Anda di halaman 1dari 10

NASIKH DAN MANSUKH

Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah ILMU FIQIH

Dosen pengampu : Dr. H.Andi Achruh, M.Pd.i

Disusun oleh :

Musa Adam Avaul Hakas

60100120025

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN
MAKASSAR
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa yang telah
memberikanrahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunanmakalah ini tepat pada waktunya meskipun dalam
bentuk maupun isinya yang sangatsederhana. Harapan kami semoga makalah ini
dapat dipergunakan sebagai salah satuacuan, petunjuk maupun pedoman, juga
membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca,
sehingga untuk kedepannya kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi
makalah ini dengan lebih baik.Kami menyadari bahwa maklah ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu kritik dansaran dari semua pihak yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demikesempurnaan makalah ini. Akhir kata,
kami sampaikan terima kasih kepada semua pihakyang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. SemogaAllah Yang
Maha Kuasa senantiasa meridhai segala usaha kita. Amin.
ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................iii

BAB I : Pendahuluan ...............................................................................................................4

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 4

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4

BAB II : Pembahasan...............................................................................................................5

A. Pengertian Nasikh dan Mansukh .....................................................................................5

B. Syarat- Syarat Nasakh ....................................................................................................


6

C. Pembagian Nasakh .........................................................................................................7

1. Nasakh Al-Qur’an dengan Al-Qur’an.............................................................................


7

2. Nasakh Al-Qur’an dengan Sunnah.............................................................................. 8

3. Nasakh Sunnah dengan Al-Qur’an.............................................................................. 9

4. Nasakh Sunnah dengan Sunnah .................................................................................9

D. Ruang Lingkup Nasakh.................................................................................................10

E. Hikmah adanya Nasakh dalam Al-Qur’an.................................................................... 10

BAB III : Kesimpulan .............................................................................................................12

A. Kesimpulan ...................................................................................................................12

B. Saran ............................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................14


iii

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam al-Qur'an dijelaskan tentang adanya induk pengertian hunna umm al-kitab
yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ketentuan-ketentuan induk itulah yang
senantiasa harus menjadi landasan pengertian. sejalan dengan sistematisasi interpretasi
dalam ilmu hukum, hubungan antara ketentuan undang-undang yang hendak
ditafsirkan dengan ketentuan-ketentuan lainnya dari undang-undang tersebut maupun
undang-undang lainnya yang sejenis, yang harus benar-benar diperhatikan supaya tidak
ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya.
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum. Sementara, unsur-unsur bahasa, sistem dan
teologi dari teori interpretasi hukum masih harus dilengkapi dengan satu unsur lain yang
tidak kalah pentingnya. yaitu unsur sejarah yang melatarbelakangi terbentuknya suatu
undang-undang.
Dalam ilmu tafsir ada yang disebut asbab al-nuzul, yang mempunyai unsur historis cukup
nyata. Dalam kaitan ini para mufassir memberi tempat yang cukup tinggi terhadap
pengertian ayat al-Qur'an. Dalam konteks sejarah yang menyangkut interpretasi itulah
kita membicarakan masalah nasikh-mansukh.

B. RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini, masalah yang terpenting untuk kita soroti adalah:
A. Apakah pengertian nasikh dan mansukh?
B. Apakah rukun dan syarat naskh?
C. Apa saja jenis–jenis naskh?
D. Bagaimana kedudukan dan hikmah keberadaan naskh?
E. Bagaimana cara mengetahui naskh dan Mansukh?
4

