Anda di halaman 1dari 28

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. S

No. RM : 00385721

Umur : 74 tahun

Jenis kelamin : Laki-laki

Status pernikahan : Menikah

Pekerjaan : Tidak Bekerja

Alamat : Kp. Cinangsi

Bangsa : WNI

Agama : Islam

Suku Banga : Sunda

Tanggal masuk RS : 12 Maret 2021 pukul 10.00 WIB

I. ANAMNESIS
Dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis (istri pasien) pada tanggal
12 Maret 2021 jam 10.00

Keluhan Utama
Pasien datang ke UGD RSUD Bayu Asih dengan keluhan utama sesak sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit.

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke UGD RSUD Bayu Asih dengan keluhan utama sesak sejak 2
hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak dirasakan setiap saat. Pasien juga
mengeluhkan adanya batuk sejak sebulan yang lalu. Batuk berdahak berwarna
putih. Bila batuk terus-menerus dadanya sesak dan perutnya sampai sakit. Pasien
juga mengeluh demam dirasakan suhu nya naik turun dan munculnya tidak
menentu. Ketika demam sering disertai menggigil. Pasien mengaku tidak
mengukur suhu dengan thermometer, hanya diraba tangan saja. Pasien hanya

1
mengobati demam nya dengan obat warung. Pasien juga mengeluh BAB hitam
sejak 3 hari. BAB hitam seperti aspal bercampur ampas. Pasien merasa mual
tetapi muntah disangkal pasien. Pasien sering minum obat nyeri tiap pegal pegal
yang dibeli sendiri di apotik. Pasien lupa nama obatnya.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak mempunyai riwayat kencing manis dan hipertensi. Pasien juga
tidak pernah mempunyai riwayat sakit TB paru. Riwayat alergi terhadap makanan
dan obat-obatan disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada riwayat kencing manis, asthma, dan keganasan pada keluarga
pasien. Keluarga pasien tidak ada yang mempunyai keluhan yang sama dengan
pasien. Tetangga pasien ada yang mengalami flek paru dan sesekali mengobrol
dengan pasien saat bertemu didepan rumah.

Riwayat Pengobatan

Pasien biasa megkonsumsi obat-obatan yang dibeli sendiri diapotik saat ada
keluhan seperti pegal pegal. Pasien sering minum obat nyeri tp tdk tau nama
obatnya. Setiap nyeri pasien minum 2 tablet. Pasien belum berobat utk sesak dan
batuknya.

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 121/80 mmHg
Nadi : 91 x/menit
Suhu : 36,6º C
Pernapasan : 24x/menit
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 58 kg
Kesan Gizi : normal (BMI = 20,07)
Sianosis : (-)
Ikterik : (-)

2
Oedema anasarka : (-)
Habitus : astenikus
Mobilitas (aktif/pasif) : aktif

Status generalis:
• Kepala :
• Rambut: Mudah rontok (-), persebaran tidak merata (-), warna kusam (-)
• Mata : CA +/+, SI -/-
• Mulut : mukosa eritema
• Leher : KGB tidak teraba membesar
• Thorax : Cor S1S2 murni reguler, murmur (-)
Pulmo vesikular kiri = kanan, rhonchi basal +/+, wheezing -/-
• Abdomen : Cembung, Bising usus (+), Nyeri tekan epigastrium dan
hipokodrium sinistra (+), Hepar dan lien tidak teraba membesar
• Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2”, pitting edema -/-

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


I. Pemeriksaan Laboratorium
 Hematologi

PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI


RUJUKAN

HEMATOLOGI

Hb 10,1 g/dL 12.3 – 15.3

Ht 29,8 % 36 – 46

Leukosit 11,3 10^3 /µl 4.4 – 11.3

Eritrosit 3,65 10^6 /µl 3.8 – 4.8

Trombosit 584 10^3 /µl 177 – 393

MCV 82 fL 80 – 95

MCH 27.7 pg 27 – 31

MCHC 33.9 g/dl 32 – 36

HItung Jenis

Basofil 0 % 0-1

3
Eosinofil 1 % 2-4

Batang 0 % 3-5

Segmen 75 % 50-70

Limfosit 10 % 25-40

Monosit 14 % 2-8

KIMIA DARAH

Gula Darah 102 mg/dL < 140


Sewaktu

Ureum 80 mg/dL 10-50

Creatinin 1,63 Mg/dl 0,6-1,2


SGOT 39 u/L 37°C<37
SGPT 40 u/L 37°C<40
Na 139 Mmol/L 135-145
K 4,9 Mmol/L 3,5-5,5
CL 108 Mmol/L 96-106

II. EKG

Kesan : sinus takikardi reguler

Rontagen

4
Jenis : Foto Thoraks PA
Deskripsi : COR tidak membesar
Sinus dan diagfragma kanan terselubung
Sinus dan diagfragma kiri normal
Pulmo : hili normal corakan paru bertambah
Tampak perselubungan opak dan infiltrat di paru kanan
Kesan : Efusi Pleura Dextra dengan KP aktif

III. DIAGNOSIS KERJA

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang selama


dirawat, diagnosis kerja pada pasien ini adalah Efusi Pleura hemithoraks dextra
ec Tb Paru dan anemia normositik normokrom ec melena ec PSMBA.

