Anda di halaman 1dari 24

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Perempuan Dalam Islam

1. Kedudukan Perempuan Sebelum Islam

Perempuan adalah kaum yang berbeda dengan laki-laki. Tetapi

keduanya disatukan dalam satu kategori, yaitu manusia. Kodrat manusia

terbagi kedalam dua jenis kelamin mengisyaratkan bahwa masing-masing

mengemban tugas yang berbeda. Keduanya memiliki karakteristik dan

fungsi yang berbeda serta kelebihan dan kekurangan yang jika disatukan

akan saling melengkapi.1 Meskipun demikian, perempuan merupakan

mahluk yang memiliki kedudukan yang sama dengan laki-laki di hadapan

Allah SWT.

Dalam sejarahnya, kondisi perempuan memang sangat menyedihkan,

baik di Jazirah Arab Maupun di wilayah-wilayah lain diseluruh belahan

dunia. Mereka hampir tidak memiliki hak untuk hidup dengan layak. Tidak

ada seorangpun yang berusaha untuk memperjuangkan kehormatan mereka.2

Pada masyarakat Yunani, perempuan tidak memiliki andil apapun, sehingga

mereka dianggap sebagai godaan setan. Bahkan seorang orator mereka yang

sangat terkenal, yaitu Demosthenes mengatakan tujuan kita menjadikan

pelacur dan gundik-gundik adalah untuk memberikan perhatian kepada

kesehatan jasmani kita sehari-hari. Sedangkan istri adalah untuk melahirkan

anak-anak kita yang sah secara hukum. Jadi wanita yang keluar dari rumah

dan naik tahta yang tinggi dalam masyarakat adalah mereka yang menjadi

1
Huzaimah Tahido Yanggo, Hak dan Kewajiban Wanita Muslimah Dalam Hukum Islam,
(Jakarta: PSW UIN JKT, tt.), h.19.
2
Muhamad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita: Mengupas Keseharian Wanita Ddari
Masalah Klasik Hingga Kontenporer, (tc; Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), h.7.
pelacur.3 Dalam masyarakat Yahudi posisi seorang wanita disamakan

dengan seorang pembantu, yang sama sekali tidak mendapatkan warisan,

apabila dalam suatu keluarga terdapat anak laki-laki dan apabila suaminya

meninggal dunia maka secara otomatis ia menjadi istri dari saudara laki-

lakinya, kecuali jika saudara laki-lakinya itu membebaskannya atau tidak

menikahinya.4 Sementara itu, lain halnya dengan kondisi wanita di

masyarakat Arab Pra-Islam. Bayi Perempuan yang dilahirkan dianggap

sebagai bentuk kesedihan, malah petaka dan keburukan sehingga mereka

wajib dibunuh bahkan mereka saling mewariskan wanita ibarat harta dan

barang dagangan.5

2. Kedudukan Perempuan Dalam Islam

Pada saat kaum perempuan berada dalam penderitaan, Islam datang

bagaikan fajar yang bersinar terang untuk membebaskan hak-hak wanita

dari penistaan kaum laki-laki. Islam mengangkat derajat seorang perempuan

dan memberinya kebebasan, kehormatan, serta kepribadian yang

independen. Islam juga mengajarkan prinsip kesetaraan antara hak dan

kewajiban terhadap laki-laki dan perempuan.6 Hal ini diperkuat dengan

firman Allah dalam surah An-Nisaa ayat 32:

           

         

         


Terjemahnya:
Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah
kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi Para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.
3
Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah: Antara Syari’at Islam dan Budaya
Barat, (tc; Yogyakarta: Darussalam, 2004), h.20-21.
4
Muhamad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita, h.8.
5
Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah, h.23.
6
Muhamad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita, h.11.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (Q.S. An-nisaa
[4]: 32).
Penghargaan tertinggi Islam terhadap kaum wanita adalah karena

untuk pertama kalinya Islam mengangkat derajat wanita dari kutukan

“Kesalahan Abadi” setelah dianggap telah menjerumuskan Adam as. untuk

memakan buah terlarang.7 Namun, secara perlahan tetapi pasti kehadiran

Islam mengubah pandangan masyarakat terhadap kaum perempuan.

Perempuan yang sebelumnya hanya ditempatkan dalam posisi sebagai

“obyek” yang hampir-hampir tidak memiliki hak dan peran sosial,

kemudian ditempatkan kembali ke posisi yang selayaknya.8

Perempuan dalam pandangan Islam adalah makhluk yang dihormati,

dijaga oleh risalah Islam dan dimuliakan oleh syari’atnya yang suci.

Sesungguhnya perempuan berada dalam kedudukan yang terhormat, ia

memiliki hak dan kewajiban yang harus dipenuhi dalam setiap peran yang

dijalaninya. Baik selaku ibu, anak perempuan (remaja atau gadis), istri,

ataupun golongan lainnya dalam masyarakat.9

Salah satu bukti sejarah paling awal dari upaya Islam untuk menjaga

hak-hak wanita adalah larangan praktik mengubur anak perempuan yang

biasa dilakukan oleh masyarakat Jahiliyah. Pada masa itu, memiliki anak

perempuan mereupakan sebuah aib yang sangat terhina. Akan tetapi,

kemudian Islam datang dengan mengajarkan prinsip bahwa tidak ada

pembedaan antara laki-laki dan perempuan, karena hanya ketakwaanlah

yang membedakan keduanya di hadapan Allah.

