Anda di halaman 1dari 40

Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

1. Pre Eklampsia
a. Definisi
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya
inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis
preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang
disebabkan kehamilan disertai dengan gangguan sistem organ lainnya pada
usia kehamilan diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumya selalu
didefinisikan dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada
kehamilan (new onset hypertension with proteinuria). Meskipun kedua
kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain
menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multsistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien
tersebut tidak mengalami proteinuri. Sedangkan, untuk edema tidak lagi
dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada
wanita dengan kehamilan normal (POGI, 2016).

b. Epidemiologi

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%),


hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). Prevalensi
preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di Negara
berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri
adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada dalam dua
dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata terhadap
insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin menurun
sesuai dengan perkembangan temuan antibiotic. Hasil metaanalisis
menunjukkan peningkatan bermakna risiko hipertensi, penyakit jantung
iskemik, stroke dan tromboemboli vena pada ibu dengan riwayat
preeklampsia dengan risiko relatif (POGI, 2016).
Risiko pre-eklamsia lebih tinggi pada kehamilan pertama (~ 4%), dan
terdapat efek perlindungan dari kehamilan normal pertama dengan risiko
lebih rendah (~ 2%) pada kehamilan berikutnya.Risiko kekambuhan tinggi;~
15% setelah satu kehamilan pra-eklampsia dan ~ 32% setelah dua kehamilan
dalam kohort dari hampir 800.000 kehamilan di Swedia, dengan beberapa
efek perancu dari interval antar yang lebih lama

c. Faktor risiko

1
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Gambar 1. Faktor risiko pre eclampsia (POGI 2016)

d. Patogenesis
Patogenesis preeklamsia tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi banyak
kemajuan telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Plasenta selalu
menjadi tokoh sentral dalam etiologi preeklamsia karena pengangkatan
plasenta diperlukan agar gejala berkurang. Pemeriksaan patologis plasenta
dari kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering mengungkapkan banyak
infark plasenta dan penyempitan arteriol sklerotik. Hipotesis bahwa invasi
trofoblas yang rusak dengan hipoperfusi uteroplasenta terkait dapat
menyebabkan preeklamsia didukung oleh penelitian pada hewan dan
manusia(Phipps et al., 2016).
Dengan demikian, model dua tahap dikembangkan: renovasi arteri
spiralis yang tidak lengkap di rahim yang berkontribusi terhadap iskemia
plasenta (tahap 1) dan pelepasan faktor antiangiogenik dari plasenta iskemik
ke dalam sirkulasi ibu yang berkontribusi pada kerusakan endotel (tahap 2).
Selama implantasi, trofoblas plasenta menginvasi uterus dan
menyebabkan pembentukan ulang arteri spiralis, sementara melenyapkan
tunika media dari arteri spiralis miometrium; hal ini memungkinkan arteri
untuk mengakomodasi peningkatan aliran darah terlepas dari perubahan
vasomotor ibu untuk memberi makan janin yang sedang berkembang.
Bagian dari renovasi ini mensyaratkan bahwa trofoblas mengadopsi fenotipe

2
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

endotel dan berbagai molekul adhesi. Jika renovasi ini terganggu, plasenta
kemungkinan akan kekurangan oksigen, yang menyebabkan keadaan
iskemia relatif dan peningkatan stres oksidatif selama keadaan perfusi
intermiten. Renovasi arteri spiralis yang abnormal ini terlihat dan dijelaskan
lebih dari lima dekade yang lalu pada wanita hamil yang mengalami
hipertensi (Phipps et al., 2016).
Sejak itu terbukti menjadi faktor patogen sentral pada kehamilan yang
dipersulit oleh hambatan pertumbuhan intrauterin, hipertensi gestasional, dan
preeklamsia. Salah satu batasan teori ini, oleh karena itu, adalah bahwa
temuan ini tidak spesifik untuk preeklamsia dan dapat menjelaskan
perbedaan manifestasi antara preeklamsia plasenta dan preeklamsia ibu
(Phipps et al., 2016).

Ket : AT1-AA, autoantibodies to angiotensin receptor 1; COMT,


catechol-O-methyltransferase; HTN, hypertension; LFT, liver function test;
PlGF1, placental growth factor 1; PRES, posterior reversible encephalopathy
syndrome; sEng, soluble endoglin; sFlt-1, soluble fms–like tyrosine kinase 1;
sVEGFR1, soluble vascular endothelial
Gambar 2. Patogenesis Pre eclampsia (Phipps et al., 2016)

3
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Gambar 3. Patogenesis preeklamsia dengan efek selanjutnya pada ibu


dan janin.Kegagalan interaksi uterus trofoblas pada trimester pertama
menyebabkan respons stres di plasenta.Hal ini dapat memengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan pohon vili, memengaruhi transfer oksigen
dan nutrisi ke janin.Tekanan pada syncytiotrophoblast menyebabkan
pelepasan berbagai faktor ke dalam sirkulasi sistemik.Faktor-faktor ini
menyebabkan respon inflamasi sistemik akibat terganggunya fungsi
homoeostatik dari endotel ibu, termasuk regulasi pembekuan, transfer cairan,
dan tekanan darah (Burton et al., 2014)

Mekanisme yang mendasari preeklamsia dianggap gangguan plasentasi


karena invasi trofoblas yang tidak adekuat dari arteri spiralis ibu.
Berdasarkan penelitian terbaru, preeklamsia dianggap sebagai kelainan dua
tahap. Tahap pertama adalah penurunan perfusi plasenta karena kegagalan
renovasi pembuluh darah ibu. Ini menghasilkan ketidakseimbangan antara
faktor proangiogenik dan antiangiogenik, yang akibatnya adalah kerusakan
endotel yang mengarah ke tahap kedua: perkembangan sindrom ibu akut
dengan disfungsi multiorgan sistemik. Selain keadaan antiangiogenik, yang
tampaknya menjadi salah satu faktor terpenting, ada banyak mekanisme
patogenetik lain yang terlibat dalam preeklamsia, termasuk: stres oksidatif,
adanya autoantibodi reseptor angiotensin II (AT1) tipe-1, trombosit dan
trombin. aktivasi, dan peradangan intravaskular (Chaiworapongsa et al.,
2014)

4
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Keadaan antiangiogenik pada preeklamsia bermanifestasi sebagai


ekspresi berlebih dari tirosin kinase 1 seperti fms (sFlt-1), yang merupakan
bentuk terlarut dari reseptor tipe 1 untuk faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF). sFlt-1 mengikat VEGF dan faktor pertumbuhan plasenta
(PlGF) dan menyebabkan angiogenesis rusak dan disfungsi endotel. VEGF
dan PlGF sangat penting untuk pemeliharaan fungsi sel endotel, terutama
pada endotel berfenestrasi yang terdapat di otak, hati, dan glomeruli. Pada
preeklamsia konsentrasi plasma ibu dari sFlt-1 meningkat secara signifikan,
bahkan sebelum diagnosis klinis penyakit, sedangkan kadar VEGF dan PlGF
menurun secara signifikan (Chaiworapongsa et al., 2014).
Faktor antiangiogenik kedua yang terlibat dalam patogenesis preeklamsia
adalah endoglin yang dapat larut (sEng), sebuah co-reseptor permukaan sel
dari TGF-β (faktor pertumbuhan tumor β) yang menginduksi migrasi dan
proliferasi sel endotel. Konsentrasi sEng dalam plasma ibu pada preeklamsia
juga lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan kontrol yang sehat.
Stres oksidatif dan autoantibodi anti-AT1 dapat merangsang produksi faktor
antiangiogenik plasenta dan juga berkontribusi pada gangguan plasentasi dan
perkembangan preeklamsia (Chaiworapongsa et al., 2014)

