Anda di halaman 1dari 24

MEMBANDINGKAN NILAI

Diajukan kepada Dr. Yoppy Wahyu Purnomo, S.Pd., M.Pd.


Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Komparatif

Disusun oleh:
1. Arif irawan NIM 18108241056
2. Adina Idha Khoirunnisa NIM 18108241072
3. Fadhilatun Nurul Khasanah NIM 18108241082
4. Sri Riyani NIM 18108241114

Kelas: 6 D

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR


JURUSAN PENDIDIKAN SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahu Wa


Ta’ala yang telah melimpahkan rahmat, karunia, hidayah serta kenikmatan-Nya kepada
penulis, sehingga kami penulis dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “Membandingkan
Nilai” dengan lancar tanpa kendala suatu apapun dan sesuai dengan harapan.
Makalah ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Komparatif. Tulisan dalam makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat dan wawasan
kepada pembaca mengenai kajian kompetensi guru dan tenaga kependidikan dalam lembaga
pendidikan.
Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini dapat diselesaikan tidak lepas dari
bimbingan, dukungan, bantuan serta kerjasama dengan berbagai pihak. Berkenaan dengan hal
tersebut, kami selaku penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kelancaran dan kemudahan selama
penyusunan makalah ini.
2. Dr. Yoppy wahyu Purnomo, S.Pd., M.Pd. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah
pendidikan Komparatif yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan selama
proses penyusunan makalah ini.
3. Orang tua kami yang telah memberikan doa, dukungan dan bantuan material dalam
peyusunan makalah ini.
4. Teman-teman Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Kelas 6 D yang selalu
memberikan bantuan, masukan, motivasi dan semangat bagi penulis agar dapat
meyelesaikan makalah ini.
5. Semua pihak secara langsung maupun tidak langsung, yang tidak dapat disebutkan satu
persatu di sini yang telah memberikan bantuan dan perhatiannya selama peyusunan
makalah ini.
Semoga segala bantuan yang telah diberikan oleh semua pihak di atas menjadi amalan
yang bermanfaat dan mendapat balasan dari Tuhan Yang Maha Esa. Kami selaku penulis
menyadari sepenuhnya, bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan maupun
kesalahan baik dalam hal teknik penulisan, tata bahasa, maupunisinya dan jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat diharapkan oleh penulis dan akan diterima dengan senang hati untuk kesempurnaan
penulisan makalah selanjutnya.

ii
Kami selaku penulis berharap semoga apa yang terkandung dalam makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kepada para pembaca pada umumnya, serta semua pihak-pihak
terkait yang membutuhkannya dan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya. Serta
kepada semua pihak kami mengucapkan banyak terimakasih. Akhir kata, semoga Allah
Subhanahu Wa Ta’ala selalu mengiringi langkah kita. Amin.

Yogyakarta, 29 Maret 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ..................................................................................................... i


KATA PENGANTAR ...................................................................................................... ii
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1


A. Latar Belakang .......................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... 2
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................................... 2

BAB II KAJIAN PUSTAKA ........................................................................................... 3


A. Hakikat nilai ........................................................................................................... 3
B. Perbandingan nilai berdasarkan ukuran, skala dan kompleksitas ........................... 4
C. Perbandingan nilai berdasarkan studi longitudinal buku teks ................................ 9
D. Perbandingan nilai berdasarkan studi nilai divergen dan konvergen ..................... 10
E. Perbandingan nilai berdasarkan studi kasus dalam kualitatif ................................. 13

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 16


A. Kesimpulan ............................................................................................................... 16

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 18

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha membina kepribadian dan kemajuan manusia baik
fisik maupun moril, sehingga pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan
manusia khususnya menjadikan manusia yang lebih bermanfaat dan berkualitas.
Perubahan pendidikan kearah yang lebih maju tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa
adanya seseorang yang memiliki kompetensi dibidang pendidikan yang menjadi salah satu
faktor terciptanya kemajuan bangsa, yaitu seorang guru yang terdapat dilembaga
pendidikan seperti sekolah.
Guru memiliki peranan dan andil yang sangat besar demi terciptanya siswa yang
berprestasi, bermanfaat dan berkualitas serta berkarakter. Karakter merupakan tabiat
seseorang untuk bertingkah laku dan bersikap yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga menjadi sebuah kebiasaan. Karakter yang dibangun dalam kebiasaan-kebiasaan
ini ada yang bersifat baik dan ada yang bersifat buruk. Hal ini tergantung pada
pembentukan karakter yang dipengaruhi oleh lingkungannya.
Pembentukan karakter seorang anak dipengaruhi oleh faktor intern dan
ekstern.faktor intern adalah faktor yang dipengaruhi dari dalam diri siswa untuk
berkembang. Sedangkan faktor ekstern adalah faktor dari luar diri siswa yang dapat
mempengaruhinya seperti lingkungan teman sebaya, lingkungan masyarakat dan
lingkungan keluarga. Keluarga memiliki peranan dalam pembentukan karakter dan
menentukan bekal kepribadian seorang anak yang akan menjadi penerus masa depan.
Keluarga sebagai unit sosial terkecil dimasyarakat hendaknya dapat menjadi wahana
penanaman, pembangungan, dan pembentukan nilai karakter anak bangsa yang mandiri
dan bertanggung jawab.
Seseorang yang berkarakter akan memiliki kepribadian yang lebih baik dan santun.
Seseorang yang berkarakter akan mempertahankan kepribadiannya yang baik dengan tetap
mengembangkannya untuk mencapai tujuan yang mulia. Melalui pendidikan formal
maupun non formal diharapkan dapat mengarahkan pada penanaman nilai karakter, etika,
moral dan norma-norma pendidikan serta religi kepada anak agar menjadi generasi
penerus bangsa yang cerdas, berwawasan luas dan berilmu pengetahuan dengan
keterampilan yang tinggi dalam kemajuan jaman dengan tetap berpijak pada nilai-nilai dan
norma-norma sesuai dengan keribadian dan jati diri bangsa yaitu pancasila.
1
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu muatan wajib dalam kurikulum
pendidikan, baik di tingkat pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga perguruan
tinggi. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006 tentang standar isi ditegaskan bahwa:
“Pendidikan Kewarganegaraan adalah mata pelajaran yang memfokuskan pada
pembentukan warganegara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan
kewajibannya untuk menjadi warganegara Indonesia yang berkarakter, yang diamanatkan
oleh Pancasila dan UUD 1945”.
Pendidikan kewarganegaraan adalah upaya sadar dan terencana untuk
mencerdasakan kehidupan bangsa bagi warganegara dengan menumbuhkan jati diri dan
karakter sebagai landasan pelaksanaan hak dan keajiban dalam bela Negara yang dilandasi
oleh nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Dalam studi pendidikan kewarganegaraan dapat
kita bandingkan dari segi nilai, baik itu nilai kognitif maupun nilai sikap. Hal ini
dikarenakan disetiap negara memiliki perbedaan sehingga dapat kita bandigkan, namun
tidak menutup kemungkinan di dalam suatu negarapun juga dapat dilakukan. Untuk
melakukan prerbandingan tersebut yang paling utama dan utama kita harus menentukan
metode serta pendekatan yang akan kita gunakan untuk melakukan perbandingan nilai
baik antar negara maupun didalam suatu negara tersebut.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang muncul adalah
sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan nilai?
2. Bagaimana perbandingan nilai berdasarkan ukuran, skala dan kompleksitas?
3. Bagaimana perbandingan nilai berdasarkan studi longitudinal buku teks?
4. Bagaimana perbandingan nilai berdasarkan studi nilai divergen dan konvergen?
5. Bagaimana perbandingan nilai berdasarkan studi kasus dalam kualitatif?

