Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem ekonomi Islam merupakan sistem ekonomi yang bebas, tetapi kebebasannya ditunjukkan lebih
banyak dalam bentuk kerjasama daripada dalam bentuk kompetisi (persaingan). Karena kerjasama
meupakan tema umum dalam organisasi sosial Islam. Individualisme dan kepedulian sosial begitu erat
terjalin sehingga bekerja demi kesejahteraan orang lain merupakan cara yang paling memberikan
harapan bagi pengembangan daya guna seseorang dan dalam rangka mendapatkan ridha Allah SWT. Jadi
Islam mengajarkan kepada para pemeluknyaagar memperhatikan bahwa perbuatan baik (amal sâlih)
bagi masyarakat merupakan ibadah kepada Allah dan menghimbau mereka untuk berbuat sebaik-
baiknya demi kebaikan orang lain. Ajaran ini bisa ditemukan di semua bagian Al-Quran dan
ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW sendiri.

Prinsip persaudaraan (ukhuwwah) sering sekali ditekankan dalam Al-Quran maupun Sunnah, sehingga
karena itu banyak sahabat menganggap harta pribadi merekasebagai hak milik bersama dengan saudara-
saudara mereka dalam Islam. Kesadaran dan rasa belas kasihan kepada sanak keluarga dalam keluarga
besar juga merupakan contoh orientasi sosial Islam yang lain, karena berbuat baik (beramal salih)
kepada sanak keluarga semacam itu tidak hanya dihimbau tetapi juga diwajibkan dan diatur oleh hukum
(Islam).

Kerukunan hidup dengan tetanggasangat sering ditekankan baik dalam Al-Quran maupun Sunnah; di sini
kita jugamelihat penampilan kepedulian sosial lain yang ditanamkan oleh Islam. Dan akhirnya,
kesadaran, kepedulian dan kesiapan untuk melayani dan berkorban disaat diperlukan demi kebaikan
masyarakat keseluruhan amat sangat ditekankan. Ajaran-ajaran Islam pada umumnya dan terutama ayat-
ayat Al-Quran berulang-ulang menekankan nilai kerjasama dan kerja kolektif. Kerjasama dengan tujuan
beramal saleh merupakan perintah Allah yang dinyatakan dalam Al-Quran. Baik dalam masalah-masalah
spiritual, urusan-urusan ekonomik atau kegiatan sosial, Nabi SAW menekankan kerjasama diantara umat
Muslim sebagai landasanmasyarakat Islam dan merupakan inti penampilannya.

Senin, 17 Rajab 1440 H / 25 Maret 2019

Home » Peradaban » Ekonomi Syariah


Pilar Pilar Ekonomi Islam

Redaksi – Kamis, 12 Safar 1434 H / 27 Desember 2012 06:11 WIB

Oleh, M. Ridho Hidayat

(Santri PPMS Ulil Albab Bogor, mahasiswa Magister Ekonomi Islam Universitas Ibn Khaldun Bogor)

Setiap bangunan sudah seharusnya memiliki pilar yang menjadikannya mampu berdiri tegak diatas
pondasi. Sebagus dan sekuat apapun pondasi suatu bangunan, ia tidak akan menjadi suatu yang berarti
tanpa adanya pilar. Pilar-pilar tersebut berfungsi menyatukan dinding dan menyangga atap yang ada di
atasnya. Di dalam bangunan seperti itulah, manusia dapat berteduh, tinggal dan mengambil manfaatnya.

Begitu juga dengan ekonomi Islam. Bangunan yang pondasinya adalah keagungan tauhid, kesempurnaan
syariat dan kemuliaan akhlak ini, tidak akan nampak dan bermanfaat jika tidak ditegakkan pilar-pilarnya.
Apa sajakah pilar-pilar itu? Tulisan ini akan mengulas secara singkat tentang pilar-pilar ekonomi Islam
menurut para ahlinya di Indonesia.

Pendapat Para Ahli

Adiwarman Azwar Karim, anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia menjelaskan,
terdapat tiga pilar dalam sistem ekonomi Islam. Pertama, meninggalkan seluruh unsur-unsur yang
dihukumi haram menurut syariat Islam, misalnya, riba (bunga). Kedua, prinsip keseimbangan antara
sektor riil dengan sektor keuangan. Menurut Adiwarman, ketidakseimbangan dalam sistem ekonomi
dapat mengakibatkan bubble economy pada sistem ekonomi kapitalisme. Ketiga, prinsip proses transaksi
jual-beli yang adil, tidak menguntungkan satu pihak merugikan pihak yang lain.