Gambar 4. Patogenesis preeclampsia (Pankiewicz et al., 2019)

e. Manifestasi Klinis
1) Sakit kepala Gangguan penglihatan: Skotomata kabur dan berkilau
2) Status mental berubah Kebutaan: Mungkin kortikalatau retinal Dispnea

5
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

3) Edema: Peningkatan edema atau edema wajah secara tiba-tiba


4) Sakit perut epigastrik atau kuadran kanan atas
5) Kelemahan atau malaise: Mungkin merupakan bukti anemia hemolitik
6) Clonus: Dapat mengindikasikan peningkatan risiko kejang
Dampak

Gambar 5. Efek preeklamsia pada janin dan keturunan. HUVEC stands for
human umbilical vein endothelial cells; LV, left ventricle; LVEDV, left
ventricular end-diastolic volume (Fox et al., 2019)
f. Diagnosis

Tabel. 1 Kriteria diagnostic pre eclampsia (POGI, 2016)

Preeklampsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada


kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu
Tekanan darah sistolik ≥ 140 dan / atau tekanan darah diastolik ≥ 90
Tekanan darah harus diulang untuk memastikan hipertensi sebenarnya
Sphygmomanometer kristal cair harus digunakan dengan ukuran manset yang
sesuai.Atau, jika tidak tersedia perangkat otomatis yang dikalibrasi dengan
tepat.
Disertai dengan ≥1 dari kondisi onset baru berikut:
Proteiunuria Penilaian awal dengan urinalisis dipstick
otomatis.Jika tidak tersedia, analisis visual
dapat digunakan.
Jika dipstick positif (≥1 +), dikonfirmasi
dengan spot urine.Abnormal jika P: Cr ≥ 30
mg / mmol atau A: Cr ≥ 8 mg / mmol
Gangguan ginjal kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan

6
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

peningkatan kadar kreatinin serum pada


kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal
lainnya
Gangguan liver peningkatan konsentrasi transaminase 2
kali normal dan atau adanya nyeri di daerah
epigastrik / regio kanan atas abdomen

Didapatkan gejala neurologis stroke, nyeri kepala, gangguan visus


Gangguan pertumbuhan janin Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
yang menjadi tanda gangguan (FGR) atau didapatkan adanya absent or
sirkulasi uteroplasenta reversed end diastolic velocity (ARDV)

Trombositopenia trombosit < 100.000 / mikroliter, koagulasi


intravaskular diseminata, hemolisis)
Edema Paru

Kriteria Preeklampsia berat (diagnosis preeklampsia dipenuhi dan jika


didapatkan salah satu kondisi klinis dibawah ini :
1) Hipertensi :Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan
lengan yang sama
2) Trombositopeni :Trombosit < 100.000 / mikroliter
3) Gangguan ginjal :Kreatinin serum diatas 1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar
4) kreatinin serum dari sebelumnya pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal
lainnya
5) Gangguan Liver :Peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya
6) nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen Edema Paru
7) Gejala Neurologis :Stroke, nyeri kepala, gangguan visus
8) Gangguan Sirkulasi Uteroplasenta :Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction
(FGR) atau didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
(POGI, 2016)

7
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

g. Tata laksana

Gambar 6. Skema Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala Berat


(POGI, 2016)

8
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Gambar 7. Skema Manajemen Ekspektatif Preeklampsia Berat (POGI,


2016)

9
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Profilaksis kejang

Tatalaksana Hipertensi

Terapi pematangan paru

h. Komplikasi
1) Wanita dengan riwayat preeklampsia memiliki risiko penyakit
kardiovaskular, 4x peningkatan risiko hipertensi dan 2x risiko penyakit
jantung iskemik, stroke dan DVT di masa yang akan datang.

10
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

2) Risiko kematian pada wanita dengan riwayat preeklampsia lebih tinggi,


termasuk yang disebabkan oleh penyakit serebrovaskular

(Pankiewicz et al., 2019)

i. SKDI

3B. Gawat darurat :Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi
menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada
pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi
penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.

11
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

2. Respiratory Distress
a. Definisi
Gangguan pernapasan pada bayi baru lahir dikenali sebagai satu atau
lebih tanda peningkatan kerja pernapasan, seperti takipnea, nasal flaring,
retraksi dada, atau grunting (Reuter et al., 2014).
Takipnea : RR > 60 x : kompensasi untuk hiperkarbia, hipoksemia, atau
asidosis (baik metabolik maupun pernapasan).

b. Epidemiologi
Distress pernafasan mempengaruhi 7% nenonatus dan angka kejadian
meningkat pada kasus premature terutama bayi premature < 34 minggu.
Gangguan pernapasan adalah salah satu alasan paling umum mengapa
bayi dirawat di unit perawatan intensif neonatal. 15% bayi cukup bulan dan
29% bayi prematur terlambat yang dirawat di unit perawatan intensif
neonatal mengalami morbiditas pernapasan yang signifikan (Reuter et al.,
2014).
Respiratory distress syndrome (RDS) adalah penyebab paling umum dari
gangguan pernapasan pada bayi prematur, sekitar 24.000 bayi yang lahir di
Amerika Serikat setiap tahunnya.Ini juga merupakan komplikasi paling
umum dari prematuritas yang menyebabkan morbiditas yang signifikan
pada neonatus prematur akhir dan bahkan kematian pada bayi berat lahir
sangat rendah (Yadav & Kamity, 2020).
RDS paling sering terjadi pada bayi yang lahir pada usia kehamilan
kurang dari 28 minggu dan mempengaruhi sepertiga dari bayi yang lahir
pada usia kehamilan 28 sampai 34 minggu, tetapi terjadi pada kurang dari 5
% dari mereka yang lahir setelah usia kehamilan 34 minggu. Kondisi ini
lebih parah.sering terjadi pada anak laki-laki, dan kejadiannya kira-kira
enam kali lebih tinggi pada bayi yang ibunya menderita diabetes, karena
keterlambatan kematangan paru meskipun dilakukan makrosomi
(Hermansen & Lorah, 2007).

c. Klasifikasi

Klasifikasi Deskripsi
Transient Tachypnea of  Muncul dengan gangguan pernapasan dini
the Newborn (TTN)/ pada bayi cukup bulan dan bayi prematur
sindrom retensi cairan  Disebabkan oleh gangguan pembersihan cairan
paru-paru paru janin.
Patogenesis
Biasanya dalam rahim, ruang udara janin dan
kantung udara terisi cairan. Agar pertukaran gas
efektif terjadi setelah lahir, cairan ini harus
dibersihkan dari rongga udara alveolar. Pada usia

12
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

kehamilan lanjut dan sebelum kelahiran, klorida


dan saluran pengeluaran cairan di epitel paru
dibalik sehingga penyerapan cairan mendominasi
dan cairan dikeluarkan dari paru-paru. Proses ini
diperkuat oleh persalinan, sehingga pelahiran
sebelum awal persalinan meningkatkan risiko
tertahannya cairan paru janin.
Presentasi
 Datang dengan takipnea dan peningkatan kerja
pernapasan, yang berlangsung selama 24
hingga 72 jam.
 Radiografi dada menunjukkan infiltrat
parenkim difus berlebih karena cairan di
interstitium, cairan di celah interlobar, dan
kadang-kadang efusi pleura
 Gas daarah : asidosis respiratori ringan dan
hipoksemia
Tata laksana : suportif
 O2
 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
: membantu menjaga integritas alveolar dan
mendorong cairan ke dalam sirkulasi

Pneumonia neonatus Etiologi

 Bakteri, virus, jamur, spirochetal, atau


protozoa

 Pneumonia perinatal : paling umum pada bayi


cukup bulan, etio :Streptokokus grup B (GBS)
transplasenta, melalui cairan ketuban yang
terinfeksi, melalui kolonisasi pada saat lahir,
atau nosokomial.