C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penulisan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mengetahui hakikat tentang konsep nilai.
2. Mengetahui perbandingan nilai berdasarkan ukuran, skala dan kompleksitas.
3. Mengetahui perbandingan nilai berdasarkan studi longitudinal buku teks.
4. Mengetahui perbandingan nilai berdasarkan studi nilai divergen dan konvergen.
2
5. Mengetahui perbandingan nilai berdasarkan studi kasus dalam kualitatif.

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Hakikat Nilai
Konsep nilai itu luas dan sulit dipahami. Sama seperti filsafat yang menembus setiap
bidang studi, diskusi tentang nilai dapat ditemukan di hampir setiap disiplin ilmu. Hampir
tidak mungkin untuk menentukan ruang lingkup definisi nilai, yang meluas dari tingkat
pribadi ke kolektif dan mencakup banyak bentuk pengetahuan. Misalnya, nilai-nilai dapat
mencakup aktualisasi diri, kebenaran, kebaikan, individualitas, keadilan, kesempurnaan,
dan kebermaknaan (Heffron 1997: 17).
Orang yang melihat nilai dari perspektif pribadi menganggap pendidikan nilai
sebagai bentuk pengembangan moral dan karakter (Nucci 1989). Sebaliknya, orang-orang
yang memandang nilai dari perspektif kolektif cenderung berfokus pada nilai-nilai sosial,
nilai budaya, nilai politik, kewarganegaraan, dan sistem kepercayaan seperti agama dan
ideologi (Cheng 1997; Lee 1997; Beck 1998). Namun peneliti lain melihat nilai dari
perspektif bentuk pengetahuan. Dengan kata lain, mereka cenderung melihat sifat 'alam
nilai', seperti psikologis, ekonomi, etika, estetika, puitis, sastra, teknologi, dan hukum
(Presno & Presno 1980).
Lauis D. Kattsof dalam Syamsul Maarif (2007: 114), mengungkapkan nilai
merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, tetapi kita dapat mengalami
dan memahami cara langsung kualitas yang terdapat dalam objek itu. Dengan demikian
nilai tidak semata-mata subjektif, melainkan ada tolak ukur yang pasti terletak pada esensi
objek itu. Sedangkan menurut Mansur (2001: 98), mengatakan nilai merupakan sesuatu
yang bersifat abstrak, ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan
benar dan salah yang menuntut pembuktian empiric, melainkan soal penghayatan yang
dikehendaki.
Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan
esensi yang melekat pada sesuatu yang sangat berarti bagi kehidupan manusia. Esensi
belum berarti sebelum dibutuhkan oleh manusia tetapi tidak berarti adanya esensi karena
adanya manusia yang membutuhkan

