1. Pre Eklampsia
a. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal (POGI, 2016).
b. Epidemiologi
c. Faktor risiko
1
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
d. Patogenesis
Patogenesis preeklamsia tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi banyak
kemajuan telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Plasenta selalu
menjadi tokoh sentral dalam etiologi preeklamsia karena pengangkatan
plasenta diperlukan agar gejala berkurang. Pemeriksaan patologis plasenta
dari kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering mengungkapkan banyak
infark plasenta dan penyempitan arteriol sklerotik. Hipotesis bahwa invasi
trofoblas yang rusak dengan hipoperfusi uteroplasenta terkait dapat
menyebabkan preeklamsia didukung oleh penelitian pada hewan dan
manusia(Phipps et al., 2016).
Dengan demikian, model dua tahap dikembangkan: renovasi arteri
spiralis yang tidak lengkap di rahim yang berkontribusi terhadap iskemia
plasenta (tahap 1) dan pelepasan faktor antiangiogenik dari plasenta iskemik
ke dalam sirkulasi ibu yang berkontribusi pada kerusakan endotel (tahap 2).
Selama implantasi, trofoblas plasenta menginvasi uterus dan
menyebabkan pembentukan ulang arteri spiralis, sementara melenyapkan
tunika media dari arteri spiralis miometrium; hal ini memungkinkan arteri
untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah terlepas dari perubahan
vasomotor ibu untuk memberi makan janin yang sedang berkembang.
Bagian dari renovasi ini mensyaratkan bahwa trofoblas mengadopsi fenotipe
2
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
endotel dan berbagai molekul adhesi. Jika renovasi ini terganggu, plasenta
kemungkinan akan kekurangan oksigen, yang menyebabkan keadaan
iskemia relatif dan peningkatan stres oksidatif selama keadaan perfusi
intermiten. Renovasi arteri spiralis yang abnormal ini terlihat dan dijelaskan
lebih dari lima dekade yang lalu pada wanita hamil yang mengalami
hipertensi (Phipps et al., 2016).
Sejak itu terbukti menjadi faktor patogen sentral pada kehamilan yang
dipersulit oleh hambatan pertumbuhan intrauterin, hipertensi gestasional, dan
preeklamsia. Salah satu batasan teori ini, oleh karena itu, adalah bahwa
temuan ini tidak spesifik untuk preeklamsia dan dapat menjelaskan
perbedaan manifestasi antara preeklamsia plasenta dan preeklamsia ibu
(Phipps et al., 2016).
3
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
4
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
e. Manifestasi Klinis
1) Sakit kepala Gangguan penglihatan: Skotomata kabur dan berkilau
2) Status mental berubah Kebutaan: Mungkin kortikalatau retinal Dispnea
5
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Gambar 5. Efek preeklamsia pada janin dan keturunan. HUVEC stands for
human umbilical vein endothelial cells; LV, left ventricle; LVEDV, left
ventricular end-diastolic volume (Fox et al., 2019)
f. Diagnosis
6
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
7
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
g. Tata laksana
8
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
9
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Profilaksis kejang
Tatalaksana Hipertensi
h. Komplikasi
1) Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit
kardiovaskular, 4x peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit
jantung iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang.
10
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
i. SKDI
3B. Gawat darurat :Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
11
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
2. Respiratory Distress
a. Definisi
Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir dikenali sebagai satu atau
lebih tanda peningkatan kerja pernapasan, seperti takipnea, nasal flaring,
retraksi dada, atau grunting (Reuter et al., 2014).
Takipnea : RR > 60 x : kompensasi untuk hiperkarbia, hipoksemia, atau
asidosis (baik metabolik maupun pernapasan).
b. Epidemiologi
Distress pernafasan mempengaruhi 7% nenonatus dan angka kejadian
meningkat pada kasus premature terutama bayi premature < 34 minggu.
Gangguan pernapasan adalah salah satu alasan paling umum mengapa
bayi dirawat di unit perawatan intensif neonatal. 15% bayi cukup bulan dan
29% bayi prematur terlambat yang dirawat di unit perawatan intensif
neonatal mengalami morbiditas pernapasan yang signifikan (Reuter et al.,
2014).