 Pneumonia kongenital :secara transplasenta ke


janin. Patogen yang paling umum adalah
rubella, cytomegalovirus, adenovirus,
enteroviruses, mumps, Toxoplasma gondii,
Treponema pallidum, Mycobacterium
tuberculosis, Listeria monocytogenes, varicella
zoster, dan human immunodeficiency virus.
Patogenesis

13
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Ketidakmatangan sistem kekebalan bayi serta ciri-


ciri anatomi dan fisiologis paru membuat bayi
baru lahir berisiko lebih tinggi terkena infeksi.
Silia pernapasan yang kurang berkembang dan
penurunan jumlah makrofag paru mengakibatkan
penurunan pembersihan patogen dari sistem
pernapasan. Bayi baru lahir juga mengalami
penurunan fungsi kekebalan seluler dan humoral,
yang bahkan lebih terasa pada bayi prematur
Gejala, tanda, radiografi
 Bayi datang dengan peningkatan kerja
pernapasan dan kebutuhan oksigen.
 Radiografi dada sering menunjukkan infiltrat
parenkim difus dengan bronkogram udara atau
konsolidasi lobar dan Efusi pleura
Tatalaksana
kombinasi penisilin dan aminoglikosida

RDS (Respiratory Suatu kondisi insufisiensi paru yang dalam


Distress Syndrome)/ perjalanan alaminya dimulai pada atau segera
Hyaline Membrane setelah lahir dan meningkatkan keparahan selama
Disease 2 hari pertama kehidupan.Jika tidak diobati
kematian bisa terjadi akibat hipoksia progresif dan
gagal napas.Di resolusi penyintas dimulai antara 2
dan 4 hari
Patogenesis
Sel alveolar tipe II yang belum matang
menghasilkan lebih sedikit surfaktan,
menyebabkan peningkatan tegangan permukaan
alveolar dan penurunan komplians.Atelektasis
yang dihasilkan menyebabkan penyempitan
pembuluh darah paru, hipoperfusi, dan iskemia
jaringan paru.Membran hialin terbentuk melalui
kombinasi epitel terkelupas, protein, dan edema.
Edema paru memainkan peran sentral dalam
patogenesis RDS dan berkontribusi pada
perkembangan bronkogram udara.Kelebihan
cairan paru dikaitkan dengan cedera epitel di
saluran udara, penurunan konsentrasi saluran
penyerap natrium di epitel paru, dan oliguria
relatif dalam 2 hari pertama setelah lahir pada
bayi prematur.

14
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Gejala/tanda
tachypnea, nasal flaring, grunting, and subcostal,
intercostal, and/or suprasternal retractions
Tatalaksana
 cyanosis →supplemental oxygen.
 Kasus ringan RDS mungkin respons terhadap
tekanan CPAP, tetapi kasus berat
membutuhkan intubasi endotracheal dan
administrasi surfaktan exogen ke paru
Meconium Aspiration Terjadi ketika janin melalui Amnion dengan
Syndrome (MAS) meconium (MSAF/meconium-stained amniotic
fluid) : risiko mengalami aspirasi mekonium
dalam rahim atau segera setelah lahir.
Mekonium terdiri dari lanugo, empedu, vernix,
enzim pankreas, epitel deskuamasi, cairan
ketuban, dan lendir. Mekonium ada di saluran
pencernaan sejak usia kehamilan 16 minggu tetapi
tidak ada di kolon desendens bagian bawah
sampai usia kehamilan 34 minggu; oleh karena
itu, MSAF jarang terlihat pada bayi di bawah usia
kehamilan 37 minggu.

Pada janin yang mengalami gangguan, hipoksia


atau asidosis dapat menyebabkan gelombang
peristaltik dan relaksasi sfingter ani, yang
mengakibatkan pelepasan mekonium dalam
rahimAspirasi dapat dalam rahim atau segera
setelah lahir saat janin terengah-engah.
Patogenesis
 Mekonium beracun bagi paru-paru bayi baru
lahir, peradangan dan cedera epitel saat
bermigrasi ke distal. mekonium mencapai
saluran udara kecilobstruksi
parsialterperangkapnya udara dan
hiperaerasi
 PH asam mekonium ( 7,1 -- 7,2) peradangan
saluran napas dan pneumonitis kimiawi
dengan pelepasan sitokin.
 Surfaktan dinonaktifkan oleh asam empedu di
mekonium atelektasis terlokalisasi
Temuan dan radiografi
 Foto thoraks tipikal awalnya tampak bergaris-

15
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

garis dengan infiltrat parenkim difus


 sehingga radiograf dapat menyerupai RDS
dengan volume paru-paru rendah.
 sering terjadi : sindrom kebocoran udara :
pneumomediastinum, pneumotoraks, dan
PPHN

Tatalaksana
 O2
 Continuous Positive Airway Pressure (CPAP)
 Surfactan exogen

d. Faktor risiko

Penyakit Pernafasan Faktor risiko


TTN (Transient Tachypnea Operasi caesar, persalinan cepat, prematur
Of The Newborn.) terlambat atau cukup bulan awal, sedasi atau
pengobatan ibu, gawat janin, diabetes
gestasional
Penumonia neonates Ibu Carier Strectococcus grup B,
korioamnionitis, demam ibu, PROM,
prematuritas, depresi perinatal, prolonged
rupture of membranes (PROM)
Respiratory Distress Prematuritas, diabetes gestasional, bayi laki-
Syndrome (RDS) laki, kehamilan multipel,
MAS (Meconium Aspiration MSAF, gestasi postterm, gawat janin atau
Syndrome) depresi perinatal, etnis Afrika-Amerika
Hipoplasia pulmonal Oligohidramnion, displasia atau agenesis
ginjal, obstruksi saluran kemih, PROM
prematur, hernia diafragma, gangguan
neuromuskuler (hilangnya pernapasan janin /
dada berbentuk lonceng)
(Reuter et al., 2014).

e. Patogenesis
Penyebab gangguan pernapasan pada bayi baru lahir beragam dan
multisistem. Penyebab paru mungkin terkait dengan perubahan selama
perkembangan paru normal atau transisi ke kehidupan ekstrauterin. Penyakit
pernafasan bisa terjadi akibat kelainan perkembangan yang terjadi sebelum
atau sesudah lahir. Malformasi perkembangan awal termasuk fistula
trakeoesofagus, sekuestrasi bronkopulmonalis (massa abnormal jaringan

16
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

paru tidak terhubung ke pohon trakeobronkial), dan kista bronkogenik


(percabangan abnormal dari pohon trakeobronkial). Pada masa gestasi,
malformasi parenkim paru, termasuk malformasi adenomatoid kistik
kongenital atau hipoplasia paru akibat hernia diafragma kongenital atau
oligohidramnion berat, dapat terjadi. Penyakit pernafasan yang lebih umum,
seperti TTN, RDS, pneumonia neonatal, MAS, dan hipertensi paru persisten
pada bayi baru lahir (PPHN), terjadi akibat komplikasi selama masa transisi
prenatal ke postnatal(Reuter et al., 2014).
Meskipun alveoli dewasa hadir pada usia kehamilan 36 minggu, banyak
septasi alveolar dan maturasi mikrovaskuler terjadi setelah lahir. Paru-paru
belum berkembang sempurna sampai usia 2 sampai 5 tahun. Oleh karena itu,
penyakit paru-paru perkembangan juga dapat terjadi setelah lahir(Reuter et
al., 2014).
Bronchopulmonary dysplasia (BPD), misalnya, adalah penyakit paru-
paru yang signifikan yang memperumit prematuritas akibat alveolarisasi
yang terhenti pada paru-paru yang sedang berkembang yang terpapar
ventilasi mekanis, oksigen, dan mediator inflamasi lainnya sebelum
perkembangan normal selesai. Seperti yang didefinisikan oleh kebutuhan
oksigen yang sedang berlangsung pada usia kehamilan yang disesuaikan 36
minggu, BPD mempengaruhi hingga 32% bayi prematur dan 50% bayi
dengan berat lahir sangat rendah(Reuter et al., 2014).