4
B. Perbandingan Nilai Berdasarkan Ukuran, Skala dan Kompleksitas
1. Kasus Pertama: Skala Besar, Banyak Peneliti, dan Berbagai Dimensi dan
Instrumen Pada Studi Pendidikan Kewarganegaraan Internasional
Studi internasional terbesar dan terlengkap tentang pendidikan kewarganegaraan
dilakukan di bawah naungan Asosiasi Internasional Evaluasi Prestasi Pendidikan (IEA)
pada tahun 2009.
Penelitian dilakukan dua periode yang pertama dilakukan pada tahun 1971
dengan 10 negara yang berpartisipasi, dan yang kedua pada tahun 1999 dengan 28
negara (Torney-Purta et al. 2001). IEA mensurvei lebih dari 140.000 siswa kelas 8 dan
62.000 guru di 5.300 sekolah dari 38 negara yang terdiri dari 5 negara berada di Asia,
26 di Eropa, 6 di Amerika Latin, dan 1 di Australia. Data tersebut ditambah dengan
data kontekstual yang dikumpulkan dari masing-masing kepala sekolah dan pusat
penelitian nasional. Dalam melakukan studi ini dilakukan berbagai cara perbandingan
nilai yaitu dengan menggunakan berbagai instrument dan dimensi.
Tujuan dari penelitian yang dilakukan (Ainley et al. 2013) ini:
a. Mengetahui cara negara mempersiapkan kaum muda mereka untuk menjalankan
peran mereka sebagai warga negara
b. Mengetahui pengetahuan dan pemahaman siswa tentang kewarganegaraan serta
sikap, persepsi, dan aktivitas siswa yang berkaitan dengan kewarganegaraan.
c. Mengetahui perbedaan antar negara dalam kaitannya dengan hasil pendidikan
kewarganegaraan, dan bagaimana perbedaan antar negara terkait dengan
karakteristik siswa, konteks sekolah dan komunitas, dan karakteristik nasional.
Penelitian yang dilakukan mengkaji tentang (Schulz et al. 2011, hal. .15):
a. Variasi dalam pengetahuan sipil,
b. Perubahan pengetahuan konten,
c. Minat dan disposisi siswa untuk terlibat dalam kehidupan publik dan politik,
d. Persepsi ancaman kepada masyarakat sipil,
e. Fitur sistem pendidikan, sekolah, dan ruang kelas yang terkait dengan pendidikan
kewarganegaraan
f. Aspek latar belakang siswa yang terkait dengan hasil pendidikan kewarganegaraan.
Untuk mengoptimalkan ke-6 hal tersebut, peneliti mengembangkan kerangka
kewarganegaraan dengan tiga dimensi:
a. Konten (masyarakat dan sistem sipil, prinsip sipil, partisipasi sipil, dan identitas
sipil),
5
b. Perilaku afektif (keyakinan nilai, sikap, niat perilaku, dan perilaku), dan
c. Kognitif (mengetahui dan menalar serta menganalisis).
Langkah-langkah pengumpulan data perbandingan nilai penelitian ini yaitu:
a. Memberikan tes kognitif siswa internasional memiliki 80 item yang mengukur
pengetahuan kewarganegaraan dan kewarganegaraan, analisis dan penalaran.
b. Memberikan kuesioner siswa internasional tujuannya untuk mengumpulkan data
tentang persepsi kewarganegaraan dan latar belakang siswa; dan
c. Memberikan seperangkat instrumen regional siswa yang membahas isu-isu tertentu
yang berkaitan dengan kewarganegaraan di Asia, Eropa, Amerika Latin, dan
Australia.
d. Meminta para guru mengisi kuesioner tentang persepsi pendidikan kewarganegaraan
dan kewarganegaraan di sekolah mereka;
e. Meminta para kepala sekolah mengisi kuesioner tentang karakteristik sekolah dan
penyediaan pendidikan kewarganegaraan dan kewarganegaraan.
f. Meminta koordinator riset nasional melakukan survei online pada para ahli nasional,
untuk mengumpulkan informasi tentang struktur sistem pendidikan dan tempat
pendidikan kewarganegaraan dan kewarganegaraan dalam kurikulum nasional.
Penelitian ini diselenggarakan oleh konsorsium tiga lembaga mitra:
a. Australian Council for Educational Research (ACER),
b. National Foundation for Educational Research (NFER) di Inggris, dan
c. Laboratorio di Pedagogia sperimentale (LPS) di Roma Tre University di Italia.
Dimana Lembaga-lembaga tersebut bekerja sama erat dengan
a. Sekretariat IEA,
b. Pusat Pemrosesan dan Penelitian Data IEA, dan
c. Koordinator penelitian nasional studi dari 38 negara.
2. Kasus Kedua: Skala Kecil, Banyak Peneliti, dan Instrumen Sederhana Pada Studi
tentang Persepsi Guru tentang Kewarganegaraan yang Baik di Lima Negara
Beberapa penelitian komparatif yang telah dilakukan dapat mencapai skala yang
digunakan dalam studi IEA; tetapi tidak semua peneliti menyetujui metode yang
digunakan IEA. Oleh karena itu studi IEA ditentang karena interpretasi data mereka
yang relatif kompleks dimana dikumpulkan dengan jumlah besar dengan variasi data
yang beragam juga yaitu memuat budaya, masyarakat, ekonomi dan politik.
Berdasarkan hal tersebut Lee dan Fouts (2005) dalam studi mereka tentang persepsi
guru tentang kewarganegaraan yang baik di AS, Inggris, Australia, Rusia dan China,
6
yang dilakukan selama 1995-1999 dengan menggunakan pendekatan ekstrim alternatif
memakai instrumen yang sesederhana mungkin, untuk meminimalkan variasi
interpretasi data dari negara yang diteliti.
Dalam hal ini peneliti membatasi masalah konseptual tidak hanya tentang
"kewarganegaraan yang baik" tetapi juga tentang konsep yang digunakan untuk
mendefinisikan "kewarganegaraan yang baik," seperti pendidikan moral dan
patriotisme
Studi lima negara ini memberikan kuesioner sederhana sebanyak dua halaman
untuk diujikan pada sampel sekitar 500 guru di setiap kota negara yang berpartisipasi.
Penelitian yang dilakukan berkaitan tentang:
a. Kualitas warga negara yang baik;
b. Pengaruh terhadap kewarganegaraan seseorang;
c. Ancaman terhadap kewarganegaraan anak;
d. Kegiatan kelas yang akan membantu mengembangkan kewarganegaraan anak.
Dalam memilih pertanyaan instrumentasi dan wawancara untuk penelitian ini,
peneliti sangat memperhatikan bahwa semakin kompleks instrumen dan prosedur, maka
semakin besar pula kemungkinan kesulitan penerjemahan data dan hilangnya
komparabilitas dari data. Oleh karena itu, peneliti berusaha untuk membuat pertanyaan
survei dan wawancara tetap mendasar dan sesederhana mungkin pada topik yang telah
dibatasi. Meskipun instrumen dan pertanyaan wawancara mungkin serumit penelitian
IEA, kami yakin instrument ini akan cukup untuk menunjnag tujuan penelitian, dengan
beberapa batasan, dan memungkinkan terjemahan yang memungkinkan perbandingan
antar negara.
Karena serangkaian pertanyaan sederhana dalam instrument survei digunakan
untuk meningkatkan komparabilitas maka dari itu untuk menunjang hal tersebut juga
dilakukan wawancara kualitatif lanjutan pada setiap guru.
3. Kasus Tiga: Skala Besar, Peneliti Tunggal, Berbagai Dimensi dan Instrumen Pada
Kajian Sosialisasi Politik di Lima Negara
Sementara terdapat banyak studi komparatif tentang nilai telah dilakukan oleh
tim. Hahn (1998) mencoba melakukan studi komparatif nilai dengan sendiri tentang
studi komparatif sosialisasi politik di negara Inggris, Denmark, Jerman, Belanda, dan
Amerika Serikat. Dalam bukunya Becoming Political, Hahn menjelaskan (1998, hlm.
1-5) bahwa:

