Anda di halaman 1dari 17

BAGIAN ILMU PSIKIATRI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN DESEMBER 2019


UNIVERSITAS PATTIMURA

Post Traumatic Stress Disorder

Oleh
Achmad Kifran Umar Sahupala
(2015-83-004)

Pembimbing
dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN ILMU PSIKIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat guna
penyelesaian tugas kepaniteraan klinik pada bagian Psikiatri dengan judul “Post
Traumatic Stress Disorder”.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak yang telah terlibat
untuk penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:
1. dr. Sherly Yakobus, Sp. KJ., selaku dokter spesialis pembimbing referat, yang
membimbing penulisan referat ini sampai selesai.
2. Orangtua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat
diwaktu yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Desember 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................ i
KATA PENGANTAR.............................................................................................. ii
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2. Tujuan ............................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi .............................................................................................. 3
2.2. Epidemiologi ..................................................................................... 4
2.3. Etiologi .............................................................................................. 4
2.4. Fakto Predisposisi ............................................................................. 4
2.5. Patofisiologi ...................................................................................... 5
2.6. Gambaran Klinis ............................................................................... 6
2.7. Diagnosis ........................................................................................... 7
2.8. Tatalaksana ....................................................................................... 10
BAB III PENUTUP
Kesimpulan ............................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................... 13

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Setelah mengalami traumatis, normal untuk merasa takut, sedih dan cemas.
Tetapi, apabila keadaan tersebut tidak hilang dan merasa terjebak dengan perasaan
yang menetap terhadap bahaya dan kenangan yang menyakitkan, mungkin orang
tersebut menderita Post Traumatic Stress Disorder (PTSD). Hal ini dapat tampak
seperti tidak akan pernah melupakan apa yang terjadi. Post Traumatic Stress
Disorder atau gangguan stres pasca trauma adalah gangguan kecemasan yang dapat
terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit
dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan
terancam.1,2
Gangguan Stres Pasca Trauma masih menjadi masalah dalam bidang psikiatri
dengan prevalensi gangguan stress pasca trauma berdasarkan penelitian di Amerika
Serikat menunjukkan bahwa prevalensi sepanjang waktu untuk kasus ini (life time
prevalence) berkisar antara 2,5-8,3% dengan usia awitan rata-rata adalah 23 tahun.
Kebanyakan orang mengasosiasikan PTSD dengan pertempuran tentara dan
militer adalah penyebab paling umum pada pria. Tetapi setiap pengalaman hidup
yang luar biasa dapat memicu PTSD, terutama jika peristiwa tersebut tidak terduga
dan tidak terkendali. PTSD dapat mempengaruhi penderita secara pribadi mengalami
bencana, mereka yang menyaksikannya, dan orang-orang yang mengalami sebagian
dari pasca peristiwa tersebut, termasuk pekerja darurat dan aparat penegak hukum.
PTSD berkembang secara berbeda dari orang ke orang.1
Sedangkan gejala PTSD paling sering timbul dalam hitungan jam atau hari pasca
peristiwa traumatis, kadang-kadang dapat muncul setelah beberapa minggu, bulan,
atau bahkan bertahun – tahun. Untuk mendiagnosis PTSD, gejala harus bertahan lebih
dari 1 bulan pasca peristiwa traumatis dan sangat berpengaruh terhadap
kehidupannya, seperti keluarga dan pekerjaan. Secara umum orang dengan gangguan

1
stress pasca trauma akan datang ke dokter dengan gejala-gejala depresi, ide-ide bunuh
diri, penarikan diri dari lingkungan sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan
alkohol/zat adiktif lainnya serta berbagai keluhan fisik yang lainnya (misalnya nyeri
kronik, irritable bowel symptoms,dll).1

1.2. Tujuan
Untuk mengetahui gangguan stress pasca trauma dengan lebih baik mulai dari
definisi, etiologi hingga gejala yang ditimbulkan, serta penanganan yang diberikan
pada pasien dengan gangguan stress pasca trauma

