Fitriana dalam Rengganis (2022:1) mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar dan
makna yang terkandung dalam sebuah cerita. Pendapat lain, seperti yang dikemukakan oleh
Aminudin dalam Rengganis (2022:1), menyatakan bahwa tema adalah ide yang menjadi dasar
suatu cerita, berperan sebagai panduan bagi pengarang dalam menyajikan karya fiksi. Dari
berbagai pandangan tersebut, tema dapat disimpulkan sebagai gagasan utama yang
membimbing sebuah cerita dengan makna, baik secara tersurat maupun tersirat. Tema yang
diangkat dalam novel "Gadis Pantai" adalah Kesenjangan Status Sosial: Masalah utama
dalam novel ini berkisar pada kesenjangan status sosial antara kaum pembesar (priyayi) dan
rakyat jelata (para sahaya) pada masa tersebut. Kesenjangan ini menimbulkan konflik, baik
secara fisik maupun emosional, antara tokoh-tokoh dan lingkungannya. Contohnya,
pernikahan Gadis Pantai, seorang sahaya, dengan seorang tokoh pembesar menunjukkan
ketidaksetaraan dalam status sosial dan mendatangkan konsekuensi negatif bagi Gadis Pantai.
Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia
banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum Bendoro di
daerah pantai. Seorang Bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah
beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat
perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat.
Perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari
karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan–itu
penghinaan bila menerimanya.
(hlm. 80)
Pandangan kaum pembesar yang merasa lebih unggul dan tindakan semena-mena
mereka menciptakan atmosfer konflik. Terdapat juga norma sosial yang mengharuskan
pembesar menikah dengan sesama mereka, mengakibatkan Gadis Pantai tidak diakui sebagai
nyonya di rumah suaminya. Dalam hal ini, novel mengangkat isu kesenjangan sosial sebagai
tema sentral.
Bagian 1:
Setahun tahun telah lewat. Bendoro menjadi semakin jarang mengunjungi Gadis
Pantai. Bendoro yang selalu sibuk membuat Gadis Pantai merasa cemburu. Suatu hari
Bendoro memiliki tamu seorang priyayi muda yang untuk sesaat membuat Gadis Pantai
terpesona. Lalu di malam di mana Bendoro berkunjung, Gadis Pantai mengaku bahwa dia
cemburu karena Bendoro mulai jarang mengunjunginya. Hal itu membuat Bendoro
tertawa dan Gadis Pantai memiliki malam yang membahagiakan.
Bagian 3:
Bagian 4:
Bagian 5:
Di akhir tahun kedua pernikahannya, Gadis Pantai mengandung. Mulai hari itu,
Bendoro yang jarang mengunjungi Gadis Pantai menjadi sama sekali tidak mengunjungi
Gadis Pantai. Bahkan Gadis Pantai melahirkan tanpa saksi Bendoro. Dia memberitahukan
kepada Bendoro bahwa bayi perempuan telah lahir, namun Bendoro sama sekali tidak
tertarik. Lau suatu hari, Bapaknya datang untuk membawanya pulang karena Bendoro
telah menceraikan Gadis Pantai. Gadis Pantai dipaksa untuk meninggalkan bayi
perempuannya yang baru berusia tiga bulan. Dia datang kepada Bendoro untuk
memberontak, namun hasilnya dia malah dipukul hingga mulutnya berdarah, lalu diseret
keluar dari kediaman.
Bagian 6:
2. Rombongan Gadis Pantai tiba di kediaman Bendoro dengan dua dokar 'kretek'.
1. Gadis Pantai kehilangan dompetnya, memicu konflik dengan para agus Bendoro
muda.
2. Gadis Pantai dituduh menghina para agus dan dianggap bersalah karena latar
belakangnya sebagai sahaya.
3. Pelayan tua Gadis Pantai diusir oleh Bendoro setelah mengadukan masalah
tersebut.
3. Gadis Pantai merasa tidak nyaman dianggap asing oleh warga kampung dan
keluarganya.
4. Kedatangan Mak Pin, yang sebenarnya adalah saudara laki-laki Mardinah yang
menyamar, mencoba membunuh Gadis Pantai.
5. Usaha pembunuhan berhasil digagalkan oleh Bapak Gadis Pantai dan warga
kampung.
5. Bapak Gadis Pantai datang untuk menjemput Gadis Pantai karena diceraikan oleh
Bendoro.
