Anda di halaman 1dari 5

Reva Dwi Tamtomo

20

XII IPA 4
Harta Karun Untuk Semua
Cerpen Dewi Lestari

Hari ini kiriman buku yang saya pesan dari Amazon.com datang. Ada satu buku yang langsung
saya sambar dan baca seketika. Judulnya: "Stuff The Secret Lives of Everyday Things". Buku
itu tipis, hanya 86 halaman, tapi informasi di dalamnya bercerita tentang perjalanan ribuan mil
dari mana barang-barang kita berasal dan ke mana barang-barang kita berakhir.

Dimulai sejak SD, saat saya pertama kali tahu bahwa plastik memakan waktu ratusan tahun
untuk musnah, saya sering merenung: orang gila mana yang mencipta sesuatu yang tak musnah
ratusan tahun tapi masa penggunaannya hanya dalam skala jam bahkan detik? Bungkus
permen yang hanya bertahan sepuluh detik di tangan, lalu masuk tong sampah, ditimbun di
tanah dan baru hancur setelah si pemakan permen menjadi fosil. Sukar membayangkan apa
jadinya hidup ini tanpa plastik, tanpa cat, tanpa deterjen, tanpa karet, tanpa mesin, tanpa bensin,
tanpa fashion.Dan sebagai konsumen dalam sistem perdagangan modern, sejak kita lahir rantai
pengetahuan tentang awal dan akhir dari segala sesuatu yang kita konsumsi telah diputus. Kita
tidak tahu dan tidak dilatih untuk mau tahu ke mana kemasan styrofoam yang membungkus nasi
rames kita pergi, berapa banyak pohon yang ditebang untuk koran yang kita baca setengah jam
saja, beban polutan yang diemban baju-baju semusim yang kita beli membabi-buta. Untuk
aktivitas harian yang kita lewatkan tanpa berpikir, yang terasa wajar-wajar saja, pernahkah kita
berhitung bahwa untuk hidup 24 jam kita bisa menghabiskan sumber daya Bumi ini berkali-kali
lipat berat tubuh kita sendiri? Untuk menyiram 200 cc air kencing, kita memakai 3 liter air. Untuk
mencuci secangkir kopi, kita butuh air sebaskom. Untuk memproduksi satu lapis daging burger
yang mengenyangkan perut setengah hari dibutuhkan sekitar 2,400 liter air. Produksi satu set
PC seberat 24 kg yang parkir di atas meja kerja kita menghasilkan 62 kg limbah, memakai
27,594 liter air, dan mengonsumsi listrik 2,300 kwh. Bagaimana dengan chip kecil yang bekerja
di dalamnya? Limbah yang dihasilkan untuk memproduksinya 4,500 kali lipat lebih berat
daripada berat chip itu sendiri.

Mengetahui mata rantai tersembunyi ini bisa menimbulkan berbagai reaksi. Kita bisa frustrasi
karena terjepit dalam ketergantungan gaya hidup yang tak bisa dikompromi, kita bisa juga
semakin apatis karena tidak mau pusing. Yang jelas, sesungguhnya ini adalah pengetahuan
yang sudah saatnya dibuka. Pelajaran Ilmu Alam, selain belajar penampang daun dan
membedah jantung katak, dapat dibuat lebih empiris dengan mempelajari hulu dan hilir dari
benda-benda yang kita konsumsi, sehingga tanggung jawab akan alam ini telah disosialisasikan
sejak kecil.

Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki gedung FO empat lantai, Pasar Baru, atau
berjalanjalan ke Gasibu pada hari Minggu di mana ada lautan PKL: tidakkah semua baju dan
barang-barang itu mampu memenuhi kecukupan penduduk satu kota? Tapi kenapa barang-
barang ini tidak ada habisnya diproduksi? Setiap hari selalu ada jubelan pakaian baru yang
menggelontori pasar. Pernahkah kita merenung, saat kita memasuki hypermarket dan melihat
ratusan macam biskuit, ratusan varian mie instan, dan ratusan merk sabun: haruskah kita
memiliki pilihan sebanyak itu? Pernahkah kita merenung, apa yang kita inginkan sesungguhnya
jauh melebihi apa yang kita butuhkan? Atas nama kecukupan, satu manusia bisa hidup dengan
lima pasang baju dalam setahun, bahkan lebih. Atas nama fashion, jumlah itu menjadi tidak
berbatas. Atas nama kebutuhan, satu manusia bisa hidup dengan beberapa pilihan panganan
dalam sehari. Atas nama selera dan nafsu, seisi Bumi tidak akan sanggup memenuhi keinginan
satu manusia. Permasalahan ini memang bisa dilihat dari berbagai kacamata.