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi1
Gangguan stress pasca trauma (post traumatic stress disorder–PTSD) adalah
suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau
mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut
dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan
kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu. Pengertian
lain dari PTSD adalah kecemasan patologis yang umumnya terjadi setelah seseorang
mengalami atau menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa
orang tersebut. Pengalaman traumatik ini dapat berupa:3,4
1. Trauma yang disebabkan oleh bencana seperti bencana alam (gempa bumi,
banjir, topan), kecelakan, kebakaran, menyaksikan kecelakaan atau bunuh
diri, kematian anggota keluarga atau sahabat secara mendadak.
2. Trauma yang disebabkan individu menjadi korban dari interperpersonal attack
seperti: korban dari penyimpangan atau pelecehan seksual, penyerangan atau
penyiksaan fisik, peristiwa kriminal (perampokan dengan kekerasan),
penculikan, menyaksikan perisiwa penembakan atau tertembak oleh orang
lain.
3. Trauma yang terjadi akibat perang atau konflik bersenjata seperti: tentara
yang mengalami kondisi perang, warga sipil yang menjadi korban perang atau
yang diserang, korban terorisme atau pengeboman, korban penyiksaan
(tawanan perang), sandera, orang yang menyaksikan atau mengalami
kekerasan.
4. Trauma yang disebabkan oleh penyakit berat yang diderita individu seperti
kanker, rheumatoid arthritis, jantung, diabetes, renal failure, multiple
sclerosis, AIDS dan penyakit lain yang mengancam jiwa penderitanya.

3
2.2. Epidemiologi
Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan
prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum. Pada kelompok resiko tinggi
yang mengalami peristiwa traumatis angka prevalensi seumur hidupnya 5-75%.
Prevalensi seumur hidup perempuan 10-12% dan 5-6% pada laki-laki. Di Amerika
Serikat, gambaran resiko untuk menderita PTSD sepanjang hidup menggunakan
DSM–IV dengan kriteria 75 tahun adalah 8,7%. Prevalensi selama 12 bulan diantara
orang tua di AS sekitar 3,5%. Perkiraan lebih rendah dapat dilihat di Eropa dan
sebagian besar Asia, Afrika, dan negara-negara Amerika Latin dikelompokkan sekitar
0,5% - 1,0%.5

2.3. Etiologi
Stresor dapat timbul berupa trauma peristiwa tunggal yang mendadak atau
trauma kronis atau terus menerus seperti penyiksaan fisik atau seksual. Stresor dapat
timbul dari pengalaman perang, penyiksaan, bencana alam, penyerangan, perkosaan,
dan kecelakaan serius. Meskipun demikian, tidak setiap orang mengalami gangguan
ini setelah peristiwa traumatik, ada pertimbangan faktor psikososial dan biologis yang
sebelumnya ada dan peristiwa sebelum dan sesudah trauma, serta arti subjektif suatu
stresor pada seseorang.3

2.4. Faktor Predisposisi


Beberapa faktor predisposisi bagi seorang individu untuk mengalami stress pasca
trauma adalah:
a. adanya gangguan psikiatrik sebelum trauma baik pada individu yang
bersangkutan maupun keluarganya.
b. adanya trauma masa kanak, seperti kekerasan fisik dan seksual.
c. kecenderungan untuk mudah menjadi khawatir

4
d. ciri kepribadian ambang, paranoid, dependent atau antisosial
e. mempunyai karakter yang introvert atau isolasi sosial; adanya problem berupa
kesulitan untuk menyesuaikan diri.
f. adanya kebutuhan emosional yang terus menerus dan tidak terpenuhi secara
bermakna.
g. terpapar oleh kejadian kejadian dalam kehidupan yang luar biasa yang
sebelumnya baik tunggal maupun ganda dan dirasakan secara subjektif oleh
individu yang bersangkutan sebagai suatu kondisi atau peristiwa yang
menimbulkan penderitaan bagi dirinya.

