Anda di halaman 1dari 25

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN KECELAKAAN

LALU LINTAS SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN


SAKSI KORBAN KECELAKAAN LALU LINTAS PP NO 7 TAHUN 2018

DI SUSUN OLEH:

NURHASANAH
(1803101010267)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2021/2022

1
A. DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Latar Belakang..............................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................7
A. Perlindungan Hukum bagi Korban Lalu Lintas Menurut UU No. 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan....................................................7
B. Prosedur untuk memperoleh Hak Korban Kecelakaan Lalu Lintas..............9
C. Implementasi Pemberian Ganti Rugi Terhadap Keluarga Korban
Kecelakaan Lalu Lintas......................................................................................12
D. Hal Yang Mengenai Pemberian Ganti Rugi Terhadap Korban/Keluarga
Korban Kecelakaan Lalu lintas Tidak Akan Menghapus Atau Mengurangi
Pertanggung Jawaban Pidana..............................................................................15
BAB III PENUTUP................................................................................................22
A. Kesimpulan.................................................................................................22
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................24

2
B. BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana tercantum dalam


amandemen ketiga pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam
penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa kekuasaan Indonesia dijalankan
melalui hukum yang berlaku di Indonesia. Semua aspek kehidupan sudah
diatur sehingga hal ini mampu mencegah konflik yang terjadi di antara warga
Negara.1
Penegasan ini dapat diartikan sebagai komitmen Negara bahwa dalam
segala proses pengambilan kebijakan dan pengelolaan Negara di segala aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara harus berlandaskan hukum. Sebagai
konsekuensi logis peraturan tersebut, tata kehidupan masyarakat, berbangsa dan
bernegara di Indonesia harus berpedoman pada norma-norma hukum. Dalam
perkembangannya norma itu diartikan sebagai suatu ukuran atau patokan bagi
seseorang dalam bertindak atau bertingkah laku dalam masyarakat. Jadi, inti suatu
norma adalah segala aturan yang harus dipatuhi.2
Norma hukum di Indonesia diwujudkan dalam bentuk peraturan tertulis
yaitu perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada
hakikatnya ialah pembentukan norma hukum yang berlaku keluar dan bersifat
umum dalam arti yang luas. Peraturan perundang-undangan adalah keputusan
tertulis Negara atau pemerintah yang berisi petunjuk atau pola tingkah laku yang
bersifat mengikat secara umum. Dan beberapa bentuk norma hukum yang telah
menjadi peraturan perundang- undangan tersebut adalah antara lain Kitab Undang
Undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.3

1
Amandemen ketiga Undang- Undang Dasar 1945 tahun 2001.
2
Maria Farida, 2006, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanikus:
Yogyakarta, Hal. 6.

3
Yuliandri, 2010, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang- Undangan Yang Baik,
Rajawali Pers: Jakarta, Hal. 24-25.

3
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) melindungi hak-
hak dari subjek hukum terhadap objek hukum, dalam hal ini prestasi. Subjek
hukum adalah segala sesuatu yang dapat dibebankan hak dan kewajiban atau
sesuatu yang berdasarkan hukum dapat memiliki hak dan kewajiban. Hak dan
kewajiban yang dimaksud adalah subjek hukum dapat melakukan hubungan
hukum atau dapat bertindak melakukan kewenangan hukumnya
berdasarkan ketentuan hukum yang ada.
Berdasarkan Undang- Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa setiap
warga Negara diberikan jaminan dan perlindungan untuk mendapatkan
kesejahteraan. Seperti yang disebutkan pada Pasal 28H ayat (3) Undang-
Undang Dasar 1945 yaitu:

“Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan


dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermatabat.”

Kasus kecelakaan lalu lintas, khususnya yang menyebabkan kematian masuk


dalam ranah hukum pidana dengan merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) dan proses beracaranya diatur dalam Kitab Undang- Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Apabila kecelakaan tersebut terjadi karena
kelalaian dari penggendara hingga korban meninggal dunia, maka akibat hukum
bagi pembuat, atau penyebab terjadinya kecelakaan itu dikenai Pasal 359
ayat (1) KUHP yang berbunyi: “Barang siapa karena kealpaanya
mengakibatkan matinya orang lain diancam dengan pidana penjara paling lama
lima tahun, atau kurungan paling lama satu tahun.”4
Bagi korban yang telah meninggal dunia, nyawa tidaklah dapat digantikan oleh
apapun bahkan dengan uang yang nilainya triliunan rupiah. Dalam banyak
kasus, keluarga korban akan merasakan ketersinggugan jika ranah ini dimasuki.
Bahkan ada yang langsung marah, bahkan mengacam nyawa dibayar nyawa dan