Seorang ekonom mungkin akan menyalahkan sistem kapitalisme dan globalisasi. Seorang
sosialis akan mengatakan ini masalah distribusi dan pemerataan. Tapi jika kita runut, satu demi
satu, bahwa Bumi adalah kumpulan negara, negara adalah kumpulan kelompok, dan kelompok
adalah kumpulan individu, permasalahan ini akan kembali ke pangkuan kita. Dan kesadaran
serta kemauan kitalah yang pada akhirnya akan memungkinkan sebuah perubahan sejati. Belum
pernah dalam sejarah kemanusiaan keputusan harian kita menjadi sangat menentukan.

Tidak perlu menunggu Amerika menyepakati protokol Kyoto, tidak perlu juga menunggu
penjarah hutan tertangkap, setiap langkah kita—memilih merk, kuantitas, tempat, gaya hidup
adalah pilihan politis dan ekologis yang menentukan masa depan seisi Bumi. Saya belum bisa
mengorbankan komputer karena itulah instrumen saya bekerja, tapi saya bisa lebih awas
dengan jam penggunaan dan mematikannya jika tidak perlu. Saya belum bisa mengorbankan
kebutuhan akan informasi, tapi saya bisa memilih membaca berita lewat internet atau membaca
koran di tempat publik ketimbang berlangganan langsung. Bagaimana dengan fashion? Di dunia
citra ini, dengan profesi yang mengharuskan banyak tampil di muka publik, saya pun belum bisa
mengorbankan keperluan fashion (baca: membeli busana lebih sering dari yang dibutuhkan), tapi
saya bisa membuat komitmen dengan lemari pakaian, yakni baju yang saya miliki tidak boleh
melebihi kapasitas lemari saya. Jika lebih, maka harus ada yang keluar.

Dan setiap beberapa bulan saya dihadapkan pada kenyataan bahwa ada baju yang tidak saya
pakai setahun lebih atau baju yang cuma sekali dipakai dan tak pernah lagi. Bukan cuma baju,
ada juga buku, pernik rumah, alat dapur, bahkan sabun dan sampo yang utuh tak disentuh.
Alhasil, dalam rumah saya ada semacam peti-peti 'harta karun', yang berisikan barang-barang
yang harus keluar dari peredaran, karena jika dipertahankan hanya menjadi kelebihan tanpa lagi
unsur manfaat. Harta karun ini lantas harus dicarikan lagi outlet untuk penyaluran. Pada waktu
perayaan 17 Agustus, di kompleks saya diselenggarakan bazaar. Para warga menyewa stand
untuk berjualan. Saya ikut berpartisipasi, dan sayalah satu-satunya penjual barang bekas di
antara penjual barang-baru baru. Karena bukan demi cari untung, barang-barang itu saya lepas
dengan harga sangat murah. Yang membeli bukan cuma warga kompleks, tapi juga dari
kampung sekitar. Hari pertama, saya sudah kehabisan dagangan. Terpaksa saya mengontak
saudara-saudara saya yang barangkali juga punya barang bekas untuk disalurkan. Sama
dengan saya, mereka pun punya timbunan harta karun yang entah harus diapakan.

Stand saya menjadi salah satu stand paling laris selama bazaar berlangsung. Dan kakak saya
terkaget-kaget dengan penghasilan yang ia dapat dari tumpukan barang yang sudah dianggap
sampah. Berjualan di bazaar tentu bukan satu-satunya jalan, ada aneka cara kreatif lain untuk
memanfaatkan harta karun kita, termasuk juga disumbangkan. Namun yang lebih sukar adalah
memulai membuat komitmen-komitmen pembatasan diri. Berkomitmen dengan rak buku, dengan
lemari pakaian, dengan rak kamar mandi, dengan laci dapur, dan pada intinya... dengan diri
sendiri.

