Anda di halaman 1dari 17

PERATURAN BUPATI ACEH BESAR

NOMOR … TAHUN 2020

TENTANG

TATA CARA PENDAFTARAN, PENETAPAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN


WILAYAH ADAT MUKIM SERTA HARTA ULAYAT DI KABUPATEN ACEH BESAR

TATA CARA PENETAPAN WILAYAH ADAT MUKIM DAN HARTA KEKAYAAN


MUKIM DI KABUPATEN ACEH BESAR

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT,WILAYAH


ADAT MUKIM DAN HARTA ULAYAT DI KABUPATEN ACEH BESAR

PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT ADAT MUKIM, WILAYAH


ADAT DAN HARTA ULAYAT

TATA CARA PENETAPAN WILAYAH ADAT, TANAH ULAYAT DAN HARTA


KEKAYAAN MUKIM DI KABUPATEN ACEH BESAR

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA
ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA

BUPATI ACEH BESAR

Menimbang : a. bahwa pengakuan, perlindungan dan penghormatan


Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak
tradisionalnya merupakan amanat Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

a. bahwa Mukim merupakan masyarakat hukum adat


yang memiliki batas wilayah, tanah ulayat dan harta
kekayaan berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat hukum adat berdasarkan hak
asal usul yang diakui dan dihormati serta masih hidup
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat;

b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat (1)


dan ayat (2), Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009
tentang Pemerintahan Mukim, perlu membentuk
Peraturan Bupati Aceh Besar tentang Tata Cara
Pendaftaran, Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan
Wilayah Adat Mukim di Kabupaten Aceh Besar.

1
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
hukum terhadap wilayah adat, tanah ulayat dan harta
kekayaan mukim, maka diperlukan adanya tata cara
penetapan wilayah adat, tanah ulayat dan harta
kekayaan mukim di kabupaten Aceh Besar;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana


dimaksud huruf a dan huruf b, perlu menetapkan
Peraturan Bupati Aceh Besar tentang Tata Cara
Pendaftaran, Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan
Wilayah Adat Mukim di Kabupaten Aceh Besar.

c. berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud


pada huruf a dan huruf b diatas, perlu menetapkan
Peraturan Bupati Aceh Besar tentang Tata Cara
Penetapan Wilayah Adat, Tanah Ulayat dan Harta
Kekayaan Mukim;

Mengingat : 1.. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang


Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor….);

2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang


Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara
Repulik Indonesia Nomor 3888) sebagaimana telah
diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 29) yang telah ditetapkan
dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4412);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 172, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3893);
4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh (Lembaran Negara Republik

2
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
8. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi
Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 29);

9. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014


tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan
Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 951);
10. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015
tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 2036)
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 120 Tahun 2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum
Daerah (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 157);
11. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.34/Menlhk/Setjen/ Kum.1/5/2017 tentang

3
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
801);
12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
8/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Penetapan
Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam
Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 330);
13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.21/Menlhk/Setjen/2019 tentang Hutan Adat
dan Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 522);
14. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayath
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1127);
15. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (Lembaran Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 09,
Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 19);
16. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat
(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008
Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 20);

17. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan


Kedua Atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil
Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi
Khusus (Lembaran Aceh Tahun 2016 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Aceh Nomor 85);
18. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 60 Tahun 2013
tentang Pelaksanaan Penyelesaian
Sengketa/Perselisihan Adat dan Istiadat (Berita Daerah
Aceh Tahun 2013 Nomor 42);
19. Peraturan Gubernur Aceh Nomor 9 Tahun 2017 tentang
Petunjuk Teknis Pengelolaan Tambahan Dana Bagi
Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Dana Otsus (Berita
Daerah Aceh Tahun 2017 Nomor 10);
20. Keputusan Bersama Gubernur Aceh, Kapala Kepolisian
Daerah Aceh dan Ketua Majelis Adat Aceh Nomor
189/677/2011, Nomor 1054/MAA/XII/2011, Nomor

4
B/121/I/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat
Gampong dan Mukim Atau Nama Lain di Aceh;
21. Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Mukim;

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BUPATI ACEH BESAR TENTANG TATA CARA
PENDAFTARAN, PENETAPAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN WILAYAH ADAT MUKIM DI KABUPATEN ACEH BESAR.

