Makalah Teori Model Kls. A
Makalah Teori Model Kls. A
Disusun Oleh :
1. Maulida Asslamia Fadhila 201804001
2. Farisatul Fathqiyah 201804002
3. Alvina Nur Kholifah 201804003
4. Nur Lailatul Lutfia 201804004
5. Indah Fauziah 201804005
6. Eka Sulistyowati 201804006
7. David Yuda Pratama 201804008
8. Nanvy Garhet Zuhera 201804009
9. Ega Galuh Sindu Pratiwi 201804010
10. Khafifah Salsabilla 201804011
11. Aisyah Dwi Ayu W 201804012
12. Nafi'atul Chusnah 201804013
13. Alif Triyuningsi 201894014
14. Anggi Ika Anggraini 201804015
15. Rana Yunita Zahiroh 201804016
16. Devi Sulistiyawati 201801017
17. Novia Harum Salsabilla 201804019
18. Ahrul Putra Baktiar 201804020
Health belief model dikemukakan pertama kali oleh Resenstock 1966, kemudian
disempurnakan oleh Becker, dkk 1970 dan 1980.Sejak tahun 1974, teori Health belief model
telah menjadi perhatian para peneliti. Model teori ini merupakan formulasi konseptual untuk
mengetahui persepsi individu apakah mereka menerima atau tidak tentang kesehatan mereka.
Variabel yang dinilai meliputi keinginan individu untuk menghindari kesakitan, kepercayaan
mereka bahwa terdapat usaha agar menghindari penyakit tersebut.
Menurut World Health Organization (WHO) yang dimaksud dengan sehat atau health adalah
suatu kondisi tubuh yang lengkap secara jasmani, mental, dan sosial, dan tidak hanya sekedar terbebas
dari suatu penyakit dan ketidakmampuan atau kecacatan, sedangkan menurut UU No.36 tahun
2009 Tentang Kesehatan, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Belief dalam bahasa inggris artinya percaya atau keyakinan. Menurut peneliti belief
adalah keyakinan terhadap sesuatu yang menimbulkan perilaku tertentu. Misalnya individu
percaya bahwa belajar sebelum ujian akan berpengaruh terhadap nilai ujian. Jenis kepercayaan
tersebut terkadang tanpa didukung teori teori lain yang dapat dijelaskan secara logika.
Model adalah seseorang yang bisa dijadikan panutan atau contoh dalam perilaku, cita-
cita dan tujuan hidup yang akan dicapai individu. Biasanya teori modeling ini sangat efektif
pada perkembangan anak di usia dini, namun dalam materi peneliti kali ini teori modeling di umpakan
sebuah issue atau pengalaman pengobatan dari seseorang yang memiliki riwayat sakit yang sama
dan memilih serta menjalani pengobatan alternative yang mendapatkan hasil yang positif.
Health belief model merupakan suatu konsep yang mengungkapkan alasan dari individu
untuk mau atau tidak mau melakukan perilaku sehat (Janz & Becker, 1984).Health belief model
juga dapat diartikan sebagai sebuah konstruk teoretis mengenai kepercayaan individu dalam
berperilaku sehat (Conner, 2005).
Health belief model adalah suatu model yang digunakan untuk menggambarkan
kepercayaan individu terhadap perilaku hidup sehat, sehingga individu akan melakukan perilaku
sehat, perilaku sehat tersebut dapat berupa perilaku pencegahan maupun penggunaan fasilitas
kesehatan. Health belief model ini sering digunakan untuk memprediksi perilaku kesehatan
preventif dan juga respon perilaku untuk pengobatan pasien dengan penyakit akut dan kronis.Namun
akhir-akhir ini teori Health belief model digunakan sebagai prediksi berbagai perilaku yang
berhubungan dengan kesehatan.
Konsep utama dari health belief model adalah perilaku sehat ditentukan oleh kepercaaan
individu atau presepsi tentang penyakit dan sarana yang tersedia untuk menghindari terjadinya suatu
penyakit. Health belief model (HBM) pada awalnya dikembangkan pada tahun 1950an Oleh
sekelompok psikolog sosial di Pelayanan Kesehatan Masyarakat Amerika Serikat, dalam usaha
untuk menjelaskan kegagalan secara luas partisipasi masyarakat dalam program pencegahan atau
deteksi penyakit. Kemudian, model diperluas untuk melihat respon masyarakat terhadap gejala-
gejala penyakit dan bagaimana perilaku mereka terhadap penyakit yang didiagnosa, terutama
berhubungan dengan pemenuhan penanganan medis.Oleh karena itu, lebih dari tiga dekade, model ini
telah menjadi salah satu model yang paling berpengaruh dan secara luas menggunakan
pendekatan psikososial untuk menjelaskan hubungan antara perilaku dengan kesehatan.
Dari pengertian-pengertian mengenai health belief model yang sudah dijelaskan diatas
dapat disimpulkan bahwa health belief model adalah model yang menspesifikasikan bagaimana
individu secara kognitif menunjukkan perilaku sehat maupun usaha untuk menuju sehat atau
penyembuhan suatu penyakit. Health belief model ini didasari oleh keyakinan atau kepercayaan
individu tentang perilaku sehat maupun pengobatan tertentu yang bisa membuat diri individu
tersebut sehat ataupun sembuh.
Health belief model ini awalnya dikonsep oleh Rosenstock (1974) kemudian dikaji
lebih lanjut oleh Becker dkk (1974) health belief modeldikembangkan untuk memahami
sejumlah factor psikologis berbasis keyakinan didalam pengambilan keputusan terkait kesehatan
dan perilaku sehat. Seperti model lain (teori perilaku terencana dan teori tindakan rasional),
health belief model adalah model nilai-ekspektansi. Individu mempresentasikan penindak-
lanjutan perilaku berdasarkan keyakinan individu yang dapat diprediksi dan menghasilkan
sebuah perilaku, sehingga dapat meneliti nilai yang melekat pada hasil perilaku.
Perkembangan dari HBM tumbuh pesat dengan sukses yang terbatas pada berbagai program
Pelayanan Kesehatan Masyarakat di tahun 1950-an. Apabila individu bertindak untuk melawan
atau mengobati penyakitnya, ada empat variabel kunci dua tambahan yang baru-baru ini
diungkapkan para ahli yang terlibat didalam tindakan tersebut, yakni kerentanan yang dirasakan
terhadap suatu penyakit, keseriusan yang dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang
dialami dalam tindakan melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut. Di
mana komponen-komponennya disebutkan di bawah ini.Gambaran Health belief model terdiri dari 6
dimensi, diantaranya:
Health belief model dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya faktor demografis
(Rosenstock, 1974 dalam Conner & Norman, 2003), karakteristik psikologis (Conner &
Norman, 2003), dan juga dipengaruhi oleh structural variable, contohnya adalah ilmu pengetahuan
(Sarafino, 1994).
Faktor demografis yang mempengaruhi health belief model individu adalah kelas sosial
ekonomi. Individu yang berasal dari kelas sosial ekonomi menengah kebawah memiliki
pengetahuan yang kurang tentang faktor yang menjadi penyebab suatu penyakit (Hossack & Leff,
1987 dalam Sarafino, 1994). Faktor demografis (Rosenstock, 1974 dalam Conner & Norman,
2003), karakteristik psikologis (Conner & Norman, 2003), dan structural variable (Sarafino,
1994), pada akhirnya mempengaruhi health belief model pada individu yang mengalami fraktur.
Edukasi merupakan faktor yang penting sehingga mempengaruhi health belief model
individu (Bayat dkk, 2013). Kurangnya pengetahuan akan menyebabkan individu merasa tidak
rentan terhadap gangguan, yang dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Edmonds dan kawan –
kawan adalah osteoporosis (Edmonds dkk, 2012). Karakteristik psikololgis merupakan faktor
yang mempengaruhi health belief model individu (Conner & Norman, 2003). Dalam penelitian
ini, karakteristik psikologis yang mempengaruhi health belief modelkedua responden adalah
ketakutan kedua responden menjalani pengobatan secara medis.
Beberapa factor Health belief model berbasis kognitif (seperti keyakinan dan sikap) dan
berkaitan dengan proses berfikir yang terlibat dalam pengambilan keputusan individu dalam
menentukan cara sehat individu. Dalam kajian psikologi kesehatan, persepsi individu dalam
melakukan atau memilih perilaku sehat dikaji dalam teori Health belief model (HBM). HBM
adalah model kepercayaan kesehatan individu dalam menentukan sikap melakukan atau tidak
melakukan perilaku kesehatan (Conner, 2005).
Teori Health belief model menghipotesiskan terdapat hubungan aksi dengan faktor berikut:
Health belief model juga dapat menjelaskan tentang perilaku pencegahan pada individu.Hal ini
menjelaskan mengapa terdapat individu yang mau mengambil tindakan pencegahan, mengikuti
skrining, dan mengontrol penyakit yang ada.
Perilaku responden juga dapat ditinjau dari pendekatan modelling dan operant conditioning,
sehingga perilaku berubah karena konsekuensinya (Sarafino, 1994). Modelling dilakukan dengan
cara memperhatikan perilaku orang lain (Bandura, 1969), melakukan observasi dan melakukan
modelling terhadap urutan perilaku dapat merubah perilaku hidup sehat secara efektif (Sarson
dkk, 1991).
a) Ancaman
1. Presepsi tentang kerentanan diri terhadap bahaya penyakit (atau kesedian menerima diagnosa
sakit)
b) Harapan
c) Pencetus tindakan : media, pengaruh orang lain dan hal-hal yang mengingatkan (reminder)
d) Faktor-faktor Sosio-demografi (pendidikan, umur, jenis kelamin atau gender, suku bangsa).
e) Penilaian diri (Persepsi tentang kesanggupan diri untuk melakukan tindakan itu) (Anonim,
2012)
Menurut peneliti Pengobatan alternative adalah ketika pengobatan modern tidak mampu
menangani seluruh masalah kesehatan.Pengobatan alternative juga disebut pengobatan pengganti
yang dicari orang dibedakan dengan pengobatan modern yang kita kenal sekarang ini sebagai
hasil perkembangan ilmu pengetahuan (bersifat ilmiah).Pada abad ke -19 sejak pengobatan
modern berkembang penemuan bakteri dan mikroskop sehingga para ahli menyimpulkan bahwa
setiap penyakit ada penyebab yang jelas sehingga dapat dicarikan obatnya.
Sebelum cara ini ditemukan ada metode pengobatan tradisional yang berdasarkan pada
anggapan bahwa penyakit disebabkan oleh roh-roh jahat yang mengganggu seseorang atau bahwa
penyakit disebabkan oleh ketidak seimbangan energi dalam tubuh (misalnya yin-yang).
Manusia terdiri dari dua aspek yang saling berkaitan (holistik) dan bukan dua aspek yang
terpisah secara dikotomik (badan dan jiwa).Berdasarkan hal itu, realita dan pengobatan penyakit
harus mencakup keduanya, jadi lebih tepat disebut sebagai pengobatan komplimenter (dengan
pengertian saling melengkapi) dari pada “alternative” yang dimaknakan sebagai pengganti.Menurut
kamus kesehatan istilah alternatif mengacu pada berbagai perawatan yang biasanya tidak
diklasifikasikan sebagai tradisi “pengobatan Barat”. Biasanya pengobatan alternatif ini juga
mencakup perawatan jamu, biofeedback, bekam, gurah, homeopati dan akupuntur yang semua
itu tidak termasuk sebagai praktik standart dalam system pengobatan kedokteran.
