Anda di halaman 1dari 26

BAHAN AJAR

MATA KULIAH MENAJEMEN KRISIS

Materi 3 :
MEKANISME KOORDINASI UNTUK IMPLEMENTASI PPAM

1. Mekanisme koordinasi dalam penanggulangan bencana


2. Mekanisme koordinasi sub klaster kesehatan reproduksi
3. Mekanisme koordinasi untuk PPAM di tingkat nasional maupun di tingkat daerah

Dalam kondisi bencana banyak sekali pihak yang terlibat dalam penanganan bencana
sepeti pemerintah, swasta/masyarakat. Apabila bencana berskala besar dapat juga
melibatkan lembaga asing. Untuk itu perlu dipahami mengenai mekanisme koordinasi
PPAM yang ada di Indonesia baik di tingkat nasional maupun di daerah.

Tantanan untuk melakukan koordinasi pada kondisi bencana:


1. Proses yang kompleks
2. Banyak sekali pihak yang terlibat dan bekerja dalam kondisi darurat bencana
3. Bagaimana menyusun program yang efektif dan dapat dipertanggungjawabkan
Proses koordinasi itu seperti melakukan orchestra yang membutuhkan rantai komando
(konduktor) dan komunikasi dengan semua pihak yang terlibat.

1. Mekanisme koordinasi bencana


UU no 24 tahun 2007 tentang manajemen penanggulangan bencana mengatur
tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat
nasional dan pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tingkat
propinsi dan kabupaten. BNPB bertanggung jawab untuk mengkoordinasikan kegiatan
penanggulangan bencana secara umum yang mencakup pencegahan bencana,
penanganan tanggap darurat dan rehabilitasi dan rekonstruksi. Penanganan bencana
dilaksanakan secara berjenjang dengan mempertimbangkan ketersediaan sumber
daya dan kemampuan pemerintah daerah.
2. Mekanisme koordinasi penanggulangan bencana bidang kesehatan
Penanggulangan krisis kesehatan bidang kesehatan menjadi tanggung jawab Pusat
Krisis Kesehatan (PKK) Kementerian Kesehatan, dibawah koordinasi Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat pusat. Pusat Krisis Kesehatan telah
melakukan pendekatan kesiapsiagaan dan mitigasi krisis kesehatan serta bencana di
kabupaten/kota. Untuk mempercepat dan mendekatkan fungsi bantuan pelayanan
kesehatan dalam penanggulangan krisis kesehatan.

Di tingkat pusat, Pusat Krisis Kesehatan sebagai koordinator pada klaster kesehatan
termasuk kesehatan reproduksi. Di tingkat daerah, Dinas Kesehatan Propinsi atau
Kabupaten sebagai koordinator pada klaster kesehatan.

3. Mekanisme Koordinasi untuk PPAM


Penerapan Paket Pelayanan Awal Minimum Kesehatan Reproduksi pada saat
bencana perlu dikoordinir oleh seorang koordinator kesehatan reproduksi.
Koordinator ini berperan penting untuk memastikan ketersediaan pelayanan dan
menghindari kegiatan yang tidak efektif, efisien dan tumpang tindih. Akibat dari
ketiadaan koordinator kesehatan reproduksi di lapangan dapat menyebabkan
penghamburan sumber daya manusia dan material yang tidak diperlukan. Contoh
kasus: tidak adanya koordinator kesehatan reproduksi sesaat setelah gempa di salah
satu daerah. Seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan yang seharusnya
menolong kegawatdaruratan kebidanan berganti tugas mengarahkan mobil parkir
masuk karena banyaknya pasien yang masuk ke rumah sakit tersebut.
Koordinator kesehatan reproduksi adalah ketua dari tim siaga kesehatan
reproduksi yang berada di bawah tim penanggulangan bencana bidang kesehatan dan
bertanggung jawab kepada koordinator tim penanggulangan krisis kesehatan di setiap
jenjang administrasi. Tim siaga kesehatan reproduksi dibentuk di setiap provinsi dan
kabupaten pada saat pra bencana untuk menyusun dan melaksanakan rencana
kesiapsiagaan serta melaksanakan komponen PPAM kesehatan reproduksi pada saat
bencana. Tim siaga ini terdiri dari penanggung jawab komponen kekerasan berbasis
gender, pencegahan penularan HIV, kesehatan maternal dan neonatal serta logistik.
Prinsip Dasar
1. Penanganan bencana dilaksanakan secara berjenjang dengan mempertimbangkan
ketersediaan sumber daya dan kemampuan pemerintah daerah.
2. Dalam hal terjadi bencana, maka tanggung jawab pertama penanganan kesehatan
reproduksi ada pada tim kesehatan reproduksi di tingkat Kabupaten/Kota.
3. Apabila masalah kesehatan reproduksi yang timbul tidak dapat tertangani, tim
siaga kesehatan reproduksi tingkat Kabupaten/Kota melaporkan ke tim siaga
kesehatan reproduksi di tingkat Provinsi dan jika tidak tertangani, tim siaga
kesehatan reproduksi di tingkat Provinsi akan melaporkan ke tim siaga kesehatan
reproduksi tingkat Pusat.
4. Pelaksanaan kegiatan tim siaga kesehatan reproduksi terintegrasi dengan tim
penanggulangan bencana bidang kesehatan.
5. Apabila tim siaga kesehatan reproduksi tingkat Kabupaten/Kota/Provinsi belum
terbentuk, maka tanggung jawab berada pada Dinas Kesehatan
Kabupaten/Kota/Provinsi yaitu unit yang bertanggung jawab untuk Kesehatan
Reproduksi/Kesehatan Ibu dan Anak. Di tingkat Pusat, tim siaga kesehatan
reproduksi berada di bawah Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Subdirektorat Bina
Perlindungan Kesehatan Reproduksi.

