Anda di halaman 1dari 47

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA

PADA KELUARGA
DENGAN HARGA DIRI RENDAH KRONIS

Dosen Pengampu:

Devin Prihar Ninuk S. Kep. Ns., M. Kep

Disusun Oleh:

Kelompok 4

Aini Salsabila 7318001

Maratus Sholikah 7318013

Ucik Eknawati 7318017

Muhammad Nuril Hanafi 7318030

Nadhira 7318039

PRODI SARJANA ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PESANTREN TINGGI DARUL ULUM JOMBANG
2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur dan Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul “Asuhan
Keperawatan Jiwa Pada Keluarga Dengan Harga Diri Rendah Kronis” yang merupkan tugas
mata kuliah Keperawatan Keluarga Program Sarjana Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Unipdu Jombang.

Makalah ini dapat tersusun atas bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada:

1. Pujiani S. Kep. Ns., M.Kes, selaku dekan FIK unipdu Jombang.


2. Khotimah, S. Kep. Ns.,M.Kes, selaku Kaprodi S1 Keperawatan.
3. Devin Prihar Ninuk, S. Kep. Ns., M.Kep., selaku Koordinator Mata Kuliah Keperawatan
Keluarga.
4. Situ Urifah, S. Kep. Ns., M.N.S, selaku dosen pengajar Mata Kuliah Keperawtan
Keluarga
5. Seluruh pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini.

Merupakan suatu kehormatan bagi penulis apabila pembaca dapat mengkritisi tulisan serta
memberi masukan yang berharga demi perbaikan tulisan ini.

Jombang, 20 Maret 2021

Pemulis

ii
DAFTAR ISI

iii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap perubahan situasi kehidupan baik positif maupun negatif dapat
mempengaruhi keseimbangan fisik, mental, dan psikososial seperti konflik yang dialami
sehingga berdampak sangat besar terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan
meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa (Keliat, 2011). Gangguan jiwa merupakan
manifestasi dari bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga
ditemukan ketidakwajaran dan bertingkah laku. Hal ini terjadi karena menurunnya semua
fungsi kejiwaan (Muhith,2011). Menurut (Herman, 2011) gangguan jiwa adalah
terganggunya kondisi mental atau psikologi seseorang dipengaruhi dari faktor diri sendiri
dan lingkungan. Hal-hal yang dapat mempengaruhi prilaku manusia ialah keturunan dan
konstitusi, umur dan sex, keadaan badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-isitadat,
kebudayaan dan kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan
kematian orang yang dicintai, rasa permusuhan hubungan antar manusia.Gangguan jiwa
menyebabkan pasien tidak sanggup menilai dengan baik kenyataan, tidak dapat lagi
menguasai diri untuk mencegah mengganggu orang lain atau merusak/menyakiti diri
sendiri untuk itu perlu dilakukan asuhan keperawatan jiwa.
Fenomena gangguan jiwa pada saat ini mengalami peningkatan yang sangat
signifikan, dan setiap tahun di berbagai belahan dunia jumlah penderita gangguan jiwa
bertambah. Penelitian World Health Organization (WHO) atau Badan Kesehatan Dunia
2014 menunjukkan tidak kurang dari 450 juta penderita mengalami gangguan mental,
sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini, 25% diperkirakan akan
mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu. Gangguan jiwa yang mencapai 13%,
kemungkinan akan berkembang 25% pada tahun 2030. Menurut WHO gangguan jiwa
ditemukan sebanyak 450 juta orang di dunia terdiri dari 150 juta depresi, 90 juta
gangguan penggunaan zat dan alcohol 38 juta epilepsi, 25 juta skizofrenia, serta hampir 1
juta melakukan bunuh diri di setiap tahun, dan hampir ¾ beban global penyakit
neuropsikiatrik didapati berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah.
Jumlah pasien gangguan jiwa di Indonesia saat ini menurut Riskesdas (2013)
adalah 236 juta orang dengan kategori gangguan jiwa ringan 6% dari populasi dan 0,17%

1
menderita gangguan jiwa berat, 14,3% diantaranya mengalami pasung. Tercatat sebanyak
6% penduduk berusia 15,24 tahun mengalami gangguan jiwa. Dari 34 provinsi di
Indonesia, Sumatera Barat merupakan peringkat ke 9 dengan jumlah gangguan jiwa
sebanyak 50.608 jiwa dan prevalensi masalah skizofrenia pada urutan ke-2 sebanyak 1.9
permil. Peningkatan gangguan jiwa yang terjadi saat ini akan menimbulkan masalah baru
yang disebabkan ketidakmampuan dan gejala-gejala yang ditimbulkan oleh pasien.
Gangguan jiwa yang menjadi masalah utama di negara-negara berkembang adalah
skizofrenia. Skizofrenia adalah suatu penyakit yang mempengaruhi otak dan
menyebabkan timbulnya pikiran, persepsi, emosi, gerakan dan prilaku yang aneh dan
terganggu. Skizofrenia terbentuk secara bertahap dan klien tidak menyadari ada sesuatu
yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang
perlahan-lahan ini yang akhinya menjadi skizofrenia akut. Periode skizofrenia akut
adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi penyesatan pikiran (delusi), dan
kegagalan berpikir, dan harga diri rendah (Yosep,2011).
Harga diri rendah adalah suatu perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilangnya
kepercayaan diri, gagal mencapai tujuan yang diekspresikan secara langsung maupun
tidak langsung. Harga diri rendah merupakan semua pikiran, keyakinan, dan kepercayaan
tentang dirinya dan mempengaruhi orang lain. Harga diri tidak terbentuk dari lahir, tetapi
dipelajari dari pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat,
dan dengan lingkungan (Stuart, 2013).
Pasien dengan harga diri rendah beresiko muncul masalah gangguan jiwa lain
apabila tidak segera diberikan terapi dengan benar, karena pasien dengan harga diri
rendah cenderung mengurung diri dan menyendiri, kebiasaan itulah yang memicu
munculnya masalah isolasi sosial. Isolasi sosial menyebabkan pasien tidak dapat
memusatkan perhatian yang menyebabkan suara atau bisikan muncul sehingga
menimbulkan masalah halusinasi, masalah lain yang kemudian terjadi adalah resiko
perilaku kekerasan, rasa tidak terima tentang suatu hal karena merasa direndahkan
seseorang maupun suara bisikan yang menghasut untuk melakukan tindakan merusak
lingkungan dan menciderai orang lain (Direja, 2011).
Peran perawat untuk mengatasi masalah klien dengan harga diri rendah adalah
mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih dimiliki klien, membantu

2
klien menilai kemampuan yang masih dapat digunakan, membantu klien untuk
memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih dan melatih kemampuan yang dipilih
klien serta membantu pasien menyusun jadwal pelaksanaan kemampuan yang dilatih
(Prabowo, 2014) . Keluarga sebagai sistem pendukung utama juga memiliki peran
penting dalam membantu pasien meningkatkan harga dirinya (Dermawan, 2013).
Tindakan dan peran keluarga yang dapat dilakukan untuk membantu menyelesaikan
masalah klien menurut Yosep (2014) diantaranya mendorong pasien untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya, memberi kegiatan sesuai kemampuan pasien,
menetapkan tujuan yang nyata, membantu klien mengungkapkan beberapa rencana
mengungkapkan masalah, dan membantu klien mengungkapkan upaya yang bisa
digunakan dalam menghadapi masalah.
B. Rumusan Masalah
Apakah asuhan keperawatan pada keluarga dengan harga diri rendah kronis ?
C. Tujuan
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada keluarga dengan harga diri rendah kronis.

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Dasar Harga Diri Rendah Kronis
1. Pengertian Harga Diri Rendah Kronis
Harga diri rendah merupakan perasaan tidak berharga, tidak berharga,
tidak berarti, rendah diri, yang menjadikan evaluasi negatif terhadap diri sendiri
dan kemampuan diri (Keliat, 2011). Harga diri rendah merupakan evaluasi diri
dan perasaan tentang diri atau kemampuan diri yang negatif terhadap diri sendiri,
hilangnya percaya diri dan harga diri, merasa gagal dalam mencapai keinginan
(Direja, 2011). Harga diri rendah merupakan keadaan dimana individu mengalami
evaluasi diri negatif tentang kemampuan dirinya (Fitria, 2012). Sehingga dapat
diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu mengalami
gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang dimiliki,
yang menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang
berlangsung dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai
keinginan.
2. Rentang Respon Harga Diri Rendah Kronis
Adapun tentang respon konsep diri dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Respon Adaptif Respon maladaptif

Aktualisasi Konsep Diri Harga Diri Keracunan depersonalisasi


Diri positif Rendah Identitas
Gambar 2.1 Rentang respon Konsep Diri menurut (Stuart, 2007)
Respon adaptif terhadap konsep diri meliputi:
a) Aktualisasi diri
Pernyataan diri tentang konsep diri yang positif dengan latar belakang
pengalaman nyata yang sukses dan dapat diterima individu dapat
mengapresiasikan kemampuan yang dimilikinya
b) Konsep diri positif

4
Apabila individu mempunyai pengalaman positif dalam beraktualisasi diri
dan menyadari hal-hal positif maupun yang negatif dari dirinya. Individu
dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahannya secara jujur dalam
menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan realistis.
Sedangkan respon maladaptif dari konsep diri meliputi:
a) Harga diri rendah adalah individu cenderung untuk menilai dirinya
negative dan merasa lebih rendah dari orang lain.
b) Kekacauan identitas
Suatu kegagalan individu mengintegrasikan berbagai identifikasi masa
kanak-kanak kendala kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.
c) Depersonalisasi
Perasaan yang tidak realitas dan asing terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan
sdirinya dengan orang lain.
3. Faktor Predisposisi Harga Diri Rendah Kronis
Berbagai faktor menunjang terjadinya perubahan dalam konsep diri
seseorang. Menurut Kemenkes RI (2012) faktor predisposisi ini dapat dibagi
sebagai berikut:
a) Faktor Biologis
Pengaruh faktor biologis meliputi adanya faktor herediter anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa, riwayat penyaakit atau trauma
kepala.
b) Faktor psikologis
Pada pasien yang mengalami harga diri rendah, dapat ditemukan adanya
pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, seperti penolakan dan
harapan orang tua yang tidak realisitis, kegagalan berulang, kurang
mempunyai tanggung jawab personal, ketergantungan pada orang lain,
penilaian negatif pasien terhadap gambaran diri, krisis identitas, peran
yang terganggu, ideal diri yang tidak realisitis, dan pengaruh penilaian
internal individu.
c) Faktor sosial budaya

