Anda di halaman 1dari 2

Luqman Fahd Muktiwibowo

16/397041/EK/20997
Ringkasan Chapter 5: Ethics and the Environment

Aktivitas manusia yang merusak habitat alam telah menyebabkan kepunahan beberapa spesies
flora dan fauna. Sumber daya alam menipis dalam tingkat penipisan memuncak (peaked depletion
rate) bukan tingkat penipisan eksponensial (exponential depletion rate).

Etika ekologis adalah pandangan etis bahwa unsur nonmanusia dari lingkungan pantas
dipelihara demi mereka sendiri, terlepas dari apakah ini bermanfaat bagi umat manusia. Argumen
“Last Man” diajukan filsuf Richard Routley untuk menunjukkan bahwa alam bernilai secara
intrinsic dan tidak boleh dirusak tanpa alasan yang kuat. Routley meminta kita untuk
membayangkan seorang manusia yang merupakan penyintas terakhir di Bumi. Kita mengakui
bahwa merupakan sebuah kesalahan bagi manusia terakhir tersebut apabila ia menghancurkan
semua makhluk nonmanusia. Oleh karena itu, kita harus mengakui makhluk nonmanusia
mempunyai nilai intrinsik terpisah dari manusia.

William T. Blackstone berpendapat bahwa manusia mempunyai hak untuk memenuhi


kapasitasnya dengan bebas dan rasional dan lingkungan yang dapat ditinggali penting untuk
memenuhi hal tersebut. Oleh karena itu, manusia memiliki hak terhadap lingkungan yang dapat
ditinggali yang dilanggar oleh praktik-praktik yang merusak lingkungan. Hak-hak lingkungan
tersebut dapat mengarah kepada pelarangan mutlak polusi bahkan ketika biayanya jauh lebih besar
daripada manfaatnya.

Total biaya membuat produk mengandung biaya privat internal penjual dan biaya polusi
eksternal yang dibayar oleh masyarakat. Kurva penawaran yang berdasarkan semua biaya dalam
membuat produk terletak lebih tinggi daripada kurva yang berdasarkan hanya biaya privat internal
penjual dan kurva penawaran yang lebih tinggi bertemu dengan kurva permintaan pada kuantitas
yang lebih rendah dan harga yang lebih tinggi daripada kurva penawaran yang lebih rendah.
Dengan demikian, ketika biaya penjual mengandung hanya biaya privat, terlalu banyak barang
yang diproduksi dan harganya terlalu rendah dibandingkan dengan ketika semua biaya dimasukkan,
yang menurunkan utilitas, dan melanggar hak serta keadilan.
Beberapa pendekatan etis mengenai proteksi lingkungan adalah pendekatan ekologis
(nonmanusia mempunyai nilai intrinsik), pendekatan hak lingkungan (manusia berhak terhadap
lingkungan yang dapat ditinggali), dan pendekatan pasar (biaya eksternal melanggar utilitas, hak,
dan keadilan sehingga perlu diinternalisasi).

Level optimal pembersihan polusi dalam pendekatan utilitarian adalah biaya pembersihan
polutan naik ketika manfaat pembersihannya jatuh, level optimal pembersihan ada di titik manfaat
sama dengan biaya. Akan tetapi ketika biaya dan manfaat tidak dapat diukur, pendekatan utilitarian
gagal. Ketika manfaat dan biaya tidak dapat diukur beberapa orang menggunakan precautionary
principle, dan yang lainnya menggunakan maximin rule. Beberapa pendekatan lain terhadap polusi
adalah Social Ecology yang menghilangkan system sosial hierarki dan dominasi, ekofeminisme
Luqman Fahd Muktiwibowo
16/397041/EK/20997
yang mengubah peran pria dalam mendominasi alam dan wanita, serta feminis yang lain bahwa
kita harus memperluas etika kepedulian terhadap alam.

Pendapat yang menentang menghubungkan hak kepada generasi masa depan adalah
mereka tidak hidup sekarang dan mungkin tidak pernah ada, apabila mereka memiliki hak maka
generasi sekarang harus berkorban demi generasi masa depan, dan karena kita tidak tahu
kepentingan apa yang akan dimiliki oleh generasi masa depan, kita tidak dapat mengatakan hak
apa yang mereka miliki.

Konservasi berdasarkan keadilan menurut Rawls adalah tinggalkan dunia tidak lebih buruk
daripada saat kita menemukannya, menurut Care Ethic adalah tinggalkan kepada anak-anak kita
dunia yang tidak lebih buruk daripada saat kita menerimanya, dan menurut Attfield adalah
tinggalkan dunia seproduktif saat kita menemukannya. Keberlanjutan lingkungan berarti tidak
menghabiskan sumber daya terbarukan lebih cepat daripada pemulihannya, tidak membuat polusi
lebih banyak daripada yang dapat diserap lingkungan, tidak menghabiskan sumber daya tidak
terbarukan lebih cepat daripada kita mendapatkan penggantinya.

Analisis Kasus: The Ok Tedi Copper Mine

Tambang tembaga Ok Tedi (OTML) milik BHP membuang limbah ke Sungai Ok Tedi di
Papua Niugini (PNG). Limbah tersebut merusak ekologi hutan hujan tropis dan lahan basah serta
desa dan penduduknya. Warga dan pemerintah PNG bergantung secara ekonomi kepada tambang
tersebut. Akan tetapi, adanya bencana tanah longsor, sedimentasi, banjir, dan turunnya jumlah ikan
di sungai tidak membuat pemerintah menutup tambang tersebut. Akhirnya BHP menjual sahamnya
ke sebuah trust (Papua New Guinea Sustainable Development Program) yang dananya akan
digunakan untuk mendanai proyek pemerintah. Tambang tersebut tidak etis secara ekologis.
Dalam hal hak lingkungan Blackstone, tambang tersebut telah melakukan sebagian kewajibannya
untuk membuat sarana prasarana yang nyaman dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, tetapi
OTML belum membangun tempat pengolahan limbah untuk mengatasi pencemaran lingkungan.
Menurut prinsip utilitarian, penutupan tambang juga tidak etis karena hanya mempertimbangkan
lingkungan tanpa mempertimbangkan aspek sosial dan ekonomi bagi negara Papua Niugini. BHP
dan OTML harus bertanggung jawab dengan membayar ganti rugi dan melaksanakan
pembangunan fasilitas untuk mengendalikan pencemaran yang ada di tambang tersebut.

Referensi
Velasquez, M.G. (2002). Business Ethics: Concepts and Cases. Seventh edition. Prentice Hall.

Anda mungkin juga menyukai