Sementara itu, Hendri Tanjung dalam penelitiannya berjudul “Apakah Bank Syariah Membuat Ekonomi
Stabil? Suatu Pendekatan Teori dan Model Matematika serta Implikasinya” menyebutkan 3 pilar ekonomi
Islam. Pilar tersebut diungkap dalam Qs Al-baqarah 275-277, yaitu : Sektor Riil (jual Beli), Lembaga
Keuangan bebas Riba, dan Zakat. Penelitian ini mendapat penghargaan sebagai Juara pertama untuk
kategori Peneliti Madya dalam Forum riset Perbankan Syariah V di Universitas Muslim Indonesia.

Agak berbeda dengan Hendri, Muhaimin Iqbal menjelaskan adanya 4 roda ekonomi Islam dalam bukunya
‘Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan Dirham’. Dalam buku tersebut Iqbal menyatakan
bahwa kemakmuran sebagai tujuan operasional ekonomi Islam, hanya akan terwujud melalui 4 pilar ini.
Pertama, alat tukar yang adil berupa uang yang stabil (dinar & dirham). Kedua, sistem pembiyaan yang
bebas riba berupa kerjasama atau kontrak dagang berbentuk qirad dan syirkah. Ketiga, pedagang yang
amanah dan pasar yang terbuka (fair trade bukan free trade). Keempat, profesionalisasi pengelolaan
distribusi harta (melalui zakat, infaq, shadaqah dan wakaf).

Sektor Ril versus Riba

Dari pendapat-pendapat tersebut, dapat kita simpulkan bahwa ekonomi Islam sangat memperhatikan
urusan perdagangan dan sektor ril. Aspek inilah yang kurang mendapatkan banyak perhatian dalam
sistem ekonomi non-Islam. Jika kita mau mengambil ibrah dari ayat al-Qur’an ke 275 surat al-Baqaarah,
tentu saja kita akan paham perbedaan antara ekonomi perdagangan dengan ekonomi perbankan. Kita
juga dapat memahami perbedaan antara mudharabah dengan bunga.

Ekonomi yang tidak bertumpu pada poros jual-beli, dan hanya berputar pada money creation tidak akan
menambah apapun selain dosa. Harta yang diputar dengan cara riba, tidak menambah selain beban
produksi yang berlebihan dan kemalasan dalam etos kerja. Sedangkan harta yang diputar melalui jual-
beli dan ZISWAF (zakat, infaq, shadaqah dan wakaf) akan menyuburkan perekonomian. Hal itu
disebabkan karena jual-beli dan ZISWAF itu mengalirkan harta dan menggulirkannya di antara manusia.

Demikianlah pilar-pilar ekonomi yang harus ditegakan. Ibarat roda, pilar tersebut harus berputar dalam
kehidupan kita sehari-hari. Maha Benar Allah ketika berfirman: “Allah memusnahkan riba, dan
menyuburkan shadaqah.” Wallahul musta’an![]

https://m.eramuslim.com/peradaban/ekonomi-syariah/pilar-pilar-ekonomi-islam.htm

Nadya Rahmi
Nadya Rahmi

mahasiswa Pascasarjana FIAI UII

FOLLOW

EKONOMI

Konsep Kepemilikan dalam Islam

13 Januari 2018 17:47 Diperbarui: 13 Januari 2018 17:47 7495 0 1

Sebagai suatu sistem kehidupan universal dan komprehensif, Islam hadir dan dipercaya oleh pemeluknya
sebagai ajaran yang mengatur tentang segala bentuk aktivitas manusia, termasuk masalah ekonomi.

Salah satu bentuk aktivitas yang berkaitan dengan masalah ekonomi adalah persoalan kepemilikan (al-
milkiyyah). Islam senantiasa memberikan ruang dan kesempatan kepada manusia untuk mengakses
segala sumber kekayaan yang dianugerahkan-Nya di bumi ini, guna memenuhi semua tuntutan
kehidupan, memerangi kemiskinan, dan merealisasikan kesejahteraan dalam semua sisi kehidupan
manusia.