Bukti lain dapat dilihat dari bagaimana al-Qur’an memposisikan

wanita. Dalam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berbakti

7
Fada Abdur Razak al-Qashir, Wanita Muslimah, h.27.
8
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, (Jakarta: LKAJ, 1999), h. 15.
9
Abdullah bin Wakil Asy-Syaikh, Wanita dan Tipu Daya Musuh, Penerjemah: Amir
Hamzah Fachruddin, (tc; Bandung: Pustaka Hidayah, 1996), h. 11.
kepada kedua orang tua, hanya ibu yang disebutkan secara khusus. Misalnya

dalam surat Luqman [31] ayat 14 yang dengan jelas menyebut kewajiban

berbuat baik kepada kedua orang tua terutama ibu. Hal ini dinyatakan Allah

dalam al-Qur’an secara khusus karena ibulah yang mengambil peran sangat

penting yang tidak terlihat dalam kehidupan seorang anak, sejak masa

kehamilan dan proses bersalin, merawat dan membesarkannya hingga

anaknya itu dewasa. Itulah alasan mengapa al-Qur’an menyebutkan ibu

lebih banyak daripada ayah.10 Dalam hadis nabi yang diriwayatkan oleh Abu

Hurairah disebutkan sebagai berikut: “seorang laki-laki datang kepada

Rasulullah saw, dan bertanya, “siapakah yang paling berhak aku perlakukan

dengan baik?”, Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu kembali

bertanya, “Lalu siapa?”, Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Laki-laki itu

kembali bertanya, kemudian siapa?, Rasulullah menjawab, “Ibumu.” Dan

ketika laki-laki itu kembali menanyakan hal yang sama, Rasulullah

menjawab, “Lalu ayahmu.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Penyebutan tiga kali nama ibu dalam Hadis di atas, merupakan

penegasan bahwa proses produksi, yang oleh al-Qur’an dianggap sesuatu

yang menyusahkan (wahnan ‘ala wahnin) dan melelahkan (kurhan ‘ala

kurhin), harus dihormati, diberi perhatian dan yang lebih penting, diimbangi

dengan perlakuan yang baik terhadap mereka.11

Akhirnya dengan bukti-bukti yang ada tersebut, kita dapat melihat

bagaimana Islam meletakkan posisi seorang ibu menjadi sangat terhormat.

Hal ini diperkuat dengan sabda Nabi yang artinya adalah, “surga itu berada

di bawah telapak kaki ibu.” (HR. Abu Daud).

3. Hak-hak perempuan dalam Islam


10
Muhamad Mutawalli asy-Sya’rawi, Fiqh Wanita, h. 9-13.
11
Faqihuddin Abdul Kodir, Bangga Jadi Perempuan: Perbincangan Dari Sisi Kodrat
Dalam Islam, (tc; Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 76.
Setiap manusia berhak atas hak asasinya sebagai manusia dan

perlindungan terhadap hak-haknya itu dari undang-undang negara yang di

diaminya. Menurut undang-undang hak asasi manusia, baik perempuan

maupun laki-laki berhak atas hak asasi manusianya dan kebebasannya yang

fundamental tanpa pandang bulu, jenis kelamin dan ras terlepas dari

partikularitas (kekhususan, keistimewaan), budaya tertentu, ajaran-ajaran

agama dan level-level pembangunan.

Islam mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan.

Perbedaan tersebut didasarkan atas kondisi fisik-biologis perempuan yang

ditakdirkan berbeda dengan laki-laki, namun perbedaan itu tidak

dimaksudkan untuk memuliakan yang satu dan merendahkan yang lainnya.

Yang pasti bahwa Islam telah berperan besar dalam mengangkat harkat dan

martabat perempuan. Jika dalam masyarakat sebelum datangnya islam

perempuan dianggap seperti barang yang hampir tidak memiliki hak, maka

ajaran islam secara drastis menempatkan kembali perempuan sebagai

manusia seutuhnya, yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana

layaknya kaum laki-laki.

Menurut Moh. Yasir Alimi ada beberapa alasan mengapa kita harus

memperhatika hak-hak perempuan, yaitu:

a. Untuk menginformasikan kepada perempuan bahwa mereka mempunyai

hak-hak fundamental dan mereka berhak untuk menikmatinya.

b. Untuk membongkar dan menghapuskan pelanggaran hak-hak perempuan

berbasis jenis kelamin (seks) atau gender.

c. Untuk membentuk praktek hak asasi manusia baru yang sepenuhnya

memperdulikan hak-hak perempuan.12

12
Moh. Yasir Alimi, et. All., Advokasi Hak-Hak Perempuan: Membela Hak
Mewujudkan Perubahan, (Jakarta: LKIS, 1999), h. 2-3.
Nasaruddin Umar dalam bukunya kodrat perempuan dalam islam,

berpendapat bahwa perempuan dalam islam mempunyai berbagai hak

sebagaimana halnya hak yang dimiliki kaum laki-laki. Hak-hak yang

dimaksud antara lain hak dalam bidang politik, hak dalam memilih

pekerjaan, hak memperoleh pelajaran.13 Tidak jauh berbeda dengan

Nasaruddin Umar, S.M. Khamaeni juga berpendapat bahwa perempuan juga

memiliki hak yang sama dengan hak yang dimiliki kaum paki-laki. Hak-hak

tersebut yang pertama hak perempuan dalam bidang politik yang terdiri dari

hak memberikan suara, hak berserikat, hak berperang dan mempertahankan

diri, dan hak obligasi. Sedangkan yang kedua adalah hak-hak ekonomi, yang

tediri dari hak kepemilikan dan hak waris.14

4. Tujuan perlindungan hukum perempuan dalam islam

Secara global, tujuan syari’ dalam mensyariatkan hukum ialah untuk

mewujudkan kemaslahatan manusia seluruhnya, baik di dunia yang fana ini

maupun diakhirat kelak, dengan cara mendatangkan kemanfaatan bagi

mereka dan menghindarkan kemafsadatan bagi mereka. Firman Allah dalam

surah al-Anbiyaa ayat 107:

     

Terjemahnya:
Dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam.
Tujuan hukum dalam islam (makashid syariah) ada lima yaitu,

memelihara agam, memelihara jiwa, memelihara kehormatan dan keturunan,

memelihara akal, dan memelihara harta. Dalam mewujudkan dan

13
Nasaruddin Umar, Kodrat Perempuan Dalam Islam, h. 29.
14
S.M. Khaemani, Risalah Hak Asasi Wanita, (Cet.2; Jakarta: Al-Huda, 2004), h. 77.
memelihara tujuan tersebut, ulama ushul fiqh membaginya dalam beberapa

tingkatan sesuai dengan tingkatan kebutuhannya.15 Bagian tersebut adalah:

a. Kebutuhan addaruriyah, yaitu kemaslahatan mendasar dalam

mewujudkan dan memelihara kelima pokok diatas,

b. Kebutuhan al-hajiyah, yaitu kemaslahatann dalam rangka perwujudan

dan perlindungan yang diperlukan dalam melestarikan lima pokok diatas.

c. Kebutuhan at-tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang dimaksudkan untuk

mewujudkan dan memelihara hal-hal yang menunjang peningkatan

kualitas kelima pokok kebutuhan mendasar manusia diatas dan

menyangkut hal-hal terkait dengan maqarim al-akhlak.

Adapun hubungan antara perlindungan terhadap perempuan dalam

hukum islam dengan tujuan tersebut diatas termasuk kedalam tingkat

dharuriyah, karena apabila tujuan tersebut terwujud dan terpelihara maka

akan tercipta kemaslahatan di dunia maupun di akhirat. Diantara tujuan

disyariatkannya hukum dalam islam (makashid as syariyah) adalah

memelihara kehormatan dan harga diri manusia, memelihara kesucian,

keturunan dan hak reproduksi, dan perlindumgan terhadap jiwa. Haramnya

zina dan semua perilaku yang dalam terminology modern disebut dengan

pelecehan seksual tak terlepas dari tujuan-tujuan tersebut.16

Berbagai tingkat kekerasan yang selama ini terjadi dan menimpa

kaum perempuan merupakan suatu tindak kejahatan yang harus dihapuskan.

Karena, kekerasan tersebut pada umumnya banyak melanggar hak asasi

seorang perempuan, seperti tindak pidana perdagangan orang dimana kaum

perempuan banyak yang menjadi korbannya.

15
Ismail Muhammad Suah, Tujuan dan Ciri Hukum Islam Dalam Filsafat Hukum Islam,
(Cet.2; Jakarta: Bumi Aksara dan Depag RI, 1992), h. 65.
16
Abdul Muqsith Ghozali, dkk., Tubuh, Seksualitas, dan Kedaulatan Perempuan: Bunga
Rampai Pemilik Ulama Muda, (tc; Jakarta: Rahima, 2002), h. 120.
Dalam tindak kejahatan ini selain perempuan diperdagangkan

layaknya barang, mereka juga sering mendapatkan paksaaan untuk

mendapatkan perbuatan yang melawan hukum. Seperti eksploitasi seksual

dimana korban dipaksa untuk bekerja sebagai pekerja seks. Dalam hal ini

mereka tidak dapat menolak, karena jika mereka menolaknya maka mereka

akan mendapatkan hukuman, baik berupa pemukulan maupun denda yang

harus dibayarkan oleh para pelaku.17

Islam sebagai agama rahmatan lilalamin, melaraang kekerasan

terhadap perempuan dalam bentuk apapun, karena hal ini bertentangan

dengan prinsip kerahmatan yang dimilikinya. Untuk mereduksi kejahatan

kekerasan ini, islam menawarkan konsep keadilan relasi antara laki-laki dan

perempuan. Oleh karena itu, maka hukum memperdagangkan perempuan

layaknya barang, untuk dijadikan objek eksploitasi seksual adalah haram.

Al-Quran dengan tegas mengharamkan seseorang untuk melakukan

tindakan penipuan, pemaksaan, dan eksploitasi terhadap perempuan, bahkan

terhadap orang yang ada dalam kekuasaanya, tak terkecuali budak dan

anaknya sendiri, adalah bagian dari suatu tindakan kriminal sehingga

pelakunya harus dihukum.18

Dengan demikian, kita sebagai umat nabi Muhammad SAW

hendaknya mengikuti teladan beliau yang tidak pernah melakukan

kekerasan terhadap siapapun, termasuk perempuan. Karenanya, orang yang

melakukan tindak kekerasan terhadap perempuan dengan cara

memperdagangkannya untuk tujuan komersial dan meraih keuntungan

17
Jurnal Perempuan, Hukum Kita Sudahkah Melindungi?, (Jakarta: Yayasan jurnal
Perempuan, 2006), h. 53.
18
Faqihuddin Abdul Kodir, dkk., Fiqh Anti Trafiking: Jawaban Atas Berbagai Kasus
Kejahatan Perdagangan Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam, (Cet. 1; Cirebon: Fahmina-
Institute, 2006), h. 66.
pribadi tersebut dianggap sebagai orang yang tidak bermoral dan tidak

berprikemanusiaan.

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Campuran

1. Perkawinan Campuran Berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974

Pengertian perkawinan campuran yang digunakan dalam UU

Perkawinan No 1 Tahun 1974 yaitu dalam pasal 57, berbeda dibandingkan

dengan pengertian yang ada dalam peraturan Perkawinan Campuran (GHR,

Stbl. 1898-158)19 seperti pada Pasal 57 UU Perkawinan yang dimaksud

dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan,

kerena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan Indonesia.