2.5. Patofisiologi
Gejala-gejala gangguan stress pasca trauma timbul sebagai akibat dari respons
biologik dan juga psikologik seseorang individu. Kondisi ini terjadi oleh karena
aktivitasi dari beberapa sistem di otak yang berkaitan dengan timbulnya perasaan
takut pada seseorang. Terpaparnya seseorang oleh peristiwa yang traumatik akan
menimbulkan respons takut sehingga otak dengan sendirinya akan menilai kondisi
keberbahayaan peristiwa yang dialami, serta mengorganisasi suatu respons perilaku
yang sesuai. Dalam hal ini, Amigdala merupakan bagian otak yang sangat berperan
besar. Amigdqala akan mengaktivasi beberapa neurotransmitter serta bahan-bahan
neurokimiawi di otak jika seseorang menghadapi peristiwa traumatik yang
mengancam nyawa sebagai respons tubuh untuk mengahdapi peristiwa tersebut.
Dalam waktu beberapa milidetik setelah mengalami peristiwa tersebut, amigdala
dengan segera akan bereaksi dengan memberikan stimulus berupa tanda darurat
kepada:4,6
a. Sistem saraf simpatis (katekolamin)
b. Sistem saraf parasimpatis
c. Aksis hipotalamus-hipofisis-kelenjar adrenal (aksis HPA)
Akibat dari perangsangan pada sistem saraf simpatis segera setelah mengalami
peristiwa traumatik, maka akan terjadi peningkatan denyut jantung dan tekanan

5
darah. Kondisi ini disebut’flight or fight reaction’. Reaksi ini juga akan
meningkatkan aliran darah dan jumlah glukosa pada otot-otot skletal sehingga
membuat seseorang sanggup untuk berhadapan dengan peristiwa tersebut atau jika
mungkin memberikan reaksi interaktif terhadap ancaman yang optimal. Reaksi sistem
saraf simpatis pada beberapa jaringan tubuh, namun respons ini bekerja secara bebas
dan tidak berkaitan dengan respons yang berkaitan oleh sistem saraf simpatis. Aksis
HPA juga akan terstimulasi oleh beberapa neuropeptida otak pada waktu orang
berhadapan dengan peristiwa traumatik. Hipotalamus akan mengeluarkan Cortico-
Releasing Factor (CFR) dan beberapa neuropeptida regulator lainnya, sehingga
kelenjar hipofisis akan terangsang dan mensekresi pengeluaran adenocorticotropic
hormone (ACTH) yang akhirnya menstimulasi pengeluaran hormon kortisol dari
kelenjar adrenal.4,6
Jika seseorang mengalami tekanan maka tubuh secara alamiah akan
meningkatkan pengeluaran katekolamin dan hormon kortisol; pengeluaran ke dua zat
ini tergantung pada derajat tekanan yang dialami oleh individu. Katekolamin berperan
dalam menyediakan energi yang cukup dari beberapa organ vital tubuh dalam
bereaksi terhadap tekanan tersebut. Hormon kortisol berperan dalam menghentikan
aktivasi sistem saraf simpatik dan beberapa sistem tubuh yang bersifat defensif tadi
yang timbul akibat dari peristiwa traumatik yang dialami oleh individu tersebut.
Dengan kata lain, hormon kortisol berperan dalam proses terminasi dari respons
tubuh dalam menghadapi tekanan. Peningkatan hormon kortisol akan menimbulkan
efek umpan balik negatif pada aksis HPA tersebut.4,6

2.6. Gambaran Klinis


Gambaran klinis dari PTSD adalah mengingat kembali suatu peristiwa yang
traumatik, sehingga tampak dengan sengaja menghindari berbagai situasi atau kondisi
yang akan mengingatkannya akan peristiwa tersebut, terlihat dengan hilangnya emosi,
serta keadaan terus terjaga yang cukup konstan. Penderita umumnya datang dengan
keluhan berupa gejala-gejala depresi, ide bunuh diri, penarikan diri dari lingkungan

6
sosialnya, kesulitan tidur, penyalahgunaan alkohol/zat adiktif lainnya, serta keluhan
fisik yang lainnya (misalnya nyeri kolik, irritable bowel symptoms, dll).
Pemeriksaan status mental sering mengungkapkan rasa bersalah, penolakan, dan
cemooh. Pasien juga dapat menggambarkan keadaan disosiatif dan serangan panik,
serta ilusi dan halusinasi. Uji kognitif menunjukkan hendaya memori dan perhatian.
Karakteristik dari peristiwa traumatik yang dialami juga dapat mempengaruhi reaksi
psikologis yang akan terjadi, seperti:3,7
a. Durasi dan intensitas dari stresor yang dialami,
b. Derajatnya dalam kaitan dengan ancaman terhadap ancaman terhadap
kehidupan seseorang,
c. Berat ringannya kehilangan yang dialami (baik material maupun personal),
d. Perilaku korban yang selamat pada waktu menghadapi peristiwa traumatik
tersebut, misalnya apakah ia juga menyelamatkan orang lain pada saat
kejadian atau dia hanya menyelamatkan diri sendiri.