IV. TATALAKSANA IGD


- Rawat inap isolasi kenanga
- O2 nasal kanul 3lpm
- IVFD RL 20tpm
- Ceftriaxon 2x1 gr
- Pantoprazol 1x40mg
- Kalnex 3x500mg
- Sucralfat 3x2cth
- NAC 3x200mg

5
V. RESUME
Dari hasil pemeriksaan fisik, pasien tampak sakit sedang. Pasien tampak agak
sesak dengan RR 24x/menit. Konjungtiva pasien anemis.
Pada hasil pemeriksaan darah lengkap, kadar Hb pasien adalah 10,1 yang
mengindikasikan adanya anemia dan terdapat juga leukositosis. Pada pemeriksaan
kimia darah didapatkan sedikit peningkatan ureum dan creatinin yang
mengindikasikan adanya AKI. Pada pemeriksaan Rontgen tampak sinus dan
diagfragma kanan terselubung, corakan paru bertambah dan perselubungan opak
dan infiltrat di paru kanan
Jadi, diagnosa kerja pada Tn.S adalah Efusi Pleura Dextra ec suspek Tb Paru,
anemia normositik normokrom ec PSMBA dan AKI

VI. FOLLOW UP

Tanggal S O A P
9/01/2014 Batuk kering KU : sedang Demam Tifoid Asering/ 8jam
Kesadaran : CM Anemia DMP 3x2
TTV : PCT 3x1
BP 150/90 mmHg Imboost F 2x1
HR 110x/mnt Ceftriaxon 1x2
RR : 26x/mnt Pumpisel 1x1
T : 36.8
SpO2 : 98%
Kepala : Mata CA +/+
SI -/-
Leher : pembesaran
KGB (-)
Thorax : pulmo Rh
basal +/+,
Wh -/-, VBS +/+
Cor BJM S1-S2 regular
Abdomen : cembung,
BU (+)

6
normal, Nyeri Tekan
(-),
Ascites (+)
Extremitas : akral
hangat,
CRT <2”, edema
tungkai
bilateral (pitting edema)
10/01/2014 Batuk kering TD : 120/80 Demam Tifoid Asering/ 8 jam
Sesak nafas N : 80x/min ISPA Levopron Syr
Nyeri perut kanan S : 35,4 °C 3x1C
atas RR : 20x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Lab 09/01/2014 Ceftriaxon 1x2
Kimia Klinik Hati Pumpisel 1x1
SGPT : 57
11/01/2014 Batuk kering TD : 120/80 Demam Tifoid Asering/8jam
Sesak bertambah, N : 96x/min Suspek TBC Levopron Syr
Nyeri perut kanan S : 37 °C 3x1C
atas berkurang RR : 20x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Foto Thorax 09/01/2014 Ceftriaxon 1x2
- KP Pumpisel 1x1
- Pleuropnemonia
dextra

12/01/2014 Batuk dan sesak TD : 140/90 Demam Tifoid Asering/ 8 jam


N : 84x/min Anemia Levopron Syr
S : 36,3 °C Suspek TBC 3x1C
RR : 24x/min DMP 3x2
Imboost F 2x1
Lab 11/01/2014 Ceftriaxon 1x2
L : 10.8 ribu/uL Pumpisel 1x1
Hb : 8,9 g/dL

7
Ht : 29 %
Trombosit : 521 ribu/uL

13/01/2014 Batuk dan sesak TD : 120/90 Demam Tifoid Transfusi PRC


bila berbicara N : 78x/min Anemia 500 cc
terlalu banyak S : 36,5 °C Suspek TBC BK III 3x1
RR : 20x/min Ambroxol Syr
3x1
Cefixin 2x500
Lasal 3x1/2C
RMD:Aminoflui
d + Lasal
2cc/8jam
14/01/2014 Batuk dan sesak TD : 130/80 Demam Tifoid Aminofluid : RD
bertambah N : 78x/min Anemia + Lasal 2cc/8jam
S : 36 °C Efusi Pleura
RR : 20x/min incapsulated ec
Suspek TBC
Lab 13/01/2014
Hb : 8.9 g/dL
Ht : 28 %
Trombosit : 524ribu/uL

Foto Thorax 13/01/2014


Kesan : penebalan
pleura di anterior kanan
½ basal hemithorax
Infiltrat di apex Pulmo

15/01/2014 Batuk kering dan TD : 120/70 Demam Tifoid Maltofes 1x1


sesak nafas N : 84x/min Anemia def Fe Hepa Q 2x1
S : 36 °C Efusi Pleura Aminofluid : RD
RR : 20x/min incapsulated ec + Lasal 2cc/8jam

8
Suspek TBC
Lab 14/01/2014
L : 11.3 ribu/uL
Hb : 10,6 g/uL
Ht : 34 %
T : 525 ribu/uL

SADT 14/01/2014
Anemia mikrositik
hipokrom
defisiensi FE atau
hemoglobinopathi

16/01/2104 Batuk, sesak TD : 130/80 Demam Tifoid Aminofluid : RD


nafas belum ada N : 96x/min Anemia def Fe + Lasal 2cc/8jam
perbaikan S : 35 °C Efusi Pleura
RR : 24x/min incapsulated ec
Suspek TBC
Lab 15/01/2014
Kimia klinik hati
SGOT : 28
SGPT : 41

