PRODUKSI Secara teoritis keragaan ekonomi rumahtangga adalah mencerminkan respon perilaku rumahtangga terhadap berbagai perubahan eksternal maupun internal. Beberapa cara pengukuran respon tersebut adalah menggunakan nilai elastisitas output terhadap perubahan input (kebijakan pemerintah maupun non-kebijakan), seperti kebijakan harga BBM, teknologi dan kredit. Menurut Smith dan Strauss (1986), jika model ekonomi rumahtangga menunjukkan saling terkait secara simultan antara perilaku produksi, curahan kerja, penerimaan dan pendapatan, dan pengeluaran, dimana elastisitas tidak konstan dan keterkaitan antar peubah sangat nyata, maka evaluasi keragaan ekonomi rumahtangga lebih tepat menggunakan cara pengukuran besarnya perubahan endogen ekonomi rumahtangga dalam merespon perubahan berbagai kebijakan ataupun peubah non kebijakan. Model ekonomi rumahtangga nelayan ini dibangun dalam bentuk sistem persamaan, dimana hubungan antara peubah endogen dan eksogen maupun instrumen kebijakan terkait secara simultan. Oleh karena itu, keragaan ekonomi rumahtangga nelayan diukur secara langsung melalui perubahan produksi hasil tangkap ikan, curahan kerja, penerimaan dan pendapatan, pengeluaran dan tabungan, sebagai akibat dari perubahan kebijakan dan non-kebijakan atas dasar hasil simulasi. Evaluasi atas dasar besarnya perubahan peubah endogen sebagai akibat dari berbagai kebijakan maupun non-kebijakan adalah sangat penting, mengingat keragaan kesejahteraan ekonomi rumahtangga pada akhirnya ditentukan oleh besarnya perubahan produksi, curahan kerja, penerimaan dan pendapatan, pengeluaran dan besarnya tabungan. Untuk mengevaluasi perubahan kesejahteraan rumahtangga, beberapa pakar ekonomi berpendapat bahwa, disamping 263
evaluasi besarnya perubahan tingkat pendapatan sebagai respon
terhadap perubahan kebijakan dan non-kebijakan, juga perlu dilakukan evaluasi besarnya perubahan tingkat tabungan (Slesnick; 1998, Deaton, 1997 dan Browning and Lusardi, 1996). Adanya peningkatan atau penurunan hasil tangkap ikan, curahan kerja, penerimaan dan pendapatan, pengeluaran maupun tabungan dalam rumahtangga nelayan menunjukkan keragaan ekonomi rumahtangga yang semakin kuat atau semakin menurun. Arah kebijakan pembangunan perikanan mengacu kepada Garis- Garis Besar Haluan Negara tahun 1999, Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS), Rencana Strategis (RENSTRA) Departemen Kelautan dan Perikanan dan Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan Tahun 2007 (DKP, 2006), strategi pembangunan yang ditempuh adalah : (1).. Transparansi dan akuntabilitas tinggi . (2) Pembangunan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat yang diarahkan untuk dapat mengentaskan kemiskinan (pro-poor), menyerap tenaga kerja (pro-job) dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi (pro- growth). (3) Dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip keadilan dan pemerataan antar daerah, mengurangi ketertinggalan dan kesenjangan serta pengembangan pulau-pulau kecil terluar NKRI.. Dengan demikian arah kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan nasional tetap menekankan pada : (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan, dan (3) memelihara daya dukung pertumbuhan, kelestarian sumberdaya dan kesejahteraan nelayan (Dahuri, 2002). Oleh karena itu, indikator keragaan ekonomi rumahtangga nelayan tersebut adalah mengacu pada : (1) pertumbuhan ekonomi, (2) peningkatan dan pemerataan pendapatan, dan (3) keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Menurut Smith (1983) dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan sering terjadi kontradiksi antara tujuan pertumbuhan ekonomi dan 264
kelestarian sumberdaya. Modernisasi perikanan secara umum telah