4
Luhut M.P Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, Jakarta, 2015, hal. 66

4
seterusnya. Sebab ganti rugi apapun tak bisa membangunkan orang yang sudah
meninggal, atau seketika memulihkan kedukaan.
Hal yang mengenai ganti rugi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, dimana si pembuat
(pelaku) dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material yang
ditimbulkan.5 Hal ini seperti yang dikatakan oleh Andi Hamzah dalam
berbagai macam kesalahan, dimana orang yang berbuat salah menimbulkan
kerugian pada orang lain, maka ia harus membayar ganti kerugian. Inilah yang
sering disebut dengan perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu
lintas.
Pemberian santunan kepada korban tindak pidana lalu lintas jalan ini nantinya
akan dijadikan pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusannya, sebagai
alasan yang meringankan bagi terdakwa. Jadi antara pemberian santunan bagi
korban tindak pidana lalu lintas jalan dengan pertimbangan hakim terdapat
keterkaitan.
Pembuat tindak pidana lalu lintas jalan yang memberikan santunan kepada
korbannya akan dianggap hakim bahwa pelaku telah memberikan suatu bentuk
perhatian kepada korbannya. Sebaliknya jika tidak ada pemberian santunan, maka
hakim tidak akan mempertimbangkan pembuat tindak pidana lalu lintas jalan
telah memberikan suatu bentuk perhatian kepada korbannya.
Pada akhirnya pemberian santunan kepada korban tindak pidana lalu lintas
jalan mempunyai arti yang sangat penting. Hal inilah yang ingin diteliti oleh
penulis dalam suatu penulisan hukum yang mengambil judul: “Ganti Rugi
Terhadap Keluarga Korban Kecelakaan Lalu Lintas Yang Mengakibatkan
Hilangnya Nyawa Seseorang Tanpa Menghapus Atau Mengurangi Pertanggung
Jawaban Pidana”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah implementasi pemberian ganti rugi terhadap keluarga korban
kecelakaan lalu lintas?
5
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/kecelakaan- yang-menyebabkan-korban-meninggal 20
MEI 2021

5
2. Apakah pemberian ganti rugi terhadap korban/keluarga korban kecelakaan lalu
lintas akan menghapus atau mengurangi pertanggung jawaban pidana?

6
C. BAB II
PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum bagi Korban Lalu Lintas Menurut UU No. 22 Tahun
2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
Istilah perlindungan hukum bagi korban dalam hal tindak pidana, hanya dapat
kita temui dalam perspektif Viktimologi yaitu suatu studi atau pengetahuan ilmiah
yang mempelajari masalah pengorbanan kriminal sebagai suatu masalah manusia
merupakan suatu kenyataan social.6
Studi kejahatan dengan menghubungkan faktor korban tersebut kemudian
menjadi suatu kajian atau disiplin sendiri dan dalam perkembangannya
diperkenalkan istilah victimology yang jika di Indonesia diartikan viktimologi
sebagai disiplin ilmu sendiri di samping kriminologi. Perlindungan hukum adalah
pemberian hak-hak terhadap subjek hukum yang didasarkan atas peraturan
perundang-undangan. Perlindungan hukum sangat penting artinya ketika
seseorang dan badan hukum mengalami suatu permasalahan. Pembicaraan berikut
adalah tentang perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalulintas.
Pembicaraan ini menjadi penting mengingat peristiwa kecelakaan lalu-lintas
begitu sering terjadi dibarengi dengan korban yang ditimbulkan dari luka ringan
hingga kematian.7
Crime Victim An Introduction to Victimology bahwa viktimologi melakukan
kajian Viktimisasi, hubungan antara korban dengan pelanggar, hubungan korban
dengan sistem peradilan, korban dan media, korban dan biaya kejahatan, korban
dan gerakan sosial. 8
Selanjutnya kajian viktimologi yang merupakan kajian tentang ilmu yang
mempelajari perlindungan terhadap korban, dapat dikaji dalam 9 bagian, yaitu
antara lain :
1. Viktimologi Kriminal/Penal
2. Viktimologi Politik
6
Arif Gosita, (1987), Victimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian Pihak Korban,
Akademika Presindo, Jakarta
7
Angkasa, (2013), Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas dalam
Perspektif Viktimologi, Jakarta
8
Ibid

7
3. Viktimologi Ekonomi
4. Viktimologi Pamili
5. Viktimologi Medik
6. Viktimologi Pemerintah
7. Viktimologi Keagamaan
8. Viktimologi Struktural
9. Viktimologi Sosial dan Etnik.9
Di dalam pendekataan viktimologi ada 3 perkembangan dalam mengkaji
permasalahan korban dengan segala aspek. Pertama, viktimologi mempelajari
korban kejahatan saja. Kedua, viktimologi tidak hanya mengkaji korban kejahatan
saja, tetapi juga meliputi korban perdagangan manusia. Pada fase ini disebut
sebagai General Victimology. Fase ketiga viktimologi berkembang luas lagi yaitu
mengkaji permasalahan-permasalahan korban karena penyalahgunaan kekuasaan
serta wewenang dan hak asasi manusia. Kemudian fase ini disebut New
Victimology. (Ediwarman, 2003)
Hal yang menarik perkembangan Viktimologi adalah mengembangkan kajian
dengan memfokuskan pada korban kejahatan uang terkait dengan hukum pidana.
Menurut M. S. Groenhvijsen bahwa hukum pidana ditujukan untuk melindungi
orang dan oleh sebab itu keadilan subtantif dalam penegakan hukum pidana
semestinya ditujukan kepada orang yang terlanggar haknya, sedangkan tersangka
pelanggaran hukum pidana harus diperlakukan secara adil (prosedural). Pasal 229
ayat (5) undang-undang lalu lintas menerangkan kecelakaan lalu lintas
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dapat disebabkan oleh kelalaian
Pengguna Jalan, ketidaklaikan kendaraan, serta ketidaklaikan Jalan dan/atau
lingkungan. Selanjutnya, Pasal 240 undang-undang lalu lintas juga menerangkan
hak korban atas kecelakaan lalu lintas berhak memperoleh antara lain:
1. Berhak mendapatkan pertolongan dari pihak yang bertanggung jawab
atas kecelakaan lalu lintas;

