Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-
Nya, sehingga Makalah Sejarah Pemikran Ekonomi Islam yang membahas tentang
pemikiran Abu A’la Al-Maududi dan Muhammad Baqir Al-Sadr ini dapat tersusun.
Abu A’la merupakan cendekiawan muslim yang berasal dari India, dilahirkan pada
tanggal 25 September 1903 M/3 Rajab 1321 H di kota Hyberad. Cendekiawan ini
merupakan putra dari Abu Hasan yang berketurunan dari sufi besar tarekat
Christiyah. Madrasah Furqoniyah merupakan pendidikan awal beliau, kemudian
orang tua beliau lebih memilih mendidiknya di rumah sehingga ia menjadi seorang
tradisionalis fundamentalis.[1]
Menurut Al-Maududi, Islam telah menerangkan sebuah system ekonomi. Akan tetapi,
Islam hanya menentukan landasan dasar yang bisa membuat kita menyusun sebuah
rancangan ekonomi yang sesuai di setiap masa. Dalam bidang ekonomi, Islam telah
membuat beberapa peraturan dan menyusun sejumlah batasan dimana kita boleh
membuat suatu system. Sebagaimana perkembangan yang ada, kita harus
menyimpulkan peraturan baru yang berada pada batasan-batasan yang ditemukan
oleh Islam.[2]
Jawaban beliau juga dibenarkan oleh Yusuf Qardhawi ketika temannya bertanya
bertanya mengenai hal yang sama. Saat itu beliau mengatakan “Aturan dalam Islam
ada yang bersifat global dan rinci. Yang global biasanya untuk hal-hal yang
memungkinkan berubah karena faktor waktu dan tempat. Sedangkan yang rinci untuk
hal-hal yang baku. Masalah ekonomi dan politik sering berubah, temporal, menurut
ruang dan waktu. Oleh sebab itu untuk masalah ini Islam cukup meletakkan
dasarnya.”[3]
Tujuan yang pertama dan utama dari Islam ialah untuk memelihara kebebasan
individu dan untuk membatasinya ke dalam tingkatan yang hanya sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan. Alasannya adalah karena seseorang harus bertanggung jawab
secara individu kepada Allah dan bukannya secara kolektif. Oleh karena itu, Islam
menentukan peraturan ekonomi yang menghasilkan kebebasan secara maksimal
terhadap kegiatan ekonomi kepada setiap individu, dan mengikat mereka yang hanya
kepada batasan-batasan yang sekiranya penting untuk menjaga mereka tetap pada
jalur yang ditentukan. Tujuan semua ini adalah menyediakan kebebasan kepada setiap
individu dan mencegah munculnya sistem tirani yang bisa mematikan perkembangan
manusia.[4]
Yang kedua, perkembangan moral manusia adalah kepentingan dasar bagi Islam. Jadi
penting bagi individu di dalam masyarakat untuk memiliki kesempatan
mempraktekkan kebaikan secara sengaja. Maka kedermawanan, kemurahan hati, dan
kebaikan lainnya menjadi suatu yang hidup dalam masyarakat. Karena itulah Islam
tidak bersandar seluruhnya kepada hukum untuk menegakkan keadilan sosial, tetapi
memberikan otoritas utama kepada pembentukan moral manusia seperti iman, taqwa,
pendidikan, dan lain-lainnya.[5]
Yang ketiga, Islam menjunjung tinggi persatuan manusia dan persaudaraan serta
menentang perselisihan dan konflik. Maka dari itu Islam tidak membagi masyarakat
ke dalam kelas sosial. Jika menengok kepada analisis terhadap peradaban manusia
akan kelas sosial terbagi menjadi dua; yang pertama kelas yang dibuat-buat dan
tercipta secara tidak adil yang dipaksakan oleh system ekonomi, politik dan sosial
yang jahat seperti Brahmana, Feodal, Kapitalis. Adapun Islam tidak menciptakan
kelas seperti itu dan bahkan membasminya. Yang kedua, kelas yang tercipta secara
alami, karena adanya rasa hormat menghormati dan perbedaan kemampuan dan
kondisi dari masyarakatnya.[6]
4. Prinsip-prinsip Dasar
Peraturan penting dalam ekonomi Islam ialah membangun suatu system distribusi
yang adil. Kemudian dalam hal pengeluaran, Islam menentukan kondisi yang tidak
menyebabkan kerugian moral dari individu atau yang membahayakan public secara
umum. Islam juga tidak menyetujui seseorang untuk menahan hartanya dari sirkulasi.