memacu pertumbuhan ekonomi. Disamping kemajuan ekonomi yang dapat diraih, hasil estimasi pemanfaataan sumberdaya perikanan di beberapa wilayah menunjukkan gejala lebih tangkap (over fishing). Namun, mengingat sektor perikanan Jawa Timur memiliki wilayah perairan laut ZEE di wilayah Selatan, maka produksi dan produktifitas armada penangkapan ikan yang mengacu pada asumsi Total Allowable Catch (TAC) masih memungkinkan untuk ditingkatkan, khususnya di wilayah Samudera Indonesia. Penetapan angka peningkatan produksi 20% untuk nelayan kecil didasarkan pada hasil tangkap agregat seluruh wilayah untuk seluruh armada perikanan. Oleh karena itu, kenaikan produksi hasil tangkap per armada penangkapan ikan yang dimiliki rumahtangga nelayan di daerah penangkapan ikan tertentu dapat terjadi melebihi batas kenaikan 20%. Beberapa pertimbangan yang digunakan adalah : 1. Pencurian ikan (illegal fishing) di wilayah ZEE di Samudera Indonesia, Selatan Jawa Timur diinformasikan cukup tinggi dan menimbulkan kerugian finansial cukup besar (Dahuri, 2002) Kerugian negara per tahun ditaksir mencapai US$ 780 juta (Cholik, 1996). Oleh karena itu, kebijakan untuk memacu peningkatan produksi oleh nelayan tradisional melebihi kenaikan 20% dimaksudkan agar nelayan tradisional ikut serta dalam memanfaatkan potensi dan mengurangi pencurian ikan di wilayah ZEE. 2. Hak berdaulat atas sumberdaya perikanan di perairan ZEE, pasal 61 dan 62 Bab V UNCLOS, disertai dengan berbagai kewajiban dalam konservasi dan pemanfaatan sumberdaya hayati yang terdapat di ZEE oleh nelayan nasional. Jika nelayan nasional tidak memenuhi kewajiban memanfaatkannya, maka pemerintah berkewajiban untuk mengijinkan kapal asing beroperasi di wilayah ZEE (Cholik, 1996). 3. Estimasi produksi ikan maksimum berkelanjutan secara agregat (MSY) sebagaimana dijelaskan dalam Bab sebelumnya didasarkan pada asumsi jumlah armada penangkapan ikan dan jumlah trip melaut 265
(boat days) untuk daerah penangkapan ikan tertentu. Dalam upaya
memacu meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan nelayan tradisional, pendekatan ekonomi rumahtangga menggunakan anggapan bahwa jumlah armada penangkapan ikan yang diijinkan tetap, namun nelayan tradisional dapat memanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan melalui perubahan ukuran kapal, frekuensi melaut dan perluasan daerah penangkapan ikan di wilayah ZEE. Dengan dasar pertimbangan tersebut, maka dalam tulisan ini akan dianalisis simulasi berbagai peubah kebijakan pemerintah maupun non-kebijakan untuk mengevaluasi keragaan ekonomi rumahtangga nelayan dengan kriteria peningkatan produksi ikan, curahan kerja, penerimaan dan pendapatan, pengeluaran dan tabungan rumahtangga Juragan dan Pendega dengan tetap memperhatikan kriteria pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan. Untuk melihat dampak perubahan, disamping dilakukan simulasi secara tunggal, juga dilakukan secara kombinasi, yaitu simulasi dengan mengkombinasikan berbagai peubah secara serentak dengan rincian simulasi SIM 1 – SIM 49 sebagaimana ditunjukkan pada daftar simulasi di Lampiran 6. Dampak perubahan kebijakan dan non-kebijakan dinyatakan dalam prosentase perubahan keragaan ekonomi rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega mencakup perubahan : (1) produksi ikan (QNM), (2) curahan kerja melaut rumahtangga Juragan (CDJM), (3) curahan kerja melaut rumahtangga Pendega (CDPM), (4) pendapatan Juragan (YJSPK), (5) pendapatan Pendega (YPSPK), (6) pengeluaran konsumsi pokok rumahtangga Juragan (KKPJ), (7) pengeluaran konsumsi kebutuhan non-pokok (barang mewah) rumahtangga Juragan (KKNPJ), (8) pengeluaran untuk investasi armada penangkapan ikan (INVJ), (9) besarnya tabungan rumahtangga Juragan (TABJ), (10) pengeluaran untuk konsumsi pokok rumahtangga Pendega (KKPP), (11) pengeluaran untuk 266
(KKNPP), dan (12) besarnya tabungan rumahtangga Pendega (TABP). . Dampak berbagai perubahan harga BBM, kredit, mutu SDM, ukuran aset kapal dan tingkat pemanfaatan sumberdaya terhadap keragaan ekonomi rumahtangga nelayan Jawa Timur disajikan pada Tabel 6.1- Lampiran 5. dan Gambar 6.1.