Pasal 57 membatasi makna perkawinan campuran pada perkawinan

antara seorang warganegara republik Indonesia dengan seorang yang bukan

warganegara republik Indonesia, sehingga tidak termasuk didalamnya

perkawinan antara sesama warganegara republik Indonesia yang berbedaan

hukum dan antara sesama bukan warganegara republik Indonesia20

Ketentuan lebih lanjut tentang perkawinan campuran ini diatur pada

pasal 58 sampai 62 Undang-Undang Perkawinan.

Pertama, diatur tentang perolehan kewarganegaraan yang ditetapkan

bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan

perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari

suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut

cara-cara yang ditentukan dalam Undang-Undang kewarganegaraan

republik Indonesia yang berlaku.


19
Rusdi Malik, Memahami Undang-undang Perkawinan, (Universitas Trisakti, Jakarta,
2009), h. 106.
20
Sudarsono, Hukum Perkawinan nasional, (Cet.1; Jakarta: Rineka Cipta, 2005), h.196.
Kedua, mengatur tentang akibat dari kewarganegaraan yang

diperoleh di dalam perkawinan yang ditegaskan :

a. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau

putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai

hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

b. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di indonesia dilakukan

menurut Undang-Undang Perkawinan ini.

Ketiga, mengatur tentang syarat-syarat di dalam perkawinan

campuran tersebut antara lain :

a. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa

syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi

pihak masing-masing telah dipenuhi.

b. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat 1 telah

dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan

perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang

berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan,

diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi.

c. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat

keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, pengadilan

memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh

dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat

keterangan itu beralasan atau tidak.

Keempat, mengatur tentang pencatatan perkawinan sesuai dengan

pasal 61 Undang-Undang Perkawinan bahwa:

a. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang.


b. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa

memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang

surat keterangan atau putusan pengganti keterangan yang disebut dalam

pasal 60 ayat 4 Undang-Undang ini dihukum dengan hukum kurungan

selama-lamanya satu bulan.

c. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia

mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak

ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan

dihukum jabatan.

Kelima, ditegaskan bahwa dalam perkawinan campuran kedudukan

anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat 1 Undang-Undang ini. Ketentuan ini

dimuat di dalam pasal 62 Undang-Undang Perkawinan.

2. Pembagian Perkawinan Campuran Secure Umum (Internasional dan

Nasional)

Gouw Giok Siong membagi perkawinan campuran menurut historis

dan sistematisnya21, sebagai berikut:

a. Perkawinan campuran internasional

Perkawinan internasional selalu perkawinan campuran.22 Dalam

pasal 10 GHR disebutkan, perkawinan-perkawinan yang dilangsungkan

di luar negeri dilakukan menurut aturan yang berlaku di negeri tersebut,

kedua belah pihak tidak melanggar aturan atau syarat-syarat dan hukum

yang berlaku untuk mereka masing-masing adalah perkawinan campuran.

Menurut Gouw Giok Siong, perkawinan-perkawinan internasional

juga merupakan perkawinan campuran menurut GHR. Dan Wirjono

21
Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan islam, (tc;
Medan: Mestika, 2006), h.64.
22
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran, (tc; Jakarta:
Djambatan, 1958), h.80.
Prodjodikoro condong kepada menerima berlakunya GHR untuk

perkawinan Internasional, melihat bahwa beliau menganggap azas 2

(dua) GHR berlaku untuk segala hal mengenai kedudukan suami istri

dalam perkawinan internasional.

Perkawinan antara warganegara dan orang asing juga jelas

merupakan perkawinan dari orang-orang yang berada dibawah hukum

yang berlainan. Dari sebuah keputusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta

1 September 1954,23 ternyata bahwa perkawinan yang dilangsungkan di

Cairo antara seorang lelaki warganegara Indonesia dan seorang

perempuan warga negara Mesir, berdasarkan pasal 2 dan 10 GHR

merupakan perkawinan campuran menurut GHR.

b. Perkawinan Antar Regio (Interregional)

Perkawinan antar regio adalah perkawinan campuran. Sebelum

tanggal 27 Desember 1949 hukum Interregional ini masih mempunyai

arti, tetapi sekarang hanya sejarah.

Yang menjadi dasar dari hubungan hukum interregional ini ialah

pasal 16 AB. Bagi kaula negara Belanda berasal dari Hindia Belanda

yang berada di negeri Belanda atau lain jajahan dari kerajaan Belanda,

tetap berlaku hukum “staat en bevogheid” yang berlaku baginya di

Hindia Belanda. Kecuali bilamana ia bertempat tinggal dan menetap di

negeri perantauan, dalam hal mana berlaku hukum setempat.

Karenanya mungkin terjadi perkawinan campuran. Sebagai contoh,

perkawinan antara orang Indonesia yang bertempat tinggal dan menetap

di negeri Belanda yang hendak kawin, secara diwakilkan dengan orang

Indonesia yang bertempat tinggal dan menetap di Indonesia. Atau antara

23
Keputusan Pengadilan Negeri jakarta No. 269/1954 G.
orang Belanda yang sementara berada di Indonesia dan kawin dengan

orang Belanda pula yang bertempat tinggal dan menetap di Indonesia.

c. Perkawinan campuran antar tempat (Interlocal)

Dalam pokok ini, saya ingin membicarakan seperlunya apa yang

telah dinyatakan oleh Kollewijn, yang dikutip oleh Gouw Giok Siong

dari catatan dibawah keputusan-keputusan T.134/53,T.135/455.

