Anda di halaman 1dari 16

BORANG TUGAS MINGGU KE-12

SEJARAH PEMIKIRAN MODERN


TEORI PERJUANGAN/KONFLIK KELAS

Nama : Defri Yanus Waruwu


NIM : 19017045

1. 1. Jelaskan beberapa penyebab munculnya kesadaran kelas menurut Marx!


Kaum borjuis melakukan eksploitasi terhadap kaum proletar dalam proses produksi. Eksploitasi
ini akan terus berjalan selama terdapat kesadaran dalam diri proletar, yaitu rasa menyerah diri,
menerima apa adanya dan lain sebagainya. Menurut Marx, konflik disebabkan oleh faktor
Ekonomi.

Marx mengajukan konsep dasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Kelas dalam hal
ini, menunjukkan masyarakat pada abad ke-19 di Eropa yang dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, kelas pemilik modal atau borjuis. Kedua, kelas pekerja miskin atau proletar. Kedua
kelas tersebut berada dalam struktur sosial hierarkis, di mana kaum borjuis melakukan
eksploitasi terhadap kaum proletar dalam hal produksi. Eksploitasi ini akan terus terjadi selama
kesadaran semu (false consiousness) diakui dalam diri proletar. Pengakuan tersebut ditandai
dengan adanya rasa menyerah diri, dan menerima keadaan tanpa adanya sebuah penolakan apa
pun. Kemudian, ketegangan hubungan antara kaum proletar dan kaum borjuis mendorong
terbentuknya gerakan sosial besar, yaitu gerakan revolusi. Ketegangan tersebut terjadi jika kaum
proletar telah sadar akan eksploitasi kaum borjuis terhadap mereka. Dikutip dari Pakistan
Journal of Criminology oleh Bystrova dan Gottschalk (2015), teori konflik merujuk pada suatu
keadaan saat sistem peradilan bersifat bias dan dirancang hanya untuk melindungi orang kaya
dan berkuasa. Orang kaya dan berkuasa dipandang mampu mengambil banyak hal termasuk,
simpanan kekayaan dari perusahaan mereka yang dilakukan atas kebijakan mereka sendiri. Hal
itu dapat terjadi karena tidak adanya aturan yang membatasi orang kaya dan berkuasa.

Marx memandang teori konflik sebagai bentuk pertentangan kelas. Dari sudut pandang itu,
Marx memperkenalkan konsep struktur kelas di masyarakat. Teori Marx melihat masyarakat
sebagai arena ketimpangan (inequality) yang dapat memicu konflik dan perubahan sosial. Marx
menilai konflik di masyarakat berkaitan dengan adanya kelompok yang berkuasa dan dikuasai.
Di teori Marx, konflik kelas dipicu oleh pertentangan kepentingan ekonomi. Selain itu,
setidaknya ada 4 konsep dasar dalam teori ini: Struktur kelas di masyarakat; Kepentingan
ekonomi yang saling bertentangan di antara kelas yang berbeda; Adanya pengaruh besar dilihat
dari kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang; Adanya pengaruh dari konflik kelas terhadap
perubahan struktur sosial. Mengutip penjelasan Novri Susan dalam buku Sosiologi Konflik:
Teori-teori dan Analisis (2009, hlm 22), pertentangan kelas menurut Marx dipicu oleh
perbedaan akses terhadap sumber kekuasaan, yakni modal. Dalam masyarakat kapitalis, hal itu
menciptakan dua kelas yang saling bertentangan, yakni borjuis dan proletariat.

2. 2.Apa itu kelas Borjuis dan Proletar dalam teori konflik Kelas? Lalu apa hubungan antara
keduanya? Jelaskan.
Kelas borjuis adalah mereka yang memiliki alat produksi dan menjadi pemilik modal, sementara
kaum proletar tidak memiliki modal. Perbedaan ini yang menjadi dasar sistem kapitalisme.
Dengan perbedaan tersebut, kaum proletar juga sering disebut sebagai buruh. Sementara, kaum
borjuis juga sering disebut sebagai majikan.

3. Karl Marx mengatakan ada 5 tahap sebelum menuju komunisme. Jelaskan 5 tahapan/fase menuju
Komunisme tersebut beserta contoh/gambar.
A. Masyarakat primitif komunal
Disebut masyarakat komunal primitif karena sistem ekonominya
bersifat komunal dan alat kerjanya masih primitif.

B. Masyarakat perbudakan (slavery)


Perbudakan adalah segala hal mengenai pengendalian terhadap seseorang oleh orang lain
dengan cara paksaan. Para budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh seorang tuan,
bekerja tanpa gaji dan tidak mempunyai hak asasi manusia.
C. Masyarakat feodal
Feodalisme adalah tatanan masyarakat di abad pertengahan di seluruh Eropa dan dicirikan
oleh bangsawan yang memegang hak atas tanah dan memberikan layanan militer kepada raja.
Sistem ini membuat para petani dan mereka yang tidak memiliki tanah bekerja sebagai
penyewa untuk para bangsawan yang melindungi mereka.

D. Masyarakat kapital
Kapitalisme adalah ideologi yang meyakini bahwa modal milik perorangan ataupun
sekelompok orang dalam masyarakat bisa mewujudkan kesejahteraan manusia. Dalam
penerapannya dalam sistem ekonomi, setiap warga negara dimungkinkan untuk menguasai
modal dan bisnis dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
E. Masyarakat sosialis
Sosialisme adalah serangkaian sistem ekonomi dan sosial yang ditandai dengan kepemilikan
sosial atas alat-alat produksi dan manajemen mandiri pekerja, serta teori-teori dan gerakan
politik yang terkait dengannya.

4. Teori perjuangan kelas banyak melahirkan perubahan besar di beberapa negara seperti China,
Rusia, Vietnam, bahkan Indonesia. Jelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi beserta contoh
pada negara-negara yang disebutkan di atas.