7
a. Peneliti menghadapi tantangan sulit untuk mengidentifikasi sampel remaja di lima
negara.
b. Peneliti memperoleh kelas siswa, terutama pada kelas usia lima belas hingga
sembilan belas tahun, di berbagai jenis sekolah menengah di lima negara sampel.
c. Peneliti membuat kuesioner dengan skala yang mengukur sikap politik terhadap
minat, kemanjuran, kepercayaan, dan kepercayaan diri siswa.
d. Peneliti melakukan wawancara dengan guru dan siswa untuk mendapatkan wawasan
lebih lanjut tentang sikap dan keyakinan politik remaja ke dalam proses pendidikan
kewarganegaraan di setiap negara.
e. Peneliti melakukan wawancara dengan kelompok kecil yang terdiri dari dua sampai
delapan siswa yang telah dibentuk sebelumnya, hal ini dilakukan pada seluruh kelas
f. Penelti menganalisis data kuantitatif menggunakan analisis faktor, analisis item,
distribusi frekuensi berdasarkan item, cara item dan skala, analisis varians dan
ukuran efek antara cara
g. Peneliti menganalisis setiap komponen kumpulan data kualitatif (catatan lapangan,
wawancara, dokumen, dan buku harian lapangan saya) menggunakan analisis
komparatif konstan untuk menghasilkan tema dari data mentah.
Penelitian ini membutuhkan waktu 10 tahun untuk menyelesaikannya. Dalam
proses analisis data Hahn tidak bekerja sendiri, dia mengandalkan banyak orang di
negara masing-masing, untuk membantunya menganalisis data. Kemudian Hahn sendiri
berperan sebagai parameter menyeluruh, dan melakukan peran mediasi di seluruh kasus
negara.
Hahn mengadopsi pendekatan komprehensif dengan metode yang kompleks.
Dimana dia menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Berkenaan dengan studi kualitatif, ia menganalisis setiap komponen untuk
menghasilkan tema dari data mentah (termasuk observasi kelas, wawancara guru dan
siswa, dan dokumen, catatan lapangan dan buku harian lapangan).
Sehubungan dengan studi kuantitatif, dia mengadaptasi beberapa skala dan
mengembangkan beberapa skala miliknya sendiri. Skala yang diadaptasi termasuk
Skala Kepercayaan Politik, Skala Keberhasilan Politik, Skala Keyakinan Politik, dan
Skala Kepentingan Politik. Item dan skala yang dikembangkan oleh Hahn sendiri antara
lain Item Aktivitas Politik Masa Depan, Item Pengalaman Politik, Skala Kebebasan
Berekspresi, Skala Toleransi Sipil, dan Skala Iklim Kelas.

8
Skala ini digunakan untuk mengukur sikap politik terhadap kepentingan,
kemanjuran, kepercayaan dan keyakinan; perilaku politik seperti mengikuti berita dan
mendiskusikan politik; sikap terhadap kebebasan berbicara dan pers untuk berbagai
kelompok; keyakinan akan persamaan hak politik bagi perempuan dan laki-laki; dan
persepsi tentang iklim kelas di mana siswa didorong untuk mengekspresikan keyakinan
mereka tentang isu-isu kontroversial (Hahn, 1998, hlm. 3-4).
Penemuan utama Hahn dari studi multi-metode selama 10 tahun (hlm. 17-18)
adalah keragaman dan kesamaan yaitu tentang banyak variasi di antara sistem dan
budaya politik negara yang diteliti. Walaupun bentuk struktur dan proses demokrasi
sangat bervariasi, warga negara ini mewarisi nilai-nilai pencerahan dari kebebasan
individu, namun demikian ciri-ciri unik dari setiap sistem pendidikan nasional setiap
negara, berkembang dalam gagasan bersama tentang tujuan dan bentuk dasar sekolah.
4. Kasus Empat: Skala Kecil, Banyak Peneliti dan Analisis Kuantitatif Sekunder
Pada Studi Pandangan Siswa tentang Kewarganegaraan di Tiga Negara
Kennedy, Hahn dan Lee (2008) melakukan analisis kuantitatif sekunder dari data
Pendidikan Sipil IEA 1999 tetapi hanya pada negara Australia, Hong Kong dan
Amerika Serikat, untuk membandingkan nilai dan sikap siswa baik di dalam dan di tiga
masyarakat.
Dimana dalam hal ini semua peneliti disini sudah pernah menjadi koordinator
penelitian nasional untuk studi IEA 1999. Berdasarkan sampel perwakilan nasional dari
studi internasional IEA, penulis menggunakan data dari 1.000 siswa yang dipilih secara
acak di setiap sampel berbobot.
Mereka menggunakan Paket Statistik untuk Ilmu Sosial 12.0 untuk menghitung
frekuensi untuk setiap kategori tanggapan pada setiap negara. Ini didasarkan pada
asumsi bahwa distribusi frekuensi di setiap kategori respons mewakili penekanan yang
ditempatkan oleh siswa di sepanjang konstruksi laten, dan memungkinkan
perbandingan hasil lintas-negara.
Setelah dilakukan analisis data, akhirnya, mereka mengaitkan temuan mereka
dengan aspek budaya dan nilai-nilai sipil dalam masing-masing negara (hlm. 60-61).
Studi ini membuat pengambaran peta kontekstual dari tiga negara yang dipilih
untuk membandingkan, membenarkan adanya kesamaan untuk membuat perbedaan
mereka bermakna.
Dalam melakukan analisis data menggunakan metode analisis sekunder peneliti
mengungkapkan bahwa terdapat beberapa variasi data terkait persepsi siswa dimana hal
9
tersebut kemungkinan terjadi karena hasil analisis data skala besar yang dilakukan
internasional oleh tim IEA.

