Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ILMU FIQIH
MATERI TENTANG ISTIHSAN, AL-MASLAHAH
AL-MURSALAH, DAN ISTISHAB

Disusun Oleh : Kelompok 5


Hider Maulana Mahfud (60100120029)
Alfath Prasatya (60100120027)
Muh.Habil Alfarabi (60100120001)

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI

PROGRAM STUDI TEKNIK ARSITEKTUR

UIN ALAUDDIN MAKASSAR

2020

i
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyanyang,
Kami Panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tentang
“Ilmu Fiqih Mengenai Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah dan Istishab”

Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal.Oleh karena itu, tidak ada hal yang tidak dapat diselesaikan dengan
sempurna.Begitu pula dengan makalah ini yang masih terdapat kekurangan baik dari segi
susunan maupun tata bahasa.Kami melakukannya semaksimal kemampuan yang kami miliki.

Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ini.Dan dengan menyelesaikan makalah ini
kami mengharapkan banyak manfaat yang dapat dipetik dan diambil dari makalah ini.

Penyusun

KELOMPOK 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii

BAB I

PENDAHULUAN.....................................................................................................................4

A. Latar Belakang.............................................................................................................4

B. Rumusan Masalah........................................................................................................4

BAB II

PEMBAHASAN.......................................................................................................................5

A. Pengertian Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah dan Istishab.........................................5

B. Kehujjahan Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah dan Istishab........................................8

C. Pandangan Ulama Tentang Istihsan, al-Maslahah

al-Mursalah dan Istishab..............................................................................................9

BAB III

PENUTUP................................................................................................................................15

A. Kesimpulan................................................................................................................15

B. Saran..........................................................................................................................15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Fiqih Islam merupakan salah satu bidang studi Islam yang paling terkenal atau dikenal
oleh masyarakat. Ini terjadi karena fiqih terkait langsung dengan kehidupan masyarakat, dan
itu terjadi dari sejak lahir sampai dengana meninggal dunia, manusia itu selalu berhubungan
dengan Fiqih.

Karena sifat dan fungsinya yang demikian itu maka fiqih dikategorikan sebagai ilmu
al-hal. Ilmu al-hal yaitu Ilmu yang berkaitan dengan tingkah laku kehidupan manusia, dan
juga termasuk ilmu yang wajib dipelajari oleh manusia, karena dengan Ilmu itu pula
seseorang baru bisa atau seseorang baru dapat melaksanakan kewajibannya mengabdi kepada
Allah SWT melalui ibadah seperti dalam melaksanakan sholat, puasa, zakat, haji, dan lain
sebagainya.

Fiqih selalu menyertai seorang muslim dalam kehidupan sehari-hari mulai dari
bangun tidur hingga tidur kembali dan selalu menyertai semua kegiatan seorang muslim. Jadi
fiqih mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam islam terutama dalam mengarahkan
apa dan bagaimana seorang muslim bertindak dan melakukan kegiatannya dalam kehidupan
sehari-hari.

Secara sederhana, fiqih bisa dipahami sebagai hasil dari pemikiran manusia tentang
sesuatu hal yang bersumber dari al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW. Dari
pengertian diatas, dapat dipahami bahwa fiqih merupakan penjabaran yang lebih rinci dari
tentang syari’at untuk memudahkan dalam mengamalkan syari;at. Adapun ruang lingkup
yang dikaji fiqih meliputi hubungan manusia dengan Allah SWT yang biasa disebut dengan
ibadah dan hubungan manusia dengan sesamanya atau yang biasa disebut dengan mu’amalah.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah digunakan untuk membatasi pembahasan materi yang dibahas dalam
pembuatan makalah ini. Adapun yang dipakai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah:

1. Apa pengertian dari Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istishab ?

2. Bagaimana Kehujjahan Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istishab ?

3. Bagaimana Pandangan Ulama tentang Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istishab ?

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istishab

1. Pengertian Istihsan
Istihsan secara etimologi adalah “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu”.
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut ulama
ushul fiqh, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan kepada hukum yang lainnya,
pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara”. Secara terminologi
imam al-Sarakhsi (w.483. H / 1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan.