Siapkah kita menentukan batasan dan berjalan dalam koridor itu? Dan, yang lebih susah lagi,
adalah pengendalian diri dari awal bersua aneka pilihan yang membombardir kita setiap hari, lalu
sadar dan mawas akan rantai sebab-akibat yang menyertai pilihan kita. Membuka diri untuk info
dan pengetahuan ekologi adalah salah satu cara pembekalan yang baik. Walaupun sekilas
tampak merepotkan dan bikin frustrasi, tapi kantong kresek yang kita buang tadi pagi tidak akan
hilang oleh sihir, dan hamburger yang kita makan tidak dipetik dari pohon. Rantai yang menyertai
barang-barang itu tidak akan hilang hanya karena kita menolak tahu. Banyak orang yang
berkomentar pada saya, "Aduh, Wi. Kamu bikin hidup tambah susah saja." Dan mereka benar.
Hidup ini tak mudah.

Untuk itu kita justru harus belajar menghargai setiap jengkalnya. Memilih hidup yang lebih
sederhana, hidup dengan tempo yang lebih pelan, hidup dengan pengasahan kesadaran, tak
hanya membantu kita lebih eling dan terkendali, tapi juga membantu Bumi ini dan jutaan
manusia yang dijadikan alas kaki oleh industri demi pemenuhan nafsu konsumsi kita sendiri.

Lingkaran setan? Ya. Tapi tidak berarti kita tak sanggup berubah. Selama ini kita adalah pembeli
yang berlari. Dalam kecepatan tinggi kita bertransaksi, sabet sana sabet sini, tanpa tahu lagi apa
yang sesungguhnya kita cari. Berhentilah sejenak. Marilah kita berjalan.
BIOGRAFI PENULIS
Nama Lengkap : Dewi Lestari
Profesi : -
Tempat Lahir : Bandung, Jawa Barat
Tanggal Lahir : Selasa, 20 Januari 1976
Zodiac : Capricorn