Perjuangan kelas merupakan perwujudan aktif pertentangan kelas yang dilihat dari berbagai
macam sudut pandang kaum sosialis. "Sejarah (tertulis)[1] dari semua masyarakat yang ada
sampai sekarang merupakan sejarah perjuangan kelas," demikian yang dinyatakan oleh Karl
Marx dan Friedrich Engels.
Pemikiran Marx mengenai kelas tidak ada hubungannya dengan kelas sosial dalam sosiologi:
kelas atas, menengah, dan bawah. Malahan, dalam kapitalisme, Marx mengutarakan adanya
kelas ekonomi.
Keanggotaan seseorang di dalam kelas disebabkan oleh hubungannya dengan alat-alat produksi,
yaitu posisi seseorang di dalam struktur sosial yang berciri kapitalis. Marx terutama berbicara
mengenai dua kelas yang mencakup sebagian besar populasi, kaum proletar dan borjuis. Kelas-
kelas lain, seperti borjuis kecil, memiliki ciri yang hampir sama dengan salah satu di antara dua
kelas mayoritas tersebut.

5. Perwujudan politik dari teori perjuangan kelas (atau juga disebut Marxisme) dilarang oleh Orde
Baru hingga saat ini. Jelaskan secara singkat sejarah PKI dari awal mula kemunculan hingga
kemundurannya pada akhir 1960-an di Indonesia.

Pelopor

Henk Sneevliet dan kaum sosialis Hindia Belanda lainnya membentuk serikat tenaga kerja di
pelabuhan pada tahun 1914, dengan nama Indies Social Democratic Association (dalam
bahasa Belanda: Indische Sociaal Democratische Vereeniging-, ISDV). ISDV pada dasarnya
dibentuk oleh 85 anggota dari dua partai sosialis Belanda, yaitu SDAP dan Partai Sosialis
Belanda yang kemudian menjadi SDP komunis, yang berada dalam kepemimpinan Hindia
Belanda.[4] Para anggota Belanda dari ISDV memperkenalkan ide-ide Marxis untuk
mengedukasi orang-orang Indonesia mencari cara untuk menentang kekuasaan kolonial.

Pada Oktober 1915, ISDV mulai aktif dalam penerbitan surat kabar berbahasa Belanda, "Het
Vrije Woord" (Kata yang Merdeka). Editornya adalah Adolf Baars. Pada saat pembentukannya,
ISDV tidak menuntut kemerdekaan untuk Indonesia. Pada saat itu, ISDV mempunyai sekitar 100
orang anggota, dan dari semuanya itu hanya tiga orang yang merupakan warga pribumi
Indonesia. Namun, partai ini dengan cepat berkembang menjadi radikal dan anti kapitalis.
Perubahan terjadi kembali,ketika Sneevliet memindahkan markas mereka dari Surabaya ke
Semarang dan menarik banyak penduduk asli dari berbagai elemen seperti agamawan, nasionalis
dan aktivis gerakan lainnya yang akhir-akhir ini sedang tumbuh di Hindia Belanda sejak tahun
1900. Di bawah pimpinan Sneevliet, partai ini merasa tidak puas dengan kepemimpinan SDAP
di Belanda, dan yang menjauhkan diri dari ISDV dan menolak untuk bekerja sama dengan
pemerintah karena menolak "berpura-pura" menjadi Dewan Masyarakat (Volksraad Volksraad
(Hindia Belanda). Pada tahun 1917 kelompok reformis dari ISDV memisahkan diri, dan
membentuk partai sendiri dengan nama Partai Demokrat Sosial Hindia. Pada tahun 1917 ISDV
meluncurkan sendiri publikasi pertama berbahasa Indonesia, Soeara Merdeka.
Di bawah kepemimpinan Sneevliet, ISDV yakin bahwa Revolusi Oktober seperti yang terjadi di
Rusia harus diikuti Indonesia. Kelompok ini berhasil mendapatkan pengikut di antara tentara-
tentara dan pelaut Belanda yang ditempatkan di Hindia Belanda. Dibentuklah 'Pengawal Merah'
dan dalam waktu tiga bulan jumlah mereka telah mencapai 3.000 orang. Pada akhir 1917, para
tentara dan pelaut itu memberontak di Surabaya di sebuah pangkalan angkatan laut utama di
Indonesia saat itu, dan membentuk sebuah dewan soviet. Para penguasa kolonial menindas
dewan-dewan soviet di Surabaya dan ISDV. Para pemimpin ISDV dikirim kembali ke Belanda,
termasuk Sneevliet. Para pemimpin pemberontakan dari kalangan militer Belanda dijatuhi
hukuman penjara hingga 40 tahun.[5]
Sementara itu, ISDV membentuk blok dengan organisasi anti-kolonialis Sarekat Islam. Banyak
anggota SI seperti dari Surabaya, Semaun dan Darsono dari Solo tertarik dengan ide-ide
Sneevliet. Sebagai hasil dari strategi Sneevliet akan "blok dalam", banyak anggota SI dibujuk
untuk mendirikan revolusioneris yang lebih dalam Marxis-didominasi Sarekat Rakjat.
ISDV terus bekerja secara klandestin. Meluncurkan publikasi lain, Soeara Rakyat. Setelah
kepergian paksa beberapa kader Belanda, dalam kombinasi dengan pekerjaan di dalam Sarekat
Islam, keanggotaan telah berpindah dari mayoritas Belanda ke mayoritas Indonesia. Pada