ِ ‫اسُ َوال َع َملُُ ِب َماُه َُوُاَ ْق َوىُ ِم ْنهُُ ِل ُدَُِ ْليلُُيَقت‬


ُ‫َضى‬ ُ ِ َ‫سانُُه َُوُت َْركُُال ِقي‬
َ ْ‫ا ِال ْستِح‬
ُ‫ذَلكََُُليلُيَقحس‬
“Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya dan lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”
Adapun dikalangan Syafi'iyah tidak ditemukan definisi istihsan, karena sejak semula mereka
tidak menerima istihsan sebagai salah satu dalil dalam menentukan hukum syara '. Dalam
masalah ini imam syafi'i membahasakan
َُ ‫سنَُُفَقَ ُدُْش ََر‬
‫ع‬ َ ْ‫نُا ْستَح‬
ُِ ‫َم‬
“Barang siapa yang membuat istihsan maka ia telah membuat syara '.

Jadi singkatnya, istihsan adalah tindakan meninggalkan satu hukum kepada hukum
lainnya disebabkan karena ada suatu dalil syara” yang mengharuskan untuk
meninggalkannya.

Misal yang paling sering dikemukakan adalah peristiwa ditinggalkannya hukum potong
tangan bagi pencuri di zaman khalifah Umar bin Al-Khattab ra. Padahal seharusnya pencuri
harus dipotong tangannya. Itu adalah suatu hukum asal. Namun kemudian hukum ini
ditinggalkan kepada hukum lainnya, berupa tidak memotong tangan pencuri. Ini adalah
hukum berikutnya, dengan suatu dalil tertentu yang menguatkannya.

Mula-mula peristiwa atau kejadian itu telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash,
yaitu pencuri harus dipotong tangannya. Kemudian ditemukan nash yang lain yang
mengharuskan untuk meninggalkan hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan
itu, pindah kepada hukum lain. Dalam hal ini, sekalipun dalil pertama dianggap kuat, tetapi
kepentingan menghendaki perpindahan hukum itu.

5
2. Pengertian Al-Maslahah al-Mursalah
Menurut bahasa, kata maslahah berasal dari Bahasa Arab dan telah dibakukan ke dalam
Bahasa Indonesia menjadi kata maslahah, yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang
membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.Menurut bahasa aslinya kata maslahah
berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan, ‫صلح‬, ‫يصلح‬, ‫ صالحا‬artinya sesuatu yang baik, patut,
dan bermanfaat. Sedang kata mursalah artinya terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil
agama (al-Qur’an dan al-Hadits) yang membolehkan atau yang melarangnya.

Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya:
Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah yaitu perbuatan yang bermanfaat yang telah
ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya,
jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya. Imam Al-Ghazali mendefinisikan
sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak madarat.
Selanjutnya is menegaskan maksud dari statemen di atas bahwa maksudnya adalah menjaga
maqasid as-syari’ah yang lima, yaitu agama, jiwa, akal, nasab, dan harta. Selanjutnya ia
menegaskan, setiap perkara yang ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah maka ia
disebut mashlahah. Sebaliknya jika tidak ada salah satu unsur dari maqashid as-syari’ah,
maka ia merupakan mafsadat, sedang mencegahnya adalah mashlahah.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpuan bahwa mashlahah
mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam rangka menggali hukum (istinbath) Islam,
namun tidak berdasarkan pada nash tertentu, namun berdasarkan kepada pendekatan maksud
diturunkannya hukum syara’ (maqashid as-syari’ah). Kemaslahatan yang menjadi tujuan
syara’ bukan kemaslahatan yang semata-mata berdasarkan keinginan dan hawa nafsu saja.
Sebab tujuan pensyari’atan hukum tidak lain adalah untuk merealisasikan kemaslahatan
manusia dalam segala aspek kehidupan dunia agar terhindar dari berbagai bentuk kerusakan.
Penetapan hukum Islam melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah merupakan salah satu
bentuk pendekatan dalam menetapkan hukum syara’ selain melalui pendekatan kebahasaan
yang sering digunakan oleh para ulama. Jika dibandingkan dengan penetapan hukum Islam
melalui pendekatan masqashid asy-syari’ah dengan penetapan hukum Islam melalui
pendekatan kaidah kebahasaan, maka pendekatan melalui maqashid asy-syari’ah dapat
membuat hukum Islam lebih fleksibel, luwes karena pendekatan ini akan menghasilkan
hukum Islam yang bersifat kontekstual. Sedangkan pengembangan hukum Islam melalui
kaidah kebahasaan akan menghilangkan jiwa fleksibilitas hukum Islam. Hukum Islam akan
kaku (prigid) sekaligus akan kehilangan nuansa kontekstualnya.
Berikut adalah beberapa contoh maslahah mursalah, yaitu :
• Tuntunan beribadah di masa pandemi COVID-19 seperti tidak melakukan sholat Jumat dan
sholat tarawih berjamaah di masjid, menutup masjid untuk sementara, dan sholat
menggunakan masker.
• Pencatatan perkawinan dalam surat yang resmi menjadi maslahat untuk sahnya gugatan
dalam perkawinan, nafkah, pembagian harta bersama, waris dan lainnya.
• Apabila uang kas negara mengalami defisit dan tidak mencukupi untuk memenuhi
pembiayaan tentara, maka pemerintah diperbolehkan menarik pungutan wajib kepada orang-
orang kaya untuk menutupi kebutuhan yang mendesak, sampai baitul mal mendapatkan
masukan uang atau kebutuhan mereka tercukupi.