9
Ediwarman, (2003), Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus Pertanahan, Pustaka Pers,
Medan

8
2. Berhak atas ganti rugi atas terjadinya kecelakaan lalu lintas; Berhak atas
santunan peristiwa kecelakaan lalu lintas yang diberikan oleh pihak
perusahaan asuransi.
Selain itu, Pasal 241 undang-undang lalu lintas, menyebutkan bahwa setiap
korban kecelakaan berhak memperoleh bantuan pertama berupa perawatan pada
rumah sakit terdekat.

B. Prosedur untuk memperoleh Hak Korban Kecelakaan Lalu Lintas


Perlindungan pada korban kecelakaan lalu lintas harus melalui beberapa
tahapan prosedur yang diperoleh oleh korban sebagai hak, antara lain:
1. Pertolongan dan perawatan, Pasal 240 undang-undang lalu lintas
menunjukan hak korban ini biasa diperoleh korban dari pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas dan/atau
pemerintah.
2. Menghentikan kendaraan yang dikemudikannya.
3. Memberikan pertolongan kepada korban.
4. Melaporkan kecelakaan kepada Kepolisian terdekat.
5. Memberikan informasi terkait dengan kejadian kecelakaan.

a) Pemberian Ganti Rugi


Pemberian ganti rugi adalah salah satu hak korban atas kecelakaan lalu lintas
dari pihak yang bertanggung jawab akibat dari terjadinya kecelakaan. Mengenai
kewajiban dan tanggung jawab pengemudi kendaraan, pemilik, dan perusahaan
angkutan. Namun, dalam pelaksanaan ganti rugi atau bantuan tersebut tidak serta
merta menggugurkan tuntutan perkara pidana sebagaimana ketentuan pada Pasal
230 undang-undang lalu lintas.
b) Pemberian Santunan
Pemberian santunan pelaksanaannya sebagaimana ketentuan Pasal 239 ayat (2)
Undang-Undang Lalu Lintas yang telah menjelaskan bahwa pemerintah
membentuk sebuah perusahaan asuransi yang mempunyai kewenangan pada
kecelakaan lalu lintas sesuai dengan peraturan perundang-undangan yaitu

9
pemerintah mempunyai PT. Jasa Raharja yang tugas dan fungsinya ada 2 (dua)
yaitu: Memberikan santunan pada setia kejadiannya kecelakaan yang
mengakibatkan adanya korban kecelakaan lalu lintas darat, laut, udara, dan
penumpang kendaraan umum. Menghimpun dana pajak kendaraan bermotor
melalui Samsat yang mana dana itu nantinya untuk membayar santunan.
Keselamatan Bertransportasi di Indonesia merupakan salah satu tujuan dan
program yang dilaksanakan oleh PT. Jasa Raharja (Persero). Jasa Raharja selalu
berupaya untuk menciptakan rasa aman, tertib, lancar, nyaman dan selamat dalam
berkendaraan. Dengan semakin padatnya arus lalu lintas jalan raya di Indonesia,
membawa konsekwensi logis terhadap tingginya angka kecelakaan lalu lintas.
Sehingga, dengan adanya PT Jasa Raharja telah merealisasikan perlindungan
dasar kepada masyarakat melalui program asuransi sosial, antara Asuransi
Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Umum yang dilaksanakan berdasarkan
UU No. 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang serta Asuransi Tanggung Jawab.
Adapun ketentuan cara untuk memperoleh santunan, adalah sebagai berikut:
a. Menghubungi kantor Jasa Raharja terdekat.
b. Mengisi formulir pengajuan dengan melampirkan, laporan Polisi tentang
kecelakaan Lalu Lintas dari Unit Laka Satlantas Polres setempat dan atau
dari instansi berwenang lainnya.
c. Keterangan kesehatan dari dokter/RS yang merawat.
d. KTP/Identitas korban/ahli waris korban.
e. Formulir pengajuan diberikan Jasa Raharja secara cuma-Cuma.
Untuk memperoleh dana santunan caranya adalah dengan mengisi formulir
yang disediakan secara cuma-cuma oleh PT. Asuransi Kerugian Jasa Raharja
(Persero), yaitu : Formulir model K1 untuk kecelakaan ditabrak kendaraan
bermotor dapat diperoleh di Polres dan Kantor Jasa Raharja terdekat. Formulir K2
untuk kecelakaan penumpang umum dapat diperoleh di Kepolisian atau
Perumka/Syahbandar laut/Badar Udara dan Kantor Jasa Raharja terdekat.
Permohonan pengajuan dinas Jasa Raharja dengan pengisian formulir sebagai
berikut :

