menjadi kenyataan. Pada saat itu logika kebebasan dalam kebersamaan tanpa belas
kasihan menimbulkan tragedi.
Sebagai inakhluk yang berakal, setiap gembala akan berusaha untuk
memaksimumkan keuntungan yang mungkin diperolehnya. Dengan tegas atau
diam-diam, setengah sadar, ia akan bertanya dalam hatinya apa manfaatnya yang akan
diperolch dengan menambahkan satu atau lebih kawanan ternaknya. Manfaat itu
mempunyai komponen negatif dan positif, yaitu :
(1) Komponen positif itu ialah fungsi tambahan satu hewan. Karena si penggembala
memperoleh pendapatannya dari penjualan tambahan ternak itu, manfaat positif itu
ialah plus satu.
(2) Komponen yang negatif ialah fungsi penambahan rerumputan yang disebabkan
bertambalmya seekor hewan lagi. Hanya saja akibat tambahan hewan gembala untuk
memanfaatkan kelebihan rerumputan akan sama-sama diderita oleh semua
penggembala. Kegunaan negatif bagi suatu penggembala tertentu yang membuat
keputusan itu adalah satu bagian, yaitu minus satu.
Dengan menjumlahkan manfaat parsial komponen itu, penggembala yang
rasional akan berkesimpulan bahwa satu-satunya jalan yang terbaik untuk dilakukan
ialah menambahkan hewan ke dalam kawanan ternaknya. Tetapi ini adalah kesimpulan
setiap dan semua penggembala berakal dari anggota kebersamaan tersebut. Di sinilah
letak terjadinya tragedi itu. Setiap orang terikat oleh suatu sistem yang mendorong
untuk memperbesar kawanan ternaknya tanpa batas di dunia padang rumput yang
justru terbatas. Kehancuran adalah nasib yang akan dihadapi semua orang,
masing-masing mengejar kepentingannya sendiri dengan sebaik-baiknya, demi
kebebasan yang dihormati bersama. Kebebasan dalam kebersamaan membawa
kehancuran kepada semua.
Mungkin kita akan mengatakan bahwa pernyataan tersebut adalah kata-kata
hampa. Walaupun hal itu telah diketahui ribuan tahun yang lalu, tetapi perilaku manusia
lebih menyukai penolakan. Keuntungan pribadi yang diperoleh perseorangan karena
kemampuannya cenderung mengingkari kebenaran, walaupun nyata-nyata masyarakat
secara keseluruhan menjadi menderita karenanya. Pendidikan mungkin dapat melawan
kecenderungan alamiah berbuat salah tersebut, tetapi pergantian generasi yang tak
dapat dihindarkan menuntut agar pemahaman ini terus-menerus disegarkan kembali.
3
dalam berbagai bentuk limbah kotoran kimia, radio aktif, dan panas ke dalam air,
gas-gas beracun dan berbahaya ke udara, papan dan lampu-1ampu reklame yang
mengganggu dan merusak pemandangan.
Penghitungan kemanfaatan sama dengan sebelumnya. Orang yang berakal
mengetahui bahwa bagian biaya yang harus dikeluarkan untuk limbah yang dibuang ke
dalam lingkungan bersama adalah kurang dari biaya yang dikeluarkan seandainya
limbah itu dibersihkan lebih dahulu sebelum dibuang. Karena semua orang berpikir
demikian, kita terperangkap dalam suatu sistem : "mencemari tempat sendiri", selama
kita bersikap sebagai pengusaha perseorangan, bebas, rasional. Sekali lagi, kebebasan
dalam kebersamaan membawa akibat buruk terhadap kita bersama.
Udara dan air yang melingkungi kita tidak dapat dipagari. Oleh karena itu
tragedi kebersamaan harus dapat dicegah menjadi tangki WC dengan cara lain, seperti
pemaksaan melalui undang-undang dan mengenakan pemajakan yang memungkinkan
terjadinya keadaan dimana akan lebih murah bagi si pencemar untuk membersihkan
bahan-bahan pencemarnya, daripada membuangnya sebelum dibersihkan.
Kita mengenal konsep milik pribadi, yang menyokong atau tidak peduli dengan
pencemaran. Pemilik pabrik di pinggir sungai, yang miliknya terentang luas sampai ke
tengah sungai, sering kesulitan untuk dapat memahami kenapa bukan menjadi hak yang
wajar baginya untuk mengotori air yang melewati miliknya. Hukum selalu ketinggalan.
Ia memerlukan waktu untuk menyusun dan meninjau kembali aturan untuk disesuaikan
dengan munculnya pengertian baru tentang kebersamaan itu.
Persoalan pencemaran sebagai akibat yang ditimbulkan oleh penduduk selalu
dikatakan oleh kakek-kakek kita bahwa : "air yang mengalir membersihkan dirinya
sendiri dalam setiap jarak sepuluh mil". Dongeng ini cukup mendekati kebenaran
waktu kita masih anak-anak, karena pada waktu itu orang belum begitu banyak. Tetapi
setelah penduduk menjadi padat, dan daur ulang kimiawi dan biologis secara alami
telah menimbulkan beban terlampau berat, maka pengertian hak milik memerlukan
peninjauan kembali.
Persoalan kita kemudian adalah menjawab pertanyaan, bagaimana
mengundangkan tingkah laku ???. Dengan menggunakan milik umum sebagai tangki
WC mungkin tidak merugikan banyak orang, kalau hal itu terjadi di daerah pinggiran
kota, karena di wilayah itu tidak ada khalayak ramai. Namun perbuatan yang sama dan
5
terjadi di daerah metropolis seperti Surabaya atau Jakarta akan tidak dapat ditolerir.
Seseorang mungkin tidak mengetahui apakah membunuh gajah, membakar padang
rumput atau hutan merugikan orang lain kalau tidak diketahui sistem keseluruhan di
mana tindakan itu dilakukan.
Hukum masyarakat kita mengikuti pola etika sebelumnya, dan karena itu sering
tidak sesuai untuk mengatur suatu dunia yang rumit, penuh sesak, dan berubah. Cara
pemecahannya adalah menambah kekuatan undang-undang dengan peraturan peraturan
administratif. Hanya saja hukum administratif mendatangkan persoalan baru : "siapa
yang akan mengawasi si pengawas". Solusinya adalah kita harus mempunyai
pemerintahan yang tunduk pada undang-undang bukan pada orang-orang.
Pejabat-pejabat yang mencoba menilai tindakan nyata di lapangan dapat saja dihinggapi
korupsi dan dengan demikian mengakibatkan pemerintahan oleh orang-orang dan bukan
lagi oleh undang-undang.
Larangan mudah dibuat melalui undang-undang, tetapi bagaimana kita dapat
membuat undang-undang tentang tingkah laku. Tantangan besar yang kita hadapi
sekarang dalam menggunakan sumberdaya milik bersama ialah menemukan
umpan-balik pengawasan yang diperlukan untuk memelihara kejujuran petugas. Kita
harus menemukan cara untuk mengesahkan wewenang yang diperlukan oleh para
petugas dan umpan-balik pengawasan dari masyarakat kedua-duanya.Kerugian jangka
panjang dari himbauan kepada hati nurani, juga mempunyai kerugian jangka pendek
yang serius. Kalau kita meminta seseorang yang menguras atau merusak milik umum
supaya berhenti : "atas nama hati nurani", yang sebenarnya kita minta adalah tanggung
jawabnya.
Menggugah hati nurani orang lain merupakan harapan bagi setiap orang yang
berhasrat memperluas pengawasannya melampaui batas-batas hukum. Banyak
pemimpin dari tingkat paling tinggi berlindung dibalik harapan ini. Presiden atau Ketua
MPR tak henti-hentinya menyerukan “berantas KKN”. Kebiasaan retorika demikian
ditujukan untuk membangkitkan perasaan bersalah pada mereka yang tidak mau
meninggalkan KKN atau penghancuran milik umum tanpa tindakan hukum.