6
3. Pengertian Istishsab

Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-baُ(‫ (استصحب‬dalam shigat
is-tif’âl (‫)استفعال‬, yang berarti: ‫استمرارُالصحبة‬. Kalau kata ‫ الصحبة‬diartikan “sahabat” atau “teman”,
dan ُ‫ استمرا ُر‬diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah:
“selalu menemani” atau “selalu menyertai”.

Sedangkan Istishab menurut istilah adalah menetapkan hukum atas sesuatu


berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahan
keadaan tersebut. Atau menetapkan hukum yang telah tetap pada masa yang lalu dan masih
tetap pada keadaannya itu, sehingga ada dalil yang menunjukkan atas perubahannya.

Terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena
suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa
yang sebelumnya tiada.
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum
terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.

Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan
sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau
bukti yang mengubah hukum tersebut.

Dari pengertian istishab di atas, dapat dipahami bahwa istishab itu ialah:
Segala hukum yang telah ditetapkan pada masa lalu, dinyatakan tetap berlaku pada masa
sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.Segala hukum yang ada pada masa
sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa yang lalu.

Contoh Istishab
Telah terjadi perkawinan antara laki-laki A dan perempuan B, kemudian mereka
berpisah dan berada di tempat yang berjauhan selama 15 tahun. Karena telah lama berpisah
itu maka B ingin kawin dengan laki-laki C. Dalam hal ini B belum dapat kawin dengan C
karena ia telah terikat tali perkawinan dengan A dan belum ada perubahan hukum
perkawinan mereka walaupun mereka telah lama berpisah. Berpegang ada hukum yang telah
ditetapkan, yaitu tetap sahnya perkawinan antara A dan B, adalah hukum yang ditetapkan
dengan istishab.

7
B. Kehujjahan Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan Istishab

1. Kehujjahan Istihsan

Jumhur ulama Malikiyah, hanafiyah dan hanabillah menetapkan bahwa istihsan


adalah suatu dalil yang syari’i yang dapat dijadikan hujjah untuk
menetapkan hukum terhadap sesutu yang telah ditetapkan qiyas atau keumumannas.
Sedangkan golongan syafi’iyah menolak istihsan karena berhujah dengan istihsan
dianggap menetapkan suatu hukum tanpa dasar yang kuat hanya semata mata didasarkan
hawa nafsunya.

2. Kehujjahan al-Maslahah al-Mursalah


Terdapat perbedaan pendapat diantara ulama tentang maslahah mursalah :

1. Maslahah mursalah tidak dapat menjadi hujjah/dalil menurut ulam-ulama syafi`iyyah,


ulama hanafiyyah, dan sebagian ulama malikiyah seperti ibnu Hajib dan ahli zahir.

2. Maslahah mursalah dapat menjadi hujjah/dalil menurut sebagian ulama imam maliki
dan sebagian ulama syafi`i, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh
ulama-ulama ushul. Jumhur Hanafiyyah dan syafi`iyyah mensyaratkan tentang masalah ini,
hendak nya dimasukkan dibawah qiyas, yaitu bila terdapat hukum ashl yang
dapatdiqiyaskankepadanyadanjugaterdapatillatmudhabit (tepat), sehigga dalam hubungan
hukum itu terdapat tempat untuk merealisir kemaslahatan.