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN
Nasikh-Mansukh berasal dari kata naskh. Dari segi etimologi, kata ini dipakai untuk
beberapa pengertian:
a. Nasikh, dapat bermakna ‘izalah (menghilangkan).
b. Nasikh dapat bermakna tabdil (mengganti/menukar).
c. Nasikh dapat bermakna tahwil (memalingkan).
d. Nasikh dapat bermakna menukilkan dari suatu tempat ke tempat yang lain. [1]
Diantara pengertian etimologi itu ada yang dibakukan menjadi pengertian terminologis.
Perbedaan terma yang ada antara ulama mutaqaddim dengan ulama mutaakhkhir terkait
pada sudut pandangan masing-masing dari segi etimologis kata naskh itu.
Ulama mutaqaddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar'i yang ditetapkan kemudian,
tidak hanya untuk ketentuan/hukum yang mencabut ketentuan/hukum yang sudah berlaku
sebelumnya, atau mengubah ketentuan/hukum yang pertama yang dinyatakan berakhirnya
masa pemberlakuannya, sejauh hukum tersebut tidak dinyatakan berlaku terus menerus,
tapi juga mencakup pengertian pembatasan bagi suatu pengertian bebas (muthlaq).
Juga dapat mencakup pengertian pengkhususan (makhasshish) terhadap suatu
pengertian umum ('am). Bahkan juga pengertian pengecualian (istitsna).
Sebaliknya ulama mutaakhkhir memperciut batasan-batasan pengertian tersebut untuk
mempertajam perbedaan antara nasikh dan makhasshish, muqayyid, dan lain
sebagainya, sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang
datang kemudian, untuk mencabut atau menyatakan berakhirnya masa pemberlakuan
ketentuan hukum yang terdahulu, sehingga ketentuan yang diberlakukan ialah
ketentuan yang ditetapkan terakhir dan menggantikan ketentuan yang
mendahuluinya. Dengan demikian tergambarlah, di satu pihak naskh mengandung lebih dari
satu pengertian, dan di lain pihak dalam perkembangan selanjutnya naskh
membatasinya hanya pada satu pengertian[2].

B. RUKUN DAN SYARAT NASIKH


Sesuai dengan sistematisasi interpretasi dalam ilmu hukum, hubungan antara
ketentuan hukum satu dengan yang lainnya harus benar-benar diperhatikan supaya tidak
ada kontradiksi antara satu ayat dengan ayat lainnya. Sejalan dengan hal tersebut, ada
beberapa rukun dan syarat yang harus diterapkan:
1. Adat naskh, adalah pernyataan yang menunjukkan adanya pembatalan hukum
yang telah ada.
2. Nasikh, yaitu dalil kemudian yang menghapus hukum yang telah ada. Pada
hakikatnya, nasikh itu berasal dari Allah, karena Dialah yang membuat hukum dan
menghapusnya.
3. Mansukh, yaitu hukum yang dibatalkan, yang dihapuskan, atau dipindahkan.
4. Mansukh ‘anh, yaitu orang yang dibebani hukum.
a. Adapun syarat-syarat naskh:
1. Yang dibatalkan adalah hukum syara’.
2. Pembatalan itu datangnya dari tuntutan syara’.
3. Pembatalan hukum tidak disebabkan oleh berakhirnya waktu pemberlakuan
hukum, seperti perintah Allah tentang kewajiban berpuasa tidak berarti
dinasikh setelah selesai melaksanakan puasa tersebut.
4. Tuntutan yang mengandung naskh harus datang kemudian. [3]