10
C. Perbandingan Nilai Berdasarkan Studi Longitudinal Buku Teks
a. Kasus Lima: Banyak Negara, Satu Peneliti, Kuantitatif Pada Analisis
Longitudinal dari 465 Buku Teks Seluruh Dunia
Penelitian dilakukan oleh Bromley tahun 2009, meneliti tentang tren lintas-
nasional menuju kosmopolitanisme dengan menggunakan analisis isi longitudinal dari
465 buku teks sejarah sekolah menengah, ilmu kewarganegaraan dan sosial dari 69
negara yang diterbitkan antara tahun 1970 dan 2008. Mayoritas buku berasal dari
Institut Georg Eckert untuk Penelitian Buku Teks Internasional Jerman. Bromley
memberi kode pada setiap buku tentang parameter yang dirancang untuk mengukur
penekanan kosmopolitan universalisme dan keanekaragaman. Strategi untuk mengatasi
tantangan akibat penerjemahan termasuk penggunaan pertanyaan faktual,
mempekerjakan penerjemah dwibahasa, dan memastikan keandalan antar penilai. Buku
teks dibagi menjadi dua periode utama: 1970-1994 dan 1995-2008, untuk menangkap
perubahan historis di Eropa Timur serta untuk mendapatkan data sampel yang merata.
Studi tersebut mengungkapkan tren dunia menuju penekanan kosmopolitan dalam
buku teks pendidikan kewarganegaraan dengan pengecualian Asia. Penulis menyadari
bahwa temuan yang tidak terduga ini bertentangan dengan studi mendalam lainnya di
Asia. Bromley menghubungkan hasil pencilan (nilai data ekstrim) ini dengan
keterbatasan studi tingkat makro yang gagal menangkap nuansa dan makna yang
dibawa oleh studi kasus individual dan mendalam (2009, p.39). Kasus berikut, yang
memiliki sifat longitudinal serupa, menunjukkan manfaat dari analisis kasus tunggal
yang dilihat dalam perspektif komparatif.
b. Kasus Enam: Satu Negara, Metode Campuran Pada Analisis Longitudinal dari
Buku Teks Pendidikan Kewarganegaraan
Moon dan Koo tahun 2011 melakukan studi metode campuran pendidikan
kewarganegaraan di Korea Selatan, meneliti cara tren global pada pendidikan
kewarganegaraan berinteraksi dengan faktor kontekstual lokal. Dengan menggunakan
data kuantitatif dari analisis isi buku teks, mereka menggambarkan tren di 62 buku teks
pendidikan kewarganegaraan Korea Selatan dari tahun 1981 hingga 2004. Mereka
membaca setiap buku teks, halaman demi halaman, menghitung jumlah kata kunci yang
disebutkan (global vs. nasional) dan mendapatkan jumlah rata-rata dari kata kunci per
halaman untuk mengidentifikasi tren dari waktu ke waktu. Mereka melengkapi analisis
ini dengan data kualitatif dari 28 wawancara semi-terstruktur dengan aktor lokal untuk
menjelaskan bagaimana penekanan kewarganegaraan global dalam kurikulum Korea
11
Selatan muncul. Studi mereka mengungkapkan kesimpulan menarik tentang dialektika
global-lokal dalam difusi dan adopsi konsep kewarganegaraan global di Korea Selatan.
Mereka mengklaim (hlm. 595) bahwa mekanisme global terkait erat dengan
rantai perkembangan lokal yang mengarah pada penggabungan tema kewarganegaraan
global yang berhasil dalam buku teks sekolah. Organisasi lokal, pemimpin politik
nasional, dan pejabat pemerintah terkait erat dengan model global, dan hubungan ini
menyebabkan penyebaran dan adopsi gagasan kewarganegaraan global dalam
masyarakat Korea.

D. Perbandingan Nilai Berdasarkan Studi Nilai Divergen dan Konvergen


a. Kasus Tujuh: Mempelajari Nilai Konvergen Pada Studi Delphi tentang
Pembentuk Kebijakan di Sembilan Negara (kualitatif)
Penelitian ini dilakukan oleh Cogan (2000) dengan rekannya untuk
membandingkan kewarganegaraan di sembilan Negara, yaitu Inggris, Jerman, Yunani,
Hongaria, Belanda, Thailand, Jepang, Kanada dan Amerika Serikat dari tahun 1993
hingga 1997. Metode yang digunakan adalah adaptasi lintas budaya dari model
Penelitian Etnografi Delphi Futures. Metode Delphi adalah proses yang dilakukan
dalam kelompok untuk mensurvei dan mengumpulkan pendapat dari para ahli terkait
topik tertentu. Metode ini biasanya digunakan untuk memanfaatkan proyeksi jangka
panjang untuk mengembangkan arahan kebijakan yang sesuai, membantu memadatkan
keragaman data menjadi konsensus, dan menafsirkan data tersebut oleh responden dan
peneliti.
Studi kasus ini memperoleh 182 tanggapan dari para pakar kebijakan dan
menghasilkan 900 draf pernyataan Delphi. Proses penelitian yang dikembangkan
menggunakan metode Delphi ini, sejalan dengan tujuan yang ditetapkan untuk
mengidentifikasi konvergensi, khususnya dalam menetapkan kriteria khusus untuk
memilih mitra penelitian dan respondennya. Ada empat kriteria yang dikembangkan
untuk memilih ketua tim peneliti, yaitu menunjukkan keahlian dalam pendidikan
kewarganegaraan dan / atau metodologi penelitian; visi berorientasi masa depan; minat
dalam studi; dan komitmen untuk tetap bersama dengan proyek penelitian. Selain
kriteria memilih ketua tim, ada pula empat kriteria pemilihan panelis ahli yaitu orientasi
masa depan; kepemimpinan di bidang keahlian; kepentingan sipil dan urusan publik;
dan pengetahuan tentang tren dan masalah global.