17/01/2014 Batuk mengalami TD : 130/90 Demam Tifoid Pungsi Pleura


perbaikan, Sesak N : 96x/min Anemia def Fe Rif 1x450
nafas berkurang S : 36 °C Efusi Pleura INH 1x 300
RR : 18x/min incapsulated ec ETB 2x500
Suspek TBC Pirazinamid
2x500
Bloc 2x1
18/01/2014 Batuk berkurang TD : 120/80 Demam Tifoid Rif 1x450
dan sesak nafas N : 84x/min Anemia def Fe INH 1x 300
mengalami S : 36,2 °C Efusi Pleura ETB 2x500
perbaikan RR : 18x/min incapsulated ec Pirazinamid

9
Analisis cairan pleura Suspek TBC 2x500
Kejernihan : Keruh Bloc 2x1

VII. PENATALAKSANAAN

Pada dasarnya pengobatan efusi pleura tuberkulosis sama dengan efusi pleura pada
umumnya, yaitu dengan melakukan torakosentesis (mengeluarkan cairan pleura) agar keluhan
sesak penderita menjadi berkurang, terutama untuk efusi pleura yang berisi penuh. Beberapa
peneliti tidak melakukan torakosentesis bila jumlah efusi sedikit, asalkan terapi obat anti
tuberkulosis diberikan secara adekuat.
Torakosentesis biasanya dilakukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pada prosedur
juga bisa dikeluarkan cairan sebanyak 1,5 liter. Jika jumlah cairan yang harus dikeluarkan
lebih banyak, maka dimasukkan sebuah selang melalui dinding thoraks.

Pengobatan dengan obat-obat antituberkulosis (Rimfapisin, INH,


Pirazinamid/Etambutol/Streptomisin) memakan waktu 6-12 bulan. Dosis dan cara pemberian
obat seperti pada pengobatan tuberkulosis paru. Pengobatan ini menyebabkan cairan efusi
dapat diserap kembali, tapi untuk menghilangkan eksudat ini dengan cepat dapat dilakukan
torakosentesis. Umumnya cairan diresolusi dengan sempurna, tapi kadang-kdang dapat
diberikan kortikosteroid secara sistematik (Prednison 1 mg/kgBB selama 2 minggu,
kemudian dosis diturunkan).

Pengobatan pada pasien :

Non medika mentosa

- Torakosentesis
- KIE
Medika mentosa
- Rif 1x450
- INH 1x 300
- ETB 2x500
- Pirazinamid 2x500
VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam

10
Ad Sanantionam : dubia ad bonam
Ad Fungsionam : dubia ad bonam

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. ANATOMI FISIOLOGI PLEURA


Pleura adalah membran serosa yang licin, mengkilat, tipis dan transparan. Membran ini
membungkus jaringan paru. Pleura terdiri dari 2 lapis:

1. Pleura viseralis: terletak disebelah dalam, yang melekat pada permukaan paru.
2. Pleura parietalis: terletak disebelah luar, yang berhubungan dengan dinding dada.

11
Pleura parietalis dan viseralis terdiri atas selapis mesotel  (yang memproduksi cairan),
membran basalis, jaringan elastik dan kolagen, pembuluh darah dan limfe.

Membran pleura bersifat semipermiabel. Sejumlah cairan terus menerus merembes


keluar dari pembuluh darah yang melalui pleura parietal. Cairan ini diserap oleh
pembuluh darah pleura viseralis, dialirkan ke pembuluh limfe dan kembali kedarah.

Rongga pleura adalah rongga potensial, mempunyai ukuran tebal 10-20 mm, berisi
sekitar 10 cc cairan jernih yang tidak bewarna, mengandung protein < 1,5 gr/dl
dan ± 1.500 sel/ml. Sel cairan pleura didominasi oleh monosit, sejumlah kecil limfosit,
makrofag dan sel mesotel. Sel polimormonuklear dan sel darah merah dijumpai dalam
jumlah yang sangat kecil didalam cairan pleura.

Keluar dan masuknya cairan dari dan ke pleura harus berjalan seimbang agar nilai
normal cairan pleura dapat dipertahankan

2.2. DEFINISI

12
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam
kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat
atau cairan eksudat. Pada keadaan normal rongga pleura hanya mengandung cairan
sebanyak 10-20 ml.

2.3. ETIOLOGI
Ada banyak macam penyebab terjadinya pengumpulan cairan pleura. Tahap yang
pertama adalah menentukan apakah pasien menderita efusi pleura jenis transudat atau
eksudat.