10
a. Keterangan identitas korban atau ahli waris diisi oleh yang mengajukan
dana santunan.
b. Keterangan kecelakaan lalu lintas diisi dan disahkan oleh Kepolisian atau
pihak yang berwenang lainnya.
c. Keterangan kesehatan/keadaan korban diisi dan disahkan rumah
sakit/dokter yang merawat korban.
Jika kecelakaan lalu lintas adanya korban hanya sekedar mengalami lukaluka
parah atau ringan, dan tidak dinyatakan meninggal maupun cacat permanen, maka
korban tersebut berhak mendapatkan santunan maksimal 10.000.000. Apabila
kecelakaan terjadi, mohon segeralah mengajukan santunan ke kantor dinas
Asuransi yaitu Jasa Raharja. Sebab, kita tidak dapat mengajukan klaim santunan
apabila pengajuan santunan tersebut dianggap telah gugur atau kadaluarsa.
Permintaan permohonan ini dianggap kadaluarsa apabila:
a. Pengajuan santunan dilakukan lebih dari 6 bulan setelah terjadinya
kecelakaan.
b. Uang santunan tidak diambil atau tidak dilakukan penagihan dalam
waktu 3 bulan setelah hak santunan disetujui oleh Jasa Raharja.
Ada faktor penghambat dalam perlindungan hukum bagi korban kecelakaan
lalu lintas, salah satunya adalah faktor desain hukum pidana. Apabila ditelusuri
hukum pidana dikaji dan perspektif viktimologi yang mengkonsentrasikan aspek-
aspek perlindungan hukum bagi korban tindak pidana belum ditemui suatu
peraturan perundang-undangan hukum pidana yang berorientasi kepada
perlindungan hukum bagi korban dan perhatian hukum pidana masih dengan
sejalan paradigma lama memperhatikan kepentingan tersangka atau terdakwa. Hal
ini dapat dilihat dalam Pasal 359 KUHP sebagai berikut :
Pasal 359 KUHP
Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,
diancam pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu
tahun.

11
Yang dapat dituntut menurut pasal ini jika dicontohkan kealpaan (culpa) kasus
pengemudi mobil di jalan kota menabrak orang yang menyebabkan matinya orang
lain misalnya pengemudi mobil dengan kecepatan tinggi di tempat yang ramai
orang, mungkin juga karena rem rusak atau sedang mabuk. (Leden Marpaung,
2012) Menurut R. Sugandhi bahwa pasal ini adanya kesamaan pada Pasal 359.
Hanya bedanya Pasal 359 berakibat matinya korban, sedangkan Pasal 360
berakibat : Luka Berat Luka yang mengakibatkan sakit sementara atau halangan
menjalankan jabatan selama waktu tertentu. (R. Soegandhi, 1989)

C. Implementasi Pemberian Ganti Rugi Terhadap Keluarga Korban


Kecelakaan Lalu Lintas
Pelanggaran terhadap ketentuan pidana tentang lalu lintas dapat
menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas yang menimbulkan kerugian.
Kecelakaan yang ditimbulkan berupa tabrakan, baik antar kendaraan bermotor
dengan pemakai jalan lainnya. Dalam kecelakaan semacam itu, pada umumnya
orang akan mempermasalahkan mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada si
pelaku yang bersalah dalam kecelakaan itu.10
Salah satu hal yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut mengatur
perihal kecelakaan. Kecelakaan Lalu Lintas dalam undang-Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan digolongkan menjadi 3,
yakni:
1. Kecelakaan lalu lintas ringan, merupakan kecelakaan yang mengakibatkan
kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
2. Kecelakaan Lalu Lintas sedang, merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan luka ringan dan kerusakan Kendaraan dan/atau barang.
3. Kecelakaan Lalu Lintas berat, merupakan kecelakaan yang
mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Secara umum mengenai kewajiban dan tanggung jawab Pengemudi, Pemilik
Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan ini diatur dalam Pasal 234

10
Marianna Sutadi, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas, Mahkamah
Agung RI, Jakarta,

12
ayat (1) Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang berbunyi
“Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan
Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau
pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi.” Namun,
ketentuan tersebut di atas tidak berlaku jika:
a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan Pengemudi;
b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau
c. disebabkan gerakan orang dan/ atau hewan walaupun telah diambil
tindakan pencegahan.
Pihak yang menyebabkan terjadinya kecelakaan lalu lintas wajib mengganti
kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.Kewajiban
mengganti kerugian ini dapat dilakukan di luar pengadilan sesama kendaraan
bermotor maupun antara jika terjadi kesepakatan damai di antara para pihak
yang terlibat.
Perlindungan hukum terhadap korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia
termuat di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan. Perlindungan hukum terhadap korban tersebut menyangkut hak-
hak yang didapatnya apabila terjadi suatu kecelakaan lalu lintas sebagaimana
tercantum dalam Pasal 240 tentang hak yang didapatkan korban kecelakaan
lalu lintas ialah:
a. pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab atas
terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas dan/atau Pemerintah;
b. ganti kerugian dari pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya
Kecelakaan Lalu Lintas; dan
c. santunan Kecelakaan Lalu Lintas dari perusahaan asuransi.
Pertolongan dan perawatan dari pihak yang bertanggung jawab ialah tindakan
insentif berupa menolong korban, membawa ke rumah sakit dan membiayai
perawatan korban selama berada dirumah sakit ataupun, baik perawatan jalan
ataupun rawat inap yang bermaksud demi kesembuhan korban akibat
kecelakaan lalu lintas tersebut.Namun demikian, tindakan pertolongan pertama

