Anda di halaman 1dari 26

17

BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Landasan Teori

2.1.1. Teori Atribusi (Attributions Theory)

Teori atribusi menjelaskan tentang proses bagaimana kita menentukan

penyebab perilaku seseorang. Teori ini mengacu pada bagaimana seseorang

menjelaskan penyebab perilaku orang lain atau diri sendiri yang ditentukan dari

internal atau eksternal dan pengaruhnya terhadap perilaku individu (Luthan, 1998

dalam Harini dkk., 2010). Teori atribusi yaitu bagaimana kita membuat keputusan

tentang seseorang. Kita membuat sebuah atribusi ketika kita mendeskripsikan

perilaku seseorang dan mencoba menggali pengetahuan mengapa mereka

berperilaku seperti itu (Alim, 2007).

Model of Scientific Reasoner Kelley dan Margheim (1967)

mendeskripsikan 4 informasi penting untuk menyimpulkan atribusi seseorang,

sebagai berikut:

1) Distinctiveness – perilaku dapat dibedakan dari perilaku orang lain saat

menghadapi situasi yang sama

2) Consensus – jika orang lain setuju bahwa perilaku diatur oleh beberapa

karakteristik personal

3) Consistency over time – apakah perilaku diulang

4) Consistency over modality (cara dimana perilaku itu dilakukan) – apakah

perilaku diulang pada situasi yang berbeda.


18

Menurut Linting (2013), teori atribusi dapat menjelaskan bagaimana upaya

seseorang untuk memahami penyebab dibalik perilaku orang lain terhadap

perisitiwa di sekitarnya. Penelitian ini menggunakan teori atribusi untuk

menjelaskan secara empiris bagaimana karakteristik personal auditor dalam

menerima dysfunctional audit behavior. Karakteristik personal menjadi penentu

utama dalam penerimaan dysfunctiona audit behavior karena merupakan faktor

internal yang mendorong seorang individu untuk melakukan suatu aktivitas.

Sehingga faktor-faktor dalam penelitian ini dapat terjelaskan melalui teori ini.

2.1.2 Teori Pengharapan (Expectancy Theory)

Teori pengharapan menyatakan bahwa motivasi dapat diartikan sebagai

tingkat upaya yang lebih tinggi agar dapat menyakini upaya itu akan

menghantarkan kepada suatu penilaian kinerja yang baik (Supriyanto, 2009).

Teori pengharapan berlandaskan pada 4 asumsi dasar yaitu : Pertama, perilaku

ditentukan oleh kombinasi faktor-faktor didalam diri individu dan lingkungan.

Kedua, individu-individu membuat keputusan tentang perilaku mereka sendiri

didalam organisasi. Ketiga, individu-individu yang berbeda memiliki tipe-tipe

kebutuhan, keinginan, dan tujuan yang berbeda. Keempat, individu membuat

pilihan perilaku dari banyak alternativ perilaku, berbasis pada persepsi mereka

tentang sejauh mana suatu perilaku tertentu memberikan hasil yang diharapkan

(Otley & pierce 1996).

Berdasarkan teori pengaharapan diatas motivasi auditor adalah untuk

menyelesaikan tugas audit tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Saat auditor

dihadapkan pada situasi yang sulit dan tidak mungkin dicapai, maka auditor
19

cenderung melakukan perilaku yang diinginkannya meskipun bertentangan

dengan prosedur audit. Perilaku tersebut dimotivasi oleh keinginan untuk

mempertahankan dirinya agar dapat mencapai kinerja yang baik di KAP.

Menurut Otley & Pierce, (1996), bahwa perilaku disfungsional auditor

dipengaruhi oleh tingkat time budget pressure yang dihadapi dalam penugasan

audit. Semakin besar time budget pressure maka akan semakin besar pula auditor

akan melakukan perilaku disfungsional. Perilaku disfungsional tersebut menurut

Otley dan Pierce, (1996), terdiri dari audit quality reduction behaviour (AQRB),

dan Under reporting of time (URT).

2.1.3 Teori Motivasi X dan Y

Motivasi merupakan suatu penggerak dari dalam hati seseorang untuk

melakukan atau mencapai suatu tujuan. Secara lebih khusus, Hellriegel et al.

(2001), dalam Kartika dan Wijayanti, (2007), menyatakan bahwa motivasi

merupakan dorongan-dorongan individu untuk bertindak yang menyebabkan

orang tersebut berperilaku dengan cara tertentu yang mengarah pada tujuan.

Dalam teori motivasi X dan Y yang ditemukan oleh Mc Gregor, individu

yang memiliki external locus of control akan bertipe X karena mereka tidak

menyukai tanggungjawab, dan harus dipaksa agar berprestasi, mereka harus

dimotivasi oleh lingkungannya. Sedangkan internal locus of control internal akan

bertipe Y karena mereka menyukai kerja, kreatif, berusaha bertanggungjawab, dan

dapat mengarahkan diri sendiri dengan target tertentu (Kusuma, 2017).

Peneliti menggunakan teori ini karena seorang auditor akan menerima lalu

melakukan dysfunctional audit behavior, terutama karena pengaruh faktor


20

internal, seperti kepribadian dasar seseorang (X atau Y), yang memberikan

pengaruh terbesar dibandingkan situational factor.