5
Pengaruh sosial budaya meliputi penilaian negatif dari lingkungan
terhadap pasien yang mempengaruhi penilaian pasien, sosial ekonomi
rendah, riwayat penolakan lingkungan pada tahap tumbuh kembang anak,
dan tingkat pendidikan rendah.
4. Faktor Presipitasi Harga Diri Rendah Kronis
Faktor presipitasi terjadinya harga diri rendah biasanya adalah kehilangan bagian
tubuh, perubahan penampilan/bentuk tubuh, kegagalan atau produktifitas yang
menurun. Secara umum gangguan konsep diri harga diri rendah ini dapat terjadi
secara situasional atau kronik. Secara situsional misalnya karena trauma yang
muncul tiba-tiba, sedangkan yang kronik biasanya dirasakan klien sebelum sakit
atau sebelum dirawat klien sudah memiliki pikiran negatif dan memingkat saat
dirawat (yosep, 2009)
Menurut Kemenkes RI (2012) faktor presipitasi harga diri rendah antara lain:
a) Trauma: penganiayaan seksual dan psikologis atau menyaksikan peristiwa
yang mengancam kehidupan
b) Ketegangan peran: berhubungan dengan peran atau posisi yang diharapkan
dan individu mengalaminya sebagai frustasi
1) Transisi peran perkembangan: perubahan normatif yang berkaitan
dengan pertumbuhan
2) Transisi peran situasi: terjadi dengan bertambah atau berkurangnya
anggota keluarga melalui kelahiran atau kematian
3) Transisi peran sehat-sakit: sebagai akibat pergeseran dari keadaan
sehat dan keadaan sakit. Transisi ini dapat dicetuskan oleh
kehilangan bagian tubuh; perubahan ukuran, bentuk, penampilan
atau fungsi tubuh; perubahan fisik yang berhubungan dengan
tumbuh kembang normal; prosedur medis dan keperawatan.
5. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah Kronis
Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak terselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena
individu tidak pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang prilaku klien
sebelumnya bahkan kecendrungan lingkungan yang selalu memberi respon

6
negatif mendorong individu menjadi harga diri rendah. Harga diri rendah kronis
terjadi disebabkan banyak faktor. Awalnya individu berada pada suatu situasi
yang penuh dengan stressor (krisis), individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi
tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah
kondisi harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan
positif atau justru menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan
mengakibatkan individu mengalami harga diri rendah kronis. Psikodinamika
terjadinya Harga Diri Rendah dapat dijelaskan pada gambar 2.2 berikut ini:

Faktor Predisposisi Faktor Presipitasi

Faktor psikologis: Faktor sosial budaya:


1. Penolakan dan 1. Penilaian negatif
Faktor biologis : harapan dari lingkungan
1. Faktor herediter orang tua yang tidak 2. Sosial ekonomi
2. Riwayat penyakit realisitis rendah
/ trauma kepala 2. Kegagalan yang 3. Tekanan dari
berulang kelompok teman
3. Kurang mempunyai sebaya
tanggung jawab 4. Perubahan struktur
personal sosial
4. Ketergantungan
pada orang lain

1. Trauma : penganiayaan seksual dan


psikologis, menyaksikan kejadian yang
mengancam kehidupan
2. Ketegangan peran: transisi peran
perkembangan, transisi peran situasi,
transisi peran sehat-sakit

7
Koping individu tidak efektif

Harga Diri Rendah

Menarik diri : Isolasi sosial Defisit perawatan diri

Halusinasi

Resiko perilaku kekerasan Resiko Menciderai Diri

Gambar 2.2 Proses Terjadinya Harga Diri Rendah (Stuart, 2013)

6. Tanda dan Gejala Harga Diri Rendah Kronis


Tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai dari ungkapan pasien yang
menunjukkan penilaian tentang dirinya dan didukung dengan data hasil
wawancara dan observasi (Kemenkes, RI)
a) Data subjektif
Pasien mengungkapkan tentang:
1) Hal negatif diri sendiri atau orang lain
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimis
4) Penolakan terhadap kemampuan diri
b) Data objektif
1) Penurunan produktifitas
2) Tidak berani menatap lawan bicara
3) Lebih banyak menundukkan kepala saat berinteraksi
4) Bicara lambat dengan nada suara rendah
Manifestasi yang bisa muncul pada klien gangguan jiwa dengan harga
diri rendah menurut Fitria (2009) adalah:

8
1) Mengkritik diri sendiri
2) Perasaan tidak mampu
3) Pandangan hidup yang pesimistis
4) Tidak menerima pujian
5) Penurunan produktivitas
6) Penolakan terhadap kemampuan diri
7) Kurang memperhatikan perawatan diri
8) Berpakaian tidak rapi
9) selera makan kurang
10) Tidak berani menatap lawan bicara
11) Lebih banyak menunduk
12) Bicara lambat dengan nada suara lemah
7. Mekanisme Koping Harga Diri Rendah Kronis
Mekanisme koping pasien harga diri rendah menurut Ridhyalla Afnuhazi (2015)
adalah:
a) Jangka pendek
1) Kegiatan yang dilakukan untuk lari sementara dari krisis:
pemakaian obat-obatan, kerja keras, nonton TV terus menerus.
2) Kegiatan mengganti identitas sementara (ikut kelompok sosial,
keagaman, politik).
3) Kegiatan yang memberi dukungan sementara (kompetisi olahraga
kontes popularitas).
4) Kegiatan mencoba menghilangkan identitas sementara
(penyalahgunaan obat).
b) Jangka panjang
1) Menutup identitas
2) Identitas negatif: asumsi yang bertentangan dengan nilai dan
harapan masyarakat.
8. Penatalaksanaan Keperawatan Harga Diri Rendah Kronis
Strategi pelaksanaan tindakan dan komunikasi (SP/SK) merupakan suatu
metode bimbingan dalam melaksanakan tindakan keperawatan yang berdasarkan

9
kebutuhan pasien dan mengacu pada standar dengan mengimplementasikan
komunikasi yang efektif. Penatalaksanaan harga diri rendah tindakan keperawatan
pada pasien menurut Suhron (2017) diantaranya:
a) Tujuan keperawatan: pasien mampu:
1) Membina hubungan saling percaya
2) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
3) Menilai kemampuan yang dapat digunakan
4) Menetapkan atau memilih kegiatan yang telah dipilih sesuai
kemampuan
5) Merencanakan kegiatan yang telah dilatih
b) Tindakan keperawatan
1) Membina hubungan saling percaya dengan cara:
 Ucapkan setiap kali berinteraksi dengan pasien
 Perkenalkan diri dengan pasien
 Tanyakan perasaan dan keluhan saat ini
 Buat kontrak asuhan
 Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi
 Tunjukkan sikap empati terhadap klien
 Penuhi kebutuhan dasar pasien bila memungkinkan
2) Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang masih
dimiliki pasien:
 Identifikasi kemampuan melakukan kegiatan dan aspek
positif pasien (buat daftar kegiatan)
 Beri pujian yang realistik dan hindarkan memberikan
penilaian yang negatif setiap kali bertemu dengan pasien
3) Membantu pasien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan
 Bantu pasien menilai kegiatan yang dapat dilakukan saat ini
(pilih dari daftar kegiatan): buat daftar kegiatan yang dapat
dilakukan saat ini

10
 Bantu pasien menyebutkan dan memberi penguatan
terhadap kemampuan diri yang diungkapkan pasien
4) Membantu pasien dapat memilih/menetapkan kegiatan berdasarkan
kegiatan yang dilakukan
 Diskusikan kegiatan yang dipilih untuk dilatih saat
pertemuan.
 Bantu pasien memberikan alasan terhadap pilihan yang dia
tetapkan.
5) Melatih kegiatan yang telah dipilih sesuai kemampuan
 Latih kegiatan yang dipilih (alat atau cara melakukannnya).
 Bantu pasien memasukkan pada jadwal kegiatan untuk
latihan dua kali perhari.
 Berikan dukungan dan pujian yang nyata setiap kemajuan
yang diperlihatkan pasien.
 Bantu pasien dapat merencanakan kegiatan sesuai
kemampuannya menyusun rencana kegiatan.
 Beri kesempatan klien untuk mencoba kegiatan yang telah
dilatihkan.
 Beri pujian atas kegiatan yang dapat dilakukan pasien
setiap hari
 Tingkatkan kegiatan sesuai dengan tingkat toleransi dan
perubahan setiap aktivitas.
 Susun daftar aktivitas yang sudah dilatihkan bersama
pasien dan keluarga.
 Beri kesempatan klien untuk mengungkapkan perasaannya
setelah pelaksanaan kegiatan
B. Asuhan Keperawatan Jiwa Harga Diri Rendah Kronis
1. Pengkajian keperawatan
Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan.
Pengumpulan data yang akurat dan sistematis akan membantu penentuan status
kesehatan dan pola pertahanan klien, mengidentifikasi kekuatan dan kebutuhan

11
klien, serta merumuskan diagnosa keperawatan. Pengkajian adalah pemikiran
dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi
atau data tentang klien agar dapat mengidentifikasi, mengenal masalah-masalah,
kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien baik mental, sosial, dan lingkungan
(Keliat, 2011) Menurut Prabowo (2014) isi dari pengkajian tersebut adalah:
a) Identitas pasien
Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama,
pekerjaan, status marital, suku/bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang
rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal pengkajian, diagnosa medis,
dan identitas penanggung jawab.
b) Keluhan utama/alasan masuk
Biasanya pasien datang ke rumah sakit jiwa atau puskesmas dengan alas
an masuk pasien sering menyendiri, tidak berani menatap lawan bicara,
sering menunduk dan nada suara rendah.
c) Tipe Keluarga
Menjelaskan mengenai tipe keluarga beserta kendala mengenai jenis tipe
keluarga atau masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tradisional
dan nontradisional.
d) Suku Bangsa
Membahas tentang suku bangsa keluarga serta mengidentifikasi budaya
suku bangsa tersebut kaitannya dengan kesehatan.
e) Agama
Menjelaskan tentang agama yang dianut oleh masing-masing keluarga,
perbedaan kepercayaan yang dianut serta kepercayaan yang dapat
memengaruhi kesehatan
f) Status Sosial dan Ekonomi
Status sosial ekonomi keluarga ditentukan oleh pendapatan baik dari
kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu status social
ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang
dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh
keluarga.