13
tersebut tidak keseluruhannya dalam bentuk pengobatan medikal di rumah
sakit.Hal ini terjadi bila ada kesepakatan spontan antara tersangka dan korban
yang lebih memilih menuju dukun patah terdekat.Kesepakatan spontan antara
pihak tersangka dan korban dalam praktiknya di lapangan dapat kita simpulkan
sebagai wujud pelaksanaan hak atas korban kecelakaan lalu lintas.
Ganti kerugian merupakan hak korban kecelakaan lalu lintas dari pihak yang
bertanggung jawab atas terjadinya kecelakaan lalu lintas. Sementara sebelumnya
dalam Pasal 234 dijelaskan bahwa:
1. Pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan
umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang
dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi.
2. Setiap pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan
angkutan umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau
perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan pengemudi.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
berlaku jika:
a. Adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar
kemampuan pengemudi;
b. Disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga, dan/atau;
c. Disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah
diambil tindakan pencegahan.
Bunyi Pasal 234 diatas menjelaskan kewajiban dan tanggung jawab yang
dibebankan kepada pihak Pengemudi, Pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau
Perusahaan Angkutan untuk memberikan biaya ganti kerugian kepada
Penumpang dan Pemilik Barang dan/ atau pihak ketiga yang mana dikarenakan
kelalaian pengemudi. Hal ini menjelaskan bahwa pihak-pihak yang disebutkan
diatas bertanggung jawab apabila terjadi kerusakan barang yang diderita baik
penumpang atau pemilik barang.Pertanggung jawaban dari pihak-pihak yang
disebutkan diatas disesuaikan kembali menurut tingkat kesalahan akibat
kelalaian tersebut.Selain beban mengganti kerugian kepada korban kecelakaan,

14
pihak-pihak tersebut juga dibebankan untuk mengganti kerusakan jalan dan
perlengkapan jalan yang disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan pengemudi.
Dalam hal-ihwal kecelakaan lalu lintas, korban berhak mendapatkan santunan
atas peristiwa tersebut.Santunan yang didapat korban kecelakaan lalu lintas
berasal dari perusahaan asuransi. Perusahaan asuransi yang memberikan santunan
kecelakaan lalu lintas adalah Jasa Raharja sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan
Penumpang dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 Jo Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 yang berhak mendapatkan santunan
kecelakaan dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang ialah :
1. Korban yang berhak atas santunan yaitu, Setiap penumpang sah dari
alat angkutan penumpang umum yang mengalami kecelakaan
diri, yang diakibatkan oleh penggunaan alat angkutan umum,
selama penumpang yang bersangkutan berada dalam angkutan
tersebut, yaitu saat naik dari tempat pemberangkatan sampai turun di
tempat tujuan;
2. Jaminan Ganda
Kendaraan bermotor Umum (bis) berada dalam kapal ferry, apabila
kapal ferry di maksud mengalami kecelakaan, kepada penumpang bis
yang menjadi korban diberikan jaminan ganda;
3. Penumpang mobil plat hitam
Bagi penumpang mobil plat hitam yang mendapat izin resmi sebagai
alat angkutan penumpang umum, seperti antara lain mobil
pariwisata , mobil sewa dan lain-lain, terjamin oleh Undang-Undang
Nomor 33 Tahun 1964 jo Peraturan Pemerintah Nomor 17
Tahun 1965.

D. Hal Yang Mengenai Pemberian Ganti Rugi Terhadap


Korban/Keluarga Korban Kecelakaan Lalu lintas Tidak Akan Menghapus
Atau Mengurangi Pertanggung Jawaban Pidana

15
Bagi korban yang telah meninggal dunia, nyawa tidaklah dapat digantikan oleh
apapun bahkan dengan uang yang nilainya triliunan rupiah. Dalam banyak
kasus dan pengalaman yang saya jumpai, keluarga korban akan merasakan
ketersinggungan jika ranah ini dimasuki, bahkan ada yang langsung marah
bahkan mengancam “nyawa dibayar nyawa” dan seterusnya, sebab ganti rugi
apapun tak bisa membangunkan orang yang telah mati atau seketika
memulihkan kedukaan.Tetapi sepakat tidak sepakat kehidupan teruslah berlanjut,
selalu ada hikmah besar dibalik kematian seseorang apalagi kematian tersebut
akibat kecelakaan yang tidak disengaja atau diinginkan pelaku atau korban
sendiri.
Untuk itu maka ganti rugi umumnya lebih banyak dikenal dalam ranah
Hukum Perdata, tetapi untuk konteks kecelakaan lalu lintas diatas maka ada
perkecualian. Hal yang mengenai ganti rugi telah diatur dalam Undang-
UndangNomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas & Angkutan Jalan, di mana
si pembuat (pelaku) dapat pula disertai tuntutan perdata atas kerugian material
yangditimbulkan.
Hal ini seperti yang pernah dinyatakan Andi Hamzah, “Dalam berbagai macam
kesalahan, di mana orang yang berbuat salah menimbulkan kerugian pada orang
lain, maka ia harus membayar ganti kerugian”.Inilah yang seringkali disebut
“perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas”.
Perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas sebetulnya bukanlah
hal baru, di mana pada masa pemerintahan Hindia Belanda telah atur dalam
Werverkeersordonnantie" (Staatsblad 1933
Nomor 86) lalu diubah dan ditambah dengan Undang-Undang No 7 Tahun 1951
tentang Perubahan & Tambahan Undang-Undang Lalu Lintas Jalan
(Wegverkeersordonnantie, Staatsblad 1933 Nomor 86).
Dalam perkembangannya diganti dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun
1965 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Raya yang menjadi Undang-
Undang pertama yang mengatur LLAJdi Indonesia setelah Indonesia Merdeka.
Seiring waktu Undang-Undang ini diganti dengan Undang-Undang Nomor
14