Efusi pleura transudatif terjadi jika faktor sistemik yang mempengaruhi pembentukan
dan penyerapan cairan pleura mengalami perubahan. Efusi pleura eksudatif terjadi jika
faktor lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura mengalami
perubahan. Efusi pleura tipe transudatif dibedakan dengan eksudatif melalui pengukuran
kadar Laktat Dehidrogenase (LDH) dan protein di dalam cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif memenuhi paling tidak salah satu dari tiga kriteria berikut ini, sementara efusi
pleura transudatif tidak memenuhi satu pun dari tiga kriteria ini :

1.   Protein cairan pleura / protein serum > 0,5

2.   LDH cairan pleura / cairan serum > 0,6

3.   LDH cairan pleura melebihi dua per tiga dari batas atas nilai LDH yang normal di
dalam serum.

Tabel 1. Perbedaan Cairan Transudat-Eksudat Pada Efusi Pleura

13
Efusi pleura berupa:

a) Eksudat,
Eksudat merupakan cairan yang terbentuk melalui membrane kapiler yang permeabelnya
abnormal dan berisi protein berkonsentrasi tinggi dibandingkan protein transudat. Terjadinya
perubahan permeabilitas membrane adalah karena adanya peradangan pada pleura. Protein
yang terdapat dalam cairan pleura kebanyakan berasal dari saluran getah bening. Kegagalan
aliran protein getah bening ini (misalnya pada pleuritis tuberkulosis) akan menyebabkan
peningkatan konsentrasi protein cairan pleura, sehingga menimbulkan eksudat. Efusi pleura
eksudat dapat disebabkan oleh :

1.   Pleuritis karena virus dan mikoplasma : virus coxsackie, Rickettsia, Chlamydia. Cairan
efusi biasanya eksudat dan berisi leukosit antara 100-6000/cc. Gejala penyakit dapat
dengan keluhan sakit kepala, demam, malaise, mialgia, sakit dada, sakit perut, gejala
perikarditis. Diagnosa dapat dilakukan dengan cara mendeteksi antibodi terhadap virus
dalam cairan efusi.

2.   Pleuritis karena bakteri piogenik: permukaan pleura dapat ditempeli oleh bakteri yang
berasal dari jaringan parenkim paru dan menjalar secara hematogen. Bakteri penyebab
dapat merupakan bakteri aerob maupun anaerob (Streptococcus paeumonie,
Staphylococcus aureus, Pseudomonas, Hemophillus, E. Coli, Pseudomonas, Bakteriodes,
Fusobakterium, dan lain-lain). Penatalaksanaan dilakukan dengan pemberian antibotika
ampicillin dan metronidazol serta mengalirkan cairan infus yang terinfeksi keluar dari
rongga pleura.

3.   Pleuritis karena fungi penyebabnya: Aktinomikosis, Aspergillus, Kriptococcus, dll. Efusi


timbul karena reaksi hipersensitivitas lambat terhadap organisme fungi.

14
4.   Pleuritis tuberkulosa merupakan komplikasi yang paling banyak terjadi melalui focus
subpleural yang robek atau melalui aliran getah bening, dapat juga secara hematogen dan
menimbulkan efusi pleura bilateral. Timbulnya cairan efusi disebabkan oleh rupturnya
focus subpleural dari jaringan nekrosis perkijuan, sehingga tuberkuloprotein yang ada
didalamnya masuk ke rongga pleura, menimbukan reaksi hipersensitivitas tipe lambat.
Efusi yang disebabkan oleh TBC biasanya unilateral pada hemithoraks dan jarang yang
masif. Pada pasien pleuritis tuberculosis ditemukan gejala febris, penurunan berat badan,
dyspneu, dan nyeri dada pleuritik.

5.   Efusi pleura karena neoplasma misalnya pada tumor primer pada paru-paru, mammae,
kelenjar linife, gaster, ovarium. Efusi pleura terjadi bilateral dengan ukuran jantung yang
tidak membesar. Keluhan yang paling banyak ditemukan adalah sesak dan nyeri dada.
Gejala lain adalah akumulasi cairannya kembali dengan cepat walaupun dilakukan
torakosintesis berkali-kali. Patofisiologi terjadinya efusi ini diduga karena :

 Infasi tumor ke pleura, yang merangsang reaksi inflamasi dan terjadi kebocoran
kapiler.
 Invasi tumor ke kelenjar limfe paru-paru dan jaringan limfe pleura,
bronkhopulmonary, hillus atau mediastinum, menyebabkan gangguan aliran balik
sirkulasi.
 Obstruksi bronkus, menyebabkan peningkatan tekanan-tekanan negatif intra
pleural, sehingga menyebabkan transudasi. Cairan pleura yang ditemukan berupa
eksudat dan kadar glukosa dalam cairan pleura tersebut mungkin menurun jika
beban tumor dalam cairan pleura cukup tinggi. Diagnosis dibuat melalui
pemeriksaan sitologik cairan pleura dan tindakan blopsi pleura yang menggunakan
jarum (needle biopsy).
6.   Efusi parapneumoni adalah efusi pleura yang menyertai pneumonia bakteri, abses paru
atau bronkiektasis. Khas dari penyakit ini adalah dijumpai predominan sel-sel PMN dan
pada beberapa penderita cairannya berwarna purulen (empiema). Meskipun pada
beberapa kasus efusi parapneumonik ini dapat diresorpsis oleh antibiotik, namun
drainage kadang diperlukan pada empiema dan efusi pleura yang terlokalisir. Menurut
Light, terdapat 4 indikasi untuk dilakukannya tube thoracostomy pada pasien dengan
efusi parapneumonik:

 Adanya pus yang terlihat secara makroskopik di dalam kavum pleura

15
 Mikroorganisme terlihat dengan pewarnaan gram pada cairan pleura
 Kadar glukosa cairan pleura kurang dari 50 mg/dl
 Nilai pH cairan pleura dibawah 7,00 dan 0,15 unit lebih rendah daripada nilai pH
bakteri
Penanganan keadaan ini tidak boleh terlambat karena efusi parapneumonik yang
mengalir bebas dapat berkumpul hanya dalam waktu beberapa jam saja.