Pencarian pengobatan dilakukan ketika salah satu anggota keluarga yang benar-benar sakit dan
membutuhkan pertolongan kemudian barulah orang sakit dan keluarganya mencari informasi
atau mengunjungi fasilitas kesehatan untuk mengobati sakitnya. Masyarakat yang mendapat
penyakit dan tidak merasakan sakit tidak akanbertindak terhadap penyakitnya. Mereka baru
akan bertindak ketika penyakit yang diserang menimbulkan rasa sakit, maka barulah timbul
berbagai macam perilaku dan usaha (Notoatmodjo, 2007) antara lain:
Masyarakat yang mengalami situasi ini, kondisi yang dialami tidak akan mengganggu
kegiatan mereka dan menganggap bahwa gejala yang dideritanya akan lenyap dengan
sendirinya dan lebih memprioritaskan tugas lain daripada mengobati sakitnya.
Masyarakat pada situasi ini beranggapan bahwa pengobatan dengan usaha sendiri dapat
mendatangkan kesembuhan.Hal ini mengakibatkan pencarian pengobatan keluar tidak diperlukan.
Pada umumnya, masyarakat pada situasi ini masyarakat pedesaan yang menganggap bahwa
sehat-sakit bagian dari kebudayaan yang hanya bisa diobati dengan menggunakan pengobatan
alternative yang ditangani langsung oleh dukun atau pakar pengobatan tersebut.
d. Mencari Pengobatan modern baik yang disediakan oleh pemerintah maupun swasta seperti
puskesmas dan rumah sakit.
Masalah kesehatan masyarakat, terutama diIndonesia, terdapat dua aspek yaitu aspek fisik
seperti ketersediaan sarana kesehatan dan pengobatan penyakit, sedangkan aspek non–fisik yang
berkaitan dengan perilaku kesehatan masyarakat.
Kedua aspek tersebut saling berkaitan yaitu aspek perilaku dalam menentukan sarana
kesehatan yang dipilih dan pengobatan penyakit yang merupakan aspek non–fisik perilaku
individu atau kelompok dengan kemungkinan besar yang mengalami keluhan kesehatan tetapi
masyarakat lebih memilih untuk pergi ketempat pelayanan kesehatan medis ataupun memilih
alternatif pengobatan yang lain. Penentuan individu dalam memilih pengobatan oleh pasien
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang mempengaruhi individu untuk memenuhi keinginannya
untuk sembuh dan sehat.
Pemilihan pengobatan alternative ini terkadang menjadi opsi terakhir atau bahkan menjadi
tujuan utama yang dilakukan individu untuk mencapai kesembuhan, dalam riwayat kanker yang
selalu merujukkan pasien untuk operasi jika obat jalan dan terapi sudah tidak mampu mengatasi
penyakit kanker, bahkan membuat individu yang sudah didiagnosa oleh dokter tidak
mengindahkan hal tersebut. Individu akan mencari cara lain agar dirinya tidak menjalani operasi.
Individu merasakan lebih nyaman saat menjalani pengobatan alternatif, serta meyakini
pengobatan tersebut membawa dampak positif bagi peningkatan kesehatan.Rasa nyaman dan
damai inilah yang membuat sel kanker tumbuh secara lambat. Meski belum bisa dipastikan secara
jelas ketenangan batin bisa menghilangkan sel-sel kanker yang ada di dalam tubuh pasien.
Penentuan individu dalam memilih pengobatan oleh pasien dipengaruhi oleh beberapa
faktor yang mempengaruhi individu untuk memenuhi keinginannya untuk sembuh dan sehat.
Penentuan pemilihan pengobatan yang dilakukan masyarakat, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
antara lain sepertipengetahuan, masalahbiaya pengobatan, ketidakpuasan terhadap hasil
pengobatan, ketidakpuasan dengan pelayanan yang diterima dalam menjalani pengobatan,
beberapa kasus malpraktek, dan letak tempat pelayanan kesehatan.
Individu melakukan suatu tindakan berdasarkan atas pengalaman, persepsi, pemahaman dan
penafsiran atas suatu obyek stimulus atau situasi tertentu.Tindakan individu ini merupakan
tindakan sosial yang rasional, yaitu mencapai tujuan atau sasaran dengan sarana-sarana yang
paling tepat (Batubara, 2009). Tingkat sosial ekonomi merupakan menggambarkan kedudukan
seseorang dalam bermasyarakat yang biasanya ditentukan oleh unsur pendidikan, pekerjaan, dan
pendapatan yaitu kelompok tinggi, kelompok menengah, dan kelompok rendah. Tingkat sosial
ekonomi dapat mempengaruhi seseorangdapat menentukan suatu pilihan pengobatan yang ada sesuai
dengan kemampuannya.
Individu yang berbeda suku bangsa, pekerjaan, atau tingkat pendidikan mempunyai
kecenderungan yang tidak sama dalam mengerti dan bereaksi terhadap kesehatan mereka.
Didasarkan pada asumsi bahwa orang-orang dengan latar belakang struktur sosial yang
bertentangan akan menggunakan pelayanan kesehatan dengan cara yang tertentu pula
(Notoatmodjo, 2012). Pendapatan dapat digunakan sebagai ukuran kesanggupan seseorang untuk
memperoleh pelayanan kesehatan.
B. PERSPEKTIF TEORITIK
Dalam penelitian ini adapun teori rasa sakit yaitu pengalaman indrawi dan emosi tidak
menyenangkan yang terkait dengan kerusakan jaringan actual atau potensial, atau dapat digambarkan
berdasarkan kerusakannya.Umumnya para petugas kesehatan professional menganggap rasa sakit
akut sebagai simtom yang tepat untuk berbagai kondisi penyakit dan prosedur penyembuhan.
yang mendasari individu memilih pelayanan ataupun tindakan periaku demi terwujudnya sehat. Teori
ini berbasis kognitif yang dinggap signifikan dalam memahami suatu proses pengambilan sutu
keputusan didalam perilaku sehat dan perilaku sakit. Bentuk pemikran rasional tersebut meliputi
analisa biaya dan keuntungan mengenai ancaman penyakit yang dialami.Dengan pengetahun
konseptual seperti itu mestinya memungkinkan secara hipotesis untuk mengubah jenis-jenis
proses berfikir untuk bisa mengubah perilaku melalui intervensi yang memajukan kesehatan.
Model transtheoretical
A. Pengertian
Model transtheoretical adalah suatu model yang diterapkan untuk menilai kesiapan seorang
individu untuk bertidak atas perilaku sehat yang baru dan memberikan strategi atau proses perubahan
untuk memandu setiap individu melalui tahapan perubahan untuk bertindak dalam pemeliharaan
kesehatan. Suatu model yang teoritis tentang perubahan perilaku, yang telah (menjadi) basis untuk
mengembangkan intervensi yang efektif untuk mempromosikan perubahan perilaku kesehatan.
Transteoretical model ini adalah sebuah model integrative pada perubahan perilaku.
Model Transtheoretical adalah model perubahan yang disengaja. Ini adalah model yang
berfokus pada pengambilan keputusan individu. pendekatan lain untuk promosi kesehatan telah
berfokus terutama pada pengaruh sosial terhadap perilaku atau pengaruh biologis terhadap perilaku.
Untuk merokok, sebuah contoh dari pengaruh sosial akan menjadi model pengaruh peer (Flay, 1985)
atau perubahan kebijakan (Velicer, Laforge, Levesque, & Fava, 1994). Contoh pengaruh biologis
akan model pengaturan nikotin (Leventhal & Cleary, 1980; Velicer, Redding, Richmond, Greeley, &
Swift, 1992) dan terapi penggantian (Fiore. Smith, Jorenby, & Baker, 1994). Dalam konteks Model
Transtheoretical, ini dipandang sebagai pengaruh luar, berdampak melalui individu.
Model ini melibatkan emosi, kognisi, dan perilaku. Ini melibatkan kepercayaan pada diri-
laporan. Misalnya, dalam berhenti merokok, laporan diri telah terbukti sangat akurat (Velicer,
Prochaska, Rossi, & Snow 1992). pengukuran yang akurat memerlukan serangkaian item jelas bahwa
individu dapat merespon secara akurat dengan sedikit kesempatan untuk distorsi. Pengukuran isu
sangat penting dan salah satu langkah penting untuk aplikasi model melibatkan pengembangan
langkah-langkah pendek, handal, dan berlaku dari kunci konstruksi.
Transtheoretical Model mengusulkan satu set membangun format itu adalah suatu ruang hasil
multivariate dan meliputi ukuran yang adalah sensitif untuk maju di seluruh langkah-langkah. Ini
membangun meliputi yang pro dan kontra dari Decisional Balance Scale, Temptation atau Self-
efficacy, dan perilaku target. Suatu lebih terperinci presentasi dari aspek/pengarah ini pada model
disajikan di tempat lain (Velicer, Prochaska, Rossi, & Diclemente, 1996).
Kemunduran terjadi ketika individu berbalik ke suatu lebih awal langkah perubahan. Berbuat
tidak baik lagi adalah satu format dari kemunduran, menyertakan kemunduran dari Maintenance atau
Action (bagi/kepada) suatu langkah yang lebih awal.
Tahapan perubahan model pada awalnya dikembangkan pada tahun 1970-an dan 1980-an oleh James
Prochaska dan Carlo DiClemente di Universitas Rhode Island ketika mereka sedang belajar
bagaimana perokok bisa melepaskan kebiasaan atau kecanduan, sebagai perubahan perilaku yang
menjelaskan proses mulai dari diperolehnya sebuah perilaku baru hingga pada pemeliharaan perilku
tersebut. Tahapan perubahan berguna dalam menjelaskan kapan terjadinya perubahan dalam kognitif,
emosi, dan perilaku.
Stage of change ……
Langkah dimana orang-orang tidak mempunyai niat untuk bertindak dimasa depan yang dapat diduga
pada umunya 6 bulan ke depan. Orang-orang yang mungkin termasuk di langkah ini adalah mereka
yang tidak diberitahu tentang konsekuensi dari perilaku mereka. Mereka bersifat menentang atau
tanpa motivasi atau mempersiapkan promosi kesehatan.
b. Contemplation / Perenungan.
Orang-orang berniat untuk merubah ke 6 bulan berikutnya. Mereka sadar akan pro menguvbah
perilaku tetapi juga sangat sadar akan memberdayakan. Tahapan ini menyeimbangkan anatara biaya
dan keuntungan untuk menghasilkjan 2 sifat bertentangan yang dapat menyimpan dalam periode
lama.
Belum membuat keputusan yang tepat suatu reaksi. Pada tahap contemplation ke preparation melalui
proses :
c. Preparation / Persiapan.
Langkah dimana orang-orang berniat untuk mulai bertindak di masa mendatang. Secara khas mereka
mengambil keputusan penting dari masa yang lalu. Individu ini mempunyai suatu rencana kegiatan
seperti sambungan suatu kelas pendidikan kesehatan, bertemu dengan dokter mereka, membeli suatu
buku bantuan diri atau bersandar pada suatu perubahan.