Diskusi dengan seorang ibu di tempat pengungsian – Banjir Jakarta 2013


Berdasarkan mekanisme koordinasi PPAM yang telah dijelaskan di atas, maka tenaga
kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan reproduksi dalam kondisi darurat
di lapangan harus berkoordinasi dengan Koordinator Kesehatan Reproduksi yang
berada di Dinas kesehatan tingkat propinsi ataupun di tingkat kabupaten tempat
dimana mereka bekerja.
Materi 5
PENCEGAHAN PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL DAN HIV DALAM
SITUASI BENCANA

Pokok Bahasan
4. Penularan HIV, IMS dan Kekerasan Seksual serta relevansinya dengan situasi darurat
bencana
5. Kewaspadaan Standar
6. Penyediaan Kondom gratis
7. Transfusi darah yang aman
8. Pemantauan penularan IMS/HIV dalam Situasi Bencana

A. Pendahuluan
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan yang cukup besar di
seluruh dunia. IMS/ISR ditemukan di seluruh dunia. Namun, penyebaran dan prevalensi
(umum tidaknya penyakit itu) dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan ekonomi, biologi
serta perilaku. Karena itu beban IMS/ISR sangat beragam antara wilayah yang satu
dengan lainnya dan di antara komunitas satu dengan lainnya. Situasi bencana merupakan
situasi yang tidak pernah dapat diperkirakan sebelumnya. Ketika bencana terjadi
penyebaran infeksi menular seksual sangat mungkin terjadi.
B. Materi

1. PENULARAN INFEKSI MENULAR SEKSUAL (IMS) DAN HIV PADA SITUASI


BENCANA
Infeksi menular seksual (IMS) merupakan masalah kesehatan yang cukup besar
di seluruh dunia. WHO memperkirakan lebih dari 340 juta kasus baru dari dari
empat IMS yang dapat disembuhkan (gonorhoe, chlamydia, syphilis dan
trichomoniasis) terjadi pada 1999. Jika IMS viral (tidak dapat disembuhkan),
seperti Human Papillo-Mavirus (HPV), Herpes Simplex Virus (HSV), Hepatitis B
dan Infeksi HIV disertakan, jumlah kasus baru bisa tiga kali lipat lebih tinggi.
Bagi perempuan, infeksi saluran reproduksi yang ditularkan bukan melalui
hubungan seksual (ISR) seperti infeksi jamur atau bacterial vaginosis, bahkan
lebih umum terjadi.
IMS/ISR ditemukan di seluruh dunia. Namun, penyebaran dan prevalensi
(umum tidaknya penyakit itu) dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial dan
ekonomi, biologi serta perilaku. Karena itu beban IMS/ISR sangat beragam
antara wilayah yang satu dengan lainnya dan di antara komunitas satu dengan
lainnya.
Pada situasi bencana dapat terjadi peningkatan risiko penularan HIV karen
afaktor-faktor sebagai berikut, misalnya:1) kesulitan dalam menerapkan praktik
kewaspadaan standar karena keterbatasan alat dan bahan, 2) terjadinya
peningkatan kasus kekerasan seksual yang berpotensi menularkan HIV, 3)
terjadinya peningkatan risiko transfusi darah yang tidak aman, dan 4) terjadi
hubungan seksual yang tidak aman.