7.   Efusi pleura karena penyakit kolagen: SLE, Pleuritis Rheumatoid, Skleroderma

8.   Penyakit AIDS, pada sarkoma kapoksi yang diikuti oleh efusi parapneumonik.

b). Transudat
Transudat terjadi apabila hubungan normal antara tekanan kapiler hidrostatik dan koloid
osmotic menjadi terganggu, sehingga terbentuknya cairan pada satu sisi pleura akan melebihi
reabsorpsi oleh pleura lainnya. Biasanya hal ini terjadi pada: (1). Meningkatnya tekanan
kapiler sistemik, (2). Meningkatnya tekanan kapiler pulmoner, (3) Menurunnya tekanan
koloid osmotic dalam pleura, (4) Menurunnya tekanan intra pleura. Efusi plura transudat
dapat terjadi pada :

1.   Gangguan kardiovaskular

Penyebab terbanyak adalah decompensatio cordis. Sedangkan penyebab lainnya adalah


perikarditis konstriktiva, dan sindroma vena kava superior. Patogenesisnya adalah akibat
terjadinya peningkatan tekanan vena sistemik dan tekanan kapiler dinding dada sehingga
terjadi peningkatan filtrasi pada pleura parietalis. Di samping itu peningkatan tekanan
kapiler pulmonal akan menurunkan kapasitas reabsorpsi pembuluh darah subpleura dan
aliran getah bening juga akan menurun (terhalang) sehingga filtrasi cairan ke rongga
pleura dan paru-paru meningkat. Tekanan hidrostatik yang meningkat pada seluruh
rongga dada dapat juga menyebabkan efusi pleura yang bilateral. Tapi yang agak sulit
menerangkan adalah kenapa efusi pleuranya lebih sering terjadi pada sisi kanan. Terapi
ditujukan pada payah jantungnya. Bila kelainan jantungnya teratasi dengan istirahat,
digitalis, diuretik dll, efusi pleura juga segera menghilang. Kadang-kadang torakosentesis
diperlukan juga bila penderita amat sesak.

2.   Hipoalbuminemia

16
Efusi terjadi karena rendahnya tekanan osmotik protein cairan pleura dibandingkan
dengan tekanan osmotik darah. Efusi yang terjadi kebanyakan bilateral dan cairan bersifat
transudat. Pengobatan adalah dengan memberikan diuretik dan restriksi pemberian garam.
Tapi pengobatan yang terbaik adalah dengan memberikan infus albumin.

3.   Hidrothoraks hepatik

Mekanisme yang utama adalah gerakan langsung cairan pleura melalui lubang kecil yang
ada pada diafragma ke dalam rongga pleura. Efusi biasanya di sisi kanan dan biasanya
cukup besar untuk menimbulkan dyspneu berat. Apabila penatalaksanaan medis tidak
dapat mengontrol asites dan efusi, tidak ada alternatif yang baik. Pertimbangan tindakan
yang dapat dilakukan adalah pemasangan pintas peritoneum-venosa (peritoneal venous
shunt, torakotomi) dengan perbaikan terhadap kebocoran melalui bedah, atau torakotomi
pipa dengan suntikan agen yang menyebakan skelorasis.

4.   Meig’s Syndrom

Sindrom ini ditandai oleh ascites dan efusi pleura pada penderita-penderita dengan tumor
ovarium jinak dan solid. Tumor lain yang dapat menimbulkan sindrom serupa : tumor
ovarium kistik, fibromyomatoma dari uterus, tumor ovarium ganas yang berderajat
rendah tanpa adanya metastasis. Asites timbul karena sekresi cairan yang banyak oleh
tumornya dimana efusi pleuranya terjadi karena cairan asites yang masuk ke pleura
melalui porus di diafragma. Klinisnya merupakan penyakit kronis.

5.   Dialisis Peritoneal

Efusi dapat terjadi selama dan sesudah dialisis peritoneal. Efusi terjadi unilateral ataupun
bilateral. Perpindahan cairan dialisa dari rongga peritoneal ke rongga pleura terjadi
melalui celah diafragma. Hal ini terbukti dengan samanya komposisi antara cairan pleura
dengan cairan dialisa.

Tabel 2. Penyebab Efusi Pleura Transudat-Eksudat

17
c). Darah

Adanya darah dalam cairan rongga pleura disebut hemothoraks. Kadar Hb pada
hemothoraks selalu lebih besar 25% kadar Hb dalam darah. Darah hemothorak yang baru
diaspirasi tidak membeku beberapa menit. Hal ini mungkin karena faktor koagulasi sudah
terpakai sedangkan fibrinnya diambil oleh permukaan pleura. Bila darah aspirasi segera
membeku, maka biasanya darah tersebut berasal dari trauma dinding dada.