2.1.4 Dysfungsional Auditor Behaviors (DAB)

Seorang auditor bertanggungjawab untuk merencanakan dan

melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak tentang apakah

laporan keuangan telah bebas dari salah saji yang material, apakah itu disebabkan

oleh kekeliruan ataupun kecurangan, sebagaimana tercantum dalam SAS 1 (AU

110). Karena sifat bukti audit dan karakteristik kecurangan, auditor dapat

memperoleh kepastian yang layak, tetapi tidak absolut, bahwa salah saji yang

material dapat dideteksi. Auditor tidak bertanggung jawab untuk merencanakan

dan melaksanakan audit guna memperoleh kepastian yang layak bahwa salah saji,

apakah yang disebabkan oleh kekeliruan ataupun kecurangan, yang tidak material

bagi laporan keuangan dapat dideteksi.

Hasil-hasil penelitian terdahulu menunjukkan terdapat ancaman terhadap

penurunan kualitas audit sebagai akibat dysfunctional auditor behaviors yang

kadang-kadang dilakukan auditor dalam praktik audit. Dysfunctional auditor

behaviors adalah setiap tindakan yang dilakukan auditor selama pelaksanakan

program audit yang dapat mereduksi kualitas audit baik secara langsung maupun

tidak langsung (Donelly, et al :2003).

Beberapa dysfunctional auditor behaviors yang membahayakan kualitas

audit secara langsung yaitu altering/replacement of audit procedure (penggantian

prosedur audit), dan premature sign off (penghentian prematur), sedangkan under
21

reporting of time (mempersingkat waktu), mempengaruhi hasil audit secara tidak

langsung. Pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan kurang akurat, dan

kesalahan dari tahapan-tahapan audit juga merupakan dampak dari dysfunctional

auditor behaviors (Hartanto 2016).

Premature sign off (penghentian prematur), merupakan suatu keadaan

yang menunjukkan auditor menghentikan satu atau beberapa langkah audit yang

diperlukan dalam prosedur audit tanpa menggantinya dengan langkah lain. Suatu

proses audit sering gagal karena penghapusan prosedur audit yang penting. dari

pada prosedur audit tidak dilakukan secara memadai untuk beberapa item.

Under reporting of Time (mempersingkat waktu audit), merupakan

dysfunctional audit behavior yang berpengaruh tidak langsung pada kualitas audit

(Harini et al, 2010:7). URT terjadi ketika auditor melakukan tugas audit tanpa

melaporkan waktu yang sebenarnya. URT menyebabkan keputusan personel

kurang baik, menutupi kebutuhan revisi anggaran, dan menghasilkan time

pressure untuk audit di masa datang yang tidak diketahui. Time budget yang

disebabkan oleh URT tahun sebelumnya dapat menyebabkan auditor gagal untuk

mengumpulkan cukup bukti, penemuan yang signifikan, dan prosedur dokumen

yang tidak mereka lakukan (Kartika dan Wijayanti, 2007:45).

2.1.5 Time Budget Pressure

Tekanan anggaran waktu didefinisikan sebagai kendala yang terjadi pada


22

perikatan audit karena keterbatasan sumber daya berupa waktu yang

dialokasikan untuk melaksanakan seluruh tugas audit. Tekanan anggaran waktu

menyebabkan stress individual yang muncul akibat tidak seimbangnya tugas dan

waktu yang tersedia serta mempengaruhi etika profesional melalui sikap, nilai,

perhatian, dan perilaku auditor (Fonda, 2014).

Tekanan anggaran waktu yang ketat akan meningkatkan tingkat stress

auditor karena auditor harus melakukan pekerjaan audit dengan waktu yang

ketat, bahkan dalam anggaran waktu tidak dapat menyelesaikan audit dengan

prosedur audit yang seharusnya. Tekanan anggaran waktu adalah keadaan yang

menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran

waktu yang telah disusun atau terdapat pembahasan waktu anggaran yang sangat

ketat dan kaku. Tekanan yang dihasilkan oleh anggaran waktu yang ketat secara

konsisten berhubungan dengan perilaku disfungsional (Aisyah, 2015) dalam

Hartanto (2016).

Tuntutan laporan yang berkualitas dengan waktu yang terbatas merupakan

tekanan tersendiri bagi auditor. Dalam studinya, (Azad, 1994 dalam Fonda,

2014) menemukan bahwa kondisi yang tertekan (secara waktu), auditor

cenderung berperilaku disfungsional, misalnya melakukan premature sign off,

terlalu percaya pada penjelasan dan presentasi klien, serta gagal mengivestigasi

isu-isu relevan, yang pada gilirannya dapat menghasilkan laporan audit

berkualitas rendah.

Tekanan anggaran waktu secara konsisten berhubungan dengan perilaku


23

disfungsional, dimana merupakan ancaman langsung dan serius terhadap kualitas

audit karena tekanan anggaran waktu merupakan keadaan di mana auditor

dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun

atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat dan kaku

(Hartanto, 2016).

Penelitian Prasito dan Priyo, (2007) dalam Hartanto, (2016) menunjukkan

hasil bahwa tekanan anggaran waktu berpengaruh negatif terhadap kualitas audit.

Tekanan anggaran waktu yang dihadapi oleh profesional dalam bidang

pengauditan dapat menimbulkan tingkat stress yang tinggi dan mempengaruhi

sikap, niat, dan perilaku auditor.

