Anda di halaman 1dari 11

Sub Topik : Epilepsi Generalized

Level Kompetensi : 3A
Objektif :
 Mampu membuat diagnosis klinis berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan laboratorium tambahan sederhana.
 Dapat memutuskan dan memberikan terapi pendahuluan serta merujuk ke spesialis saraf.

Definisi Konseptual
Epilepsi adalah kelainan otak yang ditandai dengan kecendurungan terus-menerus untuk
menimbulkan bangkitan epileptik dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis dan
social. Definisi ini menysratkan terjadinya minimal 1 kali bangkitan epileptik1.

Definisi Operasional
Epilepsi adalah suatu penyakit otak yang ditandai dengan salah satu kondisi/gejala sebagai
berikut:
1. Minimal terdapat 2 bangkitan tanpa provokasi atau 2 bangkitan refleks dengan jarak
waktu antar bangkitan pertama dan kedua lebih dari 24 jam;
2. Satu bangkitan tanpa provokasi atau 1 bangkitan refleks dengan kemungkinan terjadinya
bangkitan berulang dalam 10 tahun kedepan sama dengan bila terdapat 2 bangkitan tanpa
provokasi atau bangkitan refleks; dan
3. Sudah ditegakkan sindrom epilepsi (oleh dokter yang kompeten).

Epilepsi dianggap dapat diatasi (resolved) pada individu dengan sindrom epilepsi tergantung
usia, tetapi sudah melewati batas usia tertentu ATAU mereka yang tetap bebas bangkitan selama
10 tahun terakhir, tanpa obat antiepilepsi (OAE) selama 5 tahun terakhir1.

Epidemiologi
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat menyerang orang diseluruh dunia. Di
negara maju, kejadian epilepsy tahunan diperkirakan sekitar 50 per 100.000 penduduk dan
prevalensinya diperkirakan sekitar 700 per 100.000 penduduk. Di negara berkembang,
jumlahnya diperkirakan lebih tinggi. Insiden epilepsi umumnya tinggi pada kelompok usia
kanak-kanak dan lanjut usia, cenderung lebih tinggi pria dibanding wanita2.

Etiologi
Enam kelompok etiologi adalah struktural, genetic, infeksi, metabolik, imun serta kelompok
yang tidak diketahui. Epilepsi pasien dapat diklasifikasikan ke dalam lebih dari satu kategori
etiologi; etiologinya tidak bersifat hierarki dan mungkin bergantung pada keadaan pasien3.
1. Struktural: etiologi struktural berdasarkan pemeriksaan pencitraan yang dikaitkan dengan
pemeriksaan elektroklinik. Etiologi struktural antara lain: stroke, trauma, infeksi atau
yang berkaitan dengan genetic seperti malformasi perkembangan kortikal. Identifikasi
lesi struktural memerlukan pemeriksaan MRI dengan menggunakan protocol spesifik
epilepsi.
2. Genetik: akibat mutasi genetik yang diketahui atau diduga dimana bangkitan merupakan
gejala utama dari gangguan tersebut. Contoh: Chilhood Absence Epilepsy atau Juvenile
Myoclonic Epilepsy.
3. Infeksi: akibat dari pasca-infeksi intrakranial, seperti neurosisteserkosis, tuberculosis,
HIV, malaria serebral, pan-ensefalitis sclerosis subakut, toksoplasmosis serebral dan
infeksi kongenital seperti virus Zika dan virus Sitomegalo. Infeksi ini kadang memiliki
pola struktural.
4. Metabolik: identifikasi metabolik sangat penting sehubungan dengan terapi spesifik dan
pencegahan gangguan intelektual.
5. Imun: gangguan imunitas disertai adanya peradangan SSP yang berhubungan dengan
reaksi auti imun, contoh: epilepsi pada multiple sklerosis.
6. Tidak diketahui: penyebab epilepsi belum diketahui. Diagnosis hanya berdasarkan usia
awitan, semiologi bangkitan dan pemeriksaan EEG.

Patofisiologi
Secara normal aktifitas otak terjadi karena perpindahan sinyal dari satu neuron ke neuron yang
lain. Perpindahan ini terjadi antara akson terminal suatu neuron denan dendrit neuron yang lain
melalui sinaps. Sinaps merupakan area yang penting untuk perpindahan elektrolit dan sekresi
neurotransmitter yang berada di dalam vesikel presinaps. Komposisi elektrolit dan
neurotransmitter saling mempengaruhi satu sama lain untuk menjaga keseimbangan gradien ion
di dalam dan di luar sel melalui ikatan antara neurotransmitter dengan reseptornya serta keluar
masuknya elektrolit melalui kanalnya masing-masing. Aktifitas tersebut akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi, sehingga terjadi potensial eksitatorik dan inhibisi pada sel neuron.
Potensial eksitasi diproyeksikan oleh sel-sel neuron yang berada di korteks yang kemudian
diteruskan oleh aksan, sementara sel interneuron berfungsi sebagai inhibisi.
Elektrolit yang berperan penting dalam aktifitas otak adalah Natrium (Na +), Kalium (K+),
Kalsium (Ca+), Magnesium (Mg2+) dan Klorida (Cl-). Neurotransmitter utama pada proses
eksitasi adalah glutamat yang akan berikatan dengan reseptornya yaitu N-metil-D-aspartat
(NMDA) dan non-NMDA (α-amino-3-dyhydroxy-5-methyl-4-isoxasole-propionic acid/ AMPA
dan kainat). Sementara pada proses inhibisi, neurotransmitter utama adalah γ -asam aminobutirik
(GABA) yang akan berikatan dengan reseptornya GABAA dan GABAB. GABA merupakan
neurotransmitter yang disintesis dari glutamate oleh enzim glutamic acid decarboxylase (GAD)
dengan bantuan piridoksin (vitamin B6) di terminal presinaps.
Saat potensial eksitasi dihantarkan oleh akson menuju celah sinaps, akan terjadi sekresi
glutamate ke celah sinaps. Glutamat akan berikatan dengan reseptor non-NMDA dan Na + akan
masuk ke dalam sel menyebabkan terjadinya depolarisasi cepat. Apabila depolarisasi mencapai
ambang potensial 10-20 mV, maka Mg+ yang menduduki reseptor NMDA yang sudah berikatan
dengan glutamate dan ko-agonisnya (glisin) dikeluarkan ke celah sinaps, sehingga Na+ akan
masuk ke dalam sel diikuti Ca2+. Masuknya Na+ dan Ca2+ akan memperpanjang potensial
eksitasi, disebut sebagai depolarisasi lambat. Setelah Na+ mencapai ambang batas depolarisasi,
K+ akan keluar dari dalam sel, yang disebut sebagai repolarisasi.
Sementara itu, Ca2+ yang masuk ke dalam sel juga akan mendorong pelepasan neurotransmitter
GABA ke celah sinaps. Saat GABA berikatan dengan reseptor GABA A pascasinaps dan
mencetuskan potensial inhibisi, Cl- akan masuk ke dalam sel dan menurunkan ambang potensial
membrane sel sampai kembali ke ambang istirahat pada -70μV yang disebut sebagai
hiperpolarisasi. Reseptor GABAB di presinaps berperan memperpanjang potensial inhibisi. Hasil
akhir potensial yang dihasilkan merupakan sumasi dari potensial eksitasi dan inhibisi yang
dipengaruhi jarak dan waktu.
Setelah hiperpolarisasi, selama beberapa saat membrane sel terhiperpolarisasi dibawah ambang
istirahatnya, disebut sebagai after hyperpolaritation (AHP). AHP terjadi sebagai hasil dari
keseimbangan antara Ca2+ di dalam sel dan K+ di luar sel. Pada masa ini sel neuron mengalami
fase refrakter dan tidak dapat terstimuli, sampai terjadi pertukaran Ca2+ ke luar sel dan K+ ke
dalam sel melalui kanal yang tidak dipengaruhi oleh gradien voltase. Keseimbangan ion didalam
dan luar sel dikembalikan olej pompa Na+-K+ dengan bantuan adenosin triphosphate (ATP).
Sel glia turut berperan dalam menjaga keseimbangan eksitasi dan inhibisi dengan berperan
sebagai spons yang berfungsi untuk ‘menghisap’ K + dan glutamat yang berlebihan di celah
sinaps untuk kemudian disintesis dan dikembalikan lagi ke neuron presinaps.
Adanya ketidakseimbangan antara eksitasi dan inhibisi akan menyebabkan hipereksitabilitas
yang pada akhirnya akan menyababkan bangkitan epileptik. Ketidakseimbangan tersebut dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Penyebab internal antara lain berupa mutasu atau
kelainan pada kanal-kanal elektrolit sel neuron. Beberapa mutasi yang sudah diketahui adalah
mutasi kanal Na+, Ca2+, dan K+. Mutasi ini menyebabkan masuknya Na+ dan Ca2+ ke dalam sel
secara terus meneru sehingga terjadi paroxysmal depolaritation shift (PDS). PDS diinisiasi oleh
reseptor non-NMDA, akibat peningkatan jumlah Na+ dan dapat diperlama saat reseptor NMDA
terbuka diikuti masuknya Na+ sehingga semakin banyak Na+ di dalam sel. Pada mutasi kanal
Ca+, PDS terjadi karena depolarisasi lambat semakin lama akibat peningkatan Ca+ di dalam sel.
Sementara mutasi pada kanal K+ akan menghambat terjadinya repolarisasi, memperpanjang
depolarisasi dan akhirnya menyebabkan PDS.
Pada hipereksitabilitas akan terjadi peningkatan sekresi glutamate ke celah sinaps, sehingga
terjadi peningkatan jumlah Ca2+ yang berlebihan ini akan mengaktifkan enzim intrasel yang
menyebabkan kematian sel. Hal ini merangsang keluarnya berbagai faktor inflamasi yang akan
meningkatkan permeabilitas sel, gangguan keseimbangan elektrolit, edema otak, kerusakan
sawar darah otak dan sebagainya.
Faktor eksternal terjadi akibat berbagai penyakit, baik penyakit otak maupun sistemik, Penyakit-
penyakit tersebut dapat menyebabkan kerusakan sel neuron, glia dan sawar darah otak.
Kerusakan sel glia akan menyababkan kelebihan K+ dan glutamat di celah sinaps karena tidak
‘terhisap’, sehingga sel neuron akan mudah tereksitasi. Keadaan tersebut jufa akan mengaktifasi
faktor-faktor inflamasi, kemudian merangsang peningkatan eksitasi dan akhirnya membentuk
lingkaran berkepanjangan. Kerusakan yang terjadi secara terus-menerus dalam jangka waktu
lama akan menyebabkan perubahan aktivitas otak, struktur neuron dan ekspresi gen.
Diagnosis
Diagnosis epilepsi ditegakkan terutama dari anamnesis yang didukung oleh pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Dalam praktik klinis, langkah-langkah dalam penegakkan diagnosis
epilepsi adalah sebagai berikut5:
1. Anamnesis: auto dan allo-anamnesis dari saksi mata mengenai hal-hal terkait dibawah
ini.
a. Gejala dan tanda sebelum, selama dan pasca-bangkitan
i. Sebelum bangkitan/gejala prodromal
Kondisi fisik dan psikis yang mengindikasikan akan terjadinya bangkitan,
misalnya perubahan perilaku, perasaan lapar, berkeringat, hipotermi,
mengantuk, menjadi sensitif dan lain-lain.
ii. Selama bangkitan/iktal:
 Apakah terdapat aura, gejala yang dirasakan pada awal bangkitan?
 Bagaimana deskripsi bangkitan, mulai dari deviasi mata, gerakan
kepala, gerakan tubuh, vokalisasi, automatisme, gerakan pada
salah satu atau kedua lengan dan tungkai, bangkitan tonik/klonik,
inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat dan lain-lain. Akan
lebih baik bila keluarga dapat diminta menirukan gerakan
bangkitan atau merekam video saat bangkitan.
iii. Pasca bangkitan/post-iktal: bingung, langsung sadar, nyeri kepala, tidur,
gaduh gelisah, hemiparesis pasca-bangkitan (paralisis Todd).
b. Faktor pencetus: kelelahan, kurang tidur, hormonal, stress psikologis, alkohol.
c. Faktor lain: usia awitan, durasi bangkitan, frekuensi bangkitan, interval terpanjang
antar bangkitan, awareness antar bangkitan.
d. Terapi dan respons terhadap OAE sebelumnya:
i. Jenis dosis, jadwal minum, kepatuhan minum obat; dan
ii. Kadar OAE dalam plasma.
e. Penyakit yang diderita sekarang dan riwayat penyakit lain yang menjadi penyebab
serta komorbiditas.
f. Riwayat epilepsi dan penyakit lain dalam keluarga.
g. Riwayat prenatal, natal dan tumbuh kembang, riwayat bangkitan neonatal/kejang
demam.
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis untuk mencari tanda-tanda, misalnya:
a. Trauma kepala,
b. Tanda infeksi,
c. Kelainan kongenital,
d. Kecanduan alkohol atau NAPZA,
e. Kelainan pada kulit, dan
f. Tanda-tanda keganasan.
Pemeriksaan neurologis dilakukan untuk mencari tanda-tanda defisit neurologis fokal
atau difus yang dapat berhubungan dengan bangkitan. Seperti paralisis Todd, gangguan
kesadaran pasca-iktal, afasia pasca-iktal.
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG):
i. Membantu menunjang diagnosis;
ii. Membantu penentuan tipe bangkitan maupun sindrom epilepsy;
iii. Membantu menentukan prognosis;
iv. Membantu penentuan perlu/tidaknya pemberian OAE; dan
v. Membantu penghentian OAE
b. Pencitraan otak untuk mendeteksi lesi epileptogenic diotak.
i. CT-Scan kepala pada kasus kejang pertama kali pada usia dewasa, lebih
ditujukkan untuk kasus kegawatdaruratan.
ii. MRI (minimal 1,5 Tesla)
iii. Positron Emission Tomography Scan (PET-Scan)
iv. Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)
v. Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS)
vi. USG Doppler (pada neonatus)
c. Pemeriksaan laboratorium
i. Pemeriksaan hematologis:
 Hemoglobin, leukosit dan hitung jenis, hematokrit, trombosit,
elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium), kadar gula
darah, fungsi hati (SGPT/SGOT), ureum, kreatinin dan albumin.
Dilakukan pada:
 Awal pengobatan untuk pemilihan OAE;
 Dua bulan setelah pemberian OAE untuk mendeteksi efek samping
OAE; dan
 Rutin diulang setiap setahun sekali untuk memonitor efek saping
OAE, atau bila timbul gejala klinis akibat efek samping OAE.
ii. Pemeriksaan kadar OAE dalam plasma
 Dilakukan bila bangkita belum terkontrol meskipun OAE sudah
mencapai dosis terapi maksimal atau untuk memonitor kepatuhan
pasien.
d. Pemeriksaan penunjang lainnya dilakukan sesuai dengan indikasi, misalnya:
i. Pungsi lumbal, dan
ii. EKG

Tipe Epilepsi5
 Terdapat kategori baru pada tipe epilepsi, yaitu gabungan epilepsi umum dan fokal
disamping epilepsi umum dan epilepsi fokal. Terdapat juga kategori “tidak diketahui”.
Banyak epilepsy terdiri dari beberapa tipe bangkitan. Untuk diagnosis epilepsy umum,
biasanya ditunjang dengan aktifitas epileptiform umum pada EEG. Pasien dengan
epilepsy umum dapat memiliki berbagai tipe bangkitan termasuk absans, mioklonik,
atonik, tonik dan bangkitan tonik-klonik. Diagnosis epilepsi umum dibuat atas dasar
klinis, didukung oleh temuan khas aktifitas epileptiform.
 Epilepsi fokal termasuk gangguan unifokal dan multifokal serta bangkitan yang
melibatkan satu hemisfer otak. EEG interiktal biasanya menunjukkan adanya aktifitas
epileptiform fokal, diagnosis dibuat berdasarkan klinis, didukung oleh temuan EEG.
 Terdapat kelompok baru epilepsi gabungan umum dan fokal, karena ada pasien yang
memiliki bangkitan umum dan fokal. Diagnosis dibuat atas dasar klinis, didukung oleh
temuan EEG. EEG interiktal dapat menunjukkan aktifitas epileptiform umum dan fokal,
tetapi aktifitas epileptiform tidak diperlukan untuk diagnosis. Contoh dimana kedua tipe
bangkitan terjadi adalah sindrom Dravet dan sindrom Lennox-Gastaut.
 Tipe epilepsi juga dapat menjadi akhir diagnosis jika dokter tidak dapat membuat
Sindrom Epilepsi. Contoh: seorang anak atau orang dewasa dengan epilepsi lobus
temporal nonlesional yang memiliki epilepsi fokal tanpa etiologi yang diketahui; seorang
anak berusia 5 tahun yang mengalami bangkitan umum tonik-klonik dan gelombang
spike umum pada EEG yang tidak dapat diklasifikasikan ke dalam suatu sindrom epilepsi
yang diketahui tetapi memiliki diagnosis yang jelas dari epilepsi umum; atau seorang
wanita berusia 20 tahun dengan bangkitan fokal dengan gangguan kesadaran dan
bangkitan absans dengan focal discharges dan generalized spike wave pada rekaman
EEG dan MRI normal, yang karena itu akan memiliki diagnosis gabungan epilepsi umum
dan fokal.
 Istilah “tidak diketahui” digunakan untuk menunjukkan dimana pasien memiliki epilepsy
tetapi dokter tidak dapat menentukan apakah tipe epilepsi fokal atau umum karena
informasi yang tidak cukup tersedia. Mungkin tidak ada akses pemeriksaan EEG atau
EEF yang kurang informatif (hasil normal). Jika tipe bangkitan tidak diketahui, maka tipe
epilepsy mungkin tidak diketahui.

Diagnosis Banding5
1. Sinkop
2. Bangkitan Non Epileptik Psikogenik
3. Aritmia Jantung
4. Sindroma hiperventilasi atau serangan panik

Tatalaksana
1. Terapi Medikamentosa (sesuai indikasi, tipe kejang dan sindrom epilepsi). Pemilihan
OAE bersifat individual, berdasarkan atas jenis bangkitan, jenis sindrom Epilepsi, efek
samping OAE yang mungkin terjadi, profil farmakologis dan interaksi antara OAE. Obat
yang digunakan adalah5:
a. Fenitoin 4-6 mg/kgBB bid
b. Carbamazepin XR 15-18 mg/kgBB bid
c. Asam valproate 20-60 mg/kgBB od/bid
d. Levetiracetam 20-40 mg/kgBB bid Topiramat 3-9 mg/kgBB bid
e. Lamotrigin 100-400 mg bid
f. Oxcarbazepin 300-900 mg bid
g. Zonisamid 100-300 mg tid
h. Clonazepam 2-8 mg bid
i. Clobazam 10-30 mg tid
j. Fenobarbital 2-4mg/kgBB bid
k. Gabapentin 300-900mg tid
l. Pregabalin 150-600mg b/tid

Tabel 1. Spektrum Efektivitas OAE4

Generasi OAE Spektrum Keterangan


Efektifitas

Pertama Asam Valproat Semua

Bisa memicu bangkitan


Benzodiazepin Semua
tonik pada LGS

Fenobarbital Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Primidon Sebagian besar Tidak efektif pada absans

Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat


Carbamazepine
klonik umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat
Phenitoin
klonik umum absans dan mioklonik

Ethosuximide Absans

Kedua Bisa memicu/memperberat


mioklonik. Efektifitas
Lamotrigine Sebagian besar terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan absans, dan drop
attacks terkait LGS.
Tidak jelas efektifitas
terhadap tonik dan atonik.
Levitiracetam Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal,
tonik-klonik umum dan
mioklonik.
Tidak jelas efektifitas
terhadap absans. Efektifitas
Topiramate Sebagian besar terbaik: fokal, tonik-klonik
umum dan drop attacks
terkait LGS.

Zonisamide Sebagian besar Efektifitas terbaik: fokal.

Fokal dan tonik- Bisa memicu/memperberat


Oxcarbazepine
klonik umum absans dan mioklonik
Fokal dan tonik-
Perampanel
klonik umum
Fokal dan spasme
Vigabatrin
infantile
Fokal dan drop
Rufinamide
attacks (LGS)
Fokal dan drop
Felbamate
attacks (LGS)
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

Lacosamide Fokal

Bisa memicu/memperberat
Pregabalin Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Gabapentine Fokal
miklonik
Bisa memicu/memperberat
Tiagabine Fokal
absans dan miklonik

Briviracetam Fokal

Bangkitan terkait Efektifitas terbaik: fokal


Everolimus
TSC terkait TSC
Hanya untuk kombinasi
dengan clobazam dan asam
Stiripentol Bangkitan terkait DS
valproate terhadap bangkitan
tonik-klonik DS
Bisa memicu/memperberat
Elisacarba-zepine Fokal
absans dan miklonik

2. Terapi Non Farmakologis


a. Fisioterapi
b. Psikoterapi
c. Behavior Cognitive Therapy

Edukasi5
1. Edukasi mengenai minum obat secara teratur.
2. Edukasi mengenai penghindaran faktor pencetus.
3. Edukasi kontrol ulang secara teratur.
4. Edukasi epilepsi pada kehamilan.

Prognosis5
1. Ad vitam : dubia ad bonam.
2. Ad Sanationam : dubia ad bonam.
3. Ad Fungsionam : dubia ad bonam.

Daftar Pustaka
1. Fisher R, Acevedo C, et al. ILAE official report: a practical clinical definition of
epilepsy. Epilepsia. 2014;55(4):475-82.
2. Abramovici S, Bagic A. Epidemiology of epilepsy. In: Aminoff MJ, Boller F, Swaab DF,
editors. Handbook of clinical neurology, 2nd ed. Amsterdam: Elsevier;2016. p.159-71.
3. Scheffer I, Berkovic S, Capovilla G, Conolly M, French J, Guilhoto L, et al. ILAE
definition of epilepsies – Position paper of the ILAE Commision for Classification and
Terminology. Epilepsia. 2017;58(4):512-21.
4. Anindhita T, Wiratman W, editor. Buku Ajar Neurologi. Departemen Neurologi Fakultas
Kedokteran Indonesia. Tangerang: Penerbit Kedokteran Indonesia; 2017.
5. Kusumastuti K, Gunadharma S KE, editor. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Kelompok
Studi Epilepsi PERDOSSI. Surabaya: Airlangga University Press; 2019.
6. Patsalos PN, Berry DJ, Bourgeois BFD, Cloyd JC, Glauser TA, et al. Antiepileptic drugs-
best practice guideline for therapeutic drug monitoring: A position paper by the
subcommission on therapeutic drug monitoring, ILAE Commission on Therapeutic
Strategies. Epilepsia. 2008; 49 (7):1239-76.

Anda mungkin juga menyukai