Kollewijn mengemukakan pendapatnya mengenai perkawinan

antara kaula negara dengan kaula swapradja yang mempunyai latar

belakang sejarah dalam hukum hubungan luar negeri. Jika pihak

perempuan yang menjadi kaula negara, yang berlaku ialah hukum

swapradja, GHR tidak berlaku dan pasal 2 GHR juga tidak berlaku.

Menurut beliau dalam memandang hubungan perkawinan antara

kaula negara dan kaula swapradja, harus kita pisahkan dua bagian dengan

tegas. Yang pertama ialah perkawinan yang dapat menghasilkan

perubahan golongan suku bangsa, menurut 163 I.S, umpamanya

perkawinan antara lelaki Tionghoa dengan perempuan Indonesia kaula

swapradja, perkawina antara laki-laki Indonesia kaula swapradja dengan

perempuan Tionghoa, antara lelaki Indonesia kaula Swapradja dengan

perempuan Eropa. Pada perkawinan semacam ini, selain masuk golongan

rakyat (menjadi bumiputra), pihak perempuan pun memperoleh

kekaulaan (menjadi kaula swapradja) dari sang suami.bagian kedua ialah

yang terjadi dalam golongan rakyat bumiputra sendiri. Dalam bagian ini,

peralihan golongan rakyat tidak menjadi pembawaan dari pernikahan.

Tidak dipatuhinya apa yang disebut dalam pasal 6 dan 7 GHR,

tidak menyebabkan perkawinan tersebut batal demi hukum.

d. Perkawinan Campuran antar agama (interreligious)


Perkawinan campur antar agama dikalangan golongan rakyat

Indonesia adalah, a) antara Indonesia Nasrani dan Indonesia bukan

Nasrani, b) antara Indonesia Islam dan bukan Islam, c) antara Arab

Nasrani dan Arab bukan Nasrani, d) antara Indonesia Hindu dan bukan

Hindu.24

Dalam persoalan perkawinan campuran antar agama ini menurut

Lemaire, “Overgang van Godsdienst als probleem voor het Intergentiel

Privaatrecht” pada lampiran 1, terdapat surat edaran Departemen Van

Justitie tertanggal 13 Mei 1930 yang ditujukan kepada semua gubernur di

seluruh Indonesia. Dimana menteri tersebut menjawab persoalan

gubernur yang bersangkutan, hukum apa yang diperlukan di dalam

perkawinan seorang laki-laki Indonesia beragama Kristen dan seorang

wanita Indonesia beragama Islam.

Dalam surat itu dijawab oleh Direktur Van Justitie, menurut

pertimbangannya Stbl. 1898/158 memenuhi segala letentuan yang

dimaksudkan oleh perkawinan tersebut.

Menteri mengakui, dalam literatur tidak terdapat kata sepakat,

tetapi menurut pendapat beliau kawin campur yang terdapat pada pasal 1

dari peraturan tersebut mencakup pengertian perkawinan seorang Kristen

dari Jawa dengan seorang Jawa yang beragama Islam. Berdasarkan pasal

6 dari perkawinan campuran tersebut perkawinan seperti ini dapat

dilaksanakan oleh pendeta Kristen. Bahwa perkawinan dua orang

tersebut di atas tidak ada perbedaannya dengan perkawinan antara suami

istri yang keduanya beragama Kristen. Untuk wanita Islam tersebut

diberlakukan pasal 7 Stbl 1898/158.

24
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran, (tc; Jakarta:
Djambatan, 1958), h.112.
Laki-laki Indonesia Kristen itu memenuhi ketentuan untuk di

daftarkan pada catatan sipil (Stbl. 1864 No. 142), dan tidak ada masalah

dalam hal ini. Perkawinan ini dilakukan dinhadapan Catatan Sipil,

sebagaimana pada prakteknya yang banyak terjadi.

e. Perkawinan campuran antar golongan (Intergentiel)

Pendapat umum bahwa GHR berlaku untuk perkawinan antar

golongan rakyat dari pasal 163 IS. Beberapa contoh dari perkawinan

campur antar golongan, sebagai berikut:25

1) Antara Eropa dan Indonesia

2) Antara Eropa dan Tionghoa

3) Antara Eropa dan Arab (hukum kekeluargaan dan warisan yang

berlainan)

4) Antara Eropa dan Timur Asing (bukan Tionghoa atau Arab)

5) Antara Indonesia dan Arab

6) Antara Indonesia dan Tionghoa

7) Antara Indonesia yang dipersamakan hak dengan orang Eropa dan

Indonesia tidak “gelijkgesteld”

Yang perlu dijelaskan, apa yang disajikan oleh Guow Giok Siong

mengenai keputusan perkawinan antara perempuan Eropa dan laki-laki

Indonesia.

Oleh R.P.D. dan perempuan J.M.R. yang dilahirkan di den Helder

dimintakan ketepatan RvJ Surabaya pada tahun 1933, supaya surat-surat

yang telah mereka sampaikan kepada pegawai Catatan Sipil sehubungan

dengan keinginan menikah agar dinyatakan mencukupi.26

25
Gouw Giok Siong, Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan Tjampuran, (tc; Jakarta:
Djambatan, 1958), h.112.
26
Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan islam, (tc;
Medan: Mestika, 2006), h.71-72.
Perempuan J.M.R. ternyata telah kawin dengan lelaki Indonesia

I.Tj. dan sudah terlebih dahulu masuk agama Islam. Perkawinan ini

dilangsungkan di hadapan penghulu. Kemudian J.M.R. berikrar di

hadapan Tengku Soetan Radja Negeri Panei, bahwa ia murtad (apostasi)

dari agama Islam dan kembali ke agamanya semula. Karena ini kerapatan

Panei dengan keputusan tanggal 4 Maret 1933, telah menganggap putus

perkawinannya dengan I.Tj. RVj memutuskan permohonan dapat

dikabulkan karena surat0-suratnya telah memenuhi persyaratan.

