Anda di halaman 1dari 4

Nama : Rahmah Dahary

NPM : 130210180025

Mata Kuliah : Zoonosis

RESUME JURNAL
“Emerging Zoonotic Disease : Should We Rethink The Human-Animal
Interface?”

Manusia sering kali terserang wabah penyakit termasuk yang disebabkan


oleh penyakit infeksi yang bersumber dari hewan, terutama satwa liar. Kenyataan
bahwa manusia berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan hewan,
sangat berperan penting terkait penularan penyakit antar spesies. Sementara itu
manusia telah hidup berdampingan dengan hewan (baik peliharaan maupun liar)
selama ribuan tahun sehingga beberapa faktor antropogenik telah mengintensifkan
interaksi hewan-manusia dalam beberapa dekade terakhir, dimana interaksi
tersebut beakibat pada adanya risiko penyebaran penyakit. Peningkatan intensitas
ini sebagian besar didorong oleh pertumbuhan populasi manusia serta adanya
upaya untuk mengentaskan kemiskinan, termasuk pertanian intensif dan
eksploitasi sumber daya alam yang berkelanjutan. Tradisi kuliner yang mencakup
konsumsi daging satwa liar atau pengobatan tradisional yang juga mendorong
perdagangan satwa liar juga dapat berkontribusi pada munculnya penyakit
menular.
Hal ini telah dibuktikan oleh pandemi COVID-19 yang sedang
berlangsung serta mengakibatkan krisis kesehatan masyarakat, sosial, dan
ekonomi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi saat ini juga
menggambarkan bahwa, terlepas dari pengalaman sebelumnya dalam mengatasi
emerging zoonotic disease seperti SARS, ebola, dan HPAI, meningkatkan sistem
pengawasan nasional dan global saja tidak cukup untuk mencegah penularan
emerging zoonotic disease yang berasal dari hewan. Oleh karena itu, penting
untuk mengevaluasi kembali sumber potensial dari patogen yang muncul pada
hubungan interface hewan-manusia guna memeriksa apakah risiko pandemi di
masa depan dapat diminimalisir. Berikut keterkaitan penting yang mendorong
kemuculan dan penyebaran penyakit zoonosis .

1. Wet Markets dan Pasar Hewan Hidup Lain


Wet market dalam hal ini mengacu pada pasar makanan segar di mana
hewan hidup dijual, baik untuk makanan maupun obat-obatan, dimana hewan
tersebut disembelih di pasar. Jenis pasar ini umum di seluruh Asia, di mana
hewan hidup seperti ikan, krustasea, unggas, berbagai mamalia, dan produk
segar lainnya seperti sayuran, dijual. Meskipun ekspansi supermarket sangat
cepat di Asia, penelitian telah menunjukkan bahwa 77% konsumen memilih
wet market sebagai sumber utama produk makanan karena dianggap lebih
segar. Dalam beberapa tahun terakhir, wet market telah distigmatisasi karena
asosiasinya dengan potensi munculnya penyakit menular.
Wet market dikenal memiliki sanitasi yang buruk, terutama dengan
keberadaan hewan hidup di dalmnya. Bersamaan dengan sulitnya menjual
makanan secara higienis di lingkungan tersebut, faktor risiko lain untuk
emerging zoonotic disease adalah keberagaman virus (yang sebagian besar
tidak terdeskripsikan) yang dapat ditemukan di beberapa ordo satwa liar,
seperti kelelawar, hewan pengerat, serta primata. Apalagi hewan liar yang
telah dipindahkan dari habitat aslinya (dan ditempatkan dalam kondisi yang
tidak mendukung kesejahteraannya) akan menderita stres berat yang
berpotensi menyebabkan imunosupresi dan berujung pada pelepasan patogen
yang mungkin mereka bawa. Meskipun telah mengalami hal tersebut saat
peristiwa wabah SARS, munculnya COVID-19 telah menunjukkan bahwa
konsumsi daging dan satwa liar yang baru disembelih merupakan aktivitas
yang mengakar, dan cukup susah untuk diubah.