Pembentukan dan pertumbuhan


Pada Kongres ISDV di Semarang (Mei 1920), nama organisasi ini diubah menjadi Perserikatan
Komunis di Hindia (PKH). Semaun adalah ketua partai dan Darsono menjabat sebagai wakil
ketua. Sekretaris, bendahara, dan tiga dari lima anggota komite adalah orang Belanda. PKH
adalah partai komunis Asia pertama yang menjadi bagian dari Komunis Internasional. Henk
Sneevliet mewakili partai pada kongres kedua Komunis Internasional 1921.
Pada periode menjelang kongres keenam Sarekat Islam pada tahun 1921, anggota menyadari
strategi Sneevliet dan mengambil langkah untuk menghentikannya. Agus Salim, sekretaris
organisasi, memperkenalkan sebuah gerakan untuk melarang anggota SI memegang keanggotaan
dan gelar ganda dari pihak lain di kancah perjuangan pergerakan indonesia. Keputusan tersebut
tentu saja membuat para anggota komunis kecewa dan keluar dari partai, seperti oposisi dari Tan
Malaka dan Semaun yang juga keluar dari gerakan karena kecewa untuk kemudian mengubah
taktik dalam perjuangan pergerakan indonesia. Pada saat yang sama, pemerintah kolonial
Belanda menyerukan tentang pembatasan kegiatan politik, dan Sarekat Islam memutuskan untuk
lebih fokus pada urusan agama, meninggalkan komunis sebagai satu-satunya organisasi
nasionalis yang aktif.
Bersama Semaun yang berada jauh di Moskow untuk menghadiri Far Eastern Labor Conference
pada awal 1922, Tan Malaka mencoba untuk mengubah pemogokan terhadap pekerja pegadaian
pemerintah menjadi pemogokan nasional untuk mencakup semua serikat buruh Indonesia. Hal
ini ternyata gagal, Tan Malaka ditangkap dan diberi pilihan antara pengasingan internal atau
eksternal. Dia memilih yang terakhir dan berangkat ke Rusia.[7]
Pada Mei 1922, Semaun kembali setelah tujuh bulan di Rusia dan mulai mengatur semua serikat
buruh dalam satu organisasi. Pada tanggal 22 September, Serikat Organisasi Pekerja Seluruh
Indonesia (Persatuan Vakbonded Hindia) dibentuk.
Pada kongres Komintern kelima pada tahun 1924, ia menekankan bahwa "prioritas utama dari
partai-partai komunis adalah untuk mendapatkan kontrol dari persatuan buruh" karena tidak
mungkin ada revolusi yang sukses tanpa persatuan kelas buruh ini
Pada 1924 nama partai ini sekali lagi diubah, kali ini adalah menjadi Partai Komunis Indonesia
(PKI).

Pemberontakan 1926

Pada Mei 1925, Komite Exec dari Komintern dalam rapat pleno memerintahkan komunis di
Indonesia untuk membentuk sebuah front anti-imperialis bersatu dengan organisasi nasionalis
non-komunis, tetapi unsur-unsur ekstremis didominasi oleh Alimin & Musso menyerukan
revolusi untuk menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda.[10] Dalam sebuah konferensi di
Prambanan, Jawa Tengah, serikat buruh perdagangan yang dikontrol komunis memutuskan
revolusi akan dimulai dengan pemogokan oleh para pekerja buruh kereta api yang akan menjadi
sinyal pemogokan yang lebih umum dan luas untuk kemudian revolusi akan bisa dimulai. Hal ini
akan mengarah pada PKI yang akan menggantikan pemerintah kolonial.[10]
Pada November 1926 PKI memimpin pemberontakan melawan pemerintahan kolonial di Jawa
Barat dan Sumatra Barat. PKI mengumumkan terbentuknya sebuah republik. Bersama Alimin,
Musso yang merupakan salah satu pemimpin PKI di era tersebut sedang tidak berada di
Indonesia. Ia sedang melakukan pembicaraan dengan Tan Malaka yang tidak setuju dengan
langkah pemberontakan tersebut. Pemberontakan ini akhirnya dihancurkan dengan brutal oleh
penguasa kolonial. Ribuan orang dibunuh dan sekitar 13.000 orang ditahan, 4.500 dipenjara,
sejumlah 1.308 yang umumnya kader-kader partai diasingkan, dan 823 dikirim ke Boven Digul,
sebuah kamp tahanan di Papua [11]. Beberapa orang meninggal di dalam tahanan. Banyak
aktivis politik non-komunis yang juga menjadi sasaran pemerintahan kolonial, dengan alasan
menindas pemberontakan kaum komunis. Pada 1927 PKI dinyatakan terlarang oleh
pemerintahan Belanda. Karena itu, PKI kemudian bergerak di bawah tanah.
Rencana pemberontakan itu sendiri sudah dirancang sejak lama. Yakni di dalam perundingan
rahasia aktivis PKI di Prambanan. Rencana itu ditolak tegas oleh Tan Malaka, salah satu tokoh
utama PKI yang mempunyai banyak massa terutama di Sumatra. Tan Malaka memprediksi
bahwa pemberontakan akan gagal, karena menurutnya basis kaum proletar Indonesia adalah
rakyat petani bukan buruh seperti di Uni Soviet. Penolakan tersebut membuat Tan Malaka di cap
sebagai pengikut Leon Trotsky yang juga sebagai tokoh sentral perjuangan Revolusi Rusia.
Walau begitu, beberapa aksi PKI justru terjadi setelah pemberontakan di Jawa terjadi. Semisal
Pemberontakan Silungkang di Sumatra.
Pada masa awal pelarangan ini, PKI berusaha untuk tidak menonjolkan diri, terutama karena
banyak dari pemimpinnya yang dipenjarakan. Pada 1935 pemimpin PKI Musso kembali dari
pengasingan di Moskwa, Uni Soviet, untuk menata kembali PKI dalam gerakannya di bawah
tanah. Namun Musso hanya tinggal sebentar di Indonesia. Kemudian PKI bergerak di berbagai
front, seperti misalnya Gerindo dan serikat-serikat buruh. Di Belanda, PKI mulai bergerak di
antara mahasiswa-mahasiswa Indonesia di kalangan organisasi nasionalis, Perhimpoenan
Indonesia, yang tak lama kemudian berpihak pada PKI [12].