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah penyebab paling umum dari
gangguan pernapasan pada bayi prematur, sekitar 24.000 bayi yang lahir di
Amerika Serikat setiap tahunnya.Ini juga merupakan komplikasi paling
umum dari prematuritas yang menyebabkan morbiditas yang signifikan
pada neonatus prematur akhir dan bahkan kematian pada bayi berat lahir
sangat rendah (Yadav & Kamity, 2020).
RDS paling sering terjadi pada bayi yang lahir pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu dan mempengaruhi sepertiga dari bayi yang lahir
pada usia kehamilan 28 sampai 34 minggu, tetapi terjadi pada kurang dari 5
% dari mereka yang lahir setelah usia kehamilan 34 minggu. Kondisi ini
lebih parah.sering terjadi pada anak laki-laki, dan kejadiannya kira-kira
enam kali lebih tinggi pada bayi yang ibunya menderita diabetes, karena
keterlambatan kematangan paru meskipun dilakukan makrosomi
(Hermansen & Lorah, 2007).
c. Klasifikasi
Klasifikasi Deskripsi
Transient Tachypnea of Muncul dengan gangguan pernapasan dini
the Newborn (TTN)/ pada bayi cukup bulan dan bayi prematur
sindrom retensi cairan Disebabkan oleh gangguan pembersihan cairan
paru-paru paru janin.
Patogenesis
Biasanya dalam rahim, ruang udara janin dan
kantung udara terisi cairan. Agar pertukaran gas
efektif terjadi setelah lahir, cairan ini harus
dibersihkan dari rongga udara alveolar. Pada usia
12
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
13
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
14
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Gejala/tanda
tachypnea, nasal flaring, grunting, and subcostal,
intercostal, and/or suprasternal retractions
Tatalaksana
cyanosis →supplemental oxygen.
Kasus ringan RDS mungkin respons terhadap
tekanan CPAP, tetapi kasus berat
membutuhkan intubasi endotracheal dan
administrasi surfaktan exogen ke paru
Meconium Aspiration Terjadi ketika janin melalui Amnion dengan
Syndrome (MAS) meconium (MSAF/meconium-stained amniotic
fluid) : risiko mengalami aspirasi mekonium
dalam rahim atau segera setelah lahir.
Mekonium terdiri dari lanugo, empedu, vernix,
enzim pankreas, epitel deskuamasi, cairan
ketuban, dan lendir. Mekonium ada di saluran
pencernaan sejak usia kehamilan 16 minggu tetapi
tidak ada di kolon desendens bagian bawah
sampai usia kehamilan 34 minggu; oleh karena
itu, MSAF jarang terlihat pada bayi di bawah usia
kehamilan 37 minggu.
15
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Tatalaksana
O2
Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
Surfactan exogen
d. Faktor risiko
e. Patogenesis
Penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir beragam dan
multisistem. Penyebab paru mungkin terkait dengan perubahan selama
perkembangan paru normal atau transisi ke kehidupan ekstrauterin. Penyakit
pernafasan bisa terjadi akibat kelainan perkembangan yang terjadi sebelum
atau sesudah lahir. Malformasi perkembangan awal termasuk fistula
trakeoesofagus, sekuestrasi bronkopulmonalis (massa abnormal jaringan
16
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
17
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Surfaktan
Surfaktan paru menutupi lapisan dalam alveoli normal. Namun, pada
janin, alveoli yang berkembang terisi dengan cairan paru-paru janin, yang
tidak berkontribusi pada pertukaran gas. Selama kehidupan janin, produksi
surfaktan dimulai di sel alveolar tipe 2 sekitar usia kehamilan 20 minggu.
Surfaktan sebagian besar padat lipid, terdiri dari sekitar 70% hingga 80%
fosfolipid, 10% protein, dan 10% lipid netral. Surfaktan terdiri dari empat
protein khusus surfaktan (SP); SP-A, SP-B, SP-C, dan SP-D. SP-A dan SP-D
terlibat dalam mengatur proses inflamasi di paru-paru (Yadav & Kamity,
2020).