· Pada tahap preparation ke action melalui proses : self liberation
d. Action/ Tindakan
Langkah dimana orang sudah memodifikasi spesifik antara pikiran dengan perilaku. Banyaknya
anggapan tindakan sama dengan perilaku. Namun dalam model ini perilaku tidak menghitung semua
tindakan. Langkah action adalah juga langkah dimana kewaspadaan melawan terhadap berbuat tidak
baik lagi adalah kritis.
Mulai aktif berperilaku yang baru. Pada tahap action ke maintenance melalui proses :
· Helping relationship : adanya dorongan / dukungan dari orang lain untuk mengubah
perilaku.
e. Maintenance / Pemeliharaan
Dimana orang-orang sedang aktif untuk mencegah berbuat tidak baik lagi tetapi mereka tidak
menggunakan proses perubahan sering seperti halnya orang-orang dalam perang. Suatu langkah yang
mana diperkirakan untuk terakhir. Ketika hasil dari maintenance positif / dapat mengubah perilaku
yang lebih baik maka akan terjadi termination / perhentian.
Ketika setelah maintenance terjadi relaps maka bisa kembali pada tahap contemplation-preparation-
action-maintence. Tidak lagi kembali ke Precontemplation, karena sudah ada kesadaran / niat.
f. Relaps (Kekambuhan)
Relaps (kekambuhan) atau disebut juga sebagai revolving door schema dapat terjadi pada proses
perubahan perilaku menurut teori ini. Kekambuhan merupakan kembalinya perilaku seseorang pada
kebiasaan yang lama. Biasanya pada tahap pelaksanaan (action) maupun pemeliharaan (maintenance)
kekambuhan dapat terjadi, apalagi bila seseorang tidak mendapatkan dukungan positif dari
lingkungannya.
Proses perubahan berguna untuk membantu menjelaskan bagaimana strategi atau teknik untuk
modifikasi terjadinya perubahan tersebut. Proses Perubahan adalah kegiatan terselubung maupun
terbuka yang digunakan orang untuk maju melalui tahap-tahap. Proses perubahan memberikan
panduan penting bagi program intervensi, karena proses adalah variabel independen bahwa orang
perlu untuk menerapkan, atau terlibat dalam, untuk berpindah dari panggung ke panggung.
Sepuluh proses (Prochaska & DiClemente, 1983; Prochaska, Velicer, DiClemente, & Fava, 1988)
telah menerima dukungan yang paling empiris dalam penelitian kami sampai saat ini. Lima pertama
diklasifikasikan sebagai Proses Experiential dan digunakan terutama untuk tahap awal transisi. Lima
terakhir diberi label Proses Perilaku dan digunakan terutama untuk transisi tahap selanjutnya.
a. Proses Perubahan Perilaku Melalui Experiential
Ketika seorang individu dalam tahap pre-contemplation, demi menjaga perilaku yang ada, pro yang
mendukung perubahan perilaku sebanding dengan kontra relatif untuk perubahan. Pada tahap pre-
contemplation, pro dan kontra cenderung untuk membawa bobot yang sama, sehingga meninggalkan
ambivalen individu terhadap perubahan.
Jika terjadi ketidakseimbangan keputusan, seperti pro mendukung perubahan lebih besar dari kontra
untuk menjaga perilaku tidak sehat, banyak orang pindah ke tahap persiapan atau bahkan tahap aksi.
Untuk individu yang memasuki tahap pemeliharaan, pro mempertahankan perubahan perilaku harus
lebih besar daripada yang kontra mempertahankan perubahan dalam rangka mengurangi risiko
kambuh.
Penelitian telah menemukan hubungan berikut antara yang pro, kontra, dan tahap perubahan perilaku
di 48 dan lebih dari 100 populasi diteliti dapat menujukkan yaitu:
precontemplation.
Decisional Balance membangun cerminan individu yang menimbang dari baik buruknya dari
mengubah. Berasal dari model Mann’s dan Janis, pengambilan keputusan itu mencakup empat
kategori dari pro (laba yang sebagai penolong). Bagaimanapun, suatu test yang empiris dari model
mengakibatkan suatu banyak struktur yang lebih sederhana. Hanya dua faktor, yang pro
dan kontra ditemukan.
Mencerminkan tingkat kepercayaan individu memiliki perubahan yang diinginkan dalam menjaga
perilaku mereka dalam situasi yang sering memicu kambuh. Hal ini juga diukur dengan kemungkinan
individu merasa tergoda untuk kembali ke perilaku bermasalah mereka dalam situasi berisiko tinggi.
Pada tahap pre-contemplation dan contemplation, godaan individu untuk terlibat dalam perilaku
bermasalah jauh lebih besar.
Dalam penelitian, biasanya ditemukan tiga faktor yang mencerminkan jenis yang paling
umum pada situasi: mempengaruhi negatif atau gangguan emosi, situasi sosial yang positif, dan
keinginan. Untuk individu pada tahap persiapan aksi, ada perbedaan antara self-efficacy dan godaan
individu, dan perubahan perilaku tercapai. Kambuh sering terjadi dalam situasi ketika godaan
mengalahkan perasaan, dan self-efficacy untuk menjaga perubahan perilaku yang diinginkan.
Self-Efficacy membangun kehadiran keyakinan situasi yang spesifik yang orang-orang mempunyai
bahwa mereka dapat mengatasi situasi yang resiko-tinggi tanpa relapsing kepada kebiasaan tak sehat
atau yang resiko-tinggi mereka.
Situational Temptation Measure (Diclemente, 1981, 1986; Velicer, DiClemente, Rossi, & Prochaska,
1990) cerminkan intensitas dari himbauan untuk terlibat dalam suatu perilaku yang spesifik ketika di
tengah-tengah situasi yang sulit.
Situational Self-efficacy Measure tidak cerminkan keyakinan dari individu untuk terlibat dalam suatu
perilaku yang spesifik ke seberang satu rangkaian ke situasi yang sulit. Keduanya ukuran Temptation
dan Self-efficacy mempunyai struktur yang sama.
Ukuran Temptation/Self-efficacy adalah terutama sekali sensitif pada perubahan yang dilibatkan
sedang dalam proses di langkah-langkah yang kemudiannya adalah meramal yang baik dari berbuat
tidak baik lagi.
Berikut skema mengenai hubungan antara tahap perubahan, proses perubahan, decisional balance dan
self efficacy dalam model Transtheoretical Model.
C. Aplikasi Teori perilaku Transtheoritical Model
Judul Jurnal “Application of the Transtheoretical Model for HIV Prevention in a Facility-Based and a
Community-Level Behavioral Intervention Research Study”
Fokus dari penelitian ini adalah untuk meningkatkan penggunaan kondom dan kontrasepsi. Model ini
diaplikasi dengan dua pendekatan intervensi yang berbeda yaitu fasilitas-based intervensi (konseling
individual untuk perempuan di klinik, penampungan, dan pusat-pusat perawatan narkoba) dan
intervensi pada tingkat masyarakat (termasuk produksi media kecil bahan, jalan penjangkauan, dan
masyarakat mobilisasition). Pada penelitian ini menunjukkan bahwa transtheoretical model memiliki
nilai untuk desain dan pelaksanaan program pencegahan HIV.
1. Precontemplation
Wanita/mereka tidak berniat dalam menggunakan kondom secara konsisten dalam hubungan badan
pada masa mendatang (6 bulan ke depan).
2. Contemplation
Mereka sudah memikir serius/niat dalam menggunakan kondom secara konsisten dalam berikutnya 6
bulan tetapi belum membuat komitmen untuk mengambil indakan dalam waktu dekat).
3. Preparation
Mereka sudah berniat untuk mulai menggunakan kondom setiap kali mereka berhubungan badan
pada 1 bulan kedepan dan mungkin sudah mulai menggunakan tapi tidak konsisten).
4. Action
Mereka telah mulai menggunakan kondom setiap kali berhubungan intim tetapi merek melakukannya
masih kurang dari 6 bulan).
5. Maintenance
(Kondom telah digunakan pada setiap tindakan hubungan seksual selama 6 bulan atau lebih).
Reaksi
Bagan 1 : Bagan Proses Timbulnya Sikap
Dari bagan di atas tersebut dapat dikembangkan bahwa sikap yang ada pada diri seseorang akan
dipengaruhi oleh faktor internal, yaitu faktor fisiologis dan psikologis serta faktor eksternal.
Faktor eksternal dapat berwujud situasi yang dihadapi oleh individu, norma-norma yang ada dalam
masyarakat, hambatan-hambatan atau pendorong-pendorong yang ada dalam masyarakat.
Semuanya ini akan berpengaruh terhadap sikap yang ada pada diri seseorang.
Sementara itu reaksi yang diberikan individu terhadap objek sikap dapat bersifat positif, tetapi juga
dapat bersifat negatif. Sikap yang diambil pada diri individu dapat diikuti dalam bagan berikut ini:
• Keyakinan
• Proses Belajar
• Cakrawala
• Pengalaman
• Pengetahuan
• Objek Sikap
• Persepsi
• Faktor- Faktor lingkungan yang berpengaruh
• Kepribadian
• Kognisi
• Afeksi
• Konasi
• Sikap
Pembentukan Sikap
Sikap yang terbentuk biasanya didapatkan dari pengetahuan yang berbentuk pengalaman pribadi.
Sikap juga dapat terbentuk berdasarkan informasi yang diterima dari orang lain, yang memiliki
pengaruh. Kelompok juga menjadi sumber pembentukan sikap yang cukup berpengaruh.
Alur pembentukan sikap dimulai ketika seseorang menerima informasi tentang produk atau jasa.
Informasi tersebut, kemudian dievaluasi dan dipilah, berdasarkan kebutuhan, nilai, kepribadian, dan
kepercayaan dari individu. Sehingga terjadilah pembentukan, perubahan atau konfirmasi dalam
kepercayaan konsumen terhadap produk, serta tingkat kepentingan dari tiap atribut produk terhadap
dirinya atau terhadap kebutuhannya saat ini. Hasil akhirnya adalah terbentuknya sikap dari individu
terhadap suatu objek (produk, jasa atau hal lainnya). Tingkat komitmen dari pembentukan sikap
beragam, mulai dari compliance, identification, sampai kepada internalization. Dalam prinsip
konsistensi sikap, terdapat harmoni antara pemikiran, perasaan, dan perbuatan, yang cenderung
menimbulkan usaha untuk menciptakan keseimbangan antara ketiganya. Adanya disonansi antara
elemen sikap dan perilaku dapat direduksi dengan menghilangkan, menambah atau mengubah
keduanya (teori disonansi kognitif). Teori persepsi diri menyatakan bahwa sikap dapat ditentukan dari
perilaku yang diobservasi. Adanya penerimaan dan penolakan pesan berdasarkan standar yang
dibentuk dari sikap sebelumnya terdapat dalam teori penilaian sosial.
Perubahan Sikap
Strategi perubahan sikap dapat dilakukan baik terhadap produk dengan keterlibatan tinggi, maupun
untuk produk dengan tingkat keterlibatan rendah. Usaha mengarahkan audiens untuk produk dengan
keterlibatan rendah ditempuh dengan mentransformasi situasi ke arah keterlibatan konsumen yang
tinggi. Adapun strategi perubahan sikap konsumen terhadap produk atau jasa tertentu dilakukan
dengan menggunakan saluran komunikasi persuasif, yang mengikuti alur proses komunikasi yang
efektif. Pemasar harus mampu mengidentifikasi, menganalisis, dan mengoptimalkan penggunaan
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi dan dapat menyebabkan perubahan sikap dari penerima pesan
atau konsumen. Faktor sumber, pesan, dan penerima pesan dapat digunakan secara optimal untuk
menghasilkan perubahan sikap dan tentunya perubahan perilaku positif dari konsumen yang
diharapkan oleh pemasar. Kredibilitas dari sumber pesan menjadi fokus dari komunikasi persuasif.