Kebangkitan pasca-perang
PKI muncul kembali di panggung politik setelah Jepang menyerah pada tahun 1945, dan secara
aktif mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan dari Belanda. Banyak unit bersenjata
berada di bawah kontrol atau pengaruh PKI. Meskipun milisi PKI memainkan peran penting
dalam memerangi Belanda, Presiden Soekarno khawatir bahwa semakin kuatnya pengaruh PKI
akhirnya akan mengancam posisinya. Selain itu, pertumbuhan PKI bermasalah sektor sayap
kanan lebih dari pemerintahan Indonesia serta beberapa kekuatan asing, khususnya semangat
penuh anti-komunis dari Amerika Serikat. Dengan demikian hubungan antara PKI dan kekuatan
lain yang juga berjuang untuk kemerdekaan pada umumnya berjalan sengit.
Pada Februari 1948 PKI dan Partai Sosialis membentuk front bersama, yaitu Front Demokrasi
Rakyat. Front ini tidak bertahan lama, tetapi Partai Sosialis kemudian bergabung dengan PKI.
Pada saat itu milisi Pesindo berada di bawah kendali PKI.
Pada tanggal 11 Agustus 1948 Musso kembali ke Jakarta setelah dua belas tahun di Uni Soviet.
Politibiro PKI direkonstruksi, termasuk D.N. Aidit, M.H. Lukman dan Njoto. Pada 5 September
1948 dia memberikan pidato anjuran agar Indonesia merapat kepada Uni Soviet. Dan anjuran itu
berujung pada peristiwa pemberontakan PKI di Madiun, Jawa Timur.
Peristiwa Madiun 1948
Artikel utama: Peristiwa Madiun
Setelah penandatanganan Perjanjian Renville pada tahun 1948, hasil kesepakatan perundingan
Renville dianggap menguntungkan posisi Belanda. Sebaliknya, Indonesia menjadi pihak yang
dirugikan dengan semakin sempit wilayah yang dimiliki. Banyak unit bersenjata dari Partai
Republik kembali dari zona konflik. Hal ini memberikan beberapa keyakinan sayap kanan
Indonesia bahwa mereka akan mampu menandingi PKI secara militer. Unit gerilya dan milisi di
bawah pengaruh PKI diperintahkan untuk membubarkan diri. Di Madiun kelompok militer PKI
menolak untuk pergi bersama dengan perlucutan senjata para anggota yang dibunuh pada bulan
September tahun yang sama. Pembunuhan itu memicu pemberontakan kekerasan. Hal Ini
memberikan alasan untuk menekan PKI. Hal ini diklaim oleh sumber-sumber militer bahwa PKI
telah mengumumkan proklamasi 'Republik Soviet Indonesia' pada tanggal 18 September dengan
menyebut Musso sebagai presiden dan Amir Syarifuddin sebagai perdana menteri. Pada saat
yang sama PKI mengecam pemberontakan dan meminta tenang. Pada 30 September Madiun
diambil alih oleh TNI dari Divisi Siliwangi. Ribuan kader partai terbunuh dan 36 000 dipenjara.
Di antara beberapa pemimpin yang dieksekusi termasuk Musso yang dibunuh pada 31 Oktober
saat tertangkap di Desa Niten Kecamatan Sumorejo, Ponorogo. Diduga ketika Musso mencoba
melarikan diri dari penjara. Aidit dan Lukman pergi ke pengasingan di Republik Rakyat
Tiongkok. Namun, PKI tidak dilarang dan terus berfungsi. Rekonstruksi partai dimulai pada
tahun 1949.

Bangkit kembali

Pada 1950, PKI memulai kembali kegiatan penerbitannya, dengan organ-organ utamanya
yaitu Harian Rakjat dan Bintang Merah. Pada 1950-an, PKI mengambil posisi sebagai partai
nasionalis di bawah pimpinan D.N. Aidit, dan mendukung kebijakan-kebijakan anti kolonialis
dan anti Barat yang diambil oleh Presiden Soekarno. Aidit dan kelompok di sekitarnya,
termasuk pemimpin-pemimpin muda seperti Sudisman, Lukman, Njoto dan Sakirman,
menguasai pimpinan partai pada 1951. Pada saat itu, tak satupun di antara mereka yang
berusia lebih dari 30 tahun. Di bawah Aidit, PKI berkembang dengan sangat cepat, dari
sekitar 3.000-5.000 anggota pada 1950, menjadi 165.000 pada 1954 dan bahkan 1,5 juta pada
1959 [13]

Oposisi lanjutan oleh Belanda terhadap Irian Jaya adalah masalah yang sering diangkat oleh PKI
selama tahun 1950.
Pada Agustus 1951, PKI memimpin serangkaian pemogokan-pemogokan, yang diikuti oleh
tindakan-tindakan tegas oleh kubu yang menentang PKI di Medan dan Jakarta. Akibatnya, para
pemimpin PKI kembali bergerak di bawah tanah untuk sementara waktu.
Pada Februari 1958 sebuah upaya kudeta yang dilakukan oleh kekuatan pro-AS antara militer
dan politik sayap kanan. Para pemberontak, yang berbasis di Sumatra dan Sulawesi,
memproklamasikan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia pada tanggal 15 Februari.
Pemerintah Revolusioner yang terbentuk ini segera mulai menangkap ribuan anggota PKI di
daerah di bawah kendali mereka. PKI mendukung upaya Soekarno untuk memadamkan
pemberontakan, termasuk pemberlakuan hukum darurat militer. Pemberontakan itu akhirnya
dikalahkan.
Pada bulan Agustus 1959, terjadi upaya atas nama militer untuk mencegah penyelenggaraan
kongres PKI. Namun kongres digelar sesuai jadwal, dan ditangani oleh Sukarno sendiri. Pada
tahun 1960 Sukarno meluncurkan slogan Nasakom, singkatan dari Nasionalisme, Agama,
Komunisme. Dengan demikian peran PKI sebagai mitra junior dalam pemerintahan Sukarno
resmi dilembagakan. PKI menyambut baik peluncuran konsep Nasakom, melihatnya dari segi
front persatuan multikelas.

