Anda di halaman 1dari 49

PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK KONSTITUSIONAL

ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 35


TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK
(Studi Kasus di Dinas Sosial Kab. Bone)

Draft

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Hukum Prodi Hukum Tata Negara Siyasah Syar’iyah

Pada Fakultas Syariah & Hukum Islam

IAIN Bone

Oleh

RAYKHA NURSAFITRI IBRAHIM


NIM : 01.18.4150

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM ISLAM


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
BONE
2021
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah amanah sekaligus karunia tuhan yang maha esa, yang

senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-

hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi.

Anak mempunyai hak yang bersifat asasi, sama halnya orang dewasa.

Isu tentang hak-hak anak akhir- akhir ini terjadi sangat fenomenal. Upaya untuk

melindungi hak-hak anak dilanggar oleh orang dewasa, Negara atau bahkan

orang tuanya sendiri yang tidak begitu menaruh perhatian terhadap kepentingan

masa depan anak. Padahal anak merupakan dambaan masa depan, asset

keluarga, agama, bahkan masa depan bangsa.

Oleh karenanya, anak wajib diperlakukan hak-haknya sebagai seorang

calon manusia yang akan memimpin Negara dan bangsa. Hindari dan jauhkan

perlakuan yang tidak semestinya, seperti kekerasan terhadap anak, eksploitasi

ekonomi dan seks, diterlantarkan menjadi anak jalanan dan lain sebagainya.

Dalam perhatian pemerintah dan publik terhadap kehidupan anak-anak

semakin meningkat. Semakin tumbuh dan berkembangnya organisasi


kemasyarakatan yang bergerak dibidang perlindungan anak sebagai salah satu

bukti masih tingginya tingkat perasaan kemanusiaan yang ada dimasyarakat.

Namun dibalik itu semua ternyata semakin tingginya perhatian yang diberikan oleh

pemerintah dan masyarakat ini tidak berdampak berbanding lurus terhadap

penurunan jumlah anak terlantar. Kondisi anak-anak di kab.bone yang kurang

beruntung ini kian hari semakin kurang menggembirakan terutama bila dilihat

dari sektor pendidikan dan ekonomi yang didapatnya. III

1
2

Anak –anak terlantar diKabupaten Bone banyak melakoni hidup dipinggir

jalanan mengacu pada UU No. 23 tahun 2002 dan UU No. 35 tahun 2014 dimana

anak harus mendapat perlindungan sesuai dengan yang tercantum dalam pasal 4

sampai dengan pasal 18 tentang hak dan kewajiban anak.

Para pekerja sosial banyak mengutip ciri-ciri anak terlantar pada Keputusan

Menteri Sossial RI UU No. 27 tahun 1984 yaitu antara lain anak yang masih berusia

5 sampai 18 tahun, namun banyak kasus anak yang berusia dibawah 5 tahun

diterlantarkan karena akibat tidak memiliki ayah atau ibu, tidak mendapatkan harta

waeisan untuk dapat mengkelola ilmu pengetahuan, orang tua sakit-sakitan, orang

tua tidak memiliki penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, anak yang

lahir tidak diinginkan karena korban pemerkosaan atau tidak memiliki saudara yang

dapat memberinya perlindungan dasar.

Pemerintah RI menunjukkanadanya political will dalam

mengimplementasikan mandate konstitusi UUD 1945 terkait dengan perlindungan

anak terlantar, dimana konstitusi kita sangat tegas menyebutkan bahwa anak

terlantar dipelihara oleh Negara.

Sebagaimana tercantum dalam UUD 1945, “ anak terlantar itu dipelihara

oleh Negara”. Artinya pemerintah mempunyai tanggung jawab terhadap

pemeliharaan dan pembinaan anak-anak terlantar termasuk anak jalanan, pada


hakikatnya sama dengan hak asasi manusia pada umumnya. Mereka perlu

mendapatkan hak-haknya secara normal sebagaimana layaknya anak, yaitu hak

sipil dan kemerdekaan, lingkungan keluarga dan pilihan pemeliharaan, kesehatan

dasar dan kesejahteraan, rekreasi dan budaya, dan perlindungan khusus.