Dalam mengelola pesan, yang harus diperhatikan adalah struktur, urutan, dan makna yang terkandung
dalam pesan. Karakteristik dari penerima pesan, yang meliputi kepribadian, mood, dan jenis
kepercayaan yang dimiliki juga menjadi faktor penentu keberhasilan komunikasi persuasive, maka
dengan adanya perubahan perilaku maupun sikap tersebut berawal sebagai dampak promosi
kesehatan.
Perubahan pola hidup, pekerjaan, dan waktu luang memiliki dampak yang signifikan pada kesehatan.
Pekerjaan dan waktu luang harus menjadi sumber kesehatan untuk manusia. Cara masyarakat
mengatur kerja harus dapat membantu menciptakan masyarakat yang sehat. Promosi kesehatan
menciptakan kondisi hidup dan kondisi kerja yang aman, yang menstimulasi, memuaskan, dan
menyenangkan.
Penjajakan sistematis dampak kesehatan dari lingkungan yang berubah pesat, terutama di daerah
teknologi, daerah kerja, produksi energi dan urbanisasi–- sangat esensial dan harus diikuti dengan
kegiatan untuk memastikan keuntungan yang positif bagi kesehatan masyarakat. Perlindungan alam
dan lingkungan yang dibangun serta konservasi dari sumber daya alam harus ditujukan untuk promosi
kesehatan apa saja.
Upaya untuk mengubah perilaku dan memberdayakan masyarakat agar dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatan yang dikenal sebagai “Promosi Kesehatan”, sebagaimana
didefinisikan WHO, yaitu Proses pemberdayaan masayarakat untuk memelihara, meningkatkan dan
melindungi kesehatannya. Pemberdayaan masyarakat tidak dilakukan dengan paksaan, ancaman
maupun harapan untuk memperoleh imbalan, melainkan dilakukan melalui upaya peningkatan
kesedaran, kemauan dan kemampuan untuk hidup sehat.
STRESS DAN COPING
A. Penyebab Stress
Stres disebabkan oleh banyak sumber: peristiwa-peristiwa kehidupan (perubahan dalam masalah
orang tua, berelasi, penyakit fisik atau cedera, keuangan, kematian seseorang yang dicintai);
pengaruh-pengaruh kimia dan lingkungan (cuaca, kebisingan, makanan); kejadian-kejadian positif
(pernikahan, liburan); gaya hidup atau faktor-faktor emosional (gelisah, takut, keyakinan-keyakinan
yang kaku, jadwal-jadwal yang padat); relasi (konflik dalam komunikasi, masalah-masalah dalam
hubungan pribadi);hal-hal yang berkaitan dengan pekerjaan (kehilangan, berhenti, tanggung jawab
pekerjaan yang membingungkan). Satu sumber stress lain yang besar namun sering tidak diperhatikan
adalah logika pribadi seseorang.
Tuntutan-tuntutan stres hidup mempunyai potensi menambah stress. Lalu lintas yang padat,
orang yang agresif, dan tuntutan-tuntutan dah harapan-harapan yang berlebihan dalam pekerjaan
dapat merangsang stress. Tuntutan-tuntutan yang muncul dalam berelasi pasangan hidup, anak-anak,
dan kawan-kawan dekat juga dapat menjadi sumber stress.
Satu pandangan yang sangat menarik dari sumber-sumber peristiwa kehidupan umum dari
stress dikembangkan pada tahun 1970 oleh psikiater Universitas Washington, Thomas H. Holmes dan
Richard Rahe. Holmes dan Rahe mengidentifikasi 43 sumber-sumber umum stress dari pengalaman
setiap hari. Di sini ada 10 peristiwa yang paling menyebabkan stress:
2. Perceraian
4. Masa tahanan
7. Pernikahan
10. Pensiun
B. Pengertian Stres
Stres is define as a challenging event that requires physiological, cognitive, or behavioral adaptation
(Oltaman & Emery, 2004). Para peneliti juga memperdebatkan apakah stres didefinisikan sebagai
peristiwa kehidupan itu sendiri atau penilaian tentang peristiwa kehidupan, peristiwa itu ditambahn
reaksi individu terhadapnya.
Stres adalah keadaan yang bersifat internal, yang disebabkan oleh tuntutan fisik (badan) atau
lingkungan, dan situasi social yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol (Morgan & King , dalam
Umam, 2010). Stres juga dapat berarti respon dari diri seseorang terhadap tantangan fisik maupun
mental yang datang dari dalam atau luar dirinya (Nasrudin, 2010). Stress merupakan tanggapan
seseorang terhadap perubahan di lingkungan yang dirasakan mengganggu dan mengakibatkan dirinya
terancam baik secara fisik maupun mental. Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh (Atwater &
Duffy, 1999), dan Feldman (1989), dapat dikatakan bahwa stres adalah peristiwa yang dipersepsikan
seseorang sebagai peristiwa yang menekan dan menuntut penyesuaian respon adaptif. Setiap orang
memiliki tingkatan toleransi tertentu pada tekanan disetiap waktunya, yaitu kemampuan untuk
mengatasi atau tidak mengatasinya (Anoraga, 2009)
Menurut Diana faktor kunci dari stres adalah persepsi seseorang atau penilaian terhadap situasi dan
kemampuannya untuk menghadapi atau mengambil manfaat dari situasi yang dihadapi. Dengan kata
lain, reaksi terhadap stres dipengaruhi oleh bagaimana pikiran dan tubuh individu mempersepsi suatu
peristiwa. Hal ini sependapat dengan Sellye bahwa stressor yang sama dapat dipersepsi secara
berbeda, yaitu dapat menjadi peristiwa positif dan tidak berbahaya atau menjadi peristiwa yang
berbahaya dan mengancam. Penilaian kognitif individu sangat berpengaruh terhadap respon yang
akan muncul (Umam, 2010).
1. Stressor
Stres disebabkan oleh banyak faktor yang disebut dengan stressor. Stressor secara umum dapat
diklasifikasikan sebagai stressor internal dan stressor eksternal. Stressor internal berasal dari dalam
diri seseorang misalnya kondisi fisik, atau suatu keadan emosi. Stressor eksternal berasal dari luar diri
seseorang misalnya perubahan lingkungan sekitar, keluarga dan sosial budaya. (Pooter & Perry,
2005). Stressor merupakan pengalaman atau situasi yang penuh dengan tekanan. contoh dari
pengalaman atau situasi yang menjadi penyebab stress adalah kebisingan, keramaian, hubungan antar
manusia yang buruk, pekerjaan dan lain-lain. Pengalaman atau situasi yang menyebabkan stress
berbeda antara satu orang dengan yang lainnya. Bagaimana seseorang memaknai suatu stressor
menentukan apakah pengalaman atau situasi tersebut menjadi pengalaman yang menyebabkan stress.
Stres adalah fakta kehidupan sehari-hari yang tidak terhindarkan, dan dalam banyak hal diinginkan.
Akan tetapi, beberapa stesor begitu katastropik dan menakutkan sehingga dapat mengakibatkan
kerugian psikologis serius. Stres traumatic semacam itu didefinisikan dalam DSM-IV-TR sebagai
kejadian yang melibatkan kematian atau cedera serius aktual atau mengancam terhadap diri atau orang
lain dan menciptakan perasaan ketakutan, ketidakberdayaan, atau kengerian intens. Contoh-contohnya
termasuk perkosaan, pertempuran militer, pemboman, kecelakaan pesawat, gempa bumi, kebakaran
besar dan tabrakkan kendaraan yang menghancurkan.
Merupakan sumber stres yang paling dikenali, yaitu situasi bahaya yang ekstrim, yang berada diluar
rentang pengalaman manusia yang lazim, misalnya bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami;
maupun bencana buatan manusia seperti perang ataupun peristiwa nuklir, kecelakaan berat misalnya
tabrakan pesawat, dan penyerangan fisik seperti pemerkosaan atau upaya pembunuhan. Pola perilaku
umum (disaster syndrome) reaksi terhadap traumatic events yaitu: Pada awalnya, individu menjadi
bingung melompong dan menunjukkan ketidaksadaran atas bahaya atau luka-lukanya. Mereka
mondar-mandir tak berarah tujuan, dan mungkin menempatkan diri mereka dalam risiko cedera
lainnya. Kemudian, korban selamat masih dalam keadaan pasif dan tak mampu melakukan tugas
sederhana sekalipun, tetapi mereka telah dapat mengikuti perintah. Dalam tahap ketiga, korban
menjadi cemas dan takut, sukar berkonsentrasi, dan mungkin mengulang-ulang cerita tentang bencana
yang dialaminya. Tentunya, derajat stressful berbeda-beda pada tiap individu, tergantung pula dari
karakteristik peristiwa stressful lainnya.
Beberapa tahun terakhir ini kita sangat mengenal trauma ini sebagai akibat dari serangan teroris pada
11 september 2001, penembakkan disekolah, serangan seksual dan buntut peperangan di Irak dan
Afganistan. Normal bagi survivor dan orang yang menyaksikkan akan menjadi sangat stres akibat
trauma. Akan tetapi, bagi sebagian orang gangguan itu berlanjut lama setelah traumanya berakhir.
Acute stress disorder (ASD) (gangguan stres akut) terjadi dalam waktu 4 minggu setelah paparan
stres traumatik dan ditandai dengan simtom disosiatif, mengalami kembali kejadian itu, penghindaran
hal-hal yang mengingatkan pada trauma, dan kecemasan atau arousal yang berat. Posttraumatik
stress disorder (PTSD) (gangguan stres pascatrauma) juga didefinisikan berdasarkan simtom
mengalami kembali, penghindaran, dan arousal, tetapi simtomnya berlangsung lebih lama.
Merupakan sumber stres yang paling dikenali, yaitu situasi bahaya yang ekstrim, yang berada diluar
rentang pengalaman manusia yang lazim, misalnya bencana alam seperti gempa bumi dan tsunami;
maupun bencana buatan manusia seperti perang ataupun peristiwa nuklir, kecelakaan berat misalnya
tabrakan pesawat, dan penyerangan fisik seperti pemerkosaan atau upaya pembunuhan. Pola perilaku
umum (disaster syndrome) reaksi terhadap traumatic events yaitu: Pada awalnya, individu menjadi
bingung melompong dan menunjukkan ketidaksadaran atas bahaya atau luka-lukanya. Mereka
mondar-mandir tak berarah tujuan, dan mungkin menempatkan diri mereka dalam risiko cedera
lainnya. Kemudian, korban selamat masih dalam keadaan pasif dan tak mampu melakukan tugas
sederhana sekalipun, tetapi mereka telah dapat mengikuti perintah. Dalam tahap ketiga, korban
menjadi cemas dan takut, sukar berkonsentrasi, dan mungkin mengulang-ulang cerita tentang bencana
yang dialaminya. Tentunya, derajat stressful berbeda-beda pada tiap individu, tergantung pula dari
karakteristik peristiwa stressful lainnya.