Pemilu 1955

Sebelum pemilihan 1955, PKI disukai Sukarno untuk rencana 'demokrasi terpimpin' dan
merupakan pendukung aktif Sukarno.[14] Pada Pemilu 1955, PKI menempati tempat ke empat
dengan 16% dari keseluruhan suara. Partai ini memperoleh 39 kursi (dari 257 kursi yang
diperebutkan) dan 80 dari 514 kursi di Konstituante.
Pada Juli 1957, kantor PKI di Jakarta diserang dengan granat. Pada bulan yang sama PKI
memperoleh banyak kemajuan dalam pemilihan-pemilihan di beberapa kota. Pada September
1957, Masjumi yang merasa tersaingi oleh PKI secara terbuka menuntut supaya PKI dilarang
[15].
Pada 3 Desember 1957, serikat-serikat buruh yang pada umumnya berada di bawah pengaruh
PKI, mulai menguasai perusahaan-perusahaan milik Belanda. Penguasaan ini merintis
nasionalisasi atas perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh asing. Perjuangan melawan para
kapitalis asing memberikan PKI kesempatan untuk menampilkan diri sebagai sebuah partai
nasional.
Pada Februari 1958 terjadi sebuah upaya koreksi terhadap kebijakan Sukarno yang mulai
condong ke timur di kalangan militer dan politik sayap kanan. Mereka juga menuntut agar
pemerintah pusat konsisten dalam melaksanakan UUDS 1950, selain itu pembagian hasil bumi
yang tidak merata antara pusat dan daerah menjadi pemicu. Gerakan yang berbasis di Sumatra
dan Sulawesi, mengumumkan pada 15 Februari 1958 telah terbentuk Pemerintah Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI). Pemerintahan yang disebut revolusioner ini segera menangkapi
ribuan kader PKI di wilayah-wilayah yang berada di bawah kontrol mereka. PKI mendukung
upaya-upaya Soekarno untuk memadamkan gerakan ini, termasuk pemberlakuan Undang-
Undang Darurat. Gerakan ini pada akhirnya berhasil dipadamkan.
Pada 1959, militer berusaha menghalangi diselenggarakannya kongres PKI. Namun, kongres ini
berlangsung sesuai dengan jadwal dan Presiden Soekarno sendiri memberi angin pada komunis
dalam sambutannya. Pada 1960, Soekarno melancarkan slogan Nasakom yang merupakan
singkatan dari Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Dengan demikian peranan PKI sebagai
mitra dalam politik Soekarno dilembagakan. PKI membalasnya dengan menanggapi konsep
Nasakom secara positif, dan melihatnya sebagai sebuah front bersatu yang multi-kelas dan multi-
golongan.

1960

Meskipun PKI mendukung Sukarno, ia tidak kehilangan otonomi politiknya. Pada bulan Maret
1960, PKI mengecam penanganan demokratis anggaran oleh Sukarno. Pada tanggal 8 Juli,
Harian Rakyat menerbitkan sebuah artikel yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pemimpin
PKI sempat ditangkap oleh militer, tetapi kemudian dibebaskan atas perintah dari Sukarno.
Ketika gagasan tentang Malaysia berkembang, PKI maupun Partai Komunis Malaya
menolaknya, dan baik PKI maupun Partai Komunis Malaya menganggap pembentukan Malaysia
sebagai proyek neo-kolonialisme dan neo-imperialisme Inggris dan sekutunya.
Dengan berkembangnya dukungan dan keanggotaan yang mencapai 3 juta orang pada 1965, PKI
menjadi partai komunis terkuat di luar Uni Soviet dan RRT. Partai itu mempunyai basis yang
kuat dalam sejumlah organisasi massa, seperti SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia), Pemuda Rakjat, Gerwani, Barisan Tani Indonesia (BTI), Lembaga Kebudajaan
Rakjat (Lekra) dan Himpunan Sardjana Indonesia (HSI). Menurut perkiraan seluruh anggota
partai dan organisasi-organisasi yang berada di bawah payungnya mungkin mencapai seperlima
dari seluruh rakyat Indonesia.
Pada bulan Maret 1962, PKI bergabung dengan pemerintah. Para pemimpin PKI, Aidit dan
Njoto, diangkat menjadi menteri penasihat. Pada bulan April 1962, PKI menyelenggarakan
kongres partainya. Pada 1963, pemerintah Malaysia, Indonesia dan Filipina terlibat dalam
pembahasan tentang pertikaian wilayah dan kemungkinan tentang pembentukan sebuah
Konfederasi Maphilindo, sebuah gagasan yang dikemukakan oleh presiden Filipina, Diosdado
Macapagal. PKI menolak gagasan pembentukan Maphilindo dan federasi Malaysia. Para anggota
PKI yang militan menyeberang masuk ke Malaysia dan terlibat dalam pertempuran-pertempuran
dengan pasukan-pasukan Inggris dan Australia. Sebagian kelompok berhasil mencapai
Semenanjung Malaysia lalu bergabung dalam perjuangan di sana. Namun kebanyakan dari
mereka ditangkap begitu tiba. Sebagian satuan tempur PKI aktif di wilayah perbatasan
Kalimantan.
Salah satu hal yang dilakukan PKI setelah masuk kedalam pemerintahan Orde Lama adalah
dengan diusulkannya Angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan petani, Pimpinan PKI
bermaksud dengan dibentuknya angkatan kelima ini diharapkan dapat mendukung mobilisasi
massa untuk menuntaskan Operasi Dwikora dalam menghadapi Malaysia. Namun, hal ini
membuat TNI AD merasa khawatir takut adanya penyelewengan senjata yang dilakukan PKI.
Pada Januari 1964 PKI mulai menyita properti Inggris yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan
Inggris di Indonesia.
Pada pertengahan 1960-an Departemen Luar Negeri Amerika Serikat memperkirakan
keanggotaan partai meningkat menjadi sekitar 2 juta (3,8% dari populasi usia kerja negara).
Sukarno bertindak menyeimbangkan antara PKI, militer, fraksi nasionalis, dan kelompok-
kelompok Islam yang terancam oleh kepopuleran PKI. Pengaruh pertumbuhan PKI
menimbulkan keprihatinan bagi pihak Amerika Serikat dan kekuatan barat anti-komunis lainnya.
Situasi politik dan ekonomi menjadi lebih tidak stabil; Inflasi tahunan mencapai lebih dari 600
persen dan kehidupan Indonesia memburuk.
PKI dirasakan oleh kalangan politik, beberapa bulan menjelang Peristiwa G30S, makin kuat.
Sehingga para pesaing PKI mulai khawatir PKI akan memenangkan pemilu berikutnya. Gerakan-
gerakan untuk menentang PKI mulai bermunculan, dan dipelopori oleh Angkatan Darat. Pada
Desember 1964, Chaerul Saleh dari Partai Murba (dibentuk oleh mantan pemimpin PKI Tan
Malaka) menyatakan bahwa PKI sedang mempersiapkan kudeta. PKI menuntut larangan Partai
Murba, tuntutan itu dipaksakan kepada Soekarno pada awal 1965. Dalam konteks Konfrontasi
dengan Malaysia, PKI menyerukan untuk 'mempersenjatai rakyat'. Sebagian besar pihak dari
tentara Angkatan Darat melarang hal ini. Sikap Soekarno tetap secara resmi untuk tidak terlalu
mengambil sikap atas hal tersebut karena Sukarno cenderung mendukung Konfrontasi dengan
Malaysia seperti PKI. Pada bulan Juli sekitar 2000 anggota PKI mulai menggelar pelatihan
militer di dekat pangkalan udara Halim. Terutama dalam konsep 'mempersenjatai rakyat' yang
telah memenangkan banyak dukungan di antara kalangan militer Angkatan Udara dan Angkatan
Laut. Pada tanggal 8 September demonstran PKI memulai untuk pengepungan selama dua hari di
Konsulat AS di Surabaya. Pada tanggal 14 September, Aidit mengalamatkan kepada gerilyawan
PKI untuk mendesak anggota agar waspada dari hal-hal yang akan datang. Pada 30 September
Pemuda Rakyat dan Gerwani, kedua organisasi PKI terkait menggelar unjuk rasa massal di
Jakarta terhadap krisis inflasi yang melanda.