16
Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan kini telah berubah
menjadi Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang saya sebutkan diatas.
Apakah ganti rugi diatas otomatis menggantikan hukuman badan (penjara/
kurungan)? Dengan tegas saya menjawab tidak. Hukuman badan tetap dijalankan,
namun jika ada niatan baik dari pelaku/keluarga untuk meminta maaf,
memberikan bantuan duka dan ganti rugi maka ini tentu saja akan menjadi
pertimbangan hakim di pengadilan dalam putusannya.
Kecelakaan lalulintas pada umumnya adalah kelalaian atau ketidaksengajaan
dari pengemudi. Namun, ketika terjadi kecelakaan lalulintas yang
mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, tentunya ini menjadi konflik yang
besar didalam masyarakat.

17
Hal ini tidak terlepas dari ganti rugi terhadap korban kecelakaan lalulintas.
Pada dasarnya perlindungan bagi korban kecelakaan lalulintas telah ditetapkan
secara tegas dalam Pasal 235 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang LLAJ yang menyatakan bahwa:“Jika korban meninggal dunia akibat
kecelakaan lalu lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c,
Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan
bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya
pemakaman dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana.”
Selain dalam Undang-Undang Nomer 22 Tahun 2009 tetang Lalu Lintas
dan Angkutan Jalan, yang membahas mengenai ganti rugi tidak menghapus
pidana juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), Buku Ketiga, Bab Kedelapan Belas tentang Perdamaina.
Tepatnya pada Pasal 1853 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

menyatakan: “Tentang kepentingan-kepentingan keperdataan yang terdiri dari


suatu kejahatan atau pelanggaran, dapat diadakan perdamaian. Perdamaian ini
tidak sekali-kali menghalangi Jawatan Kejaksaan untuk menuntut perkaranya.”
Misalnya untuk kasus kecelakaan lalu lintas diatas karena kealpaan yang
menyebabkan korban meninggal dunia, maka hukuman maksimal sesuai amanat
359 ayat (1) KUHP “... paling lama lima tahun atau kurunganpaling lama satu
tahun” namun pertimbangan- pertimbangan lain bisa mengubah hukuman menjadi
dibawah lima tahun atau dibawah satu tahun bahkan hanya dikenakan wajib lapor,
hal ini tetap disesuaikan dengan fakta-fakta lapangan, berita acara pemeriksaan
(BAP) dan faktor-faktor lain seperti telah terjadi upaya damai dari pihak pelaku
tindak pidana, ganti rugi dan pihak korban dengan legowo dapat menerima
kenyataan pahit atas meninggalnya
korban.
Selain itu kasus kecelakaan yang mengakibatkan kematian diatas bukanlan
Delik Aduan tetapi Delik Kulpa. Delik Kulpa adalah perbuatan tersebut dilakukan
karena kelalaiannya, kealpaannya atau kurang hati-hatinya atau karena
salahnya seseorang yang mengakibatkan orang lain menjadi korban. Sementara
Delik Aduan yakni delik yang dapat dilakukan penuntutan delik sebagai syarat

18
penyidikan dan penuntutan apabila ada pengaduan dari pihak yang
dirugikan/korban. Contoh: pencurian keluarga Pasal 367 KUHP, delik
penghinaanPasal 310 KUHP, delik perzinahan Pasal 284 KUHP.

Dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 7 ayat (3) dan Pasal
34 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Perlindungan Saksi, pemerintah memandang perlu untuk mengganti Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi Korban. Atas pertimbangan tersebut, pada 1
Maret 2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan
Kepada Saksi Korban (tautan: PP Nomor 7 Tahun 2018). Menurut PP ini, korban
pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak memperoleh Kompensasi, yang
permohonannya diajukan oleh korban, keluarga atau kuasanya kepada pengadilan
melalui Lembaga Perindungan Saksi dan Korban (LPSK). “Pengajuan
permohonan kompensasi dapat dilakukan pada saat dilakukan penyelidikan
pelanggaran hak asasi manusia yang berat atau sebelum dibacakan tuntutan oleh
penuntut umum,” bunyi Pasal 3 PP ini. Dalam hal permohonan Kompensasi
dinyatakan lengkap, menurut PP ini, LPSK segera melakukan pemeriksaan
subtansi, dan dapat meminta keterangan dari Korban, Keluarga, atau kuasanya dan
pihak lain yang terkait. Hasil pemeriksaan subtansi sebagaimana dimaksud,
menurut PP ini, ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan
pertimbangannya, dan rekomendasi untuk mengabulkan atau menolak
permohonan kompensasi kepada Jaksa Agung. Selanjutnya, Jaksa Agung
mencantumkan permohonan kompensasi beserta keputusan dan pertimbangan
LPSK dalam tuntutannya. “Pengadilan hak asasi manusia memeriksa dan
memutus permohonan Kompensasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan,” bunyi Pasal 13 ayat (1) PP ini. Selanjutnya, Jaksa Agung
melaksanakan putusan pengadilan hak asasi manusia yang memuat pemberian

19
kompensasi dengan menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada LPSK
paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak salinan putusan pengadilan diterima.
Dan LPSK menyampaikan salinan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
kepada Korban, Keluarga atau kuasanya paling lambat 7 (tujuh) hari sejak salinan
putusan pengadilan diteriama. “LPSK melaksanakan pemberian Kompensasi
berdasarkan putusan pengadilan hak asasi manusia sebagaimana dimaksud paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal salinan putusan pengadilan
diterima LPSK,” bunyi Pasal 13 ayat (4) PP ini. Ketentuan lebih lanjut mengenai
tata cara pemberian dan pelaporan Kompensasi, menurut PP ini, diatur dengan
Peraturan LPSK. Restitusi Untuk korban tindak pidana, menurut PP ini, berhak
memperoleh Restitusi berupa: a. ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau
penghasilan; b. ganti kerugian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan
langsung dengan tindak pidana dan/atau c. penggantian biaya perawatan medis
dan/psikologis. Permohonan untuk memperoleh Restitusi sebagaimana dimaksud,
menurut PP ini, diajukan oleh Korban, Keluarga atau kuasanya kepada pengadilan
melalui LPSK. Disebutkan dalam PP ini, dalam hal pembayaran Restitusi
dilakukan oleh pihak ketiga, pelaku tindak pidana dalam memberikan keterangan
kepada LPSK wajib menghadirkan pihak ketiga tersebut. “Hasil pemeriksaan
permohonan Restitusi ditetapkan dengan keputusan LPSK, disertai dengan
pertimbangan dan rekomendasi untuk mengabulkan atau menolak permohonan
restitusi,” bunyi Pasal 26 ayat (1, 2) PP tersebut. Dalam hal permohonan Restitusi
diajukan sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap,
menurut PP ini, LPSK menyampaikan permohonan Restitusi tersebut beserta
keputusan pertimbangannya kepada penuntut umum. Selanjutnya, penuntut umum
dalam tuntutannya mencantumkan permohonan Restitusi beserta kepustusan
LPSK dan pertimbangannya. Sementara dalam hal permohonan Restitusi diajukan
setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap dan pelaku tindak
pidana dinyatakan bersalah, menurut PP ini, LPSK menyampaikan permohonan
tersebut beserta keputusan dan pertimbangannya kepada pengadilan yang
berwenang. “Pengadilan memeriksa dan memutus permohonan Restitusi sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi Pasal 30 ayat (1) PP ini.

20
Selanjutnya, penuntut umum melaksanakan putusan pengadilan yang memuat
pemberian Restitusi dengan menyampaikan salinan putusan pengadilan kepada
LPSK paling lambat 7 (tujuh) hari terhitung sejak salinan putusan pengadilan
diterima, dan LPSK menyampaikannya kepada Korban, Keluarga atau kuasanya
dan kepada pelaku tindak pidana dan/atau pihak ketiga paling lambat 7 (tujuh)
hari terhitung sejak salinan putusan pengadilan diterima. “Pelaku tindak pidana
dan/atau pihak ketiga melaksanakan putusan atau penetapan pengadilan
sebagaimana dimaksud paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal
salinan putusan atau penetapan pengadilan diterima,” bunyi Pasal 32 ayat (1) PP
ini. Pemberian Bantuan PP ini juga mengatur ketentuan pemberian Bantuan untuk
saksi dan/atau korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana
terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak
pidana kekerasan seksual, dan tindak pidana penganiayaan berat, yang
permohonan diajukan oleh Saksi dan/atau Korban, Keluarga, atau kuasanya.
Bantuan sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, berupa: a. bantuan medis; dan b.
bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis. “LPSK menentukan kelayakan,
jangka waktu, dan besaran biaya yang diperlukan dalam pemberian Bantuan
berdasarkan keterangan dokter, psikiater, rumah sait, dan/atau pusat
kesehatan/rehabilitasi,” bunyi Pasal 41 PP ini. Menurut PP ini, dalam
melaksanakan pemberian bantuan, LPSK bekerja sama dengan instansi terkait
yang berwenang. Adapun pendanaan dalam rangka pelaksanaan pemberian
Kompensasi dan Bantuan, menurut PP ini, dibebakan kepada anggaran LPSK
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Peraturan Pemerintah
ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 49 yang telah
diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 5 Maret
2018 itu.