6.1 Harga BBM Naik 15%
Jika harga BBM dinaikkan 15% (SIM 1), maka akan berdampak pada perubahan keragaan ekonomi rumahtangga nelayan sebagai berikut : 1. Curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan menurun. Penurunan tersebut terjadi disebabkan karena penurunan jumlah hasil tangkapan sebesar 8.68%, kenaikan biaya BBM (PBBM) 13.88% yang diikuti oleh peningkatan biaya operasi penangkapan ikan (BOM) untuk melaut 3.99%. 2. Jangkauan daerah penangkapan turun secara drastis. Banyak kapal kecil tidak melakukan operasi melaut. Armada penangkapan ikan yang diopersikan di wilayah 60 mil terpaksa melakukan penangkapan di wilayah perairan pantai. 3. Akibatnya banyak kapal perikanan yang terpaksa beroperasi di pinggir pantai, sehingga tekanan penangkapan di wilayah perairan pantai akan semakain meningkat. Jika tidak diikuti dengan kebijakan lain, maka akan berdampak sangat serius, diantaranya adalah : (1) konflik antar nelayan kecil, karena bersaing berebut daerah penangkapan di pantai, dan (2) sumberdaya ikan di pantai semakin terkuras. 4. Terjadi kenaikan biaya perawatan untuk investasi sebesar 2.70% diduga karena pengaruh adanya beban biaya yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM, seperti terjadi kenaikan harga umum yang berdampak terhadap biaya pemeliharaan investasi armada penangkapan ikan, sementara tingkat pendapatan Juragan semakin menurun. 267
Selama tigapuluh tahun terakhir, dampak pemberian kredit untuk
nelayan menunjukkan pengaruh berupa perkembangan yang menggembirakan dalam peningkatan produksi ikan, maupun pelunasan kredit, dan perluasan lapangan kerja, disamping terjadi beberapa kegagalan dalam bentuk tunggakan kredit. Dalam mengevaluasi adanya jumlah tunggakan kredit nelayan yang cukup besar, kebijakan kredit untuk perikanan belum kondusif. Oleh karena itu, dalam simulasi peubah kredit (KRKJ) disusun sebagai peubah dummy, yaitu antara diberi kredit (KRKJ = 1) dan tidak diberi kredit (KRKJ = 0).
6.2 Pemberian Kredit Perikanan
Pemberian kredit (SIM 2) untuk nelayan berdampak pada perubahan keragaan ekonomi rumahtangga nelayan sebagai berikut : 1. Hasil tangkapan ikan, curahan kerja, pendapatan nelayan, pengeluaran konsumsi dan tabungan rumhtangga nelayan meningkat. Hal tersebut terjadi sebagai akibat peningkatan ukuran aset kapal yang digunakan dengan kenaikan ukuran 18.50% dan perluasan daerah penangkapan ikan dengan kenaikan 10.00%. 2. Sumber pendapatan nelayan Pendega dari melaut lainnya (PPML) menurun sampai 0.18%, tapi curahan kerja dalam rumahtangga Pendega melaut (CDPM) naik sampai 0.43%. Ini berarti pemberian kredit akan meningkatkan aktifitas produktif rumahtangga nelayan melaut.