3. Kehujjahan Istishab

Istishab merupakan dalil syara’ yang terakhir yang dijadikan para Mujtahid sebagai
tempat kembali dalam mengetahui hukum bagi suatu peristiwa yang sedang mereka hadapi.
Istishab juga dijadikan dasar bagi prinsip-prinsip syariat, antara lain sebagai berikut
:asal sesuatu ialah ketetapan yang ada menurut keadaan semula sehingga terdapat suatu
ketetapan yang mengubahnya. Sesuai kaidah yang artinya :

“Asal segala sesuatu itu adalah boleh”

8
C. Pandangan Ulama tentang Istihsan, al-Maslahah al-Mursalah, dan
Istishab

A. Pandangan Ulama tentang Istihsan

Ada tiga pendapat Ulama tentang nilai Istihsan sebagai hujjah yaitu:

1. Pendapat dari Ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanbaliyah yang mengatakan bahwa
Istihsan adalah dalil syara‟ dengan alasan yaitu:

a. Istihsan yang ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap kasus-kasus dan hukum-hukum


yang ternyata bahwa penggunaan Qiyas adalah menerapkan yang umum atau dalil yang Kulli
yang kadang-kadang di dalam beberapa kasus menyebabkan hilangnya kemashlahatan
manusia, karena kasus-kasus ini mempunyai kekhususan-kekhususan tersendiri. Hal ini
merupakan suatu keadilan dan rahmat bagi semua manusia apabila dibuka jalan bagi seorang
mujtahid di dalam memecahkan kasus seperti ini yaitu men-tarjih dalil agar tercapai
kemashlahatan dan menolak kemadharatan, dengan kata lain seperti ungkapan dalam kaidah
fikih yaitu: “Dar‟u al-Mafasid wa Jalbu al-Mashalih” artinya: “Menolak kemafsadatan dan
meraih kamashlahatan”. Jadi Istihsan digunakan untuk mendapatkan kemashlatan dan
menolak kemadlaratan atau menemukan mashlahat yang lebih kuat dan madlarat yang lebih
sedikit.

b. Istihsan ditetapkan berdasarkan penelitian terhadap Nash-nash Syara‟ yang menunjukan


bahwa Allah Yang Maha Bijaksana berpindah dari sebagian kasus-kasus yang bisa digunakan
Qiyas atau umumnya Nash kepada hukum lain yang memberikan kemashlatan dan menolak
kemafsadatan, misalnya Allah mengharamkan bangkai, darah, daging babi, dan apa yang
disembelih selain atas nama Allah („ala Ghairillah), selanjutnya

2. Ulama-ulama yang menolak Istihsan sebagai dalil syara‟, mereka beralasan sebagai
berikut:

a. Syari‟at itu berupa Nash atau mengembalikan kepada Nash dengan Qiyas, maka di
manakah letaknya Istihsan dan dalam hal ini bertentangan dengan firman Allah SWT yang
terdapat di dalam al-Qur‟an surat al-Qiyamah: 36 yang artinya: “Apakah manusia mengira,
bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggungan jawab)?”.17

b. Istihsan tidak ada dlabit-nya dan tidak ada ukuran-ukuran untuk mengqiyaskannya,
sehingga apabila dihadapkan kepada seseorang mujtahid suatu kasus, maka dia akan
menetapkan hukum sesuai dengan apa yang dianggap baik sesuai dengan seleranya.

c. Apabila Istihsan dibolehkan dalam berijtihad yang tidak berdasarkan dengan Nash atau
tidak dikembalikan kepada Nash, maka Istihsan boleh dilakukan oleh siapa saja meskipun
tidak mengetahui al-Qur‟an. Atas dasar alasan-alasan ini, maka Imam asy-Syafi‟i
berkesimpulan bahwa: “Man Istahsana Faqad Syara‟a” artinya:
“Barang siapa yang menetapkan hukum dengan Istihsan berarti dia telah membuat syari‟at
sendiri”.

9
3. Pendapat yang menyatakan bahwa Istihsan adalah dalil syara‟, bukan juga dengan dalil
yang Mustaqil, akan tetapi kembali kepada dalil syara‟ yang lain, sebab setelah diteliti tujuan
pokok Istihsan itu tetap kembali kepada mashlahat. Pendapat ini dipegang (antara lain) oleh
Imam asy-Syafi‟i di dalam menentang Istihsan yang kemudian kita bandingkan dengan
definisi Istihsan yang telah dikemukakan di atas (tidak ada pertentangan yang prinsip).
Alasannya (baik Madzhab Syafi‟i maupun Madzhab Hanafi), apabila Istihsan diartikan
sebagai apa-apa yang dianggap baik oleh manusia.