2. PENULARAN HIV
Rute penularan utama HIV adalah seks tak-terlindung, transmisi darah yang
terinfeksi dari ibu ke anak. Sementara mayoritas infeksi pada umumnya adalah
akibat dari seks tak-terlindung, namun proporsi rute transmisi bervariasi
tergantung wilayah.
HIV dapat ditularkan melalui:
1. Melakukan hubungan seksual dengan orang-orang yang terinfeksi HIV
2. Berbagi jarum suntik atau alat tajam lainnya yang terkontaminasi HIV
3. Menerima trasnfusi darah yang terkontaminasi HIV
4. Penularan dari ibu penderita HIV kepada janin/bayi selama kehamilan,
kelahiran atau menyusui

Pencegahan penularan HIV pada situasi krisi kesehatan difokuskan kepada:


1. Petugas kesehatan
2. Penyintas kekerasan seksual
3. Penerima donor darah baik untuk korban luka maupun untuk ibu bersalin
yang mengalami perdarahan
Keterkaitan antara IMS dan HIV
 IMS tertentu memfasilitasi penularan HIV: penderita ulkus genital lebih
mungkin terkena dan menularkan HIV. Chancroid dan sifilis merupakan
bakteri utama penyebab ulkus dan herpes genital merupakan virus yang
menjadi penyebab utama ulkus.
 Keberadaan HIV dapat membuat orang lebih rentan terkena IMS: IMS yang
terkait dengan pengeluaran duh seperti klamidia, gonore dan trikomoniasis
juga memfasilitas penularan HIV. Penyakit-penyakit ini menstimulasi sistem
kekebalan tubuh untuk meningkatkan jumlah sel darah putih yang
merupakan target dan sumber HIV. Selain itu, inflamasi terkait dengan
penyakit dapat menyebabkan kerusakan mikroskopis pada mukosa genital
sehingga menjadi lokasi potensial masuknya HIV.
 Keberadaan HIV meningkatkan keparahan sejumlah IMS dan resistensinya
terhadap terapi.

3. Mengapa mengurangi penularan HIV merupakan prioritas?


Dalam sebagian besar kondisi yang ada, HIV dan Infeksi Menular Seksual lain
menyebar lebih cepat bilamana terdapat kemiskinan, ketidakberdayaan dan
ketidakstabilan, di mana semua itu adalah ciri dari situasi pengungsi internal.
Dalam lingkungan ini, perlu dilakukan segala sesuatu yang memungkinkan untuk
memberi kontribusi pada upaya menghentikan dan meniadakan meningkatnya
infeksi baru.

4. Mengapa resiko penularan HIV meningkat pada situasi bencana?


Infeksi Menular Seksual, termasuk infeksi HIV, jika tidak ditangani atau diperiksa,
dapat meningkat di antara populasi pengungsi internal karena berbagai alasan:
a. Infrastruktur kesehatan yang buruk atau rusak.
b. Pasokan Alat Pelindung Diri (APD) dan bahan habis pakai seperti jarum dan alat-
suntik serta sarung tangan yang bersih, mungkin tidak tersedia di fasilitas
pelayanan kesehatan
c. Tidak ada akses ke kondom.
d. Wanita dan anak-anak dapat dipaksa melakukan hubungan seks berdasarkan
transaksi dalam upaya mendapatkan kebutuhan mereka untuk dapat terus
bertahan hidup.
e. Selama berlangsungnya pergolakan dan pelarian, pengungsi internal, terutama
wanita dan anak-anak, mengalami peningkatan resiko kekerasan seksual,
termasuk perkosaan.
f. Gangguan terhadap masyarakat dan kehidupan keluarga di antara populasi
pengungsi internal dapat merusak norma sosial yang mengatur perilaku
seksual.
g. Anak remaja mulai melakukan hubungan seks di usia dini, mengalami resiko
seksual, seperti melakukan hubungan seks tanpa menggunakan kondom dan
menghadapi eksploitasi karena tidak adanya batasan sosio-budaya tradisional.
h. Dalam situasi pengungsian, populasi dari daerah dengan tingkat penyebaran
HIV yang rendah dapat bercampur dengan populasi dari daerah dengan tingkat
penyebaran yang tinggi, dengan resiko meningkatnya penyebaran HIV di antara
kelompok dengan tingkat penyebaran yang lebih rendah.

Contoh Pengalaman dari Beberapa Daerah di Indonesia


 Saat bencana gempa, seorang petugas kesehatan di desa menerima beberapa korban
gempa yang luka-luka. Dia hanya memiliki satu set alat untuk menjahit luka pasien.
Petugas kesehatan terpaksa menangani semua pasien dengan alat yang sama tanpa
melakukan sterilisasi.

