RESUME JURNAL “Emerging Zoonotic Disease : Should We Rethink The Human-Animal Interface?”
Manusia sering kali terserang wabah penyakit termasuk yang disebabkan
oleh penyakit infeksi yang bersumber dari hewan, terutama satwa liar. Kenyataan bahwa manusia berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan hewan, sangat berperan penting terkait penularan penyakit antar spesies. Sementara itu manusia telah hidup berdampingan dengan hewan (baik peliharaan maupun liar) selama ribuan tahun sehingga beberapa faktor antropogenik telah mengintensifkan interaksi hewan-manusia dalam beberapa dekade terakhir, dimana interaksi tersebut beakibat pada adanya risiko penyebaran penyakit. Peningkatan intensitas ini sebagian besar didorong oleh pertumbuhan populasi manusia serta adanya upaya untuk mengentaskan kemiskinan, termasuk pertanian intensif dan eksploitasi sumber daya alam yang berkelanjutan. Tradisi kuliner yang mencakup konsumsi daging satwa liar atau pengobatan tradisional yang juga mendorong perdagangan satwa liar juga dapat berkontribusi pada munculnya penyakit menular. Hal ini telah dibuktikan oleh pandemi COVID-19 yang sedang berlangsung serta mengakibatkan krisis kesehatan masyarakat, sosial, dan ekonomi global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pandemi saat ini juga menggambarkan bahwa, terlepas dari pengalaman sebelumnya dalam mengatasi emerging zoonotic disease seperti SARS, ebola, dan HPAI, meningkatkan sistem pengawasan nasional dan global saja tidak cukup untuk mencegah penularan emerging zoonotic disease yang berasal dari hewan. Oleh karena itu, penting untuk mengevaluasi kembali sumber potensial dari patogen yang muncul pada hubungan interface hewan-manusia guna memeriksa apakah risiko pandemi di masa depan dapat diminimalisir. Berikut keterkaitan penting yang mendorong kemuculan dan penyebaran penyakit zoonosis .
1. Wet Markets dan Pasar Hewan Hidup Lain
Wet market dalam hal ini mengacu pada pasar makanan segar di mana hewan hidup dijual, baik untuk makanan maupun obat-obatan, dimana hewan tersebut disembelih di pasar. Jenis pasar ini umum di seluruh Asia, di mana hewan hidup seperti ikan, krustasea, unggas, berbagai mamalia, dan produk segar lainnya seperti sayuran, dijual. Meskipun ekspansi supermarket sangat cepat di Asia, penelitian telah menunjukkan bahwa 77% konsumen memilih wet market sebagai sumber utama produk makanan karena dianggap lebih segar. Dalam beberapa tahun terakhir, wet market telah distigmatisasi karena asosiasinya dengan potensi munculnya penyakit menular. Wet market dikenal memiliki sanitasi yang buruk, terutama dengan keberadaan hewan hidup di dalmnya. Bersamaan dengan sulitnya menjual makanan secara higienis di lingkungan tersebut, faktor risiko lain untuk emerging zoonotic disease adalah keberagaman virus (yang sebagian besar tidak terdeskripsikan) yang dapat ditemukan di beberapa ordo satwa liar, seperti kelelawar, hewan pengerat, serta primata. Apalagi hewan liar yang telah dipindahkan dari habitat aslinya (dan ditempatkan dalam kondisi yang tidak mendukung kesejahteraannya) akan menderita stres berat yang berpotensi menyebabkan imunosupresi dan berujung pada pelepasan patogen yang mungkin mereka bawa. Meskipun telah mengalami hal tersebut saat peristiwa wabah SARS, munculnya COVID-19 telah menunjukkan bahwa konsumsi daging dan satwa liar yang baru disembelih merupakan aktivitas yang mengakar, dan cukup susah untuk diubah.