6. Gadis Pantai dipaksa meninggalkan putrinya yang baru berusia tiga bulan.
3. Gadis Pantai mencari pelayan tuanya yang dulu diusir karenanya di Blora.
b. Perkembangan Plot
1) Tahap Situation
Empat belas tahun umurnya waktu itu. Kuning langsat. Tubuh kecil mungil. Mata
agak sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan
sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.
(hlm. 11)
Dimulai dari B2 sampai B3, yaitu setelah setahun menikah, Gadis Pantai
mulai terbiasa dengan kehadiran Bendoro dan merasa kesepian jika Bendoro
tidak mengunjunginya. Kemudian di tahun kedua pernikahannya, Gadis Pantai
kehilangan dompetnya, dia memanggil para agus bendoro muda untuk ditanyai,
namun dianggap berusaha menghina para agus sehingga masalah ini harus
ditangani langsung oleh Bendoro.
Setahun telah lewat. Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro
tidak datang berkunjung ke kamarnya.
(hlm. 75)
“Persetan!” seorang lain mendesis. “Dikiranya kami ini maling kelaparan dari
kampung nelayan?”
“Dituduh bandit?”
“Kalau air mata bisa tebus hinaan ini, betapa murahnya itu!”
Gadis Pantai terserang demam saraf dan memekik, “Akulah anak kampung
nelayan. Akulah pencurinya. Aku!” dan kemudian meraung, “Aku! Aku!” dan
dipeluknya pelayan tua itu.
(hlm. 112)
“Tidak.”
“Kanca-kanca! Bawa pengiringnya yang masih hidup. Itu yang bahunya belah
kena tombak bajak. Suruh dia ngaku di sini. Biar tatap muka. Sedia Bendoro
Putri?”
Mardinah terdiam.
“Ngaku cepat!”
“Cepat!”
“...putrinya, dapat... dapat... jadi istri Bendoro, Bendoro suami Mas... Mas
Nganten.”
(hlm. 223)
4) Tahap Climax
“Ayam pun bisa membela anaknya, Bendoro. Apalagi saya ini–seorang manusia,
biar pun sahaya tidak pernah mengaji di surau.”
“Maling!” bentak Bendoro. “Ayoh. Lepaskan bayi itu dari gendongannya. Kau
mau kupanggil polisi? Marsosé?”
“Aku cuma bawa bayiku sendiri! Bayiku! Bayi yang kulahirkan sendiri! Dia
anakku, bapaknya seorang setan, iblis. Lepaskan!”
Ia tak tahu kepala tongkat Bendoro mengucurkan darah pada bibirnya. Bayi itu
tahu-tahu lepas dari tubuhnya, dan selendang itu tergantung kosong di depan
perutnya.
(hal. 263-264)
5) Tahap Denouemen
Dimulai B6, yaitu ketika Gadis Pantai merasa malu untuk pulang ke
kampung sehingga ia memutuskan untuk pergi merantau ke kota kecil Blora.
Namun sebulan sebelum perjalanannya, ia sering berkeliaran di luar kediaman
Bendoro menggunakan dokar karena masih belum bisa melepaskan putrinya.
“Tidak, bapak, aku tak kembali ke kampung. Aku mau pergi jauh!”
“Nak.”
“Ampuni aku, bapak. Aku tak dapat tentang mata emak, para tetangga, dan
semuanya. Ampuni aku, bapak. Aku akan pergi bawa diriku sendiri.”
“Aku akan balik ke kota, bapak, tapi tidak menetap. Besok aku pergi ke selatan.”
“Dulu aku punya pelayan. Dia sudah diusir. Mungkin kesana dia pergi, bapak.”
Dalam satu bulan itu sering orang melihat sebuah dokar berhenti di depan pintu
pekarangan depan Bendoro dan sebuah wajah mengintip dari kiraian jendela
dokar, tapi tak ada terjadi apa-apa di pekarangan itu. Lewat sebulan, tak pernah
lagi ada dokar berhenti, tak ada lagi wajah mengintip dari kirainya.
(hlm. 269-270)
B1 B2 B3 B4 B5 B6
A B C D E
Hubungan:
Perkembangan:
● Gadis Pantai mulai menunjukkan rasa cemburu dan kesepian karena
Bendoro jarang mengunjunginya.
● Bendoro pergi selama empat hari, membuat Gadis Pantai merasa sendirian
dan cemburu.
Hubungan:
● Gadis Pantai menghadapi konflik ketika dompetnya hilang dan dituduh oleh
para agus bendoro muda.