C. JENIS-JENIS NASKH
Masalah pertama yang ingin disoroti dalam bagian ini ialah adanya naskh antara
satu syari'at dengan syari'at lainnya. Ini terjadi sebagaimana dapat kita amati antara
syari'at hukum agama Islam dengan syari'at Nabi Isa as yang lebih dahulu ada. Dalam
hubungan ini, dapat kita katakan bilamana kita mengikrarkan Islam sebagai syari'at,
dengan sendirinya kita mengaku adanya naskh, karena syari'at-syari'at sebelumnya
tidak akan kita anut lagi dan semua hukumnya pun tidak akan kita berlakukan, sepanjang
tidak dikukuhkan kembali oleh syari'at Nabi Muhammad saw. [4]
Jika sudah melihat adanya nasikh-mansukh antar syari'at, di dalam satu syari'at juga
terjadi nasikh-mansukh antara hukum yang satu dengan hukum yang lainnya. Kembali
pada syari'at Islam sendiri, akan menemui beberapa kasus. Seperti Sesudah hijrah ke
Madinah, kaum Muslim masih berkiblat ke arah Bait al-Muqaddas. Sekitar enam bulan
kemudian, Allah menetapkan ketentuan lain. Keharusan berkiblat ke arah Bait al-Haram[5].
Ini berarti terjadi nasikh-mansukh dalam hukum kiblat. Kasus-kasus yang digambarkan di
atas, semuanya menyangkut bidang ibadat. Di bidang lain ada pula perubahan-perubahan
yang menyangkut ketentuan hokum pembelaan diri, tentang minuman keras dan
sebagainya.
Dari seluruh kasus-kasus tersebut berimplikasi bahwa memang terbukti adanya nasikh-
mansukh yang sifatnya intern dalam syari'at Islam. Beberapa ketentuan hukum yang
sudah berlaku, kemudian dicabut atau berakhir masa pemberlakuannya dan diganti dengan
ketentuan hukum lain.
Jenis nasikh-mansukh yang diuraikan diatas, menyangkut segi formalnya. Jenis lain yang
menyangkut segi materialnya, ada yang bersifat eksklusif (sharih) dan inklusif (dlimmi).
Untuk yang bersifat sharih, nasikh itu langsung menjelaskan mansukhnya, misalnya hukum
kiblat. Ketentuan yang nasikh (pengganti) ditetapkan secara jelas. Sedangkan contoh lain
misalnya hukum ziarah kubur. Didalam hadits disebutkan, pernah dilarang dalam
melakukan ziarah kubur. Selanjutnya, ayat itu ternasikh oleh ayat yang
membolehkannya seorang ziarah kubur. Berbeda dengan hal tersebut diatas, nasikh yang
bersifat dlimmi tidak memuat penegasan didalamnya bahwa ketentuan yang
mendahuluinya tercabut, tetapi isinya cukup jelas bertentangan dengan ketentuan yang
mendahuluinya.[6]

D. MACAM-MACAM NASIKH
1. Al-Quran dinasikhkan dengan Al-Quran
2. Ulama Sepakat Mengatakan ini diperbolehkan. Demikian juga mengenai jatuhnya.
Umpama menurut ayat masa iddah bagi perempuan itu lamanya satu tahun. Ayat
iddah ini ternasikhkan oleh ayat lain. Masa iddah itu cukup empat bulan sepuluh
hari.
3. Al-Quran dinasikhkan dengan Sunnah
4. Yang termasuk dalam hal ini, terdapat dua macam definisi, yaitu:
5. Pertama, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Ahad. Menurut jumhur tidak
diperbolehkan, karena Al-Quran itu mutawatir, harus diyakini. Sedangkan hadist
ahad masih diragukan.
6. Kedua, Al-Quran dinasikhkan dengan Hadist Mutawatir. Hal ini diperbolehkan
menurut imam malik, abu hanifah dan ahmad bin hambal.
7. Sunnah dinasikhkan dengan Al-Quran
8. Ini diperbolehkan menurut jumhur. Menghadap sembahyang ke baitul mukaddis itu
ditetapkan oleh sunnah, sedangkan di dalam Al-Quran tidak ada yang
menunjukkan demikian itu. Di sini dinasikhkan oleh Al-Quran QS 2:144.
9. Sunnah dinasikhkan dengan Sunnah
10. Yang termasuk golongan ini ada empat macam, yaitu:
11. Mutawatir dinasihkan dengan mutawatir pula.
12. ahad dinasihkan dengan ahad pula.
13. ahad dinasikhkan dnegan mutawatir.
14. mutawatir dinasikhkan dengan ahad. [7]

E. BENTUK-BENTUK NASIKH
Nasikh di dalam Al-quran terdapat tiga bentuk, yaitu:
1. Nasikh tilawah dan hukumnya sekaligus.
1. Contoh : ayat yang menyatakan 10 kali penyusuan mengharamkan pernikahan.
Aisyah berkata:

ُ
2. ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه‬
َ ‫ت َف ُتوُ ِّف َي َرسُو ُل اللَّ ِه‬ ٍ ‫ت ي َُحرِّ مْ َن ُث َّم ُنسِ ْخ َن ِب َخ‬
ٍ ‫مْس َمعْ لُو َما‬ ٍ ‫ت َمعْ لُو َما‬ ِ ْ‫ان فِي َما أ ْن ِز َل م َِن ْالقُر‬
َ ‫آن َع ْش ُر َر‬
ٍ ‫ض َعا‬ َ ‫َك‬
ُ ْ ُ ْ َّ
ِ ْ‫و َسل َم َوهُنَّ فِي َما ُيق َرأ م َِن القر‬.َ
‫آن‬
3. Dahulu di dalam apa yang telah diturunkan di antara Al-Qur’an adalah: “Sepuluh kali
penyusuan yang diketahui, mengharamkan”, kemudian itu dinaskh (dihapuskan)
dengan: “Lima kali penyusuan yang diketahui”. Kemudian Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam wafat dan itu termasuk yang dibaca di antara Al-Qur’an. [HR.
Muslim, no: 1452]
2. Nasikh hukum dan tetap adanya tilawah.
4. Contohnya firman Allah Azza wa Jalla:

5. ‫ْن َوإِن َّي ُكن ِّم ْن ُك ْم مِا َئ ٌة َي ْغلِبُوا أَ ْل ًفا م َِّن‬ ِ ‫ُون َي ْغلِبُوا مِا َئ َتي‬
َ ‫ص ِابر‬ َ ‫ُون‬ َ ‫ال إِن َي ُكن مِّن ُك ْم عِ ْشر‬ ِ ‫ِين َعلَى ْالقِ َت‬
َ ‫ض ْالم ُْؤ ِمن‬ ِ ِّ‫َيآأَ ُّي َها ال َّن ِبيُّ َحر‬
‫ُون‬ ْ َّ َ
َ ‫ِين َك َفرُوا ِبأن ُه ْم َق ْو ٌم الَ َيف َقه‬ َ ‫الذ‬ َّ
6. Kemudian hukum ini dihapus dengan firman Allah selanjutnya.
7. ‫هللا‬ِ ‫ْن ِبإِ ْذ ِن‬ ِ ‫ْن َوإِن َي ُكنْ ِّم ْن ُك ْم أَ ْلفٌ َي ْغلِبُوا أَ ْل َفي‬ ِ ‫ص ِاب َرةٌ َي ْغلِبُوا مِا َئ َتي‬َ ‫ضعْ ًفا َفإِن َي ُكن مِّن ُكم مِّا َئ ٌة‬َ ‫ف هللاُ َعن ُك ْم َو َعلِ َم أَنَّ فِي ُك ْم‬َ ‫ان َخ َّف‬ َ ‫ْال َئ‬
‫ين‬َ ‫َّاب ِر‬
ِ ‫َوهللاُ َم َع الص‬
3. Menasikhkan tilawah disamping tetapnya hukum.
8. Contoh: lafazh ayat rajm, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi:
9. ‫هللا َو هللاُ َع ِز ْي ٌز َح ِك ْي ٌم‬ ِ ‫ال َّش ْي ُخ َوال َّشي َْخ ُة إِ َذا َز َن َيا َفارْ ُجمُو ُه َما ْال َب َّت َة َن َكاالً م َِن‬
10. Laki-laki tua dan perempuan tua apabila berzina, maka rajamlah keduanya.
Pembalasan itu pasti dari Allah. Dan Allah itu maha Gagah lagi Maha Bijaksana. [8]

F. KEDUDUKAN DAN HIKMAH KEBERADAAN NASKH


Masalah naskh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang
berada dalam disiplin Ilmu Tafsir dan Ilmu Ushul Fiqh. Dalam kaitan ini Imam Subki
menerangkan adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan naskh. naskh berfungsi
mencabut (raf) atau menjelaskan (bayan)[9]. Dilihat dari jenis-jenis naskh yang diuraikan di
atas. Jika ditinjau dari segi formalnya maka fungsi pencabutan itu lebih nampak. Tapi bila
ditinjau dari segi materinya, maka fungsi penjelasannya lebih menonjol. Meski
demikian, pada akhirnya dapat dilihat adanya suatu fungsi pokok bahwa naskh
merupakan salah satu interpretasi hukum.