 Hal ini juga terjadi di Unit Gawat Darurat (UGD) di Rumah Sakit yang menangani
korban dengan menggunakan alat jahit luka yang tidak steril, karena banyaknya
korban yang datang dan memerlukan pertolongan segera. Jika salah satu pasien itu
positif HIV, maka risiko untuk menularkan ke pasien yang lain sangat besar!!
Kondisi Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang Rusak dan Tidak Tersedianya Alat dan
Bahan yang Memadai Menyulitkan Penerapan Kewaspadaan Standar

5. PRIORITAS PENCEGAHAN PENULARAN HIV


1. Memastikan kegiatan trasnfusi darah aman dan rasional yang dilakukan oleh
lembaga/organisasi yang bergerak di bidangnya, misalnya: Palang Merah
Indonesia (PMI)
2. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya
koordinasi dan memastikan penerapannya
3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pasca pajanan
4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi denga organiasi dan
lembaga yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi dan keluarga berencana
(pemerintah dan non pemerintah)
5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan yang
terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak)
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam untuk
kelanjutan pengobatan ARV bersama dengan obat rutin lainnya

6. LANGKAH-LANGKAH PENCEGAHAN HIV


1. Memastikan Kegiatan Trasnfusi Darah aman dan rasional yang dilakukan
oleh lembaga/organisasi yang bergerak dibidangnya, misalnya: Palang
Merah Indonesia (PMI)
a. Pastikan darah berasal dari lembaga yang resmi yaitu Unit Transfusi
Darah (UTD) PMI, UTD Pemerintah serta BDRS (Bank Darah RumahSakit)
untuk menjamin darah aman digunakan dan dilakukan di fasilitas
kesehatan yang mempunyai perlengkapan dan tenaga kesehatan yang
kompeten. Apabila hal tersebut tidak terpenuhi, transfusi darah tidak
boleh dilakukan
b. Koordinasi untuk mengetahui penanggung jawab yang dapat dihubungi
di UTD PMI dan UTD Pemerintah serta BDRS setempat untuk
pementauan ketersediaan darah
c. Perhatikan prinsip pelaksanaan trasnfusi darah yang rasional
meliputi:
(1). Transfusi hanya dilakukan untuk keadaan yang mengancam nyawa
dan tidak ada alternatif lain
(2). Menggunakan obat-obatan untuk mencegah atau mengurangi
perdarahan aktif (misalnya Oksitosin, Asam Tranexamat, dll)
d. Lakukan kordinasi denga puskesmas atau rumah sakit untuk penyediaan
dan penggunaan cairan pengganti darah seperti cairan pengganti
berbasis kristalloid

Pada situasi saat bencana kebutuhan darah akan meningkat dengan


banyaknya penyintas luka berat dan ringan yang membutuhkan darah.
Transfusi darah yang rasional dan aman (sudah ditapis) sangat penting untuk
mencegah penularan HIV dan infeksi lain yang dapat menular melalui
transfusi (TTI/ Transfusion-Transmissible Infection) seperti Hepatitis B,
Hepatitis C dan Sifilis. Jika darah tercemar HIV ditransfusikan, maka
penularan HIV kepada penerima hampir 100%. Selain itu kerentanan
terhadap penularan HIV juga sering disebabkan oleh ketidakpatuhan petugas
terhadap standar kewaspadaan.

Pastikan bahwa darah ditapis/screening sebelum dilakukan transfusi darah


Koordinator kesehatan reproduksi harus bekerjasama dengan organisasi/lembaga
yang menangani kesehatan khususnya yang bergerak di bidang HIV dan AIDS
untuk mengurangi penularan HIV sejak permulaan respon saat bencana.

2. Menekankan pentingnya kewaspadaan standar sejak awal dimulainya


koordinasi dan memastikan penerapannya
Kewaspadaan standar adalah langkah pengendalian infeksi yang mengurangi
risiko penularan patogen yang terbawa dalam darah melalui paparan
terhadap darah atau cairan tubuh di antara para pasien dan tenaga
kesehatan. Menurut prinsip “pencegahan standar”, darah dan cairan tubuh
dari semua orang harus dianggap sebagai terinfeksi HIV, terlepas dari
pengetahuan atau dugaan kita mengenai status orang tersebut. Tindakan
pencegahan standar dapat mencegah penyebaran infeksi seperti HIV,
Hepatitis B, Hepatitis C dan patogen-patogen lain di dalam lingkungan
perawatan kesehatan.