3

Konvensi hak anak –anak yang dicetuskan oleh PBB ( convention on the

rights of the child), sebagaimana telah diratifikasi dengan kepres nomor 36 tahun

1990, menyatakan bahwa karena belum matangnya fisik dan mental anak-anak ,

maka mereka memerlukan perhatian dan perlindungan.

Anak terlantar sendiri pada umumnya merupakan anak-anak yang berasal

dari latar belakang keluarga yang berbeda. Ada yang berasal dari keluarga tidak

mampu, sehingga mereka tumbuh dan berkembang dengan latar belakang

kehidupan jalanan yang akrab dengan kemiskinan, penganiayaan, dan hilangnya

kasih sayang, sehingga memberatkan jiwa dan membuatnya berperilaku negative.

Bahkan yang lebih miris lagi adalah anak terlantar yang tidak memiliki sama sekali

keluarga (hidup sebatang kara).

Anak terlantar pada hakikatnya, adalah “anak-anak” sama dengan anak-

anak lainnya yang bukan anak terlantar. Mereka membutuhkan pendidikan.

Pemenuhan pendidikan itu haruslah memperhatikan aspek perkembangan fisik dan

mental mereka.1 Sebab anak bukanlah orang dewasa yang berukuran kecil. Anak

mempunyai dunianya sendiri dan berbeda dengan orang biasa. Kita tak cukup

memberinya makan dan minum saja, atau hanya melindungi disebuah rumah,

karena anak membutuhkan kasih sayang. Kasih sayang adalah fundamen

pendidikan.
Rendahnya kualitas perlindungan anak dikab.bone banyak menuai kritik

dari berbagai elemen masyaraka. Pertanyaan yang sering dilontarkan adalah sejauh

mana pemerintah telah berupaya memberikan perlindungan(hukum) pada anak

sehingga dapat memperoleh jaminan atas kelangsungan hidup dan penghidupannya

sebagai bagian hak asasi manusia. Padahal, dalam pasal 20 UU RI No. 35 Tahun

2014 tentang perlindungan anak, Negara, pemerintah, pemerintah daerah ,

1
Rina Yunita, Kumpulan Artikel Anak Penelantaran, di Expos Pada Tanggal 24 Agustus
2015, Koran Tempo.com
4

masyarakat, keluarga, dan orang tua atau wali berkewajiban dan bertanggung

jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.

Hukum internasional melalui pembentukan konvensi anak hak anak

(convention on the right of the children) telah memosisikan anak sebagai subjek

hukum yang memerlukan perlindungan atas hak-hak yang dimilikinya. Negara-

negara konvensi (contracting parties) memiliki kewajiban untuk menyepakati isi

konvensi tersebut dan melaksanakannya terutama dalam jaminan terhadap

kepentingan hak-hak anak.

Perlindungan HAM anak menurut Deklarasi PBB tahun 1986, hak asasi

manusia merupakan tujuan sekaligus sarana pembangunan. Dalam pasal 1 ayat

(5) UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, “anak adalah setiap manusia yang

berusia 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam

kandungan apabila tersebut dalam kepentingannya”. dalam pasal 65 UU No.

39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia “setiap anak berhak untuk

memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual,

penculikan, perdagangan anak, serta dari \berbagai bentuk penyalahgunaan

narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya.2

Kemudian dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 35 tahun 2014, “ anak adalah

seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan”, sedangkan menurut pasal 1 ayat (6) UU ri No. 35 tahun 2014,

“ anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik

fisik, mental, maupun sosial”. Dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 35 tahun 2014, “

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi

2
H. Muladi, Hak asasi manusia (hakekat, konsep dan implikasinya dalam perspektif
hukum dan masyarakat), PT. Refika Aditama, Bandung 2005, h. 231.
5

secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat

perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bicara mengenai perlindungan anak tidak terlepas dari pembahasan hak

asasi manusia, sebab anak merupakan manusia kecil yang sepatutnya harus

dilindungi. Disebut anak, yakni orang yang berusia dibawag 18 (delapan belas)

tahun, termasuk masih dalam kandungan. Perlindungan anak merupakan bentuk

implementasi penyelenggaraan hak asasi manusia, sebab hak anak termasuk

bagian integral dari hak asasi itu sendiri.

Jadi mengenai penelentaran anak ditinjau dari UU 35 Tahun 2014

perubahan dari UU No. 23 tahun 20002 tentang perlindungan anak yaitu: “setiap

orang yang melanggar ketentuan sebagaimanan dimaksud dalam pasal 76B (setiap

orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak

dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran), dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).

Maka secara lebih dalam penulis akan membahasnya dalam bentuk skripsi

dengan judul: PERLINDUNGAN NEGARA TERHADAP HAK

KONSTITUSIONAL ANAK TERLANTAR DITINJAU DARI UNDANG-

UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK


(STUDY KASUS DIDINAS SOSIAL KAB.BONE). masalah perlindungan anak

merupakan masalah kompleks dan tidak dapat diselesaikan secara perseorangan,

tetapi harus secara bersama-sama dan tanggung jawab kita semua.


6

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan

rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk perlindungan hak konstitusional anak terlantar di

Kabupaten Bone?

2. Apa upaya pemerintah untuk menjalankan pasal 20 UU No. 35 tahun

2014 di Kabupaten Bone?

C. Definisi Operasional

Untuk menghindari kekeliruan dalam memahami isi dan makna dari

proposal ini, maka penulis perlu memberikan pengertian kata yang terdapat

pada proposal penelitian ini agar tidak terjadi kesalahan dalam persamaan

kata dalam satu kalimat (multitafsir) terhadap judul tersebut. Adapun

penjelasannya sebagai berikut:

Menurut UU No. 35 tahun2014 tentang perlindungan anak dalam pasal 1

ayat (1) bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18(delapan belas ) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Menurut pasal 45 KUHP anak adalah anak yang belum dewasa apabila

berumur 16 ( enam belas) tahun. Oleh karena itu, apabila ia tersangkut dalam

perkara pidanahakim boleh memerintahkan supaya diserahkan kepada orang tuanya


walinya atau pemeliharanya denga tidak dikenakan suatu hukuman.

Pengertian anak dari aspek hukum anak adalah pribadi yang wajib

mendapatkan paying hukum secara langsung dari Negara, dan wajib mendapat

jaminan hukum untuk tidak disakiti maupun diberikan hukuman secara langsung.

Dalam aspek hukum anak adalah tanggung jawab penuh orang tua, dan apabila anak

terlibat kriminalitas maka orang tua menjadi pihak terdepan yang untuk dimintai

keterangan dan pertanggung jawaban.


7

Anak terlantar adalah anak karena suatu sebab orang tuannya melalaikan

kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi denga wajar baik

secara rohani, jasmani dan sosial yang dimaksud yang dimaksud anak terlantar

adalah anak yang tinggal dalam keluarga miskin usia sampai 18 tahun. Sedangkan

pengertian anak terlantar menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak, pasal 1 butir 6 anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya

secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

Konvensi hak-hak anak merupakan perjanjian internaainal yang mengikat

secara yuridis maupun politis diantara Negara-negara yang mengatur hal-hal yang
3
berhubungan dengan hak anak. Menurut UU No. 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak, pasal 1 butir 12 hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia

yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,

Negara, pemerintah, dan pemerintah daerah.

Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak, adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat

hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisippasi secara optimal sesuai dengan

harkat dan martabat kemanusiaa, serta mendapat perlindungan dari kekerasan

diskriminasi.4

D. Tujuan dan Kegunaan


Sehubungan denga kegiatan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka

tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui bentuk perlindungan hak konstitusional anak

terlantar dikabupaten bone.