6.3 Peningkatan Ukuran Kapal Kecil Sampai 30 GT
Batasan ukuran kapal kecil sebagaimana ditetapkan oleh pemerintah adalah sampai dengan ukuran 30 GT. Pada saat ini ukuran rata-rata kapal ikan di Jawa Timur adalah sekitar 13.15 GT. Peningkatan ijin kapal untuk mencapai ukuran kapal ikan rata-rata 30 GT (SIM 3) berdampak sebagai berikut : 268
1. Perubahan produksi dan curahan kerja rumahtangga nelayan Juragan
dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 58.07% dan frekuensi melaut naik 4.71%. 2. Perubahan pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga Juragan menurun, sedangkan dalam rumahtangga Pendega naik. Hal ini dimungkinkan, karena dengan adanya perubahan peningkatan ukuran kapal sampai 30 GT, maka kesempatan nelayan Pendega untuk memperoleh tambahan penerimaan dari sumber lainnya melaut (PPLM), seperti kegiatan memancing akan naik, yaitu mencapai 18.97%. 3. Agar peningkatan ukuran aset kapal dapat diikuti oleh peningkatan pendapatan, baik dalam rumahtangga Juragan maupun Pendega, kiranya diperlukan kombinasi kebijakan, misalnya kemungkinan ditempuh perbaikan teknologi alat tangkap ikan yang digunakan dan peningkatan pendidikan serta keterampilan nelayan skala kecil untuk menjangkau kawasan ZEE Selatan Jawa Timur..
5.4 Peningkatan Pendidikan Nelayan
Pada saat ini ukuran rata-rata lama pendidikan dan pengalaman Pendega adalah sekitar 18 tahun. Dengan dasar rata-rata pendidikan nelayan Pendega selama 6 tahun, maka pengalaman kerja para Pendega dalam penelitian ini rata-rata sekitar 12 tahun, yang berarti para Pendega telah bekerja sebagai nelayan sejak tahun 1990. Dalam penelitian ini, peningkatan mutu nelayan Pendega diproksi melalui simulasi peningkatan lama pendidikan sampai lulus setara SMA (PDPP naik 1.33 kali) ditambah pendidikan keterampilan melaut lainnya. Perubahan peningkatan mutu SDM Pendega (SIM 4) berdampak sebagai berikut : 1. Perubahan produksi, curahan kerja, pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 52.03% dan frekuensi melaut naik 4.22%. 269
2. Perubahan pendapatan rumahtangga Juragan lebih rendah daripada
perubahan pendapatan rumahtangga Pendega, yaitu masing-masing berturut-turut 4.72% dan 13.43%. 3. Hanya saja perubahan pengeluaran untuk konsumsi pokok dan non- pokok rumahtangga Juragan, yaitu 2.33% dan 1.88% adalah lebih rendah daripada pengeluaran konsumsi pokok dan non-pokok para rumahatngga Pendega, yaitu 16.83% dan 22.46%. Sehingga perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Juragan adalah lebih besar, yaitu 7.57% dibandingkan dengan perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Pendega, yaitu hanya 3.21%. 4. Dengan demikian peningkatan mutu SDM Pendega masih mengarah pada peningkatan pemenuhan konsumsi kebutuhan pokok rumahtangga Pendega, disamping belum bisa menahan perilaku konsumsi non-pokok “barang mewah” pada rumahtangga nelayan Pendega. 5. Agar peningkatan tabungan dalam rumahtangga Pendega terjadi perubahan peningkatan yang lebih besar diperlukan peningkatan budaya menabung dalam rumahtangga Pendega. Pada saat ini ukuran rata-rata lama pendidikan dan pengalaman Juragan adalah sekitar 25 tahun. Dengan dasar rata-rata pendidikan nelayan Juragan selama 6 tahun, maka pengalaman kerja para Juragan dalam penelitian ini rata-rata sekitar 19 tahun, yang berarti para Juragan telah bekerja sebagai nelayan sejak tahun 1982. Dalam penelitian ini, peningkatan mutu nelayan Juragan diproksi melalui simulasi peningkatan lama pendidikan sampai lulus setara SMA (PDPJ naik 1.25 kali) ditambah pendidikan ketrampilan melaut lainnya. Dengan adanya perubahan peningkatan mutu SDM Juragan (SIM 5) akan berdampak sebagai berikut : 1. Perubahan produksi , curahan kerja, pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 66.11% dan frekuensi melaut naik 5.36%. 270
2. Perubahan pendapatan rumahtangga Juragan lebih tinggi daripada