Tekanan anggaran waktu yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya

tingkat kualitas audit, karena dengan anggaran waktu yang terbatas

menyebabkan auditor harus memperketat program-program yang diaksanakan

untuk dapat menyesuaikan dengan waktu yang terbatas, sehingga audit yang

dilakukan tidak dapat dilakukan dengan lebih teliti dan hati-hati karena adanya

batasan waktu yang telah dianggarkan tersebut (Limawan dan Mimba, 2016).

Tekanan anggaran waktu menyebabkan auditor meninggalkan bagian

program audit penting dan akibatnya menyebabkan penurunan kualitas audit.

Pentingnya time budget pressure terhadap kualitas audit adalah dengan

rendahnya tekanan anggaran waktu akan mampu mengurangi tekanan waktu

pelaksanaan dalam melaksanakan tugas audit sehingga tugas audit dapat

dilakukan dengan lebih hati-hati dan teliti sehingga kualitas audit dapat terjaga
24

dengan baik (Primastuti, 2014).

Tekanan anggaran waktu (time budget pressure) merupakan suatu keadaan

yang menunjukkan auditor dituntut melakukan efisiensi terhadap anggaran yang

sangat ketat dan kaku Raghunatan, (1991) dalam Hartanto, (2016). Anggaran

waktu audit yang ketat dapat mengakibatkan auditor merasakan tekanan

anggaran waktu (time budget pressure) dalam pelaksanaan program audit akibat

ketidak seimbangan antara anggaran waktu audit yang tersedia dan waktu yang

dibutuhkan untuk penyelesaian program audit.

2.1.6 Komitmen Profesional

Komitmen auditor terhadap profesinya merupakan salah satu faktor

penentu atau memiliki pengaruh yang kuat terhadap perilakunya dalam

melaksanakan audit. Komitmen profesional merupakan suatu pengembangan

dari konsep yang lebih mapan yaitu komitmen organisasi. Komitmen Profesional

didasarkan atas premis bahwa individu membentuk suatu kesetiaan terhadap

profesi selama proses sosialisasi ketika profesi menanamkan nilai-nilai dan

norma-norma profesi (Silaban, 2009).

Alkautsar (2014) menyatakan bahwa “commitment to the profession

auditor is an individual auditor characteristics associated with loyalty and

fidelity of individual auditors on the purpose and values of the profession”.

Dari kalimat diatas dapat disimpulkn bahwa komitmen profesional

auditor merupakan karakteristik kepribadian auditor yang berhungan terhadap

loyalitas dan kesetiaan dari kepribadian auditor yang memiliki tujuan dan nilai

dari profesi itu sendiri.


25

Aranya et al (1981:271) menyatakan bahwa: Profesional commitment is

the relative strenght of their identification with, and involvement in, their

profession. Commitment may indicate (1) the belief in, and acceptance of, the

goals and values of the profession, (2) a willingness to exert considerable effort

on behalf of the profession, and (3) a definite desire to maintain membership in

the profession.

Dari kalimat di atas dapat disimpulkan bahwa komitmen professional

merupakan kekuatan relatif dari identifikasi serta keterlibatan seseorang dalam

profesi. Komitmen dikarakteristikkan oleh tiga hal yaitu: (1) kepercayaan dan

penerimaan akan tujuan-tujuan dan nilai-nilai profesi, (2) kemauan untuk

melakukan usaha sekuat tenaga untuk kepentingan profesi, (3) keinginan yang

kuat untuk tetap mempertahankan keanggotaan dari suatu profesi.

Komitmen telah menjadi salah satu unsur penting dalam dunia kerja.

Salah satu faktor yang bisa mempengaruhi keberhasilan dan kinerja seseorang

dalam pekerjaan adalah komitmen. Alasan yang mendasari diperlukannya

komitmen yang tinggi pada setiap profesi adalah kebutuhan akan kepercayaan

publik terhadap kualitas jasa yang diberikan profesi terlepas dari yang

dilakukan secara perorangan. Kepercayaan masyarakat terhadap kualitas jasa

professional akan meningkat, jika profesi mewujudkan standar kerja dan

perilaku yang tinggi dan memenuhi semua kebutuhan. Pemahaman komitmen

profesional ini sangatlah penting agar tercipta kondisi kerja yang kondusif

sehingga perusahaan dapat berjalan secara efisien dan efektif (Damanik, 2015:

66-67).
26

Komitmen profesional pada awalnya hanya dipandang sebagai konsep

yang bersifat uni-dimensi atau memiliki dimensi tunggal. Namun, sejalan

dengan perkembangan hasil-hasil penelitian, maka konsep komitmen

profesional ini juga mengalami perkembangan menjadi konsep yang multi-

dimensi. Terdapat tiga model komponen konseptual mengenai komitmen yang

diperkenalkan oleh Meyer dan Allen (Luthans, 2011:148; Meyer, et al: 1991)

yang terdiri dari komitmen profesional afektif (Affective professional

commitment), komitmen profesional kontinu (Continuance professional

commitment), dan komitmen profesional normatif (normative professional

commitment).