Perkembangan:
Hubungan:
Perkembangan:
Hubungan:
Perkembangan:
● Gadis Pantai diceraikan tanpa alasan yang jelas dan dipaksa meninggalkan
putrinya.
5. B5 - B6 (Tahap Denouement):
Hubungan:
Perkembangan:
5. Teknik Pengeplotan
a) Konflik
B4
B4 D
B3
C
B2
B1 B6
B
A E
Dari kutipan di atas bisa dilihat bahwa kedudukan rakyat jelata dianggap
lebih rendah dari pada pelayan yang berasal dari kota. Hal itu menjadikan konflik
batin bagi Gadis Pantai, sekaligus menjadi konflik eksternal dalam novel ini.
b) Tegangan
"mbok!"
"Sahaya, Mas Nganten."
"Apakah aku cantik?"
"Di dunia ini, Mas Nganten, yang lain-lain harus menyingkir buat yang tercantik
"Aku takut, mbok. Keduanya lenyap di balik pintu kamar mandi.
(hal. 73-74)
Dari kutipan di atas bisa dilihat bahwa Gadis Pantai merasa khawatir
bahwa dia akan dibuang atau diganti oleh orang lain.
la masih ingat waktu tong-tong bambu kepala. kampung bertalu tanpa hentinya
sampai bayi terakhir dapat melarikan dari kampung yang terkepung laut.
(hal. 43)
1. Jenis Tokoh
Di dalam novel Gadis Pantai, jenis tokoh dibedakan berdasarkan fungsinya
dalam cerita. Fungsi tokoh yang dibedakan menjadi tokoh sentral (tokoh utama)
dan tokoh bawahan (tokoh tambahan). Pembagian tokoh atas tokoh utama dan
tokoh tambahan ini dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh di
dalam sebuah cerita (Nurgiyantoro dalam Rengganis 2022:43). Dengan demikian,
dalam sebuah cerita dapat dijumpai tokoh yang tergolong penting dan ditampilkan
terus-menerus sehingga mendominasi sebagian besar cerita dan ada pula tokoh
yang muncul hanya sesekali atau beberapa kali saja dan dalam porsi yang relatif
sedikit.
a. Tokoh Utama
Tokoh utama adalah tokoh yang berhubungan dengan setiap peristiwa dan
diutamakan penceritaannya di dalam novel. Di dalam novel Gadis Pantai, Gadis
Pantai dan Bendoro termasuk dalam tokoh utama karena mulai dari bagian. B1
sampai B6, keduanya sudah diperkenalkan dalam cerita. Gadis Pantai merupakan
tokoh protagonis dan Bendoro adalah tokoh antagonisnya.
b. Tokoh Tambahan
Tokoh tambahan di cerita ini, antara lain Bapak-Emak Gadis Pantai, Bujang
si pelayan tua Gadis Pantai, Mardi si kusir Bendoro, Mardinah, kepala kampung
nelayan, para agus bendoro muda (Abdullah, Said, dan Karim), Man kusir yang
mengantarkan Gadis Pantai pulang ke kampung nelayan, para warga kampung
nelayan, Mak Pin (Mardikun, saudara Mardinah), Dul si gendeng, dan para
pelayan yang bekerja di kediaman Bendoro
2. Perwatakan
Forster dalam Rengganis (2022:47) membagi watak tokoh ke dalam dua
jenis, yaitu tokoh yang berwatak bulat atau kompleks dan tokoh yang berwatak
datar atau sederhana. Kedua jenis watak tersebut akan dibahas sebagai berikut :
2. Tokoh Bendoro
Tokoh Bendoro juga merupakan tokoh dengan watak bulat karena di awal
cerita, Bendoro digambarkan sebagai sosok yang perhatian dan penuh kasih sayang.
Namun lama-lama dia bersikap cuek kepada Gadis Pantai. Akhirnya dia bertindak
kejam juga ketika Gadis Pantai menentang kehendaknya.
2) Tokoh Berwatak Datar
Tokoh berwatak datar atau dikenal pula sebagai tokoh sederhana
(flat or simple character) adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat watak tertentu (Nurgiyantoro dalam Rengganis
2022:54) atau seperti yang disebutkan Kenny (Nurgiyantoro dalam
Rengganis 2022:54), tokoh sederhana ini adalah sebuah tokoh yang
familiar, sudah biasa atau stereotip.