perubahan pendapatan rumahtangga Pendega, yaitu masing-masing berturut-turut 18.77% dan 8.58%. 3. Perubahan pengeluaran untuk konsumsi pokok dan non-pokok rumahtangga Juragan, yaitu 15.34% dan -38.20%, sedangkan pengeluaran konsumsi pokok dan non-pokok para rumahatangga Pendega, yaitu 4.63% dan 8.18%. Ini berarti bahwa perilaku Juragan adalah lebih hemat daripada perilaku Pendega dalam hal pengeluaran konsumsi non-pokok “barang mewah”. 4. Sehingga perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Juragan adalah lebih besar, yaitu 30.36% dibandingkan dengan perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Pendega, yaitu hanya 19.06%. 5. Dengan demikian peningkatan mutu SDM mengarah pada perilaku hemat pada rumahtangga Juragan, sedangkan perilaku rumahatngga Pendega belum bisa menahan perilaku konsumsi non-pokok “barang mewah”. Dengan dasar simulasi perubahan mutu SDM tersebut diperoleh gambaran sebagai berikut : 1. Nelayan Juragan lebih rasional, produktif dan hemat, sehingga peningkatan pendapatan diikuti oleh peningkatan tabungan dengan perubahan yang lebih besar dari pada peningkatan tabungan pada rumahtangga Pendega. 2. Kecenderungan tersebut mengandung implikasi bahwa adanya kesenjangan kesejahteraan yang semakin tinggi antara Juragan dan Pendega, disamping faktor pendapatan, juga dipengaruhi oleh perilaku Pendega itu sendiri yang lebih boros daripada Juragan. 3. Kesenjangan kesejahteraan tersebut akan semakin tajam, jika para rumahtangga Juragan semakin memiliki strategi jangka panjang, yaitu meningkatkan pendidikan anggota rumahtangga Juragan tersebut. 271
6.5 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pantai Pada
Tingkat MSY (TAC)
Pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat MSY terkait
erat dengan jangkauan daerah penangkapan ikan. Pada saat ini, jangkauan daerah penangkapan ikan secara rata-rata sekitar 40 Km. Menurut ketentuan Undang-Undang Otonomi Daerah berarti wilayah penangkapan ikan nelayan Jawa Timur berada dalam yurisdiksi pemanfaatan wilayah perikanan nasional di luar wilayah 12 mil (22 Km). Simulasi pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan mengacu pada batas produksi 80% dari MSY (TAC). Dengan batasan wilayah dan produksi tersebut, maka dengan menerapkan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan (SIM 6) berdampak sebagai berikut : 1. Perubahan produksi , curahan kerja, pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 4.40%, produktifitas naik 0.80% dan frekuensi melaut naik 0.36%. 2. Perubahan pendapatan rumahtangga Juragan lebih rendah daripada perubahan pendapatan rumahtangga Pendega, yaitu masing-masing berturut-turut 11.56% dan 17.95%. 3. Perubahan pengeluaran untuk konsumsi pokok dan non-pokok rumahtangga Juragan, yaitu 5.71% dan 4.56%, sedangkan pengeluaran konsumsi pokok dan non-pokok para rumahtangga Pendega, yaitu 9.69% dan 17.08%. Ini berarti bahwa perilaku Juragan adalah lebih hemat daripada perilaku Pendega dalam hal pengeluaran konsumsi non-pokok “barang mewah”. 4. Perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Juragan adalah lebih kecil, yaitu 18.56% dibandingkan dengan perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Pendega, yaitu hanya 39.90%. 5. Dengan demikian peningkatan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan mengarah pada pendapatan dan tabungan rumahtangga Pendega lebih besar daripada pendapatan dan tabungan pada rumahtangga Juragan. Peningkatan tabungan rumahtangga 272
Pendega lebih besar, karena dengan sumberdaya perikanan yang
dikelola secara berkelanjutan akan meningkatkan sumber pendapatan melaut lainnya (PPML) pada rumahtangga Pendega, yaitu terjadi kenaikan penerimaan sampai 157.74%. Dengan dasar simulasi pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan tersebut diperoleh gambaran sebagai berikut : 1. Nelayan Pendega akan memperoleh peluang lebih besar dalam kegiatan produktif melaut untuk meningkatkan sumber pendapatan melaut lainnya, sehingga diikuti oleh peningkatan pendapatan dan tabungan dengan perubahan yang lebih besar pada rumahtangga Pendega. 2. Kecenderungan tersebut mengandung implikasi kesenjangan kesejahteraan antara Juragan dan Pendega dapat dikurangi dengan pendekatan mencegah pemborosan sumberdaya perikanan melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan.