Komitmen profesional afektif merupakan keterikatan emosional individu

terhadap profesinya yang didasarkan pada identifikasi pada nilai-nilai dan

tujuan-tujuan profesi dan suatu keinginan untuk membantu profesi mencapai

tujuan-tujuan tersebut (Meyer et al, 1991; Silaban 2009). Sebagai contoh

mereka yang memiliki komitmen profesional afektif yang kuat akan mengikuti

perkembangan dalam profesi mereka, berlangganan jurnal, menghadiri

pertemuan profesional, dan berpartisipasi dalam asosiasi profesional mereka

(Bagraim, 2003: Silaban, 2009).

Komitmen profesional kontinu (KPK) berhubungan pada sejauh mana

individu “tetap berada” pada suatu profesi (Meyer et al, 1991). Komitmen

profesional kontinu merupakan bentuk komitmen seseorang terhadap

profesinya yang didasarkan pada pertimbangan biaya-biaya yang dikeluarkan

jika seseorang meninggalkan profesinya (Bagraim, 2003; Silaban, 2009).


27

Karyawan dengan komitmen kontinu yang kuat berusaha untuk tetap berada

pada profesi mereka karena mereka menyadari bahwa mereka akan memiliki

kerugian besar ketika mereka keluar dari profesi tersebut (Bagraim, 2003;

Silaban, 2009).

Komitmen profesional normatif (KPN) berhubungan pada keterkaitan

individu dengan suatu profesi karena merasakan suatu kewajiban atau

tanggungjawab untuk tetap berada pada suatu profesi. Karyawan dengan

komitmen profesional normatif yang kuat akan tetap mempertahankan

keanggotaannya dalam profesinya karena merasa bahwa hal tersebut harus

dilakukannya. Komitmen profesional normatif mungkin berkembang karena

sosialisasi dalam profesinya yang efektif atau karena pengorbanannya untuk

terlibat dalam profesi (Bagraim, 2003) dalam Silaban, (2009).

2.1.7 Locus Of Control (LOC)

Locus of control adalah persepsi tentang kendali mereka atas nasib,

kepercayaan diri dan kepercayaan mereka atas keberhasilan diri. LOC memainkan

peranan penting dalam berbagai kasus, seperti dysfunctional audit behavior, job

satisfaction, kinerja, komitmen organisasi dan turnover intention (Donnelly et al.,

Harini dkk., 2010).

Teori LOC menggolongkan individu apakah termasuk dalam LOC internal

atau eksternal. Internal control adalah tingkatan di mana seorang individu

berharap bahwa reinforcement atau hasil dari perilaku mereka bergantung pada

perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka. External control

adalah tingkatan di mana seseorang berharap bahwa reinforcement atau hasil


28

adalah fungsi dari kesempatan, keberuntungan atau takdir di bawah kendali yang

lain atau tidak bisa diprediksi (Silaban 2009).

Pandangan hidup menurut internal dan external LOC sangat berbeda.

Seseorang yang mempunyai internal locus of control yakin dapat mengendalikan

tujuan mereka sendiri, memandang dunia sebagai sesuatu yang dapat diramalkan,

dan perilaku individu turut berperan di dalamnya. Individu dengan internal locus

of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan harapannya pada diri

sendiri dan juga lebih menyukai keahlian-keahlian dibanding hanya situasi yang

menguntungkan. Pada individu yang mempunyai external locus of control akan

memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak dapat diramalkan, demikian juga

dalam mencapai tujuan sehingga perilaku individu tidak akan mempunyai peran di

dalamnya. External locus of control diidentifikasikan lebih banyak menyandarkan

harapannya untuk bergantung pada orang lain, hidup mereka cenderung

dikendalikan oleh kekuatan di luar diri mereka sendiri (seperti keberuntungan),

serta lebih banyak mencari dan memilih kondisi yang menguntungkan (Hartati

2012)

LOC dapat digunakan untuk memprediksi seseorang, LOC yang berbeda

bisa mencerminkan motivasi dan kinerja yang berbeda. Internal akan cenderung

lebih sukses dalam karir mereka daripada eksternal, mereka cenderung

mempunyai level kerja yang lebih tinggi, promosi lebih cepat dan mendapatkan

penghasilan lebih. Sebagai tambahan, internal LOC dilaporkan memiliki kepuasan

yang lebih tinggi dengan pekerjaan mereka dan terlihat lebih mampu menahan

stres dari pada LOC eksternal (Kusuma, 2017). Penelitian sebelumnya (Harini
29

dkk., 2010) menyatakan bahwa LOC eksternal berpengaruh negatif terhadap

kinerja sehingga secara umum seseorang yang ber-LOC eksternal akan berkinerja

lebih baik ketika suatu pengendalian dipaksakan atas mereka, atau sebaliknya ia

akan melakukan perilaku disfungsional (tidak sesuai aturan), untuk memenuhi

ataupun mengelabui pengendalian tersebut.

2.1.8 Performance (Kinerja)

Performance adalah perilaku anggota organisasi yang membantu untuk

mencapai tujuan organisasi. Usaha adalah perilaku manusia yang diarahkan untuk

meraih tujuan organisasi. Kinerja adalah tingkatan dimana tujuan secara actual

dicapai(T.B.Sjafri Mangkuprawira, 2007). Kinerja bias melibatkan perilaku yang

abstrak (Supervisi, planning, decision making). Kinerja melibatkan tingkatan yang

mana anggota organisasi menyelesaikan tugasnya yang berkontribusi pada tujuan

organisasi. Kinerja termasuk juga dimensi kualitas dan kuantitas. Kinerja adalah

fungsi yang jelas dari usaha (effort). Tanpa usaha, kinerja tidak akan dihasilkan.