B. Pandangan Ulama tentang al-Maslahah al-Mursalah

Mengkaji tentang al-mashlahah al-mursalah sebagai adillat al-syari’ah, para ulama terbagi
menjadi beberapa kelompok dalam menjadikannya dalil hukum Islam.

13 Pendapat pertama adalah menerima secara mutlak. Pendapat ini dianut oleh madzhab
Imam Malik dan pengikutnya serta kalangan Hanbaliyah. Imam Malik, oleh Ibn Daqiq al-
‘Abd disebut sebagai orang yang banyak ber-hujjah dengan al-maslahah al-mursalah daripada
ulama lainnya, disusul Imam Ahmad Ibn Hanbal pada posisi setelahnya. Hal ini menengahi
sanggahan dari kalangan Malikiyah seperti al-Qurtubi yang menolak penisbatan metode al-
istislah atau al-maslahah al-mursalah pada Imam Malik, karena menurut al-Qurtubi dari
kalangan Syafi’iyah seperti al-Juwaini juga menggunakan al-istislah melampaui apa yang ada
dalam kitab Imam Malik dan sahabatnya.

Di satu sisi, al-Qarafi menyatakan bahwa al-istishlah pada dasar-nya dikenal dan
dipraktekkan pada setiap madzhab karena, dalam pandangan al-Qarafi, ulama-ulama
madzhab pendukung maslahah dalam mengkiaskan, mengumpulkan atau memisahkan
masalah, mereka tidak berusaha mencari satu dalil teks (syahid) untuk mendukung makna
yang dikumpulkan dan dipisahkan tersebut. Bahkan mereka mencukupkan diri dengan
kemutlakan persesuaian (al-munasabah). Pola seperti ini menurut al-Qarafi disebut al-
maslahah al-mursalah dan ditemukan pada semua madzhab.

Menurut pendapat pertama ini, al-mashlahah al-mursalah dapat dijadikan sebagai dalil
hukum secara mandiri. Bagi kalangan Mali- kiyah, al-mashlahah al-mursalah bukan berarti
tidak memiliki legiti-masi syara’ sama sekali, namun secara tidak langsung meskipun jauh
tetap memiliki legitimasi syara’ karena tidak ada legitimasi secara jelas tentang diterima atau
ditolaknya.

14 Al-Syatibi, sebagai pemuka madzhab Maliki, menjelaskan bahwa al-maslahah al-


mursalah adalah setiap prinsip syara’ yang tidak disertai bukti nash khusus, namun sesuai
dengan tindakan syara’ serta maknanya diambil dari dalil-dalil syara’. Dengan demikian
prinsip tersebut sah sebagai dasar hukum sepanjang telah menjadi prinsip dan digunakan
syara’ yang qath’i. Imam Malik, menurut analisis al-Syatibi, mengartikan al-maslahah al-
mursalah sebagai suatu maslahah yang sesuai dengan tujuan, prinsip dan dalil-dalil syara’
yang berfungsi untuk menghilangkan kesempitan, baik yang bersifat dharuriyah maupun
hajiyah. Legitimasi syara’ atas al-mashlahah al-mursalah bagi Malikiyah diperoleh dengan
adanya indikasi kuat unsur penjagaan mashlahah dalam penyelesaian hukum meskipun tidak

10
ada ‘illat yang meng-korelasikan dengan nash. Argumentasi golongan yang menerima al-
mashlahah al-mursalah secara mutlak sebagai dalil atau sumber hukum Islam banyak. Praktek
para sahabat Nabi Saw yang secara tidak langsung telah menggunakan al-mashlahah al-
mursalah sebagai pijakan. Di antaranya adalah mengenai kodifikasi al-Qur’an dalam satu
mushaf. Hal ini dilakukan karena khawatir al-Qur’an lambat laun akan hilang. Upaya yang
dilakukan para sahabat tersebut jelas tidak dikenal pada masa Nabi Saw dan justru dilakukan
karena semata-mata demi kemaslahatan.

Dalil lain adalah Khulafa’ al-Rasyidin menetapkan keharusan ganti rugi pada para
tukang menurut hukum asal kekuasaan para tukang didasarkan atas kepercayaan (amanah)
yang diberikan pada mereka. Ketetapan ini diambil karena jika para tukang tidak dibebani
tanggung jawab semacam itu, mereka justru akan berbuat ceroboh dan tidak memenuhi
kewajiban menjaga harta orang lain yang berada di bawah tanggung jawabnya. Masih banyak
lagi contoh-contoh lain yang telah dilakukan oleh para sahabat terkait masalah ini. Mashlahah
sesuai dengan maqashid al-syari’ah.