2. Perburuan dan Konsumsi Satwa Liar
Di beberapa wilayah di dunia terutama di daerah tropis dimana peternakan tidak berkembang dengan baik, perburuan dan konsumsi satwa liar masih umum dilakukan, khususnya di Afrika. Pemanfaatan satwa liar sebagai sumber utama protein dan / atau pendapatan melalui penjualan daging, media hiburan dan produk perdagangan untuk obat tradisional, tradisi perburuan, dan acara seremonial berpotensi menularkan dan menyebarkan patogen. Pemburu serta setiap orang yang menangani hewan selama perdagangan dapat terpapar patogen potensial yang ada dalam tubuh hewan dan cairan tubuhnya. Virus HIV berasal dari primata non-manusia dan diduga kontak dengan primata yang diburu berperan dalam penyebaran virus ini ke manusia . Konsumsi daging hewan liar juga terlibat dalam munculnya penyakit virus ebola, yang mengakibatkan wabah di Afrika Tengah selama lima decade terakhir, serta epidemi besar di Afrika Barat pada 2013-2016 di mana lebih dari 11.300 orang meninggal dunia. Hal ini mengindikasikan adanya peran penting spesies yang terkait erat dengan manusia dalam penyebaran penyakit zoonosis.
3. Budidaya Satwa Liar yang Intensif
Beberapa spesies mamalia seperti misalnya rusa, hewan pengerat, musang, dan mamalia berbulu lainnya dibiakkan di bawah berbagai sistem produksi di seluruh dunia, guna memperoleh daging dan juga pendapatan. Kerangka hukum dan teknis terkait sistem produksi ini seringkali buruk dan informasi yang dipublikasikan mengenai biologi, produksi dan kesehatan spesies penangkaran non-konvensional ini langka, terutama di negara-negara berpenghasilan rendah. Akibatnya, program pemantauan kesehatan di peternakan satwa liar jarang dilaksanakan, meski dengan kondisi pemeliharaan intensif serta keberagaman genetik rendah. Faktor-faktor ini membuat spesies satwa liar yang dibudidayakan mengalami stres dan imunosupresi, sehingga mempengaruhi munculnya penyakit pada populasi hewan liar di penangkaran. Hal ini tergambar dari peredaran strain avian influenza di peternakan burung unta di Afrika Selatan, terjadinya wabah rabies berulang pada populasi Tragelaphus strepsiceros yang dibudidayakan di Namibia, serta deteksi terbaru penyebaran SARS-CoV-2 pada perternakan cerpelai (Neovison vison). ) di Belanda.
4. Hewan Domestik (Peternakan dan Pet Animal)
Meskipun memiliki spesies yang relative sedikit, ternak dan hewan peliharaan memiliki interaksi dengan satwa liar dan manusia, serta memiliki peran penting tekait penularan emerging zoonotic disease. Peternakan intensif meningkat di seluruh dunia yang didorong oleh permintaan pasar, termasuk urbanisasi dan perluasan populasi global yang telah mengubah cara produksi dan pasokan makanan. Faktor antropogenik terjadi bersamaan dengan hal tersebut, seperti perubahan dalam penggunaan lahan yang menjadi penyebab spesies satwa liar dan domestik bertemu dan menciptakan ekologi bersama, kemudian berujung menciptakan peluang penyebaran penyakit. Kemunculan virus Nipah di Malaysia pada tahun 1998 adalah salah satu contohnya. Pertanian ganda dari peternakan babi intensif dengan perkebunan mangga menciptakan hubungan interface kelelawar-babi yang memungkinkan penyebaran virus Nipah dari kelelawar pemakan buah kepada babi yang berkandang di dekatnya, dimana hal ini akan meningkatkan peluang penyebarannya ke manusia . Pencampuran spesies domestik juga dapat menimbulkan emerging zoonotic disease, misalnya, virus avian influenza yang menyebar pada unggas peliharaan di pasar unggas hidup.
Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa sifat antropogenik yang
berkaitan dengan peningkatan populasi manusia, globalisasi, serta perubahan iklim, mendorong terjadinya emerging zoonotic disease. Dimana penanganannya memerlukan strategi pemerintah yang terintegrasi secara global, peningkatan wawasan dan juga kesadaran dimana pemangku kepentingan, konsumen, dan peternak harus meningkatkan pengawasan terkait keberadaan patogen, kesejahteraan hewan, dan pengurangan dampak dari lingkungan peternakan dan budidaya satwa liar. Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, tantangan besar dalam mitigasi risiko dan pengendalian emerging zootic disease ini berhubungan erat dengan keberlanjutan global. Karena itu sebaiknya praktik panen dan produksi hewan yang berkelanjutan lebih berfokus pada kesehatan dan tidak hanya produktifitas hewan saja. Hal ini tidak hanya akan mengurangi risiko terjadinya emerging zoonotic disease, tetapi juga meningkatkan keseimbangan lingkungan dan kesejahteraan hewan.