Selain itu, Al-Maududi pun menyebutkan bahwa Islam melarang umatnya berbuat
terhadap orang lain atau menggunakan aturan yang tidak adil dalam mencari harta,
tetapi mendukung penggunaan semua cara yang adil dan jujur dalam mendapatkan
harta kekayaan. Hak individu untuk memiliki harta dan bekerja secara bebas
diperbolehkan tetapi hendaklah menurut landasan teretentu, karena islam tidak akan
toleran terhadap tindakan penyalahgunaan hak-hak tersebut.
Jelasnya terdapat hanya tiga penggunaan yang munasabah terhadap harta yang
diperoleh seseorang. Dibelanjakan, atau diinvestasikan untuk pengembangan hartanya
atau disimpan saja.
b. Hak-hak Sosial
c. Zakat
Selain itu, menurut Al-Maududi zakat adalah solidaritas umat Islam untuk
mewujudkan jiwa saling tolong menolong di kehidupan social. Ini adalah inovasi
yang baik bagi mereka yang sedang mengalami kemandekan dalam berekonomi. Ini
juga merupakan sarana untuk menolong mereka yang tidak mampu, yang sakit, para
yatim piatu sehingga terwujud persamaan, kestabilan kondisi dan ketentraman jiwa.
Di atas semua itu, zakat adalah sesuatu yang tidak pernah hilang dalam pikiran umat
Islam.[9]
Hukum waris pada intinya ialah mendistribusikan kekayaan yang dimiliki oleh
almarhum. Hukum waris dimaksudkan agar harta yang dimiliki oleh almarhum tidak
terpusat pada satu orang atau satu keturunan, tetapi terdistribusi kepada pihak-pihak
yang berhak menerimanya.[10]
d. Peran Tenaga Kerja, Modal dan Pengelolaan (Role of Labor, Capital and
Management)
Islam mengenali hak pemilik tanah dan pemodal, begitu pula terhadap pekerja dan
pelaku bisnis yang menerangkan secara jelas bahwa Islam menganggap keduanya
sebagai factor ekonomi. Kemudian dari faktor-faktor tersebut harus adil dalam
pembagian keuntungan. Intinya, Islam melepaskan kepada kebiasaan dalam
pembagiannya. Jika diantara faktor-faktor tersebut terdapat ketidakadilan maka
hukum tidak hanya boleh melakukan intervensi, melainkan bertugas untuk
mengarahkan kepada regulasi keadilan dalam distribusi profit diantara modal, tenaga
kerja dan pengelolaan.
5. Teori Bunga
Al-Maududi telah membahas secara khusus dan memberikan kritik secara rasional
terhadap teori bunga, serta membicarakan panjang lebar mengenai aspek-aspek
negatif dan menunjukkan kejahatan-kejahatannya secara fundamental. Masalah yang
pertama kali harus kita putuskan adalah apakah bunga itu merupakan pembayaran
yang beralasan? Apakah para kreditor itu adil apabila menuntut untuk membayar
bunga atas hutang yang diberikan? Dan adilkah jika penghutang dituntut harus
membayar bunga terhadap pemberi pinjaman sesuatu yang melebihi pinjaman pokok?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut akan menyelesaikan separuh dari
masalah bunga. Jika dapat ditunjukkan bahwa bunga tidak dapat dibenarkan baik oleh
akal maupun keadilan, lalu mengapa bunga masih menjadi perdebatan. Mengapa
peraturan yang tak beralasan tersebut tetap dibiarkan berlangsung berada di tengah
masyarakat. Terdapat perbedaan pendapat yang menyolok di antara para ahli yang
mendukung doktrin bunga, yaitu untuk apakah bunga itu dibayarkan? Sebagian
mengatakan bunga itu merupakan harga, tetapi harga itu untuk apa? Para pelopor
institusi bunga mendapat kesulitan besar untuk memperoleh kesepakatan dalam
masalah ini.
Pendapat ini memandang bahwa modal adalah produktif yang dapat diartikan bahwa
modal mempunyai daya untuk menghasilkan barang yang jumlahnya lebih banyak
daripada yang dapat dihasilkan tanpa modal itu, atau bahwa modal mempunyai daya
untuk menghasilkan nilai tambah daripada nilai yang telah ada itu sendiri. Dan bunga
merupakan imbalan atas pelayanan produktif tersebut atas modal kepada peminjam
dalam proses produksi. Tetapi pernyataan bahwa produktivitas merupakan kualitas
yang melekat pada modal adalah tidak beralasan karena modal menjadi produktif
hanya apabila digunakan untuk bisnis yang dapat mendatangkan keuntungan oleh
seseorang. Apabila modal digunakan untuk tujuan-tujuan konsumsi, maka modal
tidak mempunyai kualifikasi semacam itu. Meskipun modal digunakan dalam usaha-
usaha yang mendatangkan keuntungan, tidak perlu kiranya menghasilkan nilai lebih.