12
g) Aktivitas Rekreasi Keluarga
Rekreasi keluarga tidak hanya dilihat dari kapan saja keluarga pergi
bersama-sama untuk mengunjungi tempat rekreasi tertentu, namun dengan
menonton televisi dan mendengarkan radio juga merupakan aktivitas
rekreasi
h) Riwayat keluarga dan Tahap Perkembangan
1) Tahap perkembangan keluarga saat ini
Dari beberapa tahap perkembangan keluarga, identifikasi tahap
perkembangan keluarga saat ini. Tahap perkembangan keluarga
ditentukan oleh anak tertua dari keluarga inti.
2) Tahap Perkembangan keluarga yang belum tercapai
Identifikasi tahap perkembangan keluarga yang sudah terpenuhi
dan yang belum terpenuhi. Pengkajian ini juga menjelaskan
kendala – kendala yang membuat tugas perkembangan keluarga
tersebut belum terpenuhi.
3) Riwayat keluarga inti
Pengkajian dilakukan mengenai riwayat kesehatan keluarga inti,
meliputi riwayat penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing –
masing anggota keluarga meliputi penyakit yang pernah diderita
oleh keluarga, terutama gangguan jiwa.
4) Riwayat keluarga sebelumnya
Pengkajian mengenai riwayat kesehatan orang tua dari suami dan
istri, serta penyakit keturunan dari nenek dan kakek mereka. Berisi
tentang penyakit yang pernah diderita oleh keluarga klien, baik
berhubungan dengan panyakit yang diderita oleh klien, maupun
penyakit keturunan dan menular lainnya.
i) Data Lingkungan
1) Karakteristik rumaah
Karakteristik rumah diidentifikasi dengan melihat luas rumah, tipe
rumah, jumlah ruangan, jumlah jendela, jarak septic tank dengan

13
sumber air, sumber air minum yang digunakan serta dilengkapi
dengan denah rumah.
2) Karakteristik tetangga dan komunitas RW
Identifikasi mengenai karakteristik dari tetangga dan komunitas
setempat meliputi kebiasaan, lingkungan fisik, aturan atau
kesepakatan penduduk setempat serta budaya setempat yang
memengaruhi kesehatan.
3) Mobilitas geografis keluarga
Mobilitas geografis keluarga dapat diketahui melalui kebiasaan
keluarga berpindah tempat.
4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Identifikasi mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk
berkumpul serta perkumpulan keluarga yang ada dan sejauh mana
interaksi keluarga dengan masyarakat
j) Struktur Keluarga
1) Sistem pendukung keluarga
Hal yang perlu dalam identifikasi sistem pendukung keluarga
adalah jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas – fasilitas
yang dimiliki keluarga untuk menunjang kesehatan mencangkup
fasilitas fisik, fasilitas psikologis atau dukungan dari anggota
keluarga dan fasilitas sosial atau dukungan dari masyarakat
setempat.
2) Pola komunikasi keluarga
Identifikasi cara berkomunikasi antar anggota keluarga, respon
anggota keluarga dalam komunikasi, peran anggota keluarga, pola
komunikasi yang digunakan, dan kemungkinan terjadinya
komunikasi disfungsional.
3) Struktur kekuatan keluarga
Mengenai kemampuan anggota keluarga mengendalikan dan
mempengaruhi orang lain untuk mengubah prilaku.
4) Struktur peran

14
Mengetahui peran masing – masing anggota keluarga baik secara
formal maupun informal
5) Nilai dan norma keluarga
Mengetahui nilai dan norma yang dianut oleh keluarga yang
berkaitan dengan kesehatannya.
k) Fungsi Keluarga
1) Fungsi afektif
Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga,
perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga
terhadap anggota keluarga lainnya, bagaiman kehangatan tercipta
pada anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan
sikap saling menghargai.
2) Fungsi sosialisasi
Kaji mengenai interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh
mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta
prilaku.
3) Fungsi perawatan kesehatan
Mengetahui sejauh mana keluarga menyediakan makanan, pakaian,
perlingdungan, serta perawatan anggota keluarga yang sakit.
Kesanggupan anggota keluarga dalam melaksanakan perawatan
kesehatan dilihat dari kemampuan keluarga dalam melaksanakan
lima tugas kesehatan keluarga, yaitu (a) Mengenal masalah
kesehatan; (b) Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan;
(c) melakukan perawatan terhadap anggota yang sakit; (d)
Menciptakan lingkungan yang dapat meningkatkan kesehatan; (e)
Mampu memanfaatkan fasilitas kesehatan yang terdapat di
lingkungan tempat tinggal.
4) Fungsi reproduksi
Fungsi Reproduksi perlu dikaji mengenai jumlah anak, rencana
mengenai jumlah anggota keluarga, dan upaya mengendalikan
jumah anggota keluarga.

15
5) Fungsi ekonomi
Hal yang perlu dikaji mengenai fungsi ekonomi keluarga adalah
sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan
papan, sejauh mana keluarga memanfaatkan sumberdaya
dimasyarakat untuk meningkatkan status kesehatannya
l) Faktor predisposisi
1) Riwayat gangguan jiwa
Biasanya pasien dengan harga diri rendah memiliki riwayat
gangguan jiwa dan pernah dirawat sebelumnya.
2) Pengobatan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah pernah memiliki riwayat
gangguan jiwa sebelumnya, namun pengobatan klien belum
berhasil.
3) Aniaya
Biasanya pasiendengan harga diri rendah pernah melakukan,
mengalami, menyaksikan penganiayaan fisik, seksual, penolakan
dari lingkungan, kekerasan dalam keluarga, dan tindakan kriminal.
4) Anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa
Biasanya ada keluarga yang mengalami gangguan jiwa yang sama
dengan pasien.
5) Pengalaman masa lalu yang kurang menyenangkan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah mempunyai pengalaman
yang kurang menyenangkan pada masa lalu seperti kehilangan
orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan serta tidak tercapainya
ideal diri merupakan stressor psikologik bagi klien yang dapat
menyebabkan gangguan jiwa.
m) Pengkajian fisik
Tanda tanda vital:
Biasanya tekanan darah dan nadi pasien dengan harga diri rendah
meningkat.
n) Pengkajian psikososial

16
1) Genogram
Biasanya menggambarkan garis keturunan keluarga pasien, apakah
ada keluarga pasien yang mengalami gangguan jiwa seperti yang
dialami pasien.
2) Konsep diri
 Gambaran diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah akan
mengatakan tidak ada keluhan apapun
 Identitas diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah merasa tidak
berdaya dan rendah diri sehingga tidak mempunyai status
yang di banggakan atau diharapkan di keluarga maupun di
masyarakat.
 Peran
Biasanya pasien mengalami penurunan produktifitas,
ketegangan peran dan merasa tidak mampu dalam
melaksanakan tugas
 Ideal diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah ingin
diperlakukan dengan baik oleh keluarga maupun
masyarakat, sehingga pasien merasa dapat menjalankan
perannya di keluarga maupun dimasyarakat.
 Harga diri
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kronis selalu
mengungkapkan hal negatif tentang dirinya dan orang lain,
perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis
serta penolakan terhadap kemampuan diri. Hal ini
menyebabkan pasien dengan harga diri rendah memiliki
hubungan yang kurang baik dengan orang lain sehingga
pasien merasa dikucilkan di lingkungan sekitarnya.
3) Hubungan sosial

17
 Pasien tidak mempunyai orang yang berarti untuk
mengadu atau meminta dukungan
 Pasien merasa berada di lingkungan yang mengancam
 Keluarga kurang memberikan penghargaan kepada klien
 Pasien sulit berinteraksi karena berprilaku kejam dan
mengeksploitasi orang lain.
4) Spiritual
 Falsafah hidup
Biasanya pasien merasa perjalanan hidupnya penuh dengan
ancaman, tujuan hidup biasanya jelas, kepercayaannya
terhadap sakit serta dengan penyembuhannya
 Konsep kebutuhan dan praktek keagamaan
Pasien mengakui adanya tuhan, putus asa karena tuhan
tidakmemberikan sesuatu yang diharapkan dan tidak mau
menjalankan kegiatan keagamaan.
o) Status mental
1) Penampilan
Biasanya pasien dengan harga diri rendah penampilannya tidak
rapi, tidak sesuai karena klien kurang minta untuk melakukan
perawatan diri. Kemuduran dalam tingkat kebersihan dan kerapian
dapat merupakan tanda adanya depresi atau skizoprenia.
2) Pembicaraan
Biasanya pasien berbicara dengan frekuensi lambat, tertahan,
volume suara rendah, sedikit bicara, inkoheren, dan bloking.
3) Aktivitas motoric
Biasanya aktivitas motorik pasien tegang, lambat, gelisah, dan
terjadi penurunan aktivitas interaksi.
4) Alam perasaan
Pasien biasanya merasa tidak mampu dan pandangan hidup yang
pesimis.
5) Afek