Hikmah Keberadaan Naskh Menurut Manna Al-Oaththan terdapat empat ketentuan naskh,
yaitu:
1. Menjaga kemaslahatan hamba.
2. Pengembangan pensyariatan hukum sampai kepada tingkat kesempurnaan seiring
dengan perkembangan dakwah dan kondisi manusia itu sendiri.
3. Menguji kualitas keimanan mukallaf dengan cara adanya perintah yang kemudian
di hapus.
4. Merupakan kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab apabila ketentuan nasikh
lebih berat daripada ketentuan mansukh, berarti mengandung konsekuensi
pertambahan pahala. Sebaliknya, jika ketentuan dalam nasikh lebih mudah
daripada ketentuan mansukh, itu berarti kemudahan bagi umat. [10]
G. CARA MENGETAHUI NASIKH DAN MANSUKH
Cara untuk mengetahui nasakh dan mansukh dapat dilihat dengan cara-cara sebagai
berikut.
1. Keterangan tegas dari nabi atau sahabat, seperti hadis yang artinya:
1. Aku (dulu) pernah melarangmu berziarah ke kubur, sekarang Muhammad
telah.mendapat izin untuk menziarahi ke kubur ibunya, kini berziarahlah kamu ke
kubur. Sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan pada hari akhir. (Muslim, Abu
Daud, dan Tirmizi).
2. Kesepakatan umat tentang menentukan bahwa ayat ini nasakh dan ayat itu
mansukh.
3. Mengetahui mana yang lebih dahulu dan kemudian turunnya dalam perspektif
sejarah.
4. Nasikh tidak dapat ditetapkan berdasarkan ijtihad, pendapat mufassir, atau
keadaan dalil-dalil yang secara lahir tampak kontradiktif, atau terlambatnya
keislaman seseorang dari dua perawi.
5. Ketiga-tiga persyaratan tersebut merupakan faktor yang sangat menentukan
adanya nasakh dan mansukh dalam Alquran. Jadi, berdasarkan penjelasan di atas
dapat dipahami bahwa nasakh mansukh hanya terjadi dalam lapangan hukum dan
tidak termasuk penghapusan yang bersifat asal (pokok). [11]

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Nasikh menurut bahasa yaitu mengaitkan kepada arti yang hilang. Nasikh
mengandung beberapa makna yaitu: menghilangkan, mengganti, memalingkan, dan
menukilkan. Sedangkan menurut istilah, ialah membuang hukum syar’i dengan kitab syar’i.
Ulama’ mutaqoddim memberi batasan naskh sebagai dalil syar’i yang ditetapkan kemudian,
tidak hanya untuk ketentuan-ketentuan hukum, tapi juga mencakup pengertian pembatasan
bagi suatu pengertian bebas. Sebaliknya ulama’ mutaakhir memperciut batasan-batasan
pengertian tersebut untuk mempertajam perbedaan antara nasikh, mukhossim, dan
muqoyyid sehingga pengertian naskh terbatas hanya untuk ketentuan hukum yang datang
kemudian.
Adapun bagaimana cara mengetahui nasikh adalah harus melalui banyak jalan,
diantaranya: naskh yang sharih dari Rosulullah SAW, keterangan para sahabat,
perlawqanan yang tidak dapat dikompromikan, serta diketahui tarih turunnya ayat-ayat itu.
Masalah nasikh bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri. Ia merupakan bagian yang berada
dalam disiplin ilmu tafsir dan ilmu ushul fiqih.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Al-Jauziah, Ibnu Qoyyim. Belajar Mudah Ulum Al-quran. Jakarta: PT Lentera Basritama,
2002.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-quran. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
Anwar, Abu. Sebuah Pengantar Ulumul Quran. Bekasi:Media Grafika, 2002.
Ash-Syiddieqy, Mohammad Hasbi, Tengku. Ilmu-Ilmu Al-quran. Semarang: PT Pustaka Rizki
Putra, 2002.
Jauzi, Ibnu. Nasikh Mansukh. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Quthan, Manaul. Pembahasan Ilmu Al-quran Dua. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1995.
http://almanhaj.or.id/content/3087/slash/0

Anda mungkin juga menyukai