Hal ini berarti bahwa mengambil mashlahah berarti sama dengan merealisasikan
maqashid al-syari’ah. Sebaliknya dengan mengesampingkan mashlahah berarti sama halnya
dengan mengesampingkan maqashid al-syari’ah, padahal hal tersebut adalah batal adanya.
Oleh karena itu, wajib hukumnya menggunakan mashlahah atas dasar bahwa itu adalah
sumber hukum pokok yang berdiri sendiri dan tidak keluar dari ushul (sumber-sumber
pokok), bahkan terdapat adanya sinkroni sasi antara mashlahah dan maqashid al-syari’ah.
Jika mashlahah tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung kemaslahatan, selama
berada dalam konteks syar’iyyah,maka orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan
kesempitan dalam banyak hal.

15 Banyak sekali ayat al-Qur’an yang menyinggung bahwa syari’at datang untuk
kemaslahatan manusia dan kemudahan bagi mereka, seperti QS. al-Hajj: 78, QS. al-Anbiya’:

107, QS. al-Baqarah: 185 dan QS. al-Nisa’: 28.


Para ulama yang mengatakan bahwa al-mashlahah al-mursalah dapat dijadikan dalil hukum
Islam juga menetapkan berbagai persyaratan operasional atas implementasinya, sehingga
terhindar dari hawa nafsu. Mashlahah itu berupa kemaslahatan yang hakiki dan bukan
kemaslahatan semu. Artinya penetapan hukum syara’ harus benar-benar dilakukan secara
nyata dan menarik kemanfaatan serta menolak ke-madharat-an. Jika hanya didasarkan bahwa
penetapan hukum tersebut mungkin mendatangkan kemanfaatan tanpa membandingkan
dengan sisi madharat-nya, maka hal itu berarti kemanfaatan semu.

16 Mashlahah harus berupa kemaslahatan umum, bukan pribadi. Artinya, penetapan


hukum syara’ tersebut dapat menarik manfaat bagi mayoritas umat manusia dan menolak
madharat dari mereka, bukan perorangan atau bagian kecil dari mereka. Penetapan hukum
untuk kemaslahatan ini tidak boleh bertentangan dengan hukum atau dasar yang ditetapkan
dengan nash atau ijma’. Pendapat kedua adalah menolak mashlahah secara mutlak. Pendapat
ini dianut mayoritas ushuliyin, termasuk mayoritas Hanafiyah.

11
17 dan Syafi’iyah serta Ahl al-Dzahir. Mereka menolak kehujjahan al-mashlahah al-
mursalah. Secara teoritis, Abu Hanifah dalam berbagai kajian disebut tidak memakai al-
istishlah sebagai dalil hukum, namun memakai al-istihsan. Seperti halnya faqih Irak, Abu
Hanifah menganggap bahwa al-istishlah adalah bagian dari al-istihsan yang berdasarkan
kepada adat, kepentingan dan kemaslahatan. Jadi mereka mengakui hanya ber-hujjah dengan
al-istihsan dan al-‘urf (adat). Al-Qadhi Abu Bakar al-Baqilani, dalam menolak al-mashlahah
al-mursalah, memberikan argumentasi bahwa istidlal al-mursal (al-mashlahah al-mursalah),
jika dilakukan, maka akan menjadikan syariah sebagai sesuatu yang “relatif” dalam benak
manusia, tanpa melihat kepada syariah itu sendiri, padahal Nabi Saw diutus untuk menyeru
manusia agar mengikuti melalui hadits-nya, baik yang tersurat atau tersirat, yang
mengandung mashlahah.

Jika sesuatu pada awalnya telah dijelaskan, namun tidak bisa dipahami, maka kegunaan
Allah Swt mengutus Nabi Saw menjadi dipertanyakan.18 Jika seseorang ber-istidlal atau
berhujjah menggunakan al-mashlahah al-mursalah dibenarkan, berarti sama halnya dengan
membenarkan seseorang membuat syariat yang sesungguhnya, karena membuat hal baru
tanpa bersandar pada syara’ padahal Nabi Saw adalah utusan terakhir, maka penjelasan syara’
setelah Nabi Saw wafat juga menjadi pertanyaan tersendiri. Jika al-mashlahah al-mursalah
diikuti, maka akan menyebabkan perubahan hukum sesuai perubahan personal, waktu dan
kesempatan karena perbedaan kemaslahatan.