Paul Goodman berbicara soal dampak himbauan :”atas nama hati nurani”,
mengatakan: "tidak ada sesuatu yang baik pernah datang dari perasaan bersalah, juga
inteligensia, kebijaksanaan maupun keharusan. Mereka yang bersalah tidak
6
memperhatikan obyek, tetapi hanya diri mereka sendiri, kecuali barangkali terbatas
menyentuh pada perasaan gelisah saja. Jika kita menggunakan kata “tanggungjawab
sosial” tanpa disertai oleh sanksi-sanksi yang nyata adalah tidak ada bedanya dengan
menggertak anak kecil yang egois yang sedang bermain bebas dalam suatu kerumunan
kebersamaan, kemudian secara diam-diam atau setengah sadar bertindak menentang
kita. Kata filsuf Charles Frankel : "pertanggung jawaban" dalam konteks sosial haruslah
dipahami sebagai :"produk dari persetujuan-persetujuan sosial tertentu", bukan retorika,
propaganda atau himbauan apapun.
Persetujuan sosial yang menghasilkan pertanggungjawaban itu adalah
persetujuan-persetujuan yang menciptakan suatu jenis paksaan. Perhatikanlah
perampokan bank. Moralitas perampokan bank sangat mudah dipahami, karena kita
sepenulmya menerima larangan kegiatan seperti ini. Kita dapat mengatakan : "jangan
merampok bank" tanpa memberikan pengecualian. Tetapi pengendalian diri dapat juga
diciptakan dengan paksaan. Mengenakan cukai adalah salah satu bentuk alat paksaan
yang baik untuk membuat para pembelanja di kota menahan diri dalam memakai tempat
parkir. Kita mengadakan alat pengukur waktu parkir untuk waktu singkat, dan
mengenakan denda bagi pemakaian yang terlampau lama. Kita tidak perlu melarang
orang menggunakan tempat parkir berapa lama yang ia kehendaki, tetapi untuk sekedar
membuatnya mengeluarkan biaya yang lebih mahal kalau ia berbuat demikian. Bukan
larangan, tetapi kebebasan pilihian kita tawarkan kepadanya.
Paksaan mengkin dianggap sebagai kata-kata kotor bagi sebagian besar kaum
reformasi kini, tetapi hal itu tentu tidak harus selamanya demikian. Kekotoran kata itu
dapat dibersihkan dengan menjelaskannya, dengan mengatakan berulang kali tanpa
permintaan maaf dan malu-malu. Bagi banyak orang, kata paksaan mengandung arti
tindakan sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab. Namun pasti tidak berlaku
terhadap paksaan timbal-balik, yang disetujui bersama oleh sebagian besar orang yang
bersangkutan.
Kita sama-sama menyetujui paksaan, tidak berarti kita perlu menyukainya atau
kebalikannya, yaitu berpura-pura menyukainya. Siapa yang inenyukai pajak? Kita
semua mengeluh tentang itu. Tetapi kita mnerima kewajiban membayar pajak, karena
pajak sukarela akan nienguntungkan orang yang tidak mempunyai kesadaran. Kita
melembagakan dan dengan bersungut-sungut “mendukung” berbagai aneka pajak dan
7
alat paksaan lainnya untuk melepaskan diri dari tragedi kebersamaan yang jelas
menakutkan.
Suatu alternatif kebersamaan tentu tidak perlu benar-benar lebih baik. Mengenai
real estate dan harta tak bergerak lainnya, alternatif yang kita pilih adalah kelembagaan
milik perseorangan, yang digabungkan dengan hukum warisan. Apakah sistem ini
betul-betul tepat? Mungkin ada banyak beda pendapat tentang ini. Namun, kalau
terdapat perbedaan-perbedaan dalam pembagian warisan tertentu, pemilikan
berdasarkan hukum harus betul-betul logis, misalnya : bahwa mereka yang secara
biologis lebih layak menjadi pemelihara harta benda dan kekuasaan tentu harus
mewarisi leblh banyak secara hukum, walaupun boleh terjadi seorang dungu dapat
mewarisi jutaan, dan suatu dana perwalian dapat memelihara harta tersebut. Harus
diakui bahwa sistem hukum kita tentang hak milik perseorangan ditambah soal warisan
itu mungkin tidak tepat, tetapi kita mempertahankannya, karena kita tidak yakin bahwa
telah ada orang yang menemukan suatu sistem yang lebih baik. Sayang sekali, harus
diketahui kesalahan kita terhadap “hak milik bersama” jauh lebih mengerikan
akibatnya. Ketidak-adilan mungkin lebih dapat diterima daripada kehancuran total.
Salah satu kepelikan dari pertarungan politik untuk memberlakukan tindakan
tegas kepada para pelanggar penggunaan hak milik umum, antara penganut reformasi
dan status quo ialah kalau diusulkan suatu tindakan pengubahan suatu aturan yang
berpengaruh terhadap perilaku kita atau pendukung “suara politik”, sering dikalahkan
oleh lawan yang menolaknya yang berhasil menemukan suatu kekurangan di dalamnya.
Pemuja status quo terkadang menyatakan secara tidak langsung bahwa tidak mungkin
diadakan perubahan tanpa persetujuan yang bulat, suatu pengertian yang bertentangan
dengan kenyataan kehidupan keseharian kita.
Penolakan serta merta terhadap perubahan yang diusulkan, umumnya dilandasi
oleh satu atau dua anggapan yang tidak disadari, yaitu : (1) bahwa status quo sudah
cukup baik; dan (2) pilihan yang dihadapi antara perubahan dan tidak berbuat sesuatu.
Kalau perubahan yang diusulkan tidak sempurna, kita mungkin tidak akan berbuat
apa-apa, sambil menunggu adanya usul yang sempurna.
Apabila kita sadar bahwa status quo menjadi lemah, kita dapat
memperhitungkan manfaat dan kerugian yang dapat ditemukan dengan manfaat dan
kerugian yang dapat diramalkan dari perubahan aturan yang ditawarkan, dengan sedapat
8
lebih bebas. Orang yang terikat dalam logika kebebasan dalam kebersamaan sama
halnya dengan bebas menimbulkan kehancuran universal. Hanya dengan membatasi
kebebasan tertentu saja, maka dengan demikian kita akan dapat menghentikan tragedi
dari kebersamaan ini.
Campur tangan dari luar yang paling penting pada masyarakat ini ialah kontak
dengan ekonomi pasar dan aspek-aspek lain dari kebudayaan modern. Pada umumnya,
sumberdaya menjadi tipis sebagai akibat kontak-kontak ini. Dua hal perlu dibahas,
dalam hal ini.
(1) Pertama, kelompok yang menghabiskan sumberdaya bukan selaku pemburu dan
pengumpul komunal.
(2) Kedua, masyarakat pemburu dan pengumpul yang swasembada mempunyai
kelemahan-kelemahan bawaan dalam menyesuaikan diri terhadap kontak dengan
pasar. Kelemahan ini tak ada hubungannya dengan pemilikan bersama.
Skenario penting yang mempengaruhi biasanya melibatkan para pemburu dan
pengumpul menggunakan sumberdaya mereka secara berlebihan untuk mendapatkan
barang dagangan dan perkenalan dengan pajak yang dibayar dengan uang. Uang hanya
dapat diperoleh dengan cara menggunakan sumberdaya yang berlebihan untuk dapat
memperoleh kelebihan yang dapat dipasarkan.
Jika demikian, timbul pertanyaan, dapatkah pemilikan bersama sumberdaya
berfungsi dengan baik dalam ekonomi pasar? Untuk menjawab pertanyaan itu,
selanjutnya kita melancak berbagai barang umum di Eropa yang beberapa di antaranya
tetap ada sampai sekarang.
