Anda di halaman 1dari 6

PERTEMUAN 8

PENGARUH RUTE PEMBERIAN TERHADAP FARMAKOKINETIKA


SULFAMETOKSAZOL

A. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa dapat memahami mengenai farmakokinetik obat dengan
berbagai rute pemberian yang berbeda
2. Memahami perbedaan farmakokinetik dari sediaan per oral dibandingkan
dengan larutan injeksi intravena menggunakan data kadar dalam darah.

B. Dasar teori
Rute pemberian obat dibagi 2, yaitu enternal dan parenteral. Jalur
Enternal Jalur enteral berarti pemberian obat melalui saluran gastrointestinal
(GI), seperti pemberian obat melalui sublingual, bukal, rektal, dan oral.
Pemberian melalui oral merupakanjalur pemberianobat paling banyak
digunakankarena paling murah, paling mudah, dan paling aman. Kerugian
dari pemberian melalui jalur enternal adalah absorpsinya lambat, tidak dapat
diberikan pada pasien yang tidak sadar atau tidakdapat menelan. Kebanyakan
obat diberikan melalui jalur ini, selain alasan di atas jugaalasan kepraktisan
dan tidak menimbulkan rasa sakit. Bahkan dianjurkan jika obatdapat
diberikan melalui jalur ini dan untuk kepentingan emergensi (obat segera
berefek), obat harus diberikan secara enteral. (Priyanto, 2008).
Parenteral berarti tidak melalui enteral. Termasuk jalur parenteral
adalahtransdermal (topikal), injeksi, endotrakeal (pemberian obat ke dalam
trakeamenggunakan endotrakeal tube), dan inhalasi. Pemberian obat melalui
jalur ini dapatmenimbulkan efek sistemik atau lokal. Bioavailabilitas adalah
jumlah dan kecepatan obat yang diabsorpsi melalui jalur pemberian tertentu
masuk ke sirkulasi sistemik (Batubara, 2008). Untuk suatu dosis intravena
dari obat, bioavailabilitas adalah sama dengan satu (Holford, 1998), atau
dianggap 100% masuk ke dalam tubuh (Batubara, 2008). Untuk obat yang
diberikan peroral, bioavailabilitas dapat berkurang 100% karena absorpsi
yang tidak lengkap dan eliminasi first-pass (Holford, 1998).
Menurut (Mutschler, 1999), konsep bioavailabilitas pertama kali
diperkenalkan oleh Osser pada tahun 1945, yaitu pada waktu Osser
mempelajari absorpsi relatif sediaan vitamin. Istilah yang dipakai pertama
kali adalah availabilitas fisiologik, yang kemudian diperluas pengertiannya
dengan istilah bioavailabilitas. Dimulai di negara Amerika Serikat, barulah
pada tahun 1960 istilah bioavailabilitas masuk ke dalam arena promosi obat.
Hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya produk obat yang sama yang
diproduksi oleh berbagai industri obat, adanya keluhan dari pasien dan dokter
di man obat yang sama memberikan efek terapeutik yang berbeda, kemudian
dengan adanya ketentuan tidak diperbolehkannya Apotek mengganti obat
yang tertulis dalam resep dengan obat merek lainnya. Sebagai cabang ilmu
yang relatif baru, ditemukan berbagai definisi tentang bioavailabilitas dalam
berbagai literatur. Bagian yang esensial dalam konsep bioavailabilitas adalah
absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik. Ada 2 unsur penting dalam
absorpsi obat yang perlu dipertimbangkan, yaitu :
a. kecepatan absorpsi obat
b. jumlah obat yang diabsorpsi
Ke dua faktor ini sangat kritis dalam memperoleh efek terapeutik yang
diinginkan dengan toksisitas yang minimal. Atas dasar kedua faktor ini dapat
diperkirakan bagaimana seharusnya definisi tentang bioavailabilitas. Dua
definisi berikut ini merupakan definisi yang relative lebih sesuai dengan
kedua faktor di atas adalah:
Definisi 1: Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan
absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi secara utuh oleh
tubuh, dan masuk ke dalam sirkulasi sistemik.
Definisi 2 : Bioavailabilitas suatu sediaan obat merupakan ukuran kecepatan
absorpsi obat dan jumlah obat tersebut yang diabsorpsi.
Menurut (Shargel, 2005), parameter yang harus diperhatikan ketika
menggunakan data darah adalah sebagai berikut:
a. T maks
Waktu kadar plasma mencapai puncak dapat disamakan dengan waktu
yang diperlukan obat untuk mencapat kadar maksimum. Pada T maks
absorbsi adalah terbesar dan laju absorbsi sama dengan laju eliminasi
obat.
b. Cp maks
Kadar plasma puncak menunjukan kadar obat maksimum dalam darah
setelah pemberian obat secara oral. Cp maks memberi suatu petunjuk
bahwa obat cukup diabsoorbsi secara sistemik untuk memberikan respon
terapetik.
c. AUC
AUC adalah kadar obat dalam plasma terhadap waktu, yaitu suatu ukuran
dari jumlah bioavailabilitas suatu obat. Untuk mendapatkan data yang
benar dari parameter tersebut, maka data darah yang dipakai harus
memenuhi persyaratan yang ditentukan yaitu: Pengambilan darah harus
kontinyu selama paling sedikit tiga atau lebih baik lima kali dari waktu
paruh biologiknya Waktu pengambilan sampel harus menggambarkan tiga
titik fase absorbsi, fase puncak dan fase distribusi (untuk kompartemen
dua), serta fase eliminasi