2. Perburuan dan Konsumsi Satwa Liar


Di beberapa wilayah di dunia terutama di daerah tropis dimana
peternakan tidak berkembang dengan baik, perburuan dan konsumsi satwa liar
masih umum dilakukan, khususnya di Afrika. Pemanfaatan satwa liar sebagai
sumber utama protein dan / atau pendapatan melalui penjualan daging, media
hiburan dan produk perdagangan untuk obat tradisional, tradisi perburuan, dan
acara seremonial berpotensi menularkan dan menyebarkan patogen. Pemburu
serta setiap orang yang menangani hewan selama perdagangan dapat terpapar
patogen potensial yang ada dalam tubuh hewan dan cairan tubuhnya. Virus
HIV berasal dari primata non-manusia dan diduga kontak dengan primata
yang diburu berperan dalam penyebaran virus ini ke manusia . Konsumsi
daging hewan liar juga terlibat dalam munculnya penyakit virus ebola, yang
mengakibatkan wabah di Afrika Tengah selama lima decade terakhir, serta
epidemi besar di Afrika Barat pada 2013-2016 di mana lebih dari 11.300
orang meninggal dunia. Hal ini mengindikasikan adanya peran penting spesies
yang terkait erat dengan manusia dalam penyebaran penyakit zoonosis.

3. Budidaya Satwa Liar yang Intensif


Beberapa spesies mamalia seperti misalnya rusa, hewan pengerat,
musang, dan mamalia berbulu lainnya dibiakkan di bawah berbagai sistem
produksi di seluruh dunia, guna memperoleh daging dan juga pendapatan.
Kerangka hukum dan teknis terkait sistem produksi ini seringkali buruk dan
informasi yang dipublikasikan mengenai biologi, produksi dan kesehatan
spesies penangkaran non-konvensional ini langka, terutama di negara-negara
berpenghasilan rendah. Akibatnya, program pemantauan kesehatan di
peternakan satwa liar jarang dilaksanakan, meski dengan kondisi
pemeliharaan intensif serta keberagaman genetik rendah. Faktor-faktor ini
membuat spesies satwa liar yang dibudidayakan mengalami stres dan
imunosupresi, sehingga mempengaruhi munculnya penyakit pada populasi
hewan liar di penangkaran. Hal ini tergambar dari peredaran strain avian
influenza di peternakan burung unta di Afrika Selatan, terjadinya wabah rabies
berulang pada populasi Tragelaphus strepsiceros yang dibudidayakan di
Namibia, serta deteksi terbaru penyebaran SARS-CoV-2 pada perternakan
cerpelai (Neovison vison). ) di Belanda.

4. Hewan Domestik (Peternakan dan Pet Animal)


Meskipun memiliki spesies yang relative sedikit, ternak dan hewan
peliharaan memiliki interaksi dengan satwa liar dan manusia, serta memiliki
peran penting tekait penularan emerging zoonotic disease. Peternakan intensif
meningkat di seluruh dunia yang didorong oleh permintaan pasar, termasuk
urbanisasi dan perluasan populasi global yang telah mengubah cara produksi
dan pasokan makanan. Faktor antropogenik terjadi bersamaan dengan hal
tersebut, seperti perubahan dalam penggunaan lahan yang menjadi penyebab
spesies satwa liar dan domestik bertemu dan menciptakan ekologi bersama,
kemudian berujung menciptakan peluang penyebaran penyakit. Kemunculan
virus Nipah di Malaysia pada tahun 1998 adalah salah satu contohnya.
Pertanian ganda dari peternakan babi intensif dengan perkebunan mangga
menciptakan hubungan interface kelelawar-babi yang memungkinkan
penyebaran virus Nipah dari kelelawar pemakan buah kepada babi yang
berkandang di dekatnya, dimana hal ini akan meningkatkan peluang
penyebarannya ke manusia . Pencampuran spesies domestik juga dapat
menimbulkan emerging zoonotic disease, misalnya, virus avian influenza
yang menyebar pada unggas peliharaan di pasar unggas hidup.

Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa sifat antropogenik yang


berkaitan dengan peningkatan populasi manusia, globalisasi, serta perubahan
iklim, mendorong terjadinya emerging zoonotic disease. Dimana penanganannya
memerlukan strategi pemerintah yang terintegrasi secara global, peningkatan
wawasan dan juga kesadaran dimana pemangku kepentingan, konsumen, dan
peternak harus meningkatkan pengawasan terkait keberadaan patogen,
kesejahteraan hewan, dan pengurangan dampak dari lingkungan peternakan dan
budidaya satwa liar. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, tantangan
besar dalam mitigasi risiko dan pengendalian emerging zootic disease ini
berhubungan erat dengan keberlanjutan global. Karena itu sebaiknya praktik
panen dan produksi hewan yang berkelanjutan lebih berfokus pada kesehatan dan
tidak hanya produktifitas hewan saja. Hal ini tidak hanya akan mengurangi risiko
terjadinya emerging zoonotic disease, tetapi juga meningkatkan keseimbangan
lingkungan dan kesejahteraan hewan.

Anda mungkin juga menyukai