Dewi Lestari Simangunsong akrab dengan nama Dewi Lestari, lahir di Bandung, 20 Januari 1976. Dee,
demikian biasa dipanggil, adalah seorang penulis dan penyanyi pop. Anak keempat dari lima
bersaudara dari pasangan Yohan Simangunsong dan Turlan br Siagian (alm) ini, sejak kecil telah
akrab dengan musik. Ayahnya adalah seorang anggota TNI yang belajar piano secara otodidak.
Lulusan jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan Bandung yang lebih akrab
dipanggil Dee ini, sempat menjadi istri dari penyanyi R&B, Marcellius Siahaan. Dari perkawinannya
dengan Marcell, penganut vegetarian ini dikaruniai seorang putra yang diberi nama Keenan Sidharta.
Pada bulan Juli 2008, Dee dan Marcell mengejutkan dunia entertaint tanah air dengan berita
perceraian mereka. Dee mengajukan gugatan cerainya di Pengadilan Agama Bandung. Pasangan ini
mengakui kalau sebenarnya keputusan berpisah ini sudah mereka pertimbangkan selama dua tahun
sebelum pengajuan gugatan. Akhirnya, September 2008 pasangan ini resmi bercerai.
Dee kembali membuat kejutan di bulan November 2008 ketika dalam blog pribadinya dia
mengindikasikan telah menikah lagi. Walau sempat membantah tapi akhirnya Dee mengakui telah
menikah dengan pria bernama Reza Gunawan ini di Sidney, Australia, pada 11 November 2008. Reza,
yang seorang ahli terapi holistic, telah bertahun-tahun berteman dengan Dee. Jumat, 23 OKtober
2009, Dee melahirkan anak keduanya dengan berat 2,95 kg dan panjang 50 cm. Bayi berjenis
kelamin perempuan ini diberi nama Atisha Prajna Tiara.
Awalnya, Dee dikenal sebagai anggota trio vokal Rida Sita Dewi. Sebelum bergabung dengan Rida
Sita Dewi (RSD), dia juga pernah menjadi backing vocal untuk Iwa K, Java Jive dan Chrisye. Sekitar
bulan Mei 1994, ia bersama Rida Farida dan Indah Sita Nursanti bergabung membentuk trio Rida Sita
Dewi (RSD) atas prakarsa Ajie Soetama dan Adi Adrian.
Bersama trio RSD, Dee meluncurkan album perdana ANTARA KITA, pada tahun 1995 yang kemudian
dilanjutkan dengan album BERTIGA (1997). RSD yang kemudian menanda tangani kontrak dengan
label Sony Music Indonesia, merilis album SATU (1999) dengan lagu andalan Kepadamu dan Tak
Perlu Memiliki. Jelang akhir tahun 2002, RSD kemudian mengemas lagu-lagu terbaiknya ke dalam
album THE BEST OF RIDA SITA DEWI dengan tambahan dua lagu baru,Ketika Kau Jauh ciptaan
Stephan Santoso/Inno Daon dan Terlambat Bertemu, karya pentolan Kahitna, Yovie Widianto.
Pada tahun 2006, Dee meluncurkan albumnya dalam bahasa Inggris, OUT OF SHELL. Kemudian tahun
2008 ia melucurkan album RECTOVERSO, di mana ia bersama sang adik, Arina Mocca berduet dalam
lagu Aku Ada dan berduet dengan Aqi Alexa dalam lagu Peluk. Hits single dari album yang juga
diterbitkan dalam bentuk buku ini adalah Malaikat Juga Tahu. Di Album ini juga Dee merilis ulang
lagu yang sempat dinyanyikan Marcell Siahan, berjudul Firasat.
Dee tak hanya dikenal sebagai penyanyi. Namanya juga termasuk dalam jajaran penulis papan atas
Indonesia. Karya pertamanya adalah novel trilogi SUPERNOVA yang kemudian melejitkan namanya
menjadi lebih dikenal sebagai penulis ketimbang penyanyi. Seri KSATRIA, PUTRI, DAN BINTANG
JATUH diterbitkan tahun 2001, menyusul kemudian seriAKAR, tahun 2002, yang sempat menuai
kontroversi karena gambar sampul pada cetakan pertama yang dianggap melecehkan umat Hindu.
Sedangkan seri ketiga, PETIR dirilis pada tahun 2005, di mana di dalamnya Dee menambahkan 4
tokoh baru.
Sebelum menerbitkan SUPERNOVA, sebenarnya Dee kerap menulis di beberapa media, dan
sepertinya menulis sudah menjadi bagian dari hidupnya. Tak berhenti di SUPERNOVA: PETIR, tahun
2006 Dee kembali menggebrak lewat buku kumpulan cerita, FILOSOFI KOPI, disusul kemudian
dengan kumpulan 11 cerita dalam RECTOVERSO yang juga dikemas dengan bentuk lagu. Setelahnya,
pada 2009 Dee menerbitkan PERAHU KERTAS, dan disusul dengan MADREpada tahun 2011.
Tahun 2012 menjadi tahun yang sibuk bagi Dee. 4 April 2012, Dee merilis seri SUPERNOVA terbaru
berjudul PARTIKEL.4 bulan kemudian, pada pertengahan Agustus 2012 film PERAHU KERTAS yang
diadaptasi dari novelnya mulai tayang di bioskop di seluruh Indonesia. Film arahan Hanung
Brahmantyo ini menaruh nama Maudy Ayunda dan Adipati Dolken sebagai peran utama. Dewi
Lestari pun ikut muncul sebagai peran pembantu.
Selain PERAHU KERTAS, karya Dewi lainnya yang akan diangkat ke layar lebar
adalah RECTOVERSO dan MADRE. RECTOVERSO merupakan film omnibus yang digarap oleh 5
sutradara berbeda yaitu Cathy Sharon, Olga Lidya, Marcella Zalianty, Rachel Maryam dan Happy
Salma. Lima sutradara tersebut masing-masing akan menggarap film dari cerpen dalam
buku RECTOVERSO yang berjudul Cicak di Dinding, Curhat Buat Sahabat, Malaikat Juga Tahu, Firasat
dan Hanya Isyarat.
http://selebriti.kapanlagi.com/indonesia/d/dewi_lestari/

Anda mungkin juga menyukai