Dalam novel Gadis Pantai, tokoh tambahan digambarkan sebagai
tokoh yang hanya memiliki satu watak saja, yaitu semua tokoh pendukung
di dalam cerita ini.
a) Teknik Ekspositori
".. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat dingin. Dia tak tahu lagi apa makna
takut. Bahkan mau menangis pun dia takut, berpikir pun takut."
(hlm. 31)
b. Tingkah Laku Tokoh Itu Sendiri
(hlm. 32)
"Beruntung kau menjadi istri orang alim, dua kali pernah naik haji, entah berapa kali
khatam Qur'an..."
(hal. 14)
3. LATAR
Latar dalam sebuah cerita merujuk pada tempat terjadinya peristiwa atau
lingkungan sekitar yang melibatkan para pelaku dalam cerita (Stanton, 2022:64). Abrams,
sebagaimana dijelaskan dalam karya Rengganis (2022:64), mendefinisikan latar sebagai
tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial di mana peristiwa-peristiwa cerita terjadi.
Sejalan dengan pandangan Abrams, Nurgiyantoro (2022:65) menyatakan bahwa sebuah
novel memerlukan tidak hanya karakter beserta masalah yang dihadapinya, tetapi juga
memerlukan ruang, tempat, dan waktu bagi karakter tersebut untuk "hidup." Ruang,
tempat, dan waktu tersebut dikenal sebagai latar. Dengan demikian, latar dapat dibagi
menjadi tiga bagian: latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.
a) Latar Tempat
Latar tempat merujuk pada lokasi terjadinya peristiwa dalam novel "Gadis
Pantai," yang dapat dilihat dari kutipan-kutipan berikut:
1. Kampung Nelayan
(hlm. 11)
2. Di Kota
"Ia dibawa ke kota. Tubuhnya dibalut kain dan kebaya yang tak pernah
diimpikannya bakal punya. Selembar kalung emas tipis sekarang menghiasi
lehernya dan berbentuk medali jantung dari emas, membuat kalung itu manis
tertarik ke bawah." (hlm. 12)
3. Alun-Alun Kota
"Waktu dokar sampai di alun-alun, bapak memperbaiki letak bajunya,... Ia
masih dapat mengingat sekolah rakyat negeri, kemudian masjid raya. Di
seberang alun-alun sana gedung kabupaten, di sampingnya sekolah rendah
Belanda, di samping lagi sebuah rumah bertingkat." (hlm. 15)
"...mereka menggerombol di pinggir jalan, tak tahu harus berbuat apa. Pagar
tembok terlalu tinggi untuk meninjau ke dalam." (hlm. 15)
5. Ruang Tamu
7. Ruang Khalwat/Sembahyang
"Ruang itu luas, sangat luas, persegi panjang. Lampu listrik teram-temaram
menyala di dua tempat, tergantung rendah pada tali kawat. Tak ada perabot
pun di sana–kecuali dua lembar permadani–selembar di sana, selembar di
dekat pintu mereka berdua masuk." (hlm. 35)
8. Kebun Belakang
"Mereka sedang menghirup udara pagi di belakang. Dan kebun belakang itu
jauh lebih besar dari seluruh kampung nelayan tempat ia dilahirkan dan
dibesarkan. Seluruhnya terpagari dinding tembok tinggi." (hlm. 40)
9. Ruang Makan
"Beberapa menit kemudian suami-istri itu telah duduk pada meja makan. Roti
hangat yang masih mengepul yang dikirimkan tadi dari bengkel roti, telah
tersayat-sayat di atas meja." (hlm. 42)
"Dan orang-orang pun kini telah masuk semua ke dalam rumah. Melihat
tamasya itu semua orang berhenti tak menghampiri." (hlm. 167)
b) Latar Waktu
"Ia telah tinggalkan abad sembilan belas, memasuki abad dua puluh." (hlm. 11)
"Setengah tahun lewat, beberapa minggu setelah Gadis Pantai memasuki gedung
ini, kota itu jadi semarak bermandikan cahaya, berhiaskan penonton dari seluruh
penjuru." (hlm. 72)
3. Setahun Pernikahan
"Setahun telah lewat. Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro
tak datang berkunjung ke kamarnya." (hlm. 75)
"Gadis Pantai tersenyum. Dalam waktu dua tahun lebih tinggal di gedung
menyebabkan ia terbiasa memandang setiap orang punya tempat buat
tinggalnya." (hlm. 184)
“Mengapa bapak?”