Usaha sendiri tidak bisa menyebabkan kinerja: banyak factor yang diperlukan,

yang pertama atau utama dalam penyelesaian tugasnya (Husna, 2014).

Menurut Mulyadi (2010:11) kinerja auditor adalah auditor yang

melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara obyektif atas laporan

keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan tujuan untuk menentukan

apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara wajar sesuai dengan prinsip

akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang material, posisi keuangan

dan hasil usaha perusahaan. Hasil penelitian Solar dan Bruehl, (1971),

menunjukkan bahwa individu dengan tingkat kinerja dibawah harapan


30

pimpinannya memiliki kemungkinan yang lebih besar terlibat perilaku

disfungsional karena menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan untuk

bertahan dalam organisasi melalui usahanya sendiri.

Seseorang yang bekerja keras tetapi tidak melakukan pekerjaan, berarti

menggambarkan usaha yang tinggi tetapi kinerja yang rendah. Berdasarkan job

characteristic theori bahwa orang akan dimotivasi oleh kepuasan diri yang

diperoleh dari pelaksanaan tugas mereka. Ketika mereka menemukan bahwa

pekerjaan mereka berarti, orang akan menyukai pekerjaan mereka dan akan

termotivasi untuk melaksanakan tugas mereka dengan baik. Terdapat tiga sikap

psikologi yaitu perasaan bahwa pekerjaan yang dilakukan berarti, rasa

tanggungjawab terhadap hasil kerja, dan pengetahuan akan hasil kerja akan

meningkatkan motivasi, kinerja, dan kepuasan (Lee, 2000).

2.1.9 Turnover Intention (Keinginan Berpindah Kerja)

Turnover intention adalah sikap yang dimiliki oleh anggota organisasi

untuk mengundurkan diri dari organisasi atau dalam hal ini, dari Kantor Akuntan

Publik sebagai auditor independen. Pengunduran diri karyawan (withdrawal),

dalam bentuk turnover telah menjadi bahan penelitian yang menarik dalam

berbagai masalah, seperti masalah personalia (SDM), keperilakuan, dan praktisi

manajemen. Turnover intention juga dipengaruhi oleh skill dan ability, di mana

kurangnya kemampuan auditor dapat mengurangi keinginan untuk meninggalkan

organisasi sehingga tetap bertahan di KAP walaupun dia sangat ingin berpindah

kerja, (Malone dan Robert, 1996).


31

Sebelum turnover terjadi, selalu ada perilaku yang mendahuluinya, yaitu

adanya niat atau intensitas turnover. Ada dua pendorong intensitas, yaitu

intensitas untuk mencari dan intensitas untuk keluar. Prediktor utama dan terbaik

dari turnover adalah intensitas untuk keluar. Intensitas dan perilaku untuk mencari

secara umum didahului dengan intensitas untuk keluar, (turnover). Faktor utama

intensitas adalah kepuasan, ketertarikan yang diharapkan terhadap pekerjaan saat

ini dan ketertarikan yang diharapkan dari atau pada alternatif pekerjaan atau

peluang lain, (Sitanggang 2007).

Job satisfaction dan performance berhubungan terbalik dengan turnover

intention. Berdasarkan penelitian Fitriany dkk. (2010), auditor yang dissatisfied

(low satisfaction), dan dianggap memiliki prestasi yang rendah, (poor

performers), oleh atasannya, cenderung memiliki tingkat turnover yang tinggi.

Tapi sebaliknya, karyawan yang memiliki high performer (baik yang satisfied

maupun yang dissatisfied) tidak akan meninggalkan pekerjaannya karena mereka

diberikan strong inducements untuk tidak keluar dari tempat bekerjanya, misalnya

dengan diberi kenaikan gaji dan promosi. Inducement ini dapat menghilangkan

dissatisfaction dan menurunkan keinginan berpindah kerja ke tempat lain. Hal ini

dapat dilihat dari tingkat turnover yang berbeda antara high performer dan low

performer Harini (2010).

2.2. Penelitian Terdahulu

Dasar rujukan yang berupa temuan-temuan sebagai hasil dari penelitian

sebelumnya merupakan salah satu hal yang penting dan dapat dijadikan sebagai

data pendukung dalam penelitian ini. Fokus penelitian yang dijadikan sebagai
32

rujukan ialah penelitian terdahulu yang relevan dengan permasalahan yang

dibahas dalam penelitian ini, yaitu penelitian terkait perilaku disfungsional auditor

yang dipengaruhi oleh variabel tekanan anggaran waktu, komitmen profesional,

locus of control, kinerja auditor dan turnover intention.