Dapat dinyatakan bahwa produktivitas tersebut merupakan kualitas yang melekat
pada modal. Sering terjadi, terutama dalam keadaan ekonomi yang merosot,
penanaman modal tidak hanya menipiskan keuntungan tetapi ternyata melibatkan
keuntungan menjadi kerugian.
· Kepuasan terhadap kehendak atau keinginan masa kini lebih bernilai bagi manusia
daripada kepuasan mereka di waktu yang akan datang karena mungkin mereka tidak
mempunyai kehendak semacam itu di waktu yang akan datang.
· Oleh karena dalam kenyataannya barang-barang pada waktu kini lebih penting dan
berguna,dengan demikian barang-barang tersebut mempunyai nilai yang lebih tinggi
dibanding dengan barang-barang di waktu yang akan datang.
Institusi bunga menimbulkan perasaan cinta terhadap uang dan hasrat untuk
mengumpulkan harta demi kepentingannya sendiri. Bunga menjadikan manusia
egois, bakhil, berwawasan sempit serta berhati batu. Bunga membentuk sikap tidak
mengenal belas kasihan, mendorong sifat tamak, menaburkan sifat cemburu, dan
memupuk sifat bakhil dalam berbagai cara. Secara ringkas, bunga mendorong dan
menyuburkan sifat-sifat buruk terhadap diri manusia yang dapat menimbulkan
kesengsaraan di kalangan masyarakat.
Ø Kejahatan Ekonomi
Maududi berpendapat bahwa dampaknya akan negatif bagi masyarakat bila dipungut
bunga pada sektor produktif. Pertama, terakumulasinya modal secara sia-sia karena
pemodal menahannya dengan harapan adanya kenaikan suku bunga. Kedua, sikap
tamak untuk menaikkan bunga yang lebih tinggi yang menyebabkan tidak
dislurkannya dana yang seharusnya dikerjakan oleh pelaku bisnis dan dapat sangat
cepat mempengaruhi kehancuran ekonomi. Ketiga, modal tidak diinvestasikan ke
dalam banyak perusahaan yang sangat bermanfaat panjang dengan mengharapkan
meningginya bunga di masa depan. Hal ini merupakan hambatan dalam
pembangunan industri.[12]
Menurut teori ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia
yang tidak terbatas sedangkan sumber daya yang tersedia terbatas. Mazhab
Iqtishaduna menolak hal ini karena dalam Islam tidak pernah dikenal adanya sumber
daya yang terbatas.
Sadr berpendapat bahwa permasalahan ekonomi muncul dikarenakan oleh dua faktor.
Pertama karena perilaku manusia yang melakukan kezaliman dan kedua karena
mengingkari nikmat Allah SWT[13]. Yang dimaksud zhalim disini adalah proses
kecurangan seperti penimbunan atau ikhtikar. Sedangkan yang dimaksud ingkar
adalah manusia cenderung menafikan nikmat Allah dengan melakukan eksploitasi
sumber daya alam. Sehingga dapat disimpulkan bahwa permasalahan ekonomi bukan
akibat dari keterbatasan alam dalam merespon setiap dinamika kebutuhan manusia.
Lebih jauh, mazhab ini berpendapat bahwa masalah ekonomi muncul karena adanya
distribusi yang tidak merata dan adil sebagai akibat system ekonomi yang
membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat
memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang
lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin.
Karena itu, masalah ekonomi muncul bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi
karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.
2. Hubungan Milik
Kepemilikan pribadi dalam pandangan Sadr hanya terbatas pada hak memakai dan
adanya prioritas untuk menggunakan serta hak untuk melarang orang lain untuk
menggunakan sesuatu yang telah menjadi miliknya. Dalam hal ini Sadr menganggap
bahwa kepemilikan yang dimiliki manusia hanya bersifat sementara, sedangkan
kepemilikan yang mutlak adalah milik Allah SWT.
Negara memiliki kekuasaan sehingga mempunyai tanggung jawab yang besar untuk
memastikan bahwasannya keadilan berlaku. Diantaranya ialah fungsi-fungsi sebagai
berikut:
v Distribusi sumber daya alam kepada individu ysng berdasarkan pada keinginan dan
kepastian untuk bekerja.
v Pelaksanaan yang tepat sesuai dengan undang-undang yang sah pada penggunaan
sumber daya.
Sadr tidak banyak membicarakan riba. Penafsirannya pada riba terbatas pada uang
modal. Sedangkan mengenai zakat, ia memandang hal ini sebagai tugas Negara.
Mengenai pemikiran ekonominya, ia memisahkan antara produksi dan distribusi
sebagai pusat di dalam ekonomi. Menurutnya, produksi adalah suatu proses dinamis,
mengubah dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sedangkan
distribusi sebagai bagian dari system social, yaitu total hubungan antar system social
yang memancar dari kebutuhan orang dan bukan dari gaya produksi.