(hlm. 254-256)
1 2 3 4 5
c) Latar Sosial
1. "Jangan main bola! Haram! Haram! Tak ingat pesan Ayahanda? Itu perbuatan
terkutuk orang-orang murtad. Ingat! Kepala Hasan-Husin yang mereka
tendang! Apa Agus mau jadi kafir juga?" (hlm. 21)
2. "... Sepuluh tahun yang baru lalu aku juga pernah datang ke kampungmu.
Kotor, miskin, orangnya tak pernah beribadah. Kotor itu tercela, tidak
dibenarkan oleh orang yang tahu agama. Di mana banyak terdapat kotoran,
orang-orang di situ kena murka Tuhan, rezeki mereka tidak lancar, mereka
miskin." (hlm. 41)
3. "kotor! Miskin! Kurang beriman! Neraka! Ia tak pernah tengar kata-kata itu
sebelum ke kota." (hlm. 183)
C. SARANA SASTRA
"Empat belas tahun umurnya. Waktu itu. Kulit langsat. Tubuh kecil mungil. Mata agak
sipit. Hidung ala kadarnya. Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai
Keresidenan Jepara Rembang."
(halaman 1)
Gaya bahasa yang sudah sering digunakan oleh pengarang lain. Gaya bahasa yang
biasa digunakan ada dua macam yaitu gaya bahasa retoris dan gaya bahasa kiasan.
1) Hiperbola
Dengan mata berapi-api karena merasa dihina, seorang pemuda angkat bicara
(hlm. 90)
(hlm. 29)
Gaya bahasa ini memberi sifat-sifat benda mati dengan sifat- sifat yang
dimiliki manusia sehingga dapat bersikap dan bertingkah laku sebagaimana halnya
manusia (Nurgiyantoro dalam Rengganis 2022:80). Personifikasi berfungsi
memberikan kejelasan beberan, dan memberikan gambaran imajinasi yang
kongkret (Pradopo dalam Rengganis 2022:80). Dalam novel Gadis Pantai
penggunaan personifikasi dapat dilihat pada kutipan berikut:
Tinggal angin kini berjingkrak menjadi alam. Dan waktu pun merangkak terus,
kadang-kadang saja melompat tanpa irama.
(hlm. 85)
2) Metafora
(hlm. 1)
3) Simile
Tertinggal Gadis Pantai seorang diri dalam ruangan besar yang tak pernah di
injaknya semula, laksana seekor tikus di dalam perangkap.”
(hlm. 22-23)
4) Asosiasi
Penggunaan Asosiasi pada novel Gadis Pantai ini terdapat pada kutipan berikut:
Dan langit di atas sana putih, Cuma putih, seperti kapas tanpa setitik pun warna
lain.
(hlm. 152)
“Sahaya Bendoro.”
(hlm. 9)
(hlm. 9)
(hlm. 14)
2) Penggunaan Pepatah
Gaya bahasa ini juga digunakan oleh pengarang dalam novel Gadis Pantai,
meski dalam jumlah sedikit hingga jarang dijumpai penggunaannya. Sebagai
contoh, penggunaan pepatah dapat ditemukan dalam kutipan berikut:
(hlm. 25)
(hlm. 126)
3. Ironi
Ironi diartikan sebagai suatu pernyataan yang berlawanan dengan apa yang
diharapkan. Stanton (1965: 34 dalam Rengganis) membagi ironi yang ada di dalam karya
sastra menjadi dua macam, yaitu ironi dramatik (dramatic irony) dan nada ironis atau ironi
verbal (ironic tone or verbal irony).
1) Ironi Dramatik
Ironi dramatik atau dikenal pula sebagai ironi plot atau ironi situasi secara
mendasar tergantung pada pertentangan yang sangat kontras antara penampilan dan
kenyataan, antara perhatian tokoh dengan apa yang nyata-nyata terjadi. Sering kali unsur-
unsur yang dikontraskan itu di hubungkan secara logis atau hubungan sebab-akibat
(Stanton dalam Rengganis 2022:84). Dalam novel Gadis Pantai ini terdapat pada kisah
cinta antara Gadis Pantai dan Bendoro pada saat pernikahan. Orang tua gadis pantai
beranggapan pernikahan tersebut merupakan sebuah keberuntungan Gadis Pantai, sehingga
mengangkat derajatnya yang semula hanya seorang anak nelayan. Namun ternyata
pernikahan tersebut menjadikan kesengsaraan Gadis Pantai.