Terpadu dengan Pemberian Kredit (Jaringan Sosial), Pemberdayaan (SDM) dan Peningkatan Ukuran Kapal
Kebijakan kenaikan harga BBM pada kenyataannya berdampak
terhadap keragaan ekonomi rumahtangga nelayan tidak saja secara tunggal, tapi bersama peubah lain berdampak secara serentak. Untuk mengevaluasi dampak perubahan yang ditimbulkan, selanjutnya dibuat simulasi kenaikan harga BBM 15% yang dikombinasikan dengan perubahan pemberian kredit dan peningkatan ukuran kapal ikan (SIM.7). Hasil simulasi menunjukkan dampak sebagai berikut : 1. Curahan kerja, pendapatan, pengeluaran konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan menurun. Penurunan tersebut terjadi disebabkan karena penurunan jumlah hasil tangkapan sebesar 4.70%, kenaikan biaya BBM (PBBM) 14.53% yang diikuti oleh peningkatan biaya operasi penangkapan 14.47%. 273
2. Hal tersebut terjadi karena penurunan jangkauan daerah
penangkapan , yaitu mencapai 44.95%, berada pada wilayah daerah penangkapan 22 mil . Sementara itu, kombinasi kenaikan harga BBM 15% yang dikombinasi dengan pemberian kredit dan peningkatan ukuran kapal 30 GT belum mampu mengangkat pengaruh negatif dari kenaikan harga BBM. 3. Akibatnya tekanan penangkapan di wilayah over-exploited akan semakin kuat. Jika tidak diikuti dengan kebijakan lain akan berdampak sangat serius, diantaranya adalah : (1) konflik antar nelayan kecil dan antara kapal kecil dengan kapal yang lebih besar bersaing berebut daerah penangkapan di pinggir pantai, dan (2) sumberdaya ikan di pantai akan semakin terkuras. 4. Kebijakan serentak berdampak pada kenaikan biaya perawatan investasi sebesar 2.67% diduga merupakan dampak tidak langsung dari adanya beban biaya yang ditimbulkan oleh kenaikan BBM, seperti terjadi kenaikan harga-harga umum, nelayan tidak menghiraukan pemeliharaan mesin, kapal dan alat tangkap dan berdampak pada biaya pemeliharaan investasi selanjutnya, karena pendapatannya menurun. Jika kondisi ini berlarut-larut, maka akan berdampak serius bagi nelayan tidak mampu, yaitu akan meninggalkan usaha melaut karena mesin, kapal atau alat yang dimilikinya rusak tanpa ada perbaikan, nelayan semakin miskin. Untuk negara sedang membangun, nampaknya kebijakan kenaikan harga BBM sulit dihindari. Dalam menghadapi kesulitan tersebut, maka setiap sektor pembangunan ekonomi perlu mengembangkan kebijakan yang dapat mengatasi kesulitan tersebut untuk memacu kegiatan ekonomi tetap tumbuh. Untuk mengevaluasi dampak perubahan yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM tersebut, selanjutnya dibuat simulasi kenaikan harga BBM 15% yang dikombinasikan, disamping perubahan pemberian kredit, peningkatan ukuran kapal ikan, juga dikombinasi dengan 274
peningkatan mutu SDM (SIM 8). Hasil simulasi menunjukkan perubahan
sebagai berikut : 1. Perubahan produksi , curahan kerja, pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 64.26% dan frekuensi melaut naik 5.21%. 2. Perubahan pendapatan rumahtangga Juragan lebih rendah daripada perubahan pendapatan rumahtangga Pendega, yaitu masing-masing berturut-turut naik 12.23% dan 17.44%. 