Hal ini akan menghilangkan stabilitas hukum syara’ karena justru membuat syariat baru
tanpa bersandar kepada hukum Allah Swt, padahal ini semua muhal adanya. Penolakan al-
Qadhi di atas lebih ditekankan kepada kekhawatiran jika istidlal dengan al-mashlahah al-
mursalah dibenarkan akan memberikan ruang pada keinginan hawa nafsu dalam menetapkan
hukum sehingga menyebabkan perubahan hukum dan pengabaian nash. Namun bagi pihak
yang berhujjah dengan al-mashlahah al-mursalah, seharusnya berhati-hati dalam
menggunakan, yaitu ketika tidak ditemukan nash yang dapat dijadikan sandaran sehingga
tidak akan terjadi ta’arud antara nash dan mashlahah. Namun dalam diskursus keilmuan usul
fiqh, terdapat pendapat yang dinilai mengasumsikan kemungkinan terjadinya ta’arud antara
nash dan maslahah.

Pendapat ini diajukan oleh Najm al-Din al-Thufi. Menurut al-Thufi, jika terjadi ta’arud
antara nash dan maslahah, maka maslahah harus diprioritaskan. Al-Thufi melangkah lebih
jauh dari pada madzhab Maliki yang berusaha melakukan kompromi antara nash dan
maslahah. Al-Thufi menjadikan al-maslahah sebagai landasan atas dasar hukum lainnya
secara total, seperti al-Qur’an, hadits, qiyas, ijma’ dan lainnya. Secara spesifik al-Thufi
menyatakan bahwa perbedaan konsep al-maslahah-nya dengan madzhab Maliki adalah al-
Thufi bersandar pada nash dan ijma’ dalam persoalan-persoalan ibadah dan yang telah
ditakdirkan, sedangkan al-maslahah diberlakukan pada mu’amalat dan hukum yang lain.

19 Jika dilakukan pengamatan mendalam atas pihak yang pro dan kontra akan ditemukan
titik temu bahwa perbedaan persepsi tersebut hanya perbedaan secara lafzhi (bahasa). Titik
temunya adalah operasionalisasi al-mashlahah al-mursalah bagi pendukungnya hanya pada
kasus yang tidak ada nash hukumnya. Pendapat ketiga adalah menerima dengan beberapa

12
syarat, yaitu jika al-mashlahah tersebut memiliki kesesuaian (mula’imah) dengan dalil ashl
kulli dari ushul al-syari’ah atau ashl juz’i. Jika tidak terdapat kesesuaian, maka tidak dapat
digunakan. Pendapat ini sebagaimana dikatakan oleh Ibn al-Burhan dalam al-Wajiz, dipilih
oleh al-Syafi’i dan pemuka ashab Abu Hanifah.

20 Pendapat yang menerima mashlahah jika terkait dengan kemaslahatan dengan kriteria
dharuriyah, qath’iyah dan kulliyah.Maksudnya adalah al-maslahah tersebut berkaitan dengan
kemaslahatan primer, yaitu mencakup lima hal pokok (al-kulliyat al-khamsah) dan bersifat
menyeluruh pada semua obyek dan keadaan.

Pendapat ini dianut oleh Imam al-Ghazali dan Imam al-Baidhawi. Al-Ghazali
mencontohkan hal ini dengan pilihan untuk membunuh tawanan muslim yang berada dalam
tawanan pasukan kafir yang dijadikan tameng oleh mereka demi menjaga keselamatan jiwa
kaum muslim lainnya. Pilihan membunuh tawanan muslim tersebut berdasar pada
kemaslahatan yang bersifat dharuriyah, qath’iyah serta kulliyah dengan pertimbangan
kemaslahatan di dalamnya lebih mendekati maksud syara’ yaitu menyedikitkan korban
pembunuhan seperti halnya menghindari pembunuhan dalam keadaan memungkinkan. Jika
tidak ada unsur menghindari secara penuh maka setidaknya harus menyedikitkan korban.

Persyaratan al-Ghazali yang sangat ketat tersebut dinilai oleh al-Qurthubi sangat sulit
terwujud sehingga al-Ghazali dikategorikannya sebagai orang yang menolak al-mashlahah al-
mursalah. Berdasakan berbagai pendapat di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa
sebetulnya antara pihak yang pro dan kontra dalam penggunaan al-mashlahah al-mursalah
terdapat titik temu yakni pihak yang kontra tidak sepenuhnya menolak al-mashlahah al-
mursalah. Artinya mereka dapat menerima al-mashlahah al-mursalah sebagaimana pihak
yang pro, namun dengan catatan al-mashlahah tersebut harus dapat diketegorikan sebagai al-
mashlahah yang dikehendaki syara’ untuk dipelihara, bukan berdasarkan hawa nafsu dan akal
semata.