Kepemilikan terhadap harta yang di dalam Islam diatur dan diarahkan untuk kemaslahatan. Hal ini terkait
dengan konsep hak milik dalam Islam yang memberikan batasan-batasan bagi pemilik harta baik dari
cara perolehnya maupun cara pembelanjaannya.

Karena itulah dalam Islam perlindungan terhadap harta menjadi salah satu tujuan disyariatkan dalam
hukum Islam yang utama selain perlindungan terhadap agama Islam, jiwa, akal dan kehormatan.
Harusnya kita menyadari bahwa sesungguhnya hanyalah Allah yang menciptakan segalanya, semua
prakarsa dan usaha yang hakiki hanya milik Allah semata.

Pemberdayaan manusia atas segala fasilitas kehidupan, bukan berarti hal iitu dapat menafikan
kepemilikan Allah yang hakiki atas aset-aset tersebut. Dan juga tidak bisa dipahami behwa kepemilikan
atas harta benda berpindah dari Allah menjadi milik manusia.[1]
Pengertian Kepemilikan

Kata "kepemilikan" dalam bahasa Indonesia terambil dari kata "milik". Ia merupakan kata serapan dari
kata "al-milk" dalam bahasa Arab. Secara etimologi kata "al-milk" terambil dari akar kata " - - - " yang
artinya memiliki. Dalam bahasa Arab kata" " berarti memelihara dan menguasai sesuatu secara bebas.

Maksudnya kepenguasaan seseorang terhadap sesuatu harta (barang atau jasa) yang membolehkannya
untuk mengambil manfaat dengan segala cara yang dibolehkan oleh syara', sehingga orang lain tidak
diperkenankan mengambil manfaat dengan barang tersebut kecuali dengan izinnya, dan sesuai dengan
bentuk-bentuk muamalah yang diperbolehkan.

Misalnya, Ahmad memiliki sepeda motor. Ini berarti bahwa sepeda motor itu dalam kekuasaan dan
genggaman Ahmad. Dia bebas untuk memanfaatkan dan orang lain tidak boleh menghalangi dan
merintanginya dalam menikmati sepeda motor yang dimilikinya tersebut, kecuali setelah mendapat izin
dari pemiliknya.

Sedangkan pengertian "kepemilikan" menurut istilah berbagai ungkapan yang dikemukakan oleh para
ahli, namun secara esensial seluruh definisi itu pada prinsipnya.[2] Kepemilikan adalah suatu ikatan
seseorang dengan hak miliknya yang disahkan syari'ah.

Kepemilikan berarti pula hak khusus yang didapatkan si pemilik sehingga ia mempunyai hak
menggunakan sejauh tidak melakukan pelanggaran pada garis-garis syari'ah. Menurut hukum dasar, yang
namanya harta, sah dimiliki, kecuali harta-harta yang telah disiapkan untuk kepentingan umum, misalnya
wakaf dan fasilitas umum.[3]

Konsep Kepemilikan Perspektif Al-Qur'an dan Hadits

Prinsip dasar yang tercantum dalam Al-Qur'an dan Hadits sangat memperhatikan masalah perilaku
ekonomi manusia atas sumber material yang diciptakan Allah untuk manusia. Islam mengakui hak
manusia untuk memiliki sendiri, untuk konsumsi dan untuk produksi, namun tidak memberikan hak itu
secara absolut (mutlak).[4] Berikut ini adalah beberapa ayat Al-Qur'an yang ada relevansinya dengan
teori kepemilikan.
"kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan Allah Maha Perkasa atas segala sesuatu."(Q.S Al-
Imran : 189)[5]

Dalam ayat tersebut dengan tegas dinyatakan bahwa Allah-lah pemilik mutlak segala sesuatunya, dan
manusia hanya menjadi khalifah Allah di bumi.

"Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak
(menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S Al-
Baqarah:29)[6]

ayat di atas menekankan bahwa apa yang telah Allah ciptakan dapat dimiliki secara kolektif oleh seluruh
umat manusia. Secara hukum hak milik individu adalah hak untuk memiliki, menikmati dan memindah
tangankan kekayaan yang diakui dan dipelihara dalam Islam, tetapi mereka mempunyai kewajiban moral
untuk menyedekahkan hartanya, karena kekayaan itu juga merupakan hak masyarakat bahkan hewan.