Tabel 2.1

Penelitian Terdahulu

Nama Jenis Variabel Hasil


No Peniliti Judul Penelitian Penelitian
1 Afidhiena Pengaruh time Variabel dependen :
Raisyan pressure dan  Disfungsional
Nisa kepribadian audit behaviour
(2016) auditor terhadap Variabel independen :
disfungsional 1. Time pressure - Berpengaruh
audit behaviour 2. Kepribadian - Berpengaruh
auditor

2 Alkautsar Locus of Control, Variabel dependen :


(2014) Commitment  Dysfunctional
Professional, and Behaviour
Dysfunctional Variabel independen:
Behaviour. 1. Locus of - Berpengaruh
Control
2. Commitment - Berpengaruh
Professional
3 Luh Time Budget Variabel Dependen :
Mahatma Pressure  Perilaku
Setya Devi Memoderasi Disfungsional
(2016) Pengaruh Audit
Karakteristik Variabel Independen :
Personal Auditor 1. Karakteristik - Berpengaruh
Terhadap Persona
Penerimaan Auditor
Perilaku Moderasi :
33

Disfungsional 2. Time Buget - Tidak


Audit Pressure berpengaruh
4 Nova Ofita Pengaruh locus Variabel dependen :
(2015) of control,  Perilaku
komitmen Disfungsional
organisasi, Auditor.
kinerja auditor, Variabel independen :
time budget 1. Locus of - Berpengaruh
pressure dan conrol
etika audit 2. Komitmen - Tidak
berpengaruh
Terhadap organisasi
Perilaku 3. Kinerja auditor - Berpengaruh
Disfungsional 4. Time budget - Berpengaruh
Auditor pressure
5. Etika audit - Berpengaruh
5 Nian Lucky Pengaruh Variabel dependen :
Hartati Karakteristik  Disfungsional
(2012) Internal dan audit behaviour
Ekternal Auditor Variabel independen :
Terhadap 1. Locus of - Tidak
Penerimaan control internal berpegaruh
Perilaku 2. Locus of - Berpengaruh
Disfungsional control
atas Prosedur eksternal
Audit 3. Kinerja auditor - Berpengaruh
4. Gaya - Berpengaruh
kepemimpinan
5. Time pressure - Berpengaruh
6. Audit fee - Berpengaruh

6 Intan Analisis Faktor- Variabel dependen :


Pujaningru Faktor Yang  Disfungsional
m (2012) Mempengaruhi audit behaviour
Tingkat Variabel independen :
Penerimaan 1. Locus of - Berpengaruh
Auditor Atas control
Penyimpangan external
Perilaku Dalam 2. Komitmen - Tidak
Audit organisasi berpengaruh
- Berpengaruh
3. Kinerja
34

4. Turnover - Berpengaruh
Intention
7 Silaban Pengaruh Variabel dependen :
(2011) multidemensi  Perilaku audit
komitmen disfungsional
profesional Variabel independen :
terhadap perilaku 1. Komitmen - Berpengaruh
audit profesional
disfungsional normative
2. Dimensi - Berpengaruh
komitmen
profesional
afektif
8 Dwi Harini Analisis Variabel dependen :
(2010) Penerimaan  Disfungsional
Auditor Atas Auditor
Dysfunctional Behavior
Audit Behavior : Variabel independen :
Sebuah 1. Locus of - Berpengaruh
Pendekatan control
Karakteristik 2. Turnover - Tidak
Personal Auditor. intention berpengaruh
3. Kinerja - Tidak
berpengaruh
9 Ongky Pengaruh Variabel dependen :
Hartanto locus of control,  Perilaku
(2016) Tekanan Disfungsional
Anggaran Waktu Auditor
dan Komitmen Variabel Independen :
Profesional 1. Locus of - Berpengaruh
Terhadap Control
Perilaku 2. Tekanan - Berpengaruh
Disfungsional Anggaran
Auditor. Waktu
3. Komitmen - Berpengaruh
Profesional
10 Yuyun Pengaruh Variabel dependen :
Fauzia Komitmen 4. Perilaku
(2012) Profesional disfungsional
terhadap Perilaku audit
35

disfungsional Variabel independen :


audit dengan 1. Komitmen - Tidak
variabel Profesional berpengaruh
intervening Variabel intervening
komitmen 2. komitmen - Berpengaruh
organisasi organisasi

3.3. Kerangka Pemikiran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh

Tekanan anggaran waktu, komitmen profesional, locus of control, kinerja dan

turnover intention terhadap penerimaan perilaku disfungsional audit, Tekanan

anggaran waktu, komitmen profesional, locus of control, kinerja dan turnover

intention sebagai variabel independen dan perilaku disfungsional audit sebagai

variabel dependen. Berdasarkan teori yang telah disebutkan sebelumnya serta

variabel yang mempengaruhi perilaku disfungsional audit dapat disusun kerangka

pemikiran sebagai berikut ini:

1.3.1. Pengaruh Tekanan Anggaran Waktu Terhadap Perilaku


Disfungsional Auditor

Tekanan anggaran waktu yang ketat akan meningkatkan tingkat stress

auditor karena auditor harus melakukan pekerjaan audit dengan waktu yang

ketat, bahkan dalam anggaran waktu tidak dapat menyelesaikan audit dengan

prosedur audit yang seharusnya. Tekanan anggaran waktu adalah keadaan yang

menunjukkan auditor dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran

waktu yang telah disusun atau terdapat pembahasan waktu anggaran yang sangat

ketat dan kaku. Tekanan yang dihasilkan oleh anggaran waktu yang ketat secara
36

konsisten berhubungan dengan perilaku disfungsional (Aisyah, 2015 dalam

Hartanto, 2016).