18
Afek pasien biasanya tumpul yaitu klien tidak mampu berespon
bila ada stimulus emosi yang bereaksi.
6) Interakasi selama wawancara
Biasanya pasien dengan harga diri rendah kurang kooperatif dan
mudah tersinggung.
7) Persepsi
Biasanya pasien mengalami halusinasi dengar/lihat yang
mengancam atau memberi perintah.
8) Proses piker
Biasanya pasien dengan harga diri rendah terjadi pengulangan
pembicaraan (perseverasi) disebabkan karena pasien kurang
kooperatif dan bicara lambat sehingga sulit dipahami.
9) Isi piker
Biasanya pasien merasa bersalah dan khawatir, menghukum atau
menolak diri sendiri, mengejek dan mengkritik diri sendiri.
10) Tingkat kesadaran
Biasanya tingkat kesadaran pasien stupor (gangguan motoric
seperti ketakutan, gerakan yang diulang-ulang, anggota tubuh klien
dalam sikap canggung yang dipertahankan dalam waktu lama
tetapi klien menyadari semua yang terjadi di lingkungannya).
11) Memori
Biasanya pasien dengan harga diri rendah umumnya tidak terdapat
gangguan pada memorinya, baik memori jangka pendek ataupun
memori jangka panjang.
12) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Biasanya tingkat konsentrasi terganggu dan mudah beralih atau
tidak mampu mempertahankan konsentrasi dalam waktu lama,
karena merasa cemas. Dan biasanya tidak mengalami gangguan
dalam berhitung.
13) Kemampuan menilai

19
Biasanya gangguan kemampuan penilaian ringan (dapat
mengambil keputusan yang sederhana dengan bantuan orang lain,
contohnya: berikan kesempatan pada pasien untuk memilih mandi
dahulu sebelum makan atau makan dahulu sebelum mandi, setelah
diberikan penjelasan pasien masih tidak mampu mengambil
keputusan) jelaskan sesuai data yang terkait. Masalah keperawatan
sesuai dengan data.
14) Daya tilik diri
Biasanya pasien tidak menyadari gejala penyakit (perubahan fisik
dan emosi) pada dirinya dan merasa tidak perlu meminta
pertolongan/pasien menyangkal keadaan penyakitnya, pasien tidak
mau bercerita penyakitnya.
15) Kebutuhan persiapan pulang
 Makan
Biasanya pasien makan 3 kali sehari dengan lauk pauk dan
Sayuran
 Buang air besar dan buang air kecil
Biasanya pasien BAB dan Bak secara mandiri dengan
menggunakan toilet. Klien jarang membersihkannya
kembali
 Mandi
Biasanya pasien mandi 2 kali sehari, memakai sabun,
menyikat gigi dan pasien selalu mencuci rambutnya setiap
2 hari 1 kali. Klien menggunting kuku setiap kuku pasien
dirasakan panjang.
 Berpakaian
Biasanya pasien dapat mengenakan pakaian yang telah
disediakan, klien mengambil, memilih dan mengenakan
secara mandiri.
 Istirahat dan tidur

20
Biasanya pasien tidur siang setelah makan siang lebih
kurang 2 jam, dan pada malam hari pasien tidur lebih
kurang 7-8 jam. Terkadang pasien terbangun dimalam hari
karena halusinasinya muncul.
 Penggunaan obat
Biasanya pasien minum obat 3 kali dalam sehari, cara
pasien meminum obatnya dimasukkan kemudian
pasienmeminum air. Biasanya pasien belum paham prinsip
5 benar dalam meminum obat.
 Pemeliharaan kesehatan
Biasanya pasien akan melanjutkan obat untuk terapi dengan
dukungan dari keluarga serta petugas kesehatan dan orang
disekitarnya.
 Aktivitas di dalam rumah
Biasanya pasien jarang membantu di rumah, pasien jarang
menyiapkan makanan sendiri dan membantu
membersihkan
 Aktivitas di luar rumah.
Biasanya pasien jarang bersosialisasi dengan keluarga
maupun dengan lingkungannya.
16) Mekanisme koping
Pasien dengan harga diri rendah biasanya menggunakan
mekanisme koping maladaptif yaitu dengan minum alkohol, reaksi
lambat, menghindar dan mencederai diri.
17) Masalah psikososial dan lingkungan
Biasanya pasien mempunyai masalah dengan dukungan dari
keluarganya. Pasien merasa kurang mendapat perhatian dari
keluarga. Pasien juga merasa tidak diterima di lingkungan karena
penilaian negatif dari diri sendiri dan orang lain.
18) Kurang pengetahuan

21
Biasanya pasien dengan harga diri rendah tidak mengetahui
penyakit jiwa yang ia alami dan penatalaksanaan program
pengobatan.
19) Aspek medik
Biasanya pasien dengan harga rendah perlu perawatan dan
pengobatan yang tepat. Pasien dengan diagnosa medis Skizofrenia
biasanya klien mendapatkan Clorpromazine 1x100 mg,
Halloperidol 3x5 mg, Trihexy penidil 3x2 mg, dan Risporidon 2x2
mg. Jenis data yang diperoleh dapat berupa data primer yaitu data
yang langsung didapat oleh perawat, dan data sekunder yaitu data
yang diambil dari hasil pengkajian atau catatan tim kesehatan lain.
Perawat dapat menyimpulkan kebutuhan atau masalah pasien dari
kelompok data yang telah dikumpulkan.
Kemungkinan kesimpulan tersebut adalah:
 Tidak ada masalah tetapi ada kebutuhan
 Pasien tidak memerlukan peningkatan kesehatan,
pasien hanya memerlukan pemeliharaan kesehatan
dan memerlukan follow up secara periodik karena
tidak ada masalah dan pasien telah mempunyai
pengetahuan untuk antisipasi masalah.
 Pasien memerlukan peningkatan kesehatan berupa
upaya prevensi dan promosi sebagai program
antisipasi terhadap masalah.
 Ada masalah dengan kemungkinan:
 Resiko terjadi masalah karena sudah ada faktor
yang dapat menimbulkan masalah.
 Aktual terjadi masalah disetai data pendukung.
Dari pengelompokkan data, selanjutnya perawat merumuskan
masalah keperawatan pada setiap kelompok data yang terkumpul.
Umumnya sejumlah masalah pasien saling berhubungan dan dapat
digambarkan sebagai pohon masalah (Eko Prabowo, 2014).

22
Agar penentuan pohon masalah dapat dipahami dengan
jelas, penting untuk diperhatikan tiga komponen yang terdapat pada
pohon masalah yaitu: penyebab (causa), masalah utama (core
problem) dan effect (akibat). Masalah utama adalah prioritas
masalah pasien dari beberapa maslaah yang dimiliki oleh pasien.
Umumnya masalah utama berkaitan erat dengan alasan masuk atau
keluhan utama. Penyebab adalah salah satu dari beberapa masalah
pasien yang merupakan penyebab masalah utama. Masalah ini
dapat pula disebabkan oleh salah satu masalah lain, demikian
seterusnya. Akibat adalah salah satu dari masalah pasien yang
merupakan efek/akibat dari masalah utama. Efek ini dapat pula
menyebabkan efek lain, demikian seterusnya.
Pohon masalah Harga Diri Rendah menurut Fitria (2009)

Defisit Perawatan Diri Isolasi social Effect

Harga Diri Rendah Core Problem

Koping individu tidak efektif Causa

2. Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa Keperawatan Keluarga : Ketidakmampuan Koping Keluarga
3. Outcome (NOC) :
Koping Keluarga
- Menetapkan Fleksibilitas peran (Secara konsisten menunjukkan)
- Memungkinkan fleksibilitas peran anggota (keluarga) (Kadang-kadang
menunjukkan)
- Menghadapi masalah keluarga (sering menunjukkan)
- Mengelola masalah keluarga (kadang menunjukkan)

23
- Melibatkan anggota keluarga dalam pengambilan keputusan (sering
menunjukkan)
- Mengungkapkan perasaan dan emosi secara terbuka diantara anggota
keluarga (sering menunjukkan)
- Menggunakan strategi untuk mengelola konflik keluarga (sering
menunjukkan)
- Menggunakan strategi pengurangan stress yang berpusat pada keluarga
(Sering menunjukkan)
- Peduli terhadap kebutuhan semua anggota keluarga (sering menunjukkan)
- Menyusun prioritas keluarga (kadang menunjukkan)
- Menyusun jadwal rutinitas dan kegiatan keluarga (sering menunjukkan)
- Berbagi tanggungjawab untuk tugas-tugas keluarga (sering
menunjukkan)
- Mengatur perawatan jadwal istirahat atau restpit care (kadang
menunjukkan)
- Membuat rencana untuk keadaan darurat (kadang menunjukkan)
- Menjaga keseimbangan keluarga (sering menunjukkan)
- Menggunakan system dukungan keluarga yang tersedia (kadang
menunjukkan)
- Menggunakan sumber daya masyarakat yang tersedia (sering menunjukkan)
4. Perencanaan tindakan keperawatan (NIC)
a. Peningkatan Koping
- Bantu pasien dalam mengidentifikasi tujuan jangka pendek dan jangka
Panjang yang tepat
- Bantu pasien dalam memeriksa sumber-sumber yang tersedia untuk
memenuhi tujuan-tujuannya
- Bantu pasien memecah tujuan yang kompleks menjadi lebih kecil dengan
Langkah yang dapat dikelola
- Dukung hubungan (pasien ) dengan orang yang memiliki ketertarikan dan
tujuan yang sama
- Bantu pasien menyelesaikan masalah dengan cara yang konstruktif

24
b. Pengurangan Kecemasan
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
- Nyatakan dengan jelas harapan terhadap perilaku klien
- Nyatakan semua prosedur termasuk sensasi yang akan dirasakan yang
mungkin akan dialami klien selama prosedur (dilakukan)
- Pahami situasi krisis yang terjadi dari perspektif klien
- Berikan informasi factual terkait diagnosis perawatan dan prognosis
5. Evaluasi keperawatan
Menurut Kemenkes RI (2012) evaluasi kemampuan pasien dan keluarga dalam
merawat harga diri rendah adalah:
a) Evaluasi kemampuan pasien harga diri rendah berhasil apabila pasien
dapat:
1) Mengungkapkan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
2) Menilai dan memilih kemampuan yang dapat dikerjakan
3) Melatih kemampuan yag dapat dikerjakan
4) Membuat jadwal kegiatan harian
5) Melakukan kegiatan sesuai jadwal kegiatan harian
6) Merasakan manfaat melakukan kegiatan positif dalam mengatasi
harga diri rendah
b) Evaluasi kemampuan keluarga (pelaku rawat) harga diri rendah berhasil
apabila keluarga dapat:
1) Mengenal harga diri rendah yang dialami pasien (pengertian, tanda
dan gejala, proses terjadinya harga diri rendah, dan akibat jika
harga diri rendah tidak diatasi)
2) Mengambil keputusan merawat harga diri rendah
3) Merawat harga diri rendah
4) Menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung
pasien untuk meningkatkan harga dirinya
5) Memantau peningkatan kemampuan pasien dalam mengatasi harga
diri rendah

25
6) Melakukan follow up ke puskesmas, mengenal tanda kambuh, dan
melakukan rujukan.

