KLP 1 - Ushul Fiqhi
KLP 1 - Ushul Fiqhi
USHUL FIQHI
DISUSUN OLEH:
ZULKARNAIN S:60100120024
KELAS 1/A
TEKNIK ARSITEKTUR
2020/2021
KATA PENGANTAR
Sengala puji bagi Allah SWT, shalawat serta salam semoga terlimpah bagi Rasullulah SAW,
beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Alhamdulillah, Puji syukur atas kehadirat Allah SWT, Tuhan semesta alam. Atas
izin dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah tepat waktu
tanpa kurang suatu apa pun. Tak lupa pula penulis haturkan shalawat
serta salam kepada junjungan Rasulullah Muhammad SAW. Semoga
syafaatnya mengalir pada kita di hari akhir kelak.
Penulisan makalah berjudul ‘USHUL FIQHI’ bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah ilmu
fiqhi. Semoga pembaca dapat memahami isi makalah ini dengan mudah, AMIN.
PENYUSUN
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………………………………
………………………..
DAFTAR
ISI…………………………………………………………………………………………………
……………………….
BAB 1 PENDAHULUAN:
1. LATAR BELAKANG………………………………………………………………………………………………………………………….
2. RUMUSAN MASALAH……………………………………………………………………………………………………………………
3. TUJUAN…………………………………………………………………………………………………………………………...............
BAB 2 PEMBAHASAN:
BAB 3 PENUTUP:
1. KESIMPULAN……………………………………………………………………………
………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Ushul Fiqhi
Ushul fiqh muncul sejak zaman Rasulullah SAW, pada waktu Rasulullah masih hidup segalanya
jawaban hukum dengan dalil – dalil ayat suci Al Quran. Dalam keadaan tertentu yang tidak
ditemukan jawaban di Al-Quran maka Rasulullah memberikan jawaban dari ucapan dan
perbuatannya yang disebut Hadits atau Sunnah.
Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab. Demikian pula hadist yang disampaikan Nabi, juga
berbahasa Arab. Para sahabat Nabi mempunyai pengetahuan yang luas tentang bahasa Arab itu
sebaga bahasa ibunya. Mereka mengetahui secara baik arti setiap lafaz-nya dan maksud dari
setiap ungkapannya.
Bila mereka tidak menemukan jawabannya dalam hadist Nabi, mereka menggunakan daya nalar
yang dinamakan ijtihad. Dalam berijtihad itu, mereka mencari titik kesamaan dari suatu kejadian
yang dihadapinya itu dengan apa-apa yang telah ditetapkan dalam al-Quran dan hadist.
B. RumusanMasalah
Rumusan masalah yang dibahas pada penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Apa pengertian ushul fiqhi?
2. Objek kajian ushul fiqhi?
3. Perbedaan ushul fiqhi dan fiqhi?
4. Tujuan dan fungsi ushul fiqhi?
5. hukum syara’
Yaitu: Taklifi
: Wadhi
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Menjelaskan pengertian ushul fiqhi.
2. Menjelaskan objek kajian ushul fiqhi
3. Menjelaskan perbedaan ushul fiqhi dan fiqhi
4. Menjelaskan tujuan dan fungsi ushul fiqhi
5. Menjelaskan hukum syara’, dan pembagiannya yaitu taklifi dan wadhi
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ushul Fiqh?