C. Pandangan Ulama tentang Istishab


Ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab merupakan hujjah mempertahankan dan
bukan untuk menetapkan apa-apa yang dimaksud oleh mereka. Dengan pernyataan tersebut
jelaslah bahwa istishhab merupakan ketetapan sesuatu, yang telah ada menurut keadaan
semula dan juga mempertahankan sesuatu yang berbeda sampai ada dalil yang menetapkan
atas perbedaanya.

Berbeda dengan jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliah,Zhahiriyyah, dan


Syi’ah memandang istishhab dapat dijadikan dalil hukum secara mutlak. Maka bagi jumhur
ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya yang ada pada masa lalu yang muncul
setelah hilangnya. Mayoritas ulama kalam menolak istishhab sebagai hujjah syariat, karena
suatu yang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yang
diterapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama muta’akhirin
,Hanafiyyah berpendapat, istishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukumyang
telah ada pada masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belum ada

13
sebelumnya, misalnya orang hilang hanya dapat menerima haknya pada masalalu, tetapi tidak
dapat menerimanya setelah ia hilang.

Telah masyhur bahwa istishhab itu adalah hujjah pada posisi Syafi’i dan tidak hujjah, pada
sisi Hanafi. Jadi pada madzab Hanafi, orang yang syak tentang wudlu yaitu, wajiblah dia
berwudlu.

Istishhab bukanlah hujjah untuk menetapkan sesuatu yang tidak tetap. Telah dijelaskan
tentang penetapan orang yang hilang atau tidak diketahui tempat tinggalnya dan tempat
kematiannya, bahwa orang tersebut ditetapkan tidak hilang dan dihukumi sebagai orang
hidup sampai adanya petunjuk yang menunjukkan kematiannya.

Istishab-lah yang menunjukkan atas hidupnya orang tersebut dan menolak kematiannya serta
warisan harta bendanya juga pernikahannya. Tetapi hal itu bukanlah hujjah untuk
menetapkan pewaris dari lainnya, karena hidup yang ditetapkan menurut istishhab itu adalah
hidup yang didasarkan pengakuan.

Ulama mazhab Hanafi dan Maliki menganggap orang berpegang pada Istishhab seperti
Mu’taridh (menolak) perubahan. Karenanya, ia tidak bisa menerima hak-hak baru. Namun
hak-hak yang lama masih tetap berada ditangannya. Sedangkan ulama mazhab Syafi’I dan
Hanbali menjadikan Istishab sebagai dalil Mu’aridh (yang melawan) dan menetapkan, yang
tidak hanya menentang belaka.

14
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ihtisan

Secara etimologi istihsan berarti “menyatakan dan menyakini baiknya sesuatu.” Secara
terminologi imam al-Sarakhsi (w.483. H/1090M ahli ushul fiqih Hanafi) menyatakan.
“Istihsan itu berarti meninggalkan qiyas dan mengamalkan yang lebih kuat dari itu, karena
adanya dalil yang menghendakinya serta lebih sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.”

Al Maslahah al mursalah

Secara etimologi mashlahah sama dengan manfaat, baik dari segi lafal maupun makna.
Maslahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Imam Ghozali
mengemukakan bahwa pada prinsipnya mashlahah adalah mengambil manfaat dan menolak
kemudharatan dalam rangka memelihara tujuan syara’.

Istishab

Secara etimologi istishab berarti “minta bersahabat” atau “membandingkan sesuatu dan
mendekatkannya” secara terminologi imam as-Syaukani didalam kitabnya irsad al-
fuluh mrengemukakan bahwa istishab adalah “dalil yang mengandung tetapnya suatu perkara
selama tidak ada sesuatu yang mengubahnya.

B. Saran

Dengan terciptanya makalah ini semoga kita bisa lebih memahami tentang istihsan, maslahah
al-mursalah dan istishab, sebagai salah satu metode untuk memecahkan masalah yang tidak
ada pada sumber al-Qur’an dan Hadits, dan mudah-mudahan makalah ini bisa bermanfaat
khususnya bagi pemakalah dan bagi kita semua. Amiin.

15

Anda mungkin juga menyukai