Dari Abu Umamah, yaitu lyas bin Tsa'labah al-Haritsi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda:

"Barangsiapa yang mengambil haknya seseorang muslim dengan sumpahnya, maka Allah telah
mewajibkan neraka untuknya dan mengharamkan syurga atasnya." Kemudian ada seorang lelaki yang
bertanya: "Apakah demikian itu berlaku pula, sekalipun sesuatu benda yang remeh ya Rasulullah?"
Beliau menjawab: "Sekalipun bendanya itu berupa setangkai kayu penggosok gigi." (Riwayat Muslim)

Dalam hadits di atas memberikan pengertian bahwa kita sebagai seorang muslim tidak boleh saling
merampas hak milik sesama, sekecil apapun itu. Kita sebagai umat muslim harusnya saling menolong
dalam menjalankan setiap perintah yang Allah berikan kepada umat-Nya.

Kita sebagai manusia harus sadar bahwa hak yang dimiliki hanyalah bersifat sementara, dan merupakan
titipan dari Allah yang sewaktu-waktu jika Dia berkehendak maka Dia akan mengambilnya dari kita.
Sekecil apapun hak yang kita rampas dari sesama maka Allah akan sangat membenci itu, seperti yang
telah tertulis dalam hadits di atas.
Islam memiliki pandangan yang khas tentang hak milik, sebab ia dielaborasi dari Al Qur'an dan Hadist.
Dalam pandangan Islam pemilik mutlak seluruh alam semesta adalah Allah sedangkan manusia adalah
pemilik relatif.

Kepemilikan manusia terikat dengan aturan Allah, ia hanya bertugas untuk melaksanakan perintah Allah
atas pengelolaan alam semesta. Kesadaran bahwa kepemilikan manusia atas sumber daya ekonomi akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah di akhirat akan mendorong manusia untuk berhati-hati dalam
mengelola hak milik.

Secara umum dapat dikatakan bahwa Islam memberikan kedudukan yang proporsional antara hak milik
individu, hak milik kolektif dan hak milik negara. Meskipun hak milik ini sangat dilindungi, tetapi
ketiganya bukan hak milik yang bersifat mutlak. Hak milik dapat berubah dan diubah sesuai dengan
tingkat kepentingan dan urgensinya, tentunya melalui cara-cara yang dibenarkan.

Konsepsi tentang hak milik memiliki implikasi yang mendasar bagi keseluruhan sistem ekonomi. Konsep
ini akan menjadi dasar tentang apa, bagaimana dan mengapa mengelola, serta untuk siapa seluruh
sumber daya ekonomi di muka bumi ini. Maka dari itu dalam pandangan islam, terdapat prinsip-prinsip
dasar hak milik secara garis besar yaitu:[7]

Pemilik mutlak (the absolute owner) alam semesta ini adalah Allah Swt.

Manusia diberikan hak milik terbatas (limited ownership) oleh Allah Swt atas sumber daya ekonomi ,
dimana batasan kepemilikan dan cara pemanfaatannya telah ditentukanNya.

Pada dasarnya Allah menciptakan alam semesta bukan untuk diriNya sendiri, melainkan untuk
kepentingan sarana hidup (wasilah al hayah) bagi mahluk alam semesta dan isinya.

Manusia harus mempertanggungjawabkan penggunaan hak milik terbatas ini kepada Allah Swt kelak di
yaumul qiyamah (hari kiamat).
Kepemilikan manusia hanyalah kepemilikan untuk menikmati dan memberdayakan harta kekayaan yang
ada, bukan sebagai pemilik hakiki. Manusia hanya bisa memiliki kemanfaatan atas fasilitas yang ada,
seperti mempunyai tanah untuk dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, sebagai lahan pertanian, ataupun
sebagai ladang bisnis.

Kepemilikan yang ada hanya sebatas mengambil manfaat dan tidak bisa menghilangkan kepemilikan
Allah yang hakiki, atau mengurangi hak-hak Allah atas segala fasilitas kehidupan yang telah diturunkan di
atas bumi.

[1] Abdul Sami' Al-Mishri, Pilar-pilar Ekonomi Islam, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2006, hlm. 26.

[2] Ali Akbar, "Konsep Kepemilikan dalam Islam", Jurnal Ushuluddin, Vol.XVIII No.2 Juli 2012, Riau:UIN
Sultan Syarif Kasim, hlm. 125.

