Anda di halaman 1dari 12

BAB 1

PENDAHULUAN
Secara umum, analisis kebijakan dipahami sebagai proses untuk
menghasilkan pengetahuan mengenai dan dalam proses kebijakan yang
bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa informasi
yang dapat digunakan untuk menguji pertimbangan yang mendasatri setiap
pemecahan masalah praktis yang dihadapi masyarakat luas. Kata kebijakan
dalam tulisan ini merupakan terjemahan dari kata “policy” dalam bahasa
Inggris.

1.1. Pengertian Kebijakan


Menurut Dunn definisi yang lebih dalam tentang analisis kebijakan
adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan penalaran dan
fakta untuk memperjelas, menaksir dan menunjukkan pemecahan masalah
yang diikuti prosedur tertentu agar dapat menghasilkan pandangan yang
rasional mengenai kebijakan. Dunn menganjurkan menggunakan definisi
analisis kebijakan yang ditulis oleh Quade sebagai berikut :

Bahwa analisis kebijakan adalah setiap jenis analisis yang menghasilkan


dan menyajikan informasi sehingga dapat menjadi dasar bagi pengambil
keputusan. Dalam hal ini, kata anaiisis secara tidak langsung menunjukkan
penggunaan intuisi dan pertimbangan mencakup tidak hanya pengujian
kebijakan yang dirinci menurut komponen-komponennya, tapi juga
merencanakan dan mencari sintesis untuk mengasilkan alternatif kebijakan
yang baru. Aktifitas ini meliputi sejak tahapan penelitian untuk memberikan
wawasan tentang masalah yang kita hadapi atau persoalan yang
mendahului atau evaluasi program yang telah selesai. Beberapa analisis
bersifat informal, namun dengan pemikiran yang keras dan teliti, sedang
lainnya membutuhkan data yang mencukupi sehingga dapat dihitung dengan
menggunakan matematika yang terkadang rumit.

Dengan dasar uraian diatas, Dunn menyusun definisi analisis


kebijakan sebagai :

“sebuah disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode


penelitian dan argumen untuk menghasilkan informasi yang relevan dengan
2

kebijakan sehingga dapat dimanfaatakan pada tingkat politik dalam rangka


memecahkan masalah-masalah kebijakan”.

Dengan pengertian demikian, maka analisis kebijakan merupakan


proses analisis yang menerobos pagar disiplin ilmu tertentu dengan tujuan
tidak hanya menghasilkan “fakta” , tapi juga untuk menghasilkan nilai-nilai
dan arah tindakan yang lebih baik. Analisis kebijakan menggunakan
berbagai disiplin yang tujuannya bersifat : (1) penandaan (designative),
(2) indikator performance, (3) penilaian (evaluative) atas keberhasilan/
kegagalan, dan (4) anjuran (advocative) dalam tindakan. Dengan demikian,
sebuah kebijakan dapat dinyatakan sebagai suatu argumen yang masuk
akal untuk mempengaruhi perilaku masyarakat terkait dengan kebijakan
tertentu mengenai tiga hal, yaitu :
(1) Nilai-nilai yang capaiannya menjadi tolok ukur (indicator performance)
apakah suatu masalah telah dapat dipecahkan;
(2) Fakta-fakta yang keberadaannya mempertinggi pencapaian nilai-nilai,
dan
(3) Tindakan-tindakan yang pelaksanaanya menghasilkan pencapaian nilai-
nilai dan memecahkan permasalahan yang dihadapi..
Adapun prosedur dalam analisis kebijakan menurut Dunn ada
empat cara.
(1) Deskrepsi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi mengenai
sebab dan akibat kebijakan di masa lalu;
(2) Peramalan (prediksi) yang memungkinkan kita menghasilkan informasi
mengenai akibat kebijakan untuk waktu mendatang;
(3) Evaluasi yang memungkinkan kita membuat informasi mengenai nilai
dari kebijakan di masa lalu dan di masa mendatang; dan
(4) Rekomendasi yang memungkinkan kita menghasilkan informasi
mengenai arah tindakan yang akan datang yang diperkirakan akan
menimbulkan akibat lebih punya nilai
Sementara itu, menurut Dunn, pengetahuan mengenai fakta, nilai dan
tindakan membutuhkan lima tipe informasi, yaitu :
3