21
D. BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hakim memandang setiap santunan yang diberikan kepada korban kecelakaan
lalu lintas jalan ini nantinya akan dipertimbangkan dalam memeriksa dan
mengadili perkara kecelakaan lalu lintas jalan tersebut sebagai hal yang
meringankan bagi terdakwa. Pemberian santunan bagi korban kecelakaan
lalu lintas jalan dipandang Hakim sebagai suatu bentuk perhatian dari pembuat
(terdakwa) kepada korbannya.Hakim mengatakan bahwa santunan hanyalah
sebagai bentuk perhatian dari pembuat kecelakaan lalu lintas jalan kepada
korbannya dan bukan sebagai wujud pertanggungjawaban pelaku.Hal ini
disebabkan bahwa pemberian santunan itu bukan sebagai sanksi atas terjadinya
kecelakaan lalu lintas jalan. Sanksi yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana hanyalah berupa sanksi pidana penjara saja.
2. Orang yang didakwa melakukan kejahatan terutama mengenai kecelakaan lalu
lintas jalan (melanggar Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP) dan diadili di
pengadilan, dengan membayar sejumlah uang maka ia akan mendapatkan
keringanan hukuman. Hal inilah yang ingin dihindari oleh Hakim agar tidak
terjadi kontroversi di dalam masyarakat. Dasar hukum pertimbangan Hakim
mengenai pemberian santunan bagi korban kecelakaan lalu lintas jalan sebagai
salah satu hal yang meringankan bagi terdakwa adalah sikap pribadi dari Hakim
itu sendiri.Tidak ada aturan Hukum yang mengatur hal tersebut. Seorang
Hakim akan senantiasa mempertimbangkan bentuk perhatian dari seorang
terdakwa maupun keluarganya yang dilakukan terhadap korban terutama korban
kecelakaan lalu lintas jalan yang mengalami luka berat bahkan sampai
meninggal dunia.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis dapat menarik simpulan bahwa
perlindungan hukum bagi korban kecelakaan lalu lintas yang diberikan oleh
undang-undang antara lain korban kecelakaan lalu lintas mempunyai hak untuk

22
mendapatkan pertolongan, perawatan, selain itu ganti rugi dari pihak yang
bertanggung jawab, dan hak atas santunan kecelakaan lalu lintas dari perusahaan
asuransi. Disarankan kepada pemerintah agar setiap kecelakaan lalu lintas tidak
hanya memfokuskan mengadili pelaku akan tetapi juga memperhatikan hak-hak
korban. Jangan korban hanya dijadikan posisi sebagai saksi dan disarankan kepada
pemerintah agar setiap prosedur dalam mendapatkan hak korban kecelakaan lalu
lintas tidak dipersulit dalam administrasi yang panjang.

23
E. DAFTAR PUSTAKA

Ali Achmad dan WiwieHeryani, Sosiologi Hukum Kajian Empiris Terhadap


Pengadilan, Kencana, Jakarta, 2012.

Angkasa, (2013), Perlindungan Hukum terhadap Korban Kecelakaan Lalu Lintas


dalam Perspektif Viktimologi, Jakarta

Arif Gosita, (1987), Victimologi dan KUHAP yang Mengatur Ganti Kerugian
Pihak Korban, Akademika Presindo, Jakarta

AtmasasmitaRomli, Masalah Santunan Korban Kejahatan. BPHN, Jakarta.

Chaerudin, dan Syarief Fadillah, Korban Kejahatan dalam Prespektif


Viktimologi, & Hukum Pidana Islam, Garhadika Press, Jakarta,
2004.

Dalam Yulia Rena, 2010, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban


Kejahatan, Graha Ilmu, Jakarta.

Dimyati Khudzaifah dan Kelik Wardino, Metode Penelitian Hukum, Buku


Pegangan Kuliah, FH UMS, Surakarta, 2004

Ediwarman, (2003), Perlindungan Hukum Bagi Korban Kasus-Kasus


Pertanahan, Pustaka Pers, Medan,

Hamzah Andi, Asas-asas Hukum Pidana, Rineke Cipta, Jakarta, 2010.

Huda Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Edisi Pertama Cetakan
Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2006

24
Leden Marpaung, (2012), Unsur-unsur yang Dapat Dihukum (Delik), Sinar
Grafika, Jakarta

Moeljanto, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.

Muladi, Hak Asasi Manusia, Politik dan Sistem Peradilan Pidana, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1997.

Pangaribuan M.P Luhut, Hukum Acara Pidana, Jakarta, 2015.

R. Soegandhi, (1989), KUHP dan Pembahasan Permasalahan dan Penerapan


KUHAP, Sinar Grafika, Jakarta.

ReksodiputroMardjono, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana (Kumpulan


Karangan, Buku Kedua), Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian
Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Soekanto Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia,


Jakarta, 1986.

Sutadi Marianna, Tanggung Jawab Perdata dalam Kecelakaan Lalu Lintas,


Mahkamah Agung RI, Jakarta, 1992.

Waluyo Bambang, Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban


Kejahatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.

25

Anda mungkin juga menyukai