[3] Ibid, hlm. 101.

[4] Muhammad, Ekonomi Mikro Dalam Perspektif Islam, (Yogyakarta: BPFE-YOGYAKARTA, 2004), hlm.
100.

[5] Departemen Agama RI, Al-Qur'an dan Terjemahnya (Bandung: CV. Media Fitrah Rabbani, 2011), hlm.
75.

[6] Ibid, hlm. 5.

[7] Ibid, hlm.96.

Sistem ekonomi Islam memiliki kelebihan sebagai berikut:


1) Menjunjung Kebebasan Individu

Manusia mempunyai kebebasan untuk membuat suat fteputusan yang berhubungan dengan
pemenuhan kebutuha nidupnya. Dengan kebebasan ini manusia dapat bebas mengoptimalkan
potensinya. Kebebasan manusia dalam Islam didasarkan atas nilai-nilai tauhid suatu nilai yang
membebaskan dari segala sesuatu kecuali Allah. Nilai tauhid inilah yang akan menjadikan manusia
menjadi berani dan percaya diri.

2) Mengakui hak individu terhadap harta

Islam mengakui hak individu untuk memiliki harta. Hak pemilikan harta hanya diperoleh dengan cara-
cara yang sesuai dengan ketentuan Islam. Islam mengatur kepemilikan harta didasarkan atas
kemaslahatan sehingga keberadaan harta akan menimbulkan sikap saling menghargai dan menghormati.
Hal ini terjadi karena bagi seorang muslim harta sekedartitipan Allah.

3) Ketidaksamaan ekonomi dalam batas yang wajar

Islam mengakui adanya ketidaksamaan ekonomi antar orang perorangan. Salah satu penghalang yang
menjadikan banyaknya ketidakadilan bukan disebabkan karena Allah, tetapi ketidakadilan yang terjadi
dikarenakan sistem—yang dibuat manusia sendiri—. Misalnya, masyarakat lebih hormat kepada orang
yang mempunyai jabatan tinggi dan lebih banyak mempunyai harta, hingga masyarakat terkondisikan
bahwa orang-orang yang mempunyai jabatan dan harta mempunyai kedudukan lebih tinggi dibanding
yang lainnya. Akhirnya, sebagian orang yang tidak mempunyai harta dan jabatan merasa bahwa, "Allah
itu tidak adil".

4) jaminan sosial

Setiap individu mempunyai hak untuk hidup dalam sebuah negara: dan setiap warga negara dijamin
untuk memperoleh kebutuhan pokoknya masing-masing. Memang menjadi tugas dan tanggungjawab
utama bagi sebuah negara untuk menjamin setiap negara, dalam memenuhi kebutuhan sesuai dengan
prinsip “hak untuk hidup". Dalam sistem ekonomi Islam negara mempunyai tangj jawab untuk
mengalokasikan sumberdaya alam guna meningkatkan kesejahteraan rakyat secara umum.

5) Distribusi kekayaan

Islam mencegah penumpukan kekayaan pada sekelompok kecil masyarakat dan menganjurkan distribusi
kekayaan kepada semua lapisan masyarakat. Sumberdaya alam adalah hak manusia untuk dipergunakan
manusia untuk kemaslahatannya, upaya ini tidak menjadi masalah bila tidak ada usaha untuk
mengoptimalkan melalui ketentuan-ketentuan syariah.

6) Larangan menumpuk kekayaan

Sistem ekonomi Islam melarang individu mengumpulkan harta kekayaan secara berlebihan. Seorang
muslim berkewajiban untuk mencegah dirinya dan masyarakat supaya tidak berlebihan dalam pemilikan
harta. Seorang muslim dilarang beranggapan terlalu berlebihan terhadap harta sehingga menyebabkan
ia mengunakan cara-cara yang tidak benar untuk mendapatkannya.

7) Kesejahteraan individu dan masyarakat

Islam mengakui kehidupan individu dan masyarakat saling berkaitan antara satu dengan yang lain.
Masyarakat akan menjadi aktor yang dominan dalam membentuk sikap individu sehingga karakter
individu banyak dipengaruhi oleh karakter masyarakat. Demikian juga sebaliknya, tidak akan terbentuk
karakter masyarakat khas tanpa keterlibatan dari individu-individu.

Anda mungkin juga menyukai