(1) Permasalahan kebijakan, yaitu : nilai, kebutuhan dan kesempatan yang


belum terpuaskan, tapi dapat diidentifikasi dan dicapai melalui tindakan
publik ;
(2) Alternatif kebijakan yang harus dipilih, yaitu : arah tindakan yang secara
potensial tersedia dan memberikan sumbangan dalam pencapaian nilai,
dan oleh karena iitu memberikan kontribusi dalam pemecahan masalah
yang dihadapi;
(3) Tindakan kebijakan, yaitu : rangkaian langkah sesuai dengan alternatif
kebijakan yang dipilih dan dilakukan untuk mencapai tujuan;
(4) Hasil kebijakan, yaitu : dampak yang terjadi dari rangkaian tindakan
yang dilaksanakan, dan
(5) Pencapaian kebijakan merupakan tingkatan seberapa jauh hasil
kebijakan memberikan sumbangan pada pencapaian nilai yang kita
tetapkan.
Dengan dasar uraian diatas, dan dengan memasukkan peran
metode kuantitatif dalam proses analisis kebijakan pembangunan
perikanan dan kelautan selanjutnya dapat disajikan pada Gambar 1.1.

MASALAH METODE (3)


KEBIJAKAN KUANTITATIF
(2)
PERUMUSAN
(1) (4)
MASALAH PERAMALAN

HASIL (9) EVALUASI ALTERNATIF (5)


KEBIJAKAN KEBIJAKAN
(10)

MONITORING HASIL GUNA REKOMENDASI (6)


KEBIJAKAN (8) KEBIJAKAN
(11)

TINDAKAN
KEBIJAKAN
(7)

Gambar 1.1. Proses analisis kebijakan


4

Dengan dasar proses analisis kebijakan yang disajikan pada Gambar


1.1, maka kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan dapat
dipandang sebagai tindakan pemerintah, baik langsung maupun tidak
langsung yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan warga negara,
khususunya rumahtangga nelayan dan atau masyarakat pesisir, juga
perbaikan kondisi sumberdaya perikanan dan kelautan, dalam hal ini
kehidupan nelayan dan masyarakat pesisir lainnya dan kondisi sumberdaya
perikanan dan kelautan pada waktu sekarang dan akan datang. Tindakan
pemerintah tersebut dapat berupa kebijkan kenaikan harga BBM, pemberian
kredit, ijin penangkapan, pembatasan ukuran alat tangkap ikan, penetapan
jalur penangkapan ikan, atau kebijakan pajak
.
1.2. Permasalahan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya
Kelautan dan Perikanan Indonesia

Indonesia memiliki panjang pantai sekitar 81.000 Km, terdiri dari


sekitar 17,51 ribu pulau dengan potensi lahan tambak 840.000 Ha.
Disamping itu, wilayah ini memiliki wilayah laut yang luasnya sekitar 5,8 juta
Km2 dengan dugaan potensi perikanan sebesar 6,10 juta ton per tahun.
Pemanfaatan potensi ini diduga telah mencapai 3,91 juta ton, atau 64.00
% MSY (Nikijuluw, 2002).
Berdasarkan komitmen internasional yang dibuat FAO yang
dinyatakan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF),
potensi sumberdaya laut yang boleh dimanfaatkan hanya sekitar 80% dari
tingkat panen maksimum berkelanjutan (Maximum Sustainable Yield, MSY).
Dengan dasar pemanfaatan potensi yang boleh ditangkap (Total Allowable
Catch, TAC) sebesar 80 % dari MSY, maka batas produksi maksimum
berkelanjutan yang diperkenankan untuk dimanfaatkan adalah sekitar 4,88
juta ton per tahun. Itu berarti sisa penambahan produksi sekitar 20.00 %.
Untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan laut tersebut secara
optimal, selama empatpuluh tahun pembangunan perikanan Indonesia,
tahun 1968 – 2007, pemerintah telah menempuh kebijakan modernisasi
armada perikanan rakyat melalui pengembangan kapal motor dan perbaikan
teknologi alat tangkap ikan. Direktorat Jenderal Perikanan (1998)
5