D. Model Of Stress
Definisi-definisi stres dapat digolongkan menjadi tiga kategori (Bartlett, 1998; Goetsch & Fuller,
1995) :
Stres sebagai Stimulus
menurut konsepsi ini stres merupakan stimulus yang ada dalam lingkungan
(environment). Individu mengalami stres bila dirinya menjadi bagian dari lingkungan tersebut. Dalam
konsep ini stres merupakan variable bebas sedangkan individu merupakan variabel terikat.
Konsepsi kedua mengenai stres menyatakan bahwa stress merupakan respon atau reaksi individu
terhadap stressor. Dalam konteks ini stress merupakan variable tergantung (dependen variable)
sedangkan stressor merupakan variable bebas atau independent variable.
Menurut pandangan ketiga, stress sebagai suatu proses yang meliputi stressor dan strain dengan
menambahkan dimensi hubungan antara individu dengan lingkungan. Interaksi antara manusia dan
lingkungan yang saling mempengaruhi disebut sebagai hubungan transaksional. Di dalam proses
hubungan ini termasuk juga proses penyesuaian. (Bart Smet, 1994 : 111). Dalam konteks stres sebagai
interaksi antara individu dengan lingkungan, stres tidak dipandang sebagai stimulus maupun sebagai
respon saja, tetapi juga suatu proses di mana individu juga merupakan pengantara (agent) yang aktif,
yang dapat mempengaruhi stressor melalui strategi perilaku kognitif dan emosional.
Klasifikasi ini sangat berkorespondensi dengan ketiga model stres yang diidentifikasi oleh Cox
(1978), seperti dideskripsikan dibawah ini.
1. Engineering model melihat stres eksternal memunculkan reaksi stres, atau strain ,
pada individu. Stres terletak dalam ciri-ciri stimulus lingkungan : stres adalah apa
yang terjadi pada seseorang (bukan apa yang terjadi dalam diri seseorang).
Stres dapat dihindari dan dapat dapat di toleransi, dan tingkat moderat stres bahkan dapat
menguntungkan (eustress: Selye, 1956). Tanpa stres, seperti yang diukur oleh kecemasan atau
rangsangan fisiologis, bisa mengakibatkan detrimental. Sebagai contoh, saat anda dalam kondisi
relaks anda tidak melihat mobil yang melaju kearah anda pada saat anda menyebrang jalan. Stres
membantu membuat kita tetap alert (waspada), memberikan energi yang dibutuhkan untuk
mempertahankan interes pada lingkungan kita, untuk mengeksplorasinya dan beradaptasi dengannya.
Akan tetapi, jika kita “direnggangkan melampaui batas-batas elastisitas kita”, stres akan merugikan.
2. Physiological model terutama menyangkut apa yang terjadi dalam diri seseorang
sebagai akibat stres (aspek-aspek “respon” dari engeering model), khususnya
perubahan-perubahan fisiologis.
Impetus untuk pandangan stres ini adalah definisi Selye (1956) bahwa “Stres adalah respon
nonspesifik tubuh terhadap tuntutan yang dialamatkan kepadanya”. Selama menjadi mahasiswa
kedokteran, Selye melihat sebuah sindrom umum yang diasosiasikan dengan “being ill” (sakit),
telepas dari apa sakitnya, yang ditandai dengan (i) hilanganya nafsu makan; (ii) kehilangan berat
badan dan kekuatan yang berkaitan dengannya; (iii) hilangnya ambisi; dan (iv) ekspresi wajah tipikal
yang diasosiasikan dengan sakit.
Oleh karena persepsi seseorang tentang mismatch anatara tuntutan dan kemampuanlah yang
menyebabkan stres, model memungkinkan perbedaan-perbedaan individual penting yang daoat
menghasilkan stres dan seberapa besar stres yang dialami. Demikian juga ada perbedaan besar antara
bagaimana orang berusaha mengatasi stres, secara psikologis maupun perilaku. Engeering model
terutama menyangkut pertanyaan “apa yang menyebabkan stres?”, dan model psikologis dengan
pertanyaan “apa efek stres ?”. Model transaksional menyangkut keduan pertanyaan tersebut, ditambah
“bagaimana kita menanggulangi stres ?”.
Upaya adaptasi terhadap kehadiran situasi stress yang terus menerus dapat menurunkan body’s
resources secara drastis sehingga rawan penyakit/gangguan. Gangguan psikofisiologis adalah
gangguan-gangguan fisiologis yang diyakini melibatkan emosi menjadi peranan utamanya. Para
peneliti mencari hubungan antara penyakit spesifik dan karakeristik yang mengikutinya, atau dengan
jalan ‘coping’ yang seperti apa, dengan peristiwa stressful.
Efek langsung dari stres bagi kesehatan; Chronic overarousal: Ketergugahan sistem simpatik atau
sistem adrenal-kortikal secara long-term dapat menyebabkan kerusakan pembuluh arteri dan sistem
organ. Khususnya, Penyakit Jantung Koroner (Coronair Heart Deseases) diderita karena pembuluh
darah yang menyuplai darah ke jantung menyempit dan tertutup, menghambat aliran oksigen dan
nutrisi ke jantung. Hal ini menimbulkan nyeri, yang disebut angina pectoris, di sekitar dada dan
lengan. Ketika aliran oksigen ke jantung benar-benar tertutup, akan menyebabkan myocardial
infarction ‘heart attack’. Tampaknya ada peran genetik dalam CHD ini, individu yang memiliki
keluarga berpenyakit jantung akan beresiko lebih tinggi menderita CHD. Stress yang beresiko CHD
misalnya akibat tuntutan kerja yang sangat tinggi dengan kendali atas tuntutan itu juga sangat tinggi.
Orang-orang yang tinggal dalam lingkungan.
Pada tahun 1956, seorang dokter Kanada yang bernama Hans Selye (1907-1982) mempublikasikan
The Stress of Life. Selye adalah ilmuwan pertama yang berusaha menjelaskan cara stressor eksternal
“menyusup” dan membuat kita sakit. Stressor lingkungan seperti panas, dingin, kebisingan, rasa sakit,
dan bahaya, menurut Selye mengganggu keseimbangan tubuh. Tubuh kemudian menggerakkan
sumber-sumber dayanya untuk melawan stressor-stressor tersebut dan mengembalikan fungsi tubuh
ke keadaan normal.
Menurut Selye (1956), GAS merepresentasikan pertahanan tubuh terhadap stres. Tubuh merespon
dengan cara yang sama kepada stressor apapun, apakah stressor itu berasal dari lingkungan atau
timbul dari dalam tubuh itu sendiri. Selye pada awalnya melihat bahwa menyuntikkan ekstrak
jaringan ovarian ke dalam tubuh tikus menghasilkan pembesaran kelenjar adrenal, pengecilan kelenjar
timus, dan pendarahan usus. Ketika ia menggunakan ekstrak organ organ lain (pituitary, ginjal,
limpa), maupun subtansi-subtansi yang tidak diambil dari jaringan tubuh, respon-respon yang sama
dihasilkan. Pada akhirnya menemukan bahwa respon-respon “triad” atau “nonspesifik” yang sama
dapat dihasilkan oleh stimuli yang begitu berbeda seperti insulin, pilek, atau demam yang eksesif,
sinar-X, deprivasi tidur dan air, dan kejutan listrik. Selye mendefinisikan stres sebagai respon
psikofisiologis individu, yang banyak dimediasi oleh sistem saraf otonom dan sistem endokrin,
terhadap tuntutan ataupun yang dialamatkan kepada individu tersebut. GAS terdiri dari tiga tahap :
Fase ini adalah fase saat tubuh menggerakan sistem saraf simpatetik untuk menghadapi ancaman
langsung. Ancaman dapat berbentuk apapun, mulai dari mengerjakan tes yang materinya belum anda
pelajari hingga melarikan diri seekor anjing. Pelepasan horman adrenal, epinephrine, dan
norepinephrine terjadi saat munculnya emosi kuat. Hormon-hormon ini menghasilkan lonjakan
energi, ketegangan otot-otot, berkurangnya sensitivitas terhadap rasa sakit, berhentinya kerja sistem
pencernaan (sehingga darah dapat mengalir dengan lebih efisien melalui otak, otot-otot, dan kulit),
dan meningkatnya tekanan darah. Puluhan tahun sebelum Selye, seorang psikologo bernama Waltel
Cannon (1929) menggambarkan perubahan-perubahan ini sebagai respon “fight or flight” (melawan
atau melarikan diri), istilah yang hingga saat ini masih digunakan.
Fase dimana tubuh berusaha menolak atau mengatasi stressor yang tidak dapat dihindari. Selama fase
ini, respon fisiologis yang terjadi pada fase alarm terus berlangsung, namun respon-respon tersebut
membuat tubuh menjadi lebih rentang terhadap stressor-stresor lain. Misalnya, saat tubuh telah
disiapkan untuk melawan flu, anda mungkin menyadari bahwa anda lebih mudah merasa terganggu
oleh hal-hal kecil yang membuat anda frustasi. Dalam kebanyakan kasus, tubuh pada akhirnya akan
beradaptasi terhadap stressor dan kembali ke kondisi normal.
Saat stres yang berkelanjutan menguras energi tubuh, meningkatkan kerentanan terhadap masalah
fisik dan pada akhirnya akan memunculkan penyakit. Reaksi yang sama, yang membuat tubuh
merespon tantangan secara efektif pada fase alarm akan merugikan apabila berlangsung secara terus
menerus. Otot-otot yang tegang dapat mengakibatkan sakit kepala dan sakit leher. Peningkatan
tekanan darah dapat mengakibatkan tekanan darah tinggi kronis. Jika proses pencernaan yang normal
terganggu atau terhenti untuk waktu yang lama, akan muncul gangguan pencernaan.
Banyak ahli bekerja dilintas bidang spesialisasi dengan istilah psikoneuroimunologi (PNI). Istilah
“psiko” mengacu pada proses psikologis seperti emosi dan persepsi; “neuro” terkait system saraf dan
endokrin; “imunologi” mengacu pada sistem kekebalan tubuh mampu melawan pernyakit dan infeksi.
PNI menginvestigasi hubungan antara stres dan fungsi imun/kekebalan (Adler, 2001; Song &
Leonard, 2000).
Para peneliti PNI tertarik pada sel darah putih dalam sistem kekebalan tubuh, yang dirancang untuk
mengenali unsur-unsur asing atau berbahaya (antigen) seperti virus flu, bakteri, dan sel tumor
kemudian menghancurkan dan melumpuhkan mereka. Sistem kekebalan tubuh menggunakan sel
darah putih yang berbeda-beda sebagai senjata, tergantung jenis musuh yang dihadapi. Misalnya, sel
pembunuh alami mampu mengenali tumor dan menghancurkannya, dan terlibat dalam perlindungan
melawan penyebaran sel kanker dan virus.
Penelitian PNI menunjukkan bahwa sel T, salah satu diantara dua tipe utama limfosit, dan sel darah
putih yang memerangi antigen, substansi asing seperti bakteri yang menginvasi tubuh, sangat rentan
terhadap stres. Menurunnya produksi sel T membuat tubuh lebih rentan terhadap penyakit menular
selama saat stres (Adler, 2001; Song & Leonard, 2000).
Zat-zat kimia yang dihasilkan oleh sel-sel kekebalan dikirim ke otak, yang selanjutnya mengirim
sinyal-sinyal kimiawi untuk merangsang sistem kekebalan. Hal apapun yang mengganggu proses
komunikasi ini-narkoba, operasi, atau stress kronis-dapat melemahkan atau menekan sistem
kekebalan (Sagerstrom & Miller, 2004).