Pada malam 30 September dan 1 Oktober 1965, enam jenderal senior Indonesia dibunuh dan
mayat mereka dibuang ke dalam sumur. Pembunuh para jenderal mengumumkan keesokan
harinya bahwa Dewan Revolusi baru telah merebut kekuasaan, yang menyebut diri mereka
"Gerakan 30 September ("G30S"). Dengan banyaknya jenderal tentara senior yang mati atau
hilang, Jenderal Suharto mengambil alih kepemimpinan tentara dan menyatakan kudeta yang
gagal pada 2 Oktober. Tentara dengan cepat menyalahkan upaya kudeta PKI dan menghasut
dengan kampanye propaganda anti-Komunis di seluruh Indonesia. Bukti yang mengaitkan PKI
untuk pembunuhan para jenderal tidak meyakinkan, yang mengarah ke spekulasi bahwa
keterlibatan mereka sangat terbatas, atau bahwa Suharto mengorganisir peristiwa, secara
keseluruhan atau sebagian, dan mengkambinghitamkan kepada komunis.[butuh rujukan] Dalam
pembersihan anti-komunis melalui kekerasan berikutnya, diperkirakan 500.000 komunis (atau
dicurigai) dibunuh, dan PKI secara efektif dihilangkan (lihat Pembantaian di Indonesia 1965–
1966).[butuh rujukan] Jenderal Suharto kemudian mengalahkan Sukarno secara politik dan
diangkat menjadi presiden pada tahun 1968, karena mengkonsolidasikan pengaruhnya atas
militer dan pemerintah.
Pada tanggal 2 Oktober basis di Halim berhasil ditangkap oleh pihak tentara. Harian Rakyat
mengambil isu pada sebuah artikel yang berisi untuk mendukung kudeta G30S, tetapi spekulasi
kemudian bangkit mengenai apakah itu benar-benar mewakili pendapat dari PKI.[siapa?]
Sebaliknya pernyataan resmi PKI pada saat itu adalah bahwa upaya G30S merupakan urusan
internal di dalam angkatan bersenjata mereka. Pada tanggal 6 Oktober kabinet Sukarno
mengadakan pertemuan pertama sejak 30 September. Menteri PKI hadir. Sebuah resolusi
mengecam G30S disahkan. Njoto ditangkap langsung setelah pertemuan itu.
Presiden Soekarno berkali-kali melakukan pembelaan bahwa PKI tidak terlibat dalam peristiwa
sebagai partai melainkan karena adanya sejumlah tokoh partai yang bertindak di luar kontrol dan
terpancing oleh inisiasi Barat, dan karena itu Soekarno tidak akan membubarkan PKI.
Kemudian, pimpinan dan sejumlah perwira Angkatan Darat memberi versi keterlibatan PKI
sepenuhnya, dalam penculikan dan pembunuhan enam jenderal dan seorang perwira pertama
Angkatan Darat pada tengah malam 30 September menuju dinihari 1 Oktober 1965. Versi ini
segera diterima secara umum sesuai fakta kasat mata yang terhidang dan ditopang pengalaman
buruk bersama PKI dalam kehidupan sosial dan politik pada tahun-tahun terakhir. Hanya saja
harus diakui bahwa sejumlah perwira penerangan telah menambahkan dramatisasi terhadap
kekejaman, melebihi peristiwa sesungguhnya (in factum). Penculikan dan kemudian
pembunuhan para jenderal menurut fakta memang sudah kejam, tetapi dramatisasi dengan
pemaparan yang hiperbolis dalam penyajian, telah memberikan efek mengerikan melampaui
batas yang mampu dibayangkan semula. Dan akhirnya, mengundang pembalasan yang juga tiada
taranya dalam penumpasan berdarah antar manusia di Indonesia.
Manifestasi besar diadakan di Jakarta dua hari kemudian, menuntut pelarangan PKI. Kantor
utama milik PKI dibakar. Pada tanggal 13 Oktober organisasi Islam Ansor mengadakan aksi
unjuk rasa anti-PKI di seluruh Jawa. Pada tanggal 18 Oktober sekitar seratus PKI dibunuh oleh
pihak Ansor. Pemusnahan secara sistematis untuk partai telah dimulai.
Antara 300.000 sampai satu juta orang Indonesia dibunuh dalam pembunuhan massal yang
digelar.[17] [4] Para korban termasuk juga non-komunis yang dibunuh karena kesalahan
identitas atau "kesalahan oleh asosiasi". Namun, kurangnya informasi menjadi tidak mungkin
untuk menentukan angka pasti dari jumlah korban yang dibunuh. Banyak para peneliti hari ini
menjelaskan korban yang dibunuh antara 200.000 sampai 500.000 orang.[18] Sebuah studi dari
CIA tentang peristiwa di Indonesia ini menilai bahwa "Dalam hal jumlah korban pembantaian
oleh anti-PKI, Indonesia masuk dalam salah satu peringkat pembunuhan massal terburuk pada
abad ke-20 ...".[19]
Time menyajikan berita berikut pada tanggal 17 Desember 1966:
Komunis, simpatisan merah dan keluarga mereka dibantai yang mencapai ribuan. Unit
tentara dilaporkan telah mengeksekusi ribuan komunis setelah diinterogasi di penjara-
penjara terpencil. Berbekal pisau berbilah lebar yang disebut parang, kelompok Muslim
merayap di malam hari ke rumah-rumah komunis, membunuh seluruh keluarga dan
mengubur mayat mereka di kuburan dangkal.
Kampanye pembunuhan ini sangatlah kejam di beberapa daerah pedesaan di Jawa Timur,
para milisi Islam menancapkan kepala korban pada tiang dan mereka mengarak melalui
desa-desa. Pembunuhan telah ada pada skala tinggi sehingga pembuangan mayat
menciptakan masalah sanitasi yang serius di Jawa Timur dan Sumatra Utara di mana
udara lembab penuh bau busuk daging. Pengunjung dari daerah tersebut mengatakan
sungai kecil dan besar yang telah benar-benar tersumbat dengan mayat tubuh.
Meskipun motif pembunuhan tampaknya bernuansa politik, beberapa ahli berpendapat bahwa
kejadian tersebut disebabkan oleh keadaan panik dan ketidakpastian politik. Bagian dari
kekuatan anti-komunis yang bertanggung jawab atas pembantaian terdiri dari para pelaku tindak
kriminal seperti para preman, yang telah diberi izin untuk terlibat dalam tindakan yang tidak
masuk akal berupa kekerasan.[20] Motif lain yang terjadi juga telah dieksplorasi.
Di tingkat internasional, Kantor Berita RRT (Republik Rakyat Tiongkok), Xinhua, memberikan
versi bahwa Peristiwa 30 September 1965 adalah masalah internal Angkatan Darat Indonesia
yang kemudian diprovokasikan oleh dinas intelijen Barat sebagai upaya percobaan kudeta oleh
PKI.[April 2010]
Di antara daerah-daerah yang terkena dampak terburuk adalah pulau Bali, di mana PKI telah
berkembang pesat sebelum tindakan kerasasan tersebut. Pada tanggal 11 November bentrokan
meletus antara PKI dan PNI, yang berakhir dengan pembantaian terhadap anggota dan
simpatisan yang dituduh PKI. Jika banyak dari pogrom anti-PKI di seluruh daerah lain itu
dilakukan oleh organisasi-organisasi politik Islam, pembunuhan di Bali dilakukan atas nama
Hindu. Bali berdiri sebagai satu-satunya tempat di Indonesia di mana tentara lokal dalam
beberapa cara intervensi cenderung mengurangi praktik pembantaian tersebut.
Pada tanggal 22 November, Aidit ditangkap dan dibunuh.
Pada bulan Desember militer menyatakan bahwa Aceh telah dibersihkan dari komunis.
Bersamaan, khusus Pengadilan Militer yang dibentuk untuk mengadili dan memenjarakan para
anggota PKI. Pada 12 Maret, partai PKI secara resmi dilarang oleh Suharto, dan serikat buruh
pro-PKI SOBSI dilarang pada bulan April.
Penjara-penjara di Jakarta begitu penuh, hampir seluruh penjara digunakan untuk menahan
anggota PKI. Banyak tahanan politik ditahan tanpa dasar yang jelas. Sejak saat itu, identitas
banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat anti-kolonialisme hilang dan anti-
komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi
basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik.[21]
Beberapa peristiwa yang menggemparkan itu dituangkan dalam novel fiksi populer dan
difilmkan dengan judul yang sama yaitu The Year of Living Dangerously (1982).