Tekanan anggaran waktu yang tinggi dapat menyebabkan menurunnya

tingkat kualitas audit, karena dengan anggaran waktu yang terbatas

menyebabkan auditor harus memperketat program-program yang diaksanakan

untuk dapat menyesuaikan dengan waktu yang terbatas, sehingga audit yang

dilakukan tidak dapat dilakukan dengan lebih teliti dan hati-hati karena adanya

batasan waktu yang telah dianggarkan tersebut.

Tuntutan laporan yang berkualitas dengan waktu yang terbatas merupakan

tekanan tersendiri bagi auditor. Dalam studinya, (Azad, 1994 dalam Fonda,

2014), menemukan bahwa kondisi yang tertekan (secara waktu), auditor

cenderung berperilaku disfungsional, misalnya melakukan premature sign off,

terlalu percaya pada penjelasan dan presentasi klien, serta gagal mengivestigasi

isu-isu relevan, yang pada gilirannya dapat menghasilkan laporan audit

berkualitas rendah.

Tekanan anggaran waktu secara konsisten berhubungan dengan perilaku

disfungsional, dimana merupakan ancaman langsung dan serius terhadap kualitas

audit karena tekanan anggaran waktu merupakan keadaan di mana auditor

dituntut untuk melakukan efisiensi terhadap anggaran waktu yang telah disusun

atau terdapat pembatasan waktu dalam anggaran yang sangat ketat dan kaku

(Hartanto, 2016).

Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa tekanan anggaran waktu


37

memiliki hubungan terhadap perilaku disfungsional auditor (Tanjung: 2013).

Penelitian yang dilakukan oleh Nisa (2016) juga berhasil membuktikan bahwa

time budget pressure berpengaruh terhadap dysfunctional audit behavior. Selain

itu, menurut penelitian Hartanto, (2012), Nisa, (2016), Hartati, (2012), Marfuah

(2011), Ofita, (2015), Mahardini, (2014), dan Tanjung, (2013), terbukti adanya

pengaruh dari tekanan anggaran waktu yang dirasakan terhadap perilaku audit

disfungsional (reduksi kualitas audit). Berdasarkan uraian di atas, pada penelitian

ini diprediksi semakin meningkat tekanan anggaran waktu yang dirasakan, maka

semakin meningkat pula perilaku audit disfungsional dalam pelaksanaan

program audit. Sesuai dengan prediksi tersebut, hipotesis penelitian adalah

sebagai berikut:

H1: Tekanan anggaran waktu berpengaruh terhadap perilaku


disfungsional auditor

3.2.3. Pengaruh Komitmen Profesional Terhadap Perilaku Disfungsional


Auditor

Komitmen profesional merupakan suatu pengembangan dari konsep yang

lebih mapan yaitu komitmen organisasi. Komitmen profesional dapat diartikan

sebagai suatu karakteristik individu terkait kesetiaannya pada tujuan dan nilai-

nilai profesinya (Alkautsar, 2014). Dalam teori atribusi, komitmen professional

dapat digolongkan sebagai disposition attribution yaitu penyebab internal yang

menyebabkan perilaku seseorang.

Komitmen profesional yang tinggi akan mengarahkan auditor terhadap

perilaku dengan tujuan untuk kepentingan umum serta jauh dari perilaku yang
38

berpotensi merusak profesi. Sedangkan, auditor dengan komitmen profesional

yang lebih rendah akan cenderung untuk berperilaku disfungsional.

Penelitian terdahulu membuktikan bahwa adanya hubungan antara

komitmen profesional terhadap perilaku disfungsional (Donnelly, 2003). Selain

itu, penelitian yang dilakukan oleh Alkautsar, (2014), Hartanto, (2012), dan

Silaban, (2011), menunjukkan adanya pengaruh dari komitmen profesional

terhadap perilaku disfungsional auditor. Berdasarkan uraian di atas, pada

penelitian ini diprediksi semakin rendah komitmen profesional yang dirasakan,

maka semakin meningkat perilaku disfungsional audit dalam pelaksanaan

program audit. Sesuai dengan prediksi tersebut, hipotesis penelitian adalah

sebagai berikut:

H2: Komitmen profesional berpengaruh terhadap perilaku


disfungsional auditor.

3.3.3. Pengaruh Locus of Control Terhadap Perilaku Disfungsional


Auditor

Individu dengan locus of control eksternal menganggap hasil atau

outcome yang didapat bukan berasal dari usaha mereka, tetapi berasal dari faktor

situasional seperti lingkungan dan kemujuran atau keajaiban. Individu dengan

karakter seperti ini perlu didorong lebih keras agar mau bekerja dengan baik

untuk memenuhi target yang telah ditentukan dan biasanya bersifat reaktif.

Sedangkan untuk individu dengan locus of control internal, individu ini

percaya bahwa outcome yang terjadi merupakan hasil kerja keras mereka dan

semua kejadian berada dibawah pengendalian mereka. Individu dengan


39

karakteristik locus of control internal memiliki komitmen untuk berusaha

semaksimal mungkin dalam segala hal dan biasanya akan lebih terdorong bila

diberi target tertentu.