Beberapa peniliti PNI telah sampai pada tingkat di mana kerusakan sel dapat dianalisis secara
langsung untuk mendapatkan gambaran mengenai cara stres menyebabkan penyakit, mempercepat
proses penuan, dan bahkan menimbulkan kematian dini. Setiap ujung kromosom membawa
sekumpulan protein yang menentukan rentang usia sel. Setiap kali sel membelah, enzim-enzim
membagi protein kecil ini. Ketika jumlah protein ini telah berkurang hingga hampir tidak ada, sel pun
berhenti membelah dan mati. Sekelompok peneliti membandingkan dua kelompok perempuan sehat
yang berusia antara 20 sampai 50 tahun; 19 orang memiliki anak sehat dan 39 orang merupakan
pengasuh utama dari anak-anak mereka yang sakit kronis. Ibu dari anak-anak yang sakit tentu merasa
stres, namun mereka juga memiliki jumlah sel-sel yang rusak secara signifikan lebih banyak
dibandingkan para ibu yang anaknya sehat. Bahkan, sel-sel dari perempuan yang usianya lebih tua
sepuluh tahun dari mereka, dan bagian kromosom yang bertanggung jawab terhadap masa hidup sel
pun berukuran lebih pendek (Epel, dkk., 2004)
1. Respon Fisiologis
Pada saat yang sama, hipotalamus mensekresi CRF yang menyebabkan pituitary mensekresi hormone
ACTH (adrenocorticotrophic hormone) dan hal ini menyebakan korteks adrenal mensekresi hormone
yang kedua, Cortisol. Kortisol yang sering disebut “hormone stres” karena pelepasannya berkaitan
erat dengan stres. Kortisol memiliki tindakan yang kurang cepat dibanding adrenalin, tetapi kortisol
itu berfungsi dengan cepat untuk membantu tubuh melakukan perbaikan dalam merespon cedera atau
infeksi. Salah satu fungsi kortisol adalah “penahanan” patogen dalam tubuh
2. Respon Psikologis
Situasi stres menghasilkan reaksi emosional mulai dari kegembiraan (jika peristiwa menuntut tetapi
dapat ditangani) sampai emosi umum seperti kecemasan, kemarahan, kekecewaan, dan depresi. Jika
situasi stres terus terjadi, emosi kita mungkin berpindah bolakbalik diantara emosi-emosi tersebut,
tergantung pada keberhasilan kita bagaimana bisa menyelesaikannya.
1. Anxiety (Kecemasan)
Kecemasan yang dimaksud adalah emosi yang tidak menyenangkan yang dikenal dengan beberapa
istilah seperti ‘kekhawatiran’, ‘kegelisahan’, ‘ketegangan‘, dan ‘ketakutan’, semuanya kita alami
dalam taraf yang berbeda. Orang yang mengalami peristiwa-peristiwa dibawah batas normal ‘ambang
penderitaan manusia’ terkadang memiliki pola yang kuat atas anxiety-related symptoms yang disebut
postraumatik stress disorder. Adapun gejalanya adalah sebagai berikut:
b. Pelepasan (lessen) trauma dalam ingatan dan mimpi yang berulang kali
d. Beberapa orang merasa bersalah jika bisa selamat sementara yang lain
tidak selamat.
Sebuah studi tentang korban yang selamat dari kamp Nazi: 97%nya masih menderita anxiety setelah
20 tahun kebebasan mereka. Banyak yang masih tersiksa oleh mimpi-mimpi; ketakutan akan diri dan
anak-anak mereka akan mengalami hal buruk jika lepas dari pandangan mereka. Post-Traumatic
Stress Disorder atau yang sering disingkat dengan PTSD menjadi suatu diagnosa yang diterima
secara luas setelah keadaan sulit yang dialami para veteran Vietnam. Walaupun sebelumnya sindrom
ini telah ditemukan pada PD I ‘shell shock’ dan PD II ‘combat fatigue’ namun veteran Vietnam
mengalami long-term symptoms. Salah seorang veteran Vietnam menulis ‘The war is over in history,
but it never ended for me’.
Kemarahan memicu dan membawa kepada agresi. Anak-anak seringkali menjadi marah dan
menunjukkan perilaku agresi ketika mengalami frustrasi. Asumsi frustrationaggression hypothesis,
bahwa ketika upaya seseorang dalam mencapai tujuannya terhambat, maka dorongan agresif
menyebabkan motif berperilaku menyakiti -objek atau pun orang- menyebabkan frustrasi. Agresi
secara langsung terhadap sumber frustrasi tidaklah selalu baik, kadangkadang sumber tersebut ‘samar’
dan ‘kasat’. Seseorang tidak mengetahui apa yang harus dilawan tetapi merasa marah dan mencari
objek untuk melepaskan perasaan ini. Ketika keadaan tidak mengizinkan untuk ‘direct attack’
terhadap sumber frustrasi, agresi ‘displaced’: Aksi agresi menjadi tertuju pada objek atau orang yang
tidak bersangkutan daripada sumbernya langsung.
Apati adalah respon pasif agresi terhadap frustrasi. Jika kondisi stress terus berlangsung dan individu
tidak berhasil mengatasinya, maka apati akan berkembang menjadi depresi. Teori learned-
helplessness (Seligman, 1975) menjelaskan bahwa ‘aversive experience’, ‘uncontrollable events’
membawa kepada apati dan depresi; yang dapat membantu kita memahami mengapa orang pasrah dan
menyerah pada peristiwa sulit. Gejala learned-helplessness, antara lain: apati, penarikan diri, dan
diam. Seperti korban Nazi percaya bahwa tak ada yang dapat dilakukan, menyerah, dan tidak
mencoba untuk melarikan diri.
4. Cognitive Impairment
Gejalanya:
a. sukar berkonsentrasi
c. mudah terganggu
1. Illness Behavior
Istilah ‘sikap bermusuhan’ disini tidak diartikan seabagai mudah tersinggung atau kemarahan yang
dialami oleh semua orang disaat-saat tertentu, namun sebagai sikap sinis atau kekejaman antagonistic,
yang merupakan karakteristik dari orang yang tidak memepercayai oranglain dan selalu siap
memprovokasi perdebatan yang panas dan sengit (Marshall dkk.,1994; T. Miller dkk., 1996). Dalam
penelitian pada para dokter laki-laki ( yang telah diwawancarai saat menjadi mahasiswa kedokteran
25 tahun sebelumnya), responden yang sejak dulu telah menunjukkan sikap pemarah dan menggerutu
memiliki peluang 5 kali lebih besar untuk mengalami penyakit jantung dibandingkan responden yang
lebih simpatik, bahkan factor-faktor risiko lain sepeti merokok dan pola makan yang buruk
diperhitungkan (Ewart & Kolodner, 1994;Williams, Barefoot, & Shekelle, 1985). Penemuan ini telah
direplikasi dalam penelitian-penelitian berskala besar lain, dengan membandingkan responden orang
Afrika-Amerika dan orang kulit putih, serta laki-laki dan perempuan (Williams dkk., 2000). Watak
pemarah merupakan factor risiki yang secara signifikan melemahkan sistem kekebalan tubuh,
meningkatkan tekanan darah, dan meningkatkan kemungkinan penyakit jantung (Suinn, 2001).
Depresi klinis juga setidaknya meningkatkan risiko serangan jantung dan penyakit kardiovaskular
sebesar 2 kali lipat, sebagaimana ditemukan oleh beberapa penelitian longitudinal skala besar yang
menemukan bahwa depresi kronis parah mendahlui berkembangnya penyakit jantung selama
bertahun-tahun (Frasure-Smith & Lesperance, 2005; Schulz dkk., 2000). Teori terkini menyatakan
bahwa depresi, kecemasan, dan kemarahan-sikap bermusuhan biasanya muncul secara bersamaan
dalam diri seseorang, sehingga penyebab sebenarnya dari penyakit jantung kemungkinan adalah
kecenderungan atau disposisi umum terhadap emosiemosi negatif (Suls & Bunde, 2005). Namun,
hingga kini tidak diteukan adanya hubungan antara depresi dengan kanker atau AIDS (Wulsin,
Vaillant, & Wells,1999).
Para psikolog sedang berusahamemahami mengapa perasaan bahagia, ceria, dan penuh harapan dapat
melindungi seseorang dari penyakit namun emosi positif juga dapat secara fisik menguntungkan
karena emosi positif dapat menurunkan atau menormalkan tingkat rangsang tinggi (High Arousal)
yang disebabkan emosi negatif atau stresor kronis. Emosi posotif dapat membuat orang berpikir
secara lebih kreatif mengenai kesempatan kesempatan dan pilihan mereka serta berbuat sesuatu demi
mencapai tujuan tujuan meraka. Orang yang mengekspresikan emosi positif juga memiliki
kemungkinan lebih baik dalam menarik orang lain untuk menjadi teman atau pendukung,
dibandingkan orang pemarah dan pemurung.
Dalam teori Psikoanalitik Freud, defense mechanism merupakan strategi yang digunakan oleh ego
untuk menahan atau menurunkan kecemasan. Terdiri dari penyesuaian yangdilakukan tanpa disadari,
baik melalui tindakan atau menghindari tindakan, tidak mengenali motif pribadi yang mungkin
mengancam harga diri atau meningkatkan kecemasan.
(1) Repression
Dalam represi, impuls atau memori yang terlalu menakutkan dan menyakitkan dikeluarkan dari
kesadaran. Memori yang menimbulkan rasa malu, bersalah, atau mencela diri sendiri seringkali
direpresi. Impuls tersebut direpresi untuk menghindari konsekuensi menyakitkan jika mewujudkan
impuls tersebut. Individu merepresi memori dan perasaan yang dapat menimbulkan kecemasan karena
mereka tidak konsisten dengan konsep diri. Represi berbeda dengan supresi. Supresi adalah proses
melepaskan kendali diri, mempertahankan impuls dan kendali diri atau secara sementara
menyingkirkan memori yang menyakitkan. Individu menyadari pikiran yang disupresi tetapi sebagian
besar tidak menyadari impuls atau memori yang direpresi.
(2) Rationalization
Rasionalisasi adalah motif yang dapat diterima secara logika atau sosial yang kita dilakukan
sedemikian rupa sehingga kita tampaknya bertindaksecara rasional. Rasionalitas memiliki dua fungsi :
Jika kita bertindak secara impulsif atau berdasarkan motif yang tidak ingin kita akui bahkan oleh diri
kita sendiri, kita merasionalisasikan apa yang telah kita lakukan untuk menempatkan perilaku kita
dalam pandangan yang lebih menguntungkan.
Sebagian individu dapat mengungkapkan suatu motif bagi dirinya sendiri dengan memberikan
ekspresi kuat pada motif yang berlawanan. Kecenderungan itu dinamakan reaction formation.
Contohnya seorang ibu yang merasa karena ketidakinginannya mempunyai anak mungkin jadi terlalu
memperhatikan dan terlalu protektif untuk meyakinkan anak akan cintanya dan meyakinkan dirinya
bahwa ia adalah ibu yang baik.