Tabel 2.Tahapan Perkembangan Paru-Paru dan Patogenesis Penyakit


Pernafasan(Reuter et al., 2014).

17
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Surfaktan
Surfaktan paru menutupi lapisan dalam alveoli normal. Namun, pada
janin, alveoli yang berkembang terisi dengan cairan paru-paru janin, yang
tidak berkontribusi pada pertukaran gas. Selama kehidupan janin, produksi
surfaktan dimulai di sel alveolar tipe 2 sekitar usia kehamilan 20 minggu.
Surfaktan sebagian besar padat lipid, terdiri dari sekitar 70% hingga 80%
fosfolipid, 10% protein, dan 10% lipid netral. Surfaktan terdiri dari empat
protein khusus surfaktan (SP); SP-A, SP-B, SP-C, dan SP-D. SP-A dan SP-D
terlibat dalam mengatur proses inflamasi di paru-paru (Yadav & Kamity,
2020).
SP-B diperlukan untuk pembentukan badan lamelar normal dalam sel
tipe 2 dan juga terlibat dalam pemrosesan SP-C. SP-C adalah protein yang
mungkin bekerja dengan SP-B untuk meningkatkan deposisi surfaktan dan
berfungsi di dalam alveoli dengan menurunkan tegangan permukaan.Di
dalam sel alveolar tipe 2, sintesis surfaktan dimulai dengan fosfolipid di
retikulum endoplasma. Transfer fosfolipid melalui badan Golgi ke dalam
badan lamelar. Kompleks lipoprotein surfaktan (SP-A, SP-B, SP-C, dan
fosfolipid) terbentuk di dalam badan lamelar di permukaan apikal sel tipe 2,
yang kemudian dilepaskan ke alveoli melalui eksositosis (Yadav & Kamity,
2020).
Paru-paru mengalami gaya karena elastisitas dinding dada dan parenkim
paru-paru, dan tegangan permukaan antarmuka cairan-udara di saluran udara
kecil dan alveoli. Kompleks lipoprotein surfaktan penting karena
menurunkan tegangan permukaan pada saluran udara kecil dan alveoli, yang
mencegah kolapsnya alveoli dan masuknya cairan interstisial ke dalam ruang
udara (Yadav & Kamity, 2020).
Sel tipe 2 menyerap kembali kompleks surfaktan yang disekresikan dari
ruang udara. Molekul surfaktan didaur ulang kembali oleh endositosis
menjadi badan multivesikuler dan akhirnya menjadi badan lamelar. Proses
daur ulang surfaktan endogen dan eksogen dari alveoli bertanggung jawab
untuk memelihara kolam surfaktan. Selain jumlah surfaktan yang lebih
rendah, bayi prematur juga mengalami penurunan aktivitas surfaktan karena
komposisinya (Yadav & Kamity, 2020).

RDS
Sindrom gangguan pernapasan (RDS) neonatal disebabkan oleh
defisiensi surfaktan, terutama dalam konteks paru-paru yang belum matang.
Kekurangan surfaktan meningkatkan tegangan permukaan dalam saluran
udara kecil dan alveoli, sehingga mengurangi kepatuhan paru yang belum
matang. Keseimbangan tekanan yang halus pada antarmuka udara-cairan
sangat penting untuk mencegah runtuhnya alveolus atau pengisian alveolus

18
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

dengan cairan. Patofisiologi RDS dapat dijelaskan menggunakan hukum


LaPlace, dilambangkan sebagai:

P = 2T / R
P : tekanan
T: tegangan permukaan
R: jari-jari

Hukum Laplace menjelaskan hubungan antara perbedaan tekanan di


antarmuka dua fluida statis dengan bentuk permukaan. Saat tegangan
permukaan meningkat pada tingkat alveolar, jumlah tekanan yang
dibutuhkan untuk mempertahankan bentuk alveolar meningkat. Dengan
produksi surfaktan yang berkurang, atelektasis terjadi di seluruh paru-paru,
menyebabkan pertukaran gas berkurang. Atelektasis yang meluas dan
berulang akhirnya merusak epitel pernapasan, menyebabkan respons
inflamasi yang dimediasi oleh sitokin. Sebagai edema paru berkembang
sebagai akibat dari respon inflamasi, peningkatan jumlah cairan kaya protein
dari ruang vaskular bocor ke alveoli, yang selanjutnya menonaktifkan
surfaktan.
Selain itu, banyak bayi dengan RDS memerlukan ventilasi mekanis, yang
mungkin memiliki efek merusak pada paru-paru. Alveoli yang mengalami
tekanan berlebih selama ventilasi tekanan positif menyebabkan kerusakan
dan peradangan lebih lanjut. Selain itu, stres oksidatif yang dihasilkan oleh
tekanan oksigen tinggi dari ventilasi mekanis dan proses inflamasi di dalam
paru juga mendorong konversi surfaktan menjadi bentuk tidak aktif melalui
kerusakan oksidan protein dan peroksidasi lipid. Jadi RDS dapat
menyebabkan hipoksemia melalui hiperventilasi alveolar, kelainan difusi,
ketidakcocokan ventilasi-perfusi, pirau intrapulmonal, atau kombinasi dari
mekanisme ini. Hipoksemia dan hipoperfusi jaringan ini pada akhirnya
menyebabkan peningkatan metabolisme anaerobik pada tingkat sel yang
mengakibatkan asidemia laktat (Yadav & Kamity, 2020).

f. Manifestasi Klinis
1) Takipnea
2) Nafas cuping hidung
3) Grunting
4) Retraksi subkostal, interkostal, dan / atau suprasternal.
Tabel 3. Karakteristik pernafasan gangguan nafas pada naonatus

Tipe Definisi Penyebab


Stertor Suara dengkuran nyaring, nada Obstruksi nasofaring
menengah, monofonik, dapat — sekresi hidung atau

19
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

menyebar ke seluruh saluran udara, jalan napas, kongesti,


terdengar paling keras dengan stenosis koanal,
stetoskop di dekat mulut dan jaringan atau lidah
hidung saluran napas bagian
atas yang membesar
atau berlebihan
Stidor monofonik, dan dapat Obstruksi laring —
didengar.Biasanya bernada laringomalasia,
tinggi.Jenis: Inspiratory (di atas pita paralisis pita suara,
suara), biphasic (di glotis atau stenosis subglotis,
subglottis), atau ekspirasi (trakea cincin vaskular,
bawah) papilomatosis, benda
asing
Wheezin Suara bernada tinggi, bersiul, Obstruksi jalan napas
g biasanya ekspirasi, polifonik, bagian bawah —
paling keras di dada MAS, bronkiolitis,
pneumonia
Grunting Suara ekspirasi bernada rendah atau Gejala kompensasi
sedang yang disebabkan oleh untuk kepatuhan paru
penutupan glotis secara tiba-tiba yang buruk — TTN
selama ekspirasi dalam upaya untuk (ransient tachypnea of
mempertahankan FRC (functional the newborn., RDS,
residual capacity) pneumonia,
atelektasis,
malformasi atau
hipoplasia paru
kongenital, efusi
pleura, pneumotoraks
(Reuter et al., 2014).