2.4. PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat 10-20 ml cairan dalam rongga pleura berfungsi
untuk melicinkan kedua pleura viseralis dan pleura parietalis yang saling bergerak karena
pernapasan. Dalam keadaan normal juga selalu terjadi filtrasi cairan ke dalam rongga pleura

18
melalui kapiler pleura parietalis dan diabsorpsi oleh kapiler dan saluran limfe pleura parietalis
dengan kecepatan yang seimbang dengan kecepatan pembentukannya.

Gangguan yang menyangkut proses penyerapan dan bertambahnya kecepatan proses


pembentukan cairan pleura akan menimbulkan penimbunan cairan secara patologik di dalam
rongga pleura. Mekanisme yang berhubungan dengan terjadinya efusi pleura yaitu;

1). Kenaikan tekanan hidrostatik dan penurunan tekan onkotik pada sirkulasi kapiler

2). Penurunan tekanan kavum pleura

3). Kenaikan permeabilitas kapiler dan penurunan aliran limfe dari rongga pleura.

Gambar 1. Patofisiologi efusi pleura

Proses penumpukan cairan dalam rongga pleura dapat disebabkan oleh peradangan. Bila
proses radang oleh kuman piogenik akan terbentuk pus/nanah, sehingga empiema/piotoraks.
Bila proses ini mengenai pembuluh darah sekitar pleura dapat menyebabkan hemothoraks.
Proses terjadinya pneumothoraks karena pecahnya alveoli dekat parietalis sehingga udara

19
akan masuk ke dalam rongga pleura. Proses ini sering disebabkan oleh trauma dada atau
alveoli pada daerah tersebut yang kurang elastik lagi seperti pada pasien emfisema paru.

Efusi cairan dapat berbentuk transudat, terjadinya karena penyakit lain bukan primer paru
seperti gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindrom nefrotik, dialisis peritoneum.
Hipoalbuminemia oleh berbagai keadaan. Perikarditis konstriktiva, keganasan, atelektasis
paru dan pneumothoraks.

Efusi eksudat terjadi bila ada proses peradangan yang menyebabkan permeabilitas kapiler
pembuluh darah pleura meningkat sehingga sel mesotelial berubah menjadi bulat atau
kuboidal dan terjadi pengeluaran cairan ke dalam rongga pleura. Penyebab pleuritis
eksudativa yang paling sering adalah karena mikobakterium tuberculosis dan dikenal sebagai
pleuritis eksudativa tuberkulosa .Penting untuk menggolongkan efusi pleura sebagai
transudatif atau eksudatif.

2.5. MANIFESTASI KLINIS


a. Gejala dan Tanda.
Gejala-gejala timbul jika cairan bersifat inflamatoris atau jika mekanika paru
terganggu. Gejala yang paling sering timbul adalah sesak, berupa rasa penuh dalam
dada atau dispneu. Nyeri bisa timbul akibat efusi yang banyak, berupa nyeri dada
pleuritik atau nyeri tumpul. Adanya gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam,
menggigil, dan nyeri dada pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril
(tuberkulosisi), banyak keringat, batuk, banyak riak. Berat badan menurun pada
neoplasma, ascites pada sirosis hepatis. Deviasi trachea menjauhi tempat yang sakit
dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan pleural yang signifikan

b. Pemeriksaan Fisik.
 Inspeksi. Pengembangan paru menurun, tampak sakit, tampak lebih cembung
 Palpasi. Gerakan dada yang tertinggal dan penurunan fremitus vocal atau taktil
pada sisi yang sakit
 Perkusi. Redup pada perkusi
 Auskultasi. Penurunan bunyi napas
Jika terjadi inflamasi, maka dapat terjadi friction rub. Apabila terjadi atelektasis
kompresif (kolaps paru parsial) dapat menyebabkan bunyi napas bronkus. Nyeri dada
pada pleuritis : Simptom yang dominan adalah sakit yang tiba-tiba seperti ditikam dan

20
diperberat oleh bernafas dalam atau batuk. Pleura visceralis tidak sensitif, nyeri
dihasilkan dari pleura parietalis yang inflamasi dan mendapat persarafan dari
nervus intercostal. Nyeri biasanya dirasakan pada tempat-tempat terjadinya pleuritis, tapi
bisa menjalar ke daerah lain :

1.   Iritasi dari diafragma pleura posterior dan perifer yang dipersarafi oleh G. Nervuis
intercostal terbawah bisa menyebabkan nyeri pada dada dan abdomen.

2.   Iritasi bagian central diafragma pleura yang dipersarafi nervus phrenicus


menyebabkan nyeri menjalar ke daerah leher dan bahu.