12
Kriteria umum untuk kedua mitra penelitian mengarah pada pola (sebagai tren,
karakteristik, dan strategi / pendekatan / inovasi pendidikan) di mana peneliti
berorientasi pada masa depan untuk mempelajari pemimpin yang memiliki pandangan
untuk masa depan dengan menggunakan konsep BergSchlosser (2001). Konsep ini
termasuk pendekatan 'sistem serupa, hasil serupa', yang berarti sebuah sistem/
kebijakan di suatu Negara akan berpengaruh terhadap masyarakatnya. Secara umum,
banyak perbedaan di Negara-negara Timur hingga Barat. Penelitian ini mencatat bahwa
para pemimpin di Negara-negara Timur memiliki tingkat kesepakatan dalam
pembentukan kebijakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan Negara-negara Barat
dalam penelitian ini (Karsten et al. 2000).
b. Kasus Delapan: Mempelajari Nilai Divergen Pada Studi Sigma Pemimpin di 11
Negara
Penelitian ini dilakukan oleh Cummings et al (1996) dengan sebuah proyek
penelitian yang berfokus pada masa depan pendidikan nilai di wilayah Pasifik. Studi ini
berlangsung selama tiga tahun dengan melibatkan 11 negara. Studi ini dimulai dengan
empat pertanyaan inti yaitu:
1. Mengapa nilai berubah?
2. Nilai apa yang harus menerima penekanan terbesar dalam pendidikan nilai?
3. Siapa yang harus menjadi fokus pendidikan nilai, dan
4. Bagaimana seharusnya nilai-nilai ini dikembangkan dan ditularkan?
Dalam studi kasus ini, metodologi yang dilibatkan yaitu kombinasi kasus
nasional dan survey sigma internasional. Divergensi disini didefinisikan untuk
mempelajari nilai-nilai di berbagai Negara dengan studi sigma. Metodologi untuk
menyoroti perbedaan membutuhkan pendekatan survey baru, yaitu Sigma International
Elit Survey. Pendekatan sigma yang dikembangkan dalam penelitian ini berupaya untuk
menonjolkan perbedaan atau varians. Berikut ini merupakan ciri-ciri khusus untuk
survey sigma, yaitu:
1. Pemilihan sampel yang disengaja dari setiap latar yang mewakili poin-poin penting
variasi dalam kaitannya dengan afiliasi politik / ideologis, posisi sosial, jenis
kelamin, dan lokasi regional;
2. Pengembangan pertanyaan yang mencerminkan perhatian khusus dari setiap
pengaturan;
3. Penggunaan format pertanyaan yang mengharuskan responden untuk
mengklarifikasi posisi mereka dan
13
4. Pertanyaan tindak lanjut untuk responden terpilih yang mengambil posisi luar biasa
pada tanggapan tertentu.
Dalam pendekatan divergen dikatakan bahwa tidak ada pemimpin yang sesuai
dengan berbagai Negara dalam mengatur pertimbangan. Dalam studi kasus ini, setiap
tim diharapkan memilih pemimpin yang paling mencerminkan pengaturan mereka,
dengan berpegang pada keanekaragaman. Hasil survey berdasarkan posisi sosial
menyatakan bahwa, 6 persen sampel adalah pemimpin politik, 17 persen adalah otoritas
pendidikan pusat, 5 persen adalah pemimpin agama, 11 persen dari LSM terkait
(Lembaga Swadaya Masyarakat), 17 persen adalah pemimpin intelektual, 12 persen
adalah akademisi, 18 persen adalah pemimpin sekolah setempat, 20 persen adalah
perancang kurikulum atau guru pendidikan nilai; dan 21 persen adalah wanita.
Tanggapan tersebut diperoleh dari 834 pemimpin.
Pendekatan yang digunakan untuk divergen mengikuti pendekatan 'sistem
berbeda, hasil berbeda (Berg-Schlosser, 2001). Didapatkan hasil analisis berupa
identifikasi pola variasi orientasi nilai antar negara peserta. Studi tersebut
menyimpulkan bahwa bidang nilai yang paling banyak mendapat dukungan mengenai
pemimpin adalah otonomi pribadi, nilai moral, nilai kewarganegaraan, dan demokrasi.
Bidang nilai pada dukungan tingkat kedua adalah pekerjaan, ekologi, keluarga,
perdamaian, identitas nasional, dan keragaman. Bidang nilai yang menerima prioritas
terendah adalah kesetaraan gender, kesadaran global, dan agama
c. Kasus Sembilan: Mempelajari Divergensi dalam Nilai Konvergen Pada Studi
Nilai Kewarganegaraan Asia
Penelitian ini dilakukan oleh Young dan Tae pada tahun 2013. Tujuan penelitian
ini adalah membandingkan lintas budaya dari persepsi siswa sekolah menengah bawah
tentang nilai-nilai kewarganegaraan Asia di Taiwan dan Hong Kong. Mereka
menerapkan analisis faktor eksplorasi dan konfirmatori untuk mengeksplorasi model
faktor yang paling sesuai dengan kedua masyarakat Negara tersebut. Analisis rata-rata
laten tersebut digunakan untuk membandingkan perbedaan antar-masyarakat.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa, meskipun ada konvergensi keseluruhan di
antara persepsi siswa Asia Timur sehubungan dengan penolakan terhadap praktik yang
tidak demokratis dan tidak adil serta penerimaan identitas Asia dan nilai-nilai
demokrasi, terdapat perbedaan lintas-nasional dalam tingkat persepsi terhadap beberapa
nilai kewarganegaraan. Kasus ini menggambarkan tipologi Berg-Schlosser (2001)
tentang 'sistem serupa, hasil berbeda' dalam analisis lintas kasus.
14
E. Perbandingan Nilai Berdasarkan Studi Kasus dalam Kualitatif
Steiner-Khamsi dkk. (2002: 34) menyatakan bahwa studi kasus adalah cerita yang
koheren, dibungkus dalam teori. Mereka memberi tahu kita sesuatu tentang hubungan
sebab akibat dalam sistem terbatas dan jauh lebih kontekstual daripada semua pertanyaan
terbuka dalam gabungan survei. Tidak melupakan kontekstualitas tampaknya menjadi
tantangan yang hanya dimiliki oleh peneliti komparatif kualitatif. Sedangkan menurut Yin
(2013: 18), mengungkapkan bahwa studi kasus merupakan suatu inkuiri empiris yang
menyelidiki fenomena di dalam konteks kehidupan nyata, bilamana batas-batas antara
fenomena dan konteks tak tampak dengan tegas dan dimana multisumber bukti
dimanfaatkan. Sebagai suatu inquiry studi kasus tidak harus dilakukan dalam waktu yang
lama dan tidak pula harus tergantung pada data etnografi atau observasi partisipan. Bahkan
menurut Yin seorang peneliti bisa saja melakukan studi kasus yang valid dan berkualitas
tinggi tanpa meninggalkan kepustakaan, tergantung pada topik yang akan diselidiki. Studi
kasus pada umumnya berupaya untuk menggambarkan perbedaan individual atau pada
umumnya berupaya untuk menggambarkan perbedaan individual atau varias “unik” dari
suatu permasalahan.
a. Studi Kasus Sekolah di Enam Negara
Cogan, pada tahun (2002) membandingkan pendidikan kewarganegaraan di enam
negara, yaitu New South Wales (Australia), Hong Kong, Jepang, Taiwan, Thailand, dan
American Midwest. Penelitian ini derbeda dengan studi-studi sebelumnya yang
menggunakan kombinasi pendekatan (kuantitatif dan kualitatif), namun studi ini
menggunakan pendekatan kualitatif, yang terdiri dari tinjauan sejarah, analisis
kebijakan dan dokumenter, serta studi kasus sekolah di setiap masyarakat yang
berpartisipasi. Jumlah kasus sekolah yang dipilih dua di Hong Kong dan empat di New
South Wales.
Fitur perbandingan yang dihasilkan juga berbeda dari studi yang sebelumnya,
karena tidak ada data kuantitatif yang dibandingkan, namun dalam penelitian ini ada
deskripsi dan analisis terperinci untuk setiap masyarakat yang berpartisipasi, sedangkan
untuk perbandingan keseluruhan mengambil bentuk penjajaran pernyataan, selain itu
menetapkan parameter untuk perbandingan. Tiga tabel ringkasan perbandingan
disediakan dalam laporan akhir, tentang (1) kebijakan pemerintah, (2) pengetahuan /
nilai yang dipromosikan, dan (3) nilai-nilai kewarganegaraan. Tim menyoroti istilah
dalam penelitian ini adalah 'analisis lintas kasus', yang menunjukkan jenis
perbandingan yang berbeda. Setiap masyarakat yang berpartisipasi mengidentifikasi
15
kasus sekolah untuk dibandingkan, dan tim selanjutnya membandingkan masyarakat
yang berpartisipasi sebagai unit kasus individu. Bergerak lebih jauh, mereka
mengembangkannya menjadi kasus budaya, seperti 'masyarakat Asia' dan 'masyarakat
Barat' (Morris, 2002).
Analisis lintas kasus ini mengidentifikasi nilai konvergen dan divergen. Pada sisi
konvergensi, peneliti mengidentifikasi delapan klaster nilai:
1. Pembinaan diri,
2. Nilai kekeluargaan,
3. Nilai demokrasi,
4. Pemerintahan yang adil,
5. Kehidupan ekonomi,
6. Kohesi / keberagaman sosial,
7. Kehidupan sipil dan komunitas,
8. Serta identitas nasional.
Namun penelitian tersebut mengidentifikasi lebih banyak nilai divergen daripada
konvergens, dan empat rangkaian ketegangan di semua masyarakat (Morris 2002, 174):
1. Hak-hak individu versus kepentingan komunitas;
2. Memelihara stabilitas sosial versus perubahan / rekonstruksi sosial;
3. Kohesi sosial versus keragaman sosial; dan
4. Memberikan kumpulan pengetahuan yang diterima versus memperlakukan
pengetahuan sebagai sementara dan dibangun.
b. Analisis Kasus Kualitatif Sekunder
Perbandingan lintas kasus lainnya adalah Studi Pendidikan Kewarganegaraan
IEA. Studi ini memiliki dua fase diantaranya:
1. Fase 1, Dirancang sebagai komponen kualitatif yang akan membantu pembuatan
instrumen untuk survei kuantitatif.
2. Fase 2, Tim peneliti merumuskan 18 pertanyaan yang digunakan untuk mengetahui
informasi latar belakang, dan perwakilan negara setuju untuk membatasi analisis
mereka, yang menghasilkan 24 laporan kasus kualitatif.
Untuk memahami laporan ini, dan khususnya untuk menginformasikan Fase 2,
Komite Pengarah Internasional mengundang sejumlah peneliti untuk menganalisis
kasus tersebut. Metode dan pendekatan yang berbeda dari para peneliti ini memberikan
wawasan yang signifikan untuk perbandingan kualitatif.