g. Diagnosis
Tanda-tanda kecurigaan :
1) Sering lahir prematur dan muncul dengan tanda-tanda gangguan
pernapasan biasanya segera setelah melahirkan, atau dalam beberapa
menit setelah lahir.
2) Bayi mungkin datang dengan:
 suara napas yang menurun dan kemungkinan denyut perifer yang
berkurang.
 Setelah pemeriksaan klinis, neonatus tersebut memiliki tanda dan
gejala peningkatan kerja pernapasan, termasuk takipnea,
dengkuran ekspirasi, flaring hidung, retraksi (subkostal,

20
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

subxiphoid, interkostal, dan suprasternal) dan penggunaan otot


aksesori, serta sianosis dan perfusi perifer yang buruk.
 Auskultasi menunjukkan penurunan masuk udara yang seragam.
3) Pada RDS yang tidak diobati, gejalanya akan semakin memburuk selama
48 hingga 72 jam menuju kegagalan pernapasan, dan bayi bisa menjadi
lesu dan apnea.
4) Bayi juga dapat mengalami edema ekstremitas perifer dan menunjukkan
tanda-tanda keluarnya urin yang menurun

Derajat beratnya distress nafas dapat dinilai dengan menggunakan skor


Silverman- Anderson dan skor Downes. Skor Silverman-Anderson lebih sesuai
digunakan untuk bayi prematur yang menderita hyaline membrane disease
(HMD), sedangkan skor Downes merupakan sistem skoring yang lebih
komprehensif dan dapat digunakan pada semua usia kehamilan. Penilaian
dengan sistem skoring ini sebaiknya dilakukan tiap setengah jam untuk menilai
progresivitasnya (Effendi & Firdaus, 2010).

Tabel 4. Evaluasi napas dengan skor downes

Analisis gas darah merupakan indikator definitif dari pertukaran gas


untuk menilai gagal nafas akut. Meskipun manifestasi klinis yang ada
memerlukan tindakan intubasi segera dan penggunaan ventilasi mekanis,
pengambilan sampel darah arterial diperlukan untuk menganalisis tekanan gas
darah (PaO2, PaCO2, dan pH) sambil melakukan monitoring dengan pulse
oxymetri. Hipoksemia berat ditandai dengan PaO2 < 50-60 mmHg dengan FiO2
60% atau PaO2 < 60 mmHg dengan FiO2 > 40% pada bayi < 1250 g,
Hiperkapnik berat dengan PaCO2 > 55-60 mmHg dengan pH <7,2-7,25

Tabel 5. Nilai Analisis gas Darah

21
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan sebagai pemeriksaan awal


pada pasien yang mengalami distress pernafasan antara lain: rontgen toraks
(dapat dilakukan setelah pemasangan ETT), pemeriksaan darah untuk skrining
sepsis, termasuk pemeriksaan darah rutin, hitung jenis, apus darah tepi, C-
reactive protein, kultur darah, glukosa darah, dan elektrolit (Effendi & Firdaus,
2010).

Tabel 6. Pemeriksaan Penunjang pada Neonatus yang mengalami


Distress Pernafasan

Selain menilai beratnya distress nafas yang terjadi, diperlukan juga


penilaian untuk memperkirakan penyebab dasar gangguan nafas untuk
penatalaksanaan selanjutnya. Pada bayi yang baru lahir dan mengalami distress
nafas, penilaian keadaan antepartum dan peripartum penting untuk dilakukan.
Beberapa pertanyaan yang dapat membantu memperkirakan penyebab distress
nafas antara lain: apakah terdapat faktor resiko antepartum atau tanda-tanda
distress pada janin sebelum kelahiran, adanya riwayat ketuban pecah dini,
adanya mekoneum dalam cairan ketuban, dan lain-lain (Effendi & Firdaus,
2010).

Pada pemeriksaan fisik, beberapa hasil pemeriksaan yang ditemukan


juga dapat membantu memperkirakan etiologi distress nafas. Bayi prematur
dengan berat badan lahir < 1500 gram dan mengalami retraksi kemungkinan

22
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

menderita HMD, bayi aterm yang lahir dengan mekoneum dalam caian ketuban
dan diameter antero-posterior rongga dada yang membesar beresiko mengalami
MAS, bayi yang letargis dan keadaan sirkulasinya buruk kemungkinan
menderita sepsis dengan atau tanpa pneumonia, bayi yang hampir aterm tanpa
faktor resiko tetapi mengalami distress nafas ringan kemungkinan mengalami
transient tachypnea of the newborn (TTN), dan hasil pemeriksaan fisik lainnya
yang dapat membantu memperikirakan etiologi distress nafas(Effendi & Firdaus,
2010).

Kriteria diagnosis sindrom distres pernapasan sebagai berikut:

1) Tekanan parsial oksigen (PaO2) kurang dari 50 mmHg dan sianosis sentral
pada keadaan udara ruangan. Dalam hal ini, bayi membutuhkan suplementasi
oksigen untuk menjaga agar PaO2 berada pada tekanan lebih dari 50 mmHg,
atau untuk menjaga agar saturasi oksigen 85% atau lebih.
2) Gambaran radiografi toraks dalam 24 jam usia bayi berupa pola
retikulogranular pada lapangan paru dengan atau tanpa adanya air
bronchogram (Suminto, 2017)

Respiratory distress syndrome dapat diklasifikasikan menurut gambaran


radiologis:
Derajat 1: Gambaran opasitas retikulogranuler „„
Derajat 2: Seperti gambaran derajat 1 dengan air bronchogram (bronkus
besar tidak kolaps)
Derajat 3: Seperti gambaran derajat 2 dengan batas jantung dan diafragma
tidak jelas „„
Derajat 4: White lung: opasitas paru homogen (Suminto, 2017)

Diagnosis dapat dipastikan pada rontgen dada dengan tampilan klasik 'kaca
tanah' dan bronkogram udara.Definisi Vermont Oxford Neonatal Network
mengharuskan bayi memiliki PaO2 -50 mm Hg (-6,6 kPa) di udara kamar,
sianosis sentral di udara kamar, atau kebutuhan oksigen tambahan untuk
mempertahankan PaO2) 50 mm Hg () 6,6 kPa) sertapenampilan rontgen dada
klasik

h. Diagnosis Banding

Diagnosis Etiology Onset Faktor risiko Gambaran Rontgen


kelahiran Klinis Thorax
RDS Defisiensi Prematur Laki laki Takipnea Infiltrat
surfaktan Ibu DM Hipoksia homogeny,
Paru belum Kelahiran cyanosis Air
berkembang prematur bronchogram,

23
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Volume paru
berkurang
TTN Cairan paru- - Kelahiran Takipnea, Infiltrat
paru yang sesar, sering parenkim,
persisten Makrosomia tanpa Siluet basah
Jenis kelamin hipoksia/ sekitar
laki-laki, cyanosis jantung,
Asma ibu, Akumulasi
Diabetes ibu cairan intra
lobar
MAS Iritasi dan Term Meconium- Takipnea Atelektasis
obstruksi paru- post term stained hipoksia Patchy,
paru amniotic konsolidasi
fluid,
Kelahiran
post term
Ket : TTN = transient tachypnea of the newborn; RDS = respiratory distress
syndrome; MAS = meconium aspiration syndrome(Hermansen & Lorah,
2007).

i. Tatalaksana

24
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Gambar 1. Algoritma yang disarankan untuk manajemen gangguan


pernapasan neonatal.(RDS = sindrom gangguan pernapasan; MAS = sindrom
aspirasi mekonium; NICU = unit perawatan intensif neonatal; TTN =
takipnea transien pada bayi baru lahir.) (Hermansen & Lorah, 2007).