(4) Projection
Semua orang memiliki sifat yang tidak diinginkan yang tidak kita akui, bahkan oleh diri sendiri. Salah
satu mekanisme bawah sadar, proyeksi, melindungi kita dari mengetahui keualitas diri kita yang tidak
layak dengan menampakkan sifat itu secara berlebihan pada diri orang lain.
(5) Intellectualization
Intelektualitas adalah upaya melepaskan diri dari situasi stres dengan menghadapinya menggunakan
istilah-istilah yang abstrak dan intelektual.
(6) Denial
Denial merupakan mekanisme pertahanan di mana impuls atau gagasan yang tidak dapat diterima
tidak dihayati atau tidak dibiarkan masuk ke kesadaran. Misalnya orangtua dari anak yang menderita
penyakit mematikan mungkin menolak anaknya menderita penyakit serius, walaupun mereka telah
mendapatkan informasi lengkap tentang diagnosis dan kemungkinan penyakitnya. Karena mereka
tidak dapat mentoleransikan kpedihan karena mengetahui realita, mereka menggunakan mekanisme
pertahanan denial.
(7) Displacement
Mekanisme pertahanan terakhir kita anggap memenuhi fungsinya (menurunkan kecemasan) dan agak
memuaskan motif yang tidak dapat diterima. Melalui mekanisme pengalihan (displacement), suatu
motif yang tidak dapat dipuaskan dalam bentuk diarahkan ke saluran lain.
b. Coping
Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai mengubah secara konstan upaya kognitif
dan perilaku untuk menjawab tuntutan internal dan atau eksternal yang dinilai menyita atau
melampaui sumber daya yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan. Dua strategi alternative yang
sangat penting adalah coping terfokus-masalah dan terfokus-emosi (Lazarus & Folkaman, 1984)
Berikut ini 3 cara yang efektif untuk melakukan metode cognitive coping :
Sejauh ini kita telah membahas strategi coping individual, hal-hal yang dapat anda lakukan bagi diri
anda sendiri. Namun seringkali strategi individual tidak cukup, dan perlu bagi kita untuk mendapatkan
bantuan dan dukungan sosial dari orang lain yang berada dalam lingkaran keluarga, teman, tetangga,
dan rekan kerja.
Saat Teman Membantu Anda Menghadapi Masalah. Memiliki teman adalah hal yang
menyenangkan, dan hal ini bahkan dapat meningkatkan kesehatan anda. Orang yang hidup di
dalam jejaring hubungan yang dekat, hidup lebih lama dibandingkan orang yang tidak
memiliki hal tersebut. Dalam dua penelitian yang mengikuti perkembangan ribuan orang
dewasa selama sepuluh tahun, orang yang memiliki banyak teman, kenalan, atau keanggotaan
dalam kelompok keagamaan atau yang lainnya, secara rata-rata hidup lebih lama,
dibandingkan denganmereka yang hanya memiliki sedikit teman.
Coping terhadap Teman. Tentu saja, terkadang orang lain tidak membantu. Seringkali justru
merekalah yang menyebabkan ketidakbahagiaan, stress, dan kemarahan dalam diri kita.
Dalam hubungan dekat, orang yang sama dapat menjadi sumber dukungan dan juga sekaligus
sumber stress, terutama jika kedua belah pihak saling bertengkar. Selain menjadi sumber
konflik, teman dan kerabat juga terkadang tidak memberikan dukungan saat bencana atau
sakit hanya karena mereka memnag tidak peduli atau merasa canggung.
Cara terakhir untuk menghadapi stress, kehilangan, dan tragedy adalah dengan memberikan dukungan
bagi orang lain, dan bukannya selalu menerima dukungan dari orang lain. Orang mendapatkan
kekuatan, menurutnya, dengan mengurangi focus terhadap kesulitan mereka sendiri dan lebih banyak
menolong orang lain yang juga berada dalam kesulitan. Oran yang sering menolong teman dan
keluarga mereka dengan bantuan praktis dan dukungan emosional juga hidup lebih panjang daripada
orang yang mementingkan diri sendiri dan jarang membantu orang lain (Brown dkk., 2003).
Kemampuan untuk melihat hal-hal di luar diri sendiri, untuk peduli dan membantu orang lain,
berhubungan dengan hamper semua mekanisme coping yang berhasil dan telah kita bicarakan.
Kemampuan ini menstimulasi optimisme dan mengembalikan perasaan memiliki kendali.
Kemampuan ini juga mendorong anda untuk memecahkan masalah sendiri dan bukan menyalahkan
orang lain atau menekan perasaan-perasaan anda.
1. Pengertian Sehat
WHO (1984) telah menyempurnakan batasan sehat dengan menambahkan satu elemen
spiritual (agama) sehingga sekarang ini yang dimaksud dengan sehat adalah tidak hanya sehat dalam
arti fisik, psikologik, dan sosial, tetapi juga sehat dalam arti spiritual/agama (empat dimensi sehat
:bio-psiko-sosio-spiritual)
2. Subjective Well-Being
a. Bottom-Up Theory
Teori memandang bahwa kebahagiaan dan kepuasan hidup yang dirasakan dan dialami
seseorang tergantung dari banyaknya kebahagiaan kecil serta kumpulan peristiwa- peristiwa bahagia.
Secara khusus, kesejahteraan subjektif merupakan penjumlahan dari pengalaman-pengalaman positif
yang terjadi dalam kehidupan seseorang. Semakin banyaknya peristiwa menyenangkan yang terjadi,
maka semakin bahagia dan puas individu tersebut.
b. Top-Down Theory
Kesejahteraan subjektif yang dialami seseorang tergantung dari cara individu tersebut
mengevaluasi dan menginterpretasi suatu peristiwa/kejadian dalam sudut pandang yang positif.
Perspektif teori ini menganggap bahwa, individu lah yang menentukan atau memegang peranan
apakah peristiwa yang dialaminya akan menciptakan kesejahteraan psikologis bagi dirinya.
Pendekatan ini mempertimbangkan jenis kepribadian, sikap, dan cara-cara yang digunakan untuk
menginterpretasi suatu peristiwa. Sehingga untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif diperlukan
usaha yang berfokus pada mengubah persepsi, keyakinan dan sifat kepribadian seseorang.
Diener (2000) mengenalkan teori evaluasi, dimana kesejahteraan subjektif ditentukan oleh
bagaimana cara individu mengevaluasi informasi atau kejadian yang dialami. Hal ini melibatkan
proses kognitif yang aktif karena menentukan bagaimana informasi tersebut akan diatur. Cara-cara
yang digunakan untuk mengevaluasi suatu peristiwa, juga dipengaruhi oleh temperamen, standar yang
ditetapkan oleh individu, mood saat itu, situasi yang terjadi dan dialami saat itu serta pengaruh
budaya. Dengan kata lain kesejahteraan subjektif mencakup evaluasi kognitif dan afektif. Evaluasi
kognitif dilakukan saat seseorang memberikan evaluasi secara sadar dan menilai kepuasan mereka
terhadap kehidupan secara keseluruhan atau penilaian evaluatif mengenai aspek-aspek khusus dalam
kehidupan, seperti kepuasan kerja, minat, dan hubungan. Reaksi afektif dalam subjective well-being
(SWB) yang dimaksud adalah reaksi individu terhadap kejadian-kejadian dalam hidup yang meliputi
emosi yang menyenangkan dan emosi yang tidak menyenangkan.
Campbell (dalam Compton,2000) menyatakan bahwa harga diri merupakan prediktor yang
menentukan kesejahteraan subjektif. Harga diri yang tinggi akan menyebabkan seseorang memiliki
kontrol yang baik terhadap rasa marah, mempunyai hubungan yang intim dan baik dengan orang lain,
serta kapasitas produktif dalam pekerjaan. Hal ini akan menolong individu untuk mengembangkan
kemampuan hubungan interpersonal yang baik dan menciptakan kepribadian yang sehat
2. Kontrol Diri.
Kontrol diri diartikan sebagai keyakinan individu bahwa ia akan mampu berperilaku dalam cara yang
tepat ketika menghadapi suatu peristiwa. Kontrol diri ini akan mengaktifkan proses emosi, motivasi,
perilaku dan aktifitas fisik. Dengan kata lain, kontrol diri akan melibatkan proses pengambilan
keputusan, mampu mengerti, memahami serta mengatasi konsekuensi dari keputusan yang telah
diambil serta mencari pemaknaan atas peristiwa tersebut.
3. Ekstarversi
Individu dengan kepribadian ekstravert akan tertarik pada hal-hal yang terjadi di luar dirinya, seperti
lingkungan fisik dan sosialnya. Penelitian Diener dkk. (1999) mendapatkan bahwa kepribadian
ekstavert secara signifikan akan memprediksi terjadinya kesejahteraan individual. Orang-orang
dengan kepribadian ekstravert biasanya memiliki teman dan relasi sosial yang lebih banyak,
merekapun memiliki sensitivitas yang lebih besar mengenai penghargaan positif pada orang lain
(Compton, 2005)
4. Optimis
Secara umum, orang yang optimis mengenai masa depan merasa lebih bahagia dan puas dengan
kehidupannya. Individu yang mengevaluasi dirinya dalam cara yang positif, akan memiliki kontrol
yang baik terhadap hidupnya, sehingga memiiki impian dan harapan yang positif tentnag masa depan.
Scheneider (dalam Campton, 2005) menyatakan bahwa kesejahteraan psikologis akan tercipta bila
sikap optimis yang dimiliki oleh individu bersifat realistis.
Relasi sosial yang positif akan tercipta bila adanya dukungan sosial dan keintiman emosional.
Hubungan yang didalamnya ada dukungan dan keintiman akan membuat individu mampu
mengembangkan harga diri, meminimalkan masalah-masalah psikologis, kemampuan pemecahan
masalah yang adaptif, dan membuat individu menjadi sehat secara fisik.
Dalam beberapa kajian, arti dan tujuan hidup sering dikaitkan dengan konsep religiusitas. Penelitian
melaporkan bahwa individu yang memiliki kepercayaan religi yang besar, memiliki kesejahteraan
psikologis yang besar.
Gail & Seehy (Haber & Runyon,1984) pernah melakukan penelitian terhadap kurang
lebih 60.000 orang dewasa mengenai kebahagiaan. Hasil penelitian mereka menunjukkan adanya
sepuluh tanda-tanda orang yang bisa disebut dalam keadaan sehat/bahagia.
Orang yang didapati puas dengan kehidupan mereka dicirikan dengan cara mereka menghidupi
kehidupan mereka dengan mengikatkan diri pada sesuatu diluar diri mereka (bisa dengan sesuatu yang
berkaitan dengan pekerjaan, ide maupun visi kedepan) yang memberikan hidup mereka arti atau
makna dan arah. Oleh karena itu dapat dimengerti, mengapa para teroris bisa dengan tenang dan
bahkan menunjukan perilaku gembira/ bahagia ketika diadili. Ini dimungkinkan karena mereka
memiliki ide atau visi yang menjadi tujuan hidup mereka, meskipun ide atau visi tersebut
bertentangan dengan kemanusiaan. Sepanjang sejarah, kita bisa melihat kembali hal tersebut,
misalnya apa yang dilakukan oleh orang Jerman pada jaman Nazi Hilter. Ide bahwa bangsa Jerman
merupakan bangsa yang unggul, mendorong orang Jerman untuk berperang dan bertindak kejam
terhadap bangsa lain.