6. Dokumentasi keperawatan
Pendokumentasian asuhan keperawatan dilakukan pada setiap proses
keperawatan yang meliputi dokumentasi pengkajian, diagnosis keperawatan,
perencanaan, implementasi tindakan keperawatan dan evaluasi.

7. Asuhan Keperawatan Partisipan 1


Keluhan saat dikaji :
Partisipan 1
mengatakan dirinya malu dan merasa tidak berguna dikarenakan belum mendapat
pekerjaan. Partisipan 1 mengatakan ingin selalu bekerja dan tidak bermalas-
malasan.Partisipan 1 mengatakan juga gagal menjadi seorang istri karena tidak
mampu mempertahankan rumah tangganya.
Partisipan 2
Partisipan 2 mengatakan:
merasa malu karena tidak bekerja memiliki dimiliki klien saudaranya. Partisipan 2
juga mengatakan pesimis dengan dirinya bekerja berpenghasilan adik-adiknya.
iri serta tidak apa yang saudaranya, terhadap kemampuan tidak dan seperti karena
Faktor predisposisi :
a. Gangguan jiwa dimasa lalu
Pengkajian faktor
Pengkajian faktor
Poltekkes Kemenkes Padang
b. Pengobatan sebelumnya
c. Trauma
predisposisi didapatkan partisipan 2 pernah mengalami gangguan jiwa dimasa
lalu yaitu sekitar 8 tahun yang lalu.

26
Partisipan 1 pernah dirawat di salah satu RSJ di kota Padang sebanyak 3 kali
masing- masing pada tahun 2013 sebanyak 2 kali, tahun 2014 sebanyak 1 kali dan
tahun 2015 sebanyak 1 kali.
Partisipan 1 mengatakan :
sebelumnya sudah menjalani terapi pengobatan di Rumah Sakit Jiwa HB Sa’anin
Padang kemudian melanjutkan pengobatan rawat jalan di Puskesmas Nanggalo
Kota Padang. Ayah klien mengatakan klien rutin minum obat dengan diingatkan
terlebih dahulu
Partisipan 1 mengatakan :
predisposisi didapatkan partisipan 2
pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu yaitu sekitar 10 tahun yang lalu.
partisipan 2 mengatakan :
partisipan 2 pernah dirawat di RSJ kota Padang sebanyak 4 kali masing-masing
pada tahun 2010 sebanyak 1 kali , 2012 sebanyak 2 kali, 2014 sebanyak 1 kali dan
2015 sebanyak 1 kali.
Partisipan 2 mengatakan :
sebelumnya sudah menjalani terpai pengobatan di Rumah Sakit Jiwa HB Sa’anin
Padang kemudian melanjutkan pengobatan rawat jalan di Puskesmas Nanggalo
Kota Padang. Ibu klien mengatakan klien rutin minum obat
Partisipan 2 mengatakan :
Poltekkes Kemenkes Padang
tidak pernah menjadi pelaku kekerasan, tidak pernah menjadi korban aniaya
seksual dan juga pelaku seksual serta tidak pernah menyaksikan kejadian tentang
aniaya seksual.
Partisipan 1 mengatakan :
pernah mendapat penolakan dari suaminya karena penyakitnya yang
menyebabkan suaminya pergi meninggalkannya. Partisipan 1 mengatakan :
bahwa dia tidak pernah
melakukan
kriminal ,membunuh

27
mencuri barang milik orang lain ataupun milik keluarganya. Partisipan 1
mengatakan :
bahwa ada anggota keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu adik dari
ibunya.
tindakan seperti atau
tidak pernah menjadi pelaku kekerasan, tidak pernah menjadi korban aniaya
seksual dan juga pelaku seksual serta tidak pernah menyaksikan kejadian tentang
aniaya seksual.
Partisipan 2 mengatakan :
bahwa dia tidak pernah melakukan tindakan kriminal seperti membunuh atau
mencuri barang milik orang lain ataupun milik keluarganya.
Faktor presipitasi
Partisipan 1 mengatakan :
saat berusia 10 tahun pernah jatuh dari motor dan kepalanya terbentur
Partisipan 2 mengatakan :
pernah jatuh dari tangga saat berusia 8 tahun dan kepalanya terbentur ke tanah
Pemeriksaan fisik :
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada partisipan 1 didapatkan TD: 120/90
mmHg, HR: 82 x/menit, S: 36.5 ̊C, RR: 19x/menit. Partisipan 1 mengatakan
tangan dan kakinya gatal-gatal dan perih ketika di garuk.
Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik pada partisipan 2 didapatkan TD: 130/80
mmHg, HR: 92 x/menit, S: 37 ̊C,
RR: 20 Partisipan mengeluh
sering terasa pusing.
x/menit. 2 juga kepalanya
Psikososial
a. Genogram
b. Konsep Diri
Pengkajian psikosial didapatkan partisipan 1 merupakan anak ke emapt dari 5
bersaudara, sudah menikah namun sudah bercerai dengan suaminya. Partisipan 1
belum dikaruniai anak. Ayah dan ibu partisipan 1 masih hidup dan tinggal

28
serumah dengan partisipan 1. Partisipan 1 tidak memiliki masalah dalam
berkomunikasi dengan keluarganya dan pengambil keputusan adalah ayah dari
partisipan 1.
Pengkajian psikososial pada partisipan 2 didapatkan partisipan 2 anak pertama
dari 3 bersaudara, sudah menikah dan suami bekerja di luar kota. Partisipan 2
memiliki 1 orang anak. Partisipan 2 tinggal dengan ibu dan adik-adiknya.
Partisipan 2 tidak memiliki masalah dalam berkomunikasi antar sesama anggota
keluarga yang lain dan untuk pengambilan keputusan dalam keluarga adalah ibu
dari partisipan 2.
KONSEP DIRI :
Pada pengkajian pola konsep diri didapatkan, partisipan 1 mengatakan anggota
tubuhnya lengkap dan tidak mengalami kecacatan, partisipan 1 mengatakan
bersyukur mempunyai anggota tubuh yang lengkap yang diberikan oleh Tuhan
Yang Maha Esa. Partisipan 1 seorang wanita berusia 37 tahun merupakan anak ke
empat dari 5 bersaudara. Partisipan 1 mengatakan dirinya berperan untuk
membantu ayah dan ibunya yang sudah tua. Partisipan 1 mengatakan tidak mau
merepotkan kedua orang tuanya. Partisipan 1 sekarang ditinggal oleh suaminya
sejak 6 tahun yang lalu. Partisipan 1 mengatakan tidak bekerja karena sakitnya.
Partisipan 1 mengatakan ingin sembuh dan ingin bekerja supaya bisa
Pada pengkajian pola konsep diri didapatkan partisipan 2 mengatakan Partisipan
2 mengatakan
tidak pandangan terhadap
partisipan 2 mengatakan merasa bersyukur diberikan tubuh yang sehat dan tidak
cacat. Partisipan 2 seorang wanita berusia 34 tahun sudah mempunyai suami.
Partisipan 2
belum puas
seorang istri belum bisa membantu suaminya.
Partisipan 2 mengatakan dirinya berperan sebagai istri dan ibu dari anaknya.
Selama sakit partisipan 2 merasa tidak berguna karena tidak bisa membantu
suaminya dan merasa kurang beruntung dibandingkan dengan kedua adiknya.
Partisipan 2 mengatakan ingin menjadi lebih baik lagi dari sekarang dan ingin

29
memiliki buruk tubuhnya,
merasa menjadi karena
Hubungan sosial
d. Spiritual
membantu orang tuanya. Partisipan 1 mengatakan dirinya malu dan merasa
tidak berguna karena tidak bekerja. Partisipan 1
mengatakan
merasa
dikarenakan
belum bisa membantu orang tuanya. Partisipan 1 mengatakan ingin bekerja dan
tidak bermalas-malasan.
Pada pengkajian hubungan sosial didapatkan, Partisipan 1 mengatakan dekat
dengan ayahnya. Partisipan 1 mengatakan jarang berinteraksi atau ikut dalam
kegiatan kelompok/masyarakat disekitar rumahnya. Partisipan 1 mengatakan lebih
senang melakukan aktivitas di rumah.
Pada pengkajian
dirinya sedih dirinya
menjadi yang berguna bagi semua orang dan mendapatkan kerja lagi. Partisipan 2
merasa tidak berguna, karena tidak bisa membantu suaminya untuk membiayai
sekolah anaknya. Partisipan 2 mengatakan merasa kurang beruntung dan malu
dengan keadaannya yang sekarang yang tidak bekerja, sehingga partisipan 2
menyendiri dan tidak mau bergaul dengan temannya.
Pada pengkajian pola hubungan sosial didapatkan, Partisipan 2 mengatakan dekat
dengan suami, ibu dan adiknya. Partisipan 2 mengatakan jarang berinteraksi atau
ikut dalam kegiatan kelompok/masyarakat disekitar rumahnya.
Pada pengkajian spiritual.
spiritual didapatkan partisipan 1 mengatakan bahwa ia beragama islam dan ia
jarang melakukan shalat 5 waktu didapatkan partisipan 2 mengatakan bahwa ia
beragama Partisipan
mengatakan melaksanakan shalat 5 waktu setiap hari sesuai dengan jadwal waktu
shalat. islam. 2 juga ia