1. Pengertian Ushul Fiqh Secara Etimologi
Ushul Fiqh (ُص ْو ُل ال ِْف ْق ِه
ُ )أsecara etimologi terdiri dari dua suku kata yaitu ushul dan fiqh. Berikut ini
pengertian dari masing-masing kedua suku kata tersebut :
a. Pengertian Ushul
Contohnya akar pohon yang mana ia merupakan pondasi dari pohon itu sendiri. Sebagaimana firman
Allah ta’ala :
الس َم ِاء
َّ ت َو َف ْرعُ َها يِف ِ
ْ أ ب اللَّهُ َمثَاًل َكل َمةً طَيِّبَةً َك َش َجَر ٍة طَيِّبَ ٍة
ٌ ِثَاب َصلُ َها َ ضَر َ أَمَلْ َتَر َكْي
َ ف
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit
b. Pengertian Fiqh
صْيلِيَّ ِة َّ َح َك ِام الش َّْر ِعيَّ ِة الْ َع َملِيَّ ِة بِأ َِدلَّتِ َها
ِ الت ْف
ْ َم ْع ِرفَةُ اأْل
Mengenal hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliyyah dengan dalil-dalilnya yang terperinci.[1]
ث َع ْن أ َِدلَِّة الْ ِف ْق ِه اإْلِ مْج َالِيَّ ِة َو َكْي ِفيَّ ِة ااْلِ ْستِ َف َاد ِة ِمْن َها َو َح ِال الْ ُم ْستَ ِفْي ِد
ُ ِع ْل ٌم َيْب َح
Ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang umum dan cara mengambil faedah dari dalil tersebut serta
membahas keadaan orang yang mengambil faedah.[2]
Ushul fiqh adalah ilmu yang membahas dalil-dalil fiqh yang bersifat global, yaitu berupa kaidah-kaidah
umum; seperti :
Perintah menunjukkan hukum wajib selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari hukum
tersebut.
Larangan menunjukkan hukum haram selama tidak ada indikasi yang memalingkannya dari
hukum tersebut.
Sahnya suatu amalan menunjukkan amalan tersebut telah terlaksana.
Dan sebagainya.
Kemudian di dalam ilmu ini dibahas pula tata cara pengambilan faedah hukum dari dalil-dalil yang ada
dengan mempelajari hukum-hukum lafadz dan penunjukkannya; seperti umum, khusus, mutlaq,
muqoyyad, nasikh, mansukh, dan sebagainya.
Dengan memiliki ilmu tersebut maka kita bisa mengambil faedah-faedah hukum atau mengambil
kesimpulan hukum dari dalil-dalil fiqh yang ada.
Selain itu, dibahas juga dalam ilmu ini tentang ihwal mustafid. Atau bisa juga disebut dengan mujtahid;
yaitu mereka yang memiliki kapasitas ilmu sehingga mampu mengambil faedah hukum dari dalil yang
ada.
Di sisi lain, dibahas juga tentang muqallid; yakni orang awam yang belum memiliki kapasitas ilmu untuk
bisa mengambil faedah hukum. Sehingga mereka mengikuti para mujtahid yang sudah memiliki kapasitas
untuk itu.
Sedangkan fiqh yang dibahas dalilnya bersifat rinci, seperti dalil wajibnya niat dalam suatu
amalan adalah “Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya.” dan sebagainya.
Kedua : Bahwa ushul fiqh hanya membahas hukum syar’i secara global yang terkandung dalam
sebuah dalil; seperti: apa hukum yang terkandung dalam dalil ini? Wajibkah? Atau haramkah?
Atau selainnya?
Sementara fiqh membahas hukum syar’i secara terperinci; seperti : niat dalam shalat itu
hukumnya wajib, takbiratul ihram itu hukumnya wajib, berbicara dalam shalat itu hukumnya
haram, dan sebagainya.
Dari segi tujuannya, ushul fiqh adalah ilmu yang mempelajari kaidah dalam rangka
menghasilkan hukum syar’i. Sehingga dengan ilmu inilah seseorang bisa mengambil
kesimpulan hukum syar’i dari dalil-dalil yang ada.
Oleh karena itu, dengan mempelajari ushul fiqh inilah seseorang dapat memecahkan permasalahan
tersebut.
Yang patut kita pegang adalah bahwa tidak ada satupun dari mereka yang mengklaim ijtihad mereka
benar sepenuhnya.
Selain itu, banyak sekali terjadi perselisihan pendapat antara salah satu ulama dengan ulama lainnya,
terutama dalam permasalahan-permasalahan hukum yang tidak dijumpai dalil tegas yang menunjukkan
status hukumnya.
Disamping itu, ijtihad yang mereka hasilkan juga terikat dengan ruang dan waktu. Apa yang mereka
upayakan dalam menyingkap status hukum suatu permasalahan yang belum ada di dalam Al-Quran dan
As-Sunnah tentunya mempertimbangkan kemaslahatan pada tempat dan apa yang terjadi saat itu.