Perkembangan pasca-1965
Meskipun mendapat perlawanan secara sporadis, PKI berdiri dengan lumpuh setelah
pembunuhan 1965-1966. Sebagai hasil dari pembunuhan massal ini, kepemimpinan partai
lumpuh di semua tingkat, meninggalkan banyak mantan pendukung dan kekecewaan simpatisan,
tanpa pemimpin lagi, dan tidak terorganisir. Pada bulan September 1966, sisa-sisa partai
politbiro mengeluarkan pernyataan kritik diri, mengkritik kerja sama sebelumnya dengan rezim
Sukarno. Setelah pembunuhan Aidit dan Njoto, Sudisman, pemimpin PKI di tingkat keempat
sebelum Oktober 1963, mengambil alih kepemimpinan partai. Dia berusaha untuk membangun
kembali partai atas dasar saling keterkaitan tiga kelompok anggota, tetapi hanya berdampak
sedikit kemajuan sebelum akhirnya ia ditangkap pada Desember 1966 [22]. Pada tahun 1967 ia
dijatuhi hukuman mati.
Beberapa kader PKI telah mengungsi di sebuah wilayah terpencil di selatan Blitar, Jawa Timur
menyusul tindakan kekerasan terhadap partai. Di antara para pemimpin yang hadir di Blitar
adalah anggota Politbiro Rewang, teoretikus partai Oloan Hutapea, dan pemimpin Jawa Timur
Ruslan Widjajasastra. Blitar merupakan daerah tertinggal dengan PKI yang memiliki dukungan
kuat di kalangan kaum tani. Pihak militer tidak menyadari bahwa PKI telah mampu
mengkonsolidasikan dirinya di sana. Para pemimpin PKI ini bergabung dengan Letkol Pratomo,
mantan komandan Distrik Militer Pandeglang di Jawa Barat, yang membantu memberikan
pelatihan militer untuk Komunis lokal di Blitar. Namun pada Maret 1968 kekerasan meletus di
Blitar, petani lokal menyerang para pemimpin dan kader Nahdatul Ulama, sebagai balasan atas
Nahdatul Ulama yang telah memainkan peran dalam penganiayaan antikomunis. Sekitar 60
kader NU tewas. Namun ilmuwan politik Australia Harold Crouch berpendapat bahwa itu tidak
mungkin bahwa pembunuhan kader NU di Blitar telah dilakukan atas perintah dari para
pemimpin PKI di Blitar. Militer menyadari daerah kantong PKI di Blitar tersebut dan
menghancurkannya pada pertengahan tahun 1968.[23]
Beberapa kader partai yang sementara di luar Indonesia pada saat peristiwa 30 September.
Terutama delegasi yang cukup besar melakukan perjalanan ke Republik Rakyat Tiongkok untuk
berpartisipasi dalam perayaan ulang tahun Revolusi Cina. Sedangkan yang lainnya telah
meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan studi di Eropa Timur. Dalam pengasingan, aparatur
partai terus berfungsi. Bagaimanapun, sebagian besar dari mereka terisolasi dari perkembangan
politik di dalam Indonesia. Di Jawa, beberapa desa yang dikenal sebagai tempat perlindungan
bagi anggota atau simpatisan yang telah diidentifikasi oleh pihak berwenang, dan dilindungi di
bawah pengawasan secara hati-hati untuk waktu yang cukup.
Sampai tahun 2004, mantan anggota PKI masih dilarang dan masuk daftar hitam dari banyak
pekerjaan termasuk apabila ingin bekerja di pemerintahan, sebagaimana kebijakan rezim
Soeharto yang telah dijalankan sejak pembersihan PKI tahun 1965. Selama masa presiden
Abdurrahman Wahid, ia mengundang mantan buangan PKI untuk kembali ke Indonesia pada
tahun 1999, dan mengusulkan menghilangkan pembatasan diskusi terbuka atas ideologi komunis.
Dalam berdebat untuk penghapusan larangan itu, Wahid mengutip dari UUD 1945 Indonesia,
yang tidak melarang atau bahkan secara khusus menyebutkan komunisme. Usulan Wahid itu
ditentang oleh beberapa kelompok masyarakat Indonesia, khususnya kelompok Islam
konservatif. Dalam sebuah protes pada April 2000, sebuah kelompok yang disebut Front Islam
Indonesia berjumlah sepuluh ribu orang datang ke Jakarta terkait usulan Wahid. Tentara tidak
segera menolak proposal tersebut, tetapi menjanjikan "studi komprehensif dan teliti" terhadap ide
tersebut.

