TENTANG
BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM
DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA ESA
ATAS RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
1
b. bahwa untuk memberikan kejelasan dan kepastian
hukum terhadap wilayah adat, tanah ulayat dan harta
kekayaan mukim, maka diperlukan adanya tata cara
penetapan wilayah adat, tanah ulayat dan harta
kekayaan mukim di kabupaten Aceh Besar;
2
Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4633);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5059);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244; Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587);
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5679);
7. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014
Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5495);
8. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2015 tentang
Pengalihan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional
Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota Menjadi
Badan Pertanahan Aceh dan Kantor Pertanahan Aceh
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2015 Nomor 29);
3
Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor
801);
12. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
8/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Penetapan
Wilayah Kelola Masyarakat Hukum Adat Dalam
Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018
Nomor 330);
13. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Nomor P.21/Menlhk/Setjen/2019 tentang Hutan Adat
dan Hutan Hak (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2019 Nomor 522);
14. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2019
tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayath
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat (Berita Negara
Republik Indonesia Tahun 2019 Nomor 1127);
15. Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tentang Pembinaan
Kehidupan Adat dan Adat Istiadat (Lembaran Daerah
Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 09,
Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 19);
16. Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat
(Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008
Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh
Darussalam Nomor 20);
4
B/121/I/2012 tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat
Gampong dan Mukim Atau Nama Lain di Aceh;
21. Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Mukim;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN BUPATI ACEH BESAR TENTANG TATA CARA
PENDAFTARAN, PENETAPAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN WILAYAH ADAT MUKIM DI KABUPATEN ACEH BESAR.
BAB I
KETENTUAN UMUM (dibahas terakhir)
Pasal 1
Dalam Peraturan Bupati ini yang dimaksud dengan:
1. Pemerintah Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut Pemerintah
Kabupaten Aceh Besar adalah Unsur Penyelenggara Pemerintahan Daerah
Kabupaten yang terdiri atas Bupati dan Perangkat Daerah Kabupaten Aceh
Besar.
2. Bupati adalah Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Besar yang di
pilih melalui suatu proses Demokratis yang dilakukan berdasarkan Azas
Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil.
3. Sekretaris Daerah adalah Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar.
4. Majelis Adat Aceh (MAA) adalah Suatu Organisasi Penyelenggaraan
Kehidupan Adat di Kabupaten Aceh Besar.
5. Mukim adalah kesatuan masyarakat hukum di bawah Kecamatan yang
terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah
tertentu yang dipimpin oleh Imeum Mukim dan berkedudukan langsung di
bawah Camat.
6. Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada
di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak
menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.
7. Harta Kekayaan Mukim adalah harta kekayaan yang dikuasai oleh Mukim
yang ada pada waktu pembentukan Gampong atau nama lain dan tidak
diserahkan kepada Gampong serta sumber pendapatan lainnya yang sah.
8. Tanah Ulayat adalah tanah yang berada dalam wilayah Mukim yang
dikuasai dan diatur oleh Hukum Adat.
9. Masyarakat Hukum Adat selanjutnya disingkat MHA adalah kelompok
masyarakat yang secara turun temurun bermukim di wilayah geografis
tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan
yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang
5
menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
10. Wilayah Adat adalah tanah adat yang berupa tanah, air, dan/atau
perairan beserta sumber daya alam yang ada di atasnya dengan batas-
batas tertentu, dimiliki, dimanfaatkan dan dilestarikan secara turun-
temurun dan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat yang diperoleh melalui pewarisan dari leluhur mereka atau
gugatan kepemilikan berupa tanah ulayat atau hutan adat.
11. Hutan Adat adalah hutan yang berada di dalam wilayah masyarakat
hukum adat.
12. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan
masyarakat setempat antara lain untuk melindungi dan mengelola
lingkungan hidup dan sumber daya alam secara lestari.
13. Hukum Adat adalah norma hukum yang bersumber dari adat istiadat yang
hidup dan berkembang dalam masyarakat kemukiman setempat yang
bersifat mengikat dan menimbulkan akibat hukum.
14. Musyawarah Mukim adalah permusyawaratan dan permufakatan dalam
berbagai kegiatan adat, pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan
yang dihadiri oleh para Keuchik, lembaga-lembaga adat dan para pemimpin
agama yang dipimpin oleh Imeum Mukim.
15. Penyelesaian persengketaan adat Mukim adalah permusyawaratan dalam
proses penyelesaian berbagai perkara adat, perselisihan antar penduduk
atau sengketa-sengketa di bidang hukum adat dalam kemukiman yang
dilaksanakan oleh Imeum Mukim dan Tuha Peuet Mukim.
16. Pengakuan Masyarakat Hukum Adat adalah pernyataan tertulis Bupati
Aceh Besar atas keberadaan masyarakat hukum adat.
17. Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain adalah lembaga bersifat
sementara yang dibentuk untuk melakukan identifikasi, verifikasi dan
validasi masyarakat hukum adat.
BAB II
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Pasal 2
Peraturan Bupati ini bertujuan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat
(1) dan ayat (2), Qanun Aceh Besar Nomor 8 Tahun 2009 tentang
Pemerintahan Mukim.
Pengaturan Tata Cara Penetapan Wilayah Adat, Tanah Ulayat dan Harta
Kekayaan Mukim yang bertujuan untuk ;
a. memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap wilayah
adat, tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
b. mewujudkan keadilan dan kemamfaatan terhadap wilayah adat,
6
tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
c. menjadi pedoman dalam melaksanakan kegiatan penetapan
wilayah adat, tanah ulayat dan harta kekayaan mukim;
d. memberikan kejelasan kewenangan dalam pengaturan dan
penyelenggaraan pemerintahan mukim;
e. menciptakan kedamaian dalam masyarakat dan menghindari
adanya konflik batas dan pengelolaan sumber daya alam dalam
wilayah adat mukim.
BAB III
Pasal 3
Ruang Lingkup Peraturan Bupati ini meliputi:
a. penetapan wilayah adat mukim;
b. penetapan tanah ulayat mukim;
c. penetapan harta kekayaan mukim.
a. Lembaga Adat;
b. Tim Inventarisasi;
c. Penetapan MHA dan Wilayah Adat Mukim;
d. Penyelesaian Sengketa Adat Mukim;
e. Pendanaan; dan (masuk dalam Bab terpisah)
f. Ketentuan Peralihan. (jika diperlukan)
BAB II
BAB IV
PENETAPAN WILAYAH ADAT MUKIM
Bagian Satu
Tata Cara Penetapan dan Penegasan Batas Mukim
Pasal 4
(1) Batas Mukim merupakan gabungan batas wilayah gampong terluar dalam koordinasi mukim
bersangkutan.
(2) Penetapan batas mukim diwujudkan melalui tahapan penelitian dokumen, penentuan peta
dasar yang dipakai, dan deliniasi garis batas secara kartometrik di atas peta dasar.
(3) Proses penetapan batas dilakukan secara partisipatif oleh para Imum Mukim, para Keuchik
dan tokoh masyarakat dalam wilayah mukim yang berbatasan.
Pasal 5
(1) Penegasan batas mukim diwujudkan melalui tahapan:
a. penentuan dokumen penetapan batas;
b. pelacakan garis batas;
c. pemasangan pilar di sepanjang garis batas;
d. pengukuran dan penentuan posisi pilar batas; dan
e. pembuatan peta garis batas dengan koridor tertentu.
(2) Pembuatan peta garis batas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan kedua
mukim yang berbatasan.
(3) Tahapan penegasan batas mukim dilakukan berdasarkan peta tata ruang kabupaten.
(4) Setiap tahapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam berita acara
kesepakatan antar mukim yang berbatasan.
Bagian Dua
Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim
7
Pasal 6
(1) Untuk menentukan batas Mukim di Kabupaten, dibentuk Tim Penetapan dan Penegasan
Batas Mukim yang ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(2) Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
berkoodinasi dengan Tim Penegasan Batas Daerah Kabupaten.
(3) Keanggotaan Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terdiri dari unsur instansi teknis terkait ditambah dengan unsur yang berasal dari:
a. Kecamatan;
b. Mukim;
c. Keuchik-keuchik dalam mukim bersangkutan;
d. Tokoh masyarakat dari mukim yang berbatasan;
(4) Unsur instansi teknis terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terdiri dari:
a. Bagian Tata Pemerintahan;
b. Bappeda;
c. Kantor Pertanahan;
d. Kantor Pajak Bumi dan Bangunan;
e. Dinas Teknis seperti Pekerjaan Umum, Kehutanan dan Lingkunga Hidup, Perkebunan,
Kelautan dan Perikanan, dll;
Pasal 7
Tim Penetapan dan Penegasan Batas Mukim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
mempunyai tugas:
a. menginventarisasi dasar hukum tertulis, hukum adat dan adat-istiadat, maupun sumber
sejarah lainnya yang berkaitan dengan batas mukim;
b. melakukan pengkajian terhadap dasar hukum tertulis maupun sumber hukum lain untuk
menentukan garis batas sementara di atas peta;
c. merencanakan dan melaksanakan penetapan dan penegasan batas mukim;
d. melakukan supervisi teknis/lapangan dalam penegasan batas mukim;
e. melaksanakan sosialisasi penetapan dan penegasan batas mukim;
f. mengusulkan dukungan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten untuk
pelaksanaan penetapan dan penegasan batas mukim: dan
g. melaporkan semua kegiatan penetapan dan penegasan batas mukim kepada bupati.
Bagian Ketiga
Pengesahan Batas Mukim
Pasal 8
(1) Mukim yang telah melakukan penegasan batas mukim membuat berita acara kesepakatan
bersama antar mukim yang berbatasan dan disaksikan oleh Tim Penetapan dan Penegasan
Batas Mukim.
(2) Berita Acara kesepakatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) beserta lampiran peta batas
mukim dan dokumen lainnya disampaikan kepada bupati.
(3) Pilar batas dan peta garis batas mukim yang telah diverifikasi oleh Tim Penetapan dan
Penegasan Batas mukim dan disetujui oleh Imuem Mukim yang berbatasan diserahkan
untuk mendapatkan pengesahan dari Bupati.
(4) Bupati menetapkan Keputusan Bupati tentang Batas Mukim.
BAB V
PENETAPAN TANAH ULAYAT MUKIM
BAB VI
PENETAPAN HARTA KEKAYAAN MUKIM
Pasal 9
(1) Imuem Mukim harus melakukan inventarisasi terhadap semua harta kekayaan Mukim dalam
wilayah kelolanya.
(2) Harta kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari harta kekayaan yang telah
8
ada atau yang kemudian dikuasai oleh Mukim, dapat berupa:
a. Wilayah hutan mukim (uteun mukim);
b. areal bebas (gabungan beberapa gampong) –termasuk padang meurabe;
c. areal tepi sungai (aliran DAS);
d. tempat penyerapan air (seperti rawa-rawa)/lahan gambut;
e. daerah semak belukar;
f. perbukitan (glee);
g. potensi tambang yang dikuasai lembaga adat;
h. potensi jasa lingkungan (penyerap sumberdaya air, dll);
i. alur (alue);
j. sungai (krueng);
k. delta (pante);
l. rawa (paya);
m. pantai laut (pasi);
n. laut (laoet);
o. tanah umum (tanoh meusara);
p. waqaf (wakeuh);
q. danau;
r. kuala;
s. pasar;
t. dan lain-lain.
(3) Selain harta sebagaimana dimaksud pada ayat (1), harta kekayaan Mukim dapat juga berupa
harta bergerak dan/atau tidak bergerak lainnya.
Pasal 10
Inventasir harta kekayaan Mukim harus melibatkan tokoh masyarakat Mukim dan Keusyik
dalam wilayah Mukim bersangkutan.
Pasal 11
(1) Imuem Mukim harus mendaftarkan hasil inventasir harta kekayaan Mukim sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 kepada Pemerintah Kabupaten.
(2) Hasil inventarisir harta kekayaan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan
juga kepada Forum Mukim.
Pasal 12
(1) Pendapatan Mukim terdiri dari :
a. Pendapatan asli mukim:
1) Hasil kekayaan Mukim;
2) Hasil usaha Mukim;
3) retribusi Mukim;
4) uang adat;
5) hasil dari tanah Meusara yang dikuasai Mukim;
6) hasil swadaya masyarakat Mukim;
7) hasil gotong royong; dan
8) lain-lain pendapatan asli Mukim yang sah
b. penerimaan bantuan dari Pemerintah Kabupaten, Provinsi, dan Pusat:
1) bagi hasil pajak dan retribusi kabupaten minimal 10 % untuk Mukim;
2) bagian dana perimbangan yang diterima Kabupaten minimal 10 % untuk alokasi
dana Mukim;
3) pembiayaan pelaksanaan tugas pembantuan;
4) bantuan lainnya dari pemerintah, Pemerintah Provinsi; Pemerintah Kabupaten;
5) bagi hasil dari penerima Pemerintah yang dipungut dan berasal dari Mukim.
c. Penerimaan lain-lain:
1) Sumbangan pihak ketiga
2) Pinjaman Mukim
3) Hasil kerjasama Mukim dengan pihak lain
4) Dan lain-lain
(2) Pendapatan Mukim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dikelola melalui Anggaran
Pendapatan dan Belanja Mukim (APBM) yang disusun oleh Imeum Mukim dengan
persetujuan Tuha Peuet Mukim.
Pasal 13
(1) Pendapatan yang bersumber dari harta pendapatan mukim, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 harus dibagi secara proporsional antara Mukim dan gampong didasarkan atas
9
prinsip keseimbangan, kemampuan antar gampong, dengan tujuan pemerataan kemampuan
antar gampong dalam wilayah Mukim;
(2) Pembagian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas dasar kesepakatan antar
Mukim dan Gampong serta gabungan Gampong dalam Mukim setempat dan diatur melalui
Peraturan Mukim.
Pasal 14
Tuha Peut Mukim wajib melakukan pengawasan terhadap harta kekayaan Mukim.
BAB IV
LEMBAGA ADAT
Pasal 4
(1). Lembaga adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi
masyarakat hukum adat dalam penyelenggaraan pemerintahan di
Kabupaten Aceh Besar di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan,
dan keterlibatan masyarakat.
(2). Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh
melalui lembaga adat.
(3). Lembaga adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), meliputi:
a. Majelis Adat Aceh;
b. imeum mukim atau disebut nama lain;
c. imeum chik atau disebut nama lain;
d. keuchik atau disebut nama lain;
e. tuha peut atau disebut nama lain;
f. tuha lapan atau disebut nama lain;
g. imeum meunasah atau disebut nama lain;
h. keujreun blang atau disebut nama lain;
i. panglima laot atau disebut nama lain;
j. pawang glee atau disebut nama lain;
k. peutua seuneubok atau disebut nama lain;
l. haria peukan atau disebut nama lain; dan
m. syahbanda atau disebut nama lain.
Pasal 5
(1). Majelis Adat Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a,
dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 7, Qanun Aceh Nomor
10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(2). Imeum mukim atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf b, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 8, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(3). Imeum chik atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf c, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 11,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(4). Keuchik atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf d, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 15,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(5). Tuha peut atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
10
ayat (3) huruf e, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 17,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(6). Tuha lapan atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf f, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 21
ayat (4), Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(7). Imeum meunasah atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf g, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 23, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(8). Keujreun blang atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf h, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 25, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(9). Panglima laot atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf i, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 28
ayat (2) dan ayat (3), Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Lembaga Adat.
(10). Pawang glee atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf j, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 31,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(11). Peutua seuneubok atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (3) huruf k, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan
Pasal 33, Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(12). Haria peukan atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4 ayat (3) huruf l, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 36,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
(13). Syahbanda atau disebut nama lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (3) huruf m, dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan Pasal 40,
Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat.
BAB III
TIM INVENTARISASI
Pasal 6
(1). Dalam melakukan pendaftaran, penetapan masyarakat hukum adat dan
wilayah adat, Bupati membentuk Tim Inventarisasi atau disebut dengan
nama lain.
(2). Struktur Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), terdiri atas:
a. Sekretaris Daerah Kabupaten Aceh Besar sebagai ketua;
b. Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang menyelenggarakan
pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris;
c. Majelis Adat Aceh sebagai anggota;
d. Camat sebagai anggota;
e. Imeum Mukim sebagai anggota;
f. Keuchik sebagai anggota;
11
g. Tuha Peut Mukim sebagai anggota;
h. Tuha Peut Gampong sebagai anggota;
i. Tuha Lapan sebagai anggota; dan
j. unsur akademisi, pakar hukum adat, LSM, dan MHA sebagai anggota.
(3). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
BAB IV
PENETAPAN MHA DAN WILAYAH ADAT MUKIM
Pasal 7
Tata Cara Penetapan Masyarakat Hukum Adat dan wilayah adat dilakukan,
sebagai berikut:
a. identifikasi MHA dan wilayah adat;
b. verifikasi dan validasi MHA dan wilayah adat; dan
c. penetapan MHA dan wilayah adat.
Pasal 8
(1). Identifikasi MHA dan wilayah adat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
huruf a, dilakukan dengan mencermati:
a. sejarah MHA; (kekayaan/warisan budaya)
b. wilayah adat;
c. hukum adat;
d. harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan (masuk ke poin harta
kekayaan)
e. kelembagaan adat/sistem pemerintahan adat.
(2). Identifikasi wilayah adat dituangkan dalam bentuk peta sketsa, atau peta
berskala hasil pemetaan partisifatif (catatan : ada kesepakatan dengan
mukim sebatas)
(3). Hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
verifikasi dan validasi oleh Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama
lain.
(4). Hasil verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diumumkan kepada MHA setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.
(5). Tata cara verifikasi dan validasi MHA dan wilayah adat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3), tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 9
(1). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain menyampaikan
rekomendasi kepada Bupati Aceh Besar berdasarkan hasil verifikasi dan
12
validasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (3).
(2). Bupati Aceh Besar menetapkan MHA dan wilayah adat berdasarkan
rekomendasi Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain dengan
Keputusan Bupati.
Pasal 10
wilayah adat yang telah ditetapkan oleh Bupati, dapat didaftarkan pada
Badan Pertanahan Aceh (BPA) dan/atau Kantor Pertanahan Aceh (KPA)
Kabupaten Aceh Besar.
BAB V
PENYELESAIAN SENGKETA ADAT MUKIM
Pasal 11
(1). Dalam hal MHA keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1), maka MHA dapat
mengajukan keberatan kepada Tim Inventarisasi atau disebut dengan
nama lain.
(2). Pengajuan keberatan terhadap hasil verifikasi dan validasi paling lama 60
( enam puluh) hari sejak keputusan hasil verifikasi dan validasi sejak
diumumkan.
(3). Tim Inventarisasi atau disebut dengan nama lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) melakukan verifikasi dan validasi ulang terhadap keberatan
MHA.
(4). Verifikasi dan validasi ulang sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hanya
dapat dilakukan 1 (satu) kali.
(5). Tata cara penanganan keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan Bupati ini.
Pasal 12
(1). Dalam hal MHA keberatan terhadap Keputusan Bupati sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2), dapat mengajukan keberatan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara.
(2). Penyelesaian sengketa atas pengajuan keberatan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB VI
PENDANAAN
Pasal 13
Segala biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan penetapan MHA dan wilayah
adat dibebankan pada:
a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
b. Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh;
c. Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten;
13
d. Anggaran Pendapatan dan Belanja Mukim; dan
e. Sumbangan pihak lain yang sah dan tidak mengikat.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 14
Kepemilikan tanah yang telah ada sebelum ditetapkan Peraturan Bupati ini
sepanjang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
adat, wajib dilindungi dan diakui keberadaannya.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 15
Peraturan Bupati ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.Agar setiap
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bupati ini
dengan penempatannya dalam Berita Daerah Kabupaten Aceh Besar.
Ditetapkan di Kota Jantho
pada tanggal
MAWARDI ALI
Diundangkan di Kota Jantho
Pada tanggal
SEKRETARIS DAERAH
KABUPATEN ACEH BESAR,
ABDULLAH,S.SOS
14
11. Masyarakat Hukum Adat di Kabupaten Aceh Besar; dan
12. Arsip.
LAMPIRAN I
PERATURAN BUPATI ACEH BESAR
NOMOR … TAHUN 2020
DAFTAR PERIKSA
VERIFIKASI DAN VALIDASI MASYARAKAT HUKUM ADAT
DAN WILAYAH ADAT MUKIM
15
a. Sejarah MHA
b. Wilayah adat
c. Harta Kekayaan
Mukim
d. Kelembagaan adat
e. Norma-norma adat
f. Hak-hak adat
2. Pengecekan titik
referensi geografis
wilayah adat
a. Batas wilayah adat
b. Harta Kekayaan
Mukim
c. Tempat/Benda
bersejarah
d. Kawasan
perlindungan
setempat
e. Kebudayaan
3. Persinggungan batas
wilayah adat dengan
wilayah lain
4. Konflik/keberatan
dari pihak lain
mengenai wilayah
adat
5. Rekaman atau bukti
yang menunjukan
keberadaan MHA
Pemeriksa Tanda Tangan
( Nama Jelas )
--------------------------- ---------------------------
MAWARDI ALI
LAMPIRAN II
PERATURAN BUPATI ACEH BESAR
NOMOR … TAHUN 2020
FORMULIR PERMOHONAN KEBERATAN
Identitas Pemohon
a. Nama
b. Alamat
c. Kedudukan (lingkari yang a. Masyarakat Hukum Adat
dipilih) b. Peseorangan
c. Badan Usaha
d. Tanda bukti diri (lingkari yang a. Surat kuasa dari ketua adat
dipilih b. KTP atau identitas valid lainnya
c. Surat kuasa dari Direksi dan
surat pengesahan untuk badan
hukum
Keberatan diajukan terhadap usulan
16
penetapan MHA
Hal yang menjadi aspek keberatan (lingkari yang dipilih)
a. Sejarah Masyarakat Hukum Adat
b. Wilayah adat
c. Norma-norma adat
d. Kelembagaan adat
e. Hak-hak adat
Dasar-dasar atau alasan-alasan pengajuan keberatan
1. ………………………………………………………….
2. ………………………………………………………….
3. …………………………………………………………
Jelaskan kerugian atau potensi kerugian yang diderita oleh pemohon
keberatan
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
…………………………………………………………………………………………………
Bukti-bukti yang dilampirkan
1. …………………………………………………….
2. ……………………………………………………..
3. ……………………………………………………..
____________________,________,________,20____
Pemohon
(ttd)
Nama Jelas
MAWARDI ALI
17