30
Status mental
a. Penampilan
b. Pembicaraan
c. Aktivitas motorik
Saat dilakukan pengkajian di rumah partisipan 1 penampilan kurang rapi, badan
bau dan pakaian kotor, rambut berminyak, kuku bersih dan pendek.
Partisipan 1 cukup kooperatif, berbicara lambat dan tidak mau memulai
percakapan terlebih dahulu.
Aktivitas motorik partisipan 1 terlihat cukup tenang dan hanya duduk di tempat
tidur selama pembicaraan
Saat dilakukan pengkajian di rumah penampilan partisipan 2 tampak rapi dan
berpakaian sesuai dengan cara berpakaian seperti biasa, rambut tersisir rapi,
tangan bersih dan kuku pendek.
Partisipan 2 kooperatif berkomunikasi, pembicaraan dengan topik dibicarakan.
Aktivitas
partisipan 2 terlihat lesu dan pasif .
d. Alam perasaan
e. Afek
f. Interaksi selama wawancara
g. Persepsi
Alam perasaan partisipan 1 mengatakan dirinya merasa sedih.
Afek partisipan 1 selama berinteraksi afek datar
Selama proses berinteraksi kontak mata partisipan 1 kurang sesekali
menundukkan kepala dan terkadang merasa curiga saat interaksi sedang berjalan.
Partisipan 1 mengatakan saat sebelum dirawat dulu pernah mendengar suara-suara
yang mengajaknya mengobrol namun sejak keluar dari rumah sakit partisipan 1
mengatakan tidak pernah Alam perasaan partisipan 2 mengatakan dirinya merasa
sedih dan tidak berguna bagi keluarganya dan kurang bersemangat
Afek partisipan 2 selama berinteraksi afek datar
Selama proses berinterkasi partisipan 2 kurang konsentrasi dan kontak mata
kurang sering berpaling

31
pandangan,
menunduk ketika diajak ngobrol jawaban partisipan 2 simpel dan singkat.
Partisipan 2 mengatakan saat sebelum dirawat dulu pernah mendengar suara-suara
yaang mengajaknya mengobrol namun sejak keluar dari rumah sakit partisipan 2
mengatakan tidak pernah mendengarkan suaara - suara
h. Proses pikir
i. Isi pikir
j. Tingkat kesadaran
k. Memori
mendengarkan suara- suara tersebut tidak pernah muncul kembali.
Proses pikir saat wawancara cukup baik, pembicaraan pasien sesuai dengan yang
ditanyakan oleh perawat.
Partisipan 1 mengatakan dirinya hanya ingin sembuh dan tidak minum obat lagi.
Kesadaran partisipan 1 baik, tidak ada gangguan terhadap waktu, tempat dan
partisipan 1 dapat mengingat orang yang berkomunikasi dengannya.
Partisipan 1 tidak mengalami daya ingat panjang dan jangka pendek. Partisipan 1
orientasi gangguan jangka suara tersebut tidak pernah muncul kembali.
Pembicaraan partisipan 2 sering terhenti tiba-tiba tanpa gangguan dan
pembicaraan dilanjutkan kembali.
Dalam pengkajian isi pikir partisipan 2 mengatakan terkadang ia merasa curiga
terhadap orang yang baru ia kenal.
Kesadaran partisipan 2 baik, tidak ada gangguan orientasi terhadap waktu, tempat
dan partisipan 2 dapat mengingat orang yang berkomunikasi dengannya.
Partisipan mengalami daya ingat panjang dan pendek.
Partisipan 2 tidak gangguan jangka jangka pendek.
l. Tingkat konsentrasi dan berhitung
m. Kemampuan penilaian
n. Daya tilik diri
masih ingat penyebab dia masuk RSJ karena sering mengurung diri di kamar
dan partisipan 1 dan daya ingat jangka pendek seperti pasien mampu mengulangi
nama perawat saat awal berkenalan.

32
Tingkat konsentrasi dan berhitung partisipan 1 cukup bagus, terbukti dengan
partisipan 1 bisa menjawab pertanyaan dengan baik, dan partisipan 1 juga bisa
berhitung dengan baik dan benar sesuai dengan pertambahan yang diberikan.
Pengkajian kemampuan penilaian partisipan 1 mampu mengambil keputusan yang
sederhana dan perlu motivasi
Partisipan 1 mengatakan kalau dirinya tidak sakit jiwa dan tidak menyalahkan
orang lain
masih ingat penyebab dia masuk RSJ karena sering mengurung diri di kamar
dan partisipan 2 dan daya ingat jangka pendek seperti pasien mampu mengulangi
nama perawat saat awal berkenalan.
Tingkat konsentrasi dan berhitung partisipan 2 cukup bagus, terbukti dengan
partisipan 2 bisa menjawab pertanyaan dengan baik, dan partisipan 2 juga bisa
berhitung dengan baik dan benar sesuai dengan pertambahan yang diberikan
Partisipan 2 mengalami gangguan penilaian ringan dan tidak dapat mengambil
keputusan sendiri
Partisipan 2 menyadari kalau dirinya sedang sakit, terkadang partisipan 2
menyalahkan
atau lingkungan yang menyebabkan kondisi seperti ini.
dirinya sendiri dan lingkungan sekitar karena sering merasa curiga terhadap
orang lain.
Aktivitas sehari-hari
a. Makan
b. BAB/BAK
c. Mandi
d. Berpakaian/berhia s
e. Istirahat/tidur
Partisipan 1 makan 3x sehari porsi habis dengan nasi dan lauk pauk.
Partisipan 1 mengatakan BAB 1-2 kali sehari dan BAK 3-4 kali sehari di WC dan
dibersihkan
Partisipan 1 mengatakan malas untuk mandi, partisipan 1 hanya mandi sekali 3
hari, dibuktikan dengan keadaan partisipan 1 tampak bau dan rambut kusut

33
Partisipan 1 tampak tidak mampu berdandan dan berhias dibuktikan partisipan 1
hanya mengganti pakaian 1 kali dalam 3 hari dan rambut pasien yang kusut.
Partisipan 2 makan 3x sehari secara mandiri dengan nasi, lauk pauk dan sayuran.
Partisipan 2 mengatakan BAB 1-2 kali sehari dan BAK 3-4 kali sehari di WC dan
dibersihkan
Partisipan 2 mengatakan mandi 2 kali sehari secara mandiri
Partisipan 2 mengenakan
sendiri dengan menyisir rambut dan memakai sendal
f. Penggunaan obat
g. Pemeliharaan kesehatan
h. Kegiatan di dalam rumah
i. Kegiatan di luar rumah
Partisipan 1 mengatakan suka tidur siang dari jam 14.00-16.00 WIB dan malam
hari diatur dari jam 20.00-05.30 WIB.
Partisipan 1 mengatakan minum obat setelah makan dengan bantuan dari keluarga
Partisipan 1 mengatakan jika obatnya habis partisipan 1 mengontrol kesehatannya
ke puskesmas. Keluarga mendukung pengobatan partisipan 1
Partisipan 1 mengatakan didalam rumah pasien menyapu, mencuci baju, mencuci
piring, dan melipat pakaian
Partisipan 1 mengatakan jarang melakukan
Partisipan 2 mengatakan istirahat tidurnya nyenyak, pasien istirahat siang hari 2-3
jam dan malam 8-9 jam
Partisipan 2 minum obat sesuai petunjuk dokter (frekuensi, jenis, dosis, waktu dan
cara pemberian) secara rutin dengan bantuan keluarga
Partisipan 2 mengatakan jika obatnya habis partisipan 2 mengontrol kesehatannya
ke puskesmas. Keluarga mendukung pengobatan partisipan 2
Partisipan 2 mengatakan didalam rumah pasien merapikan tempat tidur, mencuci
baju, mencuci piring, dan melipat pakaian
Partisipan 2 mengatakan jarang melakukan
kegiatan di luar rumah seperti berbelanja dan kegiatan di masyarakat
kegiatan di luar rumah seperti berbelanja dan kegiatan masyarakat

34
Mekanisme Koping Partisipan 1 mengatakan apabila mempunyai masalah,
partisipan 1 sering memendamnya (tidak mau menceritakan kepada orang lain).
Partisipan 2 mengatakan apabila mempunyai partisipan memendamnyamau
menceritakan pada orang lain) dan saat dilakukan pengkajian partisipan 2 tampak
menyendiri 2 pasien masalah, sering (tidak Masalah psikososial dan lingkungan
Partisipan 1 mengatakan tidak pernah melakukan
kegiatan kelompok. Partisipan 1 mengatakan jarang berkomunikasi dengan
lingkungan di sekitar rumahnya. Partisipan 1 mengatakan merasa malu untuk
berbincang bincang dengan tetangga di sekitar
Partisipan 2 mengatakan tidak pernah melakukan
kegiatan kelompok. Partisipan 2 mengatakan jarang berkomunikasi dengan
lingkungan di sekitar rumahnya.
Pengetahuan
Partisipan 1 mengatakan mengetahui tentang penyakitnya. Partisipan 1 juga
mengatakan mengenal obat-obat yang ia minum setelah
Partisipan 2 mengatakan mengetahui tentang penyakitnya. Partisipan 2 juga
mengatakan mengenal obat-obat yang ia minum setelah makan.
1. Pengkajian keperawatan
Hasil pengkajian pada partisipan 1 dan partisipan 2 didapatkan kedua
partisipan berumur 37 dan 34 tahun. Hal ini sesuai menurut teori Stuart (2013)
usia merupakan aspek sosial budaya terjadinya gangguan jiwa dengan risiko
frekuensi tertinggi mengalami gangguan jiwa yaitu pada usia dewasa. Hasil
penelitian dari Titik Suerni (2013) di Ruang Yudistira Rumah Sakit
Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor Karakteristik 35 orang klien harga diri rendah
adalah mayoritas klien pada masa dewasa yaitu 32 klien (91,5%).Rentang usia
terbanyak antara 21-40 tahun mengalami harga diri rendah kronik.
Hasil pengkajian pada partisipan 1 dan 2 didapatkan partisipan 1 merasa
dirinya malu dan merasa tidak berguna dikarenakan belum mendapat pekerjaan.
Partisipan 1 mengatakan ingin selalu bekerja dan tidak bermalas-malasan.
Partisipan 1 mengatakan juga gagal menjadi seorang istri karena tidak mampu
mempertahankan rumah tangganya. Pada partisipan 2 didapatkan hasil pengkajian