2.7. Diagnosis
Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan DSM IV-TR
adalah sebagai berikut:
a. Individu pernah terpapar dengan peristiwa traumatic berupa;
1. Individu mengalami, menjadi saksi mata atau berhadapan langsung dengan
satu kejadian atau beberapa kejadian yang mengerikan atau mengancam
kehidupan atau kecelakaan yang serius, atau ancaman terhadap integritas
fisik diri sendiri atau orang lain.
2. Respon dari individu yang terlibat dalam peristiwa yang sangat
mengerikan, keputusasaan atau ketakutan yang luar biasa. Catatan; pada
anak, kondisi ini mungkin ditunjukan oleh adanya perilaku yang
disorganisasi atau agitasi.

7
b. Pengalaman peristiwa traumatic selalu timbul berulang dalam salah satu
bentuk dibawah ini;
1. Adanya bayangan, pikiran atau persepsi yang berkaitan dengan peristiwa
traumatic yang timbul secara berulang dan menyebabkan penderitaan bagi
individu yang bersangkutan. Bagi anak, seringkali kondisi ini diekspresikan
melalui pola bermain yang bertemakan peristiwa traumatic yang
dialaminya.
2. Adanya mimpi-mimpi buruk berulang yang menimbulkan penderitaan bagi
individu. Pada anak kondisi ini seringkali beruoa timbulnya mimpi buruk
tanpa dikenali isi dari mimpi-mimpinya itu.
3. Berperilaku atau berperasaan seolah-olah peristiwa traumatic yang dialami
itu terjadi kembali (termasuk ilusi, halusinasi, dan episode disosiatif yang
bersifat flashback.
4. Adanya penderitaan psikologis jika berhadapan dengan hal-hal atau
symbol-simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik
sebagian atau seluruhnya secara internal maupun eksternal.
5. Adanya reaksi fisiologis jika berhadapan dengan hal-hal atau symbol-
simbol yang berkaitan dengan aspek peristiwa traumatic baik sebagian atau
seluruhnya secara internal maupun eksternal.
c. Adanya perilaku penghindaran yang menetap terhadap stimulus-stimulus yang
berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialami dan disertai dengan respon
emosi yang membeku secara keseluruhan (tidak dijumpai sebelum trauma
terjadi), yang ditunjukkan 3 atau lebih gejala dibawah ini;
1. Adanya usaha untuk menghindari pikiran-pikiran, perasaan, atau
pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic yang dialaminya
2. Adanya usaha untuk menghindari aktivitas, tempat-tempat atau orang-
orang yang membangkitkan ingatan-ingatan tentang peristiwa traumatic
yang dialaminya.

8
3. Kesulitan untuk mengingat kembali aspek-aspek penting yang berkaitan
dengan peristiwa traumatic yang dialaminya
4. Penurunan yang jelas akan ketertarikan atau partisipasi dalam aktivitas-
aktivitas
5. Merasa asing atau merasa terpisah dari lingkungan atau orang-orang
disekitarnya
6. Adanya ekspresi afektif yang terbatas, misalnya tidak mampu lagi
merasakan perasaan dicintai
7. Kehilangan motivasi untuk membina masa depannya, misalnya tidak
memiliki keinginan lagi untuk mengembangkan karier, hidup perkawinan,
mengasuh anak-anak dalam aktivitas sehari-harinya lainnya.
d. Adanya gejala yang menetap dari peningkatan kewaspadaan (tidak dijumpai
selama mengalami peristiwa traumarik), yang ditandai oleh 2 atau lebih gejala
dibawah ini;
1. Kesulitan untuk tidur atau jatuh tertidur
2. Iritabilitas atau mudah mengalami ledakan kemarahan
3. Kesulitan berkonsentrasi
4. Hypervigilance
5. Respon yang kacau dan tidak terkendali
e. Durasi dari gejala-gejala dalam kriteria 2, 3, 4 berlangsung lebih dari 1(satu)
bulan
f. Gejala-gejala diatas jelas menimbulkan penderitaan atau hendaya dalam
fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi-fungsi lainnya
Spesifikasi:
1. Akut: jika durasi dari gejala-gejala kurang dari tiga bulan
2. Kronik: jika durasi gejala-gejala berlangsung 3 bulan atau lebih
3. Dengan awitan lambat: jika awitan dari gejala-gejala terjadi paling lambat
6 bulan setelah mengalami peristiwa traumatic.