3. Hanya saja perubahan pengeluaran untuk konsumsi pokok dan non- pokok rumahtangga Juragan, yaitu 12.10% dan -40.76%, sedangkan pengeluaran konsumsi pokok dan non-pokok para rumahtangga Pendega, yaitu 19.00% dan 26.26%. Sehingga perubahan besarnya kenaikan tabungan pada rumahtangga Juragan adalah lebih besar, yaitu 19.86% dibandingkan dengan perubahan besarnya kenaikan tabungan pada rumahtangga Pendega 12.08%. 4. Dengan demikian kombinasi perubahan harga BBM naik 15% dan peningkatan mutu SDM nelayan, khususnya pada rumahtangga Pendega, sekalipun telah diikuti oleh peningkatan pendapatan, namun masih menunjukkan peningkatan pemenuhan konsumsi kebutuhan pokok, disamping belum bisa menahan perilaku konsumsi non-pokok “barang mewah”. 5. Perilaku Pendega tersebut masih memperkuat berlangsungnya kesenjangan kesejahteraan antara rumahtangga Juragan dan Pendega. Untuk negara sedang membangun, kebijakan kenaikan harga BBM bukan saja sulit dihindari, bahkan menjadi kebutuhan untuk menambah pendapatan negara dan membiayai pembangunan itu sendiri. Persoalannya adalah, dalam menghadapi kesulitan tersebut, maka kebijakan apa yang dapat memanfaatkan potensi ekonomi BBM, sekaligus dapat digunakan untuk memacu kegiatan ekonomi tetap tumbuh dan kesenjangan diantara pelaku ekonomi dapat semakin diperbaiki. 275
Untuk mengevaluasi dampak perubahan yang ditimbulkan oleh
kenaikan harga BBM yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesenjangan ekonomi, selanjutnya dibuat simulasi kenaikan harga BBM 15% yang dikombinasikan, disamping perubahan pemberian kredit, peningkatan ukuran kapal ikan dan peningkatan mutu SDM, juga dikombinasikan dengan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan (SIM 9). Hasil simulasi menunjukkan perubahan sebagai berikut : 1. Perubahan produksi , curahan kerja, pendapatan, konsumsi dan tabungan rumahtangga nelayan Juragan dan Pendega sama-sama meningkat, karena jangkauan wilayah daerah penangkapan ikan naik 64.26%, produktifitas naik 0.80%, frekuensi melaut naik 5.21% dan perluasan lapangan kerja meningkat 29.29%. 2. Perubahan pendapatan rumahtangga Juragan lebih rendah daripada perubahan pendapatan rumahtangga Pendega, yaitu masing-masing berturut-turut 23.65% dan 35.25%. 3. Perubahan pengeluaran untuk konsumsi pokok dan non-pokok rumahtangga Juragan, yaitu 17.75% dan -36.27%, sedangkan pengeluaran konsumsi pokok dan non-pokok para rumahtangga Pendega, yaitu 28.61% dan 43.19%. Ini berarti bahwa perilaku Juragan adalah lebih hemat daripada perilaku Pendega dalam hal pengeluaran konsumsi non-pokok “barang mewah”. 4. Sekalipun rumahtangga Pendega menunjukkan perilaku lebih “boros” dalam pengeluaran konsumsi non-pokok “barang mewah” daripada perilaku rumahtangga Juragan, namun perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Juragan adalah lebih kecil, yaitu 38.19% dibandingkan dengan perubahan besarnya tabungan pada rumahtangga Pendega, yaitu hanya 51.68%. 5. Dengan demikian peningkatan harga BBM 15% yang dikombinasi dengan perbaikan aset kapal, permodalan, SDM dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan mengarah pada perubahan pendapatan dan tabungan rumahtangga Pendega lebih 276
besar daripada perubahan pendapatan dan tabungan pada