Sampai sekarang kita masih dapat menyaksikan beberapa tanah penggembalaan
dan hutan di Eropa dikelola sebagai sumberdaya milik bersama. Susunan, cara kerja,
dan dayaguna kelembagaan ini bahkan telah bertahan dalam kurun waktu yang lebih
lama daripada kelembagaan masyarakat pemburu dan pengumpul bahan makanan.
Penggembalaan di lahan umum menurut pengalaman berbagai negara di Eropa
adalah musiman, dimana permulaan dan akhir musim penggembalaan ditentukan
seragam yang sama haknya sesuai dengan tersedianya makanan ternak. Penggembalaan
hanya diizinkan siang hari. Pengawasan yang keras dalam penggembalaan
dipertahankan dengan persyaratan yang sederhana bahwa setiap pemilik ternak
masing-inasing mempunyai persediaan pokok makanan ternak yang cukup untuk
ternaknya di luar musim penggembalaan dan untuk malam hari. Keadaan
penggembalaan yang berlebihan akan merupakan ancaman. Pembatasan basis makanan
ternak karena intensifikasi pertanian, para pengguna bersama padang penggembalaan
umum ditetapkan kuota ternak yang boleh merumput selama musim penggembalaan,
14
misalnya seekor kuda, dua ekor sapi, sepuluh ekor babi, enam ekor angsa, suatu proses
yang oleh orang Inggris disebut stinting.
Pengurangan lahan umum di Britania Raya penyebabnya ternyata bukan
penggembalaan yang berlebihan. Faktor penting adalah kenaikan keuntungan tuan
tanah dari penggembalaan domba untuk produksi bulu domba komersial. Banyak tanah
yang sebelumnya digarap oleh petani untuk tanaman bahan makanan untuk konsumsi
rumah tangga, maupun penggembalaan umum, masuk dalam daftar pengelolaan
langsung oleh para tuan tanah.
Faktor lain adalah sistem lahan terbuka sebagai akibat dari kemajuan pertanian.
Bagian-bagian dari kegiatan ekonomi petani saling berhubungan. Setelah panen, ternak
dapat digembalakan di tanah yang telah kosong dan makan jerami di tempat terbuka.
Setelah pertanian menjadi semakin intensif, lapangan terbuka dipagar dan petani diusir
paksa oleh para tuan tanah feodal. Selanjutnya lahan ini sekarang memainkan peranan
yang baru, yang kian bertambah penting dari tahun ke tahun sebagai tempat berlindung
bagi pemukim kota yang sesak dan tercemar.
Pengalaman dengan lahan hutan umum di daratan Eropa pada umumnya sama
dengan penggunaan padang penggembalaan di Britania Raya. Dengan semakin
bertambah menguntungkan tanah hutan sebagai sumber kayu untuk perdagangan,
berbeda dengan peranan tradisionalnya sebagai sumber makanan ternak, kayu bakar
keperluan rumah tangga dan bahan bangunan untuk desa pertanian. Para tuan tanah
feodal kemudian berubah dari penguasa dan pelindung nienjadi pengusaha pengejar
untung..
Hak tuan tanah feodal atas hutan umum semula terbatas pada hak berburu, yang
hanya diperuntukkan khusus sendiri, dari hak menggembalakan dan lain-lain yang
dimilikinya dengan sederajat bersama penduduk desa. Ketika penggunaan kayu makin
menguntungkan, penggembalaan dan pengumpulan kayu menjadi penghalang bagi
produksi kayu. Tuan tanah feodal mempunyai alasan untuk mengurangi dan
menghilangkan hak nienggembalaan dan hak-hak lainnya di atas lahan umum.
Selanjutnya faktor-faktor yang sama seperti yang disebut di atas, dalam
hubungannya dengan penutupan tanah berlangsung di Inggris. Dalam hal ini telah
melemahkan sistem desa dan perampasan hak kaum petani. Para petani diubah dari
15
pemilik bersama yang sederajat atas tanah umum dengan kedudukan kemudian sebagai
buruh tak bertanah di tanah feodal.
Sistem feodal tidak pernah berkembang di beberapa bagian daratan Eropa,
seperti misalnya di bagian Jerman Barat dan Swis. Dengan makin meiiguntungkannya
produksi kayu, beberapa tanah umum di daerah ini dibagi-bagi antara para penduduk
desa dan menjadi persil hutan petani perseorangan. Tetapi lahan umum itu tetap utuh
dan menjadi basis hutan-hutan kotapraja yang modern. Tanah umum yang tetap utuh
merupakan beberapa contoh terbaik dari pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Di
pihak lain. lahan umum yang dibagi menjadi hutan-hutan milik pribadi, umumnya
terlalu kecil untuk usaha perhutanan yang efisien. Dengan campur tangan pemerintah
melalui peraturan, bantuan dan pendidikan keadaan menjadi berubah. Hasilnya ternyata
berlawanan dengan apa yang diharapkan terjadi dengan dasar teori sumberdaya milik
bersama. Penggantian pemilikan bersama dengan pemilikan pribadi ternyta bukanlah
perubahan yang secara sosial bermanfaat.
Akhirnya kita dapat menyebutkan keberhasilan dari padang penggembalaan
umum di daerah padang rumput Alpen yang sangat produktif misahiya, di Swis,
Austria, dan Bavaria bagian Selatan. Daerah ini terdapat di atas garis hutan dan karena
itu tak terpengaruh oleh perubahan-perubahan yang menguntungkian usaha perhutanan
dalam kondisi ekonomi pasar. Disini kelembagaan milik bersama tak berubah banyak
sejak abad pertengahan. Penggembalaan musiman dan keharusan mempunyai
persediaan minimal makanan ternak di rumah, tetap menjadi hal paling penting.
Satu-satunya perbedaan yang ada dengan sistem penggembalaan feodal seperti
diutarakan di atas, hanya terjadi sekali dalam setahun.
Dengan demikian tetap berfungsinya lahan umum baik di Inggris dan di daratan
Eropa menjawab pertanyaan yang diajukan, apakah milik bersama dapat bertahan dalam
sistem pasar ???. Tanah milik bersama. dengan peraturan kelembagaan yang
dikandungnya ternyata mampu menunjukkan dayagunanya yang memuaskan dalain
pengelolaan sumberdaya alam, seperti padang penggembalaan dan tanah hutan dalam
ekonomi pasar. Hal itu dapat ditunjukkan bahwa konsep milik bersama dapat digunakan
untuk membantu memecahkan persoalan kebijakan sumberdaya.
Kelembagaan pemanfaatan sungai untuk mengatur penggunaan air permukaan
sungai di Inggris dan di daratan Eropa, lama sebelum hukum pemanfaatan sungai yang
16
resmi berkembang dalam hukum kebiasaan Inggris dan undang~undang agraria Jerman.
Pendapat bahwa para pernakai sumber air permukaan umum adalah sama haknya telah
berakar pada adat dan kebiasaan lama dan ada sebelum undang-undang pemanfaatan
sungai yang dikodifikasi dan menurut hukum formal. Salah satu faktor yang
meenguntungkan perkembangan ini adalah pengalaman yang lama mengenai lahan
umum dalam sumber-sumber daya penggembalaan dan hutan.
Sementara pemecahan persoalan penggunaan air permukaan dengan
kelembagaan pemanfaatan sungai sudah lama, sedangkan persoalan yang ditimbulkan
oleh penggunaan air tanah adalah baru. Memang penggunaan air tanah juga telah lama,
seperti misalnya pada kebanyakan negara-negara Timur Tengah. Memompa air dengan
roda model Parsi tidak menimbulkan persoalan karena dangkalnya dan kapasitasnya
kecil. Keadaan berubah secara radikal dengan datangnya teknologi pompa modern yang
berdasarkan pada pompa sumur dalam dengan daya listrik yang tinggi yang berakibat
pada pengurasan sumberdaya, naiknya biaya pemompaan dan investasi berlebihan..