9
Kriteria diagnosis dari gangguan stress pasca trauma berdasarkan PPDGJ
III (F43.1) adalah sebagai berikut;
1. Diagnosis ditegakkan bilamana gangguan ini timbul dalam kurun waktu 6
bulan setelah kejadian traumatic berat (masa laten yang berkisar antara
beberapa mingggu sampai beberapa bulan, jarang sampai melampaui 6
bulan). Kemungkinan diagnosis masih dapat ditegakkan apabila
tertundanya waktu mulai saat kejadian dan awitan gangguan melebihi
waktu 6 bulan, asal saja manifestasi klinisnya adalah khas dan tidak didapat
alternative kategori gangguan lainnya
2. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan bayang-bayang
atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang
kembali (flashback)
3. Gangguan otonomik, gangguan afek dan kelainan tingkah laku semuanya
dapat mewarnai diagnosis tetapi tidak khas
4. Suatu ‘sequelae’ menahun yang terjadi lambat setelah stress yang luar
biasa, misalnya saja beberapa puluh tahun setelah trauma diklasifikasikan
dalam kategori F62.0 (perubahan kepribadian yang berlangsung lama
setelah mengalami katastrofa)

2.8. Tatalaksana
Tatalaksana gangguan stress pasca trauma diharapkan dalam bentuk yang
komprehensif, meliputi pemberian medikasi dan psikoterapi serta edukasi, dukungan
psikososial, Teknik untuk meredakan kecemasan dan juga modifikasi pola hidup,
edukasi sangat penting karena merupakan suatu bentuk pendekatan untuk membantu
pasien mengerti adanya perubahan-perubahan yang terjadi di dalam fungsi diri pasien
baik secara fisik maupun psikis sebagai dampak dari peristiwa traumatic yang
dialami, baik adaptif ataupun maladaptive.8,9

2.8.1. Psikofarmakologi

10
Medikasi yang terbukti bermanfaat untuk mengatasi kasus ini adalah
pemberian antidepresan golongan SSRI (Penghambat selektif dari ambilan
serotonin/SSRI) seperti Fluoxetin 10-60 mg/hr, Sertralin 50-200 mg/hr atau
Fluvoxamine 50-300 mg/hr. Antidepresan lain yang juga dapat digunakan adalah
amiltriprilin 50-300 mg/hr dan juga Imipramin 50-300 mg/hr.9

2.8.2. Psikoterapi
Pendekatan psikoterapi setelah mengalami peristiwa traumatis harus
bersamaan dengan edukasi dan pembetukan mekanisme koping serta penerimaan
terhadap peristiwa yang dialami. Ketika mengalami gangguan PTSD dapat dilakukan
dua pendekatan yaitu membayangkan peristiwa traumatis untuk meningkatkan
mekanisme koping. Pendekatan kedua yaitu penatalaksanaan stress yang dialami
dengan teknik relaksasi dan pendekatan kognitif. Terapi individual, terapi kelompok
dan terapi keluarga juga efektif dalam penatalaksanaan PTSD.8,10
Penatalaksanaan dengan psikoterapi lainnya yang dapat digunakan untuk
penderita PTSD antara lain, Cognitive Behavioral Therapy (CBT), Prolonged
Exposure, Stress inoculation Training, Imagery Rehearsal Therapy (IRT), CPT,
EMDR, Physchodinamic therapy, Hypnosis dan Debriefing. Penatalaksanaan
psikoterapi tersebut menggunakan pendekatan fungsi kognitif pasien untuk
mengurangi gejala yang terjadi pasca trauma.10
Berdasarkan rekomendasi dari The Expert Consensus Panels for PTSD,
tatalaksana gangguan stress pasca trauma sebaiknya mempertimbangkan beberapa
aspek di bawah ini;
1. Gangguan stress pasca trauma merupakan suatu gangguan yang kronik dan
berulang serta sering berkormobiditas dengan gangguan jiwa serius
lainnya.
2. Antidepresan golongan penghambat selektif dari ambilan serotonin/SSRI
merupakan obat pilihan pertama untuk kasus ini
3. Terapi yang selektif harus dilanjutkan paling sedikit 12 bulan