2) Nada atau Ironi Verbal
Nada ironis atau ironi verbal muncul dalam bentuk penyampaian pesan dengan
maksud sebaliknya. Dalam novel ini terdapat ironi verbal dapat di lihat pada kutipan
berikut;
"kembalikan uang itu. Di sini ada hukum. Kalau hukum tidak ditaati lagi, mari, mari kita
panggil hakim.”
(hlm. 13)
Rengganis (2022:88) mengemukakan bahwa tema adalah ide pokok atau gagasan
utama yang disampaikan pengarang kepada pembaca. Tema dalam cerita Novel Gadis
Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini bertajuk pada "kesenjangan status sosial antara
kaum pembesar (priyayi) dan rakyat jelata (para sahaya)". Untuk menyampaikannya,
pengarang mengisahkan Gadis Pantai, seorang anak gadis dari rakyat jelata di kampung
pesisir pantai yang dinikahi oleh seorang tokoh pembesar karena paras cantiknya.
Konflik di dalam novel Gadis Pantai ini berawal dari Gadis Pantai merasa asing
dengan lingkungan barunya setelah menikah, dengan seiring waktu, Gadis Pantai mulai
mampu beradaptasi. Namun meski sudah menjadi istri priyayi, Gadis Pantai terkadang
masih dianggap remeh karena latar belakangnya. Gadis Pantai yang berpikir bahwa dia
adalah nyonya di rumah suaminya, tentu saja sakit hati karena diremehkan. Sampai suatu
hari dia mengetahui fakta bahwa para tokoh pembesar akan tetap dianggap lajang jika
belum menikah dengan kaumnya sendiri meski memiliki banyak selir dan anak dari selir-
selirnya.
Tema adalah inti atau ide pokok dalam cerita. Tema merupakan awal tolak
pengarang dalam menyampaikan cerita. Tema suatu novel menyangkut segala persoalan
dalam kehidupan manusia, baik masalah kemanusiaan, kekuasaan, kasih sayang, dan
sebagainya. Untuk menyampaikan tema ini, diperlukan tokoh dengan watak yang sesuai.
Cerita ini dibawakan oleh Gadis Pantai sebagai tokoh utama protagonis. Awalnya dia
adalah gadis yang baik dan periang. Suka membantu orang tuanya dan sering bermain-
main di pesisir pantai. Setelah menikah, dia menjadi gadis lugu dan penurut karena
kurangnya pendidikannya. Namun pada akhirnya, dia menjadi gadis pemberontak yang
memperjuangkan hak asuh anaknya setelah dia diceraikan suaminya. Lalu hadirlah tokoh
Bendoro sebagai tokoh utama antagonis. Dia adalah tokoh pembesar yang menikahi Gadis
Pantai. Di awal, Bendoro diceritakan sebagai sosok yang bijaksana, lemah lembut, dan
penuh kasih sayang kepada Gadis Pantai. Dia sering menemui Gadis Pantai dan
menghabiskan waktu bersama. Namun lama-lama sikap Bendoro menjadi semakin dingin
dan cuek. Dia mulai jarang menyisihkan waktunya bersama Gadis Pantai. Lalu pada
akhirnya, tanpa alasan yang jelas, dia menceraikan Gadis Pantai saat putri mereka baru
berusia tiga bulan. Dia dengan kejam mengusir Gadis Pantai dan melarang Gadis Pantai
untuk berani kembali walau sekedar ingin melihat putrinya.
Latar (setting) merupakan tempat, waktu, dan suasana terjadinya perbuatan tokoh
atau peristiwa yang dialami tokoh. Dalam cerpen, novel, ataupun bentuk prosa lainnya,
terkadang biasanya tidak disebutkan secara jelas latar perbuatan tokoh itu. Misalnya, di tepi
hutan, di sebuah desa, pada suatu waktu, pada zaman dahulu, di kala senja. Seperti yang
telah disebutkan di atas, Selain tokoh dan penokohan, latar juga elemen penting untuk
dapat menyampaikan tema cerita dengan sukses.
Untuk latar waktu dan tempat novel ini tidak dituliskan secara jelas, namun bisa
dilihat bahwa novel ini menceritakan kisah yang terjadi di Jawa pada abad ke dua puluh
karena di masa itu Indonesia masih dijajah oleh kolonial Belanda. Peperangan masih
terjadi, dan tokoh-tokoh pembesar maju menyumbangkan kekuatan. Karena itulah mereka
dianggap memiliki status yang tinggi dan mulia. Akibatnya, kaum mereka menjadi
sombong dan memandang rendah kaum rakyat jelata yang sejalan dengan tema yang
diangkat dalam novel ini.
Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa yang
terjadi dan dialami tokoh (Kenny dalam Rengganis 2022:90). Plot adalah apa yang
dilakukan tokoh dan apa yang menimpanya (Nurgiyantoro dalam Rengganis 2022:90).
Di dalam Novel Gadis Pantai ini, Hubungan plot dengan tokoh dan penokohan di
novel Gadis Pantai ini bisa dilihat dengan jelas. Tokoh Gadis Pantai mengalami konflik
dengan Bendoro karena perbedaan status sosial mereka. Konflik yang berfokus pada
konflik batin Gadis Pantai ini muncul setelah Gadis Pantai mulai bisa berpikir kritis setelah
merasakan kesenjangan status sosial antara dunia suaminya dan dunianya sendiri. Selain
itu, Gadis Pantai juga berkonflik dengan Bendoro atas hak asuh putrinya setelah dia secara
semena-mena diceraikan oleh Bendoro, suaminya.
Plot merupakan peristiwa yang mempunyai hubungan sebab akibat di dalam cerita.
Sedangkan latar adalah tempat, saat, dan keadaan sosial yang menjadi tempat tokoh
melakukan dan dikenai kejadian. Di dalam novel Gadis Pantai ini Latar cerita ini
diperkirakan terjadi di Jawa pada abad ke dua puluh karena di masa itu Indonesia masih
dijajah oleh kolonial Belanda dan rakyat Indonesia memerlukan perlindungan dari kaum
pembesar yang berperan aktif menyumbangkan kekuatannya untuk berperang melawan
kolonial Belanda. Akibatnya, kaum mereka menjadi sombong dan memandang rendah
kaum rakyat jelata. Mereka memiliki aturan di mana kaum pembesar akan tetap lajang
selama belum menikah dengan kaum sendiri. Mereka juga berpendapat bahwa kebodohan
dan kemiskinan adalah dosa. Mereka juga tidak peduli dengan keadilan untuk rakyat jelata.
Perlakuan semena-mena ini terjadi karena kesenjangan status sosial antara kaum pembesar
(priyayi) dan rakyat jelata (para sahaya) yang menjadi latar keadaan sosial cerita ini.
Tokoh-tokoh di dalam sebuah cerita memerlukan ruang, saat, dan keadaan sosial
tempat mereka melakukan atau mengalami sesuatu. Selain itu, ruang, saat, dan keadaan
sosial tersebut berpengaruh pula terhadap tokoh dan penokohan. Tokoh Gadis Pantai
berperan sebagai penguat latar keadaan sosial dalam cerita ini. Kehidupan awal Gadis
Pantai yang sederhana namun bahagia di Kampung Pesisir pantai itu hilang sudah setelah
dia menikah dengan Bendoro, salah satu tokoh pembesar. Di sana dia merasakan dan
menjalani hari-hari yang tidak adil. Meski hidup bergelimang harta dan selalu dilayani,
namun Gadis Pantai sama sekali tidak mendapatkan kebahagiaan secara batin.
Kesenjangan status sosialnya dengan suaminya, Bendoro, terlalu besar. Dia bahkan tidak
tahu Bendoro itu suaminya atau tuannya. Dia menjadi gadis yang patuh dan penurut, tidak
berani berpendapat, bahkan meminta izin untuk menemui orang tuanya saja perlu waktu
yang lama. Pengalaman Gadis Pantai inilah yang menguatkan latar keadaan sosial cerita di
mana kaum rakyat jelata diperlakukan secara semena-mena oleh kaum pembesar karena
kesenjangan status sosial antara mereka.
E. Ringkasan Penutup
Hal yang diteliti dari novel Gadis Pantai karya Pramoedya Ananta Toer ini
membahas keseluruhan struktur novel, yaitu tema, fakta cerita yang terdiri dari plot, tokoh
dan penokohan, latar, dan sarana sastra yang meliputi pusat pengisahan, gaya bahasa, nada,
serta ironi.
Plot novel Gadis Pantai adalah plot lurus. Plot lurus ini jika digambarkan melalui
skema berbentuk A – B – C – D – E. Melalui skema ini dapat diketahui bahwa cerita Gadis
Pantai diawali dengan tahap situation, kemudian generating circumstances, rising action,
climax, dan denouement. Kemudian teknik pengeplotan yang digunakan adalah conflict,
tegangan, dan pembayangan kembali.