Persoalan ini pertama kali dipecahkan di California dengan menerapkan apa
yang dikenal dengan doktrin hukum yang dilaksanakan melalui keputusan hakim
sebagai turunan langsung dari hukum pemanfaatan sungai, yang seperti kita ketahui
adalah berdasarkan konsep milik bersama, dimana semua pemompa dari sumber air
tanah tertentu dianggap mempunyai hak sama yang sederajat, tetapi ditetapkan secara
hukum, dalam batas hasil aman dari lembah sungai sesuai dengan perbandingan
penggunaannya pada waktu lampau. Dalam proses keputusan hakim itu penggunaan
untuk keperluan rumah tangga yang pokok dan kecil biasanya tak diperhatikan, dan
penggunaan baru semacam ini diperkenankan. Untuk keperluan rumahtangga, tak ada
"pembatasan ikut serta" untuk pengguna kecil.
Prosedur yang sama dengan keputusan hakim berdasarkan konsep milik
bersama dan penentuan "kuota" secara kuantitatif dari sumberdaya, juga terdapat dalam
perikanan. Situasi perikanan menarik perhatian karena "teori sumberdaya milik
bersama” dapat ditelusuri dalam kepustakaan ekonomi perikanan. Penangkapan ikan
secara berleblhan telah terjadi dengan frekuensi yang bertambah besar dalam abad
terakhir ini. Sebagian besar pendapat menyalahkan persoalan ini terjadi karena keadaan
sumberdaya milik bersama. Nyatanya, kelembagaan milik bersama sepanjang
17
memperlakukan sumberdaya ini sebagal milik umum raksasa yang dikelola sebagai
suatu perwalian oleh semacam badan internasional.
Ringkasnya, penggembalaan yang berlebihan, penangkapan berlebihan,
penipisan terus-menerus air tanah, pencemaran udara, dan sejenisnya adalah
persoalan-persoalan masa kini yang serius, yang memerlukan perhatian para ekonom.
Sumberdaya yang ada di mana-mana seperti udara, cahaya matahari, hujan dan angin
adalah sumberdaya yang sampai taraf perkembangan tertentu ekonomi saat ini adalah
tidak langka. Tak seorang pun dapat dihalangi untuk menggunakannya.
Lembaga-lembaga yang mengatur penggunaannya dan alokasi sinar matahari
jelas tidak diperlukan sebelum taraf perkembangan ekonomi tertentu dicapai. Dalam
kasus udara taraf itu telah tercapai, dan lembaga yang mengatur penggunaannya telah
berkembang. Sumberdaya yang cepat berpindah adalah sumberdaya yang bergerak dan
harus ditangkap sebelum dapat dialokasikan kepada perorangan. Penangkapan dan
alokasi seperti itu senantiasa menimbulkan masalah tentang pembatasan dan karena itu
pengaturan kelembagaan cenderung perlu dikembangkan lebih dini. Kelembagaan
milik bersama, seperti yang dimaksud disini adalah suatu cara pengaturan yang
terpenting. Konsep milik bersama lebih banyak membantu daripada menghambat.
Kelembagaan yang cukup meluas di berbagai negara maju saat ini adalah
“perwalian umum”. Dengan beberapa perkecualian sumberdaya air, garis pantai, daerah
pertamanan, ikan, binatang buruan, dan sumber daya alam lainnya berada di bawah
perwalian banyak negara bagian atau banyak propinsi atau banyak kabupaten. Untuk
keperluan kebijakan sumberdaya alam, sumberdaya perwalian umum perlu dibedakan
dari sumberdaya milik umum, yaitu :
(1) Pertama, larangan hukum untuk pengalihan sumberdaya perwalian dan
perubahan-perubahan penggunaannya lebih keras daripada atas sumberdaya milik
umum yang tidak tunduk kepada doktrin perwalian.
(2) Kedua, sumberdaya di bawah doktrin perwalian umum tunduk pada pengaturan oleh
pemerintah tanpa kendala "diambil untuk kepentingan umum” dan karena itu tidak
menyangkut penggantian kerugian.
Dari segi kebijakan sumberdaya alam, pendekatan perwalian umum lebih
memberikan manfaat yang lebih mantap daripada pendekatan milik umum. Sering kali
ketentuan penggunaan sumberdaya milik umum dibatalkan atau penggunaannya
20
Kalau salah scorang narapidana mengaku dan kawannya tidak, narapidana yang
mengaku hanya akan dihukum enam bulan dan yang tidak mengaku akan menerima
hukuman dua puluh tahun. Kalau keduanya mengaku, masing- masing akan dihukum
sepuluh tahun, dan kalau keduanya tidak mengaku, masing- masing akan dihukum satu
tahun karena membawa senjata gelap tanpa izin. Bentuk hasil akhir seperti ditunjukkan
pada Gambar 1, dilema disebabkan oleh keadaan bahwa masing- masing narapidana
akan bernasib lebili baik dengan mengaku tidak peduli apa yang dilakukan oleh pihak
lainnya.
pemecahan dilema bersama ialah bahwa penetapan kelembagaan harus dapat mengubah
bentuk insentif sedemikian rupa sehingga cukup banyak orang yang akan berpendapat
adalah rasional untuk “bekerja sama" guna memelihara sumber daya milik bersama.
Dalam ilmu ekonomi "milik bersama" merujuk kepada semua sumberdaya yang
tidak khusus dan yang dapat dipergunakan oleh seseorang atas dasar siapa datang
dahulu akan mendapatkan kesempatan pertama. Sumberdaya yang termasuk dalam hak
milik bersama lambat laun akan mengalami penyusutan kualitas dan menimbulkan
“tragedi kebersamaan". Definisi dari milik bersama yang dapat menimbulkan tragedi di
atas menghadapi dua persoalan yang berlainan untuk impilkasinya dalam analisis
kebijakan.
(1) Pertama, semua sumberdaya dimana biaya pengeluaran lebih besar daripada manfaat
pencegahan yang bersangkutan.
(2) Kedua bahwa definisi itu melanggar arti dasar dari istilah “milik". “Milik” merujuk
kepada seperanglcat hak dalam penggunaan dan pengalihan sumberdaya.
Tahanan B
Mengaku Menyangkal
10 20
Mengaku
Tahanan A 10 1/2
1/2 1
Menyangkal......
.................
20 1
sanak-kerabat, adat-istiadat, dan kebiasaan sosial adalah tidak sesuai dengan definisi
milik bersama dalam ilmu ekonomi).
Akan lebih tepat jika digunakan istilah "sumberdaya tidak khusus" untuk
merujuk pada setiap sumberdaya dimana hak milik tidak ada atau pengkhususan karena
tidak sah menurut hukum. "Milik yang dipunyai bersama" merujuk pada sumberdaya
yang dimiliki oleh lebih dari satu orang dimana pemakai lain dapat tidak
diperkenankan. Sumberdaya "yang dimiliki" oleh seluruh warga negara melalui
kelenibagaan pemerintah (umpamanya hutan negara) diberi nama "sumber daya
umum”. Dalam hal ini pemerintah dapat menghalangi masuk dan mengatur pemakai
sumberdaya dengan menetapkan bea izin penggunaan, penjualan kayu dan pengawasan
oleh dinas pemerintah. Selanjutnya kita perhatikan Gambar 2.2.
Tak Mengembara
Bergerak
Kayu Angin
(sebelum tahun 2000) sinar matahari
Ada di mana-mana
sumberdaya ini tidak dapat dimanfaatkan oleh pemakai air di hulu. Saling
ketergantungan dalam hal air memerlukan kesadaran atas perlunya mendirikan
kelembagaan untuk mengatur sumberdaya ini.
“tidak bebas” memanfaatkan sumberdaya milik bersama dalam hal ini “udara” yang
kita hirup bersama. Tapi kita bebas memanfatakan “cahaya matahari” karena cahaya
matahari merupakan sumberdaya “tidak ada pemiliknya”.