Memang jika kita memakai GHR sebagai pedoman dan bukan

hukum Islam, maka perkawinan I.Tj. dan J.M.R tidak dapat diceraikan

oleh perbuatan murtad tersebut. Di samping itu menurut sarjana

Werheim, yang dikutip oleh Gouw, GHR tidak berlaku di daerah

Swapradja, dengan demikian soal kepuusan kerapatan Panei menjadi

tidak tepat.

Di tahun 1936, RvJ Surabaya kembali memeriksa lanjutan dari

perkara ini. Pihak-pihak yang bersengketa dalam perkara ini adalah sama

seperti pada tahun 1934 – I.Tj. kini sebagai penggugat sementara RvJ dan

J.M.r sebagai para tergugat. Berhubung penggugat masih menjadi suami

J.M.R atau tergugat. Sementara pembelaan tergugat ialah, waktu

perkawinan diantara mereka masih berlangsung, perkawinan antara

J.M.R. dengan penggugat sudah putus hubungan J.M.R. dianggap telah

murtad terhadap agama Islam.

Perlu diterangkan J.M.R. telah menetap di Labuhan Bilik

Swapradja Panei sebelum mengadakan hubungan dengan kerapatan

Panei. Akhirnya hakim memutuskan untuk menolak gugatan penggugat,

berhubung pada waktu tergugat masih terkait tali perkawinan dengan


J.M.r (tergugat), telah dinyatakan putus oleh hakim agama karena J.M.R.

dianggap telah murtad. Oleh hakim dipertimbangkan, GHR tidak berlaku

berhubungan kedua belah pihak sebelum menikah sudah menjadi orang

Islam. Lagipula bahwa J.M.R. telah menjadi kaula Swapradja.27

C. Tinjauan Umum Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang

1. Pengertian Perdagangan Orang

Pada masa lalu, perdagangan orang merupakan suatu simbol/status

sosial, dimana orang yang mempunyai status sosial tinggi (ekonomi dan

kekuasaan/politik) dipastikan akan mempunyai budak-budak belian. Adapun

yang dimaksud dengan “budak” adalah orang yang dibeli dan dijadikan

budak, hamba, jongos. Setiap orang yang mempunyai budak akan dianggap

mempunyai status sosial yang tinggi, sehingga hal ini merupakan suatu hal

yang umum, yang tidak perlu dikaji dari perkembangan ilmiah.28

Trafficking atau perdagangan digunakan untuk pengistilahan

tindakan perdagangan manusia. Terminologi istilah trafficking merupakan

isu baru di Indonesia. Sampai saat ini belum ada terjemahan yang tepat

dalam bahasa Indonesia dan dapat dengan jelas membedakan dari “trading”

perdagangan. Meskipun dengan penggunaan persamaan kata yang kurang

tepat, istilah perdagangan digunakan untuk menerjemahkan istilah

trafficking.29

Dalam sejarah bangsa Indonesia pernah ada melalui perbudakan atau

penghambaan. Masa kerajaan-kerajaan di Jawa. Perdagangan orang yaitu

27
Jafizham, Persentuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan islam, (tc;
Medan: Mestika, 2006), h.73.
28
Heny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (tc; Jakarta Timur: Sinar Grafika),
h. 90.
29
Rachmad Syafaat, Dagang manusia Kajian Trafficking Terhadap Perempuan dan Anak
di Jawa Timur, (Yogyakarta: Lappera Pustaka Utaama), h. 11.
perdagangan perempuan pada saat ini merupakan bagian pelengkap dari

sistem feodal. Pada masa itu konsep kekuasaan raja tidak terbatas, hal ini

tercermin dari selir yang dimilikinya. Beberapa orang dari selir tersebut

adalah putri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda

kesetiaan. Sebagian lain adalah persembahan dari raja lain dan ada juga selir

yang berasal dari masyarakat lingkungan bawah yang dijual atau diserahkan

oleh keluarganya dengan maksud agar tujuan tersebut mempunyai

keterkaitan dengan keluarga istana, sehingga dapat meningkatkan

statusnya.30 Istilah “perdagangan orang” pertama kali dikemukakan

pengertiannya pada tahun 2000, ketika Majelis Umum Perserikatan Bangsa-

Bangsa, menggunakan protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum

perdagangan atas manusia, khususnya kaum perempuan dan anak-anak yang

akhirnya terkenal dengan sebutan “Protocol Palermo”.31

Perdagangan orang bertentangan dengan hak asasi manusia karena

perdagangan orang melalui cara ancaman, pemaksaan, penculikan,

penipuan, kecurangan, kebohongan dan penyalahgunaan kekuasaan serta

bertujuan prostitusi, pornografi, kekerasan atau eksploitasi, kerja paksa,

perbudakan atau praktik-praktik serupa. Jika salah satu cara tersebut diatas

terpenuhi, maka terjadi perdagangan orang yang termasuk sebagai kejahatan

yang melanggar hak asasi menusia.32

Ada tiga unsur-unsur yang terkandung dalam perdagangan orang,

pertama: unsur perbuatan, yang meliputi: merekrut, mengangkut,

memindahkan, menyembunyikan atau menerima. Kedua: unsur sarana, cara

untuk mengendalikan korban, yang meliputi: ancaman, penggunaan,


30
Fahrana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, (Cet. 1; Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h.1.
31
Paul Sinlaeloe, Tindak Pidana Perdagangan Orang, (tc; Malang: Setara Pres, 2017),
h.1.
32
Fahrana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, h.11.
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan

atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang

kendali atas korban. Ketiga unsur tujuan, yang meliputi: eksploitasi,

setidaknya untuk prostitusi atau bentuk eksploitasi seksual lainnya kerja

paksa, perbudakan, penghambaan, dan pengambilan organ tubuh.33

2. Unsur-Unsur Perdagangan Orang

Adapun beberapa unsur-unsur tindak pidana perdagangan orang

sebagaimana dikemukakan oleh Heru Kasidi adalah sebagai berikut:

a. Unsur Pelaku

Setiap orang yang dalam UUPTPPO dipahami sebagai orang

perseorangan atau koperasi yang melakukan tindak pidana perdagangan

orang. (Pasal 1 angka 4 UUPTPPO)

b. Unsur Proses

Urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau

didesain, yang meliputi: perekrutan, pengangkutan, penampungan,

pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang.

c. Unsur Cara

Bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan untuk menjamin proses

dapat terlaksana, yang meliputi: ancaman, kekerasan, penggunaan,

kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau

manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang

kendali atas orang lain tersebut yang menjamin proses dapat terlaksana,

yang meliputi ancaman, kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan. Penjeratan utang

33
Fahrana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, h.17.
atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari

orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut.

d. Unsur Tujuan

Sesuatu yang nantinya akan tercapai dan atau terwujud sebagai

akibat dari tindakan pelaku tindak pidana perdagangan orang yang meliputi

eksploitasi orang atau mengakibatkan orang tereksploitasi dalam pasal 1

angka 1 dan pasal 2 ayat (1) UUPTPPO.34

3. Akibat Perdagangan orang

Trafficking merupakan kejahatan luar biasa yang sulit untuk

dikendalikan. Dari hasil penelitian dan infestigasi yang dilakukan oleh

lembaga-lembaga yang peduli terhadap masalah ini, teridentifikasi bahwa

dampak trafiking dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Melemahnya potensi sumber daya manusia terutama anak-anak dan

perempuan. Perdagangan manusia memiliki dampak negatif pada pasar

tenaga kerja yang menimbulkan hilangnya sumber daya manusia yang tidak

dapat diperoleh kembali.

b. Perempuan mengalami kekerasan fisik dan mental meskipun kadang tidak

disadari banyak situasi yang sebenarnya perdagangan orang.

c. Akibat kekerasan, pemerasan apalagi pemaksaan terhadap perempuan untuk

melakukan hubungan seksual, menimbulkan penderitaan yang sangat dalam

dan membekas sepanjang hidupnya serta merusak masa depan untuk

bertahan hidup seorang perempuan.

Perdagangan orang menimbulkan dampak negatif yang sangat

berpengaruh terhadap kehidupan para korban. Dari segi fisik, korban tak jarang

terjangkit penyakit karena situasi hidup dan dampak dari pekerjaannya

misalnya HIV/AIDS yang ditularkan melalui hubungan seksual. Dari segi


34
Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, (tc; Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 56.
psikis, para korban kehilangan kesempatan untuk mengalami perkembangan

sosial, moral, dan spiritual. Mayoritas para korban mengalami stress dan

depresi akibat dari apa yang mereka alami. Sering kali korban mengasingkan

diri dari kehidupan sosial bahkan keluarga.35

4. Perdagangan Perempuan Sebagai Masalah Internasional

Hal yang serius dan tidak dapat dilupakan apabila berbicara tentang

tindak kekerasan terhadap perempuan adalah fenomena komodifikasi

perempuan melalui manipulasi, paksaan, ancaman langsung Maupin tidak

langsung, kekerasan, eksploitasi, jual beli atas diri perempuan, dan

penyelewengan kekuasaan, didalam Maupin melewati batas negara.semuanya

bermaksud untuk menenpatkan perempuan di keinginan atau pengetahuannya

sebagai eksploitasi untuk mendapatkan keuntungan. Kasus perdagangan

perempuan merupakan hal yang rumit, disebabkam karena posisi perempuan

yang sangat rentan, faktor kemiskinan, rendahnya pendidikan, terbatasnya

akses dan kesempatankerja, konflik sosial, peperangan, serta lemahnya

penegakan hukum, kebijakan dan kinerja pemerintah yaitu rendahnya infestasi

pendidikan dan kesehatan, kelangkaan akta kelahiran, serta kekurangan

informasi.36 Dalam konteks inilah perempuan berada dalam posisi rentan

sehingga tak terhindar dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, seperti praktik

perdagangan manusis khususnya perempuan.37

Perdagangan perempuan merupakan masalah yang terjadi sejak jutaan

tahun yang lalu, bahkan merupakan khas pengalaman negara-negara khususnya

negara miskin dan negara yang hidup di dunia ketiga. Pada awalnya

perdagangan perempuan hanya bentuk perbudakan atau perseliran.38 Praktek


35
Mufidah Ch, Mengapa Mereka di Perdagangan, h. 30.
36
Dewi Novirianti, Eksploitasi dan Ketidakadilan Gender, 2001
37
Dewi Novirianti, Eksploitasi dan Ketidakadilan…
38
Hulk Terence, dkk., Pelacuran di Indonesia, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: 1997), h.
108.
perdagangan perempuan pada masa itu hanya untukbudak nafsu. Perempuan

dibawah kekota dijerat dengan penipuan berupa tawaran kerja yang cukup

baik, sedangkan yang masih bersekolah ialah tawaran bersekolah di luar negeri.