Pemeriksaan fisik dalam keadaan berbaring dan duduk akan berlainan, karena cairan
akan berpindah tempat. Bagian yang sakit akan kurang bergerak dalam pernapasan,
fremitus melemah (raba dan vocal), pada perkusi didapati daerah pekak, dalam keadaan
duduk permukaan cairan membentuk garis melengkung (garis Ellis Damoiseu).
Didapati segitiga Garland, yaitu daerah yang pada perkusi redup timpani dibagian atas
garis Ellis Domiseu. Segitiga Grocco-Rochfusz, yaitu daerah pekak karena cairan
mendorong mediastinum kesisi lain, pada auskultasi daerah ini didapati vesikuler
melemah dengan ronki. Pada permulaan dan akhir penyakit terdengar krepitasi pleura.

c. Pemeriksaan Penunjang

1. Foto thoraks
Pada foto dada posterior anterior (PA) permukaan cairan yang terdapat dalam rongga
pleura akan membentuk bayangan seperti kurva, dengan permukaan daerah lateral
lebih tinggi dari pada bagian medial, tampak sudut kostrofrenikus menumpul. Pada
pemeriksaan foto dada posisi lateral dekubitus, cairan bebas akan mengikuti posisi
gravitasi.

21
2. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura (torakosentesis) sebagai sarana diagnostik maupun terapeutik.
Pelaksanaannya sebaiknya dengan posisi duduk. Aspirasi dilakukan pada bagian
bawah paru sela iga garis aksilaris posterior dengan jarum abbocath nomor 14 atau 16.
Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap aspirasi.
Untuk diagnosis cairan pleura dilakukan pemeriksaan:

a. Warna cairan. Cairan pleura bewarna agak kekuning-kuningan (serous-


santrokom).Bila agak kemerahan-merahan, dapat terjadi trauma, infark paru,
keganasan dan adanya kebocoran aneurisma aorta. Bila kunig kehijauan dan agak
purulen, ini menunjukkan empiema. Bila merah coklat menunjukkan abses karena
amuba.
b. Biokimia. Terbagi atas efusi pleura transudat dan eksudat. Perbedaannya dapat dilihat
pada tabel :
Tabel 3. Perbedaan Biokimia Efusi Pleura

22
3. Sitologi.
Digunakan untuk diagnostik penyakit pleura, terutama bila ditemukan sel-sel patologis
atau dominasi sel-sel tertentu.
 Sel neutrofil: pada infeksi akut
 Sel limfosit: pada infeksi kronik (pleuritis tuberkulosa atau limfoma maligna).
 Sel mesotel: bila meningkat pada infark paru
 Sel mesotel maligna: pada mesotelioma
 Sel giant: pada arthritis rheumatoid
 Sel L.E: pada lupus eritematous sistemik
 Sel maligna: pada paru/metastase.

4. Bakteriologi.
Cairan pleura umumnya steril, bila cairan purulen dapat mengandung mikroorganisme
berupa kuman aerob atau anaerob. Paling sering Pneumokokus, E.coli, klebsiela,
pseudomonas, enterobacter.

5. Biopsi Pleura.
Dapat menunjukkan 50%-75% diagnosis kasus pleuritis tuberkulosis dan tumor pleura.
Komplikasi biopsi adalah pneumotoraks, hemotoraks, penyebaran infeksi atau tumor
pada dinding dada.

2.6. DIAGNOSA
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis baik dan pemeriksaan fisik yang teliti,
diagnosis pasti ditegakkan melalui pungsi percobaan, biopsi dan analisa cairan pleura.

23
2.7. PENATALAKSANAAN
1. Terapi penyakit dasarnya (Antibiotika).
2. Terapi Paliatif (Efusi pleura haemorhagic).
3. Torakosentesis.
Aspirasi cairan pleura selain bermanfaat untuk memastikan diagnosis, aspirasi juga
dapat dikerjakan dengan tujuan terapetik. Torakosentesis dapat dilakukan sebagai berikut:

a. Penderita dalam posisi duduk dengan kedua lengan merangkul atau diletakkan diatas
bantal; jika tidak mungkin duduk, aspirasi dapat dilakukan pada penderita dalam
posisi tidur terlentang.
b. Lokasi penusukan jarum dapat didasarkan pada hasil foto toraks, atau di daerah
sedikit medial dari ujung scapula, atau pada linea aksilaris media di bawah batas suara
sonor dan redup.
c. Setelah dilakukan anastesi secara memadai, dilakukan penusukan dengan jarum
berukuran besar, misalnya nomor 18. Kegagalan aspirasi biasanya disebabkan karena
penusukan jarum terlampaui rendah sehingga mengenai diafragma atau terlalu dalam
sehingga mengenai jaringan paru, atau jarum tidak mencapai rongga pleura oleh
karena jaringan subkutis atau pleura parietalis tebal.