PERATURAN BUPATI ACEH BESAR TENTANG TATA CARA


PENETAPAN WILAYAH ADAT, TANAH ULAYAT DAN HARTA
KEKAYAAN MUKIM DI KABUPATEN ACEH BESAR

BAB I
KETENTUAN UMUM (dibahas terakhir)
Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Pemerintah
Kabupaten Aceh Besar adalah Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten yang terdiri atas Bupati dan Perangkat Daerah Kabupaten Aceh
Besar.
2. Bupati adalah Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar yang di
pilih melalui suatu proses Demokratis yang dilakukan berdasarkan Azas
Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
3. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar.
4. Majelis Adat Aceh (MAA) adalah Suatu Organisasi Penyelenggaraan
Kehidupan Adat di Kabupaten Aceh Besar.
5. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan berkedudukan langsung di
bawah Camat.
6. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada
di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
7. Harta Kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh Mukim
yang ada pada waktu pembentukan Gampong atau nama lain dan tidak
diserahkan kepada Gampong serta sumber pendapatan lainnya yang sah.
8. Tanah Ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah Mukim yang
dikuasai dan diatur oleh Hukum Adat.
9. Masyarakat Hukum Adat selanjutnya disingkat MHA adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang

5
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
10. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau
perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-
batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-
temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau
gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
11. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
12. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.
13. Hukum Adat adalah norma hukum yang bersumber dari adat istiadat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat kemukiman setempat yang
bersifat mengikat dan menimbulkan akibat hukum.
14. Musyawarah Mukim adalah permusyawaratan dan permufakatan dalam
berbagai kegiatan adat, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
yang dihadiri oleh para Keuchik, lembaga-lembaga adat dan para pemimpin
agama yang dipimpin oleh Imeum Mukim.
15. Penyelesaian persengketaan adat Mukim adalah permusyawaratan dalam
proses penyelesaian berbagai perkara adat, perselisihan antar penduduk
atau sengketa-sengketa di bidang hukum adat dalam kemukiman yang
dilaksanakan oleh Imeum Mukim dan Tuha Peuet Mukim.
16. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat adalah pernyataan tertulis Bupati
Aceh Besar atas keberadaan masyarakat hukum adat.

17. Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain adalah lembaga bersifat
sementara yang dibentuk untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan
validasi masyarakat hukum adat.

BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
Peraturan Bupati ini bertujuan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat
(1) dan ayat (2), Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Mukim.
Pengaturan Tata Cara Penetapan Wilayah Adat, Tanah Ulayat dan Harta
Kekayaan Mukim yang bertujuan untuk ;
a. memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap wilayah
adat, tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
b. mewujudkan keadilan dan kemamfaatan terhadap wilayah adat,

6
tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
c. menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan penetapan
wilayah adat, tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
d. memberikan kejelasan kewenangan dalam pengaturan dan
penyelenggaraan pemerintahan mukim;
e. menciptakan kedamaian dalam masyarakat dan menghindari
adanya konflik batas dan pengelolaan sumber daya alam dalam
wilayah adat mukim.

BAB III
Pasal 3
Ruang Lingkup Peraturan Bupati ini meliputi:
a. penetapan wilayah adat mukim;
b. penetapan tanah ulayat mukim;
c. penetapan harta kekayaan mukim.
a. Lembaga Adat;
b. Tim Inventarisasi;
c. Penetapan MHA dan Wilayah Adat Mukim;
d. Penyelesaian Sengketa Adat Mukim;
e. Pendanaan; dan (masuk dalam Bab terpisah)
f. Ketentuan Peralihan. (jika diperlukan)

BAB II
BAB IV
PENETAPAN WILAYAH ADAT MUKIM

Bagian Satu
Tata Cara Penetapan dan Penegasan Batas Mukim

Pasal 4
(1) Batas Mukim merupakan gabungan batas wilayah gampong terluar dalam koordinasi mukim
bersangkutan.
(2) Penetapan batas mukim diwujudkan melalui tahapan penelitian dokumen, penentuan peta
dasar yang dipakai, dan deliniasi garis batas secara kartometrik di atas peta dasar.
(3) Proses penetapan batas dilakukan secara partisipatif oleh para Imum Mukim, para Keuchik
dan tokoh masyarakat dalam wilayah mukim yang berbatasan.