Namun, dalam kenyataanya mereka dipaksa sebagai pelayan nafsu pelaku yang

dilakukan secara terjadwal.39

Praktek perdagangan manusia dewasa ini dalam skala nasional,

disebabkan karena direspon oleh orang tua tertentu dengan berbagai kondisi

pendukungnya serta daerah asal atau daerah setempat melanggengkan hal

tersebut sampai tahap menganggap perdagangan perempuan dinilai sebagai hal

yang wajar oleh sebagian negara seperti Jepang dan Thailand. Dinegara seperti

inilah perdagangan perempuan di jadikan sebagai aset negara. Selain itu,

memperdagangkan perempuan untuk tujuan prostitusi yang umum terjadi

merupakan bagian dari budaya masyarakat.40

Aktifitas pada praktek perdagangan perempuan telah tersosialisasi

sedemikian rupa sehingga mengarah pada pembentukan budaya. Artinya,

perilaku menjual diri terbentuk secara turun temurun. Perdagangan perempuan

dianggap sebagai peluang untuk mendapatkan uang secara muda dengan

menjual anaknya kepada germo dan calo yang bekerja secara terorganisir.

Apalagi bagi para pelaku perdagangan perempuan, hal tersebut merupakan

peluang emas untuk mendapatkan keuntungan besarr. Ditambah lagi jika

perempuan tersebut masih perawan mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada

anak yang sudah tidak perawan.41

Dalam skala internasional, perdagangan perempuan, khususnya di Asia

secara geografis dipetakan oleh Aegilia Fernandez tahun 1998, yang berhasil

39
Hulk Terence, dkk., Pelacuran di Indonesia…
40
Koento Joro, Kontradiksi Power Motif dan Prostitusi, Sebuah Upaya Pemahaman Keluarga,
(Ikatan Sarjana Psikologi Indonesia, 1997).
41
Koento Joro, Kontradiksi Power Motif dan Prostitusi…
memetakan perdagagan perempen dikawasan Asia dengan

mengedentifikasikan menjadi negara pengirim dan negara penerima. Sindikat

dan tata kerjanya sangat rapi karena di dukung oleh teknologi yang canggih

dan organisasi yang rapi. Meskipun sebenarnya pengekspor utama adalah

negara Tailand tetapi biasanya melalui negara lain dalam hal ini Filipina dan

Malaisia.

Data yang terkait dalam perdagangan perempuan adalah pengiriman

tenaga entertaimen yang sebagian besar adalah perempuan yang di impor ke

jepang. Jepang secara historis merupakan negara penerima perempuan yang

diperdagangkan dari berbagai negara karena industri seks di jepang membesar

dalam skala fantastis dan meraih keuntungan lebih dar 4 trilyun Yen setuap

tahunnya.42

Kasus lain yang terkait dengan permasalahan perdagangan permpuan

adalah maraknya mekanisme kawin kontrak (Mail Bride Order). Fenomena ini

mengemuka di singkawang, sementara konsumennya adalah laki-laki asal

Taiwan dan Hongkong. Taiwan dan Hongkong merupakan negara penerima

dari perempuan yang diperdagangkan dengan motif kawin kontrak. Fenomena

tersebut senantiasa mengalami peningkatan setiap tahun. Pada tahun 1998 ada

416 orang, Tahun 1999 ada 604 orang, dan pada tahun 2000 terdapat 694

orang. Korban kasus ini adalah perempuan singkawang. Jika dalam kasus ini,

perempuan berada dalam kondisi yang rentan, tetapi pemerintah daerah

singkawang mampu mengeruh pemasukan perbulannya paling tidak 750 juta

rupiah, yang merupakan hasil fenomena mail bride order.43

Masalah Perdagangan Perempuan, Pontianak Post, 2003.


42

Nur Paikah, Pencegahan Perdagangan Perempuan dalam Kerangka Konfensi PBB


43

Mengenai Kejahatan Lintas Batas Negara Terorganisir, (Cet. 1; CV. Mario Sulfana, Bone, 2020),
h. 56.
Selain itu, Taiwan Economi Trade Organisation (TETO) yang

berkedudukan di Indonesia khususnya di Jakarta melaporkan bahwa sejak

tahun 1992 sekitar 2000 perempuan yang berasal dari Indonesia, Tailan, dan

Malaisia yang telah menikah dengan laki-laki taiwan. Akan tetapi perkawinan

tersebut biasanya berakhir dengan terjerumusnya perempuan dalam praktik

prostitusi, lilitan hutang yang menyebabkan mereka tidak memperoleh

penghasilan dari kerja mereka. Banglades juga merupakan negara yang

memiliki fenomena perdagangan dengan cara perkawinan antarnegara. Setiap

tahunnya sekitar 5000 perempuan Bangladesh dikecohkan dengan janji

perkawinan terutama ke India. Sementara itu, data dari Dewan Nasional untuk

Kesejahtraan Sosial Pakistan menyebutkan bahwa sedikitnya 100-150

perempuan Bangladesh menikah dengan laki-laki asing, dan biasanya berakhir

dengan pelecehab terhadap hak asasi perempuan.44 Agar terhindar dari hal-hal

tersebut maka dalam agama di anjuran untuk segera melakukan perkawinan.

Perkawinan merupakan salah satu perintah agama kepada yang mampu untuk

segera melaksanakannya. Karena perkawinan mampu mengurangi

kemaksiatan, baik dalam bentuk penglihatan Maupin dalam bentuk

perzinahan.45

44
The Human Righ: Whats Global Report on Women Righ (New York Human Righs
Whatch 1995), h. 230
45
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Cet. 3, Sinar Grafika: Jakarta;
2009), h. 7.

Anda mungkin juga menyukai