Memiliki pengalaman transisi yang penting di masa dewasa dan dapat menangani transisi tersebut
dengan cara yang tidak seperti orang kebanyakan, lebih bersifat pribadi dan kreatif
Orang yang bahagia dicirikan dengan kemampuan mereka untuk menjalankan rencana yang telah
mereka buat secara berkesinambungan, tetapi mereka juga menggunakan waktu-waktu tertentu untuk
melakukan refleksi/mawas diri secara kritis terutama ketika mendekati pemikiran transisi atau setelah
keluar dari transisi.
b. Jarang merasa diperlakukan secara tidak adil atau dikecewakan oleh kehidupan
Orang-orang yang memiliki kepuasan hidup tinggi cenderung melihat kegagalan sebagai pengalaman
yang berguna dan kegagalan tersebut justru mendorong mereka untuk melakukan usaha yang lebih
baik dari sebelumnya. Ini berbeda dengan mereka yang memiliki tingkat kepuasan hidup yang rendah,
melihat kegagalan sebagai konfirmasi atau pembenaran dari ketidakmampuan mereka sendiri. Mereka
yang memiliki kepuasan hidup rendah cenderung melihat kegagalan sebagai pil pahit lain yang harus
ditelan lagi dalam perjalanan hidup yang berat ini.
Orang yang berbahagia, sehat dan puas dengan kehidupan dicirikan dengan terpenuhinya semua
tujuan jangka panjang kehidupan mereka yang penting, seperti kehidupan yang nyaman, keluarga
yang aman, dan perasaan pemenuhan. Sebaliknya orang yang paling tidak bahagia dalam kehidupan
mereka adalah orang-orang yang memiliki pengalaman mengorbankan hubungan cinta atau keluarga
dalam rangka mencapai sukses pribadi.
Orang yang sehat dan bahagia menggambarkan diri mereka sebagai pribadi yang jujur, penuh cinta
dan bertanggung jawab. Mereka mampu menghadapi realita dengan otentik sesuai dengan keadaan
mereka tanpa dibuat-buat, memiliki sahabat yang dekat serta mampu mengambil tanggung jawab bila
diperlukan.
Mereka yang bahagia memiliki ciri mempunyai relasi yang saling menguntungkan dengan orang yang
mereka cintai serta mampu memelihara hubungan tersebut. Penelitian tersebut juga menunjukan
bahwa bagi wanita kebahagiaan ternyata tidak didapat dari karir melainkan bila kehidupan seksual
mereka terpuaskan.
Orang yang bahagia memiliki teman-teman yang mampu memberikan perasaan nyaman dan
dukungan di saat-saat yang diperlukan.
Orang yang berbahagia dan puas dengan hidupnya dicirikan juga dengan perilaku mereka yang
menyenangkan dan bersemangat, sehingga menarik bagi orang lain karena mereka sendiri
menawarkan dukungan yang intim dan kehidupan emosi yang kaya bagi orang lain. Ini akhirnya
menjadi semacam lingkaran penguatan diri (self reinforcing cycle), yaitu semakin mereka
menyenangkan dan bersemangat, membuat orang disekitarnya juga mendapatkan pengaruh yang
sama. Ketika orang-orang disekitar juga menjadi semakin menyenangkan dan bersemangat, ini
membuat orang yang menyenangkan dan bersemangat tersebut semakin bertingkah laku koheran, atau
setidaknya mempertahankan tingkah laku positifnya tersebut
h. Tidak melihat kritik sebagai serangan pribadi yang menurunkan harga diri
Orang yang bahagia dan sehat memiliki harga diri yang cukup sehingga mereka merasa cukup aman
ketika mendapatkan kritik dari orang lain. Mereka bisa membedakan antara tingkah laku mereka yang
kurang sesuai sehingga patut mendapatkan kritikkan dengan pribadi mereka pada sisi lainnya.
Orang yanag bahagia dan sehat tidak memiliki ketakutan atas kecemasan seperti yang
umumnya dimiliki orang lain seperti takut hidup sendirian, takut kalau apa yang dilakukan akan
mengacaukan kehidupan pribadi, memilki perasaan ‘terperangkap didalam’ sesuatu keadaan,
ketakutan bila tidak mampu secara bebas merubah cara hidup, takut bila tidak menarik secara fisik,
takut bila tidak dipedulikan lagi oleh pasangan atau orang yang cintai, takut mengalami rasa sakit atau
keterbatasan kemampuan fisik.
Iman atau percaya bahwa Allah SWT itu ada, merupakan keimanan yang besar pengaruhnya bagi
kesehatan jiwa. Dengan beriman kepada Allah SWT, berarti orang akan menjauhi larangan-Nya dan
melaksanakan apa yang diperintahkna, agar diperoleh keselamatan/kesejahteraan baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Orang yang beriman adalah orang yang selalu ingat kepada Allah SWT
(dzikrullah/dzikir), perasaan tenang, aman, dan terlindung selalu menyertainya. Keimanan kepada
Allah SWT ini kalau benar-benar dihayati dan diamalkan besar manfaatnya bagi kesehatan jiwa
manusia, rasa sejahtera (well being) akan dirasakan tidak hanya bagi perorangan, tetapi juga dirasakan
bagi keluarga, masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia ; dan perilaku manusia itu merupakan
manifestasi dari alam pikiran dan alam perasaannnya. Perilaku manusia ini dalam perjalanan hidupnya
di dunia sering kali melanggar ‘rambu-rambu’, moral dan etika dalam hubungannya dengan sesame
manusia lainnya, yang pada gilirannya dapat merugikan dirinya dan juga orang lain. Dan, siapakah
yang mengontrol, mencatat serta mengawasi apakah seseorang itu melakukan perbuatan yang baik
atau buruk ? kalau yang dimaksut itu juga sesama manusia bukankah manusia juga dapat diajak kolusi
? disinilah letak pentingnya keimanan kepada Malaikat makhluk Allah yang tidak dapat diajak kolusi.
Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang pikirannya, perasaan serta perilakunya baik, tidak
melanggar hokum, norma, moral dan etika kehidupan serta tidak merugikan orang lain. Iman kepada
Malaikat, bila benar benar dihayati dan diamalkan merupakan waskat (pengawasan melekat) dalam
arti yang sesungguhnya, sebagaimana halnya iman kepada Allah SWT
Allah SWT mengutus para Nabi adalah untuk memperbaiki akhlak perilaku manusia. Nabi
Muhammad SAW adalah Nabi penutup/terakhir yang merupakan suri teladan bagi umat manusia,
yaitu bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah serta keselamatan di dunia dan di akhirat kelak.
Salah satu ajaran Nabi Muhammad SAW adalah pengendalian diri; bahkan pernah dikatakan bahwa
sesungguhnya peperangan terbesar di muka bumi ini adalah peperangan melawan hawa nafsu dirinya
sendiri. Hal ini sesuai dengan salah satu asa kesehatan jiwa, yaitu bahwa orang yang sehat jiwanya
adalah orang yang mampu mengendalikan diri (self control) terhadap segala rangsangan, baik yang
timbul dari lingkungannya (dunia luar) maupun yang datang dari dirinya sendiri (dunia dalam).
Al-Quran merupakan buku petunjuk bagi umat manusia agar dalam kehidupan ini serasi, selaras dan
seimbang dalam hubungannya dengan Tuhannya (vertikal), dengan sesame manusia dan lingkungan
alam sekitarnya (horizontal), Al-Quran merupakan Kitabullah yang terkahir diturunkan melalui
utusannya yang terakhir pula Nabi Muhammad SAW. Al-Quran merupakan penyempurnaan dari
Kitab Kitab sebelumnya, ibaratnya buku merupakan edisi terakhir dan terlengkap serta tersempurna.
Orang yang sehat jiwanya adalah orang yang dapat membedakan mana yang halal dan mana yang
haram, mana yang hak dan mana yang batil, mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang boleh
dan mana yang tidak, mana yang manfaat dan mana yang mudarat, dan lain sebagainya. Semua
dimensi kehidupan manusia yang menyangkut aspek hokum, norma, nilai dan etika kehidupan
termaktub dalam kitab suci Al-Quran.
Bila para dokter selalu membaca “text book” kedokteran guna menambah ilmunya untuk diaamalkan
bagi kesehatan pasien; maka sesungguhnya Al-Quran merupakan “text book” kesehatan jiwa
terlengkap dan tersempurna didunia.
Iman atau percaya pada Hari Akhir atau Hari Kiamat mempunyai makna penting bagi orang orang
yang beiman. Pada hari itu setiap diri manusia akan menjalani proses “pengadilan” Allah SWT. Allah
SWT tidak memandang hamba-Nya dari pangkat, kekayaan, kekuasaan, serta atribut atribut
keduniawian lainnya, melainkan yang dilihat adalah hati mereka, iman dan taqwa serta amal
kebajikan selama menjalani masa kehidupan di dunia. Karena itu bagi orang yang beriman tidak perlu
merasa stres apabila diperlakukan tidak adil oleh sesame manusia selama hidup didunia. Bukankah
Allah SWT Maha Adil, Pengasih, dan Penyayang?
Iman atau percaya pada takdir penting artinya bagi kesehatan jiwa. Dengan iman kepada takdir ini
orang tidak akan mengalami frustasi dan stres. Manusia boleh berusaha, tetapi Allah SWT yang
menentukan. Bagi orang yang beriman kegagalan itu dipandang sebagai takdir, bahwa Allah SWT
berkehendak lain. Orang yang beriman yakin bahwa tidak semua apa yang dipandangnya baik, dimata
Allah SWT pun baik pula; begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu bagi orang yang beriman,
kegagalan yang dialaminya itu dianggap sebagai musibah yang psati ada hikmahnya. Orang yang
beriman akan bersabar dan berserah diri pada Allah SWT, mohon kekuatan lahir dan batun terhadap
“cobaan” yang dialaminya; disertai doa “Ya Allah, janganlah Engkau beri hamba beban serta cobaan
yang hamba tidak mampu memikul dan mengatasinya”. Oleh karena itu, sekali lagi iman pada takdir
merupakan konsep kesehatan jiwa yang amat penting bagi terbentuknya kekebalan orang terhadap
stres.
Dengan eksisnya jiwa dalam tingkat ini seseorang akan memiliki stabilitas emosional yang tinggi dan
tidak mudah mengalami stres, depresi dan frustasi. Apabila seorang hamba Allah telah berhasil
melakukan pendidikan dan pelatihan penyehatan, pengembangan dan pemberdayaan jiwa (mental),
maka ia dapat mencapai tingkat kejiwaan atau mental yang sempurna, yaitu :
1) Jiwa Muthmainnah adalah jiwa yang membawa diri ini menjadi tenang,
tentram dan damai
2) Jiwa Rodhiyah adalah jiwa yang membawa diri ini menjadi lapang dan puas
3) Jiwa Mardhiyah adalah jiwa yang membawa diri ini menjadi terlapangkan
dan terpuaskan
Hadirnya potensi-potensi tersebut sebagai syarat tercapainya hidup dan kehidupan yang bermakna.
Contohnya: menyayangi kedua orangtua, menjadi guru dan bersahabat bagi putra putrinya, menjadi
tempat curhat, tempat harmonis dan mesra dihari tua, bahagia dan merawat cucu tercinta
Contohnya: membaca Al-Quran sejak usia dini, berdoa memohon kasih sayang-Nya, ibadah haji
Contohnya: usaha sukses, ternak itik, petelur dan pedaging yang sukses