melaporkan bahwa kebijakan pembangunan perikanan rakyat skala kecil


selama empatpuluh tahun tersebut telah memacu perkembangan produksi
perikanan laut sebesar 4,19 % per tahun.
Dengan meningkatnya produksi, maka satu sisi pasar ekspor ikan
juga berkembang dan penerimaan devisa dari ekspor hasil perikanan juga
meningkat. Jika pada tahun 1994 ekspor perikanan Indonesia sebesar
545,37 ribu ton, dengan nilai sebesar $ 1.68 milyar, pada tahun 1997
devisa yang disumbangkan komoditas perikanan mencapai US$ 1.90 milyar
dengan volume 651,57 ribu ton atau sekitar 19.00% dari total produksi ikan
nasional. Dengan demikian selama tahun 1994-1997 telah terjadi
peningkatan volume ekspor sebesar 6,14 % per tahun, atau kenaikan nilai
ekspor sebesar 4,32 % per tahun. Dengan dasar perkembangan ekspor
tersebut, maka pada tahun 2000, Departemen Kelautan dan Perikanan
merencanakan sasaran ekspor perikanan hasil tangkapan ikan laut
mencapai 1,47 juta ton atau sekitar 30,12 % dari TAC dengan nilai $ 2.64
milyar. Namun sisi lain, modernisasi perikanan rakyat menunjukkan mampu
memacu peningkatan produksi dan ekspor hasil perikanan, namun belum
terkendali secara optimal. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di beberapa
wilayah perairan laut Indonesia menunjukkan gejala lebih tangkap (over-
fishing) (Cholik, 1996). Tim KEPAS (1987) melaporkan adanya gejala lebih
tangkap sumberdaya perikanan pelagis di perairan Laut Jawa. Nikijuluw
(2002) menyebutkan bahwa perairan teritorial di kawasan barat Indonesia,
yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores dan Laut Cina Selatan, juga
menunjukkan gejala lebih tangkap. Sementara itu, pengalaman di berbagai
negara lain, dampak modernisasi armada penangkapan ikan juga
menunjukkan pengurasan sumberdaya perikanan secara berlebih, seperti
yang dilaporkan oleh O’Rourke (1971) di perairan laut California.
Hasil evaluasi FAO, dari 16 wilayah perairan laut dunia, sumberdaya
perikanan di perairan laut Indonesia dinyatakan telah mencapai puncak
pemanfaatannya. Oleh karena itu, produksi perikanan tangkap ke depan
tidak dapat ditingkatkan seperti tahun-tahun sebelumnya. Indonesia perlu
melakukan upaya pemanfaatan sumberdaya ikan secara lebih hati-hati,
sehingga ikan yang masih ada dapat menjadi modal bagi perbaikan
6

(recovery) ketersediaan ikan, sehingga dapat dimanfaatkan untuk


kesejahteraan nelayan secara berkelanjutan (Nikijuluw, 2002).
Sejalan dengan semakin meningkatnya konsumsi ikan di dunia, pada
tahap pembangunan selanjutnya banyak kalangan berharap agar sektor
perikanan dapat berfungsi sebagai sumber pertumbuhan baru pada
perekonomian nasional Indonesia. Hanya saja, usaha-usaha untuk
menjadikan sektor perikanan sebagai sumber pertumbuhan baru bukan
persoalan yang mudah. Usaha perikanan sampai saat ini masih banyak
didominasi oleh usaha dengan skala kecil, teknologi sederhana, sangat
dipengaruhi oleh musim dan ditujukan untuk konsumsi lokal. Sekitar 80,00%
produksi ikan nasional dikonsumsi untuk kebutuhan pasar domestik. Kapal-
kapal kecil tersebut umumnya beroperasi pada perairan padat tangkap dan
sebagian terbesar nelayan masih miskin (Cholik, 1996). Dengan semakin
terbatasnya sumberdaya perairan laut yang dapat dimanfaatkan, maka
usaha untuk memacu peningkatan produksi perikanan laut perlu digeser
pada usaha-usaha untuk meningkatkan mutu hasil tangkapan dan perbaikan
kesejahteraan nelayan.
Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan menghadapi berbagai
tantangan, seperti arus globalisasi, yurisdiksi otonomi daerah dan
pemberdayaan nelayan miskin. Peningkatan kesejahteraan nelayan
disamping dipengaruhi oleh faktor internal seperti pendidikan, pengalaman,
penguasaan teknologi dan akumulasi modal (tabungan) nelayan yang
rendah, juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti potensi sumberdaya,
mekanisme pasar dan harga ikan, yurisdiksi daerah otonomi, keadaan
infrastruktur pelabuhan perikanan dan kebijakan pemerintah untuk
meningkatkan modernisasi usaha perikanan skala kecil secara nasional.
Untuk memahami berbagai upaya dalam meningkatkan
kesejahteraan nelayan diperlukan pendekatan yang memperhatikan pola
pengambilan keputusan rumahtangga nelayan secara internal disamping
pengaruh eksternal. Keterlibatan seorang anggota keluarga nelayan dalam
upaya mengurangi kemiskinan ternyata tidak hanya didasarkan pada
keputusan pribadi nelayan, melainkan secara bersama-sama oleh anggota
keluarganya. Menurut Direktorat Jenderal Perikanan (1993), sumber
7