16
Kebanyakan penulis mengembangkan kriteria pengambilan sampel kontekstual.
Selain itu mayoritas penulis mengurangi konten dengan berfokus pada domain inti
tertentu dari pendidikan kewarganegaraan (demokrasi, identitas nasional, atau
keragaman / kohesi sosial) atau tingkat analisis (kebijakan, praktik, kurikulum, dll.).
Beberapa penulis mengembangkan kerangka kerja interpretatif berdasarkan tinjauan
literatur. Seorang penulis terlibat dalam analisis meta-level, merefleksikan proses
bagaimana data kualitatif dikumpulkan dan bagaimana proses itu berbeda dari
penelitian lain dalam penelitian kualitatif atau pendidikan komparatif (Steiner-Khamsi,
2002: 12-14).
Saat melakukan perbandingan kasus, penulis ini memiliki pandangan yang
beragam tentang apa yang merupakan kasus. Mereka memilih kasus-kasus yang mereka
anggap 'paling berbeda' satu sama lain terkait dengan sistem politik, sistem pendidikan,
atau kriteria lainnya. Para editor menemukan bahwa analisis kualitatif lintas-nasional
memberikan ruang untuk membahas temuan-temuan yang tidak terduga dan bahwa
materi studi kasus 'berbicara kembali'. Saat meninjau basis data kualitatif, tiga penulis
menemukan kerangka konseptual asli Studi Pendidikan Kewarganegaraan IEA terlalu
sempit. Berdasarkan analisis studi kasus yang mereka lakukan secara mandiri, mereka
menyarankan perluasan kerangka kerja yang mencakup aspek ekonomi dan
supranasional kewarganegaraan.
Steiner-Khamsi dkk. (2002: 34) berkomentar bahwa dalam banyak hal, peneliti
kualitatif berbagi tantangan metodologis yang sama dari analisis data lintas nasional
sebagai peneliti kuantitatif. Misalnya, keduanya perlu menangani masalah pengambilan
sampel, reduksi data, validitas, dan reliabilitas.