Maka dengan ilmu ushul fiqh inilah kita bisa mengkaji dan menguji ulang pendapat-pendapat ulama
terdahulu. Sehingga kita bisa mengetahui mana pendapat yang benar atau yang lebih kuat diantara
pendapat yang ada sehingga dapat dijadikan pijakan dalam menentukan hukum.
E. HUKUM SYARA’
hukum syara'. Secara etimologi Hukum Syara’ adalah kata majemuk yang tersusun dari kata “hukum”
yang berarti memutuskan, menetapkan atau menyelesaikan, dan kata “ syara’ ”yang berarti jalan, jalan
yang dilalui manusia dalam menuju kepada Allah. Secara terminologi hukum berarti seperangkat
peraturan tentang tingkah laku manusia yang ditetapkan dan diakui oleh satu negara atau kelompok
masyarakat, berlaku dan mengikuti untuk seluruh anggotanya. Sedangkan, syara’ berarti seperangkat
peraturan berdasarkan ketentuan Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku,
serta mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.
Menurut ahli Ushul Fiqih, Hukum Syara’ adalah Khitab Allah yang menyangkut tindak tanduk
mukalaf dalam bentuk tuntutan, pilihan berbuat atau tidak atau dalam bentuk ketentuan-
ketentuan.
Menurut ahli Fiqih, Hukum Syara’ adalah sifat yang merupakan pengaruh atau akibat yang
timbul dari titah Allah terhadap orang mukallaf itu.
Bertitik tolak dari definisi Hukum Syara’ di atas, yaitu titah Allah yang menyangkut perbuatan
mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan dan ketentuan. Maka, Hukum Syara’ itu terbagi dua
yaitu :
1. Hukum Taklifi
Titah Allah yang berbentuk tuntutan dan pilihan. Penamaan hukum ini dengan Taklifi karena
titah di sini langsung mengenai perbuatan orang yang sudah mukallaf (baligh). Seperti firman
Allah dalam Surat At-Taubah ayat 103 yang menuntut orang mukallaf untuk melakukan suatu
perbuatan yaitu membayar zakat. Hukum Taklifi akan dijelaskan dan diuraikan di bawah ini:
a. Wajib
Sesuatu perbuatan yang dituntut Allah yang diberi ganjaran pahala bagi orang yang
melakukannya dan mendapat dosa bagi orang yang meninggalkannya. Dilihat dari beberapa segi,
wajib dibagi menjadi 4 :
a) Wajib Mu’ayyan (ditentukan) seperti membaca Al-Fatihah atau tahiyyat dalam sholat
b) Wajib Mukhayyar (dipilih) seperti kifarat yang mempunyai 3 pilihan yaitu memberi makan
sepuluh orang miskin, memberi pakaian sepuluh orang miskin atau memerdekakan budak.
a) Wajib ‘Aini, wajib yang dibebankan pada pundak setiap mukallaf. Seperti sholat lima waktu,
puasa bulan Ramadhan
b) Wajib Kifayah, kewajiban yang harus dilakukan oleh salah seseorang di antara mereka, seperti
mendirikan tempat peribadatan dan menyelenggarakan sholat jenazah
a) Wajib Muhaddad, yaitu kewajiban yang ditentukan kadar atau jumlahnya seperti zakat.
b) Wajib Ghairu Muhaddad, yaitu kewajiban yang tidak ditentukan batas jumlahnya. Seperti
membelanjakan harta di jalan Allah dan berjihad.
b. Haram
Yaitu segala perbuatan yang dilarang mengerjakannya. Orang yang melakukannya akan disiksa,
berdosa dan yang meninggalkannya diberi pahala. Secara garis besar haram dibagi menjadi dua
macam, yaitu :
1) Haram yang sejak awal memang diharamkan seperti membunuh,berzina, dan mencuri.