pendapatan nelayan dari kegiatan non-perikanan, seperti buruh tani,


karyawan , dan tukang berkisar antara 22.00% - 43.00%. Kontribusi kerja
wanita dalam rumahtangga nelayan adalah dalam kegiatan perdagangan
dan pengolahan ikan. (Upton dan Susilowati, 1992; Antunes, 1998).
Antunes (1998) melaporkan 60% angkatan kerja wanita di wilayah Bendar,
Juwana bekerja dalam kegiatan perikanan. Menurut Susilowati (1998)
partisipasi kerja isteri/wanita dalam menambah pendapatan nelayan
dipengaruhi oleh pekerjaan dan posisi suami, jumlah anggota keluarga dan
peranannya dalam proses pengambilan keputusan dalam rumahtangganya.
Dengan demikian rumahtangga nelayan disamping sebagai rumahtangga
konsumsi, juga melakukan kegiatan produksi untuk berbagai jenis pekerjaan.
Kegiatan produksi dan konsumsi bukanlah didasarkan pada keputusan
pribadi nelayan (suami), melainkan secara bersama-sama dilakukan oleh
anggota rumahtangga yaitu suami, istri dan anaknya.
Disamping itu, kegiatan ekonomi rumahtangga nelayan dalam
merespon kebijakan pemerintah maupun perubahan non-kebijakan selalu
terkait dengan dinamika ekonomi rumahtangga , lingkungan (ekologi) dan
dinamika armada penangkapan ikan dalam upaya eksploitasi sumberdaya
ikan dan operasi melaut berlangsung secara simultan. Sistem perikanan
memiliki interaksi sangat kompleks antara dinamika ketersediaan ikan,
armada perikanan dan faktor produksi seperti modal dan tenaga kerja
rumahtangga nelayan dalam mengeksploitasi sumberdaya ikan yang
tersedia (Hilborn and Walters, 1992). Oleh karena itu, untuk memahami
dampak kebijakan terhadap dinamika ekonomi rumahtangga nelayan
diperlukan pengkajian ekonomi dengan pendekatan sistem, yaitu melalui
konstruksi model ekonomi rumahtangga yang mempertimbangkan
ketersediaan sumberdaya ikan, dinamika armada penangkapan dan
lapangan kerja dalam sektor perikanan.
Atas dasar analisis dengan pendekatan sistem diharapkan dapat
ditelaah struktur dan perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dan
interaksinya dengan dinamika stok ikan, sehingga dengan mensimulasi input
sistem dapat diperoleh output yang diharapkan. Implikasi lebih lanjut adalah
dimungkinkannya rekayasa eko-sosio-ekonomi-teknologi terhadap sistem
ekonomi rumahtangga nelayan agar berkembang menjadi pusat
8

pertumbuhan ekonomi yang dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan di