Adapun melalui analisis tokoh dan penokohan dapat disimpulkan bahwa tokoh
utama dalam novel Gadis Pantai ini adalah Gadis Pantai dan Bendoro. Sedangkan tokoh
seperti Emak, Bapak, bujang pelayan tua Gadis Pantai, Mardinah, Mardikun, Kepala
Kampung, Mardi, dan Dul adalah tokoh tambahan.
Perwatakan tokoh terbagi menjadi tokoh bulat (round character), yaitu Gadis
Pantai dan Bendoro, dan tokoh datar (flat character), yaitu semua tokoh tambahan.
Perwatakan tokoh dilukiskan dengan teknik ekspositori dan teknik dramatik. Teknik
dramatik yang digunakan meliputi tingkah laku tokoh itu sendiri dan percakapan atau
pendapat tokoh lain.
Selanjutnya, latar. Untuk latar waktu dan tempat novel ini tidak dituliskan secara
jelas, namun bisa dilihat bahwa novel ini menceritakan kisah yang terjadi di Jawa pada
abad ke dua puluh karena di masa itu Indonesia masih dijajah oleh kolonial Belanda.
Sedangkan latar sosial yang digunakan mengacu pada kebiasaan atau pola pikir masyarakat
yang menganggap bahwa kedudukan para kaum pembesar (priyayi) lebih tinggi dari pada
rakyat jelata (para sahaya), sehingga para kaum jelata bisa diperlakukan dengan semena-
mena.
Sedangkan gaya bahasa dan nada dalam novel ini meliputi gaya bahasa retoris
seperti hiperbola, dan bahasa kiasan seperti personifikasi, metafora, simile, dan asosiasi,
serta menggunakan kata-kata dalam kosakata bahasa Jawa dan pepatah, meski tidak begitu
mendominasi dalam konstruksi cerita. Sedangkan nada yang digunakan adalah nada
bingung, takut, dan sedih. Pemakaian ironi dramatik dan ironi verbal juga terdapat dalam
novel Gadis Pantai, seperti harapan bahwa Gadis Pantai akan memiliki kehidupan bahagia
setelah menikahi Bendoro, namun malah berakhir sebaliknya.
Di dalam pembahasan mengenai hubungan antar unsur yang terdapat dalam novel
Gadis Pantai disimpulkan sebagai berikut:
Ketiga, hubungan tema dengan latar. Tema yang dipilih menuntut latar yang sesuai
dan mampu mendukung tema. Tema novel Gadis Pantai ini memiliki latar sosial yang pola
pikir masyarakatnya selalu menjunjung tinggi para kaum pembesar dan meremehkan
rakyat jelata (para sahaya).
Keempat, hubungan plot dengan tokoh dan penokohan. Tokoh-tokoh utama yang
menghadapi plot membuat cerita tetap bergulir hingga akhir. Hal ini juga didukung oleh
perwatakan bulat dari tokoh-tokoh utamanya, yaitu Gadis Pantai dan Bendoro yang
membuat cerita ini mencapai sebuah klimaks sebagai puncak peristiwa.
Keenam, hubungan tokoh dan penokohan dengan latar dapat dilihat dengan jelas
karena latar sosial dari novel ini menjadi permasalahan utama dalam cerita. Masalah yang
dihadapi Gadis Pantai adalah karena pola pikir masyarakatnya yang menjunjung tinggi
para kaum pembesar dan meremehkan rakyat jelata, dan hal ini terjadi karena adanya
kesenjangan status sosial.
Sinopsis
Gadis Pantai lahir dan tumbuh di sebuah kampung nelayan di Jawa Tengah, Kabupaten
Rembang. Seorang gadis yang manis. Cukup manis untuk memikat hati seorang pembesar
santri setempat; seorang Jawa yang bekerja pada (administrasi) Belanda. Dia diambil
menjadi gundik pembesar tersebut dan menjadi Mas Nganten: perempuan yang melayani
“kebutuhan” seks pembesar sampai kemudian pembesar itu memutuskan untuk menikah
dengan perempuan yang sekelas atau sederajat dengannya.
Mulanya, perkawinan itu memberi prestise bagibya di kampung halamannya karena dia
dipandang telah menaikkan derajatnya, menjadi Bendoro Putri. Tapi itu tidak berlangsung
lama. Ia terperosok kembali ke tanah. Orang Jawa yang telah memilikinya, tega
membuangnya setelah dia melahirkan seorang bayi perempuan.
Daftar Pustaka
Ririe Rengganis. 2023. Menilik Prosa Studi Kasus Karya Nh. Dini. Penerbit Pelangi Sastra