Pada saat bencana, mungkin terjadi kekurangan logistik dalam pelayanan


kesehatan atau infrastruktur dan beban kerja yang meningkat. Petugas
mungkin akan mengambil jalan pintas dalam melaksanakan prosedur, yang
membahayakan keselamatan para pasien maupun petugas sendiri. Dalam
kondisi apapun, sangat penting untuk mematuhi tindakan kewaspadaan
standar. Pengawasan yang teratur dapat membantu mengurangi risiko
terpapar infeksi di tempat kerja.
a. Pentingnya berkoordinasi dengan organisasi atau lembaga mitra sektor
kesehatan terkait untuk memastikan penerapan kewaspadaan standar
tetap dilakukan setiap saat, meskipun pada situasi krisis kesehatan
b. Berkoordinasi dengan klaster kesehatan untuk penyediaan alat-alat,
bahan dan media KIE untuk penerapan kewaspadaan standar (misalnya,
masker, sarung tangan, apron, sepatu boot, leaflet, poster, dll) kepada
tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dan posko kesehatan

Tindakan kewaspadaan standar adalah:


a. Sering mencuci tangan:
Cuci tangan dengan sabun
dan air mengalir sebelum
dan sesudah kontak
dengan pasien. Sediakan
fasilitas dan perlengkapan
untuk mencuci tangan
mudah didapat oleh
semua penyedia
pelayanan.

b. Mengenakan sarung tangan: Pakailah sarung tangan non-steril sekali


pakai untuk semua prosedur dimana diperkirakan akan ada kontak
dengan darah atau cairan tubuh lain yang berpotensi terinfeksi virus.
Cuci tangan sebelum memakai dan setelah melepas sarung tangan.
Buang sarung tangan segera setelah digunakan ditempat sampah
limbah medis. Petugas yang menangani bahan-bahan dan benda tajam
wajib mengenakan sarung tangan yang lebih kuat (sarung tangan
khusus untuk pekerjaan berat/berkebun) dan harus menutupi luka dan
lecet dengan balutan/plester tahan air.
Catatan: Pastikan ketersediaan dan logistik sarung tangan yang cukup
dan berkelanjutan untuk melaksanakan semua kegiatan. JANGAN
PERNAH menggunakan kembali atau mensterilisasi ulang sarung
tangan sekali pakai, karena akan membuatnya menjadi berpori/
berlubang kecil.

c. Memakai pakaian pelindung, seperti baju atau celemek tahan air, untuk
melindungi dari kemungkinan terpercik darah atau cairan tubuh lain.
Petugas diwajibkan menggunakan masker dan pelindung mata di mana
ada kemungkinan terpapar darah dalam jumlah banyak.

d. Penanganan aman
terhadap benda-benda
tajam:
 Upayakan penggunaaan jarum suntik seminimal mungkin dan
berdasarkan indikasi
 Gunakan alat suntik dan jarum suntik sekali pakai yang steril untuk
setiap injeksi.
 Atur area kerja tempat penyuntikan untuk mengurangi risiko
cedera.
 Gunakan botol dosis-tunggal (ampul) daripada botol multi-dosis
(vial). Jika menggunakan botol multi-dosis, hindari meninggalkan
jarum pada penutup karet. Setelah dibuka, simpan botol multi-dosis
di lemari es.
 Jangan menutup kembali jarum suntik.
 Posisikan pasien dan beritahukan dengan benar mengenai
penyuntikan.
 Buang jarum suntik dan benda-benda tajam di kotak pengaman
(safety boxes) yang anti tusuk dan anti bocor. Pastikan wadah anti
tusuk untuk pembuangan benda tajam selalu tersedia di tempat
yang dekat namun di luar jangkauan anak- anak. Benda tajam tidak
boleh dibuang ke tempat sampah atau kantong sampah biasa.
e. Pembuangan limbah: Bakar semua sampah medis di area terpisah,
sebaiknya masih pada lahan fasilitas pelayanan kesehatan. Kubur
benda-benda yang masih menjadi ancaman, seperti benda tajam, di
sebuah lubang tertutup sedikitnya 10 meter dari sumber air.
f. Pemrosesan Instrumen: Proses instrumen bekas pakai dalam urutan
sebagai berikut:
 Dekontaminasi instrumen untuk membunuh virus (HIV dan Hepatitis
B) dan menjadikan alat lebih aman untuk ditangani.
 Bersihkan instrumen sebelum melakukan sterilisasi atau disinfeksi
tingkat tinggi (DTT) untuk menghilangkan kotoran.

 Sterilkan (menghilangkan semua patogen) instrumen-instrumen


untuk meminimalkan risiko infeksi selama prosedur. Dianjurkan
menggunakan steam autoclaving. DTT (melalui perebusan atau
perendaman dalam larutan klorin) mungkin tidak dapat
menghilangkan semua spora.