Udara adalah milik kita bersama, bukan tidak ada pemiliknya. Sedangkan sinar
matahari adalah sumberdaya tidak ada pemiliknya. Dalam bahasa agama, sinar matahari
adalah milik Allah SWT. Oleh karena itu, pada hakekatnya, kita “tidak bebas” dalam
pengertian semau kita, bahkan dalam memanfaatan sumberdaya “tidak ada pemiliknya”
seprti sinar matahari. .
Kelembagaan “akses terbuka” pada hakekatnya tidak ada pengaturan oleh
lembaga apapun, termasuk tidak ada regulasi pasar yang menentukan pemanfaatan
sumberdaya itu. Jika sumberdaya mendapat tekanan karena pemanfatan berlebihan,
maka akses terbuka akan berakhir pada “tragedi milik bersama”, yaitu kerusakan
sumberdaya, penurunan produktifitas dan kemiskinan nelayan. Prinsip akses terbuka
mengisyaratkan setiap orang memiliki kebebasan memutuskan untuk masuk atau
keluar dari pemanfaatan sumberdaya tersebut. Asumsi akses terbuka adalah setiap
individu memiliki informasi yang sama tentang kondisi sumberdaya, tingkat
pemanfaatan dan keuntungan ekonomi yang dapat diperoleh. Akses terbuka berharap
berlangsungnya seleksi alam dan akan berlangsung peran serta “tangan-tangan yang
tidak kelihatan (invisible hand)”. Persaingan antara peara pelaku yang memanfaatakan
sumberdaya berlangsung secara bebas.
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya melalui pengaturan oleh pemerintah
adalah tipe pengelolaan yang sepenuhnya diatur oleh pemerintah, baik pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah. Kelembagaan pengelolaan tipe ini dapat dilakukan
oleh pemerintah secara langsung, atau pemerintah menetapkan “perusahaan
pemerintah” untuk mengelola pemanfatan sumberdaya tersebut. Kelembagaan juga bisa
mempercayakan kepada masyarakat, tapi kendali pemerintah sangan dominan, yaitu
melalui kuasa dan otoritas pemerintah.
Kelembagaan pengelolaan berbasis masyarakat yang diatur oleh masyarakat
adalah tipe pengelolaan yang sepenuhnya berada di tangan masyarakat lokal. Sebagian
besar aktifitas dan tindakan masyarakat berkenaan dengan pemanfaatan sumberdaya
marupakan aksi kolektif dengan mengnandalkan jearifan lokal. Eksistensi kelembagaan
lokal ini tumbuh sejalan dengan perkembangan budaya dan tradisi lokal. Atau tumbuh
27
karena budaya pasar atau pengaturan oleh pemerintah tidak sesuai dengan harapan atau
gagal mencapai tujuan pengelolaan itu sendiri.
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya melalui pengaturan bersama antara
pemerintah dan masyarakat dilakukan dengan cara kerja sama pengelolaan (co-
management) antara pemerintah dan masyarakat. Salah satu dari pemerintah atau
masyarakat mengajukan rencana pengelolaan sumberdaya, kemudian semua “stake
holder” membahas rencana pengelolaan yang ada untuk diputskan bersama antara
pemerintah dan masyarakat.
Kelembagaan pengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan regulasi pasar
identik dengan pengelolaan sumberdaya “milik swasta”. Dalam hal ini, mekanisme
pasar diyakini sebagai instrumen untuk mengupayakan kegiatan bisnis yang semakin
efisien. Masalahnya adalah adanya kenyataan bahwa pengelolaan sumberdaya milik
bersama selalu saja dibayangi oleh “kegagalan pasar (market failure)” yang mungkin
saja terjadi karena mekanisme pasar yang tidak berjalan, adanya eksternalitas atau sebab
lain yang hanya bisa dideteksi dalam jangka panjang. Regulasi pasar bisa mengikuti
struktur pasar persaingan sempurna atau dibayangi atau dibarengi oleh intervensi
kebijakan pengelolaan oleh pemerintah pusat maupun daerah.
Dengan demikian pengelolaan sumberdaya perikanan selalu saja kita jumpai
adanya interaksi kegiatan pengelolaan antara berbagai tipe kelembagaan yang ada.
Untuk maksud penyederhanaan, pembahasan pengelolaan sumberdaya milik bersama
dapat dikelompokkan menjadi beberapa tipe :
1. Pengelolaan Sumberdaya Open Access (Bebas Masuk)
2. Pengelolaan Sumberdaya Oleh Pemerintah
3. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Masyarakat
4. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Kolaborasi Antara Masyarakat dan Pemerintah
5. Pengelolaan Sumberdaya Berbasis Mekanisme Pasar
Bahkan banyak contoh suatu masyarakat perikanan di suatu lokasi tertentu membuat
berbagai aturan tidak formal yang disetujui oleh komunitas nelayan tersebut.
Kita misalkan Xt menyatakan biomassa atau jumlah individu stok ikan atau
populasi, Et adalah tingkat fishing effort untuk mempanen stok tersebut dan Y t adalah
tingkatan jumlah panen atau hasil tangkapan total selama tahun ke t. Proses produksi
yang deterministik dapat kita tulis dengan persamaan Yt = H(Xt, Et), dimana Xt dan Et
merupakan faktor input dari fungsi H(.) berbentuk concave.
Ada dua kemungkinan bentuk fungsi H(X,E.), yaitu :
Kita misalkan perubahan stok ikan pada dua periode berbeda ditulis
sebagaimana pada persamaan (2.1).
dimana η > 0 adalah parameter penyesuaian (adjustment parameter) yang diukur dari
responsifitas fishing effort terhadap keuntungan dan kerugian usaha. Adapun c = biiaya
per unit fishing effort.
Secara bersama, persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan sistem persamaan
dinamik. Jika kita tetapkan kondisi awal (X0, E0), maka persamaan (2.1) dan (2.2) dapat
di-iterasi (dulang-ulang) terhadap waktu dengan hasil untuk setiap Xt dan Et. Dengan
dasar bentuk persamaan H (.) = q Xt Et dan F(.) = r Xt (1 – Xt/ K), dimana q > 0
disebut koefisien hasil tangkap (catchability coeffient) dalam sistem pemgelolaan
bebas masuk, maka persamaan (2.1) dan (2.2) dapat dijadikan menjadi satu sistem
persamaan (2.3).
X t+1 = [ 1 + r ( 1 – Xt /K – q Et] Xt
E t+1 = [ 1 + η [ pq H(Xt, Et) - c ] Et (2.3)
Dengan dasar persamaan (2.3) tersebut kita dapat melakukan iterasi dalam sistem open
access menurut perubahan waktu.
Untuk nilai tertentu parameter r, K, q, η, p dan c dengan dasar kondisi awal (X 0,
E0), maka iterasi pertama kita akan peroleh nilai (X 1,E1). Kemudian kita substitusikan
(X1,E1) ke dalam persamaan sebelah kanan, kita akan memperoleh nilai (X 2, E2),. Dan
begitu seterusnya. Selanjutnya kita buat plot titik-titik (X t, Et) dalam salib sumbu X --
E untuk t = 1, 2, 3 ................. T.
Diantara titik-titik (Xt, Et) terjadi suatu keadaan dimana untuk berbagai waktu
kapan saja, hasil Xt dan Et berada pada titik yang tetap (fixed point) yang selanjutnya
30
kita sebut dalam keadaan keseimbangan yang mantap (steady state equilibrium). Titik
tersebut berada pada keseimbangan Xt+1 = Xt = X dan Et+1 = Et = E. Keseimbangan
mantap pada titik bukan nol, persamaan (2.1) memerlukan persyaratan jumlah ikan
yang dipanen = pertumbuhan stok ikan (surplus) bersih, dan persamaan (2.2)
memerlukan syarat keuntungan = nol. Dengan menggunakan persamaan (2.3) keadaan
mantap membawa implikasi menghasilkan garis E = r ( 1 – X/K)/q dan nilai X=
c/pq sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3.