SP-B diperlukan untuk pembentukan badan lamelar normal dalam sel
tipe 2 dan juga terlibat dalam pemrosesan SP-C. SP-C adalah protein yang
mungkin bekerja dengan SP-B untuk meningkatkan deposisi surfaktan dan
berfungsi di dalam alveoli dengan menurunkan tegangan permukaan.Di
dalam sel alveolar tipe 2, sintesis surfaktan dimulai dengan fosfolipid di
retikulum endoplasma. Transfer fosfolipid melalui badan Golgi ke dalam
badan lamelar. Kompleks lipoprotein surfaktan (SP-A, SP-B, SP-C, dan
fosfolipid) terbentuk di dalam badan lamelar di permukaan apikal sel tipe 2,
yang kemudian dilepaskan ke alveoli melalui eksositosis (Yadav & Kamity,
2020).
Paru-paru mengalami gaya karena elastisitas dinding dada dan parenkim
paru-paru, dan tegangan permukaan antarmuka cairan-udara di saluran udara
kecil dan alveoli. Kompleks lipoprotein surfaktan penting karena
menurunkan tegangan permukaan pada saluran udara kecil dan alveoli, yang
mencegah kolapsnya alveoli dan masuknya cairan interstisial ke dalam ruang
udara (Yadav & Kamity, 2020).
Sel tipe 2 menyerap kembali kompleks surfaktan yang disekresikan dari
ruang udara. Molekul surfaktan didaur ulang kembali oleh endositosis
menjadi badan multivesikuler dan akhirnya menjadi badan lamelar. Proses
daur ulang surfaktan endogen dan eksogen dari alveoli bertanggung jawab
untuk memelihara kolam surfaktan. Selain jumlah surfaktan yang lebih
rendah, bayi prematur juga mengalami penurunan aktivitas surfaktan karena
komposisinya (Yadav & Kamity, 2020).
RDS
Sindrom gangguan pernapasan (RDS) neonatal disebabkan oleh
defisiensi surfaktan, terutama dalam konteks paru-paru yang belum matang.
Kekurangan surfaktan meningkatkan tegangan permukaan dalam saluran
udara kecil dan alveoli, sehingga mengurangi kepatuhan paru yang belum
matang. Keseimbangan tekanan yang halus pada antarmuka udara-cairan
sangat penting untuk mencegah runtuhnya alveolus atau pengisian alveolus
18
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
P = 2T / R
P : tekanan
T: tegangan permukaan
R: jari-jari
f. Manifestasi Klinis
1) Takipnea
2) Nafas cuping hidung
3) Grunting
4) Retraksi subkostal, interkostal, dan / atau suprasternal.
Tabel 3. Karakteristik pernafasan gangguan nafas pada naonatus
19
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
g. Diagnosis
Tanda-tanda kecurigaan :
1) Sering lahir prematur dan muncul dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan biasanya segera setelah melahirkan, atau dalam beberapa
menit setelah lahir.
2) Bayi mungkin datang dengan:
suara napas yang menurun dan kemungkinan denyut perifer yang
berkurang.
Setelah pemeriksaan klinis, neonatus tersebut memiliki tanda dan
gejala peningkatan kerja pernapasan, termasuk takipnea,
dengkuran ekspirasi, flaring hidung, retraksi (subkostal,
20
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
21
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
22
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
menderita HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian ketuban
dan diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko mengalami
MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk kemungkinan
menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa
faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami
transient tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya
yang dapat membantu memperikirakan etiologi distress nafas(Effendi & Firdaus,
2010).
1) Tekanan parsial oksigen (PaO2) kurang dari 50 mmHg dan sianosis sentral
pada keadaan udara ruangan. Dalam hal ini, bayi membutuhkan suplementasi
oksigen untuk menjaga agar PaO2 berada pada tekanan lebih dari 50 mmHg,
atau untuk menjaga agar saturasi oksigen 85% atau lebih.
