyiroh, R., Nurhotimah, E., & Laksono, A. D. (2016). Indeks Aksesibilitas Pelayanan
Kesehatan di Indonesia. In S. Supriyanto, D. Chalidyanto, & R. D. Wulandari (Eds.),
Aksesibilitas Pelayanan Kesehatan di Indonesia (pp. 21–58). Jogjakarta: PT Kanisius.
National Institute of Health Research and Development of Ministry of Health of the Republic of
Indonesia. (2013). The 2013 Indonesia Basic Health Survey (Riskesdas): National Report.
Jakarta.
Owen, K. K., Obregón, E. J., & Jacobsen, K. H. (2010). A geographic analysis of access to
health services in rural Guatemala. International Health, 2, 143–149.

8
https://doi.org/10.1016/j.inhe.2010.03.002
Pramono, M. S., & Paramita, A. (2015). Pattern of Occurrence and Determinants of Baby with
Low Birth Weight in Indonesia 2013. Bulletin of Health System Research, 18(1), 1–10.
https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4263.1-10
Pratiwi, N. L., Suprapto, A., Laksono, A. D., Rooshermiati, B., Rukmini, Puto, G., … Sugiharto.
(2014). Kajian Kebijakan Penyaluran Dana Bantuan Operasional Kesehatan dalam
Mendukung Pencapaian Kesehatan Ibu dan Anak (MDG’s 4,5) di Tiga Kabupaten, Kota di
Provinsi Jawa Timur Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 17(4), 395–405.
Qian, Y., Zhou, Z., Yan, J., Gao, J., Wang, Y., Yang, X., … Li, Y. (2017). An economy-ralated
equity analysis of health service utilization by women in economically underdeveloped
regions of western China. International Journal for Equity in Health, 16(1).
https://doi.org/10.1186/s12939-017-0667-y
Ravindran, T. K. S. (2012). Universal access: making health systems work for women. BMC
Public Health, 12 Suppl 1, S4. https://doi.org/10.1186/1471-2458-12-S1-S4
Rukmini, Rachmawaty, T., & Laksono, A. D. (2013). The Analysis of Jampersal
Implementationin Sampang District Health Office. Bulletin of Health System Research,
16(2), 154–167.
Saha, S., Annear, P. L., & Pathak, S. (2013). The effect of Self-Help Groups on access to
maternal health services: evidence from rural India. International Journal for Equity in
Health, 12, 36. https://doi.org/10.1186/1475-9276-12-36
Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (2015a). Profil Kesehatan Indonesia Tahun
2014. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. (2015b). Rencana Strategis Kementerian
Kesehatan Tahun 2015-2019. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI.
Sibley, L. M., & Weiner, J. P. (2011). An evaluation of access to health care services along the
rural-urban continuum in Canada. BMC Health Services Research, 11, 20.
https://doi.org/10.1186/1472-6963-11-20
Simanjuntak, B. Y., Haya, M., Suryani, D., & Ahmad, C. A. (2018). Early Inititation of
Breastfeeding and Vitamin A Supplementation with Nutritional Status of Children Aged 6-
59 Months. National Public Health Journal, 12(3), 107–113.
https://doi.org/10.21109/kesmas.v12i3.1747
Suharmiati, Laksono, A. D., & Astuti, W. D. (2013). Policy Review on Health Services in
Primary Health Center in the Border and Remote Area. Bulletin of Health System Research,
16(2), 109–116.
Thin Zaw, P. P., Liabsuetrakul, T., Htay, T. T., & McNeil, E. (2012). Equity of access to
reproductive health services among youths in resource-limited suburban communities of
Mandalay City, Myanmar. BMC Health Services Research, 12, 458.
https://doi.org/10.1186/1472-6963-12-458
Vanamail, P., & Gunasekaran, S. (2011). Possible relationship among socio-economic
determinants, knowledge and practices on lymphatic filariasis and implication for disease
elimination in India. International Journal of Public Health, 56(1), 25–36.
https://doi.org/10.1007/s00038-010-0159-y
World Health Organization. (2018). Vulnerable groups. Retrieved July 10, 2018, from
http://www.who.int/environmental_health_emergencies/vulnerable_groups/en/
Wulandari, R. D., & Laksono, A. D. (2019). Urban-Rural Disparities in Puskesmas (Public
Health Center) Utilization among Elderly People in East Java, Indonesia. Surabaya.

9
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.19309.03047
Wulandari, R. D., Supriyanto, S., Qomaruddin, B., & Laksono, A. D. (2019). Socioeconomic
Disparities in Hospital Utilization among Elderly People in Indonesia. Surabaya.
https://doi.org/10.13140/RG.2.2.11898.54721
Wulansari, S., Sadewo, F. S., & Raflizal, R. (2015). Social Construction and Action of Mother of
Malnutrition Toddler (A Case Study in Sampang and Bojonegoro). Bulletin of Health
System Research, 18(1), 65–75. https://doi.org/10.22435/hsr.v18i1.4272.65-75
Xie, D. X., Wang, R. Y., Penn, E. B., Chinnadurai, S., Shannon, C. N., & Wootten, C. T. (2018).
Understanding sociodemographic factors related to health outcomes in pediatric obstructive
sleep apnea. International Journal of Pediatric Otorhinolaryngology, 111, 138–141.
https://doi.org/10.1016/j.ijporl.2018.05.030
Xu, Y., Ma, J., Wu, N., Fan, X., Zhang, T., Zhou, Z., … Chen, G. (2018). Catastrophic health
expenditure in households with chronic disease patients: A pre-post comparison of the New
Health Care Reform in Shaanxi Province, China. PLoS ONE, 13(3).
https://doi.org/10.1371/journal.pone.0194539
Yu, T.-H., Matthes, N., & Wei, C.-J. (2018). Can urban-rural patterns of hospital selection be
changed using a report card program? A nationwide observational study. International
Journal of Environmental Research and Public Health, 15(9).
https://doi.org/10.3390/ijerph15091827
Zaki, I., Farida, F., & Sari, H. P. (2018). Peningkatan Kapasitas Kader Posyandu Melalui
Pelatihan Pemantauan Status Gizi Balita. Jurnal Pengabdian Pada Masyarakat, 3(2), 169–
177. https://doi.org/10.22146/jpkm.28595
Zhang, X., Dupre, M. E., Qiu, L., Zhou, W., Zhao, Y., & Gu, D. (2017). Urban-rural differences
in the association between access to healthcare and health outcomes among older adults in
China. BMC Geriatrics, 17(1). https://doi.org/10.1186/s12877-017-0538-9

10

Anda mungkin juga menyukai