11
4. Exposure therapy merupakan terapi dengan pendekatan psikososial terbaik
yang dianjurkan dan sebaiknya dilanjutkan selama bulan

BAB III
KESIMPULAN

Gangguan stress pascatrauma (posttraumatic stress disorder–PTSD) adalah


suatu sindrom yang timbul setelah seseorang melihat, terlibat didalam, atau
mendengar stresor traumatik yang ekstrim dan bereaksi terhadap pengalaman tersebut
dengan rasa takut dan tidak berdaya, sehingga mereka secara menetap menghidupkan
kembali peristiwa tersebut, dan mencoba menghindari mengingat hal itu.
Insiden menderita PTSD sepanjang hidup diperkirakan sekitar 9-15% dan
prevalensi seumur hidupnya sekitar 8% populasi umum.PTSD dapat terjadi pada usia
berapapun dengan prevalensi tersering dewasa muda akibat pajanan situasi
penginduksi. Perempuan lebih beresiko mengalami gangguan stres pasca trauma,
meskipun pemaparan kejadian traumatik lebih sering pada laki-laki, terdapat
penurunan fungsi untuk menyelesaikan tugas pada pasien dengan gangguan ini, yang
berpengaruh pada activity daily living, yaitu terputusnya social group, karena pasien
merasa hubungan sosial diantaranya merenggang, yang menghambat proses
pemulihan.
Peristiwa ini menyebabkan reaksi ketakutan, tak berdaya. Stresor adalah
penyebab utama terjadinya gangguan stres pasca trauma. Stresor berupa kejadian

12
yang traumatis misalnya akibat perkosaan, kecelakaan yang parah, kekerasan pada
anak atau pasangan, bencana alam, perang, atau dipenjara. Penatalaksanaan gangguan
stres pasca trauma dapat dilakukan dengan psikoterapi dan farmakoterapi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Melinda Smith MA and Jeanne Segal, Ph. D. Post – Traumatic Stress


Disorder (PTSD). [Updated March 2014, Cited May 5th 2014]. Available
from:
http://helpguide.org/mental/post_traumatic_stress_disorder_symptoms_treatm
ent.htm
2. American Psychological Association. Post – Traumatic Stress Disorder.
[Updated 2014, Cited May 5th 2014]. Available
from:https://www.apa.org/topics/ptsd/index.aspx
3. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia Alcott. Kaplan & Sadock’s
Synopsis of Psychiatry: Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. 10th ed.
USA: Lippincott Williams & Wilkins; 2007.
4. Davison, Neale JM, Kring AM. Psikologi abnormal. Ed 9. Jakarta: Rajawali
Pers; 2012.
5. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorders. 5th ed. USA: American Psychiatric Publishing; 2013.
6. Maslim R. Buku saku diagnosis gangguan jiwa PPDGJ III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2001.

13
7. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri UI. Edisi Kedua. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;
2013.
8. Rauch SAM, Cigrang J, Austern D et al. Expanding the reach of effective
PTSD treatment into primary care: prolonged exposure for primary care.
Focus. 2017;15:p.406-410.
9. Obat Anti-psikosis. Editor : Rusdi Maslim. Penggunaan Klinis Obat
Psikotropik (Psychotropic Medication). Edisi 3. Jakarta : Bagian Ilmu
Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya (PT. Nuh Jaya). 2007:14-22.
10. Soewondo S. Modul latihan relaksasi. Jakarta: Lembaga Psikologi Terapan
Universitas Indonesia; 2003.

14

Anda mungkin juga menyukai