C. Alat dan bahan


1. Alat
a. Kuvet
b. Peralatan gelas
c. Pipet ukur
d. Sentrifus
e. Spektrofotometer Uv-Vis
f. Dispossable syringe 1cc
g. vortex
2. Bahan
a. Sulfametoksazol
b. Mikrotube 1,5 mL
c. trichloroacetic acid 15%
d. Natrium nitrit 0,1%
e. Amonium Sulfamat 0,5%
f. N (naftil) etilen diamin dihidroklorida 0,1%
g. Heparin
h. Xylol
i. Ethanol 70%
j. Aquades
3. Hewan coba Tikus

D. Prosedru kerja
1. Pembuatan larutan baku kerja sulfametoksazol
Buatlah larutan induk 1000 µg/mL dari 100 mg sulfametoksazol
dilarutkan dalam 5 mL NaOH 0,1 N dan 25 mL H 2SO4 4N (1:5)
kemudian ditambahkan air suling hingga 100 mL. kemudian dari
larutan induk dibuat larutan seri konsentrasi sulfametoksazol yaitu 10,
20, 30, 50 dan 100 μg/mL.
2. Penentuan panjang gelombang maksimum.
a. Panjang gelombang maksimum ditentukan dengan menggunakan
larutan baku kerja 10 dan 100 μg/mL. Reaksikan larutan baku kerja
10 dan 100 μg/mL Diambil 500 µl larutan baku lalu ditambahkan
7,5 mL aquades. Dicampur hingga homogen dan didiamkan selama
15 menit. lalu ditambahkan TCA sebanyak 2 mL, divorteks dan
disentrifugasi pada kecepatan 300 rpm selama 10 menit, jika belum
jernih di sentrifugasi lagi selama 10 menit. Diambil 5 mL
supernatant kemudian ditambahkan 0,5 mL NaNO2 kemudian
divorteks dan didiamkan selama 3 menit. Ditambahkan 0,5 mL
ammonium sulfat dan direaksikan (vortex) selama 2 menit.setelah
itu ditambahkan 2,5 mL Naftil etilen diamin dihidroklorida,
divorteks dan diamkan selama 10 menit. Di amati nilai absorban
pada panjang gelombang antara 520 – 560 nm. Dibuat kurva dan
ditentukan panjang gelombang maksimun.
3. Penetapan Kurva baku Sulfametoksazol
Diambil 500 µl larutan baku lalu ditambahkan 7,5 mL aquades.
Dicampur hingga homogen dan didiamkan selama 15 menit. lalu
ditambahkan TCA sebanyak 2 mL, divorteks dan disentrifugasi pada
kecepatan 300 rpm selama 10 menit, jika belum jernih di sentrifugasi lagi
selama 10 menit. Diambil 5 mL supernatant kemudian ditambahkan 0,5
mL NaNO2 kemudian divorteks dan didiamkan selama 3 menit.
Ditambahkan 0,5 mL ammonium sulfat dan direaksikan (vortex) selama
2 menit.setelah itu ditambahkan 2,5 mL Naftil etilen diamin
dihidroklorida, divorteks dan diamkan selama 10 menit. Diamati pada
panjang gelombang maksimum lalu dibuat kurva regresi linier.
4. Penetapan kadar obat dalam darah
a. Hewan coba dipuasakan terlebih dahulu minimal selama 5 jam
b. Dihitung dosis dan volume pemberian injeksi Sulfametoksazol
maupun oral Sulfametoksazol untuk dosis penggunaan pada hewan
coba
c. Disiapkan alat dan sediaan Sulfametoksazol yang akan digunakan
d. Diinjeksikan sediaan injeksi Sulfametoksazol pada hewan coba 1
secara intera vena dan di berikan secara oral pada hewan coba 2
e. Di ambil darah melalui ekor tikus pada menit ke 0; 5; 10; 15; 20;
30; 45; 60; 90 dan 120 menit untuk pemberian secara intravena
dan secara oral pada menit ke 0; 10; 20; 30; 45; 60; 90 dan 120
menit
f. Diambil 500 µl sampel darah lalu ditambahkan 7,5 mL aquades.
Dicampur hingga homogen dan didiamkan selama 15 menit. lalu
ditambahkan TCA sebanyak 2 mL, divorteks dan disentrifugasi
pada kecepatan 300 rpm selama 10 menit, jika belum jernih di
sentrifugasi lagi selama 10 menit.
g. Diambil 5 mL supernatant kemudian ditambahkan 0,5 mL NaNO2
kemudian divorteks dan didiamkan selama 3 menit.
h. Ditambahkan 0,5 mL ammonium sulfat dan direaksikan (vortex)
selama 2 menit.setelah itu ditambahkan 2,5 mL Naftil etilen diamin
dihidroklorida , divorteks dan diamkan selama 10 menit. Diukur
absorbansinya pada λmaks yang telah ditentukan
i. hitung kadar Sulfametoksazol setiap waktu dan dicatat
j. Hitung AUC dari masing-masing rute pemberian

E. Hasil Pengamatan
1. Tabel
2. Perhitungan
3. Grafik

F. Pembahasan

G. Kesimpulan
H. Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai