Anda di halaman 1dari 99

1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Peningkatan pembangunan sebagai akibat dari peningkatan realisasi investasi di
Kabupaten Gresik, perlu diimbangi dengan upaya pengaturan dan pengendalian pelaksanaan
pembangunan. Pengaturan dan pengendalian dilakukan dengan tujuan agar terjadi kesesuaian
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan terkendalinya pelaksanaan pembangunan sesuai
dengan fungsi sehingga perencanaan tata ruang bisa berlangsung optimal. Selain itu,
pengaturan dan pengendalian bertujuan untuk mewujudkan bangunan yang fungsional, andal,
seimbang, serasi dan selaras dengan lingkungannya.

Untuk mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan, menjamin keandalan teknis


bangunan serta terwujudnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan bangunan, maka setiap
pendirian bangunan harus berdasarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Pemerintah Daerah
Kabupaten Gresik selama ini sudah memiliki dasar hukum dalam pelaksanaan Izin
Mendirikan Bangunan yaitu Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 tahun 2000
tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan. Dengan telah diberlakukannya Peraturan
Daerah Nomor 5 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu dan berlakunya dasar-
dasar hukum baru dalam penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) serta untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dunia usaha akan pelayanan publik yang prima, maka dipandang perlu
untuk menyusun Peraturan Daerah Baru mengenai Izin Mendirikan Bangunan di Kabupaten
Gresik. Peraturan Daerah yang baru ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pelaksanaan
pemberian izin untuk melakukan pengaturan dan pengendalian pelaksanaan pembangunan.

Berdasarkan hal tersebut, kegiatan kajian kebijakan penanaman modal pada Tahun
2015 ini ditujukan untuk Rancangan Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan Bangunan
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 1
melalui pembuatan Naskah Akademik sebagai dasar dalam perumusan Rancangan Peraturan
Daerah.

1.2. Identifikasi Masalah


Naskah akademik ini akan menganalisis 4 (empat) permasalahan yang terkait dengan
penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di Kabupaten Gresik. Empat permasalahan
tersebut antara lain:
1. Permasalahan apa yang dihadapi dalam perizinan bangunan di Kabupaten Gresik serta
bagaimana permasalahan tersebut dapat diatasi?
2. Mengapa perlu Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar pemecahan masalah tersebut,
yang berarti membenarkan pelibatan negara dalam penyelesaian masalah tersebut?
3. Apa yang menjadi pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah tersebut?
4. Apa sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan, dan arah
pengaturan?

1.3. Tujuan dan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik


Sesuai ruang lingkup identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, tujuan
penyusunan Naskah Akademik ini adalah:
1. Merumuskan permasalahan yang dihadapi dalam perizinan bangunan di Kabupaten
Gresik serta bagaimana mengatasi permasalahan tersebut.
2. Merumuskan permasalahan hukum yang dihadapi sebagai alasan pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah sebagai dasar hukum penyelesaian atau solusi
permasalahan perizinan bangunan di Kabupaten Gresik.
3. Merumuskan pertimbangan atau landasan filosofis, sosiologis, yuridis pembentukan
Rancangan Peraturan Daerah.
4. Merumuskan sasaran yang akan diwujudkan, ruang lingkup pengaturan, jangkauan dan
arah pengaturan dalam Rancangan Peraturan Daerah.

Sementara itu, kegunaan penyusunan Naskah Akademik ini adalah sebagai acuan
atau referensi penyusunan dan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik
tentang Izin Mendirikan Bangunan.

1.4. Metode

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 2
Terkait dengan metode penyusunan Naskah Akademik ini adalah metode penelitian
hukum yang digunakan untuk menjawab permasalahan hukum yang telah dirumuskan.
Metode tersebut terkait dengan aspek jenis penelitian, pendekatan penelitian, jenis data, dan
teknik pengumpulan data.
1. Jenis Penelitian
Penelitian dalam rangka penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Pemberian IMB ini dilakukan berdasarkan metode penelitian sosio legal. Metode
penelitian sosio legal adalah metode penelitian yang bukan hanya mengkaji aspek hukum
dengan pendekatan doktrinal tetapi juga dengan pendekatan nondoktrinal. Oleh karena
itu penyusunan Naskah Akademik ini menggunakan data primer dan data sekunder
berupa bahan hukum.
2. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini mencakup data primer dan data sekunder.
Data primer dalam penelitian ini adalah kondisi empiris perizinan bangunan gedung di
Kabupaten Gresik. Kondisi empiris tersebut terkait dengan kondisi bangunan gedung
maupun prosedur perizinan secara empiris. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup
literatur atau kajian maupun bahan hukum yang terkait dengan proses perizinan
bangunan gedung (IMB) di Kabupaten Gresik.

3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif kualitatif. Berdasarkan
pendekatan ini, data yang diperoleh akan dideskripsikan secara kualitatif. Oleh karena
data yang diperoleh dan dipaparkan bersifat kualitatif, maka pemaparan data akan
menekankan pada interpretasi terhadap data yang telah diperoleh. Interpretasi tersebut
terkait makna dari data yang diperoleh untuk menjawab identifikasi permasalahan yang
telah dirumuskan. Terkait dengan bahan hukum sebagai data sekunder akan dianalisis
dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan
perbandingan. Penggunaan pendekatan perbandingan dalam penyusunan naskah
akademik ini digunakan untuk memetakan best practices penyelenggaraan IMB pada
daerah-daerah dengan karakteristik yang sejenis dengan Kabupaten Gresik.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada Naskah Akademik ini dilakukan dengan memperhatikan jenis
data yang akan dikumpulkan. Data primer pada penelitian ini diperoleh melalui
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 3
observasi, dokumentasi, maupun wawancara bebas terpimpin. Wawancara bebas
terpimpin dilakukan dengan mempersiapkan terlebih dahulu pertanyaan-pertanyaan
sebagai pedoman. Namun tidak menutup kemungkinan adanya variasi pertanyaan sesuai
dengan situasi ketika wawancara berlangsung. Wawancara dilakukan terhadap informan,
dalam hal ini pihak yang berwenang maupun masyarakat yang terkait dengan proses
perizinan bangunan gedung (IMB) di Kabupaten Gresik. Oleh karena pendekatan dalam
penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, maka jumlah informan dalam pengumpulan
data primer tidak menjadi patokan kualitas data. Penekanan pengumpulan data melalui
informan adalah pemaknaan terhadap realitas yang terkait dengan permasalahan dalam
proses perizinan bangunan gedung di Kabupaten Gresik.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 4
2
KAJIAN TEORETIS DAN
PRAKTIK EMPIRIS
2.1. Kajian Teoretis
2.1.1. Konsep Negara Hukum
Istilah negara hukum seringkali dipertukarkan dengan istilah rule of law ataupun
rechtsstaat. Pemakaian kedua istilah tersebut secara bergantian untuk menggantikan istilah
negara hukum terkesan mengaburkan dua konsep yang berasal dari latar belakang berbeda.
Rule of law berangkat dari tradisi common law atau Anglo Saxon sedangkan rechtsstaat
merupakan konsep dari tradisi civil law atau Eropa Kontinental. Berdasarkan latar belakang
dan dari sistem hukum yang melatarbelakanginya tentu saja akan memunculkan perbedaan.
Namun dalam perkembangannya perbedaan tersebut tidak dipermasalahkan lagi karena kedua
konsep tersebut mengarah pada pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi
manusia.1
Istilah rechtsstaat mulai populer di Eropa sejak abad XIX meskipun pemikiran itu
sudah muncul sebelum abad tersebut. Istilah rule of law mulai populer dengan terbitnya
sebuah buku dari Albert Venn Dicey tahun 1885 dengan judul “Introduction to the Study of
the Law of the Constitution”. Namun satu abad sebelum A.V.Dicey sebenarnya di Amerika
Serikat telah muncul istilah yang memiliki makna yang serupa dengan rule of law yaitu:
“government of laws, not of men”. Intinya adalah negara akan menjauhkan diri dari
pemerintahan absolut (tanpa pembatasan kekuasaan). Istilah “a government of laws and not
of men” pertama kali dikenalkan John Adams di tahun 1774 dalam artikelnya di Boston

1
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-
prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi, Surabaya: Peradaban, 2007, hlm. 67.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 5
Gazette. Prinsip ini juga yang dipakai hakim John Marshall dalam mengadili perkara
Marbury v Madison yang akhirnya melahirkan konsep judicial review.2
Konsep rule of law yang dipopulerkan oleh A.V.Dicey terdiri dari tiga aspek.
Pertama, supremasi absolut atau superioritas dari regular law untuk menentang pengaruh dan
meniadakan kesewenang-wenangan, hak prerogatif, serta kekuasaan diskresi yang luas dari
pemerintah. Kedua, persamaan di hadapan hukum atau penundukan secara sama dari semua
golongan kepada hukum umum dari negara yang dilaksanakan oleh peradilan umum. Artinya,
tidak ada orang yang berada di atas hukum sehingga baik pejabat maupun warga negara biasa
wajib mentaati hukum yang sama. Implikasinya adalah tidak adanya peradilan administrasi.
Ketiga, konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land. Hukum konstitusi bukanlah
sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan ditegaskan
oleh peradilan. Dengan demikian konstitusi dalam rule of law adalah konstitusi yang
berdasarkan pada hak-hak asasi manusia.3
Konsep rule of law yang dipopulerkan oleh A.V.Dicey kemudian berkembang lebih
jauh. International Commission of Jurists di tahun 1959 (deklarasinya dikenal sebagai
Deklarasi Delhi) merumuskan ciri-ciri yang seharusnya ada dalam rule of law. Ciri-ciri
tersebut yaitu:4
a. keberadaan pemerintahan yang representatif;
b. penghargaan terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Deklarasi Universal Hak-
hak Asasi Manusia Tahun 1948 dan Konvensi Eropa tentang Hak Asasi Manusia di
Tahun 1950;
c. tiadanya hukum pidana yang berlaku surut;
d. adanya hak untuk mengajukan gugatan terhadap negara;
e. adanya hak atas pengadilan yang adil termasuk di antaranya adalah pemberlakuan
praduga tak bersalah, bantuan hukum, dan hak atas upaya hukum banding;
f. peradilan yang mandiri;
g. adanya pengawasan atas peraturan perundang-undangan yang berfungsi sebagai
pelaksana undang-undang.

2
Brian Z. Tamanaha, “Rule of Law in The United States”, dalam Asian Discourses of Rule of Law,
ed.Randall Peerenboom, London: RoutledgeCurzon, 2004, hlm. 58.
3
A.V.Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Pengantar Studi Hukum Konstitusi,
diterjemahkan oleh Nurhadi, Bandung: Nusamedia, 2007, hlm. 264. Lihat juga Philipus M.Hadjon,
Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh
Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Op.cit, hlm. 75.
4
Alex Carroll, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson Education Limited, 2007, hlm. 46.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 6
A.W. Bradley dan K.D. Ewing mengemukakan tiga aspek rule of law yang
menjadikan rule of law lebih layak dipilih ketimbang negara berdasarkan kekuasaan belaka.
Pertama, rule of law mewujudkan tatanan ketertiban dalam kehidupan bermasyarakat (law
and order) dan bukannya kondisi anarki yang memunculkan tiadanya rasa aman bagi
individu. Stabilitas, menurut Bradley dan Ewing, adalah prakondisi bagi eksistensi sistem
hukum. Kedua, rule of law berdasarkan pada prinsip fundamental yang penting, yaitu bahwa
pemerintahan dijalankan dengan mengacu pada hukum dan setiap kasus yang terjadi
diselesaikan melalui putusan pengadilan. Ketiga, rule of law mengacu pada pengumpulan
pendapat, baik tentang bagaimana wewenang yang seharusnya dimiliki oleh pemerintah dan
bagaimana seharusnya wewenang tersebut dijalankan.5
Seperti halnya rule of law, konsep rechtsstaat juga mengalami perkembangan dari
konsep klasik hingga ke konsep modern. Konsep klasik diistilahkan sebagai klassiek liberale
en democratische rechtsstaat atau democratische rechtsstaat. Sedangkan konsep modern,
khususnya di Belanda, biasa disebut sociale rechtsstaat atau juga disebut sociale
democratische rechtsstaat.
Prinsip-prinsip dasar dari rechtsstaat yang bersifat liberal dan demokratis, menurut
Van Der Pot sebagaimana dikutip Hadjon, meliputi tiga aspek. Pertama, adanya undang-
undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara
penguasa dan rakyat. Kedua, adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan
pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas dan
tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat tetapi juga antara penguasa dan rakyat
dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang (wetmatig bestuur).
Ketiga, diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (vrijheidsrechten van de burger).
Ciri-ciri tersebut menunjukkan prinsip sentral rechtsstaat adalah pada pengakuan dan
perlindungan hak-hak asasi manusia serta kebebasan dan persamaan.6
Konsep sociale rechtsstaat merupakan varian dari liberale rechsstaat yang
memunculkan interpretasi baru terhadap hak-hak klasik dengan memunculkan konsep hak-
hak sosial, konsepsi baru tentang kekuasan politik dalam hubungannya dengan kekuasaan
ekonomi, konsepsi baru tentang makna kepentingan umum, dan karakter baru dari wet dan
wetgeving. Interpretasi terhadap hak-hak klasik tentang kebebasan dan persamaan
5
A.W.Bradley dan K.D.Ewing, Constitutional and Administrative Law, Harlow: Pearson Education
Limited, 2007, hlm. 99.
6
Philipus M.Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat di Indonesia: Sebuah Studi tentang Prinsip-
prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan
Administrasi, Op.cit, hlm.71.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 7
memunculkan pandangan bahwa kebebasan dan persamaan bukan hanya bersifat formal
yuridis saja tetapi secara riil dalam masyarakat. Oleh karena itu dibutuhkan pemenuhan hak-
hak sosial, ekonomi, dan kultural. Legitimasi kekuasaan politik dilihat dari sudut pandang
kaitannya dengan kekuasaan ekonomi. Kepentingan umum tidak diartikan sebagai
kepentingan negara atau kepentingan kaum borjuis tetapi kepentingan dari demokratisasi
nasional, yaitu setiap orang dapat menjadi bagian dari cabang kekuasaan. Watak undang-
undang dalam konsep liberal yang restriktif dan sebagai instrumen stabilitasi mulai luntur
karena fungsi pembentukan undang-undang hanyalah sebagai landasan yuridis formal bagi
kebijakan pemerintah yang berorientasi sosial. Dengan demikian watak ratio scripta atau
aturan tertulis dalam undang-undang direduksi menjadi instrumen hukum untuk mewujudkan
kebijakan. Pergeseran-pergeseran tersebut mengarahkan sociale rechsstaat pada tiga unsur
pokok: hak-hak dasar, peluang ekonomi, dan distribusi sosial.7
Pendapat yang serupa tentang konsep rechtsstaat juga dikemukakan oleh Van Wijk
dan Konijnbelt. Menurutnya rechtsstaat memiliki unsur-unsur sebagai berikut:8
a. pemerintahan menurut hukum (wetmatig bestuur), yang meliputi kewenangan yang
dinyatakan dengan tegas, tentang perlakuan yang sama, dan tentang kepastian hukum;
b. jaminan atas hak-hak asasi;
c. pembagian kekuasaan yang meliputi struktur kewenangan atau desentralisasi dan
tentang tentang pengawasan dan kontrol;
d. pengawasan oleh kekuasaan peradilan.

Keempat unsur tersebut serupa dengan unsur rechtsstaat menurut Zippelius yang
menyatakan bahwa rechtsstaat memiliki unsur pemerintahan menurut hukum, jaminan hak
asasi, pembagian kekuasaan, dan pengawasan yudisial terhadap pemerintah.9

2.1.2. Konsep Wewenang


Wewenang merupakan konsep inti dalam hukum tata negara dan hukum
administrasi. Wewenang dalam hukum tata negara dideskripsikan sebagai kekuasaan hukum
(rechtsmacht). Jadi dalam konsep hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.
Sedangkan wewenang, jika mengacu pada pengertian authority dalam Black’s Law
7
Ibid, hlm.73.
8
A.Hamid S.Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam Penyelenggaraan
Pemerintahan Negara: Suatu Studi Analisis mengenai Keputusan Presiden yang Berfungsi Pengaturan dalam
Kurun Waktu Pelita I – Pelita IV, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, 1990, hlm.45.
9
Ibid.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 8
Dictionary, diartikan sebagai: “the right or permission to act legally on another’s behalf; the
power of one person to affect another’s legal relations by acts done in accordance with the
other’s manifestation of assent; the power delegated by a principal to an agent.”10
Menurut Van Maarseveen, sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, wewenang
terdiri atas tiga komponen, yaitu:11
a. pengaruh, menunjukkan bahwa wewenang ditujukan untuk mengendalikan perilaku
subjek hukum;
b. dasar hukum, yaitu wewenang harus memiliki dasar hukum;
c. konformitas, menunjukkan bahwa adanya standar wewenang.

Wewenang dapat diperoleh dengan tiga cara, yaitu:


a. atribusi
Atribusi menurut Van Wijk dan Konijnenbelt merupakan cara normal dalam
memperoleh wewenang pemerintahan. Atribusi dalam memperoleh wewenang
membuat keputusan (besluit) bersumber langsung kepada undang-undang dalam arti
materiil. Dengan demikian yang dapat membentuk wewenang adalah organ yang
berwenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.12

b. Delegasi
Tidak ada peraturan perundang-undangan di Indonesia yang menjelaskan pengertian
delegasi. Pengertian delegasi dapat mengacu pada pengertian yang dirumuskan oleh
Algemene Wet Bestuursrecht (AWB) Artikel 10:13, yaitu: “Onder delegatie wordt
verstaan: het overdragen door een bestuursorgaan van zijn bevoegdheid tot het nemen
van besluiten aan een ander die deze onder eigen verantwoordelijkheid uitoefent
(terjemahan GALA: ‘Delegation’ means the transfer by an administrative authority of
its power to make orders to another one, who assumes responsibility for the exercise of
this power)”
Dengan demikian konsep delegasi merupakan konsep pengalihan wewenang dari satu
badan tata usaha negara kepada badan tata usaha negara lainnya. Tanggung jawab atas

10
Black Law’s Dictionary, Eds. Bryan A.Garnet et.al, St.Paul: West Publishing, 2009, hlm.152.
11
Philipus M.Hadjon, Tentang Wewenang, Jurnal Yuridika Fakultas Hukum Universitas Airlangga Nomor
5 dan 6 Tahun XII (September – Desember 1997), hlm.1.
12
Ibid, hlm.3.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 9
wewenang tersebut menjadi tanggung jawab delegataris (yang menerima wewenang).
Hal tanggung jawab inilah yang nantinya membedakan konsep delegasi dan mandat.

c. Mandat
Mandat merupakan suatu penugasan kepada bawahan. Penugasan kepada bawahan
misalnya untuk membuat keputusan atas nama pejabat yang member mandat.
Keputusan itu merupakan keputusan pejabat yang memberi mandat.13 Pengertian yang
serupa dapat dilihat pada Artikel 10:1 AWB, bahwa mandat disebut sebagai: “…de
bevoegdheid om in naam van een bestuursorgaan besluiten te nemen.” (…the power to
make orders in the name of an administrative authority). Dengan demikian tanggung
jawab jabatan tetap pada pemberi. Inilah yang membedakan antara mandat dan
delegasi. Oleh karena itu penerima mandat tidak dapat menjadi tergugat dalam sengketa
tata usaha negara.14 Selain itu pembeda antara mandat dan delegasi adalah pemberi
mandat dapat menggunakan lagi wewenang atas mandat tersebut.
Setiap wewenang dibatasi oleh isi/materi wewenang, wilayah wewenang, dan waktu.
Jika wewenang yang dilaksanakan melampaui batas-batas tersebut maka yang timbul
adalah kondisi-kondisi berikut:15
a. onbevoegdheid ratione materiae atau ketidakwenangan karena materi yaitu
pemerintah oleh peraturan perundang-undangan tidak diberikan wewenang untuk
melakukan tindakan yang dilakukannya. Misalnya, seorang walikota tidak
berwenang untuk mencabut Peraturan Daerah karena Peraturan Daerah hanya
dapat dicabut oleh Peraturan Daerah yang dibuat bersama-sama oleh walikota dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
b. Onbevoegdheid ratione loci atau ketidakwenangan karena pemerintah tidak
berwenang untuk melakukan tindakan pemerintahan di wilayah tersebut.
Misalnya, Pemerintah Kota Surabaya tidak berhak untuk membuat Peraturan
Daerah yang mengatur rencana tata ruang wilayah yang cakupan wilayahnya
termasuk wilayah Kabupaten Gresik.

13
Ibid, hlm.12.
14
Lihat Pasal 1 Angka 12 UU PTUN.
15
Philipus M.Hadjon, Fungsi Normatif Hukum Administrasi dalam Mewujudkan Pemerintahan yang
Bersih, Pidato Pengukuhan Guru Besar, Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 10 Oktober 1994.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 10
c. Onbevoegdheid ratione temporis atau ketidakwenangan pemerintah karena
terlampauinya batas waktu. Misalnya, tindakan pemerintah dilakukan dengan
mengacu pada peraturan perundang-undangan yang tidak berlaku lagi.

Wewenang memang memiliki batas, tetapi bisa terjadi suatu kondisi tidak diatur dalam
peraturan perundang-undangan padahal tindakan pemerintah diperlukan dalam kondisi
tersebut. Hal ini bisa saja terjadi karena tidak mungkin semua kondisi diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Di sinilah pentingnya konsep diskresi atau freies
ermessen.16
Menurut Darumurti, diskresi dapat didefinisikan sebagai bentuk wewenang pada badan
atau pejabat pemerintah yang memungkinkan mereka untuk melakukan pilihan-pilihan
dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual dalam lingkup tindakan
pemerintah. Diskresi dimiliki oleh pemerintah karena pemerintah harus aktif berperan
mencampuri bidang kehidupan sosial ekonomi masyarakat (public service) yang
mengakibatkan pemerintah tidak boleh menolak untuk mengambil keputusan ataupun
bertindak dengan dalih terjadi kekosongan pengaturan hukum. Pemerintah diberikan
kewenangan untuk campur tangan dalam lapangan kehidupan masyarakat dan
pemerintah dituntut untuk bertindak aktif di tengah dinamika kehidupan masyarakat.17
Namun diskresi bukan berarti bebas tanpa batas sama sekali. Black’s Law Dictionary
menjelaskan discretion sebagai: “wise conduct and management; cautious
discernment; prudence” atau “individual judgement; the power of free decision
making”.18 Sedangkan administrative discretion diartikan sebagai: “a public official’s
or agency’s power to exercise judgement in the discharge of its duties”.19
Pengertian diskresi menurut Black’s Law Dictionary ini menunjukkan bahwa di balik
kebebasan untuk membuat keputusan terdapat juga aspek kehati-hatian yang perlu
diperhatikan. Kebebasan bertindak yang ada dalam konsep diskresi tidak dapat
dilakukan dengan benar-benar bebas. Kebebasan bertindak dalam diskresi tidak pula

16
Diskresi (discretionary power) merupakan konsep hukum administrasi Inggris. Sedangkan freies
ermessen merupakan konsep hukum administrasi Jerman. Kedua istilah ini biasa digunakan untuk menyebut
kekuasaan bebas. Untuk selanjutnya akan digunakan istilah diskresi sebagai istilah untuk kekuasaan bebas. Lihat
Philipus M.Hadjon et.al, Hukum Administrasi dan Tindak Pidana Korupsi, Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2011, hlm.14.
17
Krishna D. Darumurti, Kekuasaan Diskresi Pemerintah, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2012, hlm.57
– 58.
18
Black’s Law Dictionary, Op.cit, hlm.534.
19
Ibid.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 11
menunjukkan bahwa administrasi negara bebas dari Undang-Undang. Menurut
Kranenburg, sebagaimana dikutip Hadjon, kebebasan yang dimaksud dalam diskresi
adalah kebebasan karena tidak ada pengaturan. Diskresi perlu dilakukan karena
Undang-Undang tidak merinci apa yang terjadi secara konkret dan hal itulah yang harus
dicari sendiri oleh pemerintah. Oleh karena itu tetap ada keterikatan pada peraturan
perundang-undangan saat tindakan pemerintah dilakukan atas dasar diskresi.20 Perlunya
batasan-batasan dalam diskresi juga dikemukakan oleh Ronald Dworkin yang
menganalogikan diskresi sebagai lubang roti donat yang dikelilingi oleh pembatasnya
berupa roti itu sendiri. Secara paradoksal, diskresi tidak akan eksis jika tidak terdapat
batasan-batasan yang mengelilinginya.21
Tidak absolutnya kebebasan bertindak juga diutarakan Matthew Groves, sebagaimana
dikutip Enrico Simanjuntak, yang mendefinisikan diskresi sebagai: “…choice-namely,
that an official who is granted power to act or decide is also granted the freedom to
choose from a range of possible outcomes which an exercise of that power might allow.
But administrative law has long decreed that this freedom is not absolute. Even the
most discretionary powers are not taken to be arbitrary power.”22
Konsep diskresi yang penting bagi kajian ini adalah bahwa ketika diskresi digunakan
dalam pemerintahan maka berlaku perlindungan hukum kepada badan/pejabat yang
bersangkutan. Perlindungan hukum bagi badan/pejabat yang melakukan diskresi adalah
jaminan imunitas dari tindakan judicial review oleh hakim. Hal ini terkenal dengan
adagium “kebijakan tidak dapat diadili”. Dalam hukum tata negara atau hukum
administrasi Amerika Serikat, isu pengujian terhadap kebijakan termasuk dalam
kategori political question atau nonjusticiable issue yaitu pengadilan akan menahan diri
untuk tidak melakukan intervensi (self-restraint) atas kekuasaan pemerintah yang
sifatnya sangat teknikal. Menurut Cass R. Sunstein, sebagaimana dikutip Darumurti,
dasar pertimbangan pengadilan untuk tidak melakukan intervensi terhadap tindakan
diskresi pemerintah adalah argumen pragmatisme, yaitu judges lack expertise and they
are not politically accountable.23

20
Philipus M.Hadjon, Pengertian Dasar tentang Tindak Pemerintahan, Surabaya: Djumali, 1985, hlm.45.
21
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge: Harvard University Press, 1978, hlm.31.
22
Enrico Simanjuntak, Peradilan Administrasi dan Problematika Peraturan Kebijakan, Varia Peradilan
Tahun XXVI Nomor 305 April 2011, hlm.33
23
Krishna D. Darumurti, Op.cit, hlm.36 – 37.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 12
2.1.3. Konsep Teoretis Perizinan
Kajian teoretis aspek perizinan bangunan terkait dengan aspek hukum dalam
perizinan. Persoalan perizinan akan menjadi menarik dilihat jika dihubungkan dengan tatanan
negara yang ada sekarang. Pelaksanaan negara hukum yang demokratis tentu harus dipahami
oleh semua aparatur pemerintah dalam melaksanakan kewenangannya. Perizinan yang selama
ini dianggap sebagai otoritas mutlak pemerintah harusnya ditempatkan dalam dimensi negara
hukum yang demokratis. Oleh karena itu tentu perizinan tidak dapat dipahami asal maunya
aparatur pemerintah tetapi harus memperhatikan hak-hak warga negara dalam kehidupan
demokrasi. Adanya perizinan bukanlah menimbulkan konflik sosial tetapi semestinya mampu
menciptakan harmonisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.24
Pengendalian setiap kegiatan atau perilaku individu atau kolektivitas yang sifatnya
preventif adalah melalui izin yang memiliki kesamaan seperti dispensasi dan konsesi. 25
Perizinan sebagai salah satu instrumen dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah bisa
diterapkan sebagai salah satu kewenangan yang ditentukan pemerintah daerah yang
implementasinya tercermin dalam sikap tindak hukum kepala daerah, baik atas dasar
peraturan perundang-undangan yang dijadikan landasannya, maupun dalam kerangka
menyikapi prinsip pemerintahan yang layak sebagai bentuk tanggungjawab publik.26
Menurut Sjachran Basah, izin merupakan perbuatan hukum administrasi negara
bersegi satu yang menghasilkan peraturan dalam hal concreto berdasarkan persyaratan dan
prosedur sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.27 Izin juga
dapat diartikan sebagai persetujuan penguasa berdasarkan peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari larangan dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan.28
Hukum perizinan adalah suatu bentuk keputusan pemerintah sebagai norma penutup
untuk menerapkan peraturan perundang-undangan dan mewujudkan keadaan tertentu dalam
negara hukum. Izin adalah instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan

24
Agus Ngadino, “Perizinan dalam Kerangka Negara Hukum Demokratis”, Makalah, Universitas
Sriwijaya, hlm. 4.
25
Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Surabaya: Pustaka Tinta Mas, 1988, hlm.
129.
26
Juniarso Ridwan, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Bandung: Nuansa,
2009, hlm. 99.
27
Ibid, hlm. 92.
28
S. Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983, hlm. 94.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 13
tingkah laku warga. Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang
atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-
ketentuan larangan perundangan. Adapun dalam dalam arti sempit menyatakan bahwa izin
adalah pengikatan aktivitas-aktivitas.29

2.2. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan Norma


Asas berbeda dengan norma. Asas memiliki wilayah penerapan yang lebih luas
daripada norma. Dalam suatu sistem hukum, asas hukum merupakan kaidah penilaian
fundamental. Asas hukum memberikan suatu nilai. Nilai tersebut kemudian menjadi bentuk
yang lebih khusus dalam sebuah norma hukum yang memberikan pedoman yang jelas bagi
perbuatan. Sebagai sebuah nilai, menurut Sudikno Mertokusumo, asas hukum menjadi
pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturan konkrit yang
terdapat dalam dan di belakang setiap sistem hukum.30
Asas hukum berisi nilai sehingga asas hanya memberikan pedoman secara tidak
langsung. Oleh karena itu asas hukum tidak selalu dipositifkan dalam peraturan perundang-
undangan sehingga sulit untuk mengkonstatasi kapan asas hukum telah kehilangan
keberlakuannya. Selain itu, asas hukum tidak memiliki sifat ’semua atau tidak’ (alles of niets
karakter). Artinya, dalam kejadian yang sama dapat diterapkan berbagai asas hukum dan
semua asas tersebut memiliki peranan pada interpretasi peraturan perundang-undangan yang
akan diterapkan.31
Selain digunakan dalam hal interpretasi peraturan perundang-undangan, asas juga
digunakan dalam membentuk peraturan perundang-undangan. Munculnya asas-asas
pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan resultan dari sebuah sejarah yang
panjang dalam perkembangan hukum. Dulunya pembentukan peraturan perundang-undangan
dianggap sebuah seni. Namun dalam perkembangannya pembentukan peraturan perundang-
undangan dianggap tidak membutuhkan bakat manusia tetapi teknik yang dapat dipelajari.
Walaupun merupakan sebuah teknik, tetapi pembentukannya tetaplah membutuhkan nilai-
nilai sebagai pedoman bagi perancangnya.

29
Agus Ngadino, Op.cit, hlm. 8.
30
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty, 2003, hlm. 34.
31
J.J.H. Bruggink, Rechts-Reflecties: Grondbegrippen uit de rechtstheorie, Refleksi tentang Hukum,
diterjemahkan Arief Sidharta, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 127.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 14
Keberadaan asas pembentukan peraturan perundang-undangan juga tidak dapat
dilepaskan dari fungsinya. Fungsi asas pembentukan peraturan perundang-undangan antara
lain:32
a. Memberikan pedoman dan bimbingan penuangan isi peraturan perundang-undangan ke
dalam bentuk dan susunan yang sesuai sehingga tepat penggunaan metode
pembentukannya serta sesuai dengan proses dan prosedur pembentukan yang telah
ditentukan.
b. Sebagai dasar pengujian dalam pembentukan peraturan perundang-undangan maupun
sebagai dasar pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Mencegah peraturan perundang-undangan sekedar sebagai produk politik oleh lembaga
legislatif maupun eksekutif.
d. Menjamin agar peraturan perundang-undangan tersebut diterimadan dipahami dengan
baik oleh mayoritas khalayak yang dituju.

Beberapa ahli mengemukakan asas-asas yang menjadi pedoman atau nilai dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Selain para ahli, UU No. 12 Tahun
2011 telah mengatur asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.33 Tidak ada
keseragaman antara pendapat para ahli maupun dengan asas dalam UU No. 12 Tahun 2011.
Namun jika diteliti dengan seksama, asas yang terdapat dalam UU No. 12 Tahun 2011 telah
mengelaborasi berbagai pendapat yang dikemukakan para ahli.
Menurut Van Der Vlies, terdapat 10 (sepuluh) asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang baik. Sepuluh asas tersebut antara lain:34
a. Asas tujuan yang jelas
Asas ini menghendaki adanya suatu tujuan peraturan perundang-undangan yang jelas,
yang harus tampak pula dalam penjelasannya.
b. Asas organ yang tepat

32
Bayu Dwi Anggono, Perkembangan Pembentukan Undang-Undang di Indonesia, Jakarta: Konstitusi
Press, 2014, hlm. 56-58.
33
Pengaturan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No.12 Tahun 2011
tentunya bertentangan dengan pendapat yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa asas hukum tidak perlu
dipositifkan dalam sebuah peraturan perundang-undangan.
34
I.C.van der Vlies, Handboek Wetgeving, Buku Pegangan Perancang Peraturan Perundang-undangan,
diterjemahkan oleh Linus Doludjawa, Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2005, hlm. 238-308.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 15
Asas ini menghendaki agar suatu peraturan perundang-undangan dikeluarkan oleh
organ atau lembaga yang tepat, yaitu organ atau lembaga yang berwenang untuk
membentuk peraturan perundang-undangan tersebut.
c. Asas kemendesakan
Asas ini menghendaki sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk atas dasar
adanya kebutuhan.
d. Asas dapat dilaksanakan
Asas ini menghendaki sebuah peraturan perundang-undangan yang dibentuk agar dapat
ditegakkan dalam praktiknya.

e. Asas konsensus
Asas ini menghendaki pihak-pihak yang berkepentingan berpartisipasi dalam proses
pembentukan peraturan perundang-undangan.
f. Asas peristilahan dan sistematika yang jelas
Asas ini menghendaki suatu perundang-undangan mudah dimengerti oleh pihak-pihak
yang berkepentingan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan tesebut.
g. Asas kemudahan untuk diketahui
Asas ini menghendaki suatu peraturan perundang-undangan dapat diketahui dengan
mudah oleh masyarakat. Oleh karena itu pemerintah seharusnya membuat ikhtisar
umum peraturan perundang-undangan yang masih berlaku.
h. Asas kesamaan hukum
Asas ini berkaitan dengan masalah apakah pembedaan perlakuan yang diadakan oleh
pembuat suatu peraturan perundang-undangan dapat dibenarkan atau tidak.
i. Asas kepastian hukum
Asas ini menghendaki harapan-harapan atau ekspektasi yang wajar dihormati oleh
pembuat peraturan perundang-undangan. Namun asas ini tidak menutup kemungkinan
sebuah peraturan perundang-undangan diubah.
j. Asas penerapan hukum yang khusus
Asas ini menghendaki peraturan perundang-undangan memberikan jaminan atau
perlindungan terhadap keadaan-keadaan khusus yang diakibatkan oleh penerapan
peraturan perundang-undangan tersebut.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 16
Selain Van Der Vlies, pendapat lain dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi.
Attamimi membagi asas pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi dua jenis
yaitu asas hukum formal dan asas hukum material. Asas hukum formal meliputi asas tujuan
yang jelas, asas perlunya pengaturan, asas organ/lembaga yang tepat, asas materi muatan
yang tepat, asas dapat dilasanakan, asas dapat dikenali. Asas hukum material meliputi asas
sesuai dengan norma fundamental negara, asas kesesuaian dengan hukum negara, asas sesuai
dengan prinsip-prinsip negara berdasar atas hukum, asas sesuai dengan prinsip-prinsip
pemerintahan berdasarkan konstitusi.35 Jika diperhatikan, sepuluh asas yang dikemukakan
oleh Attamimi hampir tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Van Der Vlies.
Perbedaan antara kedua pendapat menyangkut asas yang berkaitan dengan substansi
peraturan perundang-undangan.
Pendapat yang berbeda dikemukakan oleh Lon Fuller, sebagaimana dikutip oleh
Imer B. Flores. Fuller mengistilahkan asas-asas dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan tersebut sebagai ’internal morality of law’. Asas-asas yang tercakup dalam
’internal morality of law’ antara lain:36
a. Asas umum
Berdasarkan asas ini peraturan perundang-undangan harus bersifat umum untuk
kepentingan bersama.
b. Asas publisitas
Peraturan perundang-undangan harus diumumkan agar diketahui oleh seluruh subjek
hukum.
c. Asas non-retroaktif
Peraturan perundang-undangan tidak boleh diterapkan terhadap kondisi lampau
sebelum peraturan perundang-undangan tersebut dibuat.
d. Asas kejelasan
Peraturan perundang-undangan harus jelas dan tepat untuk diikuti.
e. Asas non-kontradiksi
Peraturan perundang-undangan harus koheren dan tidak memiliki kontradiksi atau
inkonsistensi dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
f. Asas posibilitas

35
Bayu Dwi Anggono, Op.cit, hlm. 55
36
Imer B. Flores, “Legisprudence: the Role and Rationality of Legislators – Vis a Vis Judges – Towards
the Realization of Justice”, Mexican Law Review Volume 1, Number 2, January – June 2009, hlm. 107.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 17
Peraturan perundang-undangan tidak boleh memerintahkan sesuatu yang mustahil dan
oleh karena itu seharusnya tidak diberikan sekedar efek simbolis dalam peraturan
perundang-undangan tersebut.
g. Asas keajegan
Peraturan perundang-undangan tidak boleh sering diubah atau diberlakukan dalam
waktu singkat. Oleh karena itu substansinya harus ditujukan untuk pelaksanaan yang
konstan atau ajeg.
h. Asas kesesuaian
Peraturan perundang-undangan harus diterapkan sesuai dengan tujuan
pembentukannya.

Selain asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikemukakan


para ahli, selanjutnya yang perlu dikemukakan adalah asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan menurut UU No. 12 Tahun 2011. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, asas hukum merupakan nilai yang menjadi panduan bagi sebuah peraturan
perundang-undangan. Oleh karena itu, pengaturan asas hukum dalam sebuah peraturan
perundang-undangan merupakan ketidaklaziman. Walaupun asas-asas tersebut telah diatur
dalam UU No. 12 Tahun 2011, hal tersebut tidak kemudian menutup kemungkinan
pembentuk peraturan perundang-undangan mengacu pada asas-asas lain di luar UU No. 12
Tahun 2011.
Jika mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011, asas-asas tersebut dibagi dalam dua
jenis, yaitu asas pembentukan (Pasal 5) dan asas materi muatan (Pasal 6). Asas pembentukan
meliputi:
a. Asas kejelasan tujuan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai tujuan yang
jelas yang hendak dicapai. Kejelasan tujuan tersebut dapat dilihat pada konsideran
’Menimbang’ maupun pada penjabarannya dalam Naskah Akademik.

b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat


Setiap jenis peraturan perundang-undangan harus dibuat oleh lembaga negara atau
pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang berwenang. Peraturan
perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum apabila dibuat
oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak berwenang.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 18
c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan
Pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar memperhatikan materi
muatan yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan.
d. Asas dapat dilaksanakan
Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas
peraturan perundang-undangan tersebut di dalam masyarakat baik secara filosofis,
sosiologis, maupun yuridis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan
Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan
dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan
Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan
peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa
hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam
interpretasi dalam pelaksanaannya.
g. Asas keterbukaan
Pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan
terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan.

Asas materi muatan dalam UU No. 12 Tahun 2011 meliputi:


a. Asas pengayoman
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan
perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat.
b. Asas kemanusiaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap
warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
c. Asas kebangsaan

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 19
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan sifat dan
watak bangsa Indonesia yang majemuk dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
d. Asas kekeluargaan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan musyawarah
untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
e. Asas kenusantaraan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan materi muatan peraturan perundang-
undangan yang dibuat di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.
f. Asas bhinneka tunggal ika
Materi muatan peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman
penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

g. Asas keadilan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan keadilan
secara proporsional bagi setiap warga negara.
h. Asas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan tidak boleh memuat hal yang
bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain agama, suku, ras,
golongan, gender, atau status sosial.
i. Asas ketertiban dan kepastian hukum
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus dapat mewujudkan
ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan kepastian hukum.
j. Asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan
Setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu, masyarakat,
dan kepentingan bangsa dan negara.

2.3. Kajian terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi yang ada, serta


Permasalahan yang dihadapi Masyarakat
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 20
Berdasarkan observasi dan wawancara yang dilakukan, telah diidentifikasi
permasalahan yang dihadapi masyarakat dalam praktik penyelenggaraan perizinan bangunan
di Kabupaten Gresik. Praktik penyelenggaraan selama ini mengalami kesulitan di lapangan
karena adanya tumpang tindih peraturan perundang-undangan. Berikut ini adalah beberapa
praktik dan permasalahan yang telah diidentifikasi berdasarkan data empiris.
1. Tersebarnya dasar hukum Perda yang terkait IMB di Kabupaten Gresik
Permasalahan pokok dalam perizinan bangunan di Kabupaten Gresik adalah
tersebarnya dasar hukum terkait perizinan bangunan antara Peraturan Daerah tentang
Bangunan Gedung serta Peraturan Daerah yang mengatur IMB dalam beberapa Perda.
Kabupaten Gresik telah memiliki Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2011 tentang
Bangunan Gedung (Perda No. 29 Tahun 2011). Perda No. 29 Tahun 2011 juga
mengatur dengan cukup spesifik perihal penerbitan IMB (Pasal 45 – Pasal 60), tetapi
sampai saat ini pada praktiknya penerbitan IMB masih lebih banyak mengacu pada
Permen PU No. 24/PRT/M/2007 dan belum diatur secara khusus dalam peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah.
Sebelumnya IMB diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun
2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan juncto Peraturan Daerah Kabupaten
Gresik Nomor 23 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten
Gresik Nomor 22 Tahun 2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Perda
Retribusi IMB). Perda Retribusi IMB juga secara detil mengatur perihal penerbitan
IMB sehingga terjadi tumpang tindih pengaturan penerbitan IMB di Kabupaten Gresik.
Prosedur penerbitan IMB juga mengacu kepada Permen PU No. 24/PRT/M/2007 dan
Peraturan Bupati Nomor 27 Tahun 2006 tentang Prosedur Tetap Penyelenggaraan
Pelayanan Perizinan. Tentu saja hal ini menimbulkan perizinan bangunan di Kabupaten
Gresik tidak didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang tersusun secara
sistematis, melainkan pada peraturan perundang-undangan yang tersebar dan saling
tumpang tindih. Hal ini berdampak pada praktik penerbitan IMB, pimpinan SKPD yang
terkait – dalam hal ini Badan Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Gresik –
seringkali harus membuat kebijakan secara kasuistis ketika muncul permasalahan.

2. Kekosongan hukum terkait SIPPT

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 21
Salah satu persyaratan dalam pengajuan permohonan IMB adalah Ijin Peruntukan
Penggunaan Tanah (IPPT).37 IPPT diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gresik
Nomor 7 Tahun 2005 tentang Retribusi Ijin Peruntukan Penggunaan Tanah (Perda No.
7 Tahun 2005). Jika merujuk pada Perda No. 7 Tahun 2005, pengaturan IPPT dalam
Perda tersebut juga belum memenuhi asas lex certa dan asas lex stricta, yaitu bahwa
pengaturannya seharusnya dirumuskan secara jelas dan tertulis dalam peraturan
perundang-undangan. Dalam Perda No. 7 Tahun 2005 juga diatur persyaratan ijin
prinsip, ijin lokasi, dan ijin tata ruang tetapi tidak diatur secara jelas hubungan antara
ketiga jenis ijin tersebut dengan IPPT. Izin Tata Ruang dan Izin Lokasi kemudian diatur
juga dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 8 Tahun 2012 tentang
Penanaman Modal di Kabupaten Gresik (Perda No. 8 Tahun 2012). Namun Perda No. 8
Tahun 2012 tidak mencabut ketentuan Izin Tata Ruang dan Izin Lokasi dalam Perda
No. 7 Tahun 2005. Hal ini mengakibatkan tumpang tindih pengaturan.
Ketiga jenis izin tersebut – dalam implementasinya – diposisikan sebagai syarat untuk
mendapatkan IPPT. Oleh karena itu, jika IPPT nantinya diatur dalam Peraturan Daerah
tentang IMB maka harus dirumuskan secara jelas pengertian dan ruang lingkupnya.
Selain itu persyaratan memperoleh IPPT nantinya tidak tumpang tindih dengan
persyaratan memperoleh IMB – yang merupakan produk akhir dari permohonan yang
diajukan.
Pengaturan tersebut perlu juga memperhatikan prinsip dalam sistem perizinan berantai.
Dengan sistem tersebut berarti bahwa untuk setiap kegiatan usaha hanya ada satu izin
pada puncaknya. Izin yang menjadi puncak dalam sistem perizinan berantai adalah Izin
yang menimbulkan hak dan kewajiban dalam melakukan kegiatan dan/atau usaha.
Adapun yang diterpadukan dalam sistem perizinan berantai adalah prosedur. Dalam
sistem perizinan berantai pada IMB maka izin-izin tersebut bukanlah merupakan izin
yang mandiri. Izin-izin tersebut dikaitkan dengan IMB. Penerbitan IMB hendaknya
dikoordinasikan dengan izin-izin tersebut sehingga izin tersebut merupakan satu mata
rantai terpadu. Dengan sistem mata rantai maka pencabutan salah satu izin dalam mata
rantai tersebut berakibat izin untuk mendirikan bangunan tidak mempunyai kekuatan
hukum lagi.

37
IPPT dalam Perda Kabupaten Gresik No. 7 Tahun 2005 didefinisikan sebagai pemberian izin yang
diberikan oleh Pemerintah Daerah atas penggunaan tanah kepada Badan Usaha dan atau perseorangan yang
akan menggunakan tanah di wilayah Kabupaten Gresik.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 22
3. Praktik pembatalan permohonan IMB
Seringkali pemohon melakukan pembatalan permohonan IMB oleh pemohon ketika
retribusi sudah dibayar. Jika mengacu pada Pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan
(Permendagri No. 32 Tahun 2010), Bupati/Walikota menerbitkan IMB paling lambat 7
(tujuh) hari sejak tanda bukti pembayaran retribusi IMB diterima. Oleh karena itu
penerbitan IMB setelah pembayaran retribusi IMB tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Namun Perda yang sudah ada saat ini tidak mengatur mekanisme yang harus ditempuh
ketika permohonan IMB dibatalkan oleh pemohon ketika retribusi justru sudah dibayar.
Pembatalan tersebut akan menyulitkan bagi Pemerintah Kabupaten Gresik karena
retribusi yang sudah dibayar tidak dapat dikembalikan kepada pemohon. Di sisi lain,
pemohon akan merasa dirugikan. Oleh sebab itu perlu kepastian hukum terhadap
permasalahan ini berupa pengaturan secara tegas dan juga kejelasan pengaturan batas
waktu pembatalan permohonan IMB. Kejelasan pengaturan batas waktu pembatalan
tersebut akan berdampak bagi pemohon sehingga permohonan yang diajukan nantinya
telah dipertimbangkan terlebih dahulu oleh pemohon.

4. Keringanan retribusi sudah diatur tetapi tidak diatur batasannya


Berdasarkan Pasal 62 Perda Retribusi IMB, Kepala Daerah dapat menetapkan
pembebasan atau pengurangan besarnya retribusi yang telah ditetapkan sebagaimana
tercantum dalam Perda IMB. Namun tidak diatur secara jelas batasan bagi Bupati untuk
memberikan pembebasan atau pengurangan retribusi. Perda Retribusi IMB kemudian
dicabut dengan Perda No. 5 Tahun 2011, tetapi Perda No. 5 Tahun 2011 juga mengatur
perihal keringanan retribusi (Pasal 52) tetapi didelegasikan untuk diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Bupati dan hanya mengatur prinsip dalam pemberian keringanan
retribusi, yaitu prinsip keadilan, kemampuan ekonomi masyarakat dan fungsi
pelayanan pemerintah kepada masyarakat.
Jika mengacu pada Pasal 23 Permendagri No. 32 Tahun 2010, Bupati/Walikota dapat
memberikan keringanan retribusi IMB berdasarkan kriteria bangunan fungsi sosial dan
budaya serta bangunan fungsi hunian bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Selain itu
Bupati/Walikota dapat memberikan pembebasan retribusi IMB berdasarkan kriteria
fungsi keagamaan dan bangunan bukan gedung sebagai sarana dan prasarana umum
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 23
yang tidak komersial. Pengaturan dalam Permendagri No. 32 Tahun 2010 menunjukkan
bahwa daerah diberikan wewenang untuk mengatur lebih rinci perihal pembebasan dan
keringanan dengan tetap mengacu pada kriteria tersebut.
Oleh karena itu perlu pengaturan yang lebih detil terkait pembebasan dan pengurangan
retribusi tetapi lebih tepat jika diatur dalam Peraturan Bupati sebagaimana
didelegasikan oleh Pasal 52 Perda No. 5 Tahun 2011. Pengaturan tersebut idealnya
tetap mengacu pada kriteria yang telah diatur dalam Permendagri No. 32 Tahun 2010.

5. Perda IMB saat ini tidak mengatur batasan waktu


Terkait dengan pelayanan prima, Perda IMB saat ini tidak mengatur batasan waktu
terlama dalam proses pengurusan IMB. Berdasarkan Permen PU No. 24/PRT/M/2007,
dokumen IMB diterbitkan dengan jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari
terhitung sejak persetujuan dokumen rencana teknis untuk bangunan gedung pada
umumnya termasuk setelah adanya pertimbangan teknis dari Tim Ahli Bangunan
Gedung untuk persetujuan/pengesahan dokumen rencana teknis bangunan gedung
tertentu.
Walaupun tidak diatur dalam Perda, tetapi pada praktiknya batasan waktu tersebut
diatur dalam Standard Operating Procedure (SOP) di Badan Penanaman Modal dan
Perizinan (BPMP) Kabupaten Gresik. SOP tersebut ditetapkan dengan Keputusan
Kepala BPMP Nomor 050/SK/437.74/2014. SOP tersebut mengatur lebih detil
prosedur penerbitan IMB di Kabupaten Gresik beserta diagram alir dalam proses
penerbitan IMB di Kabupaten Gresik (lihat Gambar 2.01).
Perihal jangka waktu penerbitan IMB jika hanya diatur dalam SOP tentunya sulit untuk
diketahui oleh masyarakat secara luas. Jika diketahui oleh masyarakat secara luas
tentunya akan mendorong pelayanan prima dalam proses perizinan bangunan di
Kabupaten Gresik. Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan kemanfaatan hukum
sebaiknya pengaturan tersebut nantinya tidak hanya diatur dalam SOP tetapi juga dalam
Peraturan Daerah tentang IMB.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 24
FRONT OFFICE BACK OFFICE

Kepala
Kepala Bidang Berkas
Disposisi
Bidang Berkas diberi
diberi nama
nama staf
staf
Disposisi kepada
kepada kasubid,
kasubid, kasubid
kasubid pemroses
Pemohon
Pemohon Dokum pemroses
menyerahkan
Cek
Cek dokumen
dokumen :: Register
Register menunjuk staf
menunjuk staf
menyerahkan Persyaratan en Menandatangani SP
Menandatangani SP BAPBAP
Persyaratan Permohonan
Permohonan
Berkas
Berkas administrasi
administrasi Lengka Tanda
Pertanahan
Pertanahan Tanda terima
terima
Gambar
p register
register permohonan
permohonan
Gambar
bernomor
bernomor

Berkas
Berkas diberi
diberi nomor
nomor Pemeriksaaan
Pemeriksaaan
register
register lapangan
lapangan
(BAP
(BAP lapangan)
lapangan)
Dokumen Kurang
Publikasi
Publikasi aplikasi
aplikasi
melalui
melalui WEB
WEB Dokumen
Perhitungan
Benar
Perhitungan Volume
Volume Penyerahan
Penyerahan SKR
SKR Pembayaran
(BA
(BA Perhitungan
Perhitungan rencana
rencana Penomoran
Penomoran oleh
oleh
Pembayaran
bangunan)
bangunan) bendahara
bendahara retribusi
retribusi
Pembuatan
Pembuatan SKRSKR penerima
penerima
Pengesahan
Pengesahan SKR
SKR

Kepala Dokumen kurang sesuai.


Kepala Bidang
Bidang Pembuatan
Pembuatan SK
SK
Surat diperlukan persyaratan
Surat permintaan
permintaan tambahan
kekurangan
kekurangan berkas
berkas
Kasubid
Kasubid (koreksi
(koreksi kesesuian
kesesuian
ketentuan
ketentuan teknis
teknis dengan
dengan
dokumen
dokumen , gambar, ukuran
, gambar, ukuran
bangunan dll)
bangunan dll)
Kepala Bidang ( koreksi
Kepala Bidang ( koreksi
kedua
kedua ))

Sekretaris
Sekretaris

Kepala
Kepala Badan
Badan
Tanda
Tanda tangan
tangan pengantar Proses
pengesahan
pengantar Proses pengesahan
pengesahan
pengesahan
Paraf
Paraf SK
SK
Penyerahan
Penyerahan SK
SK
kepada
kepada pemohon
pemohon
Tanda
Tanda Terima
Terima SK Register
SK Register SK
SK
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN
Publikasi
Publikasi melalui WEBHal.
melalui WEB 25
Gambar 2.01. Diagram Alur Permohonan IMB
2.4. Kajian terhadap Implikasi Penerapan Sistem Baru yang akan diatur dalam
Peraturan Daerah terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat dan Dampaknya
terhadap Aspek Beban Keuangan Negara
2.4.1. Implikasi terhadap Aspek Kehidupan Masyarakat
Praktik penyelenggaraan perizinan bangunan di Kabupaten Gresik selama ini
menunjukkan bahwa masyarakat tidak terlindungi dalam kepastian hukum karena tidak
adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang mencegah tumpang tindih
pengaturan perizinan bangunan. Secara spesifik, hal ini disebabkan tidaknya peraturan
perundang-undangan di tingkat daerah (Peraturan Daerah atau Peraturan Bupati) yang secara
khusus mengatur prosedur penerbitan IMB dari aspek administratif maupun teknis.
Akibatnya dalam praktik penyelenggaraan perizinan bangunan, permasalahan yang
dihadapi lebih banyak diselesaikan melalui diskresi. Penggunaan diskresi yang tidak
diminimalkan tidak akan berdampak baik bagi kepastian hukum. Padahal dalam hukum
administrasi negara dikenal adanya asas pengharapan yang layak. Asas pengharapan yang
layak mensyaratkan adanya kejelasan dalam pengaturan sehingga tidak ada multitafsir yang
rentan terhadap penyalahgunaan wewenang dalam pembuatan kebijakan. Selain itu, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Pasal 24) telah mengatur
persyaratan yang harus dipenuhi pejabat pemerintahan dalam menggunakan diskresi.
Persyaratan tersebut antara lain sesuai dengan tujuan diskresi, tidak bertentangan dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Asas Umum Pemerintahan yang
Baik (AUPB), berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan konflik
kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik. Adanya persyaratan yang ketat dalam
penggunaan diskresi menunjukkan bahwa penggunaan diskresi seharusnya sebisa mungkin
dihindari, dan hal tersebut dapat dihindari jika terdapat pengaturan yang jelas dalam perizinan
bangunan di Kabupaten Gresik.
Adanya Peraturan Daerah tentang IMB juga dapat memastikan adanya pelayanan
prima bagi masyarakat ketika mengajukan permohonan IMB. Pelayanan prima tersebut
mengacu kepada prinsip prosedur penerbitan IMB sebagaimana diatur dalam Permen PU No.
24/PRT/M/2007. Berdasarkan Permen PU No. 24/PRT/M/2007, dalam proses penerbitan
IMB pemerintah daerah, Pemerintah dan pemerintah provinsi (untuk bangunan gedung fungsi
khusus) melaksanakan dengan prinsip pelayanan prima. Selain itu pelayanan prima diimbangi
dengan penerapan persyaratan administratif dan teknis yang ditetapkan dalam rencana teknis.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 26
Penerapan persyaratan tersebut untuk menjamin pengendalian penyelenggaraan bangunan di
Kabupaten Gresik.
Pengaturan IMB dengan penormaan yang jelas juga dapat membantu dalam
penataan ruang di Kabupaten Gresik. Adanya kesemrawutan tata ruang pada umumnya
disebabkan tidak adanya pengendalian penyelenggaraan bangunan dalam konteks
kewilayahan. Padahal tata ruang juga berimplikasi pada kemajuan perekonomian dalam
kewilayahan. Kemajuan perekonomian pada akhirnya juga akan berdampak pada
perkembangan ekonomi masyarakat.
Berbagai implikasi tersebut menunjukkan bahwa Peraturan Daerah tentang IMB
nantinya akan berperan sebagai instrumen rekayasa sosial. Masyarakat akan diarahkan lewat
peraturan perundang-undangan untuk tertib dalam penyelenggaraan bangunan dan menjamin
keandalan teknis dari bangunan yang didirikan. Oleh karena itu, secara umum Peraturan
Daerah tentang IMB nantinya akan memiliki implikasi positif bagi masyarakat.

2.4.2. Dampak terhadap Beban Keuangan Negara


Walaupun tidak ada data valid tentang jumlah pemegang IMB di Kabupaten Gresik,
tetapi fenomena yang lazim di berbagai daerah adalah tingginya jumlah bangunan yang tidak
memiliki IMB. Faktor yang berperan besar terhadap fenomena tersebut adalah tidak
responsifnya Peraturan Daerah yang mengatur perizinan bangunan.
Penelitian dalam implementasi perizinan bangunan di Kota Tangerang menunjukkan
peran vital Peraturan Daerah yang mengatur perizinan bangunan. Penelitian Suparman
menunjukkan bahwa kebijakan IMB di Kota Tangerang belum sesuai dengan harapan
masyarakat yaitu cepat, murah, dan dekat. Keengganan masyarakat banyak dipengaruhi oleh
faktor tersebut.38 Fenomena ini tentunya berpengaruh pada potensi retribusi yang seharusnya
dapat diperoleh oleh pemerintah daerah dari penerbitan IMB. Daerah seharusnya dapat
menambah Pendapatan Asli Daerah jika masyarakat tidak enggan mengajukan permohonan
penerbitan IMB ketika akan melakukan pembangunan.
Penelitian Sonya Imelda Samosir di Kota Gunungsitoli juga menunjukkan bahwa
implementasi penerbitan IMB di Kota Gunungsitoli belum berjalan efektif bila dilihat dari
perspektif organisasi, interpretasi serta penerapan.39 Hal tersebut kembali akan berdampak

38
Suparman, “Efektivitas Pelayanan Izin Mendirikan Bangunan dalam Kota Tangerang (Studi Kasus di
Kecamatan Ciledug), Tesis, Depok: FISIP UI, 2002.
39
Sonya Imelda Samosir, “Implementasi Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) pada Badan
Pelayanan Perizinan Terpadu Kota Gunungsitoli”, Skripsi, Medan: Universitas Sumatera Utara, 2011.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 27
pada potensi Pendapatan Asli Daerah yang seharusnya dapat diperoleh oleh pemerintah
daerah.
Oleh karena itu, adanya Peraturan Daerah tentang IMB tidak secara signifikan
menambah beban keuangan negara. Secara tidak langsung, adanya Peraturan Daerah tentang
IMB justru akan menambah Pendapatan Asli Daerah terutama jika Peraturan Daerah tersebut
mampu membentuk pelayanan prima perizinan bangunan yang mendorong kepatuhan hukum
masyarakat dalam pengajuan permohonan IMB. Hal ini tentunya harus dibarengi dengan
kejelasan pengaturan retribusi IMB, terutama terkait dengan keringanan retribusi IMB
maupun disinsentif retribusi IMB.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 28
3
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN TERKAIT
Sebelum menganalisis dan mengevaluasi peraturan perundang-undangan terkait,
perlu dipahami sistematika pengaturan perizinan bangunan gedung secara hierarkis.
UUD NRI
Sistematika tersebut untuk memahami bagaimana
1945 relasi antara peraturan perundang-
undangan yang ada hingga di tataran daerah. Dengan demikian, dapat diharmonisasikan
pengaturan perizinan bangunan antara Rancangan Peraturan Daerah tentang IMB dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Peraturan
UU NO. perundang-undangan
23 terkait
UU NO.perizinan
28 bangunanUU
UUdapat
NO. 12dikategorikan
NO. 12
TAHUN TAHUN
TAHUN 1950
1950
menjadi 2 (dua)TAHUN
jenis. Pertama, peraturan perundang-undangan terkait
JO. perizinan
JO. UU
UU NO. 22 bangunan
NO.
2014 2002 TAHUN
TAHUN 1965
1965
yang bersifat atribusi. Peraturan perundang-undangan yang bersifat atribusi merupakan
peraturan perundang-undangan yang memberikan kewenangan kepada institusi yang
bersangkutan, dalam hal ini Pemerintah Daerah, untuk menyusun dan menetapkan peraturan
perundang-undangan yang bersangkutan, dalam hal ini peraturan daerah. Kedua, peraturan
PP NO.
perundang-undangan terkait perizinan bangunan 36 bersifat delegasi. Peraturan perundang-
yang
TAHUN
undangan yang bersifat delegasi merupakan 2005 peraturan perundang-undangan yang
memberikan delegasi atau amanah untuk menyusun dan menetapkan peraturan perundang-
undangan turunannya, dalam hal ini peraturan daerah mengenai perizinan bangunan.
Keterkaitannya dapat dilihat pada Gambar 3.01

PERMEN
PERMEN PUPU PERMEN-
PERMEN-
NO.
NO. DAGRI
DAGRI NO.NO.
24/PRT/M/
24/PRT/M/ 32
32 TAHUN
TAHUN
2007
2007 2010
2010

PERDA RAPERDA PERDA


PERDA NO.
NASKAH 22
NO.AKADEMIK
22
NO. 29 TENTANG TAHUN
TAHUN 2000
2000 JO.
JO. IZIN
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK
PERDA
TENTANG
NO. 23
TAHUN 2011 IMB PERDA NO. 23
MENDIRIKAN
TAHUN BANGUNAN
TAHUN 2004
2004
PERDA
PERDA NO.
NO. 55 Hal. 29
TAHUN
TAHUN 2011
2011
Keterangan: Peraturan perundang-undangan atribusi
Peraturan perundang-undangan delegasi
Gambar 3.01
Hierarki Pengaturan IMB dalam Peraturan Perundang-undangan

Berdasarkan hierarki pada Gambar 3.01 maka Bab ini akan menganalisis dan
mengevaluasi 10 (sepuluh) peraturan perundang-undangan, yaitu UUD NRI 1945, UU No. 12
Tahun 1950, UU No. 28 Tahun 2002, UU No. 23 Tahun 2014, PP No. 36 Tahun 2005,
Permen PU No. 24/PRT/M/2007, Permendagri No. 32 Tahun 2010, dan Perda No. 29 Tahun
2011. Analisis dan evaluasi tersebut untuk kemudian merumuskan preskripsi terkait
pencabutan pasal-pasal yang terkait dengan IMB dalam Perda No. 29 Tahun 2011 dan
pengaturan yang sebaiknya dimasukkan dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang IMB.

3.1. Peraturan Perundang-undangan Bersifat Atribusi


3.1.1. UUD NRI 1945 [Pasal 18 ayat (6)]

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 30
UUD NRI 1945 memberikan kewenangan kepada pemerintahan daerah untuk dapat
menetapkan peraturan daerah. Hal ini diatur dalam Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945, yang
berbunyi: “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-
peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Atas dasar kewenangan yang diberikan oleh konstitusi tersebut, maka salah satu
kewenangan pemerintahan daerah adalah menetapkan peraturan daerah. Terkait dengan
peranan peraturan daerah tersebut dalam hal otonomi, Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945
terkait pula dengan UU No. 23 Tahun 2014 (akan dibahas selanjutnya) yang secara khusus
mengatur pemerintahan daerah. Berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 akan nampak bahwa
pengaturan perizinan bangunan dengan peraturan daerah menjadi wewenang pemerintah
daerah dalam konteks otonomi daerah yang diberikan berdasarkan undang-undang.

3.1.2. UU No. 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten


dalam Lingkungan Propinsi Jawa Timur sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 2 Tahun 1965 tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan
Daerah Tingkat II Surabaya (UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965)
UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965 tidak dibentuk untuk mengatur
secara khusus pembentukan Kabupaten Gresik. Undang-undang tersebut juga mengatur
pembentukan kabupaten-kabupaten lainnya di Provinsi Jawa Timur. Undang-undang ini
dibentuk dengan mengacu pada Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal IV Aturan
Peralihan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (dalam hal ini adalah Undang-Undang Dasar
sebelum diamandemen).
Pasal-pasal yang menjadi dasar tersebut terkait dengan wewenang pembentukan
undang-undang. Pasal 5 ayat (1) mengatur bahwa: “Presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.” Pasal 20 ayat
(1) menegaskan bahwa setiap Undang-undang memerlukan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat. Begitu pula Pasal IV Aturan Peralihan mengatur wewenang Majelis
Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dipegang oleh Presiden dibantu
Komite Nasional sebelum kedua lembaga negara tersebut dibentuk. Ketentuan-ketentuan
itulah yang menjadi dasar bagi pembentukan UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun
1965. UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965 menjadi penting dalam setiap
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 31
pembentukan Perda Kabupaten Gresik karena Undang-Undang tersebut menjadi landasan
terbentuknya Kabupaten Gresik dengan segala wewenang yang melekat pada Pemerintah
Kabupaten Gresik pascapembentukan Kabupaten Gresik.
Berdasarkan UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965 tersebut, daerah
Gresik ditetapkan sebagai salah satu kabupaten di Jawa Timur. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU
No. 12 Tahun 1950 diatur pula urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga dan
kewajiban kabupaten-kabupaten yang dibentuk tersebut. Namun dasar urusan wajib yang
menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten Gresik bukan lagi undang-undang ini, melainkan
UU No. 23 Tahun 2014. UU No. 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar dalam pembentukan
setiap peraturan daerah di Kabupaten Gresik sekedar untuk menunjukkan dasar yuridis dari
asal wewenang yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Gresik. Ketika Pemerintah Kabupaten
Gresik terbentuk itulah juga eksis wewenang yang melekat pada pemerintahan daerah
tersebut.

3.1.3. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


UU No. 23 Tahun 2014 merupakan pengganti dari Undang-Undang No. 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dianggap sudah tidak dapat mengakomodir
perkembangan kebutuhan pengaturan pemerintahan daerah. Namun UU No. 23 Tahun 2014
masih memegang prinsip desentralisasi dalam pemerintahan daerah.
Keberadaan desentralisasi dalam UU No. 23 Tahun 2014 dapat dipandang sebagai
perwujudan negara hukum karena pada desentralisasi terkandung maksud pembatasan
kekuasaan terhadap pemerintah pusat. Hans Kelsen menyatakan pendapatnya bahwa
kerakyatan bisa juga terdapat di dalam negara yang pemerintahannya menganut sentralisasi
namun adanya asas desentralisasi lebih demokrasi daripada sentralisasi. 40 Menurut Hans
Kelsen adanya desentralisasi dapat menghindarkan negara dari kecenderungan otokrasi. Hal
ini disebabkan desentralisasi membuat pemimpin di pusat harus memberikan beberapa
kewenangannya kepada pemimpin di daerah padahal seorang otokrat cenderung memusatkan
fungsi sebanyak-banyaknya pada pribadinya sendiri. Ia akan berusaha untuk mengatur
sebanyak mungkin masalah melalui norma-norma hukum di pusat.41

40
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 2010, hlm 93.
41
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara,
diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, 2006, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, hlm. 441-442.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 32
Berdasarkan Pasal 5 ayat (4) UU No. 23 Tahun 2014, penyelenggaraan urusan
pemerintahan di Daerah dilaksanakan berrdasarkan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan
Tugas Pembantuan. Desentralisasi dalam UU No. 23 Tahun 2014 didefinisikan sebagai
penyerahan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom berdasarkan
asas otonomi (lihat Pasal 1 Angka 8).
Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat memiliki
Urusan Absolut yang tidak dapat dibagikan pada Pemerintah Daerah. Urusan Absolut yang
menjadi urusan Pemerintah Pusat antara lain:
a. politik luar negeri;
b. pertahanan;
c. keamanan;
d. yustisi;
e. moneter dan fiskal nasional; dan
f. agama.

Urusan Pemerintahan yang kemudian dibagikan pada Pemerintah Daerah adalah


Urusan Pemerintahan konkuren. Dalam UU No. 23 Tahun 2014, Urusan Pemerintahan
konkuren kemudian dibagi dalam matriks pembagian Urusan Pemerintahan Konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Pembagiannya mencakup
kewenangan dalam pengelolaan unsur manajemen dan kewenangan dalam penyelenggaraan
fungsi manajemen. Kewenangan tersebut melekat pada masing-masing tingkatan atau
susunan pemerintahan, kecuali jika diatur pengecualiannya.
Urusan pemerintahan konkuren kemudian dibedakan menjadi Urusan Pemerintahan
Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan [lihat Pasal 11 ayat (1)]. Salah satu Urusan
Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah pekerjaan umum dan
penataan ruang [Pasal 12 ayat (1)]. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1), pengaturan bangunan dan
gedung dapat diklasifikasikan sebagai bagian pelayanan dasar di bidang pekerjaan umum dan
penataan ruang.
Jika melihat Tabel pembagian urusan pemerintahan di bidang pekerjaan umum dan
penataan ruang pada Lampiran UU No. 23 Tahun 2014, sub urusan bangunan gedung serta
penataan bangunan dan lingkungannya menjadi salah satu urusan wajib pemerintahan daerah.
Dua sub urusan tersebut menjadi dasar yuridis bagi pemerintah daerah untuk mengaturnya
dalam peraturan daerah. Urusan wajib yang menjadi urusan kabupaten/kota adalah
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 33
penyelenggaraan bangunan gedung, yang termasuk dalam hal ini adalah pengaturan Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) dan Sertifikat Laik Fungsi (SLF).

Tabel 3.01
Pembagian Urusan Wajib Terkait Perizinan Bangunan
Pemerintah
Pemerintah Pusat Pemerintah Provinsi
Kabupaten/Kota
a. penetapan bangunan a. penetapan bangunan Penyelenggaraan
gedung untuk kepenting- gedung untuk bangunan gedung di
an strategis nasional; kepentingan strategis kab/kota, termasuk
b. penyelenggaraan Provinsi; pemberian izin
bangunan gedung untuk b. penyelenggaraan mendirikan bangunan
kepentingan strategis bangunan gedung dan sertifikat laik fungsi
nasional dan penyeleng- untuk kepentingan bangunan gedung;
garaan bangunan gedung strategis Provinsi.
fungsi khusus.
Sumber: Lampiran UU No. 23 Tahun 2014

UU No. 23 Tahun 2014 berusaha mencari keseimbangan antara desentralisasi dengan


sentralisasi. Pengalaman menunjukkan pendulum kebijakan desentralisasi ataupun sentralisasi
yang ekstrim cenderung akan menciptakan instabilitas pemerintahan yang akan bermuara pada
konflik yang elitis dan tidak berpihak kepada peningkatan kesejahteraan rakyat. Untuk itu selalu
terdapat upaya untuk menyeimbangkan antara kebijakan yang desentralistik dengan kebijakan
yang sentralistik sebagai suatu continuum kebijakan.
Selain itu dalam Pasal 241 dan 242 UU No. 23 Tahun 2014 diatur bahwa
penyusunan, pengajuan dan penetapan Perda yang telah mendapatkan persetujuan bersama
DPRD, merupakan bagian dari tugas dan wewenang kepala daerah. Atas dasar itu, UU No. 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menegaskan kewenangan pemerintahan daerah
dalam penetapan Perda, yaitu antara pemerintah daerah bersama dengan DPRD.

3.2. Peraturan Perundang-Undangan Bersifat Delegasi


3.2.1. UU No. 28 Tahun 2002
UU No. 28 Tahun 2002 mengamanahkan disusunnya Peraturan Daerah mengenai
penyelenggaraan bangunan gedung di daerah sebagai peraturan pelaksanaan dari undang-
undang ini. Penyusunan Peraturan Daerah mengenai penyelenggaraan bangunan gedung di
daerah diamanahkan di dalam UU No. 28 Tahun 2002 pada bagian Penjelasan Umum.
Penjelasan Umum UU No. 28 Tahun 2002 berbunyi: “... Undang-undang ini mengatur hal-

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 34
hal yang bersifat pokok dan normatif, sedangkan ketentuan pelaksanaannya akan diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan perundang-undangan
lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dalam
undang-undang lain yang terkait dalam pelaksanaan undang-undang ini.”
Ketentuan dalam UUNo. 28 Tahun 2002 tidak secara tegas mendelegasikan
wewenang pengaturan perizinan bangunan di tingkat daerah. Namun beberapa pasal
menunjukkan perlunya pengaturan beberapa hal spesifik yang terkait dengan perizinan
bangunan, antara lain:
a. Pasal 6 ayat (2) mengatur bahwa: “Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan dicantumkan dalam izin
mendirikan bangunan.” Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2)
bahwa penetapan fungsi bangunan gedung tersebut diberikan dalam proses perizinan
mendirikan bangunan. Oleh karena itu penetapan fungsi bangunan gedung terkait
dengan prosedur pemberian izin mendirikan bangunan perlu diatur lebih detail dalam
peraturan daerah tentang izin mendirikan bangunan.
b. Pasal 8 ayat (1) mengatur bahwa setiap bangunan gedung harus memiliki izin
mendirikan bangunan gedung. Selain itu dalam Pasal 8 ayat (4) diatur bahwa ketentuan
mengenai izin mendirikan bangunan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
c. Pasal 39 ayat (1) mengatur bahwa bangunan gedung dapat dibongkar apabila, salah
satunya, karena tidak memiliki izin mendirikan bangunan. Karena izin mendirikan
bangunan merupakan wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota maka hal-hal terkait
pembongkaran tentunya memerlukan pengaturan dalam suatu peraturan daerah yang
mengatur tentang izin mendirikan bangunan.

3.2.2. PP No. 36 Tahun 2005


a. Pasal 14 ayat (2) mengatur bahwa izin mendirikan bangunan gedung diberikan
oleh pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh
Pemerintah, melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung.
Pasal 14 ayat (2) menunjukkan adanya wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam penerbitan IMB.
b. Pasal 112 ayat (1) menegaskan wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
perizinan bangunan. Pasal 112 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah daerah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan daerah di
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 35
bidang bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan izin mendirikan
bangunan gedung dan sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat
persetujuan dan penetapan pembongkaran bangunan gedung.

3.2.3. Permen PU No. 24/PRT/M/2007


Sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2002, Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
merupakan salah satu persyaratan administratif yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan
proses pembangunan gedung bangunan gedung. IMB adalah perizinan yang diberikan oleh
pemerintah daerah kecuali untuk bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah kepada
pemilik bangunan gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi,
dan/atau merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku.
Terkait dengan persyaratan Izin Mendirikan Bangunan, pengaturan mengenai
bangunan gedung dalam suatu Perda juga harus memperhatikan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 24/PRT/M/2007 (Permen PU No. 24/PRT/M/2007) dan juga Perda lain yang
mengatur aspek yang berkaitan dengan IMB.
Dalam Permen PU No. 24/PRT/M/2007 diatur tentang tata cara penerbitan,
persyaratan, dan retribusi terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan, serta proses pembinaan,
dan ketentuan lainnya yang diperlukan terkait dengan implementasi IMB.
a. Berkaitan dengan tata cara penerbitan IMB, Permen memberikan pengaturan mengenai
pola umum pengaturan IMB, Proses IMB, Tata cara pengesahan dokumen rencana
teknis, Pemeriksaan permohonan IMB, Kelengkapan dokumen IMB,Perubahan rencana
teknis dalam tahap pelaksanaan konstruksi, Jangka waktu proses penerbitan IMB,
Pembekuan dan pencabutan IMB, dan Pendataan/pendaftaran bangunan gedung.
b. Dalam hal persyaratan IMB, Permen menegaskan perlunya persyaratan administratif
untuk permohonan IMB, persyaratan teknis untuk permohonan IMB, penyedia jasa dan
pelaksana pengurusan permohonan IMB.
c. Berkaitan dengan retribusi IMB, dijelaskan mengenai pengaturan mengenai Ketentuan
khusus perizinan; Jenis kegiatan dan objek yang dikenakan retribusi; Penghitungan
besarnya retribusi IMB; Indeks penghitungan besarnya retribusi IMB; Harga satuan
(tarif) retribusi IMB; dan Dokumen IMB.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 36
Permen PU No. 24/PRT/M/2007 mengatur secara detail mengenai tata cara
pemrosesan IMB untuk bangunan gedung pada umumnya, bangunan gedung kepentingan
umum, IMB untuk bangunan gedung fungsi khusus, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
Gedung Secara Bertahap, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Gedung untuk Pembangunan
Secara Massal, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Gedung untuk Pembangunan dengan
Strata Title. Permen juga menegaskan perlunya tim ahli bangunan gedung untuk memberikan
pertimbangan teknis terhadap dokumen rencana teknis dalam rangka penerbitan IMB
(khususnya berkaitan dengan pengesahan dokumen rencana teknis). Tim ahli bangunan
gedung ini secara khusus dibutuhkan untuk memberikan pertimbangan teknis terhadap
dokumen rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum serta dokumen rencana
teknis bangunan gedung tertentu fungsi khusus. Persetujuan dari tim ahli bangunan gedung
ini diperoleh pemohon tanpa pungutan biaya atau secara Cuma-Cuma (sudah diperhitungkan
dalam retribusi IMB).
Permen PU No. 24/PRT/M/2007 mengamanatkan bahwa pelaksanaan Pedoman
Teknis IMB di daerah diatur lebuh lanjut dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada
peraturan ini. Dalam hal daerah belum mempunyai peraturan daerah tersebut, maka
pelaksanaan pengaturan Izin mendirikan Bangunan gedung berpedoman pada peraturan ini.
Sedangkan bila daerah telah mempunyai peraturan daerah terkait yang ditatapkan sebelum
permen ini diberlakukan, maka Peraturan Daerah tersebut harus menyesuaikan dengan
substansi pengaturan dalam Permen ini. Selama proses penyusunan dan/atau penyesuuaian
Perda terkait terrsebut. Semua peraturan perundang-Undangan yang berkaitan dengan IMB
dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Permen ini.

3.2.4. Permendagri No. 32 Tahun 2010


Selain Permen PU No. 24/PRT/M/2007, pedoman dalam penerbitan IMB juga diatur
dalam Permendagri No. 32 Tahun 2010. Pengaturan penerbitan IMB dalam dua peraturan
menteri yang berbeda ini tentu saja menimbulkan tumpang tindih beberapa pengaturan karena
terdapat beberapa aspek pengaturan yang berbeda dari kedua peraturan menteri tersebut.
Perbedaan paling utama di antara Permendagri No. 32 Tahun 2010 dan Permen PU
No. 24/PRT/M/2007 adalah terkait fokus pengaturannya. Fokus pengaturan Permen PU No.
24/PRT/M/2007 lebih banyak terkait dengan aspek teknis dalam penerbitan IMB, sedangkan
fokus Permendagri No. 32 Tahun 2010 adalah aspek administratif penerbitan IMB. Selain itu
diundangkannya Permendagri No. 32 Tahun 2010 dilatarbelakangi oleh tidak relevannya lagi
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 37
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1993 tentang Izin Mendirikan Bangunan
dan Izin Undang-Undang Gangguan Bagi Perusahaan Industri pascadiundangkannya
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Oleh karena itu perlu
diundangkan Permendagri yang telah disinkronisasikan dengan UU No. 28 Tahun 2002.
Tabel 3.02 mendeskripsikan perbedaan Permendagri No. 32 Tahun 2010 dan Permen PU No.
24/PRT/M/2007.

Tabel 3.02
Perbandingan Permendagri No. 32 Tahun 2010 dan Permen PU
No. 24/PRT/M/2007
Aspek Permendagri No. 32 Tahun 2010 Permen PU No. 24/PRT/M/2007
Definisi IMB Izin mendirikan bangunan, yang Izin Mendirikan Bangunan Gedung
selanjutnya disingkat IMB, adalah adalah perizinan yang diberikan oleh
perizinan yang diberikan oleh pemerintah daerah kecuali
pemerintah daerah kepada untukbangunan gedung fungsi khusus
pemohon untuk membangun baru, oleh Pemerintah kepada pemilik
rehabilitasi/renovasi, dan/atau bangunan gedung untuk membangun
memugar dalam rangka baru, mengubah, memperluas,
melestarikan bangunan sesuai mengurangi, dan/atau merawat
dengan persyaratan administratif bangunan gedung sesuai dengan
dan persyaratan teknis yang berlaku. persyaratan administratif dan
persyaratan teknis yang berlaku.
Ruang Objek IMB Meliputi bangunan gedung dan Bangunan gedung digolongkan
bangunan bukan gedung. berdasarkan fungsi dan
Bangunan gedung dikategorisasi diklasifikasikan.
secara fungsional meliputi fungsi Berdasarkan fungsinya digolongkan
hunian, keagamaan, usaha, sosial dan menjadi bangunan gedung fungsi
budaya, ganda/campuran. hunian, fungsi keagamaan, fungsi
Bangunan bukan gedung dirinci usaha, fungsi sosial budaya, serta
dengan mencakup: fungsi khusus.
a. pelataran untuk parkir, lapangan Klasifikasi bangunan gedung sebagai
tenis, lapangan basket, lapangan berikut:
golf, dan lain-lain sejenisnya; a. Tingkat kompleksitas (sederhana,
b. pondasi, pondasi tangki, dan lain- tidak sederhana, khusus).
lain sejenisnya; b. Tingkat permanensi (permanen,
c. pagar tembok/besi dan semi permanen, darurat atau
tanggul/turap, dan lain-lain sementara).
sejenisnya; c. Tingkat risiko kebakaran (risiko
d. septic tank/bak penampungan kebakaran tinggi, sedang,
bekas air kotor, dan lain-lain rendah).
sejenisnya; d. Tingkat zonasi gempa (Zona I –
e. sumur resapan, dan lain-lain VI).
sejenisnya; e. Lokasi (padat, senggang,
f. teras tidak beratap atau tempat renggang).
pencucian, dan lain-lain f. Ketinggian (>8 lantai, 5 s/d 8
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 38
sejenisnya; lantai, 1 s/d 4 lantai).
g. dinding penahan tanah, dan lain- g. Kepemilikan (milik negara, milik
lain sejenisnya; badan usaha, perorangan).
h. jembatan penyeberangan
orang,jembatan jalan
perumahan, dan lain-lain
sejenisnya;
i. penanaman tangki, landasan
tangki, bangunan pengolahan
air, gardu listrik, gardu telepon,
menara, tiang l istrik/telepon, dan
lain-lain sejenisnya;
j. kolam renang, kolam ikan air
deras, dan lain-lain sejenisnya;
dan
k. gapura, patung, bangunan
reklame, monumen, dan lain-lain
sejenisnya.
Ruang Lingkup a. pembangunan baru, a. Pembangunan bangunan gedung
Permohonan IMB b. merehabilitasi/renovasi, atau baru, dan/atau prasarana
c. pelestarian/pemugaran. bangunan gedung;
b. Rehabilitasi/renovasi bangunan
gedung dan/atau prasarana
bangunan gedung, meliputi
perbaikan/perawatan,perubahan,
perluasan/ pengurangan; dan
c. Pelestarian/pemugaran.
Dokumen a. tanda bukti status kepemilikan 1. Status hak atas tanah
administrasi hak atas tanah atau perjanjian a. Surat bukti status hak atas
pemanfaatan tanah; tanah berupa:
b. data kondisi/situasi tanah 1) Sertifikat tanah;
(letak/lokasi dan topografi); 2) Surat Keputusan Pemberian
c. data pemilik bangunan; Hak Penggunaan atas Tanah
d. surat pernyataan bahwa tanah oleh pejabat yang
tidak dalam status sengketa; berwenang di bidang
e. surat pemberitahuan pajak pertanahan;
terhutang bumi dan bangunan 3) Surat kavling dari
(SPPT-PBB) tahun berkenaan; pemerintah daerah, atau
dan Pemerintah;
f. dokumen analisis mengenai 4) Fatwa tanah, atau
dampak dan gangguan terhadap rekomendasi dari Badan
lingkungan, atau upaya Pertanahan Nasional;
pemantauan lingkungan 5) Surat girik/petuk/akta jual
(UPL)/upaya pengelolaan beli,yang sah disertai surat
lingkungan (UKL) bagi yang pernyataan pemilik bahwa
terkena kewajiban. tidak dalam status sengketa,
yang diketahui lurah
setempat;
6) Surat kohir
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 39
verpondingIndonesia,
disertai pernyataan bahwa
pemilik telah menempati
lebih dari 10 tahun, dan
disertaiketerangan pemilik
bahwa tidak dalam status
sengketa yang diketahui
lurah setempat; atau
7) Surat bukti kepemilikan
tanah lainnya.
b. Surat perjanjian pemanfaatan/
penggunaan tanah, merupakan
perjanjian tertulis antara
pemilik bangunan gedung
dengan pemilik tanah, apabila
pemilik bangunan gedung
bukan pemilik tanah.
c. Data kondisi/situasi tanah,
merupakan data-data teknis
tanah yang memuat informasi
meliputi:
1) Gambar peta lokasi/lengkap
dengancontournya;
2) Batas-batas tanah yang
dikuasai;
3) Luas tanah; dan
4) Data bangunan gedung
eksisting (kalau ada).
2. Status kepemilikan bangunan
gedung yaitu dokumen
keterangan diri pemilik yang
mengajukan Permohonan IMB
dan kepemilikan atas bangunan
gedung.
3. Dokumen/surat-surat terkait
berupa:
a. SIPPT untuk pembangunan di
atas tanah dengan luas
minimum tertentu;
b. Rekomendasi instansi/lembaga
yang bertanggungjawab di
bidang fungsi khusus (untuk
bangunan gedung fungsi
khusus);
c. Dokumen AnalisisMengenai
Dampak
Lingkungan/UPL/UKL;
dan/atau
d. Rekomendasi instansi teknis
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 40
terkait untuk bangunan gedung
di atas/bawah prasarana dan
sarana umum.
Dokumen rencana Dokumen rencana teknis disesuaikan 1. Data umum bangunan gedung
teknis dengan klasifikasi bangunan meliputi:
meliputi: a. Fungsi/klasifikasi bangunan
a. gambar rencana/arsitektur gedung
bangunan; b. Luas lantai dasar bangunan
b. gambar sistem struktur; gedung
c. gambar sistem utilitas; c. Total luas lantai bangunan
d. perhitungan struktur dan/atau gedung
bentang struktur bangunan d. Ketinggian/jumlah lantai
disertai hasil penyelidikan tanah bangunan gedung
bagi bangunan 2 (dua) lantai atau e. Rencana pelaksanaan
lebih; 2. Rencana teknis bangunan gedung
e. perhitungan utilitas bagi hunian rumah tinggal tidak
bangunan gedung bukan hunian sederhana – 2 lantai atau lebih –
rumah tinggal; dan dan bangunan gedung lainnya pada
f. data penyedia jasa perencanaan. umumnya.
a. Gambar rancangan arsitektur,
terdiri atas gambar site
plan/situasi, denah, tampak,
potongan, dan spesifikasi umum
finishing bangunan gedung;
b. Gambar rancangan struktur,
terdiri atas gambar struktur
bawah (pondasi), struktur atas,
termasuk struktur atap, dan
spesifikasi umum struktur
bangunan gedung;
c. Gambar rancanganutilitas
(mekanikal dan elektrikal),
terdiri atas gambar sistem
utilitas (mekanikal dan
elektrikal), gambar sistem
pencegahan dan pengamanan
kebakaran, sistem sanitasi,
sistem drainase, dan spesifikasi
umum utilitas bangunan
gedung;
d. Spesifikasi umum bangunan
gedung;
e. Perhitungan struktur untuk
bangunan gedung 2 (dua) lantai
atau lebih dan/atau bentang
struktur lebih dari 6 m; dan
f. Perhitungan kebutuhan utilitas
(mekanikal dan elektrikal).
3. Rencana teknis bangunan gedung
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 41
hunian rumah tinggal dan rumah
deret – sampai dengan 2 (dua)
lantai.
a. Gambar rancangan arsitektur,
terdiri atas gambar site
plan/situasi, denah, tampak,
potongan, dan spesifikasi umum
finishing bangunan gedung;
b. Gambar rancangan struktur,
terdiri atas gambar struktur
bawah (pondasi), struktur atas,
termasuk struktur atap, dan
spesifikasi umum struktur
bangunan gedung;
c. Gambar rancanganutilitas
(mekanikal dan elektrikal),
terdiri atas gambar sistem
utilitas (mekanikal dan
elektrikal), gambar sistem
pencegahan dan pengamanan
kebakaran, sistem sanitasi,
sistem drainase, dan spesifikasi
umum utilitas bangunan
gedung;
d. Spesifikasi umum bangunan
gedung;
e. Perhitungan struktur untuk
bangunan gedung 2 (dua) lantai
atau lebih dan/atau bentang
struktur lebih dari 6 m;
f. Perhitungan kebutuhan utilitas
(mekanikal dan elektrikal);
g. Rancangan struktur secara
sederhana/prinsip; dan
h. Rancangan utilitas bangunan
gedung secara
sederhana/prinsip.
4. Rencana teknis bangunan gedung
hunian rumah tinggal tidak
sederhana - 2 lantai ataulebih - dan
bangunan gedung lainnya pada
umumnya, serta rencana teknis
bangunan gedung untuk
kepentingan umum.
a. Gambar rancangan arsitektur,
terdiri atas gambar site
plan/situasi, denah, tampak,
potongan, dan spesifikasi umum
finishing bangunan gedung;
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 42
b. Gambar rancangan struktur,
terdiri atas gambar struktur
bawah (pondasi), struktur atas,
termasuk struktur atap, dan
spesifikasi umum struktur
bangunan gedung;
c. Gambar rancangan utilitas
(mekanikal dan
elektrikal),terdiri atas gambar
sistem utilitas (mekanikal
danelektrikal), gambar sistem
pencegahan dan pengamanan
kebakaran, sistem sanitasi,
sistem drainase, dan spesifikasi
umum utilitas bangunan
gedung;
d. Spesifikasi umum bangunan
gedung;
e. Perhitungan struktur untuk
bangunan gedung 2 (dua) lantai
atau lebih dan/atau bentang
struktur lebih dari 6 m; dan
f. Perhitungan kebutuhan utilitas
(mekanikal dan elektrikal).
5. Rencana teknis bangunan gedung
fungsi khusus
 Sama dengan rencana teknis
pada nomor 4 ditambah dengan
rekomendasi instansi terkait.
6. Rencana teknis bangunan gedung
kedutaan besar negara asing,dan
bangunan gedung diplomatik
lainnya mengikuti ketentuan untuk
proses penerbitan IMB untuk
bangunan gedung kepentingan
umum, dan selain mengikuti
persyaratan teknis setempat dapat
mempertimbangkan persyaratan
teknis tertentu yang disyaratkan
oleh Negara yang bersangkutan.
Persyaratan teknis a. fungsi bangunan gedung yang Persyaratan teknis pelaksanaan
pelaksanaan dapat dibangun pada lokasi pembangunan tercakup dalam
pembangunan bersangkutan; keterangan rencana kabupaten/kota
b. ketinggian maksimum bangunan untuk lokasi yang bersangkutan dan
gedung yang diizinkan; berisi ketentuan meliputi:
c. jumlah lantai/lapis bangunan a. Fungsi bangunan gedung yang
gedung di bawah permukaan dapatdibangun pada lokasi
tanah dan koefisien tapak bersangkutan;
basement (KTB) yang diizinkan, b. Ketinggian maksimum bangunan
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 43
apabila membangun di bawah gedung yang diizinkan;
permukaan tanah; c. Jumlah lantai/lapis bangunan
d. garis sempadan dan jarak bebas gedung di bawah permukaan tanah
minimum bangunan gedung yang dan KTB yang diizinkan, apabila
diizinkan; membangun di bawah permukaan
e. koefisien dasar bangunan (KDB) tanah;
maksimum yang diizinkan; d. Garis sempadan dan jarak bebas
f. koefisien lantai minimum bangunan gedung yang
bangunan(KLB)maksimum yang diizinkan;
diizinkan; e. KDB maksimum yang diizinkan;
g. koefisien daerah hijau f. KLB maksimum yang diizinkan;
(KDH)minimum yang diwajibkan; g. KDH minimum yang diwajibkan;
h. KTB maksimum yang diizinkan;
i. Jaringan utilitas kota; dan
j. Keterangan lainnya yang terkait.
Jangka waktu Bupati/Walikota menerbitkan Dokumen IMB diterbitkan dengan
penerbitan IMB permohonan IMB paling lambat 7 jangka waktu paling lambat 30 (tiga
(tujuh) hari kerja terhitung sejak puluh) hari terhitung sejak
tanda bukti pembayaran retribusi persetujuan dokumen rencana teknis
IMB diterima. untuk bangunan gedung pada
umumnya termasuk setelah adanya
pertimbangan teknis dari Tim Ahli
Bangunan Gedung untuk
persetujuan/pengesahan dokumen
rencana teknis bangunan gedung
tertentu.
Pembekuan dan 1. Pembekuan IMB 1. IMB dibekukan jika dalam waktu
pencabutan IMB Pasal 16 ayat (2): Pemilik 14 (empat belas) hari kalender
bangunan yang tidak terhitung sejak peringatan ketiga
mengindahkan sanksi pembatasan atas pelanggaran, pemilik
kegiatan pembangunan bangunan gedung tidak
sebagaimana dimaksud dalam melakukan perbaikan.
Pasal 15 dikenakan sanksi 2. IMB dicabut jika dalam waktu 14
berupa penghentian sementara (empat belas) hari kalender
pembangunan dan pembekuan terhitung sejak dikenakan sanksi
IMB. atas pelanggaran,
2. Pencabutan IMB pemilikbangunan gedung tidak
Pasal 17: Pemilik bangunan yang melakukan perbaikan dan/atau
tidak mengindahkan sanksi penyelesaian atas sanksi yang
penghentian sementara dikenakan.
pembangunan dan pembekuan
IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 16 ayat (2) dikenakan sanksi
berupa penghentian tetap
pembangunan, pencabutan IMB,
dan surat perintah pembongkaran
bangunan.
Peran Serta Peran serta masyarakat tidak diatur. 1. Masyarakat dapat melaporkan
Masyarakat secara tertulis kepada Pemerintah
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 44
dan/atau pemerintah daerah
tentang indikasi bangunan gedung
yang tidak laik fungsi dan/atau
berpotensi menimbulkan gangguan
dan/atau bahaya bagi pengguna,
masyarakat, dan/atau lingkungan
melalui sarana yang mudah
diakses; dan
2. Laporan tertulis dibuat
berdasarkan fakta dan pengamatan
secara objektif dan perkiraan
kemungkinan secara teknis gejala
konstruksi bangunan gedung yang
tidak laik fungsi.

3.2.5. Perda No. 22 Tahun 2000 juncto Perda No. 23 Tahun 2004
Perda No. 22 Tahun 2000 juncto Perda No. 23 Tahun 2004 mengatur tentang
retribusi IMB (selanjutnya disebut Perda Retribusi IMB). Namun ketentuan terkait retribusi
IMB telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku berdasarkan Pasal 59 Perda No. 5 Tahun
2011 tentang Retribusi Perizinan Tenrtentu (akan dibahas pula dalam bab ini). Berdasarkan
ketentuan Pasal 59 tersebut, maka ketentuan yang masih berlaku dalam Perda Retribusi IMB
hanyalah ketentuan yang terkait dengan prosedur penerbitan IMB.
Sebagaimana telah dipaparkan dalam Bab II, pengaturan prosedur penerbitan IMB
dalam Perda Retribusi IMB – yang juga diatur dalam Perda No. 5 Tahun 2011 dan Perda No.
29 Tahun 2011- telah mengakibatkan tumpang tindih pengaturan IMB. Selain itu ketentuan
penerbitan IMB dalam Perda Retribusi IMB tidak sinkron dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi, khususnya Permen PU No. 24/PRT/M/2007 dan Permendagri
No. 32 Tahun 2010. Berikut ini beberapa ketentuan dalam Perda Retribusi IMB terkait
penerbitan IMB yang tidak sinkron dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Tumpang tindih pengaturan dalam Perda Retribusi IMB juga terkait dengan
pengaturan ketentuan teknis bangunan. Bab IV Perda Retribusi IMB mengatur hal-hal yang
terkait dengan teknis bangunan, misalnya garis sempadan, KDB, KLB, dan lain-lain.
Ketentuan teknis tersebut kemudian diatur pula dalam Bagian Ketiga Perda No. 29 Tahun
2011 tentang Bangunan Gedung.42 Pengaturan tersebut menjadi tumpang tindih karena Perda
No. 29 Tahun 2011 tidak mencabut ketentuan teknis bangunan yang diatur dalam Perda

42
Bagian Ketiga Perda No. 29 Tahun 2011 mengatur persyaratan tata bangunan.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 45
Retribusi IMB. Oleh karena itu, sebaiknya Perda Retribusi IMB nantinya dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku jika Perda IMB telah diundangkan.

3.2.6. Perda No. 5 Tahun 2011


Perda No. 5 Tahun 2011 tidak mengatur IMB secara khusus. Perda No. 5 Tahun
2011 mengatur retribusi perizinan tertentu, salah satunya adalah retribusi IMB yang
kemudian, berdasarkan Pasal 59 Perda No. 5 Tahun 2011, mencabut dan menyatakan tidak
berlaku ketentuan retribusi IMB dalam Perda No. 22 Tahun 2000 jo. Perda No. 23 Tahun
2004.
Peraturan Daerah pada umumnya mengatur prosedur perizinan dan retribusi
perizinan dalam dua Peraturan Daerah yang terpisah. Namun substansi Perda No. 5 Tahun
2011 juga mengatur ketentuan yang terkait dengan prosedur dalam penerbitan IMB.
Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 9 yang mengatur sebagai berikut:
Pasal 9
(1) Setiap permohonan IMB dilengkapi dengan gambar rencana tapak dan gambar
rencana konstruksi bangunan berdasarkan rencana tapak.
(2) Gambar rencana tapak berupa:
a. Site Plan untuk penggunaan tanah dibangun pabrik, hotel, apartemen,
restoran, rumah sakit, dan bangunan tunggal lainnya;
b. Block Plan untuk penggunaan tanah di bangun Kawasan Perumahan (Real
Estate), Kawasan Industri (Industrial Estate), Kawasan Pergudangan,
Kawasan Perdagangan/Perkantoran/ Pertokoan, Kawasan Pelabuhan atau
Dermaga, Bangunan Bawah Air, Bangunan Bawah Tanah; dan
c. Surat Ketentuan Persyaratan dan Perencanaan Pembangunan (SKP3) untuk
rumah tinggal dan usaha kecil.
(3) Gambar Rencana Tapak dan Gambar Rencana Konstruksi Bangunan disusun
berdasarkan Ketentuan Teknis Rencana Umum Tata Ruang Wilayah (KT –
RTRW) Persetujuan Pemanfaatan Ruang dan Izin Lokasi.
(4) Dalam menyusun Rencana Tapak harus memperhatikan ketentuan tentang
Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial (FUFS) yang berlaku.
(5) Dalam menyusun Gambar Rencana Konstruksi Bangunan harus memperhatikan
tentang Ketentuan Teknis Bangunan (KTB) yang berlaku.

Ketentuan tersebut tentu saja menimbulkan kerancuan dengan Permen PU No.


24/PRT/M/2007 karena Permen PU No. 24/PRT/M/2007 tidak mengatur bahwa siteplan
sebagai dokumen rencana teknis ditujukan bagi pembangunan pabrik, hotel, apartemen,
restoran, rumah sakit, dan bangunan tunggal lainnya. Permen PU No. 24/PRT/M/2007
mengatur bahwa siteplan sebagai dokumen rencana teknis ditujukan bagi:

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 46
a. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana, meliputi rumah inti
tumbuh, rumah sederhana sehat, dan rumah deret sederhana.
b. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal dan rumah deret – sampai dengan 2
(dua) lantai.
c. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana – 2 lantai atau lebih – dan
bangunan gedung lainnya pada umumnya.
d. Rencana teknis bangunan gedung untuk kepentingan umum.
e. Rencana teknis bangunan gedung fungsi khusus.
f. Rencana teknis bangunan gedung kedutaan besar negara asing dan bangunan gedung
diplomatik lainnya.

Oleh karena itu, syarat siteplan dalam dokumen rencana teknis melalui pengaturan
dalam Raperda IMB perlu disinkronisasikan dengan Permen PU No. 24/PRT/M/2007.
Pengaturan terkait siteplan juga seharusnya diatur hanya dalam Peraturan Daerah yang
mengatur tentang perizinan bukan pada Peraturan Daerah yang mengatur retribusi perizinan.43
Selain itu terminologi block plan perlu diatur secara lebih jelas ruang lingkup dan
batasannya karena ketentuan umum Perda No. 5 Tahun 2011 tidak mengatur dengan jelas
terkait block plan. Hal ini untuk mencegah adanya kerancuan penggunaan istilah block plan
dalam hal lain, misalnya penggunaan istilah block plan dalam Rencana Detail Tata Ruang
Kawasan (RDTRK).

3.2.7. Perda No. 29 Tahun 2011


Perda No. 29 Tahun 2011 mengatur bangunan gedung secara umum di Kabupaten
Gresik. Pengaturan bangunan gedung tersebut merupakan dalam Peraturan Daerah
merupakan amanat dari UU No. 28 Tahun 2002. Namun pengaturan tersebut justru terlalu
detil untuk ruang lingkup pengaturan IMB untuk ruang lingkup Peraturan Daerah yang
mengatur tentang bangunan gedung. Pada akhirnya, pengaturan tersebut tidak dapat
ditindaklanjuti lebih lanjut. Hal ini disebabkan Perda No. 29 Tahun 2011 juga tidak
mendelegasikan pengaturan lebih lanjut terkait IMB pada Peraturan Bupati. Padahal jika
mengacu pada UU No. 12 Tahun 2011, pengaturan ketentuan lebih lanjut dari sebuah
43
Perihal block plan justru diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 8 Tahun 2012
tentang Penanaman Modal di Kabupaten Gresik (Perda No. 8 Tahun 2012). Izin Block Plan diatur untuk
penggunaan tanah bagi kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan pergudangan, kawasan
perdagangan/perkantoran/pertokoan, kawasan pelabuhan atau dermaga, bangunan bawah air, bangunan atas air
dan bangunan bawah tanah.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 47
peraturan perundang-undangan harus didelegasikan secara tegas. Oleh karena itu, perlu
adanya Peraturan Daerah yang secara khusus mengatur IMB dengan berdasarkan
pendelegasian pengaturan dari Pasal 4 Permendagri No. 32 Tahun 2010 dan Pasal 8 ayat (1)
Permen PU No. 24/PRT/M/2007.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 48
4
LANDASAN FILOSOFIS,
SOSIOLOGIS,
4.1. Landasan Filosofis
DAN YURIDIS
Landasan Filosofis (pandangan hidup, kultur, keyakinan agama, filsafat hukum,
kesadaran hukum, adat, dan  wawasan kebangsaan). Maka dalam pembentukan Peraturan
Daerah, para pembentuk harus menyadari bahwa pandangan hidup masyarakat setempat:
yang tercermin dalam budaya masyarakat harus menjadi sumber moral, demikian halnya
dengan kenyakinan agama yang dianut oleh masyarakat, pemikiran atau filsafat hukum yang
dianut masyarakat daerah, termasuk kesadaran hukum masyarakat lokal, serta dalam konteks
NKRI dperhatikannya  wawasan kebangsaan dalam penyusunan Peraturan Daerah. Karena itu
maka asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam Undang-undang Nomor
12 Tahun 2011 diberikan rambu-rambunya.

Filosofis berasal dari kata filsafat, yakni ilmu tentang kebijaksanaan. Berdasarkan
akar kata semacam ini, maka arti filosofis tidak lain adalah sifat-sifat yang mengarah kepada
kebijaksanaan. Karena menitikberatkan kepada sifat akan kebijaksanaan, maka filosofis tidak
lain adalah pandangan hidup suatu bangsa yakni nilai-nilai moral atau etika yang berisi nilai-
nilai yang baik dan yang tidak baik.

Dasar filosofis berkaitan dengan rechtsidee dimana semua masyarakat


mempunyainya, yaitu apa yang mereka harapkan dari hukum, misalnya untuk menjamin
keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya. Cita hukum atau rechtsidee tersebut
tumbuh dari sistem nilai mereka mengenai baik atau buruk, pandangan terhadap hubungan
individu dan kemasyarakatan, tentang kebendaan, kedudukan wanita dan sebagainya.

Semuanya itu bersifat filosofis artinya menyangkut pandangan mengenai hakikat


sesuatu. Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai tersebut baik sebagai sarana
mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada yang dibiarkan dalam
masyarakat sehingga setiap pembentukan hukum atau peraturan perundang-undangan harus
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 49
dapat menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan perundang-
undangan. Akan tetapi adakalanya sistem nilai tersebut telah terangkum dengan baik berupa
teori-teori filsafat maupun dalam doktrin-doktrin resmi (Pancasila).

Dalam tataran filsafat hukum, pemahaman mengenai pemberlakuan moral bangsa ke


dalam hukum (termasuk peraturan perundang-undangan dan Perda) ini dimasukan dalam
pengertian yang disebut dengan rechtsidee yaitu apa yang diharapkan dari hukum, misalnya
untuk menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya yang tumbuh dari sistem
nilai masyarakat (bangsa) mengenai baik dan buruk, pandangan mengenai hubungan individu
dan masyarakat.

Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan perizinan bangunan


sebagaimana diatur dalam Raperda tentang Izin Mendirikan Bangunan memiliki landasan
filosofis yaitu: “pendirian bangunan harus dilaksanakan secara tertib, sesuai dengan
fungsinya, dan memenuhi persyaratan administratif dan teknis agar menjamin keselamatan
penghuni dan lingkungannya serta selaras dengan tata ruang wilayah”.

Jika ditelusuri lebih mendalam, Ranperda Kabupaten Gresik tentang Izin Mendirikan
Bangunan dapat ditemukan pada pandangan hidup (way of life) yang telah dirumuskan dalam
butir-butir Pancasila. Landasan filosofis tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD NRI
1945. Nilai-nilai Pancasila ini kemudian memerlukan penjabaran dalam peraturan perundang-
undangan untuk mengimplementasikan nilai-nilai keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang
dicita-citakan.

Pancasila sebagai norma filosofis harus dapat tercerminkan bukan hanya dalam
undang-undang tetapi juga pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang.
Dalam konteks negara kesatuan yang mendesentralisasikan wewenang ke daerah, pengaturan
perizinan bangunan dengan memperhatikan landasan filosofis dari kelima sila Pancasila
tersebut perlu diarahkan hingga tingkatan peraturan daerah. Oleh karena itu, penting pula
bagi Kabupaten Gresik untuk membentuk peraturan daerah yang secara khusus mengatur
tentang Izin Mendirikan Bangunan dengan memperhatikan landasan filosofis yang bersumber
dari Pancasila.

Ketuhanan yang Maha Esa, secara filosofis menunjukkan bahwa segala kerangka
bernegara harus berdasarkan pandangan bahwa segala yang di dunia ini mengikuti kebajikan
tertinggi dari semesta alam. Melalu sila pertama, manusia Indonesia ingin menunjukkan
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 50
bahwa tidak ada manusia yang dapat berdiri di atas manusia lain. Semua manusia setara
kedudukannya (egaliter) namun sebaliknya inferior terhadap nilai-nilai kebajikan yang
asalnya dari sumber yang tidak disebabkan lagi. Dalam konteks pengaturan perizinan
bangunan, Ketuhanan yang Maha Esa menunjukkan bahwa pendirian bangunan sebagai
produk kebudayaan tentunya merepresentasikan pula kecerdasan dan kehebatan olah pikir
manusia. Namun intelektualitas tersebut haruslah diposisikan sebagai entitas yang inferior
terhadap nilai-nilai yang absolut, yaitu nilai-nilai kebaikan bagi manusia. Misalnya, bangunan
yang akan didirikan bukan hanya ditujukan semata untuk menunjukkan kemegahan, tetapi
bagaimana bangunan tersebut selaras dengan tata ruang wilayah yang telah diatur dalam
Peraturan Daerah. Dalam hal ini perizinan menjadi instrumen kontrol agar pendirian
bangunan dapat menuju pada arah nilai kebaikan tersebut.

Sila kedua Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan sila ketiga Persatuan Indonesia
harus tercermin dalam pengaturan perizinan bangunan sehingga menunjukan bahwa
pendirian bangunan harus mencerminkan sisi kemanusiaan. Pencerminan sisi kemanusiaan
dalam pendirian bangunan dapat dilihat pada fungsi perizinan bangunan untuk mencegah
adanya pendirian bangunan yang dapat mengakibatkan gangguan pada lingkungan sekitar dan
masyarakat. Hal ini ditegaskan dalam Permen PU No. 24/PRT/M/2007 yang mengatur peran
serta masyarakat. Masyarakat berdasarkan ketentuan dalam Permen PU tersebut dapat
melaporkan secara tertulis kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah tentang indikasi
bangunan yang tidak laik fungsi dan/atau berpotensi menimbulkan gangguan dan/atau bahaya
bagi pengguna, masyarakat, dan/atau lingkungan melalui sarana yang mudah diakses. Hal ini
menunjukkan bahwa perizinan bangunan berfungsi untuk menempatkan pendirian bangunan
selaras dengan nilai-nilai kemanusiaan ketika dikaitkan dengan masyarakat dan lingkungan.

Sila keempat, yang menunjukkan pandangan bangsa Indonesia yang memperhatikan


nilai-nilai kerakyatan untuk mencapai keadilan sosial, dengan jalan musyawarah dan
sebagaimana dinyatakan pada sila kelima harus pula menjadi dasar pengaturan perizinan
bangunan untuk mencapai keadilan sosial. Dalam pandangan filosofis ini jelas bahwa bangsa
Indonesia menekankan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sehingga setiap bentuk
aturan hukum harus memperhatikan masyarakat yang dalam stratifikasi sosial berada di
lapisan bawah. Oleh karena itu, pengaturan perizinan bangunan di Kabupaten Gresik
sebaiknya tidak kemudian mempersulit masyarakat dari kelas ekonomi yang kurang mampu
untuk membangun tempat tinggal yang aman dan nyaman.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 51
Bangunan sebagai tempat manusia melakukan kegiatannya, mempunyai peranan
yang sangat strategis dalam pembentukan watak, perwujudan produktivitas, dan jati diri
manusia. Perizinan bangunan perlu diatur dan dibina demi kelangsungan dan peningkatan
kehidupan serta penghidupan masyarakat, serta untuk mewujudkan pendirian bangunan yang
andal, berjati diri, serta seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya. Pengaturan
perizinan bangunan tersebut tidak dapat dihindarkan karena kebutuhan akan bangunan
merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Kebutuhan tersebut akan terus ada dan
berkembang sesuai dengan perkembangan peradaban. Perbaikan mutu hidup masyarakat yang
diwujudkan melalui pembangunan nasional harus diikuti dan disertai secara seimbang dengan
ketertiban pendirian bangunan. Aspek ketertiban pendirian bangunan difokuskan pada aspek
kualitatif dengan memungkinkan terselenggaranya perizinan bangunan yang sesuai dengan
hakekat dan fungsinya.

Dengan landasan filosofis tersebut, diharapkan perizinan bangunan dapat menunjang


terwujudnya tujuan pembangunan nasional. Pada akhirnya, tujuan pembangunan nasional
untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dicapai.

4.2. Landasan Sosiologis


Peraturan Daerah harus mempunyai landasan sosiologis, atau keberlakuan faktual
yaitu ‘kebutuhan dan aspirasi ril masyarakat’, yang mendasari mengapa Peraturan Daerah
mengenai hal tertentu harus dibentuk dalam suatu Daerah.

Landasan sosiologis (sociologiche gelding) dapat diartikan pencerminan kenyataan


yang hidup dalam masyarakat, dengan harapan peraturan perundang-undangan (termasuk
peraturan daerah didalamnya) tersebut akan diterima oleh masyarakat secara wajar bahkan
spontan. Peraturan perundang-undangan yang diterima secara wajar akan mempunyai daya
berlaku efektif dan tidak begitu banyak memerlukan pengerahan institusional untuk
melaksanakannya.

Dasar sosiologis dari peraturan daerah adalah kenyataan yang hidup dalam
masyarakat (living law) harus termasuk pula kecenderungan-kecenderungan dan harapan-
harapan masyarakat. Tanpa memasukan faktor-faktor kecenderungan dan harapan, maka
peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam seketika (moment opname). Keadaan
seperti ini akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hukum akan tertinggal dari
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 52
dinamika masyarakat. Bahkan peraturan perundang-undangan akan menjadi konservatif
karena seolah-olah pengukuhan kenyataan yang ada. Hal ini bertentangan dengan sisi lain
dari peraturan perundang-undangan yang diharapkan mengarahkan perkembangan
masyarakat.

Peraturan perundang-undangan dibentuk oleh negara dengan harapan dapat diterima


dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat secara sadar tanpa kecuali. Harapan seperti ini
menimbulkan konsekuensi bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus
memperhatikan secara lebih seksama setiap gejala sosial masyarakat yang berkembang.
Terdapat perbedaan anatara hukum positif di satu pihak dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat (living law) di pihak lain. Oleh karena itu hukum posistif akan memiliki daya
berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat.

Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut, maka peraturan perundang-undangan


sebagai hukum positif akan mempunyai daya berlaku jika dirumuskan ataupun disusun
bersumber pada living law tersebut. Dalam kondisi yang demikian maka peraturan
perundang-undangan tidak mungkin dilepaskan dari gejala sosial yang ada di dalam
masyarakat tadi.

Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan perizinan bangunan


sebagaimana diatur dalam Raperda Izin Mendirikan Bangunan memiliki landasan sosiologis.
Landasan sosiologis adanya pengaturan Izin Mendirikan Bangunan yaitu perlunya perizinan
bangunan yang dapat:44
1. Mewujudkan pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan.
2. Mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin keandalan bangunan dari
segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan.
3. Mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata bangunan dan serasi dengan
lingkungannya.

Landasan sosiologis tersebut memperlihatkan adanya kontribusi atau dampak dari


perizinan bangunan terhadap lingkungan, baik lingkungan masyarakat maupun lingkungan
hidup lainnya. Agar perizinan bangunan dapat menjamin ketertiban pendirian bangunan

44
Mengacu pada Pasal 3 ayat (1) Permendagri No. 32 Tahun 2010.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 53
sehingga terwujud sesuai dengan fungsinya, diperlukan peran masyarakat dan upaya
pembinaan.

4.3. Landasan Yuridis


Pembentukan peraturan perundang-undangan, haruslah mengacu pada landasan
pembentukan peraturan perundang-undangan atau ilmu perundang-undangan
(gesetzgebungslehre), yang diantaranya landasan yuridis. Setiap produk hukum, haruslah
mempunyai dasar berlaku secara yuridis (juridische gelding). Dasar yuridis ini sangat penting
dalam pembuatan peraturan perundang-undangan khususnya peraturan daerah.

Peraturan Daerah merupakan salah satu unsur produk hukum, maka prinsip-prinsip
pembentukan, pemberlakuan dan penegakannya harus mengandung nilai-nilai hukum pada
umumnya. Berbeda dengan niali-nilai sosial lainya, sifat kodratinya dari nilai hukum adalah
mengikat secara umum dan ada pertanggungjawaban konkrit yang berupa sanksi duniawi
ketika nilai hukum tersebut dilanggar.

Oleh karena itu peraturan daerah merupakan salah satu produk hukum, maka agar
dapat mengikat secara umum dan memiliki efektivitas dalam hal pengenaan sanksi,
disebutkan bahwa sanksi adalah cara-cara menerapkan suatu norma atau peraturan. Sanksi
hukum adalah sanksi-sanksi yang digariskan atau di otorisasi oleh hukum. Setiap peraturan
hukum mengandung atau menyisaratkan sebuah statemen mengenai konsekuensi-
konsekuensi hukum, konsekuensi-konsekuensi ini adalah sanksi-sanksi, janji-janji atau
ancaman.

Dalam pembentukan peraturan daerah harus memperhatikan beberapa persyaratan


yuridis. Persyaratan seperti inilah yang dapat dipergunakan sebagai landasan yuridis, yang
dimaksud disini adalah :
1. Dibuat atau dibentuk oleh organ yang berwenang, artinya suatu peraturan perundang-
undangan harus dibuat oleh pejabat atau badan yang mempunyai kewenangan untuk itu.
Dengan konsekuensi apabila tidak diindahkan persyaratan ini maka konsekuensinya
undang-undang tersebut batal demi hukum (van rechtswegenietig);
2. Adanya kesesuaian bentuk/ jenis Peraturan perundang-undangan dengan materi muatan
yang akan diatur, artinya ketidaksesuaian bentuk/ jenis dapat menjadi alasan untuk
membatalkan peraturan perundang-undangan yang dimaksud;

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 54
3. Adanya prosedur dan tata cara pembentukan yang telah ditentukan adalah pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan harus melalui prosedur dan tata cara yang telah
ditentukan;
4. Tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi
tingkatannnya adalah sesuai dengan pandangan stufenbau theory, peraturan perundang-
undangan mengandung norma-norma hukum yang sifatnya hirarkhis. Artinya suatu
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya merupakan grundnorm
(norma dasar) bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya.

Berdasarkan pemahaman teori tersebut, maka pengaturan penyelenggaraan


bangunan gedung sebagaimana diatur dalam Perda Bangunan Gedung memiliki landasan
yuridis yaitu “untuk melaksanakan ketentuan Pasal 109 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 36 Tahun 2005 Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
Tentang Bangunan Gedung”. Dimana dalam Pasal 109 ayat (1) tersebut diatur bahwa
“pengaturan (sebagai bagian dari pembinaan penyelenggaraan bangunan gedung)
dilakukan oleh pemerintah daerah dengan penyusunan peraturan daerah di bidang
bangunan gedung berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi
dengan memperhatikan kondisi kabupaten/kota setempat”.

Dengan demikian, landasan yuridis tersebut telah memperkuat dasar penyusunan


Peraturan Daerah tentang Penataan Bangunan dan Izin Mendirikan Bangunan, yaitu sebagai
suatu peraturan perundang-undangan yang bersifat delegasi atau amanah dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.
1. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945
Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945 menjadi salah satu landasan yuridis untuk
menunjukkan landasan wewenang Pemerintahan Daerah untuk membentuk peraturan
daerah tentang bangunan gedung. Pasal 18 ayat (6) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa
Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan
lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Dalam hal untuk menjalankan
otonomi daerah itulah Pemerintah Kabupaten Gresik memiliki wewenang untuk
membentuk peraturan daerah yang secara khusus mengatur izin mendirikan bangunan di
Kabupaten Gresik.

2. UU No. 12 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Kabupaten dalam


Lingkungan Propinsi Jawa Timur sebagaimana diubah dengan UU No. 2 Tahun 1965
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 55
tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya dan Daerah Tingkat II Surabaya
(UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965)
UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965 menjadi landasan yuridis Peraturan
Daerah Kabupaten Gresik tentang Izin Mendirikan Bangunan karena berdasarkan UU
No. 12 Tahun 1950 jo. UU No. 2 Tahun 1965 daerah Gresik ditetapkan sebagai salah
satu kabupaten di Jawa Timur. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 12 Tahun 1950 jo. UU
No. 2 Tahun 1965 diatur pula urusan-urusan yang menjadi urusan rumah tangga dan
kewajiban kabupaten-kabupaten yang dibentuk tersebut. Namun dasar urusan wajib yang
menjadi wewenang Pemerintah Kabupaten Gresik bukan lagi undang-undang ini,
melainkan UU No. 23 Tahun 2014. UU No. 12 Tahun 1950 yang menjadi dasar dalam
pembentukan setiap peraturan daerah di Kabupaten Gresik sekedar untuk menunjukkan
dasar yuridis dari asal wewenang yang dimiliki Pemerintah Kabupaten Gresik. Ketika
Pemerintah Kabupaten Gresik terbentuk itulah juga eksis wewenang yang melekat pada
pemerintahan daerah tersebut.

3. UU No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung


UU No. 28 Tahun 2002 merupakan undang-undang yang menjadi rujukan dalam
pembentukan setiap peraturan daerah tentang bangunan gedung di berbagai daerah. UU
No. 28 Tahun 2002 secara eksplisit dalam bagian Penjelasan juga menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan dalam undang-undang tersebut perlu diatur lebih lanjut dalam
peraturan daerah. Dalam Penjelasan dinyatakan bahwa UU No. 28 Tahun 2002 hanya
mengatur hal-hal yang bersifat pokok dan normatif saja, sedangkan ketentuan
pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan/atau peraturan
perundang-undangan lainnya, termasuk Peraturan Daerah, dengan tetap
mempertimbangkan ketentuan dalam undang-undang lain yang terkait dalam
pelaksanaan UU No.28 Tahun 2002.

4. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah


Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014, Pemerintah Pusat memiliki
Urusan Absolut yang tidak dapat dibagikan pada Pemerintah Daerah. Urusan Absolut
yang menjadi urusan Pemerintah Pusat antara lain:
g. politik luar negeri;
h. pertahanan;
i. keamanan;
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 56
j. yustisi;
k. moneter dan fiskal nasional; dan
l. agama.

Urusan pemerintahan yang kemudian dibagikan pada Pemerintah Daerah adalah Urusan
pemerintahan konkuren. Urusan pemerintahan konkuren kemudian dibedakan menjadi
Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan Pemerintahan Pilihan [lihat Pasal 11 ayat (1)].
Salah satu Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah
pekerjaan umum dan penataan ruang [Pasal 12 ayat (1)]. Berdasarkan Pasal 12 ayat (1),
pengaturan bangunan dan gedung dapat diklasifikasikan sebagai bagian pelayanan dasar
di bidang pekerjaan umum dan penataan ruang, sub urusan bangunan gedung.
Berdasarkan pembagian urusan dalam UU No. 23 Tahun 2014, wewenang Pemerintah
Kabupaten/Kota dalam sub urusan bangunan gedung adalah pemberian IMB dan
sertifikat laik fungsi bangunan gedung.

5. PP No. 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun


2002 tentang Bangunan Gedung
PP No. 36 Tahun 2005 menjadi salah satu landasan yuridis pengaturan peraturan daerah
tentang Izin Mendirikan Bangunan karena merupakan peraturan perundang-undangan
yang secara eksplisit mendelegasikan pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan daerah.
Beberapa contoh pendelegasian pengaturan lebih lanjut ke dalam peraturan daerah antara
lain:
c. Pasal 14 ayat (2) mengatur bahwa izin mendirikan bangunan gedung diberikan oleh
pemerintah daerah, kecuali bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah,
melalui proses permohonan izin mendirikan bangunan gedung. Pasal 14 ayat (2)
menunjukkan adanya wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam penerbitan
IMB.
d. Pasal 112 ayat (1) menegaskan wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota dalam
perizinan bangunan. Pasal 112 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah daerah
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan penerapan peraturan daerah di bidang
bangunan gedung melalui mekanisme penerbitan izin mendirikan bangunan gedung
dan sertifikasi kelaikan fungsi bangunan gedung, serta surat persetujuan dan
penetapan pembongkaran bangunan gedung.

6. Permen PU No. 24/PRT/M/2007


NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 57
Permen PU No. 24/PRT/M/2007 mengatur secara detail mengenai tata cara pemrosesan
IMB untuk bangunan gedung pada umumnya, bangunan gedung kepentingan umum,
IMB untuk bangunan gedung fungsi khusus, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
Gedung Secara Bertahap, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Gedung untuk
Pembangunan Secara Massal, Penerbitan Izin Mendirikan Bangunan Gedung untuk
Pembangunan dengan Strata Title. Permen juga menegaskan perlunya tim ahli bangunan
gedung untuk memberikan pertimbangan teknis terhadap dokumen rencana teknis dalam
rangka penerbitan IMB (khususnya berkaitan dengan pengesahan dokumen rencana
teknis). Tim ahli bangunan gedung ini secara khusus dibutuhkan untuk memberikan
pertimbangan teknis terhadap dokumen rencana teknis bangunan gedung untuk
kepentingan umum serta dokumen rencana teknis bangunan gedung tertentu fungsi
khusus. Persetujuan dari tim ahli bangunan gedung ini diperoleh pemohon tanpa
pungutan biaya atau secara Cuma-Cuma (sudah diperhitungkan dalam retribusi IMB).

Permen PU No. 24/PRT/M/2007 mengamanatkan bahwa pelaksanaan Pedoman Teknis


IMB di daerah diatur lebuh lanjut dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada
peraturan ini. Dalam hal daerah belum mempunyai peraturan daerah tersebut, maka
pelaksanaan pengaturan Izin mendirikan Bangunan gedung berpedoman pada peraturan
ini. Sedangkan bila daerah telah mempunyai peraturan daerah terkait yang ditatapkan
sebelum permen ini diberlakukan, maka Peraturan Daerah tersebut harus menyesuaikan
dengan substansi pengaturan dalam Permen ini. Selama proses penyusunan dan/atau
penyesuuaian Perda terkait terrsebut. Semua peraturan perundang-Undangan yang
berkaitan dengan IMB dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
Permen ini.

7. Permendagri No. 32 Tahun 2010


Selain Permen PU No. 24/PRT/M/2007, Permendagri No. 32 Tahun 2010 juga menjadi
landasan yuridis karena mendelegasikan pengaturan Izin Mendirikan Bangunan lebih
lanjut dalam bentuk Peraturan Daerah. Pendelegasian tersebut dalam Pasal 35 ayat (1)
yang mengatur bahwa Bupati/Walikota menetapkan Peraturan Daerah tentang pemberian
Izin Mendirikan Bangunan dengan berpedoman pada Permendagri No. 32 Tahun 2010
paling lambat 2 (dua) tahun sejak Permendagri No. 32 Tahun 2010 ditetapkan.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 58
5
JANGKAUAN, ARAH
PENGATURAN, DAN RUANG
LINGKUP
5.1. Sasaran MATERI MUATAN
PERATURAN DAERAH
Sasaran dari Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang
Mendirikan Bangunan (Raperda IMB) ini adalah:
Izin

1. Terbentuknya dasar hukum yang mengatur Izin Mendirikan Bangunan (IMB) di


Kabupaten Gresik secara sistematis dan tidak lagi tersebar pada berbagai peraturan
perundang-undangan. Analisis dan evaluasi terhadap peraturan perundang-undangan
maupun praktik empiris menunjukkan bahwa sistematika pengaturan IMB di
Kabupaten Gresik tersebar dalam berbagai Peraturan Daerah. Hal ini tentunya akan
menyulitkan masyarakat dalam memahami prosedur penerbitan IMB di Kabupaten
Gresik. Jika dilihat dari perspektif investasi, hal ini dapat berdampak buruk karena
investor dapat menurun keyakinannya terhadap kepastian hukum bagi perizinan di
Kabupaten Gresik.
2. Tersebarnya pengaturan IMB di Kabupaten Gresik juga berdampak pada tumpang
tindih pengaturan. Oleh karena itu Raperda IMB akan mensinkronisasikan berbagai
pengaturan tersebut sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih pengaturan yang
menyulitkan penerbitan IMB akibat multitafsir. Pengaturan IMB di Kabupaten Gresik
dengan adanya Raperda IMB ini menjadi terpisah dari Perda yang mengatur retribusi
IMB.
3. Untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut maka melalui Raperda IMB ini juga akan
dicabut Perda maupun ketentuan pada beberapa Perda untuk mencegah tumpang tindih.
Melalui pencabutan tersebut diharapkan adanya pengaturan IMB yang sistematis dan
terunifikasi dalam satu produk hukum daerah. Berdasarkan analisis dan evaluasi dalam
Bab III, terdapat beberapa ketentuan yang akan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,
antara lain:

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 59
a. Ketentuan terkait prosedur penerbitan IMB sebagaimana diatur dalam Perda No.
22 Tahun 2000 juncto Perda No. 23 Tahun 2004.
b. Ketentuan terkait prosedur penerbitan IMB sebagaimana diatur dalam Perda No.
5 Tahun 2011.
c. Ketentuan terkait prosedur penerbitan IMB sebagaimana diatur dalam Perda No.
29 Tahun 2011.

5.2. Jangkauan dan Arah Pengaturan


Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya, maka diidentifikasi jangkauan dan
arah pengaturan dalam Raperda IMB ini meliputi:
1. Prinsip dan manfaat dari pengaturan penerbitan IMB dengan Peraturan Daerah.
2. Kelembagaan dalam perizinan bangunan di Kabupaten Gresik.
3. Tahap Permohonan Penerbitan IMB
Pengaturan tahap permohonan ini merupakan tahap yang mendapat porsi pengaturan
lebih besar. Hal ini disebabkan dalam tahap inilah fungsi kontrol dalam perizinan dapat
berperan. Fungsi kontrol tersebut ditunjukkan dalam proses verifikasi yang dilakukan
oleh Pemerintah Kabupaten Gresik terhadap permohonan yang masuk. Jangkauan dan
arah dalam tahap ini meliputi:
a. Persyaratan-persyaratan dalam pengajuan permohonan IMB.
b. Tata cara permohonan IMB.
c. Jangka waktu penerbitan IMB.
4. Tahap Penerbitan IMB, yaitu terkait pembayaran retribusi IMB oleh pemohon.
5. Tahap Pascapenerbitan IMB
a. Pelaksanaan pembangunan.
b. Pembongkaran.
c. Penertiban.
d. Pengawasan dan pengendalian.
e. Sanksi.

5.3. Ruang Lingkup Materi Muatan


Ruang lingkup materi muatan dalam Raperda IMB ini meliputi:
1. Ketentuan Umum

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 60
Ketentuan umum dalam Raperda IMB memuat rumusan akademik dari
pengertian istilah dan frasa yang digunakan dalam Raperda. Ketentuan umum
dalam Raperda IMB ini antara lain:
a. Daerah adalah Kabupaten Gresik.
b. Bupati adalah Bupati Gresik.
c. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
d. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Gresik.
e. Bangunan adalah bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
f. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang
menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada
di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai
tempat manusia melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat
tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya,
maupun kegiatan khusus.
g. Bangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat kedudukannya, sebagian atau
seluruhnya berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
tidak digunakan untuk tempat hunian atau tempat tinggal.
h. Klasifikasi bangunan gedung adalah sebagai dasar penggolongan
bangunan gedung terhadap tingkat kompleksitas, tingkat permanensi,
tingkat risiko kebakaran, tingkat zonasi gempa, lokasi, ketinggian
bangunan, dan kepemilikan bangunan dari fungsi bangunan gedung
sebagai dasar pemenuhan persyaratan administrasi dan persyaratan
teknis.
i. Izin Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disingkat IMB, adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, kecuali untuk
bangunan gedung fungsi khusus oleh Pemerintah, kepada pemohon
untuk membangun baru, memperbaiki, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan/atau memugar dalam rangka melestarikan bangunan

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 61
sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku.
j. Pemohon adalah setiap orang, badan hukum atau usaha, kelompok
orang, dan lembaga atau organisasi yang mengajukan permohonan IMB
kepada pemerintah daerah, dan untuk bangunan gedung fungsi khusus
kepada pemerintah.
k. Pemilik bangunan adalah setiap orang, badan hukum atau usaha,
kelompok orang, dan lembaga atau organisasi yang menurut hukum sah
sebagai pemilik bangunan.
l. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, yang selanjutnya disingkat
RDTRK, adalah penjabaran rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota
ke dalam rencana pemanfaatan kawasan, yang memuat zonasi atau blok
alokasi pemanfaatan ruang.
m. Rencana Teknik Ruang Kawasan, yang selanjutnya disingkat RTRK,
adalah rencana tata ruang setiap blok kawasan yang memuat rencana
tapak atau tata letak dan tata bangunan beserta prasarana dan sarana
lingkungan serta utilitas umum.
n. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, yang selanjutnya disingkat
RTBL, adalah panduan rancang bangun suatu kawasan untuk
mengendalikan pemanfaatan ruang yang memuat rencana program
bangunan dan lingkungan, rencana umum dan panduan rancangan,
rencana investasi, ketentuan pengendalian rencana, dan pedoman
pengendalian pelaksanaan.
o. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan
Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
p. Pembekuan adalah pemberhentian sementara atas IMB akibat
penyimpangan dalam pelaksanaan pembangunan.
q. Pencabutan adalah tindakan akhir yang dilakukan setelah pembekuan
IMB.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 62
r. Pemutihan adalah penerbitan IMB terhadap bangunan yang sudah
terbangun di kawasan yang belum memiliki RDTRK, RTBL, dan/atau
RTRK.
s. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau merobohkan seluruh
atau sebagian bangunan, komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana
dan sarananya.
t. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan penerapan
peraturan perundang-undangan di bidang perizinan bangunan dan upaya
penegakan hukum.

2. Prinsip penerbitan IMB yang meliputi:


a. prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif;
b. pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu;
c. keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia usaha; dan
d. aspek rencana tata ruang, kepastian status hukum pertanahan, keamanan
dan keselamatan, serta kenyamanan.

3. Manfaat penerbitan IMB bagi Pemerintah Daerah, yaitu:


a. pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
b. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang menjamin
keandalan bangunan dari segi keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan
kemudahan;
c. mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan tata bangunan
dan serasi dengan lingkungannya; dan
d. syarat penerbitan sertifikasi laik fungsi bangunan.

4. Manfaat penerbitan IMB bagi pemegang IMB, yaitu:


a. pengajuan sertifikat laik jaminan fungsi bangunan; dan
b. memperoleh pelayanan utilitas umum seperti pemasangan/ penambahan
c. jaringan listrik, air minum, hydrant, telepon, dan gas.

5. Ruang lingkup penerbitan IMB ditujukan bagi bangunan gedung dan bangunan
bukan gedung. IMB diwajibkan bagi setiap orang atau badan hukum yang
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 63
akan melakukan kegiatan pembangunan baru, rehabilitasi/renovasi, atau
pelestarian/ pemugaran. Ruang lingkup dari bangunan gedung adalah
bangunan gedung dengan fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial dan budaya,
serta bangunan gedung dengan fungsi ganda/campuran. Ruang lingkup dari
bangunan bukan gedung adalah:
a. pelataran untuk parkir, lapangan tenis, lapangan basket, lapangan
golf, dan lain-lain sejenisnya;
b. pondasi, pondasi tangki, dan lain-lain sejenisnya;
c. pagar tembok/besi dan tanggul/turap, dan lain-lain sejenisnya;
d. bak penampungan bekas air kotor, dan lain-lain sejenisnya;
e. sumur resapan, dan lain-lain sejenisnya;
f. teras tidak beratap atau tempat pencucian, dan lain-lain sejenisnya;
g. dinding penahan tanah, dan lain-lain sejenisnya;
h. jembatan penyeberangan orang, jembatan jalan perumahan, dan lain-
lain sejenisnya;
i. penanaman tangki, landasan tangki, bangunan pengolahan air, gardu
listrik, gardu telepon, menara, tiang listrik/telepon, dan lain-lain
sejenisnya;
j. pipa atau kabel yang dibangun di atas tanah atau di bawah tanah;
k. kolam renang, kolam ikan air deras, dan lain-lain sejenisnya; dan
l. gapura, patung, bangunan reklame, monumen, dan lain-lain sejenisnya.

6. IMB tidak diperlukan untuk kegiatan berikut ini:


a. Memperbaiki bangunan dengan tidak mengubah bentuk dan luas serta
menggunakan jenis bahan semula.
b. Memperbaiki saluran air hujan dan selokan dalam pekarangan bangunan.
c. Membuat bangunan yang sifatnya sementara bagi kepentingan
pemeliharaan ternak dengan luas tidak melebihi garis sempadan
belakang dan samping serta tidak mengganggu kepentingan orang lain
atau umum.
d. Membuat pagar halaman yang sifatnya sementara yang tingginya tidak
melebihi 120 (seratus dua puluh) centimeter kecuali adanya pagar ini
mengganggu kepentingan orang lain atau umum.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 64
e. Membuat bangunan yang sifat penggunaannya sementara waktu.

7. Aspek kelembagaan dalam penerbitan IMB yang mengatur sebagai berikut:


a. Bupati berwenang dalam penerbitan IMB.
b. Bupati mendelegasikan wewenang penerbitan IMB kepada kepala satuan
kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan di Daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Kepala satuan kerja perangkat daerah tersebut dalam melaksanakan
pendelegasian wewenang penerbitan IMB melaporkan pelaksanaannya
kepada Bupati.

8. Pengaturan tata cara permohonan IMB secara prosedural diatur sebagai


berikut:
a. Pemohon mengajukan permohonan penerbitan IMB kepada Bupati
melalui satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan di
Daerah.
b. Permohonan dilengkapi dengan dokumen persyaratan administratif dan
persyaratan teknis.
c. Satuan kerja perangkat daerah yang membidangi perizinan memeriksa
kelengkapan dokumen persyaratan administratif dan persyaratan teknis.
Dokumen tersebut kemudian dievaluasi untuk menjadi dasar persetujuan
dalam penerbitan IMB. Dokumen administratif, dan/atau dokumen
rencana teknis yang belum memenuhi persyaratan dikembalikan kepada
pemohon untuk dilengkapi/diperbaiki.
d. Bupati memberikan persetujuan terhadap permohonan IMB dan
menetapkan retribusi IMB setelah dokumen administratif dan dokumen
rencana teknis memenuhi persyaratan.

9. Persyaratan administratif permohonan IMB, antara lain:

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 65
a. Status hak atas tanah. Sebagai kelengkapan dokumen terkait status hak
atas tanah tempat pendirian bangunan maka harus ditunjukkan tanda
bukti penguasaan atau kepemilikan tanah yang dibuktikan dan/atau
dilengkapi dengan:
1) Surat bukti status hak atas tanah.
2) Surat perjanjian pemanfaatan/penggunaan tanah.
3) Data kondisi/situasi tanah.

b. Status kepemilikan bangunan.


Untuk permohonan IMB pembangunan bangunan gedung baru, status
kepemilikanbangunan gedung yaitu dokumen keterangan diri pemilik
yang mengajukan Permohonan IMB dan kepemilikan atas bangunan
gedung.
c. Dokumen/surat yang terkait, antara lain:
1) Surat pernyataan dari pemohon bahwa tanah tidak sedang dalam
sengketa;
2) Surat pernyataan dari pemohon untuk bertanggungjawab dalam
keamanan konstruksi bangunan;
3) Surat pemberitahuan pajak terhutang bumi dan bangunan (SPPT-
PBB) tahun berkenaan;
4) Izin Tata Ruang untuk pembangunan di atas tanah dengan luas
minimum tertentu;
5) Dokumen analisis mengenai dampak dan gangguan terhadap
lingkungan, atau upaya pemantauan lingkungan (UPL)/upaya
pengelolaan lingkungan (UKL) bagi yang terkena kewajiban;
dan/atau
6) Rekomendasi instansi teknis terkait untuk bangunan gedung di
atas/bawah prasarana dan sarana umum.

10. Penggolongan bangunan, untuk menentukan pembedaan persyaratan teknis


dokumen permohonan IMB, yang digolongkan sebagai berikut:

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 66
a. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal sederhana, meliputi:
rumah inti tumbuh, rumah sederhana sehat, dan rumah deret sederhana;
b. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tunggal dan rumah deret –
sampai dengan 2 (dua) lantai –;
c. Bangunan gedung hunian rumah tinggal tidak sederhana – 2 (dua) lantai
atau lebih – bangunan gedung lainnya pada umumnya;
d. Bangunan gedung untuk kepentingan umum, yaitu bangunan gedung
yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi
keagamaan, fungsi usaha, maupun sosial dan budaya;
e. Bangunan bukan gedung

11. Persyaratan teknis permohonan IMB berupa dokumen rencana teknis.


Dokumen rencana teknis meliputi data umum bangunan dan rencana teknis
bangunan. Setiap golongan bangunan dalam data umum bangunan pada
dokumen rencana teknis menyampaikan informasi antara lain:
a. Fungsi/klasifikasi bangunan.
b. Luas lantai dasar bangunan.
c. Total luas lantai bangunan.
d. Ketinggian/jumlah lantai bangunan.
e. Rencana pelaksanaan.

12. Substansi rencana teknis bangunan, sebagai bagian dari dokumen rencana
teknis, berbeda pada setiap penggolongan bangunan. Golongan bangunan yang
lebih kompleks memiliki substansi rencana teknis yang juga lebih kompleks
daripada golongan bangunan yang lebih sederhana.

13. Bupati dapat menolak permohonan IMB yang diajukan Pemohon apabila
bangunan yang akan dibangun tidak memenuhi persyaratan administratif dan
teknis, penggunaan tanah yang akan didirikan bangunan tidak sesuai dengan
rencana kota, atau terdapat keberatan tertulis dari masyarakat karena bangunan
yang akan didirikan secara objektif diperkirakan akan mengganggu
lingkungan, lalu lintas, aliran air, atau cahaya pada bangunan yang ada di

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 67
sekitarnya. Penolakan permohonan IMB oleh Bupati disampaikan secara
tertulis kepada Pemohon dengan disertai alasan penolakan.

14. Pelaksanaan pembangunan bangunan yang telah memiliki IMB wajib sesuai
dengan persyaratan teknis.

15. Bupati melakukan pemutihan IMB terhadap bangunan yang sudah terbangun
sebelum adanya RTRW, RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK dan tidak memiliki
IMB yang bangunannya sesuai dengan lokasi, peruntukkan, dan penggunaan
yang ditetapkan dalam RTRW, RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK.
Pemutihan tersebut hanya dilakukan 1 (satu) kali.

16. Bangunan milik Pemerintah atau Pemerintah Daerah tidak dikenakan retribusi
IMB.

17. Pemerintah Daerah melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap


pelaksanaan Peraturan Daerah tentang IMB melalui satuan kerja perangkat
daerah yang membidangi perizinan dan/atau pengawasan. Kegiatan
pengawasan tersebut meliputi pemeriksaan fungsi bangunan, persyaratan
teknis bangunan, dan keandalan bangunan. Kegiatan pengendalian meliputi
peninjauan lokasi, pengecekan informasi atas pengaduan masyarakat, dan
pengenaan sanksi. Pengawasan dan pengendalian tersebut dapat melibatkan
masyarakat dengan mengembangkan sistem pemberian penghargaan berupa
tanda jasa dan/atau insentif untuk meningkatkan peran masyarakat.

18. Sanksi administratif bagi pelanggaran ketentuan Perda IMB mencakup


peringatan tertulis, denda administratif, pembekuan IMB, pencabutan IMB,
pembongkaran bangunan.

19. Bangunan yang sudah terbangun sebelum adanya RTRW, RDTRK, RTBL,
dan/atau RTRK dan tidak memiliki IMB yang bangunannya tidak sesuai
dengan lokasi, peruntukkan, dan/atau penggunaan yang ditetapkan dalam
RTRW, RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK dikenakan sanksi administratif

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 68
berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan dapat
ditindaklanjuti dengan denda administratif.

20. Bangunan yang sudah terbangun sesudah adanya RTRW, RDTRK, RTBL,
dan/atau RTRK dan tidak memiliki IMB yang bangunannya sesuai dengan
lokasi, peruntukkan, dan penggunaan yang ditetapkan dalam RTRW,
RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK dikenakan sanksi administratif berupa
peringatan tertulis dan dapat ditindaklanjuti dengan denda administratif.

21. Bangunan yang sudah terbangun sebelum adanya RTRW, RDTRK, RTBL,
dan/atau RTRK dan tidak memiliki IMB yang bangunannya sesuai dengan
lokasi, peruntukkan, dan penggunaan yang ditetapkan dalam RTRW,
RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK tetapi tidak melakukan pemutihan. dikenakan
sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan dapat ditindaklanjuti dengan
denda administratif.

22. Bangunan yang sudah terbangun tetapi memiliki IMB yang diterbitkan
berdasarkan data dan informasi yang tidak benar dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis dan dapat ditindaklanjuti dengan denda
administratif. Jika denda administratif tidak dibayar maka dapat ditindaklanjuti
dengan sanksi administratif lainnya.

23. Bangunan yang pelaksanaan pembangunannya menyimpang dari dokumen


rencana teknis yang telah disahkan dan/atau persyaratan yang tercantum dalam
IMB dikenakan sanksi administratif berupa peringatan tertulis dan dapat
ditindaklanjuti dengan denda administratif. Jika denda administratif tidak
dibayar maka dapat ditindaklanjuti dengan sanksi administratif lainnya.

24. Bangunan yang dalam waktu 6 (enam) bulan sejak IMB diterbitkan tidak
terdapat kegiatan fisik atau konstruksi di lapangan dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis dan dapat ditindaklanjuti dengan denda
administratif. Jika denda administratif tidak dibayar maka dapat ditindaklanjuti
dengan sanksi administratif lainnya.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 69
25. Bangunan yang telah memiliki IMB tetapi kegiatan pembangunannya terhenti
selama 3 (tiga) bulan berturut-turut dan tidak dilanjutkan lagi berdasarkan
pemberitahuan tertulis dari Pemilik Bangunan dikenakan sanksi administratif
berupa peringatan tertulis dan dapat ditindaklanjuti dengan denda
administratif. Jika denda administratif tidak dibayar maka dapat ditindaklanjuti
dengan sanksi administratif lainnya.

26. Bangunan yang sudah dilengkapi dengan IMB sebelum diundangkannya


Peraturan Daerah ini tetap berlaku. Bangunan yang pada saat berlakunya
Peraturan Daerah ini belum dilengkapi IMB, maka Pemilik Bangunan wajib
mengajukan permohonan IMB. Permohonan IMB yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Daerah ini tetap diproses dan disesuaikan dengan
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini.

27. Dengan berlakunya Peraturan Daerah tentang IMB maka terdapat beberapa
ketentuan dalam Peraturan Daerah yang dinyatakan dicabut dan tidak berlaku
lagi. Peraturan Daerah tersebut antara lain:
a. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun 2000 tentang
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah Kabupaten
Gresik Tahun 2000 Nomor 8 Seri B);
b. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 23 Tahun 2004 tentang
Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun
2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah
Kabupaten Gresik Tahun 2004 Nomor 8 Seri C);
c. Ketentuan tentang IMB yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten
Gresik Nomor 29 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor ).

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 70
6
PENUTUP
6.1. Simpulan
Berdasarkan kajian yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Permasalahan dalam perizinan bangunan di Kabupaten Gresik disebabkan tidak adanya
Peraturan Daerah yang mengatur penerbitan IMB secara komprehensif. Ketiadaan
Peraturan Daerah tersebut berdampak pada praktik perizinan bangunan di Kabupaten
Gresik yang banyak bergantung pada kebijakan yang dibuat satuan kerja perangkat
daerah. Aspek-aspek prosedural dalam perizinan bangunan juga diatur dalam beberapa
Peraturan Daerah yang terpisah sehingga tidak berdampak pada kesatuan sistem
perizinan bangunan walaupun pengurusan IMB selama ini ditangani oleh Badan
Penanaman Modal dan Perizinan Kabupaten Gresik.
2. Pengaturan permasalahan tersebut perlu dipecahkan dengan penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang IMB karena pengaturan IMB telah
didelegasikan oleh Permen PU No. 24/PRT/M/2007 dan Permendagri No. 32 Tahun
2010 untuk diatur dengan Peraturan Daerah. Rancangan Peraturan Daerah tersebut
nantinya akan disinkronkan dengan berbagai peraturan perundang-undangan terkait.
3. Berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya dapat dirumuskan konsiderans dalam
Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang IMB yang mencakup landasan
filosofis, sosiologis, dan yuridis. Landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis tersebut
antara lain:
a. bahwa perizinan bangunan harus dilaksanakan secara tertib, sesuai dengan
fungsinya, dan memenuhi persyaratan administratif maupun teknis agar menjamin
keamanan, keselamatan dan kenyamanan bagi penghuni dan lingkungannya;
b. bahwa perizinan bangunan harus memberikan keamanan dan kenyamanan bagi
lingkungannya;

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 71
c. bahwa Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 24/PRT/M/2007 tentang
Pedoman Teknis Izin Mendirikan Bangunan dan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 32 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan
mendelegasikan pengaturan Izin Mendirikan Bangunan dengan Peraturan Daerah.
4. Sasaran yang dituju dari Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang IMB
adalah terbentuknya dasar hukum yang mengatur IMB di Kabupaten Gresik secara
sistematis dan tersinkronisasinya ketentuan-ketentuan di dalamnya dengan peraturan
perundang-undangan lain yang terkait dengan IMB.

6.2. Saran
1. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang IMB setelah disahkan dan
diundangkan menjadi Peraturan Daerah harus ditindaklanjuti dengan penyesuaian oleh
Peraturan Daerah lainnya yang terkait.
2. Setelah Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Gresik tentang IMB disahkan dan
diundangkan maka harus ditindaklanjuti dengan pembentukan peraturan pelaksana –
dalam bentuk Peraturan Bupati - yang didelegasikan pembentukannya. Pembentukan
peraturan pelaksana tersebut untuk menjamin ketentuan dalam Peraturan Daerah lebih
aplikatif.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 72
LAM P I R AN

PEMERINTAH KABUPATEN GRESIK


TAHUN 2016

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 73
BUPATI GRESIK
PROVINSI JAWA TIMUR

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK


NOMOR TAHUN 2016

TENTANG

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI GRESIK,

Menimbang : a. bahwa perizinan bangunan harus dilaksanakan secara


tertib, sesuai dengan fungsinya, dan memenuhi
persyaratan administratif maupun teknis agar
menjamin keamanan, keselamatan, dan kenyamanan
bagi penghuni dan lingkungannya;
b. bahwa perizinan bangunan harus memberikan
keamanan dan kenyamanan bagi lingkungannya;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung dan Peraturan Pemerintah Nomor
36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung mengamanatkan pengaturan Izin
Mendirikan Bangunan dengan Peraturan Daerah;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 74
membentuk Peraturan Daerah tentang Izin Mendirikan
Bangunan;

Mengingat : 1. Pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar Negara


Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1950 tentang
Pembentukan Daerah-Daerah dalam Lingkungan
Provinsi Djawa Timur (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1950 Nomor 19, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 2930) sebagaimana
diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1965
tentang Perubahan Batas Wilayah Kotapraja Surabaya
dan Daerah Tingkat II Surabaya (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 19, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2730);
3. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
2013);
4. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 134, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4247);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
6. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011
Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5234);
7. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 75
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah keduakalinya dengan
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 83,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
4532);
9. Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2005 tentang
Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2005 Nomor 165, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4593);
10. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang
Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4566);
11. Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2014 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 199);
12. Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2014 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
(Lembaran Negara Tahun 2014 Nomor 221);

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 76
13. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
24/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Izin
Mendirikan Bangunan;
14. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor :
25/PRT/M/2007 tentang Pedoman Sertifikat Laik
Fungsi Bangunan Gedung;
15. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2010
tentang Pedoman Pemberian Izin Mendirikan Bangunan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor
276);
16. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 01/PRT/M/2015 tentang Bangunan
Gedung Cagar Budaya yang dilestarikan;
17. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat Nomor 02/PRT/M/2015 tentang Bangunan
Gedung Hijau;
18. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 8 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun
2010-2030 (Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun
2011 Nomor 8);
19. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 29 Tahun
2011 tentang Bangunan Gedung (Lembaran Daerah
Kabupaten Gresik Tahun 2011 Nomor 29);
20. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 2 Tahun
2012 tentang Pedoman Pembentukan Perundang-
undangan di Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten
Gresik Tahun 2012 Nomor 2);

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN GRESIK
dan
BUPATI GRESIK

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 77
MEMUTUSKAN :

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG IZIN MENDIRIKAN


BANGUNAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:
u. Daerah adalah Kabupaten Gresik.
v. Bupati adalah Bupati Gresik.
w. Pemerintah Kabupaten adalah Pemerintah Kabupaten
Gresik.
x. SKPD pengawasan dan pengendalian bangunan adalah
Dinas Pekerjaan Umum.
y. Bangunan adalah bangunan gedung dan bangunan
bukan gedung.
z. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan
konstruksi yang menyatu dengan tempat
kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di
atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang
berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal,
kegiatan keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial,
budaya, maupun kegiatan khusus.
aa. Bangunan bukan gedung adalah suatu perwujudan
fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu dengan
tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya
berada di atas dan/atau di dalam tanah dan/atau air,
yang tidak digunakan untuk tempat hunian atau
tempat tinggal.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 78
bb. Izin Mendirikan Bangunan, yang selanjutnya disingkat
IMB, adalah perizinan yang diberikan oleh Pemerintah
Kabupaten, kecuali untuk bangunan gedung fungsi
khusus oleh Pemerintah, kepada pemohon untuk
membangun baru, memperbaiki, mengubah,
memperluas, mengurangi, dan/atau memugar dalam
rangka melestarikan bangunan sesuai dengan
persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku.
cc. Pemohon adalah setiap orang, badan hukum atau
usaha, kelompok orang, dan lembaga atau organisasi
yang mengajukan permohonan IMB kepada Pemerintah
Kabupaten, dan untuk bangunan gedung fungsi
khusus kepada pemerintah.
dd. Pemilik Bangunan adalah setiap orang, badan hukum
atau usaha, kelompok orang, dan lembaga atau
organisasi yang menurut hukum sah sebagai pemilik
bangunan.
ee. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten, yang
selanjutnya disebut RTRW, adalah RTRW Kabupaten
Gresik.
ff. Rencana Detail Tata Ruang Kawasan, yang selanjutnya
disingkat RDTRK, adalah RDTRK Kabupaten Gresik.
gg. Rencana Teknik Ruang Kawasan, yang selanjutnya
disingkat RTRK, adalah RTRK Kabupaten Gresik.
hh. Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan, yang
selanjutnya disingkat RTBL, adalah RTBL Kabupaten
Gresik
ii. Reklamasi perairan adalah pekerjaan timbunan di
perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai
dan/atau kontur kedalaman perairan.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 79
jj. Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi,
adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan
dan/atau diberikan oleh Pemerintah Kabupaten untuk
kepentingan orang pribadi atau badan.
kk. Pembekuan adalah pemberhentian sementara atas IMB
akibat penyimpangan dalam pelaksanaan
pembangunan.
ll. Pencabutan adalah tindakan akhir yang dilakukan
setelah pembekuan IMB.
mm. Pemutihan adalah penerbitan IMB terhadap
bangunan yang sudah terbangun di kawasan yang
belum memiliki RDTRK, RTBL, dan/atau RTRK.
nn. Pembongkaran adalah kegiatan membongkar atau
merobohkan seluruh atau sebagian bangunan,
komponen, bahan bangunan, dan/atau prasarana dan
sarananya.
oo. Pengawasan adalah pemantauan terhadap pelaksanaan
penerapan peraturan perundang-undangan di bidang
perizinan bangunan dan upaya penegakan hukum.
pp. Peran Masyarakat adalah berbagai kegiatan
masyarakat yang merupakan perwujudan kehendak
dan keinginan masyarakat untuk memantau dan
menjaga ketertiban, memberi masukan, serta
menyampaikan pendapat dan pertimbangan berkaitan
dengan perizinan bangunan.
qq. Bangunan gedung cagar budaya adalah bangunan
gedung yang sudah ditetapkan statusnya sebagai
bangunan cagar budaya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan tentang cagar budaya.
rr. Bangunan Gedung Hijau adalah bangunan gedung
yang memenuhi persyaratan bangunan gedung dan

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 80
memiliki kinerja terukur secara signifikan dalam
penghematan energy, air, dan sumberdaya lainnya
melalui penerapan prinsip bangunan gedung hijau
sesuai dengan fungsi dan klasifikasi dalam setiap
tahapan penyelenggaraannya.
ss. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) adalah koefisien atas
perbandingan antara luas lantai dasar bangunan
dengan luas kavling/pekarangan.
tt. Garis Sempadan adalah garis yang membatasi jarak
bebas minimum dari bidang terluar suatu massa
bangunan gedung terhadap batas lahan yang dikuasai,
antar massa bangunan lainnya, batas tepi
sungai/pantai, jalan kereta api, rencana saluran,
dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi.
uu.Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat
KLB adalah koefisien atas perbandingan antara total
luas lantai bangunan dengan luas kavling/pekarangan.
vv. Koefisien Dasar Hijau yang selanjutnya disingkat
dengan KDH, adalah koefisien atas perbandingan
antara luas daerah hijau dengan luas
kavling/pekarangan.

BAB II
PRINSIP, TUJUAN, DAN RUANG LINGKUP

Pasal 2
IMB diterbitkan berdasarkan prinsip:
e. prosedur yang sederhana, mudah, dan aplikatif;
f. pelayanan yang cepat, terjangkau, dan tepat waktu;
g. keterbukaan informasi bagi masyarakat dan dunia
usaha; dan

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 81
h. kesesuaian aspek rencana tata ruang, kepastian status
hukum pertanahan, keamanan dan keselamatan, serta
kenyamanan bangunan.

Pasal 3
Penerbitan IMB bertujuan untuk:
e. pengawasan, pengendalian, dan penertiban bangunan;
f. mewujudkan tertib penyelenggaraan bangunan yang
menjamin keandalan bangunan dari segi keselamatan,
kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan;
g. mewujudkan bangunan yang fungsional sesuai dengan
tata bangunan dan serasi dengan lingkungannya; dan
h. menjadi salah satu syarat penerbitan sertifikasi laik
fungsi bangunan.

Pasal 4

(1) Ketentuan IMB dalam Peraturan Daerah ini ditujukan


untuk bangunan gedung dan bangunan bukan gedung.
(2) Ruang lingkup dari bangunan gedung sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. bangunan gedung dengan fungsi hunian;
b. bangunan gedung dengan fungsi keagamaan;
c. bangunan gedung dengan fungsi pemerintahan;
d. bangunan gedung dengan fungsi usaha;
e. bangunan gedung dengan fungsi sosial dan budaya;
f. bangunan gedung dengan fungsi khusus; dan
g. bangunan gedung dengan fungsi ganda/campuran.
(3) Ruang lingkup dari bangunan bukan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain:
a. perkerasan;
b. pondasi, pondasi tangki;

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 82
c. pagar tembok/besi, dinding penahan tanah
(tanggul)/ turap;
d. bak/tangki penampungan bahan cair/gas;
e. sumur resapan, IPAL, dan septictank;
f. teras tidak beratap;
g. jembatan;
h. dermaga dan jetty beserta fasilitas kepelabuhanan,
bagunan pengeboran minyak, dan fasilitasnya;
i. penanaman tangki/reservoir, bangunan pengolahan
air, menara, tiang listrik/telepon;
j. pipa dan kabel yang berada di atas dan di bawah
tanah/air;
k. kolam;
l. monumen, penanda masuk, bangunan reklame;
m. instalasi/gardu; dan
n. shelter.

Pasal 5

(1) IMB diwajibkan bagi setiap orang atau badan usaha


yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum
yang akan melakukan kegiatan:
a. pembangunan baru;
b. rehabilitasi/renovasi;
c. pelestarian/pemugaran; atau
d. penambahan bangunan.
(2) IMB tidak diperlukan untuk kegiatan berikut ini:
a. memperbaiki saluran air hujan dan selokan dalam
pekarangan bangunan;
b. mendirikan bangunan yang sifatnya sementara bagi
kepentingan pemeliharaan ternak dengan luas tidak
melebihi garis sempadan belakang dan samping

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 83
serta tidak mengganggu kepentingan orang lain
atau umum;
c. tambahan bangunan tidak lebih dari 10% (sepuluh
per seratus) atau maksimal seluas 50 m2
(lima puluh meter persegi) dari luas bangunan yang
dizinkan dalam IMB.
d. utilitas untuk pelayanan umum.

BAB III
KEWENANGAN

Pasal 6
(1) Bupati memiliki wewenang untuk menerbitkan IMB.
(2) Bupati dapat mendelegasikan wewenang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) kepada SKPD yang membidangi
perizinan berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
yang berlaku.
(3) SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
melaporkan kegiatan penerbitan IMB kepada Bupati
minimal 6 (enam) bulan sekali.

BAB IV
PERMOHONAN IMB

Bagian Kesatu
Ketentuan Tata Ruang dan Ketentuan Teknis

Pasal 7
IMB dapat diterbitkan untuk bangunan yang
peruntukannya sesuai dengan RDTR dan RTBL. Apabila
RDTR dan RTBL belum ditetapkan maka mengacu pada
RTRW.
Pasal 8

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 84
(1) IMB yang diterbitkan harus memenuhi ketentuan
mengenai :
a. Garis Sempadan Jalan (GSJ), Garis Sempadan Pagar
(GSP), Garis Sempadan Bangunan (GSB), Garis
Sempadan Sungai (GSS), Garis Sempadan Pantai
yang diizinkan;
b. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) tertinggi yang
diizinkan;
c. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) terluas yang
diizinkan;
d. Koefisien Daerah Hijau (KDH) terendah yang
diizinkan;
e. Tinggi Lantai Bangunan (TLB) tertinggi yang
diizinkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
mengacu pada Peraturan Daerah yang mengatur
tentang tata ruang dan bangunan.

Bagian Kedua
Persyaratan Perizinan

Pasal 9
(1) Pemohon mengajukan permohonan IMB kepada SKPD
yang diberi kewenangan menerbitkan izin.
(2) Permohonan IMB sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib dilengkapi dengan dokumen persyaratan
administratif dan dokumen persyaratan teknis.
(3) Dokumen persyaratan administrasi, dokumen
persyaratan teknis sebagai kelengkapan permohonan
IMB dan Mekanisme tata cara penerbitan IMB, akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

Pasal 10

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 85
(1) IMB berlaku selama bangunan yang bersangkutan
berdiri sepanjang tidak mengalami perubahan bentuk,
struktur, luas, dan fungsi bangunan.
(2) Bangunan yang berdiri diatas tanah sewa, IMB berlaku
menyesuaikan masa sewa.

Bagian Ketiga
Administrasi IMB

Pasal 11
(1) Terhadap IMB yang telah diterbitkan dapat diberikan
Pelayanan Administrasi IMB berupa :
a. balik nama IMB;
b. pemecahan dan balik nama IMB;
c. salinan IMB;
d. legalisir IMB; dan
e. perubahan fungsi bangunan.
(2) Pelayanan administrasi IMB sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diberikan berdasarkan permohonan.

Pasal 12
Pelayanan Administrasi IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf a, diwajibkan terhadap setiap
perubahan kepemilikan tanah dan/atau bangunan
gedung.

Pasal 13
Pelayanan Administrasi IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf b, dapat dilakukan apabila:
a. unit bangunan yang dipecah, secara fisik terpisah tanpa
memerlukan kegiatan perubahan bangunan gedung;
b. tidak ada bagian bangunan yang merupakan fasilitas
bersama;

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 86
c. tidak ada perubahan atau gangguan terhadap fungsi
bangunan gedung yang diakibatkan oleh pemecahan
izin.

Pasal 14
Pelayanan Administrasi IMB sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf c dapat diberikan apabila :
a. terdapat surat keterangan kehilangan atau rusak dari
instansi yang berwenang; dan
b. tidak terdapat perubahan bangunan baik luas, struktur
maupun fungsinya.

Pasal 15
Perubahan fungsi bangunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 ayat (1) huruf e dapat diberikan apabila
perubahan peruntukannya sesuai dengan RDTR dan RTBL
atau jika belum terdapat RDTR dan RTBL maka
disesuaikan dengan RTRW.
BAB V
RETRIBUSI, DENDA DAN KERINGANAN IMB

Pasal 16
(1) Retribusi pelayanan pemberian IMB merupakan
retribusi perizinan tertentu.
(2) Retribusi IMB dikenakan kepada bangunan gedung dan
bangunan bukan gedung.
(3) Ketentuan retribusi IMB mengacu pada Peraturan
Daerah yang mengatur retribusi perizinan tertentu.

Pasal 17

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 87
Retribusi perubahan fungsi bangunan dikenakan sebesar
10% (sepuluh persen) dari retribusi pengajuan baru.

Pasal 18
(1) Bangunan yang telah berdiri dan/atau telah
melaksanakan kegiatan pekerjaan pembangunan
sebelum ada izin dari Bupati, dikenakan denda yaitu
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (RIMB) dikalikan
prosentase pembangunan yang telah dilaksanakan atau
dengan rumus Retribusi Denda bangunan (RDB) =
RIMB X % Fisik Bangunan.
(2) Bupati dapat memberikan pengurangan dan/atau
keringanan denda retribusi IMB.
(3) Bupati dapat memberikan pembebasan denda
prosentase fisik bangunan yang memperoleh izin
investasi langsung konstruksi sesuai Peraturan
Perundang-undangan.
(4) Prosentase fisik pembangunan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Bupati.

Pasal 19
(1) Wajib retribusi dapat mengajukan keberatan kepada
Bupati terhadap besarnya denda retribusi yang telah
ditetapkan dalam jangka waktu sebelum jatuh tempo
atau 1 (satu) bulan sejak tanggal penetapan denda
retribusi.
(2) Bupati menetapkan keputusan atas keberatan denda
retribusi yang diajukan.
(3) Apabila dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan Bupati tidak
menetapkan keputusan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), maka keberatan yang diajukan tersebut
dianggap diterima.
Bagian Kesatu

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 88
Pembongkaran Bangunan

Pasal 20
(1) Pembongkaran bangunan dapat dikenakan pada :
a. Setiap bangunan yang tidak memiliki IMB;
b. pelaksanaan pekerjaan mendirikan bangunan tidak
sesuai dengan IMB serta ketentuan lain yang
berlaku; dan
c. bangunan dengan IMB yang telah dicabut.
(2) Bupati menetapkan bangunan yang akan dibongkar
dengan surat penetapan pembongkaran atas
rekomendasi tim teknis.
(3) Tim teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Bupati.
(4) Surat penetapan pembongkaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) memuat batas waktu pembongkaran,
prosedur pembongkaran, dan sanksi terhadap setiap
pelanggaran.
(5) Pembongkaran bangunan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) merupakan kewajiban pemilik bangunan.
(6) Dalam hal pembongkaran tidak dilaksanakan oleh
pemilik bangunan, Pemerintah Kabupaten dapat
melakukan pembongkaran.

Bagian kedua
Sanksi Administrasi IMB

Pasal 21
(1) Setiap pemilik bangunan yang tidak memenuhi
ketentuan dalam Peraturan Daerah ini dapat dikenakan
sanksi administratif.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 89
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa :
a. peringatan tertulis;
b. pembatasan kegiatan pembangunan;
c. penghentian sementara atau tetap pada pelaksanaan
pembangunan;
d. penghentian sementara atau tetap pada
pemanfaatan bangunan gedung;
e. pencabutan IMB; dan
f. pembongkaran.

Pasal 22
Tata cara pemberian sanksi administratif diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Bupati.

BAB VI
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 23
(1) Pemerintah Kabupaten melakukan pengawasan dan
pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah
ini melalui SKPD yang membidangi pengendalian dan
pengawasan.
(2) Kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi pemeriksaan fungsi bangunan, persyaratan
teknis bangunan, dan keandalan bangunan.
(3) Kegiatan pengendalian meliputi peninjauan lokasi,
pengecekan informasi atas pengaduan masyarakat, dan
pengenaan sanksi administratif.
(4) Prosedur tentang pengawasan dan pengendalian diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Bupati.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 90
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 24
(1) Bangunan yang sudah dilengkapi dengan IMB sebelum
diundangkannya Peraturan Daerah ini masih tetap
berlaku.
(2) Bangunan yang pada saat berlakunya Peraturan Daerah
ini belum dilengkapi IMB, maka Pemilik Bangunan
wajib mengajukan permohonan IMB.
(3) Permohonan IMB yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Daerah ini tetap diproses dan
disesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Daerah
ini.

BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 25
Pada saat Peraturan Daerah ini mulai berlaku :
a. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun
2000 tentang Retribusi Izin Mendirikan Bangunan
(Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2000
Nomor 8 Seri B);
b. Peraturan Daerah Kabupaten Gresik Nomor 23 Tahun
2004 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah
Kabupaten Gresik Nomor 22 Tahun 2000 tentang
Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (Lembaran Daerah
Kabupaten Gresik Tahun 2004 Nomor 8 Seri C);
c. Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Pasal 48, Pasal 49, Pasal
50, dan Pasal 52 Peraturan Daerah Kabupaten Gresik
Nomor 29 Tahun 2011 tentang Bangunan Gedung
(Lembaran Daerah Kabupaten Gresik Tahun 2011
Nomor ).
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 91
Pasal 26
Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka ketentuan
yang bertentangan dan/atau tidak sesuai wajib
disesuaikan dengan Peraturan Daerah ini.

Pasal 27
Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Daerah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten
Gresik.

Ditetapkan di Gresik
pada tanggal

BUPATI GRESIK,

Dr. Ir. H. SAMBARI HALIM RADIANTO, S.T., M.Si.

PENJELASAN
ATAS
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK
NOMOR TAHUN 2016

TENTANG

IZIN MENDIRIKAN BANGUNAN

I. UMUM
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 92
Hukum diharapkan mencerminkan sistem nilai sebagai sarana
mewujudkannya dalam tingkah laku masyarakat. Nilai-nilai ini ada
yang dibiarkan dalam masyarakat sehingga setiap pembentukan
hukum atau peraturan perundang-undangan harus dapat
menangkapnya setiap kali akan membentuk hukum atau peraturan
perundang-undangan. Namun sistem nilai tersebut telah terangkum
dengan baik dalam Pancasila.
Dalam tataran filosofis, pemahaman mengenai pemberlakuan
moral bangsa ke dalam hukum (termasuk peraturan
perundangundangan) dimasukkan dalam pengertian yang disebut
dengan
rechtsidee yaitu apa yang diharapkan dari hukum, misalnya untuk
menjamin keadilan, ketertiban, kesejahteraan dan sebagainya yang
tumbuh dari sistem nilai masyarakat (bangsa) mengenai baik dan
buruk, pandangan mengenai hubungan individu dan masyarakat.
Berdasarkan pemahaman tersebut, maka pengaturan perizinan
bangunan memiliki landasan filosofis yaitu pendirian bangunan yang
dilaksanakan secara tertib, sesuai dengan fungsinya, dan memenuhi
persyaratan administratif dan teknis agar menjamin keselamatan
penghuni dan lingkungannya serta selaras dengan tata ruang
wilayah.
Landasan filosofis tersebut dituangkan dalam Pembukaan UUD
NRI 1945. Nilai-nilai Pancasila ini kemudian memerlukan penjabaran
dalam peraturan perundang-undangan untuk mengimplementasikan
nilai-nilai keadilan, ketertiban dan kesejahteraan yang dicita-citakan.
Pancasila sebagai norma filosofis harus dapat tercerminkan bukan
hanya dalam undang-undang tetapi juga pada peraturan
perundangundangan di bawah undang-undang. Dalam konteks
negara kesatuan yang men-desentralisasikan wewenang ke daerah,
pengaturan perizinan bangunan dengan memperhatikan landasan
filosofis dari kelima sila Pancasila tersebut perlu diarahkan hingga
tingkatan peraturan daerah. Oleh karena itu, penting pula bagi
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 93
Kabupaten Gresik untuk membentuk Peraturan Daerah yang secara
khusus mengatur tentang Izin Mendirikan Bangunan dengan
memperhatikan landasan filosofis yang bersumber dari Pancasila –
maupun peraturan perundang-undangan di atasnya.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.

Pasal 2
Cukup jelas.

Pasal 3
Cukup jelas.

Pasal 4
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Bangunan gedung fungsi hunian meliputi
bangunan untuk rumah tinggal tunggal, rumah
tinggal deret, rumah susun, dan rumah tinggal
sementara.
Huruf b
Bangunan gedung fungsi keagamaan meliputi
masjid, gereja, pura, wihara, kelenteng, dan tempat
ibadah lainnya.
Huruf c
Bangunan gedung fungsi pemerintahan meliputi
bangunan gedung kantor milik Negara kecuali

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 94
bangunan gedung milik Negara untuk pelayanan
jasa umum dan jasa usaha
Huruf d
Bangunan gedung fungsi usaha meliputi bangunan
gedung untuk perkantoran, perdagangan,
perindustrian, perhotelan, wisata dan rekreasi,
terminal, dan penyimpanan.
Huruf e
Bangunan gedung fungsi sosial dan budaya
meliputi bangunan gedung untuk pendidikan,
kebudayaan, pelayanan kesehatan, laboratorium,
dan pelayanan umum.
Huruf f
bangunan gedung dengan fungsi khusus meliputi
bangunan gedung yang mempunyai kerahasiaan
tinggi untuk kepentingan nasional, bangunan
bunker, bangunan pangkalan pertahanan beserta
instalasi, laboratorium forensik dan depo amunisi.
Huruf g
Bangunan gedung fungsi ganda/campuran meliputi
bangunan gedung dapat berupa bangunan rumah
dengan toko (ruko), bangunan rumah dengan
kantor (rukan), bangunan gedung mal-apartemen-
perkantoran, bangunan gedung mal-apartemen-
perkantoran-perhotelan, dan sejenisnya.

Ayat (3)
Huruf a
Perkerasan meliputi : jalan aspal, jalan macadam,
jalan beton atau paving stone, jalan rel, lapangan
parker (beton/aspal,paving), lapangan upacara,
lapangan olah raga terbuka (komersial), lantai

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 95
jemuran, pematangan tanah, gudang terbuka
(beton/aspal,paving).
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Cukup jelas
Huruf j
Cukup jelas
Huruf k
Kolam meliputi: kolam renang, kolam pengolahan
air dan kolam pengolahan limbah
Huruf l
Cukup jelas
Huruf m
Cukup jelas
Huruf n
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 96
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Utilitas untuk pelayanan umum meliputi jaringan
distribusi listrik, PDAM, instalasi milik
pemerintah/pemda yang sifatnya untuk
kepentingan umum.
Pasal 6
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Satuan kerja perangkat daerah yang membidangi
perizinan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku adalah satuan kerja perangkat daerah yang
memiliki tugas, pokok, dan fungsi di bidang perizinan
sebagaimana diatur dengan Peraturan Daerah yang
mengatur tentang organisasi perangkat daerah.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 97
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Pasal 10
Cukup jelas.

Pasal 11
Cukup jelas.

Pasal 12
Cukup jelas.

Pasal 13
Cukup jelas.

Pasal 14
Cukup jelas.

Pasal 15
Cukup jelas.

Pasal 16
Cukup jelas.

Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.

Pasal 19
Cukup jelas.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 98
Pasal 20
Cukup jelas.

Pasal 21
Cukup jelas.

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Cukup jelas.

Pasal 24
Cukup jelas.

Pasal 25
Cukup jelas.

Pasal 26
Cukup jelas.

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas
.

NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GRESIK TENTANG IZIN
MENDIRIKAN BANGUNAN
Hal. 99

Anda mungkin juga menyukai