Anda di halaman 1dari 5

ESSAY

PERDARAHAN SALURAN CERNA BAGIAN ATAS (SCBA)

Disusun oleh :

Nama : Arya Adhi Yoga Wikrama Jaya

Nim : 018.06.0031

Kelas : A

Blok : DIGESTIVE II

Dosen : dr. I Gusti Ngurah Mayura, M.Biomed., SpPD

UNIVRSITAS ISLAM AL-AZHAR


FAKULTAS KEDOKTERAN
MATARAM
2020
Latar Belakang

Perdarahan saluran cerna merupakan masalah yang sering dihadapai.


Manifestasinya bervariasi mulai dengan perdarahan masif yang mengancam jiwa
hingga perdarahan samar yang tidak dirasakan. Pendekatan pada pasien dengan
perdarahan dan lokasi perdarahan saluran cerna adalah dengan menentukan beratnya
perdarahan dan lokasi perdarahan. Hematemesis (muntah darah segar atau hitam)
menunjukkan perdarahan dari saluran cerna bagian atas, proksimal dari ligamentum
Treitz. Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu
penyakit yang sering dijumpai di bagian gawat darurat rumah sakit. Sebagian besar
pasien datang dalam keadaan stabil dan sebahagian lainnya datang dalam keadaan
gawat darurat yang memerlukan tindakan yang cepat dan tepat. Kejadian perdarahan
akut saluran cerna ini tidak hanya terjadi diluar rumah sakit saja namun dapat pula
terjadi pada pasien-pasien yang sedang menjalani perawatan di rumah sakit terutama
di ruang perawatan intensif dengan mortalitas yang cukup tinggi. Berikut mengenai
perdarahan saluran cerna bagian atas.

Isi

Perdarahan saluran cerna bagian atas adalah perdarahan saluran makanan


proksimal mulai dari esofagus, gaster, duodenum, jejunum proksimal ( batas anatomik
di ligamentum treitz ). Sebagian besar perdarahan saluran cerna bagian atas terjadi
sebagai akibat penyakit ulkus peptikum (PUD, peptic ulcer disease) yang disebabkan
oleh H. Pylori atau penggunaan obat-obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) atau
alkohol. Robekan Mallory-Weiss, varises esofagus, dan gastritis merupakan penyebab
perdarahan saluran cerna bagian atas yang jarang.

Di Indonesia kejadian yang sebenarnya di populasi tidak diketahui. Berbeda


dengan di negera barat dimana perdarahan karena tukak peptik menempati urutan
terbanyak maka di Indonesia perdarahan karena ruptura varises gastroesofagei
merupakan penyebab tersering yaitu sekitar 50-60%, gastritis erosif hemoragika
sekitar 25-30%, tukak peptik sekitar 10-15% dan karena sebab lainnya < 5%.
Mortalitas secara keseluruhan masih tinggi yaitu sekitar 25%, kematian pada
penderita ruptur varises bisa mencapai 60% sedangkan kematian pada perdarahan non
varises sekitar 9-12%. Sebahagian besar penderita perdarahan SCBA meninggal
bukan karena perdarahannya itu sendiri melainkan karena penyakit lain yang ada
secara bersamaan seperti penyakit gagal ginjal, stroke, penyakit jantung, penyakit hati
kronis, pneumonia dan sepsis.

Secara teoritis lengkap terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian
atas disebabkan oleh ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana
faktor agresif meningkat atau faktor defensifnya menurun. Yang dimaksud dengan
faktor agresif antara lain asam lambung, pepsin, refluks asam empedu, nikotin, obat
anti inflamasi non steroid (OAINS) dan obat kortikosteroid, infeksi Helicobacter
pylori dan faktor radikal bebas , khususnya pada pasien lanjut usia. Yang dimaksud
dengan faktor defensif yaitu aliran darah mukosa yang baik, sel epitel permukaan
mukosa yang utuh, prostaglandin, musin atau mukus yang cukup tebal, sekresi
bikarbonat, motilitas yang normal, impermeabilitas mukosa terhadap ion H+ dan
regulasi pH intra sel.

Saluran cerna bagian atas merupakan tempat yang sering mengalami


perdarahan. Dari seluruh kasus perdarahan saluran cerna sekitar 80% sumber
perdarahannya berasal dari esofagus,gaster dan duodenum. Manifestasi klinis pasien
dapat berupa :

 Hematemesis : Muntah darah dan mengindikasikan adanya


perdarahan saluran cerna atas, yang berwarna coklat merah atau
“coffee ground”.
 Melena : Kotoran (feses) yang berwarna gelap yang dikarenakan
kotoran bercampur asam lambung, biasanya mengindikasikan
perdarahan saluran cerna bagian atas, atau perdarahan daripada
usus-usus ataupun colon bagian kanan dapat juga menjadi sumber
lainnya.
 Penampilan klinis lainnya yang dapat terjadi adalah anemia,
sinkope, instabilitas hemodinamik karena hipovolemik dan
gambaran klinis dari komorbid seperti penyakit hati kronis,
penyakit paru, penyakit jantung, penyakit ginjal.
Diagnosis perdarahan SCBA dibuat berdasarkan dari anamnesis: Pada
anamnesis yang perlu ditanyakan adalah riwayat penyakit hati kronis, riwayat
dispepsia,riwayat mengkonsumsi NSAID, obat rematik, alkohol, jamu –jamuan, obat
untuk penyakit jantung,obat stroke. Kemudian ditanya riwayat penyakit ginjal,
riwayat penyakit paru dan adanya perdarahan ditempat lainnya. Riwayat muntah-
muntah sebelum terjadinya hematemesis sangat mendukung kemungkinan adanya
sindroma Mallory Weiss. Pemeriksaan fisik: menilai status hemodinamik, mencari
tanda klinik penyakit dasar, tes supinasi/ (Till)/ postural, inspeksi dengan pemasangan
nasogastric tube (NGT). Pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan endoskopi,
radionuclide scanning dan radiografi barium kontras. Pada pemeriksaan fisik perlu
diperhatikan kulit dan mukosa penyakit sistematik. Perlu juga dicari stigmata pasien
dengan sirosis hati karena pada pasien sirosis hati dapat disertai gangguan pembekuan
darah, perdarahan gusi, epistaksis, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh
pekat, muntah darah atau melena

Pemeriksaan fisik lainnya yang penting yaitu masa abdomen, nyeri abdomen,
rangsangan peritoneum, penyakit paru, penyakit jantung, penyakit rematik dll.
Pemeriksaan yang tidak boleh dilupakan adalah colok dubur. Warna feses ini
mempunyai nilai prognostik. Dalam prosedur diagnosis ini penting melihat aspirat
dari Naso Gastric Tube (NGT). Aspirat berwarna putih keruh menandakan perdarahan
tidak aktif, aspirat berwarna merah marun menandakan perdarahan masif sangat
mungkin perdarahan arteri.

Tujuan utama pengelolaan perdarahan SCBA adalah stabilisasi hemodinamik,


menghentikan perdarahan, mencegah perdarahan ulang dan menurunkan mortalitas.
Resusitasi Bila sudah dalam keadaan hemodinamik tidak stabil atau dalam keadaan
renjatan, maka proses resusitasi cairan (cairan kristaloid atau koloid) harus segera
dimulai. Cairan kristaloid dengan akses perifer dapat diberikan pada perdarahan
ringan sampai sedang tanpa gangguan hemodinamik. Cairan koloid diberikan jika
terjadi perdarahan yang berat sebelum transfuse darah bisa diberikan. Terapi obat
PPI (Proton Pump inhibitor) merupakan pilihan utama dalam pengobatan
perdarahan SCBA non variseal. Beberapa studi melaporkan efektifitas PPI dalam
menghentikan perdarahan karena ulkus peptikum dan mencegah perdarahan berulang.
Terapi pada kasus pendarahan non variseral berupa Medikamentosa : Ranitidin, PPI,
Tranexamic acid, Somatostatin, Adrenalin intragastrik. Terapi endoskopi: Termal,
Injeksi adrenalin, Mekanikal, Koagulasi gelombang mikro. Pembedahan : Jika terapi
endoskopi gagal dapat terjadi komplikasi. Sedangkan pada kasus pendarahan variseral
berupa Medikamentosa: Vasopresin, Somatostatin, Noradrenalin intragastrik.
Mekanik : Sengsteken blakemore (SB tube). Endoskopi : Ligasi dan Skleroterapi.
Pembedahan : Transeksi+devaskularisasi, TIPS dan Distal spenorenal shunt.

Anda mungkin juga menyukai