2) Gambaran radiografi toraks dalam 24 jam usia bayi berupa pola
retikulogranular pada lapangan paru dengan atau tanpa adanya air
bronchogram (Suminto, 2017)
Diagnosis dapat dipastikan pada rontgen dada dengan tampilan klasik 'kaca
tanah' dan bronkogram udara.Definisi Vermont Oxford Neonatal Network
mengharuskan bayi memiliki PaO2 -50 mm Hg (-6,6 kPa) di udara kamar,
sianosis sentral di udara kamar, atau kebutuhan oksigen tambahan untuk
mempertahankan PaO2) 50 mm Hg () 6,6 kPa) sertapenampilan rontgen dada
klasik
h. Diagnosis Banding
23
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Volume paru
berkurang
TTN Cairan paru- - Kelahiran Takipnea, Infiltrat
paru yang sesar, sering parenkim,
persisten Makrosomia tanpa Siluet basah
Jenis kelamin hipoksia/ sekitar
laki-laki, cyanosis jantung,
Asma ibu, Akumulasi
Diabetes ibu cairan intra
lobar
MAS Iritasi dan Term Meconium- Takipnea Atelektasis
obstruksi paru- post term stained hipoksia Patchy,
paru amniotic konsolidasi
fluid,
Kelahiran
post term
Ket : TTN = transient tachypnea of the newborn; RDS = respiratory distress
syndrome; MAS = meconium aspiration syndrome(Hermansen & Lorah,
2007).
i. Tatalaksana
24
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
25
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Namun, banyak di antara bayi tersebut pada akhirnya memerlukan intubasi dan
pemberian surfaktan. Dari penemuan-penemuan ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian CPAP dapat gagal pada bayi dengan defisiensi surfaktan yang
signifikan dan prognosis bayi prematur yang mendapat CPAP dapat meningkat
bila bayi yang menunjukkan tanda defisiensi surfaktan mendapatkan surfaktan
eksogen (Suminto, 2017)
Terapi Surfaktan Sebagai Tatalaksana Respiratory Distress Syndrome
Sejak tahun 1980, berbagai preparat surfaktan eksogen sintetik ataupun
natural mulai dikembangkan. Surfaktan sintetik tanpa protein kurang efektif
dibandingkan surfaktan natural dengan SP-B dan SP-C.25 Saat ini telah
dikembangkan surfaktan sintetik yang mengandung analog protein polipeptida
atau rekombinan protein C surfaktan manusia, salah satunya adalah Lucinactant.
SELECT trial membandingkan protein sintetik Lucinactant dosis 175 mg
fosfolipid dengan surfaktan natural yaitu Beractant (ekstrak paru bovine +
DPPC, asam palmitat, tripalmitin) dosis 100 mg fosfolipid pada 1295 bayi
prematur. Hasilnya lucinactant menghasilkan angka mortalitas yang lebih
rendah pada hari ke- 14 dibandingkan dengan beractant (4,7 vs 10,5%).
Kematian atau kejadian BPD pada usia 36 minggu serupa pada kedua kelompok.
Disimpulkan bahwa lucinactant memiliki efikasi klinis serupa dengan
preparat surfaktan natural. Banyak penelitian membuktikan terapi surfaktan
profilaksis ataupun terapeutik dapat mengurangi risiko pneumotoraks dan
kematian neonatal pada bayi dengan risiko RDS. Kandraju, et al,
membandingkan pemberian surfaktan profilaksis dan selektif, dan
menyimpulkan bahwa pemberian surfaktan rutin secara dini pada 2 jam pertama
kehidupan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik secara signifikan (16,2 vs
31,6%). Namun, pada penelitian-penelitian ini bayibayi tersebut tidak
mendapatkan CPAP pada awal terapi dan hanya dibandingkan dengan bayi yang
mendapatkan ventilasi mekanik. Sebuah metaanalisis Rojas-Reyes, et al,
menyimpulkan bahwa penanganan surfaktan profilaksis tidak lebih baik
dibandingkan CPAP diikuti pemberian surfaktan selektif dalam mengurangi
kebutuhan ventilasi mekanik, pneumotoraks, dan BPD, atau mortalitas di era
pemberian kortikosteroid antenatal dan CPAP(Suminto, 2017)
American Association of Pediatrics merekomendasikan pemberian CPAP
segera setelah lahir dengan pemberian surfaktan selektif sebagai terapi alternatif.
Alternatif pemberian surfaktan yang saatini sering digunakan adalah dengan
teknik INSURE (intubation-surfactant-extubation) dilanjutkan dengan CPAP.
Naseh, et al, meneliti 242 neonatus yang diberi surfaktan dengan teknik
INSURE, 74% berhasil dan kebutuhan ventilasi mekanik dapat dieliminasi.
Keberhasilan INSURE ditentukan oleh jenis persalinan, berat badan bayi, usia
gestasi, dan jumlah bayi yang lahir (Suminto, 2017)
26
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
27
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
j. Komplikasi
1) Komplikasi akut akibat ventilasi tekanan positif atau ventilasi mekanis
invasif termasuk sindrom kebocoran udara seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, dan emfisema interstisial paru.
2) Peningkatan kejadian perdarahan intrakranial dan patent ductus arteriosus
pada bayi berat lahir sangat rendah dengan RDS, meskipun secara
independen terkait dengan prematuritas itu sendiri.
3) komplikasi kronis : BPD/Bronchopulmonary dysplasia
Patofisiologi BPD melibatkan perkembangan paru yang terhambat serta
cedera dan peradangan paru.
4) Cedera dan peradangan pada paru, yang selanjutnya mengganggu
perkembangan normal alveoli dan pembuluh darah paru. Juga, stres
oksidatif dari hiperoksia sekunder akibat ventilasi mekanis, dan
penurunan kemampuan anti-oksidan dari paru-paru prematur, keduanya
28
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
k. Prognosis
Prognosis bayi yang ditangani dengan steroid antenatal, dukungan
pernapasan, dan terapi surfaktan eksogen sangat baik.Kematian kurang dari
10%, dengan beberapa penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup
hingga 98% dengan perawatan lanjutan.Peningkatan kelangsungan hidup di
negara maju dibandingkan dengan bayi yang tidak menerima intervensi di
negara berpenghasilan rendah, di mana tingkat kematian bayi prematur
dengan RDS secara signifikan lebih tinggi, terkadang mendekati 100%.
Dengan dukungan ventilasi yang memadai saja, produksi surfaktan akhirnya
dimulai, dan setelah produksi surfaktan dimulai bersamaan dengan
timbulnya diuresis, RDS membaik dalam 4 atau 5 hari.Penyakit yang tidak
diobati yang menyebabkan hipoksemia parah pada hari-hari pertama
kehidupan dapat menyebabkan kegagalan banyak organ dan kematian
(Yadav & Kamity, 2020).
l. SNPPDI
29
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Analisis Masalah
30
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
31
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
32
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
2. Her mother was an 18 years old woman, primigravida. She never did ante natal
care during her pregnancy. She came to emergency department with high blood
pressure, then emergency C-section was performed, without chance to be given
lung maturation treatment (dexametason). The mother never had fever or
premature rupture of membrane. The amnion fluid was clear. She forgot the last
periode date, but she said around 8 months.
a. Apa makna klinis dari tidak ditemukannya demam serta pecah ketuban dini?
Jawab
Tidak ditemukannya demam bermakna ibu tidak sedang mengalami infeksi
sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan pneumonia neonates nantinya dan
suspek infeksi intrauterine. Tidak adanya ketuban pecah dini bermakna
kemungkinan tidak berisiko mengalami chorioamnionitis, sepsis, abruption
placenta dan prolaps tali pusat.
b. Apa kemungkinan yang akan terjadi akibat dari darah tinggi yang dialami ibu
terhadap janin?
Jawab
Hipertensi maternal kemungkinan dapat menyebabkan hipoksia janin, abruption
placenta, kelahiran premature dan kematian janin dalam kandungan.
c. Bagaimana hubungan antara usia ibu dengan keadaan yang dialami pada kasus?
Jawab
Ibu usia < 20 tahun dan > 30 tahun memiliki risiko pre eclampsia yang lebih
besar. Usia < dari 20 tahun berisiko 3.87 kali mengalami pre eclampsia
disbanding usia > 20 tahun. Insidensi tertinggi preeclampsia ada di usia 18-22
tahun (kumara et al., 2016), selain itu ibu usia < 19 tahun berisiko mengalami
komplikasi kelahiran termasuk kelahiran premature.
33
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
g. Apa saja agen farmakologis yang dapat digunakan untuk pematangan paru selain
deksametason?
Jawab
Kortikosteroid lainnya dapat digunakan sebagai obat pematangan paru, tetapi
yang paling luas digunakan adalah dexametason dan betametasone
34
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
3. The baby was not breathing spontaneously after birth. Pediatric residence did
resuscitation procedure to her. Apgar score 1 for 1st minute and 3 for 5th
minutes and 6 at 10th minute. The baby still had difficulty while breathing after
10 minutes.
a. Bagaimana prosedur resusitasi bayi baru lahir?
Jawab
35
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
36
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Ada lima bagian skor Apgar.Setiap kategori diberi bobot secara merata dan
diberi nilai 0, 1, atau 2. Komponen tersebut kemudian dijumlahkan untuk
memberikan skor total yang dicatat pada 1 dan 5 menit setelah lahir.Skor 7
hingga 10 dianggap meyakinkan, skor 4 hingga 6 cukup abnormal, dan skor 0
hingga 3 dianggap rendah pada bayi cukup bulan dan bayi prematur
terlambat.Pada 5 menit, ketika bayi memiliki skor kurang dari 7, pedoman
Program Resusitasi Neonatal merekomendasikan perekaman lanjutan dengan
interval 5 menit hingga 20 menit.Perlu dicatat bahwa penilaian selama resusitasi
tidak sama dengan bayi yang tidak menjalani resusitasi karena upaya resusitasi
mengubah beberapa elemen skor.
37
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
38
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
DAFTAR PUSTAKA
Burton, G. J., Redman, C. W., Roberts, J. M., & Moffett, A. (2019). Pre-eclampsia:
pathophysiology and clinical implications. BMJ (Clinical research ed.), 366,
l2381. https://doi.org/10.1136/bmj.l2381
Fox, R., Kitt, J., Leeson, P., Aye, C., & Lewandowski, A. J. (2019). Preeclampsia:
Risk Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular Impact on the
Offspring. Journal of clinical medicine, 8(10), 1625.
https://doi.org/10.3390/jcm8101625
Pankiewicz, K., Szczerba, E., Maciejewski, T., & Fijałkowska, A. (2019). Non-
obstetric complications in preeclampsia. Przeglad menopauzalny = Menopause
review, 18(2), 99–109. https://doi.org/10.5114/pm.2019.85785
Phipps, E., Prasanna, D., Brima, W., & Jim, B. (2016). Preeclampsia: Updates in
Pathogenesis, Definitions, and Guidelines. Clinical journal of the American
Society of Nephrology : CJASN, 11(6), 1102–1113.
https://doi.org/10.2215/CJN.12081115
Reuter, S., Moser, C., & Baack, M. (2014). Respiratory distress in the newborn.
Pediatrics in review, 35(10), 417–429. https://doi.org/10.1542/pir.35-10-417
Sweet, D. G., Carnielli, V., Greisen, G., Hallman, M., Ozek, E., Te Pas, A., Plavka, R.,
Roehr, C. C., Saugstad, O. D., Simeoni, U., Speer, C. P., Vento, M., Visser, G.,
& Halliday, H. L. (2019). European Consensus Guidelines on the Management
of Respiratory Distress Syndrome - 2019 Update. Neonatology, 115(4), 432–
450. https://doi.org/10.1159/000499361
39
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018
Yadav, S., Lee, B., & Kamity, R. (2020). Neonatal Respiratory Distress Syndrome. In
StatPearls. StatPearls Publishing.Yadav, S., Lee, B., & Kamity,
40