wilayah pedesaan pantai dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan (sustainable).
Dalam pembangunan perikanan, tantangan untuk memelihara
sumberdaya secara berkelanjutan merupakan permasalahan yang cukup
kompleks. Sumberdaya perikanan dikategorikan sebagai sumberdaya yang
dapat pulih, namun pertanyaan yang sering muncul adalah kebijakan
seberapa besar ikan dapat dipanen tanpa harus menimbulkan dampak
negatif untuk masa mendatang. Keberlanjutan adalah merupakan kata kunci
dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi
sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat perikanan itu sendiri (Fauzi dan
Anna, 2002).
Kebijakan pembangunan perikanan pada tahun 1979 – 1999 lebih
berorientasi pada peningkatan produksi melalui penambahan jumlah armada
penangkapan ikan dan perbaikan teknologi intensifikasi dan ekstensifikasi
pemanfaatan sumberdaya ikan. Mengingat lemahnya pengawasan
pemanfaatan sumberdaya perikanan Indonesia, termasuk di Jawa Timur,
maka pemanfaatan sumberdaya perikanan berisifat quasi open access
(Fauzi dan Anna, 2002), dimana pengendalian ijin armada penangkapan ikan
masih mengandung banyak kelemahan.
Sekalipun pemerintah telah banyak membuat kebijakan untuk
mengembangkan usaha perikanan skala kecil, seperti kebijakan penyediaan
kredit modal kerja, investasi sarana pelabuhan/ tempat pendaratan ikan,
perbaikan teknologi kapal dan alat tangkap, kebijakan harga BBM dan lain-
lain, namun pelaksanaannya masih belum efektif. Kebijakan tersebut makin
memacu tumbuhnya ekonomi pasar, modernisasi perikanan tangkap,
peningkatan produksi dan budaya komersial di pedesaan pantai.
Sementara itu, orientasi peningkatan produksi telah menimbulkan berbagai
dampak, seperti : (1) tidak seimbangnya pemanfaatan sumberdaya ikan, (2)
lebih tangkap, (3) konsentrasi nelayan pada wilayah penangkapan ikan
tertentu, (4) harga ikan yang relatif belum stabil, dan (5) kurang
berkembangnya agribisnis perikanan (Cholik, 1996).
Sesuai dengan Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999,
kewenangan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan secara
9

nasional telah bergeser ke daerah, yaitu : (1) kewenangan pemerintah


Daerah Kota/Kabupaten pada wilayah laut empat mil, (2) kewenangan
Daerah Propinsi pada wilayah laut kurang dari duabelas mil laut (21.60 Km),
dan (3) kewenangan Pemerintah Pusat pada wilayah lepas pantai melebihi
duabelas mil sampai wilayah ZEEI (Zone Ekonomi Eksklusif Indonesia) 200
mil. Disamping itu, kebijakan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan
nelayan dalam kondisi pemanfaatan sumberdaya perikanan yang padat
tangkap sering menghadapi kesulitan dalam implementasi di lapangan.
Rumahtangga nelayan, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki,
sering menganggap bahwa sumberdaya kelautan dan perikanan
menyediakan ketersediaan ikan secara tidak terbatas, sehingga
pemanfaatan sumberdaya perikanan berlangsung secara eksploitatif.
Dengan demikian, pengembangan sektor perikanan dan kelautan agar
menjadi sumber pertumbuhan baru bagi perekonomian Indonesia
menghadapi berbagai peluang dan tantangan sebagai berikut :
1. Kebijakan peningkatan produksi ikan belum berhasil melakukan perbaikan
kinerja ekonomi rumahtangga nelayan.
2. Rendahnya pengetahuan nelayan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan di wilayahnya.
3. Keterbatasan prasarana pelabuhan perikanan melayani penggunaan
kapal ikan dengan ukuran yang semakin membesar.
4. Rendahnya kesempatan kerja dan berusaha dalam kegiatan non-melaut
di pedesaan pantai untuk menambah sumber pendapatan baru bagi
rumahtangga nelayan.
5. Sumberdaya perikanan di wilayah ZEE belum dimanfaatkan secara
optimal oleh nelayan nasional.
Dalam menghadapi peluang dan tantangan tersebut, pada waktu
mendatang diperlukan kebijakan untuk mengembangkan potensi ekonomi
rumahtangga nelayan dalam meningkatkan kesejahteraannya. Dengan
demikian, permasalahan pemanfaaatn sumberdaya perikanan secara
berkelanjutan ini tidak hanya mengetahui kinerja ekonomi rumahtangga
nelayan, juga merumuskan pilihan kebijakan pemerintah yang diharapkan
tidak saja ditujukan untuk peningkatan produksi, namun juga untuk
memecahkan permasalahan peningkatan kesejahtaraan nelayan..
10

PERMASALAHAN KEBIJAKAN PEMANFAATAN SUMBERDAYA :

Keragaan ekonomi rumahtangga Kebijakan peningkatan produksi :


nelayan : 1. Tekanan pertumbuhan penduduk
1. Produktifitas mulai menurun dan peningkatan konsumsi ikan
Menunjukkan gejala lebih tangkap 2. Tekanan eksploitasi sumberdaya
2. Kerja melaut eksploitatif meningkat
3. Kesejahteraan Juragan meningkat 3. Peningkatan teknologi alat dan
Pemerataan Juragan-ABK buruk ijin armada penangkapan ikan
Banyak nelayan Pendega miskin 4.Orientasi pertumbuhan ekonomi
4. Tabungan nelayan rendah

Rendahnya tingkat pengetahuan nelayan, keterbatasan kesempatan


kerja non-melaut, keterbatasan pelayanan pelabuhan perikanan,
pelelangan ikan belum berfungsi dan pemanfaatan wilayah ZEE
oleh nelayan nasional /tradisional belum dilakukan secara optimal.