E (2)
r/q E t+1 = Et = E
E∞ ......................
(1)
X t+1 = Xt = X
X
0 X∞ = c / pq K
Garis pada Gambar 2.3 disebut garis “isocline”, karena titik – titik pada garis
pertama menghasilkan nilai X tidak berubah, dan yang kedua (vertikal) menghasilkan
nilai E tidak berubah. Untuk berbagai nilai parameter r, K, q, η, p dan c untuk kondisi
awal (X0, E0), sistem persamaan (2.3) mampu menunjukkan perilaku dinamiknya. Dua
titik sasaran diperlihatkan pada Gambar 2.4, yaitu titik sasaran (1) dan (2).
Titik sasaran (1) memperlihatkan dalam bentuk konvergensi spiral menuju
keadaan keseimbangan open access pada X∞ = c/pq dan nilai E∞ = r (1- c/ pqK) / q.
Nilai E∞ didefinisikan sebagai “ambang batas” besarnya stok ikan. Oleh karena itu
untuk :
(1) Xt > X∞ , keuntungan positif dan effort meningkat;
31
πt = π (Xt, Yt)
Kemudian kita tentukan kondisi awal X0, maka dengan melakukan iterasi untuk
memperoleh jalur waktu untuk Xt . Manfaat sosial bersih yang telah didiskonto dapat
dihitung dengan persamaan (2.4).
33
T
πt =
t 0
ρtπ (Xt, Yt) (2.4)
oo
Maksimisasi πt = t 0
ρtπ (Xt, Yt)
oo
L = t 0
ρt [π (Xt, Yt) + ρ λt+1 { Xt + F(Xt) – Yt - Xt+1 }] (2.6)
Multiplier Lagrange tersebut dapat diinterpretyasi nilai harga bayangan wakta sekarang
(current value shadow prices) yang menunjukkan n nilai tambahan satu satuan
sumberdaya ikan pada tahun tertentu. Dalam masalah ini, kita dapat memikirkan
tingakat Xt+1 yang dapat diperoleh pada periode (t+1). Nilai tambahan X t+1 pada
periode (t+1) adalah λt+1 . Keadaan tersebut menggambarkan tidak hanya pada periode
(t+1), tapi untuk seluruh horison waktu, dengan anggapan bahwa sumberdaya
perikanan dikelola secara optimal.
Setelah persamaan Lagrange terbentuk, kita membuat fungsi turunan partial =
0. Keseluruhan turunan tersebut digunakin untuk memcahkan masalah optimalisasi Yt,
Xt, dan λt pada kondisi keseimbangan bio-ekonomi secara optimum.
34
Persamaan turunan dan hasil yang diperoleh ditunjukkan pada persamaan (2.7)
- (2.9) dan (2.10) - (2.12).
Selanjutnya menjadi :
pembatas, yaitu nilai X0, sebut saja nilainya = a, dan nilai ( ρ t λt Xt ) mendekati nol
pada waktu t mendekati waktu tidak terhingga.
Dalam keadaan mantap, dimana nilai Yt, Xt dan λt tidak berubah, maka
persamaan (2.10) – (2.12) mengandung implikasi pada persamaan (2.13) – (2.15).
∂ π (. )/ ∂Yt = ρλ (2.13)
Y = F(X) (2.15)
Kita lakukan substitusi nilai ( ρ λ ) dari persamaan (2.13) ke dalam persamaan (2.14)
kemudian diusahakan agar nilai δ berada di sisi kanan persamaan, sehingga
menghasilkan persamaan (2.16).
∂π (. )/ ∂X
Ft (X) + ---------------- = δ (2.16)
∂ π (. )/ ∂Y
∂π (. )/ ∂X
-------------- (2.16)
∂ π (. )/ ∂Y
36
yang selanjutnya disebut oleh Clark dan Munro (Conrad, 1996) dengan istilah :
“marginal stock effect”yaitu : ukuran nilai stok marginal relatif terhadap nilai panen
marginal. Kedua bagian sisi kiri pada persamaan (2.16) selanjutnya disebut sebagai
“resources internal rate of return”. Dari persamaan (2.16) dapat kita jelaskan bahwa
nilai X dan Y pada tingkat optimal mantap akan menyebabkan “resources rate of
return” adalah sama dengan “ discount rate, δ”. Nilai δ tersebut adalah sama dengan
return on investment (ROI) dalam teori ekonomi yang lazim. Atas dasar pemikiran
demikian, maka sumberdaya alam yang dapat diperbaharui pada dasarnya adalah
“kapital” atau aset (modal) sumberdaya suatu lingkungan.
Dengan dasar fungsi implisit, maka persamaan (2.16) selanjutnya dapat kita buat
suatu kurva dalam bidang X---Y. Dengan asumsi fungsi F (X) dan π (X,Y) bentuk
konkave dalam bidang X – Y, maka slope kurva tersebut positif. Bentuk yang pasti
dari fungsi F (X) dan π (X,Y) dalam bidang X – Y ditentukan oleh parameter fungsi
tersebut dan oleh discount rate.
Berbagai kemungkinan kurva, sebut saja kurva Φ, yaitu garis Φ 1, Φ2, dan Φ3
sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.4. Dalam gambar tersebut disajikan pula
kurva pertumbuhan stok bersih, Y = F(X) = rX( 1 X/K). Perpotongan antara F(X) dan
kurva Φ tertentu menggambarkan solusi persamaan (2.15) dan (2.16), yaitu
sumberdaya dalam keadaan mantap (steady state) dan optimum secara bio-ekonomi.
Gambar 1.4 menunjukkan empat titik keseimbangan, terdiri dari tiga buah titik
optimum bio-ekonomi dan sebuah titik maximum sustainable yield (MSY) . Titik-titik
tersebut menggambarkan hal berikut :
(1) Perpotongan antara Φ1 dan F(X) pada keadaan dimana pengurasan sumberdaya
mencapai optimal. Keseimbangan semacam ini terjadi jikia sumberdaya tumbuh
perlahan, sementara tingkat suku bunga diskonto cukup tinggi dan biaya panen
populasi ikan terakhir adalah lebih kecil dari harga pasar;
(2) Perpotongan antara Φ2 dan F(X) pada keadaan stok optimal pada titik X2
bernilai positif, tapi lebih rendah dari K/2 yang mendukung tingkat MSY =
rK/4. Pada tingkat ini efek stok marginal lebih rendah dari tingkat suku bunga
dikonto; dan
37
(3) Kurva Φ3 dimana efek stok marginal cukup besar, yaitu dengan besaran lebih
tinggi dari tingkat suku bungan diskonto. Ini terjadi jika stok ikan yang dipanen
dalam jumlah lebih rendah memerlukan ongkos yang semakin meningkat secara
signifikan.
Φ1 Φ2 Φ3
MSY=
rK/4 ..........................................
Y3 ...............................................
Y2 .............................
F(X) = r X (1 – X/K)
X
O X2 K/2 X3 K
Gambar 2.4. Tingkat MSY dan tiga titk bio-ekonomi optimum (Conrad, 1995)
Kesimpulan dari uraian diatas adalah bahwa pengelolaan stok optimal atas dasar
model bio-ekonomi akan berada pada tingkat lebih rendah atau sedikit lebih tinggi dari
tingkat MSY. Dengan dasar kesimpulan tersebut, maka untuk pendekatan kehati-
hatian, dalam menjaga kelestarian sumberdaya perikanan, tingkat panen optimal
menggunakan ukuran 80% MSY. Pengelolaan sumberdaya perikanan pada tingkat
panen optimal ( 80% MSY) selanjutnya disebut tingkat Total Allowable Catch (TAC).