Yang kedua yaitu aspek subyektif. Terdiri atas motif psikologis, tujuan yang hendak
dicapai lewat aktifitas produksi, dan evaluasi aktivitas produksi menurut konsepsi
keadilan yang dianut.
Selain itu menurut Sadr sumber asli produksi terdiri dari tiga kelompok yakni, alam,
modal, dan kerja. Adapun sumber alam yang digunakan untuk produksi dibagi
menjadi tanah, substansi-substansi primer, dan air.
Strategi ini bertolak pada asumsi bahwa manusia termotivasi untuk bekerja keras
sebagai ibadah. Membiarkan sumber-sumber menganggur, tindakan mubazir, dan
juga produksi barang haram merupakan hal yang dilarang didalam Islam. Pemikiran
inilah yang dikatakan sebagai landasan doctrinal dalam mewujudkan produksi.
ü tanah yang menganggur dapat disita oleh negara untuk kemudian didistribusikan
kepada orang yang mampu menggarapnya.
Sistem kapitalisme demokrat mengakui hak individu secara penuh dan meyakini
bahwa kepentingan semua orang akan terjamin apabila kepentingan pribadi setiap
individu diperhatikan dari seluruh bidang. Menurut mereka, tujuan pemerintah hanya
melindungi kepentingan dan keuntungan pribadi individu.
Dalam sistem ekonomi kapitalis bahwa kemiskinan dapat diselesaikan dengan cara
menaikkan tingkat produksi dan meningkatkan pendapatan nasional (national
income) adalah teori yang tidak sepenuhnya benar, bahkan kemiskinan menjadi salah
satu produk dari sistem ekonomi kapitalistik yang melahirkan pola distribusi
kekayaan secara tidak adil. Fakta empiris menunjukkan bahwa bukan karena tidak
ada makanan yang membuat rakyat menderita kelaparan melainkan buruknya
distribusi makanan.
Dalam kaitan ini, Baqr As-Sadr, menolak asumsi ekonomi konvensional bahwa
masalah ekonomi muncul disebabkan oleh faktor kelangkaan. Menurut Sadr masalah
ekonomi muncul karena distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat
system ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang
lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi kaya.
Sementara yang miskin tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi
sangat miskin. Berangkat dari pemikiran ini, Sadr tidak setuju dengn pemikiran
ekonomi yang ada, tetapi menggantinya dengan istilah Iqtishad, yang bermakna
seimbang, adil, pertengahan dan keadilan inilah yang harus melandasi system
ekonomi yang berkembang.[14]
Pada dasarnya, sosialisme dilahirkan untuk memecahkan masalah sosial yang terjadi
pada masyarakat pada umumnya saat itu. Dimana system ini berprinsip pada tiga hal,
yakni: menghapus kepemilikan pribadi kepada kepemilikan bersama, seluruh hasil
produksi dibagikan secara merata sesuai dengan yang dibutuhkan dan pemerintah
harus memiliki regulasi yang matang mengenai pengaturan kehidupan ekonomi
masyarakat.
Namun pada kenyataannya, analisis ini kurang tepat untuk diterapkan pada kehidupan
masyarakat. Karena ternyata permasalahan baru justru timbul dari penyelesaian yang
tidak tepat. Dimana ketika kepemilikan pribadi dihapus dan digantikan dengan
kepemilikan bersama, justru bertentangan dengan karakter manusia. Dan para
penguasa komunis pun mengakui kegagalan mereka.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Hami Mahmud Al-Ba’ly. Ekonomi Zakat Sebuah Kajian Moneter dan
Keuangan Syariah. Jakarta. 2006
Abularaq, Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik, Lahore, 1971. Penerjemahan
resmi tentang kisah hidup Maududi.
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta, 2005.
Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2010.
Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd.
Pakistan.
[1] Abularaq, Sayyid Abu A’la Maududi: Sawanih, Tahrik, Lahore, 1971.
Penerjemahan resmi tentang kisah hidup Maududi
[2] Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd.
Pakistan. 1994, h.82
[3] Dr. Yusuf Qardhawi, Norma &Etika Ekonomi Islam, GIP, h.22
[4] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta
2005 hal. 276.
[9] Ekonomi Zakat Sebuah Kajian Moneter dan Keuangan Syariah. Abdul Hami
Mahmud Al-Ba’ly. Jakarta. 2006
[10] Syed Abu A’la Maududi, Economic system of Islam, Islamic Publication Ltd.
Pakistan. 1994, h.62
[11] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, gramata publishing, Jakarta
2005 hal. 282-283.
[12] Ibid., hal 285.
[13] Nur Chamid, Jejak Langkah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010
[14] Jurnal Iqtishad,Vol.1, No. 1, Februari 2009, Euis Amalia, Hal. 102