Pasal 5
(1) Penegasan batas mukim diwujudkan melalui tahapan:
a. penentuan dokumen penetapan batas;
b. pelacakan garis batas;
c. pemasangan pilar di sepanjang garis batas;
d. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; dan
e. pembuatan peta garis batas dengan koridor tertentu.
(2) Pembuatan peta garis batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan kedua
mukim yang berbatasan.
(3) Tahapan penegasan batas mukim dilakukan berdasarkan peta tata ruang kabupaten.
(4) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara
kesepakatan antar mukim yang berbatasan.

Bagian Dua
Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim

7
Pasal 6
(1) Untuk menentukan batas Mukim di Kabupaten, dibentuk Tim Penetapan dan Penegasan
Batas Mukim yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berkoodinasi dengan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten.
(3) Keanggotaan Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari unsur instansi teknis terkait ditambah dengan unsur yang berasal dari:
a. Kecamatan;
b. Mukim;
c. Keuchik-keuchik dalam mukim bersangkutan;
d. Tokoh masyarakat dari mukim yang berbatasan;
(4) Unsur instansi teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
a. Bagian Tata Pemerintahan;
b. Bappeda;
c. Kantor Pertanahan;
d. Kantor Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Dinas Teknis seperti Pekerjaan Umum, Kehutanan dan Lingkunga Hidup, Perkebunan,
Kelautan dan Perikanan, dll;

Pasal 7
Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menginventarisasi dasar hukum tertulis, hukum adat dan adat-istiadat, maupun sumber
sejarah lainnya yang berkaitan dengan batas mukim;
b. melakukan pengkajian terhadap dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain untuk
menentukan garis batas sementara di atas peta;
c. merencanakan dan melaksanakan penetapan dan penegasan batas mukim;
d. melakukan supervisi teknis/lapangan dalam penegasan batas mukim;
e. melaksanakan sosialisasi penetapan dan penegasan batas mukim;
f. mengusulkan dukungan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten untuk
pelaksanaan penetapan dan penegasan batas mukim: dan
g. melaporkan semua kegiatan penetapan dan penegasan batas mukim kepada bupati.

Bagian Ketiga
Pengesahan Batas Mukim

Pasal 8
(1) Mukim yang telah melakukan penegasan batas mukim membuat berita acara kesepakatan
bersama antar mukim yang berbatasan dan disaksikan oleh Tim Penetapan dan Penegasan
Batas Mukim.
(2) Berita Acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta lampiran peta batas
mukim dan dokumen lainnya disampaikan kepada bupati.
(3) Pilar batas dan peta garis batas mukim yang telah diverifikasi oleh Tim Penetapan dan
Penegasan Batas mukim dan disetujui oleh Imuem Mukim yang berbatasan diserahkan
untuk mendapatkan pengesahan dari Bupati.
(4) Bupati menetapkan Keputusan Bupati tentang Batas Mukim.