Wacana permintaan maaf


Presiden Joko Widodo berencana akan meminta maaf kepada keluarga korban PKI yang telah
menjadi korban pelanggaran Hak Asasi Manusia di masa pembangunan Orde Baru,[25] namun
kabar itu dibantah langsung oleh presiden.[26][27] Menurut Menkopolhukam Luhut Panjaitan
upaya-upaya untuk rekonsiliasi pelanggaran HAM masa lampau diakui sedang dilakukan dan
terus mencari format yang tepat.[28] Sedangkan Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang tengah
mengupayakan langkah non yudisial atau rekonsiliasi yang berujung pada ungkapan penyesalan
negara terhadap peristiwa itu dengan tetap menolak permintaan maaf oleh Presiden.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengharapkan presiden dapat mengambil inisiatif untuk
meminta maaf atau menyatakan penyesalan kepada korban pelanggaran HAM pasca 1965
mengingat dampaknya begitu besar berkelanjutan ke anak, saudara dan keturunan terkait.
Dengan tidak berdirinya proses peradilan pada peristiwa 1965, tidak semua korban baik yang
sudah dibunuh, dibuang ke pulau pengasingan maupun dipenjara terlibat langsung dengan PKI.
Kontra
Beberapa ormas dan elemen agama menolak wacana permintaan maaf tersebut dan menggelar
aksi unjuk rasa.[31][32] Menhan Ryamizard Ryacudu menolak permintaan maaf terhadap PKI
dengan alasan PKI yang melakukan pembunuhan terhadap 7 jenderal. Permintaan maaf terhadap
PKI juga ditolak oleh KSAD Jenderal Gatot Nurmantyo.
Penolakan permintaan maaf terhadap PKI juga datang dari budayawan Taufiq Ismail karena
menurutnya PKI telah 3 kali memberontak yaitu tahun 1927, 1948 dan 1965.

Anda mungkin juga menyukai