(1) Validitas hasil pendugaan tingkat MSY yang akan digunakan sebagai dasar untuk
menetapkan TAC sebagai dasar untuk menetapkan berbagai kebijakan pengelolaan
seperti penetapan quota, ijin kapal penagkapan maupun kebijakan yang bersifat
bio-ekonomi lainnya. Jika hasil pendugaan MSY “salah atau tidak valid” maka
implikasi kebijakan yang akan kita buat juga akan tidak valid. Dalam hubungannya
dengan penetapan TAC ini, memerlukan dukungan managemen sistem informasi
(SIM) sumberdaya perikanan secara valid.
(2) Kepercayaan atas penegakan peraturan. Dalam hal ini, penegakan peraturan sangat
penting. Dengan adanya kepercayaan terhadap tegaknya peraturan, maka
masyarakat pengguna sumberdaya akan bertindak rasional. Akan terjadi sebaliknya,
jika peraturan tidak ditegakkan.
(3) Peraturan secara tertulis yang diberlakukan untuk seluruh wilayah pengelolaan.
Sekalipun masyarakat nelayan pada umumnya berkomunikasi dakam meresopon
peraturan secara verbal, namun peraturan tertulis yang disyahkan atau dibuat oleh
pemerintah memudahkan masyarakat untuk mentaatinya.
(4) Kejelasan teknologi yang diijinkan. Adanya penggunaan teknologi di luar skala atau
jenis teknologi yang diijinkan akan memacu timbulnya pelanggaran penggunaan
teknologi yang secara nyata mengarah pada teknologi yang lebih menguntungkan.
(5) Pembangunan industri perikanan sering berdampak negatif terhadap penggunaan
teknologi melaut karena pertimbangan efisiensi dan produktifitas yang semakin
besar dapat melalaikan para pengelola sumberdaya perikanan tidak
mensinkronisasikan penggunaan teknologi dengan pelaksanaan pengelolaan
sumberdaya perikanan. Pembangunan perikanan dan pengelolaan sumberdaya sejak
awal harus dilakukan secara komplementer.
(6) Perdagangan dan harga jenis ikan tertentu yang tinggi akan mendorong nelayan
untuk mengeksplotasi sumberdaya tersebut secara berlebihan. Oleh karena itu
diperlukan berlangsungnya melkanisme harga ikan yang “wajar” untuk menjaga
agar nelayan tidak melakukan pelanggaran dalam eksploitasi sumberdaya ikan
karena alasan ekonomi.
perkembangan perdagangan bebas pada skala regional yang berdampak luas terhadap
dinamika pemanfaatan sumberdaya di tingkat lokal, hanya bisa dikendalikan secara
nasional.
Indonesia dengan hampir lebih dari 17.000 pulau, bisa dipastikan betapa biaya
yang harus dikeluarkan oleh pemerintah pusat (nasional) maupun daerah untuk
mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan oleh pemerintah.
Disamping biaya tinggi juga akan banyak menghadapi kesukaran. Pelanggaran yang
terjadi di tingkat lokal dan tidak mudah terdeteksi oleh pemerintah secara nasional
maupun daerah.
perikanan dapat terdiri dari para nelayan, pedagang ikan, pembudidaya ikan/ rumput
laut, pengolah ikan, pemilik kapal, tokoh adat ataupun pimpinan formal.
Dengan adanya klasifikasi masyarakat yang berbeda, maka PSBM dapat
dibedakan atas dasar :
(1) Administrasi pemerintahan/ kawasan : PSBM dusun, desa, kecamatan,
kabupaten, propinsi atau kawasan Selat/ Teluk tertentu;
(2) Kegiatan ekonomi masyarakat : PSBM gill-net, petani rumput laut dan lain-
lainnya.
Menurut Nikijuluw (2002) kelembagaan PSBM dapat tumbuh melalui tiga cara,
dengan proses dan jastifikais sebagai berikut :
(1) Pemerintah mengakui praktik pengelolaan sumberdaya perikanan yang selama ini
telah dilakukan masyarakat turun-temurun dan merupakan adat yang dianut oleh
masyarakat;
(2) Pemerintah bersama masyarakat membangkitkan kembali adat dan budaya lokal
yang sempat ada untuk mengelola sumberdaya perikanan di kawasan tertentu; dan
Praktik dan proses pembentukan untuk berbagai jenis PSBM di berbagai lokasi
perikanan dijelaskan oleh Nikijuluw (2002) (pengelompokan disusun oleh penulis)
sebagai berikut :
tertentu, tetap tersedia sehingga dapat ditangkap pada waktu yang lama, sumberdaya
ikan lestari dan dapat dimanfaatan oleh generasi yang akan datang dengan kondisi
seperti yang dimanfaatkan sekarang. Desa mengenakan kewajiban kepada pemegang
hak ekslusif di kawasan desanya berupa “pajak” tertentu yang dikumpulkan oleh
petaugas desa untuk pendapatan desa.
Perikanan Laut
Perikanan Berdasarkan
Izin
Hak penangkapan ikan oleh koperasi perikanan dan anggotanya dibagi dalam
tiga kelompok, yaitu :
(1) Hak pemanfaatan milik bersama;
(2) Hak penggunaan jaring bubu; dan
(3) Hak budidaya laut.
Hak pemanfaaatn milik bersama dikelompokkan menjadi tiga, yaitu :
(1) Hak pemanfaatan jenis-jenis ikan yang “menetap” di suatu wilayah (sedentari);
47
(2) Hak menggunakan jaring bubu, alat tangkap menetap dan jaring insang skala kecil;
dan
(3) Hak menggunakan pukat pantai, pukat lain yang dioperasikan dengan perahu tanpa
motor, alat tangkap tradisional untuk ikan-ikan di perairan dekat pantai dan
penagkapan ikan di sekitar terumbu karang buatan.
Hak penggunaan jaring bubu diperuntukkan bagi kegiatan perikanan pada
kedalaman air 27 m atau lebih. Adapun hak budidaya laut diberikan kepada koperasi
atau anggota kopersi yang melakukan budidaya laut di daerah yang telah ditentukan.
Koperasi nelayan berkewajiban membuat aturan lokal untuk setiap hak pemanfaatan
sumberdaya perikanan. Aturan lokal ini harus diputuskan oleh rapat pleno koperasi dan
harus disetujui oleh pemerintah propinsi.
Selain sistem pengelolaan perikanan berdasarkan hak, pemerintah propinsi
memiliki juga wewenang dalam sistem oengelolaan sumberdaya perikanan berdasarkan
izin.Sistem izin diberlakukan untuk perikanan trawl dan pukat cincin yang beroperasi
di perairan laut Jepang dan di luar Jepang. Izin diberikan atas nama kapal dan nama
nelayan.
(2) Bersifat lokal sehingga masalah yang cakupannya lebih luas dari kondisi lokal sulit
diatasi oleh PSBM.
(3) Secara individu mungkin banyak mendatangkan manfaat, namun secara bersama-
sama (kelompok) bisa tidak ekonmis. Biaya pengelolaan institusi boleh jadi tidak
tertanggungkan, karena skala ekonomi yang rendah.
(4) PSBM ada kemungkinan tidak mampu memecahkan permasalahan antar komunitas
dalam masyarakat, karena PSBM hanya diakui oleh satu komunitas, sehingga
masalah yang timbul antar komunitas tidak mudah diselesaikan oleh masing-
masing PSBM.
(2) Kedua : pada tipe konsultatif, hubungan antara masyarakat dan pemerintah saling
berkonsultasi. Masyarakat dan pemerintah saling mendampingi, namun keputusan
49
ackir ada di tangan pemerintah. Dengan demikian peran pemerintah masih cukup
lebih besar dari peran dan tanggung jawab pemerintah.