BAB V
PENETAPAN TANAH ULAYAT MUKIM

BAB VI
PENETAPAN HARTA KEKAYAAN MUKIM
Pasal 9
(1) Imuem Mukim harus melakukan inventarisasi terhadap semua harta kekayaan Mukim dalam
wilayah kelolanya.
(2) Harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari harta kekayaan yang telah

8
ada atau yang kemudian dikuasai oleh Mukim, dapat berupa:
a. Wilayah hutan mukim (uteun mukim);
b. areal bebas (gabungan beberapa gampong) –termasuk padang meurabe;
c. areal tepi sungai (aliran DAS);
d. tempat penyerapan air (seperti rawa-rawa)/lahan gambut;
e. daerah semak belukar;
f. perbukitan (glee);
g. potensi tambang yang dikuasai lembaga adat;
h. potensi jasa lingkungan (penyerap sumberdaya air, dll);
i. alur (alue);
j. sungai (krueng);
k. delta (pante);
l. rawa (paya);
m. pantai laut (pasi);
n. laut (laoet);
o. tanah umum (tanoh meusara);
p. waqaf (wakeuh);
q. danau;
r. kuala;
s. pasar;
t. dan lain-lain.
(3) Selain harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta kekayaan Mukim dapat juga berupa
harta bergerak dan/atau tidak bergerak lainnya.

Pasal 10
Inventasir harta kekayaan Mukim harus melibatkan tokoh masyarakat Mukim dan Keusyik
dalam wilayah Mukim bersangkutan.

Pasal 11
(1) Imuem Mukim harus mendaftarkan hasil inventasir harta kekayaan Mukim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 kepada Pemerintah Kabupaten.
(2) Hasil inventarisir harta kekayaan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan
juga kepada Forum Mukim.

Pasal 12
(1) Pendapatan Mukim terdiri dari :
a. Pendapatan asli mukim:
1) Hasil kekayaan Mukim;
2) Hasil usaha Mukim;
3) retribusi Mukim;
4) uang adat;
5) hasil dari tanah Meusara yang dikuasai Mukim;
6) hasil swadaya masyarakat Mukim;
7) hasil gotong royong; dan
8) lain-lain pendapatan asli Mukim yang sah
b. penerimaan bantuan dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pusat:
1) bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten minimal 10 % untuk Mukim;
2) bagian dana perimbangan yang diterima Kabupaten minimal 10 % untuk alokasi
dana Mukim;
3) pembiayaan pelaksanaan tugas pembantuan;
4) bantuan lainnya dari pemerintah, Pemerintah Provinsi; Pemerintah Kabupaten;
5) bagi hasil dari penerima Pemerintah yang dipungut dan berasal dari Mukim.
c. Penerimaan lain-lain:
1) Sumbangan pihak ketiga
2) Pinjaman Mukim
3) Hasil kerjasama Mukim dengan pihak lain
4) Dan lain-lain
(2) Pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Mukim (APBM) yang disusun oleh Imeum Mukim dengan
persetujuan Tuha Peuet Mukim.

Pasal 13
(1) Pendapatan yang bersumber dari harta pendapatan mukim, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 harus dibagi secara proporsional antara Mukim dan gampong didasarkan atas

9
prinsip keseimbangan, kemampuan antar gampong, dengan tujuan pemerataan kemampuan
antar gampong dalam wilayah Mukim;
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar kesepakatan antar
Mukim dan Gampong serta gabungan Gampong dalam Mukim setempat dan diatur melalui
Peraturan Mukim.

Pasal 14
Tuha Peut Mukim wajib melakukan pengawasan terhadap harta kekayaan Mukim.

BAB IV
LEMBAGA ADAT
Pasal 4
(1). Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi
masyarakat hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Kabupaten Aceh Besar di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan,
dan keterlibatan masyarakat.
(2). Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh
melalui lembaga adat.
(3). Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukim atau disebut nama lain;
c. imeum chik atau disebut nama lain;
d. keuchik atau disebut nama lain;
e. tuha peut atau disebut nama lain;
f. tuha lapan atau disebut nama lain;
g. imeum meunasah atau disebut nama lain;
h. keujreun blang atau disebut nama lain;
i. panglima laot atau disebut nama lain;
j. pawang glee atau disebut nama lain;
k. peutua seuneubok atau disebut nama lain;
l. haria peukan atau disebut nama lain; dan
m. syahbanda atau disebut nama lain.
Pasal 5
(1). Majelis Adat Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a,
dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 7, Qanun Aceh Nomor
10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(2). Imeum mukim atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf b, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 8, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(3). Imeum chik atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf c, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 11,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(4). Keuchik atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf d, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 15,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(5). Tuha peut atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4

