1. Tema
Tema yang disajikan dalam roman ini adalah sosio kritik dalam sistem masyarakat.
Gadis Pantai mewakili rakyat kecil, ia menjadi istri seorang Priyayi dan hanya
dijadikan sebagai pemuas nafsu, dijauhkan dari dunia luar yang dianggap kotor oleh
Priyayi tersebut yang kemudian dengan alasan “tidak sederajat” ia dicampakkan dan
di usir oleh Priyayi tersebut. Adapun kritik yang ditujukan pada sistem feodalisme
adalah melalui gambaran cerita diketahui bahwa yanga ada di gedung besar adalah
rakyat jelata harus patuh dan tunduk pada Priyayi, rakyat jelata dianggap tidak
memiliki harga diri.
2. Penokohan
a. Gadis Pantai (baik hati, polos, dan ramah)
“Aku tak butuhkan sesuatu dari dunia kita ini. Aku Cuma butuhkan orang
yang tercinta, hati-hati yang terbuka, senyum, tawa, dan dunia tanpa duka,
tanpa takut.”(Gadis Pantai, halaman 138)
c. Mbok (penyayang)
“Aku ingin mbok sayangi aku.”
“Apa kurang sayang sahaya?”
“Akui ingin senangkan hati
mbok.”
“Apa dikira sahaya kurang senang layani Mas Nganten?”
(Gadis Pantai, halaman 96)
d. Mardinah (sombong)
“Apa bapak Mas Nganten? Nelayan, bukan? Benar, sahaya tidak salah. Mas nganten
tahu siapa orangtua sahaya?. Pensiunan jurutulis.” (Gadis Pantai, halaman 25)
e. Bapak (keras)
“Apa kau bilang?” tanyanya sekali lagi dengan suara mengeras membentak. (Gadis
Pantai, halaman 270)
c. Latar suasana
5. Sudut Pandang
Sudut pandang orang ketiga tidak terbatas, sudut penglihatan yang berkuasa atau pengarang
serba tahu.
”Inilah tebusan janjiku. Pada dia yang tak pernah ceritakan sejarah diri. Dia yang tak
pernah ku ketahui namanya. Maka cerita ini kubangun dari berita orang lain, dari yang
dapat kusaksikan, kukhayalkan, kutuangkan.”(Gadis Pantai, halaman 9)
“Empat belas tahun umurnya. Waktu itu. Kulit langsat.Tubuh kecil mungil. Mata
agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal
pantai Keresidenan Jepara Rembang.”(Gadis Pantai, halaman 11)
“ Mak juga nangis.” Gadis Pantai menyela antara sedannya. (Gadis Pantai, halamanl 14).
6. Amanat
Jangan merendahkan derajat siapapun, semua manusia punya harga diri dan patut
dihargai..Perbedaan derajat menjadi alasan terciptanya penindasan dan perbudakan.
7. Gaya Bahasa
a. Penggunaan Majas
Majas simile : ”Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar yang tak pernah
diinjaknya semula, laksana seekor tikus di dalam perangkap.”(Gadis Pantai, halaman 35)
Majas Metafora : ”Dinding-dinding batu tebal itu bisu-kelabu tanpa hati.”(Gadis
Pantai, halaman 39 )
Majas Personifikasi : “Tapi lapar tetap membelit-belit dalam perutnya.”(Gadis
Pantai, halaman 43)
Pencitraan penciuman : “Dan beberapa hari setelah itu sang gadis harus tinggalkan
dapurnya, suasana kampungnya, kampunya sendiri dengan bau amis abadinya.”(Gadis
Pantai, halaman 12)
Pencitraan pendengaran : “Ia masih ingat waktu tong-tong bambu kepala Kampung
bertalu tanpa hentinya sampai bayi tarakhir dapat malarikan dari kampung yang
terkepung maut.”(Gadis Pantai, halaman)
Pencitraan perabaan : “Dan pakaian yang terlalu ringan dan halus itu masih
juga memberinya perasaan ia masih telanjang bulat.”(Gadis Pantai, halaman 29)
SINOPSIS
Roman 'Gadis Pantai' menceritakan tentang seorang Gadis Pantai (namanya memang
demikian, alias tidak memiliki nama) sebagai tokoh utama. la adalah gadis belia dari pesisir
pantai utara Jawa Tengah, di sebuah kampung nelayan yang miskin, berlokasi di Rembang.
Tak seperti perempuan pesisir pada umumnya yang berkulit hitam, Gadis Pantai ini berkulit
putih bersih dengan mata sipit. Kecantikanya memikat hati seorang pembesar santri setempat
yang tinggal di kota, yaitu seorang yang bekerja pada administrasi Belanda. Pembesar yang
disebut "Bendoro' itu tinggal di sebuah Gedung Besar di kota Rembang.
Gadis Pantai yang baru berusia 14 tahun itu, dipaksa oleh Emak dan Bapaknya untuk
menikah dengan Bendoro dengan harapan ia akan bahagia sekaligus mengangkat derajat
Emak dan Bapaknya jika bersedia diboyong ke Keresidena atau Gedung Besar tempat
tinggal Bendoro. Pemikahan antara Gadis Pantai dengan Bendoro hanya diwakili oleh
sebilah keris. Hal ini dikarenakan Gadis Pantai hanya dijadikan istri sementaranya, teman
seranjang, dan bukan sebagai teman hidupnya.
Pernikahan yang sesungguhnya bagi Bendoro adalah pernikahan dengan wanita priyayi yang
sederajat dengan dia. Setelah Gadis Pantai menikah dengan Bendoro, kemudian ia dibawa
ke Gedung Besar tempat tinggal Bendoro. Mula-mula la merasa seperti dalam "penjara", ia
hanya bisa berkomunikasi dengan seorang pelayan tua atau biasa disebut "sahaya", tidak
boleh bertemu dengan orang lain. Berbeda seperti ketika di kampungnya yang bebas
bermain sepuasnya. Namun lambat laun, melalui cerita-cerita dan nasihat-nasihat dari
pelayan tuanya itu, Gadis Pantai luluh dan mengerti apa yang harus dilakukan yaitu
mengabdi dan taat kepada Bendoro yang tak lain adalah Suaminya.
Gadis Pantai juga mulai mengisi hari-harinya dengan kegiatan yang berguna,
sepertimanyulam, membatik dan belajar mengaji yang tentunya semuanya diajarkan oleh
gurunya. Ditahun kedua pernikahanya dengan Bendoro, ia mulai lebih mengakrabkan diri
dengan Bendoro. Apabila ditinggal pergi Bendoro, ia merasa kesepian dan menjadi