 Gunakan atau simpan dengan benar alat- alat segera setelah


disterilisasi.

g. Pemeliharaan Fasilitas: Bersihkan tumpahan darah atau cairan tubuh


lainnya dengan segera dan hati-hati.
Meskipun tindakan-tindakan pencegahan standar telah ditetapkan dan
ditaati, keterpaparan terhadap HIV dapat saja terjadi. Pastikan PPP
tersedia sebagai bagian dari paket tindakan pencegahan standar untuk
mengurangi keterpaparan petugas terhadap infeksi di tempat kerja.
Pasanglah pengumuman tentang cara-cara pertolongan pertama di
ruang-ruang kerja dan informasikan kepada semua petugas bagaimana
mengakses perawatan untuk keterpaparan.

Untuk memastikan penerapan pencegahan standar, petugas layanan


kesehatan reproduksi dan koordinator kesehatan reproduksi harus bekerja
bersama lembaga/organisasi/mitra sektor kesehatan untuk:
a. memastikan prosedur untuk tindakan pencegahan standar dipasang di
setiap fasilitas pelayanankesehatan dan penanggungjawab komponen
HIV membuat peraturan untuk menegakan kepatuhan terhadap
standar tersebut;
b. menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan mengenai tindakan
kewaspadaan standar untuk para petugas kesehatan dan petugas
tambahan, jika diperlukan;
c. menetapkan sistem pengawasan seperti daftar tilik (check list)
sederhana untuk memastikan kepatuhan pada prosedur;
d. memastikan bahwa pengumuman tentang pertolongan pertama untuk
keterpaparan dipasang di tempat terbuka sehingga petugas mendapat
informasi dan tahu ke mana harus melapor dan mendapat PPP jika
diperlukan;
e. secara teratur mereview laporan-laporan tentang keterpaparan di
tempat kerja untuk menentukan kapan dan bagaimana paparan terjadi,
dan mengidentifikasi masalah- masalah keselamatan, dan tindakan
pencegahan yang mungkin dilakukan.

3. Memastikan ketersediaan dan pemberian profilaksis pasca pajanan


a. Memastikan ketersediaan Profilaksis Pasca Pajanan (PPP) di
layanan kesehatan
b. Memastikan petugas mengetahui PPP sebagai paket tindakan
pencegahan standar untuk mengurangi risiko penularan infeksi
di tempat kerja (mengidentifikasi dan menentukan petugas
yang bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan PPP)
c. Pasang pengumuman/informasi tentang cara-cara pertolongan
pertama di ruang –ruang kerja dan informasikan kepada semua
petugas bagaimana mengakses perawatan untuk keterpaparan
d. Menyelenggarakan sesi orientasi di pelayanan kesehatan
mengeai tindakan kewaspadaan standar untuk para petugas
kesehatan dan petugas lain
e. Menetapkan sistem pengawasan dan melakukan observasi
dengan menggunakan daftar tilik sederhana untuk memastikan
kepatuhan terhadap kewaspadaan standar, misalnya dengan
memperhatikan kebiasaan cuci tangan, pembuangan limbah
tajam, cara membersihkan tumpahan darah dan cairan tubuh
lainnya, dll.
Pada sumber pajanan maupun korban pajanan harus dilakukan
tes HIV sebagai dasar penentuan PPP, tetapi waktunya tidak
boleh terlalu lama, yaitu paling lama 3 hari

Jika sumber pajanan tidak diketahui, biasanya PPP hanya


diberikan pada kasus yang sifatnya berat, misalnya lesi akibat
jarum berlubang besar, tusukan yang dalam dan kontak dengan
darah yang terlohat pada alat medis (misalnya gunting, jarum,
dll), pajanan pada membran mukosa non-genital atau kulit tidak
utuh, serta pajanan terhadap darah atau cairan sprerma yang
berjumlah banyak.