Penggunaan manipulasi, penipuan, atau taktik menjilat atau mengambil

muka dapat menggambarkan usaha locus of control eksternal untuk

mempertahankan pengaruh mereka terhadap lingkungan yang kurang ramah dan

memberikan kepada mereka sebuah pendekatan berorientasi internal seperti kerja

keras. Penelitian sebelumnya Alkautsar, (2014), Ofita, (2015), Hartati, (2012), dan

Hartanto, (2012), menunjukkan bahwa locus of control berpengaruh terhadap

penerimaan dysfunctional audit behavior. Berdasarkan uraian di atas, pada

penelitian ini diprediksi semakin rendah locus of control yang dirasakan, maka

semakin meningkat pula keinginan untuk melakukan disfungsional audit dalam

pelaksanaan program audit. Sesuai dengan prediksi tersebut, hipotesis penelitian

adalah sebagai berikut:

H3 : Locus of Control berpengaruh terhadap perilaku disfungsional auditor.

3.3.4. Pengaruh Kinerja Auditor terhadap Perilaku Disfungsional Audit

Perilaku disfungsional dapat terjadi pada situasi ketika individu merasa

dirinya kurang mampu untuk mencapai hasil yang diharapkan melalui usahanya

sendiri. Donelly et al., (2003), menyatakan bahwa individu yang memiliki kinerja

di bawah standar memiliki kemungkinan tinggi untuk terlibat dalam perilaku

disfungsional karena menganggap dirinya tidak memiliki kemampuan untuk

bertahan dalam organisasi melalui usahanya sendiri.


40

Penerimaan auditor atas perilaku audit disfungsional akan lebih tinggi bila

auditor memiliki persepsi kinerja rendah atas dirinya (Harini dkk., 2010). Hal ini

karena seorang auditor dengan tingkat kinerja rendah atau di bawah standar

merasa bahwa auditor tersebut tidak memiliki capability dan skill sendiri untuk

bertahan dalam oganisasi. Auditor tersebut cenderung melakukan segala cara

untuk meningkatkan kinerjanya, walaupun bukan merupakan cara yang baik

sesuai standar dan etika yang berlaku, seperti manipulasi dan kecurangan auditor

dalam melakukan proses audit. Auditor berkinerja tinggi cenderung menolak

perilaku audit disfungsional karena ia dapat mencapai target kinerja dengan

usahanya sendiri melalui prosedur audit yang telah ditetapkan oleh manajer.

Penelitian sebelumnya oleh Wilopo, (2006), Hartati, (2012), Pujaningrum,

(2012), Utami, (2016), dan Harini dkk., (2010), membuktikan bahwa kinerja

berpengaruh terhadap perilaku audit disfungsional. Berdasarkan uraian di atas,

pada penelitian ini diprediksi semakin rendah kinerja yang dirasakan, maka

individu yang melakukan kinerja dibawah ekspektasi atasanya akan cenderung

terlibat melakukan perilaku disfungsional karena menganggap bahwa mereka

tidak dapat mencapai tujuan yang diperlukan untuk bertahan dalam sebuah

perusahaan melalui usahanya sendiri. Sesuai dengan prediksi tersebut, hipotesis

penelitian adalah sebagai berikut:

H4 : Kinerja berpengaruh terhadap perilaku disfungsional auditor.

3.3.5 Pengaruh Turnover Intention terhadap Perilaku Disfungsional Audit

Auditor yang memiliki turnover intention atau keinginan berpindah kerja

tinggi dapat terlibat dalam perilaku disfungsional karena menurunnya tingkat


41

ketakutan yang ada dalam dirinya terhadap dijatuhkannya sanksi atau ancaman

diberhentikan bila perilaku tersebut terdeteksi oleh supervisor ataupun

memperhatikan dampak potensial terhadap perilaku disfungsional terhadap

promosi dan penilaian kerja (job assessment), sehingga auditor yang memiliki

turnover intention lebih tinggi akan menerima perilaku disfungsional.

Keinginan untuk berhenti bekerja dinilai dapat mempengaruhi

penyimpangan perilaku auditor. Menurunnya ketakutan akan kemungkinan

jatuhnya sanksi apabila perilaku tersebut terdeteksi menjadikan seorang auditor

yang memiliki keinginan untuk meninggalkan perusahaan lebih dapat terlibat

dalam perilaku disfungsional. Disebabkan adanya sifat yang kurang mendukung

dalam kerjanya yang seakan jika diberi sanksi akan cenderung membuat auditor

lebih memilih meninggalkan pekerjaannya dibanding untuk tetap bertahan akibat

takut akan sanksi.

Penelitian Maryanti, (2005), Sitanggang, (2007), Pujaningrum, (2012),

Sudewa, (2015) dan Utami, (2016), membuktikan bahwa turnover intention

memiliki pengaruh terhadap dysfunctional audit behavior. Berdasarkan uraian di

atas, pada penelitian ini diprediksi jika tinggi turnover intention yang dirasakan,

maka semakin meningkat pula keinginan untuk melakukan disfungsional audit

dalam pelaksanaan program audit. :

H5: Turrnover intention berpengaruh terhadap penerimaan disfungsional


auditor
42

3.4. Model Penelitian

Dari uraian pengembangan kerangka pemikiran diatas dapat digambarkan

model penelitian, sebagai berikut :

Gambar 2.1

Model Penelitian

Variabel Independen Variabel Dependen

TEKANAN ANGGARAN
WAKTU (X1)

KOMITMEN
PROFESIONAL (X2)
PERILAKU
DISFUNGSIONAL
LOCUS OF CONTROL (X3) AUDITOR (Y)

KINERJA (X4)

TURNOVER INTENTION
(X5)

Anda mungkin juga menyukai