17
BAB III
KESIMPULAN

18
DAFTAR PUSTAKA

Ainley, John; Schulz, William & Friedman, Tim (eds.) (2013). ICCS 2009 Encyclopedia:
Approaches to Civic and Citizenship Education around the World. Amsterdam:
International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA).
Berg-Schlosser, Dirk (2001). Comparative Studies: Method and Design’, in Smelser, Neil J.
& Baltes, Paul B. (eds.), International Encyclopedia of the Social and Behavioural
Sciences. Amsterdam: Elsevier, pp.2427- 2433.
Bromley, Patricia (2009). Cosmopolitanism in Civic Education: Exploring Cross-National
Trends, 1970-2008. Current Issues in Comparative Education, Vol.12, No.1, pp.33-44.
Cheng, Kai Ming (1997). Engineering Values: Education Policies and Values Transmission’,
in Montgomery, John D. (ed.), Values in Edu-cation: Social Capital Formation in Asia
and the Pacific. Hollis, New Hampshire: Hollis Publishing Company, pp.173-184.
Cogan, John J. (2000). Citizenship Education for the 21st Century: Setting the Context’, in
Cogan, John J. & Derricott, Ray (eds.), Citizenship for the 21st Century: An
International Perspective on Education. London: Kogan Page, pp.1-22.
Cummings, William K.; Hawkins, John & Tatto, Maria T. (2001b). The Revival of Values
Education in the Pacific Basin’, in Cummings, William K.; Hawkins, John & Tatto,
Maria T. (eds.), Values Education for Dynamic Societies: Individualism or
Collectivism. CERC Studies in Comparative Education 11, Hong Kong: Comparative
Education Research Centre, The University of Hong Kong, pp.1-17.
Hahn, Carole (1998). Becoming Political: Comparative Perspectives on Citizenship
Education. New York: State University of New York Press.
Heffron, John M. (1997). Defining Values, in Montgomery, John D. (ed), Values in
Education: Sosial Capital Formation in Asia and the Pacific. Hollis, New Hampshire:
Hollis Publishing Compant, pp.3-27.
Karsten, Sjoerd; Kubow, Patricia; Matrai, Zsuzsa & Pitiyanuwat, Somwung (2000).
Challenges Facing the 21st Century: Views of Policy Makers’, in Cogan, John J. &
Derricott, Ray (eds.), Citizenship for the 21st Century: An International Perspective on
Education. London: Kogan Page, pp.109-130.
Kennedy, Kerry; Hahn, Carole & Lee, Wing On (2008). Constructing Citizenship:
Comparing the Views of Students in Australia, Hong Kong, and the United States.
Comparative Education Review, Vol.52, No.1, pp.53-91.

19
Lee, Wing On & Fouts, Jeffrey T. (eds.) (2005). Education and Social Citizenship:
Perceptions of Teachers in USA, Australia, England, Russia and China. Hong Kong:
Hong Kong University Press.
Mansur. (2001). Diskursus Pendidikan Islam. Yogyakarta: Global Pustaka Utama.
Moon, Rennie J. & Koo, Jeong-Woo (2011). Global Citizenship and Human Rights: A
Longitudinal Analysis of Social Studies and Ethics Textbooks in the Republic of Korea.
Comparative Education Review, Vol.55, No.4, pp.574-599.
Morris, Paul; Cogan, John & Liu, M.H. (2002). A Comparative Overview: Civic Education
Across the Six Societies’, in Cogan, John; Morris, Paul & Print, Murray (eds.), Civic
Education in the Asia-Pacific Region: Case Studies Across Six Societies. New York:
RoutledgeFalmer, pp. 167-189.
Nucci, Larry P. (ed.). (1989). Moral Development and Character Education: A Dialogue.
Berkeley: McCutchan Publishing Corporation.
Presno, Vincent & Presno, Carol (1980). The Value Realms: Activities for Helping Students
Develop Values. New York: Teachers College, Co-lumbia University.
Schulz, Wolfram; Ainley, John & Fraillon, Julian (eds.) (2011). ICCS 2009 Technical Report.
Amsterdam: International Association for the Evaluation of Educational Achievement
(IEA).
Steiner-Khamsi, Gita; Torney-Purta, Judith & Schwille, John (2002b). Introduction: Issues
and Insights in Cross-National Analysis of Qualitative Studies’, in Steiner-Khamsi,
Gita; Torney-Purta, Judith & Schwille, John (eds.), New Paradigms and Recurring
Paradoxes in Education for Citizenship: An International Comparison. Oxford: JAI
[Elsevier Science], pp.1-36.
Syamsul Maarif. (2007). Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Young, Cho & Tae, Kim (2013). Asian Civic Values: A Cross-Cultural Comparison of Three
East Asian Societies. The Asia-Pacific Education Researcher, Vol.22, No.1, pp.21-31.

20

Anda mungkin juga menyukai