35
partisipan 2 merasa malu karena tidak bekerja serta tidak memiliki apa yang
dimiliki saudaranya, klien iri terhadap saudaranya.Partisipan 2 juga mengatakan
pesimis dengan kemampuan dirinya karena tidak bekerja dan berpenghasilan
seperti adik- adiknya.
Hal ini sesuai menurut Kemenkes RI (2012) tanda dan gejala harga diri
rendah yang dapat dinilai dari ungkapan klien yang menunjukkan
penilaian negatif terhadap dirinya yang didukung oleh data hasil observasi dan
wawancara, seperti data subjektif pasien mengungkapkan hal negatif terhadap
dirinya dan orang lain, perasaan tidak mampu, pandangan hidup yang pesimis,
penolakan terhadap kemampuan diri. Sedangkan dari data objektif didapatkan
klien mengalami penurunan produktifitas, lebih banyak menundukkan kepala saat
berinteraksi, tidak berani menatap lawan bicara, dan berbicara lambat dengan
nada suara lemah.
Menurut asumsi peneliti tanda dan gejala harga diri rendah dapat dinilai
dari penampilan klien saat berinterkasi dengan peneliti maupun dengan keluarga.
klien terlihat lebih banyak diam dan tidak mau memulai pembicaraan. Klien tidak
mau bergaul dengan lingkungan sekitar. Klien lebih banyak berdiam diri di
rumah. Klien merasa tidak memiliki kemampuan dan mengalami penurunan
produktifitas.
Pengkajian fakor predisposisi didapatkan partisipan 1 pernah mengalami
gangguan jiwa di masa lalu yaitu sekitar 7 tahun yang lalu dan sudah pernah
dirawat di salah satu RSJ di kota Padang sebanyak 3 kali. Pada partisipan 2
didapatkan partisipan 2 juga pernah mengalami gangguan jiwa di masa lalu yaitu
sekitar 10 tahun yang lalu dan pernah dirawat di salah satu RSJ di kota Padang
sebanyak 4 kali. Pada partisipan 1 dan partisipan 2 didapatkan bawa kedua
partisipan pernah mengalami putus obat karena peran keluarga kurang terlaksana
dengan baik. Menurut teori Direja (2011) seseorang mengalami kekambuhan
karena beberapa faktor yaitu putus obat, penyalahgunaan narkoba atau alkohol,
ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuannya
dalam menempatkan diri sebagai orang yang dewasa.

36
Hasil penelitian yang dilakukan Desi Pramujiwati, dkk (2013) di RW 06,
07 dan 10 di Tanah Baru, Bogor Utara menunjukkan bahwa pasien yang
mengalami gangguan jiwa di masa lalu mengalami kekambuhan salah satunya
akibat dari faktor putus obat.. Kurangnya informasi kepada klien dan keluarga
yang adekuat dari fasilitas pelayanan kesehatan tentang manfaat dan efek obat
berdampak pada kekambuhan sehingga memperburuk kondisi klien. Berdasarkan
paparan diatas penulis berasumsi bahwa kekambuhan yang dialami oleh kedua
partisipan terjadi karena ketidakpatuhan minum obat, kurangnya dukungan
keluarga untuk mengingatkan maupun mengawasi pasien dalam minum obat
menjadi salah satu faktor terjadinya kekambuhan pada kedua partisipan.
Pengkajian faktor predisposisi didapatkan adanya anggota keluarga dari
partisipan 1 yang mengalami gangguan jiwa yaitu adik dari ibu partisipan 1.
Sedangkan pada partisipan 2 didapatkan ada anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa yaitu nenek dari partisipan 2. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh Prabowo (2014) salah satu faktor predisposisi yang
menyebabkan harga diri rendah yaitu adanya faktor herediter anggota keluarga
yang mengalami gangguan jiwa. Hasil Penelitian yang dilakukan oleh Abdul
Wakhid (2013) di Rumah Sakit DR Marzoeki Mahdi Bogor faktor predisposisi
terbanyak yaitu adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 12 klien (66,7%). faktor
genetik merupakan faktor yang lebih besar dibandingkan dengan faktor
predisposisi lainnya seperti trauma fisik, riwayat napza, ataupun riwayat
gangguan jiwa sebelumnya. Berdasarkan asumsi penulis jika salah satu orang tua
mengalami gangguan jiwa maka keturunannya beresiko untuk mengalami
gangguan jiwa.
Pada pengkajian pola hubungan sosial didapatkan partisipan 1 dan
partisipan 2 sama sama mengatakan jarang berinteraksi atau ikut dalam
kelompok/masyarakat di sekitar lingkungan rumahnya. Hal ini sesuai menurut
teori Yosep (2011) Manusia adalah makhluk sosial, yang secara harafiah berarti
kebutuhan rasa memiliki akan sesuatu. Rasa memiliki merupakan ekspresi jiwa
yang penting dalam kehidupan seseorang. Sayangnya, rasa memiliki ini
cenderung tidak terlihat pada klien dengan harga diri rendah. Kegagalan akan

37
kebutuhan rasa memiliki menyebabkan rasa isolasi sosial, keterasingan dan
kesepian.
Hasil penelitian yang dilakukan Desi Pramujiwati, dkk (2013) di RW 06,
07 dan 10 di Tanah Baru, Bogor Utara menunjukkan bahwa Kebanyakan orang
dengan harga diri rendah kronik memiliki kesulitan dalam menjalankan
pekerjaannya atau bahkan untuk menungkapkan keinginan sehingga pasien tidak
bersosialisasi dengan lingkungannya. Ini menunjukkan bahwa kemandirian pasien
terganggu karena kondisi harga diri rendah kronik. Menurut asumsi penulis isolasi
sosial yang dialami kedua partisipan disebabkan oleh karena kedua partisipan
merasa malu untuk berinteraksi dengan orang lain, kurangnya motivasi dari
keluarga, malas saat melakukan aktivitas, dan merasa tidak puas dengan kondisi.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang peneliti temukan pada masing-masing
partisipan yaitu Koping Individu tidak efektif, Harga Diri Rendah, Isolasi Sosial
dan Defisit Perawatan Diri, dimana harga diri rendah sebagai core problem,
koping individu tidak efektif sebagai penyebab, isolasi sosial dan defisit
perawatan diri sebagai akibat. Hal ini sesuai dengan pendapat Yosep (2014)
diagnosa keperawatan yang muncul pada klien dengan harga diri rendah yaitu
gangguan konsep diri: harga diri rendah, Koping Individu tidak efektif, isolasi
sosial, dan defisit perawatan diri.
Berdasarkan hasil penelitian kedua kasus kelolaan mengenai diagnosa
keperawatan yang ditemukan dan teori yang telah dijelaskan diatas, maka penulis
berasumsi bahwa berdasarkan pohon masalah core problem yaitu harga diri
rendah, dan disebabkan oleh koping individu tidak efektif, dan berakibat pada
isolasi sosial dan defisit perawatan diri, sehingga dari pohon masalah tidak ada
kesenjangan yang ditemukan antara teori dengan data yang ditemukan.
3. Intervensi keperawatan
Menurut Prabowo (2014) Untuk mengatasi masalah pada klien dengan
harga diri rendah maka disusun perencanaan tindakan keperawatan yang
dilakukan untuk membantu klien memenuhi kebutuhannya dan mengatasi atau
mengurangi masalah keperawatan serta meningkatkan aktualisasi diri klien.

38
Diagnosa koping individu tidak efektif bertujuan pasien mampu membina
hubungan saling percaya. Adapun intervensi yang dilakukan oleh perawat
membina hubungan saling percaya dengan komunikasi terapeutik.
Diagnosa harga diri rendah bertujuan agar klien mampu meningkatkan
harga diri. Intervensi yang dilakukan perawat menggunakan strategi pelaksanaan
pasien: perawat membantu pasien memilih beberapa kegiatan yang dapat
dilakukannya, pilih kegiatan yang dapat dilakukan saat ini, kedua yaitu perawat
membantu pasien memilih kegiatan kedua, dan melatih kegiatan kedua, ketiga
perawat membantu pasien memilih kegiatan ketiga, dan melatih kegiatan ketiga,
keempat perawat membantu pasien memilih kegiatan keempat dan melatih
kegiatan keempat. Kemudian pada strategi pelaksanaan keluarga intervensi yang
dilakukan melatih keluarga dalam membimbing klien melakukan kegiatan yang
disukainya.
Diagnosa keperawatan isolasi sosial bertujuan agar klien mampu
bersosialisasi. Intervensi yang dilakukan perawat mengggunakan strategi
pelaksanaan pasien: perawat melatih pasien bercakap-cakap secara bertahap
antara pasien dan perawat, kedua perawat melatih pasien bercakap-cakap dengan
2-3 orang, ketiga perawat melatih pasien bercakap-cakap dengan 4-5 orang,
keempat perawat melatih pasien bercakap-cakap dengan 4-5 orang sambil
melakukan kegiatan. Kemudian pada strategi pelaksanaan keluarga intervensi
yang dilakukan melatih keluarga mendampingi klien berkomunikasi dengan orang
dan saat melakukan kegiatan harian.
Diagnosa keperawatan defisit perawatan diri bertujuan agar klien mampu
merawat diri. Intervensi yang dilakukan perawat menggunakan strategi
pelaksanaan pasien: perawat melatih pasien cara menjaga kebersihan diri, kedua
perawat melatih pasien cara berhias/berdandan dengan baik, ketiga perawat
melatih pasien melakukan makan dan minum dengan baik, keempat perawat
melatih pasien BAB dan BAK dengan baik. Kemudian pada strategi pelaksanaan
keluarga intervensi yng dilakukan yaitu melatih keluarga dalam membantu klien
merawat kebersihan diri.