4. Memastikan ketersediaan kondom melalui koordinasi dengan organisasi


dan lembaga yang bekerja di bidang kesehatan reproduksi dan keluarga
berencana (pemerintah dan non pemerintah)
Kondom merupakan metoda perlindungan kunci guna mencegah HIV dan
Infeksi Menular Seksual lain. Meskipun tidak semua populasi mengenalnya,
namun kondom harus tersedia di daerah yang dapat diakses dan bersifat
pribadi sejak hari-hari awal situasi darurat sehingga setiap orang yang
terbiasa dengannya, baik populasi yang terkena dampak maupun staf
kemanusiaan, dapat mengaksesnya.
Koordinator perlu memastikan tersedianya kondom sejak wal massa
tanggap darurat krisis kesehatan, karena kondom mampu mencegah
penularan IMS dan HIV, melalui koordinasi antara Dinkes, BKKBN atau
lembaga lain
a. Pastikan pemberian kondom harus dilakukan sesuai dengan bidaya
masyarakat setempat (misalnya melalui fasilitas kesehatan setempat).
Kondom diberikan pada kelompok seksual aktif, penderita IMS dan HIV,
kelompok berisiko tinggi tertular IMS dan HIV
b. Berikan informasi cara penggunaan kondom kepada masyarakat yang
belum mengetahui cara penggunaannya. Untuk kondom perempuan,
sebaiknya tidak disediakan apabila masyarakat belum mengenal dan
mengetahuinya.

Ketersediaan kondom gratis harus terjamin dan pasokan yang memadai


harus dipesan segera (Lihat kotak latihan mengenai cara menghitung
jumlah kondom yang tepat untuk dipesan).
Kondom laki-laki dan perempuan

Kondom perempuan dengan 2 ring

Kemana staf kemanusiaan dapat memesan kondom?


Kondom merupakan salah satu metode perlindungan untuk mencegah
penularan HIV dan Infeksi Menular Seksual (IMS) lainnya. Dalam rangka
menjamin ketersediaan kondom diperlukan adanya koordinasi antara
Dinas Kesehatan, KPA (Komisi Penanggulangan AIDS) atau lembaga lainnya
yang menyediakan layanan ini. Pastikan bahwa kondom tersedia sejak hari
hari awal saat bencana. Kondom hanya diberikan kepada masyarakat
apabila tidak ada halangan budaya dan masyarakat menggunakan
sebelumnya. Pendistribusian kondom harus diikuti dengan informasi
tentang cara penggunaannya. Khusus untuk kondom perempuan,
sebaiknya tidak disediakan apabila masyakarat belum terpapar cara
penggunaannya.
Bagaimana kondom harus disediakan?
Di samping menyediakan kondom jika diminta, staf kemanusiaan harus
memastikan kondom dapat terlihat oleh populasi pengungsi internal dan
memberikan informasi bahwa kondom tersedia di berbagai lokasi. Kondom
dapat disediakan di fasilitas kesehatan (puskesmas, pos kesehatan, RS dll)
dan di beberapa lokasi lain yang sesuai seperti di tempat distribusi bantuan
ataupun di dalam toilet

Tempat penyediaan kondom di fasilitas kesehatan, toilet dan tempat lain


yang sesuai

ATM kondom BKKBN


Merancang dan melaksanakan kampanye penyebarluasan kondom IEC
yang tepat sangat menghabiskan waktu dan sumberdaya, dan dengan
demikian bukanlah intervensi prioritas di awal situasi darurat. JANGAN
mendistribusikan kondom kepada populasi, yang dapat menjadi tak
senonoh, atau melakukan kampanye massal mengenai penyebarluasan
kondom sebelum semua komponen PPAM dilaksanakan, sewaktu program
HIV/AIDS dan keluarga berencana yang lebih mendalam dapat dirancang
secara seksama.

5. Memastikan pemberian obat ARV dan IMS terutama pada perempuan


yang terdaftar dalam program PPIA (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu
ke Anak)
a. Memastikan ketersediaan data ODHA, layanan ARV dan layanan
HIV/AIDS lainnya di wilayah tersebut. Data dapat diperoleh dari
puskesmas, LSM atau kelompok dukungan sebaya yang menjadi
penadmpng minum obat ARV. Pemberian ARV dapat dilakukan di
Puskesmas atau rumah sakit oleh petugas kesehatan yang terlatih
1) Puskesmas: memberikann ARV untuk orang dengan HIV
AIDS tanpa komplikasi
2) Rumah sakit:
a) Memberikan ARV untuk ibu hamil dengan HIV
b) Memberikan ARV profilaksis untuk bayi yang lahir
dari Ibu HIV
c) Pasien yang memiliki infkesi oportunistik di rawat di
rumah sakit
b. Pastikan saat krisis kesehatan pemberian ARV tidak boleh terputus oleh
karena itu penaggung jawab komponen pencegahan HIV/AIDS harus
berkoordinasi dengan penyedia layanan ARV
6. Memasang informasi dengan nomor telepon yang bisa dihubungi 24 jam
untuk kelanjutanpengobatan ARV bersama dengan obat rutin lainnya
Informasi ketersediaan ARV maupun obat lainnya perlu diketahui oleh
ODHA, untuk memudahkan akses terhadap terapinya. Penanggung jawab
komponen pencegahan HIV/AIDS mengkoordinasikan:
a. Di setiap layananan kesehatan ditempatkan papan informasi terkait
nama petugas, nomor kontak dan lokasi untuk mengakses ARV dan
obat penunjang lainnya
b. Diumumkan atau disosialikan pada pertemuan masyarakt di
pengungsian tentang cara mengakses obat ARV dan obat penunjang
lainnya.