rumahtangga Juragan. 6. Peningkatan tabungan rumahtangga Pendega lebih besar, karena dengan sumberdaya perikanan yang dikelola secara berkelanjutan akan meningkatkan sumber pendapatan melaut lainnya (PPML) pada rumahtangga Pendega, yaitu terjadi kenaikan penerimaan sampai 294.96%. Dengan dasar simulasi peningkatan harga BBM yang dikombinasikan dengan perbaikan mutu SDM, aset kapal ikan, dan dikombinasikan dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan tersebut diperoleh gambaran sebagai berikut : 1. Rumahtangga nelayan Juragan akan tetap dapat meningkatkan pendapatan dan tabungannya, terutama karena perilaku produktif dan hemat yang ditunjukkan oleh perilaku konsumsi kebutuhan non- pokok “barang mewah” yang menurun sampai 36.27%. 2. Sementara itu, rumahtangga nelayan Pendega akan memperoleh peluang lebih besar dalam kegiatan produktif melaut untuk meningkatkan sumber pendapatan melaut lainnya, sehingga diikuti oleh peningkatan pendapatan dan tabungan dengan perubahan yang lebih besar pada rumahtangga Pendega. Hanya saja, rumahtangga Pendega masih menunjukkan perilaku boros, yaitu mengkonsumsi kebutuhan non-pokok dengan kenaikan mencapai 43.19%. 3. Kecenderungan tersebut mengandung implikasi bahwa kesenjangan pendapatan antara rumahtangga Juragan dan Pendega dapat dikurangi dengan dua pendekatan dan strategi, yaitu : mencegah pemborosan sumberdaya perikanan melalui pemanfaatan perikanan secara berkelanjutan dan mendidik rumahtangga Pendega berperilaku hemat. Atas dasar uraian tersebut, implikasi pemberdayaan yang diprogramkan pemerintah saat ini akan berdampak positif dalam meningkatkan dan meratakan kesejahteraan nelayan, yaitu apabila 277
memuat rangkaian kegiatan pembinaan ekonomi rumahtangga nelayan
dengan cara serentak dan simultan melalui perbaikan : 1. Skala usaha armada perikanan yang lebih besar. 2. Peningkatan permodalan nelayan. 3. Peningkatan mutu SDM, dan 4. Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. 5. Simulasi kombinasi kebijakan memiliki keunggulan dalam pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan, yang ditunjukkan oleh kenaikan hasil tangkap (produksi) hanya 5.53%, yang berarti jauh di bawah batas kenaikan 20% untuk pemanfaatan sumberdaya perikanan pada tingkat TAC (Total Allowable Catch). 6. Jika tindakan perbaikan melalui pemberdayaan nelayan secara serentak tersebut tidak dilakukan, maka upaya peningkatan kesejahteraan nelayan terancam oleh perubahan lainnya, seperti kebijakan kenaikan harga BBM masih menunjukkan kecenderungan dampak terhadap kesejahteraan nelayan yang semakin menurun (semakin miskin). Disamping hal tersebut di atas, kebijakan harga BBM, kredit dan ukuran aset kapal dan armada perikanan nelayan tradisional yang disertai dengan peningkatan mutu SDM juga berpengaruh terhadap penerimaan retribusi pemerintah daerah sebagai kontribusi rumahtangga nelayan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan perubahan sebagi berikut : 1. Terjadi penurunan sampai 9.22% akibat dari kenaikan harga BBM 15%. 2. Terjadi kenaikan antara 2.95% sampai 29.35% untuk kombinasi kebijakan perubahan harga BBM, pemberian kredit, peningkatan mutu SDM dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pantai berkelanjutan. Dengan demikian, untuk mengatasi dampak buruk dari kebijakan kenaikan BBM adalah dengan kebijakan kombinasi pemberdayaan nelayan, peningkatan mutu kapal dan pengelolaan sumberdaya perikanan pada tingkat MSY (TAC)