2) Haram karena berkaitan dengan perbuatan atau faktor lain. Misalnya, jual beli yang asal
mulanya mubah, berubah haram ketika azan Jum’at sudah berkumandang.
c. Mandub (Sunah)
Segala perbuatan yang dilakukan akan mendapat pahala, tetapi bila tidak dilakukan tidak akan
dikenakan siksa dan dosa. Mandub terbagi dua macam, yaitu :
1) Sunah ‘Ain
Segala sesuatu yang dianjurkan kepada setiap pribadi mukalaf untuk dikerjakan, misalnya sholat
sunah rowatib.
2) Sunah Kifayah
Segala perbuatan yang dianjurkan untuk diperbuat cukup oleh salah seorang saja, misalnya
mendoakan orang bersin.
3) Sunah Muakkad
Perbuatan sunah yang senantiasa dikerjakan oleh Rasul, misalnya Sholat sunah hari raya.
Segala perbuatan yang tidak selalu dikerjakan oleh Rasul, misalnya bersedekah pada fakir
miskin,
d. Karahah (Makruh)
Perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat pahala, tapi apabila mengerjakan tidak dapat
dosa. Pada umumnya, ulama membagi karahah (makruh) menjadi dua bagian yaitu :
1) Makruh Tanzih
Segala perbuatan yang meninggalkan lebih baik daripada mengerjakan seperti merokok, makan
makanan yang menimbulkan bau tidak sedap dan lainnya.
2) Makruh Tahrim
Segala perbuatan yang dilarang, tetapi dalil yang melarangnya itu dhanny bukan qath’i.
misalnya, bermain catur.
e. Mubah
Segala perbuatan yang tidak diberi pahala karena perbuatannya, dan tidak berdosa karena
meninggalkannya.
2. Hukum Wad’i
Titah Allah yang berbentuk ketentuan yang telah ditetapkan, tidak langsung mengatur perbuatan
makallaf, tetapi berkaitan dengan perbuatan mukallaf itu, seperti tergelincirnya matahari menjadi
sebab masuknya waktu Dzuhur. Oleh karena itu, ulama membagi hukum wad’i menjadi tiga
yaitu :
a. Sebab
Sesuatu yang pasti, dapat diukur, yang dijadikan pembuat hukum sebagai tanda adanya hukum,
lazim dengan adanya tanda itu ada hukum dan dengan tidak adanya hukum. Sebab terbagi
menjadi dua yaitu :
1) Sebab yang berada di luar batas kemampuan mukalaf seperti tergelincir matahari yang
menjadi sebab masuknya waktu Dzuhur.
a) Yang termasuk dalam hukum taklifi, menyaksikan bulan menjadikan sebab wajib
melaksanakan puasa.
b) Yang termasuk dalam hukum wad’i, perkawinan menjadi sebabnya hak waris.
b. Syarath
Sesuatu yang tergantung kepadanya adanya hukum, lazim dengan tidak adanya hukum, tetapi
tidaklah lazim dengan adanya hukum.
2) Syarath ‘Adi, seperti bersentuhnya api dengan barang yang dapat terbakar menjadi syarat
berlangsungnya kebakaran.
3) Syarath Syar’i, seperti sucinya badan menjadi syarat untuk sholat.
c. Mani’ (penghalang)
Segala sesuatu yang dengan adanya dapat meniadakan hukum atau dapat membatalkan sebab
hukum. Mani’ terbagi menjadi dua bagian :
1) Mani terhadap hukum, seperti perbedaan agama antara pewaris dengan yang akan diwarisi
adalah penghalang hukum pusaka mempusakai sekalipun ada sebab untuk saling mempusakai.
2) Mani terhadap sebab hukum, seperti seseorang yang memiliki harta senisab wajib
mengeluarkan zakatnya. Namun, karena ia mempunyai utang yang jumlahnya sampai
mengurangi nisab zakat maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat, karena harta miliknya tidak
cukup senisab lagi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ushul fiqh mempunyai pengertian sebagai ilmu yang menjelaskan kepada Mujtahid tentang jalan-
jalan yang harus ditempuh dalam mengambil hukum-hukum dari nash dan dari dalil-dalil lain
yang disandarkan kepada nash itu sendiri seperti Al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, Qiyas,
dan lain-lain.