24
Gambar Metode torakosentesis

d. Pengeluaran cairan pleura sebaiknya tidak melebihi 1000-1500 cc pada setiap


aspirasi. Aspirasi lebih baik dikerjakan berulang-ulang dari pada satu kali aspirasi
sekaligus yang dapat menimbulkan pleura shock (hipotensi) atau edema paru akut.
Edema paru dapat terjadi karena paru-paru mengembang terlalu cepat. Mekanisme
sebenarnya belum diketahui betul, tapi diperkirakan karena adanya tekanan intra
pleura yang tinggi dapat menyebabkan peningkatan aliran darah melalui permeabilitas
kapiler yang abnormal. Selain itu pengambilan cairan dalam jumlah besar secara
mendadak menimbulkan reflex vagal, berupa batuk, bradikardi, aritmi yang berat, dan
hipotensi.. Komplikasi torakosintesis adalah: pneumotoraks, hemotoraks, emboli
udara, dan laserasi pleura viseralis.
4. Pemasangan WSD.
Jika jumlah cairan cukup banyak, sebaiknya dipasang selang toraks dihubungkan
dengan WSD, sehingga cairan dapat dikeluarkan secara lambat dan aman.
Pemasangan WSD dilakukan sebagai berikut:
a. Tempat untuk memasukkan selang toraks biasanya di sela iga 7, 8, 9 linea aksilaris
media atau ruang sela iga 2 atau 3 linea medioklavikuralis.
b. Setelah dibersihkan dan dianastesi, dilakukan sayatan transversal selebar kurang
lebih 2 cm sampai subkutis.
c. dibuat satu jahitan matras untuk mengikat selang.
d. Jaringan subkutis dibebaskan secara tumpul dengan klem sampai mendapatkan
pleura parietalis.

25
e. Selang dan trokar dimasukkan ke dalam rongga pleura dan kemudian trokar ditarik.
Pancaran cairan diperlukan untuk memastikan posisi selang toraks.
f. Setelah posisi benar, selang dijepit dan luka kulit dijahit serta dibebat dengan kasa
dan plester.
g. Selang dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang
dihubungkan dengan botol penampung cairan pleura. Ujung selang diletakkan
dibawah permukaan air sedalam sekitar 2 cm, agar udara dari luar tidak dapat
masuk ke dalam rongga pleura.

Gambar Pemasangan jarum WSD


h. WSD perlu diawasi tiap hari dan jika sudah tidak terlihat undulasi pada selang,
kemungkinan cairan sudah habis dan jaringan paru mengembang. Untuk memastikan
dilakukan foto toraks.
i. Selang torak dapat dicabut jika produksi cairan/hari <100ml dan jaringan paru telah
mengembang. Selang dicabut pada saat ekspirasi maksimum.

5. Pleurodesis.
Bertujuan melekatkan pleura viseralis dengan pleura parietalis, merupakan penanganan
terpilih pada efusi pleura keganasan. Bahan yang digunakan adalah sitostatika seperti tiotepa,
bleomisin, nitrogen mustard, 5-fluorourasil, adramisin, dan doksorubisin. Setelah cairan efusi
dapat dikeluarkan sebanyak-banyaknya, obat sitostatika (misal; tiotepa 45 mg) diberikan
selang waktu 7-10 hari; pemberian obat tidak perlu pemasangan WSD. Setelah 13 hari, jika

26
berhasil, akan terjadi pleuritis obliteratif yang menghilangkan rongga pleura, sehingga
mencegah penimbunan kembali cairan dalam rongga tersebut.
Obat lain adalah tetrasiklin. Pada pemberian obat ini WSD harus dipasang dan paru
dalam keadaan mengembang. Tetrasiklin 500 mg dilarutkan dalam 3050 ml larutan garam
faal, kemudian dimasukkan ke dalam rongga pleura melalui selang toraks, ditambah dengan
larutan garam faal 1030 ml larutan garam faal untuk membilas selang, serta 10 ml lidokain
2% untuk mengurangi rasa nyeri yang ditimbulkan obat ini. Analgetik narkotik diberikan
11,5 jam sebelum pemberian tetrasiklin juga berguna mengurangi rasa nyeri tersebut. Selang
toraks diklem selama 6 jam dan posisi penderita diubah-ubah agar penyebaran tetrasiklin
merata di seluruh bagian rongga pleura. Apabila dalam waktu 24 jam -48 jam cairan tidak
keluar, selang toraks dapat dicabut. Komplikasi tindakan pleurodesis adalah sedikit sekali dan
biasanya berupa nyeri pleuritik atau demam.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Ewingsa. 2009. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/efusipleura.pdf pada tanggal 25 Januari

2014

2. Fauci, Braunwald, Kasper, et al. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th

edition. The McGraw-Hill Companies, Inc : New York. 2008

3. Guyton & Hall. 1999. buku Ajar Fisiologi Kedokteran disi 9. EGC. Jakarta.

4. Halim, Hadi. Penyakit Penyakit Pleura. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. 2007.

Balai Penerbit FK UI Jakarta.

5. Jeremy, et al. Efusi Pleura. At a Glance Medicine Edisi kedua. EMS. Jakarta : 2008.

6. Jeremy, et al. Penyakit Pleura. At a Glance Sistem respirasi Edisi kedua. EMS. Jakarta

: 2008.

7. Maryani. 2008. Efusi Pleura. Diakses dari

http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/pleura.pdf pada tanggal 25 Januari 2014

8. Prasenohadi. The Pleura. Universitas Indonesia. 2009.Rachmatullah, P. 1997. Seri

Ilmu Penyalit Dalam, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru (Pulmonologi), Semarang, Undip

28

Anda mungkin juga menyukai