Berikut adalah indikator yang dipakai untuk pencegahan penularan IMS/HIV


pada situsi bencana
1) Pasokan untuk tindak-pencegahan universal: Persentase fasilitas
kesehatan dengan pasokan yang memadai untuk tindak kewaspadaan
standar seperti bahan suntikan sekali-pakai, sarung tangan, pakaian
pelindung dan protokol pembuangan yang aman untuk benda tajam
2) Transfusi darah yang aman: Persentase rumah sakit tingkat rujukan
dengan uji HIV yang memadai untuk menskrining darah dan
penggunaannya
3) Estimasi cakupan kondom: Jumlah kondom yang disediakan dan
didistribusikan dalam jangka waktu yang telah ditetapkan. Kita tidak
memakai indikator jumlah pemakaian kondom karena kita tidak bisa
memastikan bahwa jumlah kondom yang didistribusikan adalah sama
dengan jumlah yang dipakai.

Tantangan dan Solusi


1. Bagaimana jika fasilitas kesehatan tidak memiliki kapasitas untuk menskrining
donor untuk HIV?
Jangan berikan darah yang belum diskrining. Beri anjuran yang kuat kepada
instansi PBB, seperti WHO dan UNFPA, atau LSM, seperti Komite Internasional
Palang Merah untuk membangun layanan skrining darah.
2. Bagaimana jika budaya populasi pengungsi internal keberatan dengan
kondom?
Pekerja kemanusiaan kadang berasumsi bahwa tersedianya kondom secara
luas kemungkinan tidak disukai dalam sebagian budaya. Namun, tetap penting
untuk membuat kondom dapat terlihat dan tersedia sebab asumsi tersebut
belum tentu benar atau mungkin tidak benar untuk setiap orang dalam
populasi. Ada cara-cara kreatif untuk menyediakan bahan penyelamat nyawa
ini bagi mereka yang ingin melindungi diri mereka atau orang lain dari
penyebaran HIV, seperti menempatkan kondom di daerah yang tidak terlalu
umum namun tetap dapat diakses.

Latihan:
1. Demonstrasi cara pemasangan kondom pria dan wanita
a. Dapat dilakukan melalui demostrasi langsung memakai dildo/penis buatan
dan model vagina
b. Dengan memutar video cara pemasangan kondom
Cara memakai kondom pria

Cara memakai kondom wanita

2. Latihan cara menghitug kebutuhan kondom


Hitung kebutuhan kondo1m untuk populasi pengungsi sebanyak 30,000 orang

1. Asumsikan bahwa 20% dari penduduk adalah laki-laki yang


aktif secara seksual
2. 20% dari mereka memakai kondom
3. Tiap pengguna kondom membutuhkan 12 kondom per bulan
4. Tambahkan 20% untuk cadangan
Jawaban
30,000 x 20 %= 6,000 laki-laki yang aktif secara seksual
6,000 x 20 % = 1,200 laki-laki yang memakai kondom
1,200 x 12 kondom = 14,400 kondom yang dibutuhkan per bulan
14,400 x 3 bulan= 43,200 kondom
43,200 x 20% cadangan = 8,640 extra kondom
43,200 + 8,640 = 51,840 total kondom yang harus dipesan

II. DAFTAR PUSTAKA


 Departemen Kesehatan, Buku pedoman nasional Kesehatan Reproduksi dalam
situasi bencana, 2014
 Departemen Kesehatan RI dan UNFPA. 2008. Pedoman Praktis Kesehatan
Reproduksi pada Penanggulangan bencana di Indonesia. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI dan UNFPA.
 Inter agency Working Group on Reproductive Health in Crises. 2010. Buku Pedoman
Lapangan Antar lembaga Kesehatan Reproduksi dalam Situasi Darurat Bencana.
Revisi untuk peninauan lapangan. Jakarta: Inter agency Working Group on
Reproductive Health in Crises.
 Women Commision. 2007. Paket Pelayanan Awal Minimum Untuk Kesehatan
Reproduksi Dalam situasi Krisis. Modul pembelajaran jarak jauh. http://
www.womenscommission.org.

Anda mungkin juga menyukai