Prinsip penatalaksanaan bayi RDS adalah mencegah hipoksemia dan


asidosis, manajemen cairan untuk mencegah hipovolemia, syok dan edema,
mengurangi kebutuhan metabolik, mencegah perburukan atelektasis dan edema
pulmoner, mengurangi oxidant lung injury, mengurangi kerusakan paru akibat
ventilasi mekanik. Saat ini continuous positive airway pressure (CPAP) sebagai
upaya primer dalam bantuan respirasi sudah banyak digunakan untuk
menghindari intubasi pada ruang bersalin. Pada bayi dengan usia gestasi <29
minggu, pemberian CPAP dini dapat mengurangi kebutuhan ventilator dan
menurunkan mortalitas atau insidens BPD (bronchopulmonary dysplasia).

25
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Namun, banyak di antara bayi tersebut pada akhirnya memerlukan intubasi dan
pemberian surfaktan. Dari penemuan-penemuan ini dapat disimpulkan bahwa
pemberian CPAP dapat gagal pada bayi dengan defisiensi surfaktan yang
signifikan dan prognosis bayi prematur yang mendapat CPAP dapat meningkat
bila bayi yang menunjukkan tanda defisiensi surfaktan mendapatkan surfaktan
eksogen (Suminto, 2017)
Terapi Surfaktan Sebagai Tatalaksana Respiratory Distress Syndrome
Sejak tahun 1980, berbagai preparat surfaktan eksogen sintetik ataupun
natural mulai dikembangkan. Surfaktan sintetik tanpa protein kurang efektif
dibandingkan surfaktan natural dengan SP-B dan SP-C.25 Saat ini telah
dikembangkan surfaktan sintetik yang mengandung analog protein polipeptida
atau rekombinan protein C surfaktan manusia, salah satunya adalah Lucinactant.
SELECT trial membandingkan protein sintetik Lucinactant dosis 175 mg
fosfolipid dengan surfaktan natural yaitu Beractant (ekstrak paru bovine +
DPPC, asam palmitat, tripalmitin) dosis 100 mg fosfolipid pada 1295 bayi
prematur. Hasilnya lucinactant menghasilkan angka mortalitas yang lebih
rendah pada hari ke- 14 dibandingkan dengan beractant (4,7 vs 10,5%).
Kematian atau kejadian BPD pada usia 36 minggu serupa pada kedua kelompok.
Disimpulkan bahwa lucinactant memiliki efikasi klinis serupa dengan
preparat surfaktan natural. Banyak penelitian membuktikan terapi surfaktan
profilaksis ataupun terapeutik dapat mengurangi risiko pneumotoraks dan
kematian neonatal pada bayi dengan risiko RDS. Kandraju, et al,
membandingkan pemberian surfaktan profilaksis dan selektif, dan
menyimpulkan bahwa pemberian surfaktan rutin secara dini pada 2 jam pertama
kehidupan mengurangi kebutuhan ventilasi mekanik secara signifikan (16,2 vs
31,6%). Namun, pada penelitian-penelitian ini bayibayi tersebut tidak
mendapatkan CPAP pada awal terapi dan hanya dibandingkan dengan bayi yang
mendapatkan ventilasi mekanik. Sebuah metaanalisis Rojas-Reyes, et al,
menyimpulkan bahwa penanganan surfaktan profilaksis tidak lebih baik
dibandingkan CPAP diikuti pemberian surfaktan selektif dalam mengurangi
kebutuhan ventilasi mekanik, pneumotoraks, dan BPD, atau mortalitas di era
pemberian kortikosteroid antenatal dan CPAP(Suminto, 2017)
American Association of Pediatrics merekomendasikan pemberian CPAP
segera setelah lahir dengan pemberian surfaktan selektif sebagai terapi alternatif.
Alternatif pemberian surfaktan yang saatini sering digunakan adalah dengan
teknik INSURE (intubation-surfactant-extubation) dilanjutkan dengan CPAP.
Naseh, et al, meneliti 242 neonatus yang diberi surfaktan dengan teknik
INSURE, 74% berhasil dan kebutuhan ventilasi mekanik dapat dieliminasi.
Keberhasilan INSURE ditentukan oleh jenis persalinan, berat badan bayi, usia
gestasi, dan jumlah bayi yang lahir (Suminto, 2017)

26
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Teknik lain yang saat ini sedang dikembangkan adalah minimally


invasive surfactant administration (MIST) dengan cara memasukkan kateter ke
dalam trakea bayi yang mendapat CPAP. Kanmaz, et al, membandingkan teknik
Take-Care procedure (memasukkan kateter lunak 3 cm dengan laringoskop
Millar 00 ke dalam trakea) dengan teknik INSURE; disimpulkan bahwa dengan
teknik tersebut memiliki keunggulan antara lain durasi penggunaan ventilasi
mekanik lebih pendek dan kejadian BPD lebih rendah secara signifikan. Hal ini
karena ventilasi manual sebelum intubasi dapat menyebabkan cedera paru dan
menumpulkan efek surfaktan. Dengan teknik tersebut, bayi dapat
mempertahankan pola pernapasan yang sama (Suminto, 2017)

Premedikasi sedasi sebelum intubasi juga menyebabkan depresi napas


dan mengganggu distribusi surfaktan. Data eksperimental menyimpulkan bahwa
pemberian surfaktan pada orang yang bernapas spontan menghasilkan dispersi
yang lebih efektif dan masuknya fosfolipid ke jaringan yang lebih besar
(Suminto, 2017)

European Consensus Guidelines RDS

27
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

j. Komplikasi
1) Komplikasi akut akibat ventilasi tekanan positif atau ventilasi mekanis
invasif termasuk sindrom kebocoran udara seperti pneumotoraks,
pneumomediastinum, dan emfisema interstisial paru.
2) Peningkatan kejadian perdarahan intrakranial dan patent ductus arteriosus
pada bayi berat lahir sangat rendah dengan RDS, meskipun secara
independen terkait dengan prematuritas itu sendiri.
3) komplikasi kronis : BPD/Bronchopulmonary dysplasia
Patofisiologi BPD melibatkan perkembangan paru yang terhambat serta
cedera dan peradangan paru.
4) Cedera dan peradangan pada paru, yang selanjutnya mengganggu
perkembangan normal alveoli dan pembuluh darah paru. Juga, stres
oksidatif dari hiperoksia sekunder akibat ventilasi mekanis, dan
penurunan kemampuan anti-oksidan dari paru-paru prematur, keduanya

28
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

menyebabkan kerusakan lebih lanjut pada paru-paru melalui peningkatan


produksi pada TGF-β1 dan sitokin pro-inflamasi lainnya.
Keterlambatan perkembangan saraf , terutama pada bayi yang menerima
ventilasi mekanis dalam jangka panjang. Insiden cerebral palsy juga
meningkat pada bayi dengan RDS, dengan penurunan insiden seiring
bertambahnya usia kehamilan. Lamanya waktu ventilasi mekanis berkorelasi
dengan peningkatan laju kelumpuhan serebral dan keterlambatan
perkembangan saraf (Yadav & Kamity, 2020).

k. Prognosis
Prognosis bayi yang ditangani dengan steroid antenatal, dukungan
pernapasan, dan terapi surfaktan eksogen sangat baik.Kematian kurang dari
10%, dengan beberapa penelitian menunjukkan tingkat kelangsungan hidup
hingga 98% dengan perawatan lanjutan.Peningkatan kelangsungan hidup di
negara maju dibandingkan dengan bayi yang tidak menerima intervensi di
negara berpenghasilan rendah, di mana tingkat kematian bayi prematur
dengan RDS secara signifikan lebih tinggi, terkadang mendekati 100%.
Dengan dukungan ventilasi yang memadai saja, produksi surfaktan akhirnya
dimulai, dan setelah produksi surfaktan dimulai bersamaan dengan
timbulnya diuresis, RDS membaik dalam 4 atau 5 hari.Penyakit yang tidak
diobati yang menyebabkan hipoksemia parah pada hari-hari pertama
kehidupan dapat menyebabkan kegagalan banyak organ dan kematian
(Yadav & Kamity, 2020).

l. SNPPDI

Gawat napas (respiratory distress) : 4


Lulusan dokter dapat memperlihatkan keterampilannya tersebut dengan
menguasai seluruh teori, prinsip, indikasi, langkah-langkah cara melakukan,
komplikasi, dan pengendalian komplikasi. Selain pernah melakukannya di
bawah supervisi sesuai dengan keterampilan klinik yang dipercayakan
(entrustable professional activity), dinyatakan lulus pada pengujian
keterampilan tingkat kemampuan 4 dengan menggunakan Work-based
Assessment misalnya mini-CEX, portofolio, buku log, dan sebagainya.

29
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Analisis Masalah

1. Indication of sesarean section was due to pre eclampsia.


a. Apa indikasi c-section darurat?
Jawab
Indikasi C section
Maternal
1) Persalinan lama / terhambat:
Persalinan lama adalah bila durasi persalinan melebihi 24 jam. Hal ini
mungkin disebabkan oleh fase laten yang berkepanjangan, lebih dari 20 jam
pada primigravida atau lebih dari 14 jam pada multipara, atau karena dilatasi
serviks yang tertunda atau kurang pada fase aktif persalinan dan penurunan
janin yang berlarut-larut
Dalam persalinan lama, gawat janin bisa terjadi dan bayi perlu dipantau.
Jika ada indikasi bayi menderita, sebaiknya lanjutkan dengan forsep, vakum
atau operasi caesar darurat tergantung situasinya
2) Persalinan sesar sebelumnya:
Risiko komplikasi pada ibu meningkat dengan meningkatnya jumlah
persalinan sesar, terutama risiko plasenta akreta
3) Anatomi panggul:
Android, rickettsia, patah tulang panggul sebelumnya, spondilolistesis dan
malnutrisi saat tumbuh dewasa, dapat menyebabkan malformasi
panggul.Pelvis menjadi matang dan berubah selama masa pubertas, angka
operasi caesar meningkat semakin muda ibunya, menunjukkan bahwa
ukuran panggul merupakan indikator untuk kelahiran sesar
4) Preeklamsia:
Penyakit ini menyebabkan dua sindrom, satu pada ibu dan satu pada
janin.Penyakit ibu terdiri dari tekanan darah tinggi, proteinuria,
kemungkinan edema dan aktivasi sistem koagulasi. Penyakit ibu dapat
berkembang lebih lanjut menjadi sindrom HELLP (Hemolisis, Peningkatan
Enzim Hati, Trombosit Rendah) yang merupakan penyakit langka, tetapi
sangat berbahaya.Wanita biasanya mengalami nyeri di epigastrium atau di
bawah lengkungan kosta kanan.Dia mungkin mual.Kecurigaan sindrom
HELLP adalah keadaan darurat.Kondisi ini mengancam nyawa ibu sehingga
harus segera dilakukan operasi caesar darurat Sindrom janin dimulai dengan
kegagalan fungsi plasenta.
5) PIH- hipertensi yang diinduksi kehamilan:
Hipertensi yang diinduksi kehamilan adalah hipertensi setelah 20 minggu
kehamilan tanpa proteinuria, yang menurun dalam 12 minggu postpartum.
6) Infeksi:
Banyak infeksi dan penyakit pada ibu yang dapat menyerang bayi baru
lahir.Infeksi menyebabkan peningkatan risiko abortus spontan, kelahiran
prematur, hambatan pertumbuhan intrauterin, dan infeksi pada janin. Contoh
: HIV, herpes
7) Plasenta praevia dan solusio plasenta:

30
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Pada plasenta praevia, plasenta terletak sebagian di atas pintu keluar


janin.Hal ini dapat menyebabkan perdarahan hebat dengan kehilangan
banyak darah baik untuk ibu maupun anak.
Janin
1) Gawat janin:
Janin bereaksi terhadap timbulnya asfiksia.Ini dapat menyebabkan
serangkaian tanggapan.Reaksi yang paling umum pada janin adalah
perubahan pola denyut jantung janin dengan deselerasi lambat, deselerasi
variabel, atau bradikardia berkepanjangan
2) Presentasi bayi:
 Presentasi bokong
 Presentasi melintang
3) Bayi besar
>4500 gram
4) Bayi multiple
5) Kelahiran premature : < 37 minggu karena memiliki peningkatan risiko
perdarahan intrakranial dan kesulitan jalan lahir.

b. Bagaimana mekanisme terjadinya preeclampsia?


Jawab
 Faktor genetic + imunologik →Invasi trofoblas ke arteri spinalis ibu
inadekuat→Aliran darah placenta↓ + hipoksia→Stres oksidatif dan
autoantibodi anti-AT1 + Pelepasan sitokin proinflamasi→produksi faktor
antiangiogenik plasenta→ketidakseimbangan antara faktor
proangiogenik dan antiangiogenik→kerusakan endotel →resistensi
vascular total ↑→hipertensi
 kerusakan endotel → Disfungsi multiorgan
 Disfungsi multi organ + hipertensi→ pre eclampsia

31
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

c. Bagaimana faktor resiko dari kejadian preeclampsia?


Jawab

d. Bagaimanakah dampak lebih lanjut dari preeclampsia?


Jawab

32
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

e. Bagaimana manifestasi klinis dari ibu yang mengalami pre eclampsia?


Jawab
1) Sakit kepala Gangguan penglihatan: Skotomata kabur dan berkilau
2) Status mental berubah Kebutaan: Mungkin kortikalatau retinal Dispnea
3) Edema: Peningkatan edema atau edema wajah secara tiba-tiba
4) Sakit perut epigastrik atau kuadran kanan atas
5) Kelemahan atau malaise: Mungkin merupakan bukti anemia hemolitik
6) Clonus: Dapat mengindikasikan peningkatan risiko kejang

2. Her mother was an 18 years old woman, primigravida. She never did ante natal
care during her pregnancy. She came to emergency department with high blood
pressure, then emergency C-section was performed, without chance to be given
lung maturation treatment (dexametason). The mother never had fever or
premature rupture of membrane. The amnion fluid was clear. She forgot the last
periode date, but she said around 8 months.
a. Apa makna klinis dari tidak ditemukannya demam serta pecah ketuban dini?
Jawab
Tidak ditemukannya demam bermakna ibu tidak sedang mengalami infeksi
sehingga dapat menyingkirkan kemungkinan pneumonia neonates nantinya dan
suspek infeksi intrauterine. Tidak adanya ketuban pecah dini bermakna
kemungkinan tidak berisiko mengalami chorioamnionitis, sepsis, abruption
placenta dan prolaps tali pusat.

b. Apa kemungkinan yang akan terjadi akibat dari darah tinggi yang dialami ibu
terhadap janin?
Jawab
Hipertensi maternal kemungkinan dapat menyebabkan hipoksia janin, abruption
placenta, kelahiran premature dan kematian janin dalam kandungan.

c. Bagaimana hubungan antara usia ibu dengan keadaan yang dialami pada kasus?
Jawab
Ibu usia < 20 tahun dan > 30 tahun memiliki risiko pre eclampsia yang lebih
besar. Usia < dari 20 tahun berisiko 3.87 kali mengalami pre eclampsia
disbanding usia > 20 tahun. Insidensi tertinggi preeclampsia ada di usia 18-22
tahun (kumara et al., 2016), selain itu ibu usia < 19 tahun berisiko mengalami
komplikasi kelahiran termasuk kelahiran premature.

d. Bagaimana fisiologi maturasi paru janin?


Jawab
Tingkatan perkembangan :
1) Embrionik: 0-6 minggung : Pembentukan trakea dan bronki

33
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

2) Pseudoglandular : 7-16 minggu : pembentukan bronkiolus dan bronkiolus


terminalis dan sirkulasi paru
3) Canalicular : 17-24 minggu: bronkiolus respiratory, dan alveoli primitive
4) Saccus terminalis: 25-36 minggu: Pembentukan duktus alveolar, saccus
alveolar yang tebal, dan peningkatan fungsional sel pneumosit tipe 2
(produksi surfaktan)
5) Alveolar : >37 minggu- 2—2,5 tahun post natal: Alveoli definitive dan
pneumocyt tipe 2 yang matur

e. Bagaimana peran dexamethason dalam lung maturation treatment? Bagaimana


cara pematangannya?
Jawab
Dexametasone dan kortikosteroid lainnya mematurasi paru dengam
menstimulasi produksi dan pelepasan surfaktan. Diduga mekanismenya
kortikosteroid menginduksi sintesis asam ribonukleat yang mengkode beberapa
protein yang terlibat dalam biosintesis phospolipid dan pemecahan glikogen.
Protein spesifik yang diinduksi diduga enzim yang terlibat dalam sintesis
surfaktan.

f. Bagaimana hubungan tidak dilakukannya antenatal care dengan keluhan yang


dialami ibu dan bayi pada kasus?
Jawab
Antenatal care dapat mendeteksi dini risiko pre eclampsia dan merencanakan
metode kelahiran yang tepat untuk ibu. Tidak dilakukannya antenatal care
berhubungan dengan gagalnya deteksi dini risiko kehamilan seperti pre eclampsi
dan kemungkinan kelahiran premature.

g. Apa saja agen farmakologis yang dapat digunakan untuk pematangan paru selain
deksametason?
Jawab
Kortikosteroid lainnya dapat digunakan sebagai obat pematangan paru, tetapi
yang paling luas digunakan adalah dexametason dan betametasone

h. Apa saja karakteristik cairan amnion yang normal?


Jawab
 Berwarna bening hingga kuning pucat
 Tidak berbau, atau sedikit manis dalam baunya
 fetal amniotic fluid index(AFI) 5 cm dan kurang dari 24 cm
i. Apa makna dari haid terakhir yang terjadi 8 bulan yang lalu?
Jawab
Maknanya, usia kehamilan sudah 8 bulan.

34
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

3. The baby was not breathing spontaneously after birth. Pediatric residence did
resuscitation procedure to her. Apgar score 1 for 1st minute and 3 for 5th
minutes and 6 at 10th minute. The baby still had difficulty while breathing after
10 minutes.
a. Bagaimana prosedur resusitasi bayi baru lahir?
Jawab

35
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

b. Bagaimana cara menghitung Apgar score?


Jawab

36
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Ada lima bagian skor Apgar.Setiap kategori diberi bobot secara merata dan
diberi nilai 0, 1, atau 2. Komponen tersebut kemudian dijumlahkan untuk
memberikan skor total yang dicatat pada 1 dan 5 menit setelah lahir.Skor 7
hingga 10 dianggap meyakinkan, skor 4 hingga 6 cukup abnormal, dan skor 0
hingga 3 dianggap rendah pada bayi cukup bulan dan bayi prematur
terlambat.Pada 5 menit, ketika bayi memiliki skor kurang dari 7, pedoman
Program Resusitasi Neonatal merekomendasikan perekaman lanjutan dengan
interval 5 menit hingga 20 menit.Perlu dicatat bahwa penilaian selama resusitasi
tidak sama dengan bayi yang tidak menjalani resusitasi karena upaya resusitasi
mengubah beberapa elemen skor.

37
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

c. Mengapa bayi masih sulit bernapas setelah 10 menit resusitasi?


Jawab
Karena bayi mengalami defisiensi surfaktan sehingga compliance paru buruk.
Meski sudah resusitasi, bayi masih akan terus sulit bernafas.

d. Bagaimana interpretasi dari hasil skor apgar bayi?


Jawab

Waktu Skor Apgar Rujukan Interpretasi


1 menit pertam 1 7-10 Tidak bermakna
5 menit 3 7-10 Peningkatan risiko relatif
cerebral palsy
10 menit 6 7-10 Rendah

e. Apa saja indikasi resusitasi pada bayi?


Jawab
Minimal salah satu dari 3 kriteria tidak ada:
1) Usia gestasi normal
2) Tonus oto baik
3) Bernafas atau menangis
f. Bagaimana tatalaksana lanjutan pasien sulit bernafas setelah 10 menit sesudah
dilakukan resusitasi?
Jawab
Pertimbangkan intubasi apabila VTP (Ventilasi teknana positif) tidak membuat
dinding dada bergerak bahkan setelah koreksi VTP dan peningkatan tekanan.

38
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

DAFTAR PUSTAKA

Burton, G. J., Redman, C. W., Roberts, J. M., & Moffett, A. (2019). Pre-eclampsia:
pathophysiology and clinical implications. BMJ (Clinical research ed.), 366,
l2381. https://doi.org/10.1136/bmj.l2381

Chaiworapongsa T, Chaemsaithong P, Yeo L, Romero R. Pre-eclampsia part 1:


current understanding of its pathophysiology. Nat Rev Nephrol. 2014;10:466–
480.

Effendi, S. H., & Firdaus, A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan Kegagalan


Nafas pada Neonatus. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran .

Fox, R., Kitt, J., Leeson, P., Aye, C., & Lewandowski, A. J. (2019). Preeclampsia:
Risk Factors, Diagnosis, Management, and the Cardiovascular Impact on the
Offspring. Journal of clinical medicine, 8(10), 1625.
https://doi.org/10.3390/jcm8101625

Hermansen, C. L., & Lorah, K. N. (2007). Respiratory distress in the newborn.


American family physician, 76(7), 987–994.

Pankiewicz, K., Szczerba, E., Maciejewski, T., & Fijałkowska, A. (2019). Non-
obstetric complications in preeclampsia. Przeglad menopauzalny = Menopause
review, 18(2), 99–109. https://doi.org/10.5114/pm.2019.85785

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia. (2016). Pedoman Nasional


Pelayanan Kedokteran : Diagnosis dan Tatalaksana Pre-eklampsia. POGI
Himpunan Kedokteran Feto Maternal.

Phipps, E., Prasanna, D., Brima, W., & Jim, B. (2016). Preeclampsia: Updates in
Pathogenesis, Definitions, and Guidelines. Clinical journal of the American
Society of Nephrology : CJASN, 11(6), 1102–1113.
https://doi.org/10.2215/CJN.12081115

Reuter, S., Moser, C., & Baack, M. (2014). Respiratory distress in the newborn.
Pediatrics in review, 35(10), 417–429. https://doi.org/10.1542/pir.35-10-417

Suminto, S. (2017). Peranan Surfaktan Eksogen pada Tatalaksana Respiratory Distress


Syndrome Bayi Prematur. CDK-255/ vol. 44 no. 8 , 568-570.

Sweet, D. G., Carnielli, V., Greisen, G., Hallman, M., Ozek, E., Te Pas, A., Plavka, R.,
Roehr, C. C., Saugstad, O. D., Simeoni, U., Speer, C. P., Vento, M., Visser, G.,
& Halliday, H. L. (2019). European Consensus Guidelines on the Management
of Respiratory Distress Syndrome - 2019 Update. Neonatology, 115(4), 432–
450. https://doi.org/10.1159/000499361

39
Mutiah Khoirunnisak_04011181823048_Gamma2018

Yadav, S., Lee, B., & Kamity, R. (2020). Neonatal Respiratory Distress Syndrome. In
StatPearls. StatPearls Publishing.Yadav, S., Lee, B., & Kamity,

40

Anda mungkin juga menyukai