Lemahnya kebijakan dan pengendalian yang mengkaitkan ketersediaan ikan,


perilaku rumahtangga nelayan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya
perikanan secara berkelanjutan

Diperlukan model integrasi antara ketersediaan ikan, perilaku rumahtangga


nelayan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya perikanan ( bio-sosio-eko-tek)

PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN

Peningkatan keragaan Tekanan internal : penduduk, lapangan kerja


ekonomi rumahtangga dan keterbatasan sumberdaya perikanan
nelayan dalam pemanfaatan
sumberdaya secara Tekanan eksternal : komitmen pemerintah,
berkelanjutan pertumbuhan, ekspor, pemerataan dan
komitmen internasional

Kebijakan Pemerintah dan Non-Kebijakan


Gambar 1. Permasalahan Penelitian
(1) dari dalam negeri sejalan dengan komitmen pemerintah untuk memenuhi
SASARAN :
Kesejahteraan nelayan meningkat, pemanfaatan sumberdaya perikanan
secara berkelanjutan dan menjadikan Rumahtangga Perikanan sebagai pusat
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi
di pedesaan pantai

Gambar 1.2 Permasalahan Kebijakan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan


11

Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan pemanfaaatan


sumberdaya perikanan secara berkelanjutan ini dirumuskan sebagaimana
ditunjukkan pada Gambar 1.2.. Gambar 1.2. menjelaskan tentang
permasalahan dan kondisi ekonomi rumahtangga nelayan di masa datang
yang diramalkan akan mendapat tekanan internal maupun eksternal.
Tekanan internal muncul sejalan pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat yang berakibat meningkatnya pengangguran dan bertambah
buruknya tingkat kesejahteraan nelayan. Sementara itu, tekanan eksploitasi
sumberdaya perikanan akan semakin meningkat. Tekanan internal tersebut
membawa konsekuensi pentingnya kemauan bersama antara pemerintah
dan masyarakat nelayan menetapkan arah pembangunan perikanan untuk
tujuan meningkatkan kesejahteraan nelayan dalam pemanfaatan
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Adapun tekanan dan peluang eksternal bersumber dari dua hal, yaitu
: (1) sasaran peningkatan ekspor dan devisa negara dari komoditi
perikanan, dan (2) dari luar negeri sejalan dengan komitmen Indonesia
untuk memenuhi kewajiban internasional dengan cara mengijinkan kapal
asing memanfaatkan sumberdaya perikanan di wilayah Zone Ekonomi
Eksklusif (ZEE) yang belum dimanfaatan secara optimal oleh nelayan
nasional.
Untuk memecahkan permasalahan kebijakan tersebut diperlukan
model yang mampu menunjukkan keterkaitan sitemik antara kondisi
ketersediaan ikan, perilaku ekonomi rumahtangga nelayan dan kebijakan
pemanfaatan sumberdaya perikanan. Atas dasar model tersebut digunakan
untuk mengevaluasi dan menentukan pilihan kebijakan perikanan dalam
kerangka pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Melalui
kebijakan pemerintah, selanjutnya ekonomi rumahtangga nelayan
diharapkan dapat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi
untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan pantai.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang dikemukakan, maka
secara umum kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan bertujuan untuk
mempengaruhi perilaku (respon) ekonomi rumahtangga nelayan terhadap
ketersediaan sumberdaya perikanan dan berbagai perubahan kebijakan
pemerintah dan non-kebijakan dalam rangka modernisasi perikanan.
12

Respon ekonomi rumahtangga nelayan tersebut seyogianya dapat


dipakai sebagai dasar penetapan pilihan kebijakan pengembangan bisnis
dan industri perikanan yang dapat mengembangkan sektor perikanan
sebagai sumber pertumbuhan ekonomi di pedesaan pantai. Untuk
menjawab tujuan tersebut, maka pembuat kebijakan memerlukan berbagai
langkah berkaitan dengan pilihan dan dampak kebijakan pemanfaatan
sumberdaya perikanan dan kelautan.

Anda mungkin juga menyukai