39
Rencana tindakan diagnosa harga diri rendah sudah terstandar menurut
Kemenkes RI (2012) intervensi keperawatan yang diberikan pada pasien dengan
harga diri rendah, isolasi sosial dan defisit perawatan diri antara lain melakukan
strategi pelaksanaan pasien dan keluarga.
Berdasarkan paparan diatas, penulis berasumsi bahwa intervensi yang diberikan
sudah sesuai dengan masalah yang dimiliki partisipan. Melibatkan keluarga dalam
melaksanakan intervensi sehingga mendukung perkembangan partisipan menjadi
lebih baik.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi keperawatan yang dilakukan peneliti disesuaikan dengan rencana
tindakan keperawatan yang telah disusun. Tindakan keperawatan yang telah
dilakukan pada partisipan 1 dan partisipan 2 dimulai dari tanggal 19 Maret 2018
sampai 28 Maret 2018. Implementasi keperawatan untuk diagnosa koping
individu tidak efektif pada kedua partisipan yaitu membina hubungan saling
percaya antar perawat dengan klien dengan cara mengucapkan salam dan
memperkenalkan diri perawat serta menanyakan nama panggilan yang klien
sukai. Membantu klien mengungkapkan perasaan dan keluhan yang klien rasakan
saat ini, serta bersama- samadengan klien membuat kontrak persetujuan untuk
pemberian asuhan keperawatan. Perawat meyakinkan klien dengan sikap empati
bahwa merahasiakan informasi yang diperoleh guna kepentingan terapi.
Menurut Stuart dalam Wardani, dkk (2009) koping adalah upaya yang diarahkan
pada penatalaksanaan stress termasuk upaya menyelesikan
5. Evaluasi Keperawatan
Hasil evaluasi keperawatan untuk diagnosa keperawatan koping individu tidak
efektif yang dilakukan pada kedua partisipan tercapai. Hal ini dibuktikan dengan
partisipan 1 menerima kedatangan peneliti, bersedia berkenalan dan menjabat
tangan peneliti, partisipan 1 mengatakan senang bertemu peneliti. Partisipan 1
bersedia menceritakan masalah yang dialaminya. Hasil evaluasi pada partisipan 2
didapatkan partisipan 2 dapat menerima kedatangan peneliti, bersedia berkenalan
dan menjabat tangan peneliti, partisipan 2 juga bersedia duduk berdampingan

40
dengan peneliti, partisipan 2 juga bersedia menceritakan masalah yang
dialaminya.
Hasil evaluasi untuk diagnosa harga diri rendah didapatkan partisipan 1 mampu
mengungkapkan aspek positif yang dimiliki. Namun dari hasil observasi peneliti,
partisipan 1 tampak kurang bersemangat ketika diajak melakukan kegiatan yang
telah dijadwalkan karena kurangnya dukungan dari keluarga dan keluarga tampak
cuek terhadap partisipan 1. Partisipan 1 mengatakan dirinya ingin bekerja dan
berpenghasilan agar tidak menyusahkan kedua orang tuanya. Hal ini sesuai
dengan penelitian Titik Suerni (2013) di Ruang Yudistira Rumah Sakit
Dr.H.Marzoeki Mahdi Bogor yang dimana sebagian besar pasien harga diri
rendah memiliki keinginan yang tidak terpenuhi (71.4%) yaitu keinginan untuk
menikah, keinginan untuk memiliki pekerjaan dan berpenghasilan yang layak.
Sedangkan hasil evaluasi pada partisipan 2 didapatkan partisipan 2 mampu
mengungkapkan aspek positif yang dimiliki, partisipan 2 mengatakan sudah
melakukan kegiatan yang telah dilatih sesuai jadwal. Dari hasil observasi peneliti
partisipan 2 tampak bersemangat dan sudah mulai berani menatap lawan bicara.
Ibu partisipan 2 mengatakan anaknya sudah mulai mampu merawat dan
membersihkan rumah.
Hasil evaluasi untuk diagnosa isolasi sosial sudah tercapai dibuktikan pada
partisipan 1 didapatkan partisipan 1 sudah mulai mampu mengajak
orang lain berkenalan terlebih dahulu. Ayah partisipan 1 juga mengatakan
partisipan 1 sudah mulai bisa berbelanja ke warung dan mulai berinteraksi dengan
orang lain. Sedangkan pada partisipan 2 didapatkan hasil evaluasi partisipan 2
sudah mulai mampu mengajak orang lain berkenalan, partisipan 2 juga sudah
mampu berinteraksi secara bertahap dengan anggota keluarga dan lingkungan
sekitarnya. Hal ini sesuai dengan teori pada kriteria hasil yang hendak dicapai
yaitu klien mampu berinterkasi secara bertahap dengan keluarga dan lingkungan
sekitarnya, dan klien mampu berkomunikasi saat melakukan kegiatan rumah
tangga dan kegiatan sosial.
Hasil evaluasi pada diagnosa defisit perawatan diri pada partisipan 1 mulai ada
kemajuan ditandai dengan penampilan partisipan 1 sudah mulai rapi, rambut

41
sudah disisir, partisipan 1 mengatakan mandi 1 kali sehari, kuku sudah dipotong.
Partisipan 1 sudah mampu meletakkan piring bekas makan ke tempatnya,
partisipan 1 mampu menjelaskan setelah BAB/BAK harus cuci tangan.
Sedangkan pada partisipan 2 sudah mulai mengalami kemajuan ditandai dengan
penampilan partisipan 2 sudah mulai rapi, rambut sudah disisir, partisipan 2
mengatakan mandi 1 kali sehari, kuku sudah dipotong dan sudah mulai bersih.
Partisipan 2 sudah mampu meletakkan piring bekas makan ke tempatnya,
partisipan 2 mampu menjelaskan setelah BAB/BAK harus cuci tangan.
Hasil evaluasi pada keluarga partisipan didapatkan keluarga dapat menerima
keberadaan perawat, dan keluarga bersedia diajarkan cara membimbing partisipan
untuk meningkatkan harga dirinya. Hal ini dibuktikan dengan hubungan saling
percaya antar keluarga dan perawat terjalin dengan baik, keluarga bersedia
dikunjungi perawat selama 10 kali kunjungan, keluarga mau berkenalan dengan
perawat, keluarga dapat mendiskusikan masalah yang dialami dalam merawat
partisipan. Pada diagnosa isolasi sosial dan defisit perawatan diri keluarga juga
mampu membimbing partisipan pada setiap strategi pelaksanaan yang telah
dilakukan perawat.
Evaluasi keperawatan yang penulis lakukan sesuai dengan kriteria evaluasi yang
telah dibuat sebelumnya pada intervensi keperawatan, terlihat adanya perubahan
yang lebih baik setelah dilakukannya tindakan keperawatan (Keliat, 2010).
Berdasarkan hasil penelitian kedua kasus kelolaan evaluasi keperawatan yang
telah dilakukan dan teori yang telah dijelaskan, penulis berasumsi bahwa evaluasi
keperawatan yang telah dilakukan sesuai dan merupakan proses berkelanjutan
untuk menilai efek dari tindakan keperawatan.

42
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dapat diambil kesimpulan bahwa harga diri rendah yaitu dimana individu mengalami
gangguan dalam penilaian terhadap dirinya sendiri dan kemampuan yang dimiliki, yang
menjadikan hilangnya rasa kepercayaan diri akibat evaluasi negatif yang berlangsung
dalam waktu yang lama karena merasa gagal dalam mencapai keinginan.

B. Saran
Keluarga merupakan komponen penting dalam keperawatan pasien. Sehingga diharapkan
adanya pemahaman yang baik mengenai keperawatan khususnya keperawatan jiwa yang
dilakukan oleh keluarga, sehingga akan didapatkan keperawatan yang optimal bagi
pasien. Diharapkan juga makalah ini dapat menjadi acuan atau pedoman bagi keluarga
untuk melakukan keperawatan pada keluarga yang mengalami gangguan jiwa yaitu harga
diri rendah.

43
DAFTAR PUSTAKA
Afnuhazi, Ridhyalla. 2015. Komunikasi Terapeutik Dalam keperawatan Jiwa. Yogyakarta:
Gosyen Publishing.
Badan PPSDM.2012. Modul pelatihan Kesehatan Jiwa Masyarakat. Jakarta. Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Dermawan, D. 2013. Keperawatan Jiwa, Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: Pustaka Biru.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.
Fitria, Nita. 2012. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan Strategi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba Medika.

Friedman, Marilyn m, dkk. 2010. Buku Ajar Keperawatan Keluarga Riset, Teori, dan Praktik.
Jakarta: EGC.

Guindon, M, H. 2010. Self-esteem Across the Lifespan and interventions. New York: Taylor and
Francis Group.

Keliat, B.A. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: EGC Muhith, Abdul. 2015.
Pendidikan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta:CV Andi Offset

Notoadmodjo, S. 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Padila. 2012.
Buku Ajar Keperawatan Keluarga. Yogyakarta: Nuha Medika.

Prabowo, Eko. 2014. Konsep dan Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha
Medika.

Pramujiwati, Desi, dkk. 2013. Pemberdayaan keluarga dan kader Kesehatan Jiwa Dalam
Penanganan Pasien Harga Diri Rendah Kronik dengan Pendekatan Model Precede
L.Green di RW 06, 07 dan 10 Tanah Baru Bogor Utara. Bogor [diunduh pada 16 Mei 2018
pukul 08.10].

44

Anda mungkin juga menyukai