10
ayat (3) huruf e, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 17,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(6). Tuha lapan atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 21
ayat (4), Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(7). Imeum meunasah atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf g, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 23, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(8). Keujreun blang atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf h, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 25, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(9). Panglima laot atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf i, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 28
ayat (2) dan ayat (3), Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Lembaga Adat.
(10). Pawang glee atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf j, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 31,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(11). Peutua seuneubok atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf k, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 33, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(12). Haria peukan atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf l, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 36,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(13). Syahbanda atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf m, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 40,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.

BAB III
TIM INVENTARISASI
Pasal 6
(1). Dalam melakukan pendaftaran, penetapan masyarakat hukum adat dan
wilayah adat, Bupati membentuk Tim Inventarisasi atau disebut dengan
nama lain.
(2). Struktur Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar sebagai ketua;
b. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menyelenggarakan
pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
c. Majelis Adat Aceh sebagai anggota;
d. Camat sebagai anggota;
e. Imeum Mukim sebagai anggota;
f. Keuchik sebagai anggota;

11
g. Tuha Peut Mukim sebagai anggota;
h. Tuha Peut Gampong sebagai anggota;
i. Tuha Lapan sebagai anggota; dan
j. unsur akademisi, pakar hukum adat, LSM, dan MHA sebagai anggota.
(3). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati.

BAB IV
PENETAPAN MHA DAN WILAYAH ADAT MUKIM
Pasal 7
Tata Cara Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat dilakukan,
sebagai berikut:
a. identifikasi MHA dan wilayah adat;
b. verifikasi dan validasi MHA dan wilayah adat; dan
c. penetapan MHA dan wilayah adat.
Pasal 8
(1). Identifikasi MHA dan wilayah adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a, dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah MHA; (kekayaan/warisan budaya)
b. wilayah adat;
c. hukum adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (masuk ke poin harta
kekayaan)
e. kelembagaan adat/sistem pemerintahan adat.
(2). Identifikasi wilayah adat dituangkan dalam bentuk peta sketsa, atau peta
berskala hasil pemetaan partisifatif (catatan : ada kesepakatan dengan
mukim sebatas)
(3). Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
verifikasi dan validasi oleh Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama
lain.

(4). Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diumumkan kepada MHA setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
(5). Tata cara verifikasi dan validasi MHA dan wilayah adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 9
(1). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain menyampaikan
rekomendasi kepada Bupati Aceh Besar berdasarkan hasil verifikasi dan

12
validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
(2). Bupati Aceh Besar menetapkan MHA dan wilayah adat berdasarkan
rekomendasi Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain dengan
Keputusan Bupati.
Pasal 10
wilayah adat yang telah ditetapkan oleh Bupati, dapat didaftarkan pada
Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan/atau Kantor Pertanahan Aceh (KPA)
Kabupaten Aceh Besar.

BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT MUKIM
Pasal 11
(1). Dalam hal MHA keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), maka MHA dapat
mengajukan keberatan kepada Tim Inventarisasi atau disebut dengan
nama lain.
(2). Pengajuan keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi paling lama 60
( enam puluh) hari sejak keputusan hasil verifikasi dan validasi sejak
diumumkan.
(3). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan
MHA.
(4). Verifikasi dan validasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya
dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(5). Tata cara penanganan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 12
(1). Dalam hal MHA keberatan terhadap Keputusan Bupati sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2). Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

BAB VI
PENDANAAN
Pasal 13
Segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan penetapan MHA dan wilayah
adat dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten;

13
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Mukim; dan
e. Sumbangan pihak lain yang sah dan tidak mengikat.

BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Kepemilikan tanah yang telah ada sebelum ditetapkan Peraturan Bupati ini
sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
adat, wajib dilindungi dan diakui keberadaannya.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini
dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Aceh Besar.
Ditetapkan di Kota Jantho
pada tanggal

BUPATI ACEH BESAR,

MAWARDI ALI
Diundangkan di Kota Jantho
Pada tanggal

SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN ACEH BESAR,

ABDULLAH,S.SOS

BERITA DAERAH KABUPATEN ACEH BESAR TAHUN 2020 NOMOR …

Tembusan disampaikan kepada Yth:

1. Menteri Dalam Negeri di Jakarta;


2. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Jakarta;
3. Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala BPN di Jakarta;
4. Menteri Desa, PDTT di Jakarta;
5. Gubernur Provinsi Aceh di Banda Aceh;
6. DPRD Kabupaten Aceh Besar di Jantho;
7. Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar di Jantho;
8. Kepala OPD di Kabupaten Aceh Besar di Jantho;
9. Camat di Kabupaten Aceh Besar;
10. Kepala Mukim dan Gampong di Kabupaten Aceh Besar;

14
11. Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Aceh Besar; dan
12. Arsip.

LAMPIRAN I
PERATURAN BUPATI ACEH BESAR
NOMOR … TAHUN 2020

DAFTAR PERIKSA
VERIFIKASI DAN VALIDASI MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN WILAYAH ADAT MUKIM

Nomor Pendaftaran : ………………………………………………………………


Nama MHA : ………………………………………………………………
Kecamatan : ………………………………………………………………
:
Tanggal verifikasi : ………………………………………………………………
Tidak
Materi Pertanyaan Catatan Diterima
diterima
1. Kebenaran identitas
keberadaan MHA

15
a. Sejarah MHA
b. Wilayah adat
c. Harta Kekayaan
Mukim
d. Kelembagaan adat
e. Norma-norma adat
f. Hak-hak adat
2. Pengecekan titik
referensi geografis
wilayah adat
a. Batas wilayah adat
b. Harta Kekayaan
Mukim
c. Tempat/Benda
bersejarah
d. Kawasan
perlindungan
setempat
e. Kebudayaan
3. Persinggungan batas
wilayah adat dengan
wilayah lain
4. Konflik/keberatan
dari pihak lain
mengenai wilayah
adat
5. Rekaman atau bukti
yang menunjukan
keberadaan MHA
Pemeriksa Tanda Tangan

( Nama Jelas )
--------------------------- ---------------------------

Ditetapkan di Kota Jantho


pada tanggal

BUPATI ACEH BESAR,

MAWARDI ALI

LAMPIRAN II
PERATURAN BUPATI ACEH BESAR
NOMOR … TAHUN 2020
FORMULIR PERMOHONAN KEBERATAN

Identitas Pemohon
a. Nama
b. Alamat
c. Kedudukan (lingkari yang a. Masyarakat Hukum Adat
dipilih) b. Peseorangan
c. Badan Usaha
d. Tanda bukti diri (lingkari yang a. Surat kuasa dari ketua adat
dipilih b. KTP atau identitas valid lainnya
c. Surat kuasa dari Direksi dan
surat pengesahan untuk badan
hukum
Keberatan diajukan terhadap usulan

16
penetapan MHA
Hal yang menjadi aspek keberatan (lingkari yang dipilih)
a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat
b. Wilayah adat
c. Norma-norma adat
d. Kelembagaan adat
e. Hak-hak adat
Dasar-dasar atau alasan-alasan pengajuan keberatan
1. ………………………………………………………….
2. ………………………………………………………….
3. …………………………………………………………
Jelaskan kerugian atau potensi kerugian yang diderita oleh pemohon
keberatan
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
Bukti-bukti yang dilampirkan
1. …………………………………………………….
2. ……………………………………………………..
3. ……………………………………………………..
____________________,________,________,20____
Pemohon

(ttd)

Nama Jelas

Ditetapkan di Kota Jantho


pada tanggal

BUPATI ACEH BESAR,

MAWARDI ALI

17

Anda mungkin juga menyukai