(3) Ketiga : pada tipe kooperatif, hubungan antara pemerintah dan masyarakat
sederajad. Semua tahapan managemen berada dalam tanggung jawab di kedua
belah pihak. Dalam hal ini masyarakat nelayan merupakan mitra pemerintah.
(4) Keempat : tipe pendampingan atau advokasi. Peran dan tanggung jawab masyarakat
nelayan lebih besar dari peran pemerintah. Masyarakat dapat mengajukan usulan
keputusan pengelolaan sumberdaya perikanan yang akan dilaksanakan oleh
masyarakat. Peran pemerintah lebih banyak bersifat mendampingi masyarakat.
(5) Kelima : tipe ko-managemen informasi. Dalam hal ini pemerintah hanya
memberikan informasi kepada masyarakat. Masyarakat secara mandiri
memanfaatkan semua informasi untuk memutuskan sendiri dalam pengelolaan
sumberdaya perikanan.
Berdasarkan pada berbagai bentuk tipe proses pengambilan keputusan tadi,
maka ko-managemen akan lahir karena adanya kemauan dan inisiatif pemerintah
danmasyarakat. Kemauan atau inisiatif muncul dimulai karena ada permasalahan
bersama yang disadari memerlukan kersama antara kedua belah pihak untuk
memecahkannya.
Bentuk-bentuk kelembagaan untuk melaksanakan pengelolaan sumberdaya
perikanan yang mengacu pada berbagai tipe ko-managemen tersebut disajikan pada
Tabel 2.1 (Nikijuluw, 2002).
Nielsen, 1995
∂ π (. )/ ∂Y t = ρ λt+1
dimana ∂ π (. )/ ∂Yt adalah manfaat nilai sekarang (present value) panen bersih yang
besarnya adalah :
∂ π (. )/ ∂Y t = p - MCt
dimana p adalah harga ikan yang dipanen per satuan, sedangkan MCt adalah biaya
marginal (lihat pada persamaan 4.10). dengan demikian kita perlu menyusun kebijakan
yang dapat mendorong nelayan memperoleh harga output yang sama secara kolektif,
yaitu pada tingkat harga yang besarnya = marginal cost (MC) + user cost . Atau :
53
p = MCt + ρ λt+1
Secara teori, baik pajak penangkapan (landing tax) (kita mengenal beban non- pajak/
retribusi yang didasarkan pada hasil tangkap, bukan pada kuota hasil tangkap) maupun
sistem ITQ akan dapat menduga nilai ρ λt+1 dan akan dapat mendorong panen optimal.
Pengenalan ITQ ke dalam pengendalian usaha penangkapan ikan dengan program
“pembatasan ijin masuk” akan lebih menumbuhkan industri perikanan yang
“professional” bagi semua pihak dan lebih mudah diadministrasi jika dibandingkan
dengan sitem landing tax (retribusi hasil tangkap).
Cara opersi sistem ITQ tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :
(a) Setiap pemilik kapal dengan program ijin masuk untuk melakukan penagkapan ikan
memperoleh sejenis sertifikat ijin yang menyebutkan sejumlah panen ikan sebesar
fraksi tertentu dari TAC tahun tertentu, misalnya 2% (bervariasi dari tahun ke
tahun) misalnya dari TAC 200.000 ton, maka nelayan tersebut dapat menagkap ikan
kapan saja untuk tahun itu sebesar 4.000 ton. Para pemilik kapal dapat menyewa
kapal atau menjual ijin tersebut seluruhnya atau sebagian. Jika pemilik kapal
menjual seluruhnya, berarti ia meninggalkan usaha penangkapannya.
(b) Menteri Perikanan atau yang ditunjuk mencatat pemilikan ITQ, persewaan,
penjualan dan juga dapat membantu para broker, yaitu dengan menfasilitasi
pencatatan harga.
(c) Pemegang ijin ITQ harus banyak, demikian juga para pembeli ITQ juga harus
didorong agar juga banyak, sehingga harga kuota, PQ, benar-benar mewakili harga
pasar ikan dan biaya penangkapan, yang tentu saja bergantung pada ukuran stok
ikan yang tersedia. Harga untuk akuisisi permanen untuk tambahan satu satuan ITQ
diasumsikan merefleksikan ekspektasi industri perikanan tentang harga ikan yang
akan datang, juga biaya panen, ukuran stok ikan dan kesanggupan pengelola
sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
(d) mengingat ITQ bisa dijual dan dapat dipakai sebagai dasar untuk menyewa kapal
diharapkan dapat mendorong harga ikan per satuan quota di pasar quota mencapai
sama dengan “user cost”, yaitu PQ - ρ λt+1 . Agar kondisi panen ikan secara
54
optimal dicapai, nilai bersih dari tambahan satu satuan quota harus dijual pada
tingkat harga yang sama dengan yang terjadi di pasar quota, maka :
p - MCt = PQ = ρ λt+1
2. Problema Potensial
Beberapa ahli mengatakan bahwa program ITQ tidak akan dapat dilakukan
dalam perikanan salmon dan udang karena sangat sukar untuk menetapkan nilai TAC
57
nya. Penetapan TAC memang mengandung problema potensial, tapi dalam hal
perikanan udang, menurut Anderson, masalahnya bukan di TAC. Besarnya stok udang
sekarang tidak sepenuhnya ditentukan oleh tekanan penangkapan pada tahun
sebelumnya, tapi juga karena adanya pemborosan sumberdaya karena respon dinamik
dari kapal penmangkapan itu sendiri yang tidak digunakan secara penuh sehingga
menimbulkan bentuk pemborosan yang lain.
Problema lainnya adalah tingkat recovery. Yang dimaksud tingkat recovery
adalah persentase berat hidup dari ikan yang tertangkap yang didaratkan pada berat total
biomassa, sehingga cara menghitung apakah quota sudah dilampaui atau belum perlu
diperhitungkan atas dasar tingkat recovery nya.
Problema potensial lain yang tidak kalah pentingnya adalah highgrading dengan
maksud menghasilkan mutu terbaik, maka bisa saja nelayan mensortir dan membuang
hasil penen di tengah laut untuk ikan-ikan yang harganya dianggap murah. Masalah ini
dampaknya bervariasi bergantung pada sejauh mana pengaruhnya terhadap keuntungan,
jika ikan-ikan nilai rendah disortir di tengah laut. Dalam menghadapi problema tersebut
diperlukan pengawasan yang ketat dan tepat. Atas dasar pengalaman dapat diperkirakan
berapa prosentase yang disortir dan dibuang di tengah laut. Jika jumlah yang
diperkirakan dibuang tidak diperhitungkan, maka hal tersebut jelas akan berdampak
negatif terhadap perhitungan quota apabila didasarkan pada pencatatan panen di
pelabuhan perikanan saja.
Problema yang cukup rumit adalah menyangkut perhitungan quota untuk ikan-
ikan multipesies yang merupakan ciri khususu perikanan tropis seperti di Indonesia. Hal
tersebut secara kira-kira dapat diatasi dengan perbandingan tertentu antara spesies yang
tercakup dalam ketentuan quota. Jika ikan yang tertangkap secara simultan sangat
banyak jenisnya akan lebih rumit lagi.
Terlepas dari semua potensi problema tersebut, maka upaya pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan pendekatan program ITQ dalam praktek akan kita
peroleh manfaat lebih banyak dibandingkan dengan bentuk pengelolaan tradisional
lainnya. Oleh karena itu, menurut Anderson menyatakan bahwa persoalannya bukan
mempersoalkan kelemahan yang melekat pada berbagai teknik pengelolaan yang ada,
tapi teknik mana saja yang dapat diadopsi dapat dilakukan dan dapat diperkuat serta
dapat dipilih sehingga menunjukkan pencapaian yang makin dekat pada tujuan
58
pengelolaan sumberdaya, yaitu cadangan dan kelimpahan stok dapat dikelola secara
optimal dan berkelanjutan.