3
UNICEF, konvensi hak-hak anak, Jakarta 1999, h.1.
4
Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 2014 tentang perlindungan anak.
8

b. Untuk mengetahui upaya pemerintah dalam menjalankan pasal 20 UU

No, 35 tahun 2014 di kabupaten bone .

2. Kegunaan penelitian

Seperti halnya tujuan yang akan dicapai dalam pembahasan proposal ini,

penulis sangat berharap agar penelitian yang dilakukan mempunyai kegunaan.

Adapun kegunaan yang hendak dicapai dalam proposal ini adalah:

a. Kegunaan teoritis, yakni hasil penelitian diharapkan dapat memberika

sumbangsi pemikiran, konstribusi dan pengembangan dalam hal

pelaksanaan perlindungan negara hak kosntitusional anak terlantar.

b. Kegunaan praktis, yakni hasil penelitian diharapkan dapat memberi

sumbangsi kepada instansi yang terkait perlindungan Negara terhadap

hak konstitusional anak terlantar ditinjau dari UU No. 35 tahun 2014

E. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka adalah penelaan terhadap hasil penelitian terdahulu yang

memiliki kesamaan topic dan sebagai gambaran bahwa penelitian yang dilakukan

berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.

Dalam penulisan skripsi ini, diperlukan literature sebagai bahan rujukan

dalam penelitian. Setelah peneliti telah melakukan terhadap beberapa penelitian,

ada yang memiliki keterkaitan dengan penelitian yang akan diteliti . adapun hasil
penelusuran terkait hasil-hasil penelitian terlebih dahulu yang sejenis dengan

penelitian yang akan dilakukan ini antara lain:

Skripsi, Ahmad Rosyadi5, dengan judul skripsi “ perlindungan hukum

terhadap anak terlantar dalam perspektif hukum islam dan hukum posistif”. Adapun

permaasalahan yang dibicarakan ialah apakah faktor-faktor yang menyebabkan

5
Ahmad rosyadi, skripsi, “perlindungan hukum terhadap Anak terlantar dalam perspektif
hukum islam dan hukum positif”,(Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016), h, 14.
9

anak menjadi terlantar sebagai fenomena sosial dan . adapun tujuan dari penelitian

ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya anak terlantar

sebagai fenomena sosial. dalam skripsinya penulis menyimpulkan yaitu

mengetahui cara spesifik mengenai perlindungan hukum terhadap anak terlantar

dalam hukum islam dan hukum posistif

Skripsi, Damanhuri Warganegara6, dengan judul skripsi “ perlindungan

hukum terhadap anak jalanan. Tujuan penelitianini untuk mengetahui mengapa

perlu adanya perlindungan hukum terhadap anak jalanan. Dan kesimpulan skripsi

ini yaitu bahwa perlindungan hukum terhadap anak jalanan dilakukan berbagai

kebijakan oleh pemerintah yaitu denga adanya undang-undang yang terkait dengan

perlindungan anak serta didirikannya lembaga-lembaga perlindungan anak, adany

rumah singgah kemudian didirikannya sekolah khusus anak jalanan.

Deskripsi diatas Nampak bahwa masalah yang akan penulis bahas mengenai “

perlindungan Negara terhadap hak konstitusional anak terlantar ditinjau dari

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak (studi kasus

didinas sosial kabupaten bone)”. Berbeda dengan penelitian sebelumnya didalam

penelitian ini penulis akan menekankan pada apakah pelaksanaan perlindungan hak

konstitusional anak terlantar berdasarkan pasal 20 UU No. 35 tahun 2014 sudah

diterapkan secara menyeluruh dikantor dinas sosial kabupaten bone yang


memberikan wewenang terhadap perlindungan anak termasuk juga hak-hak anak.

6
Damanhuri Warganegara, skripsi,” perlindungan hukum terhadap anak
jalanan”,(Fakultas Hukum, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2017 ), h. 15
10

F. Kerangka Pikir

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan sebelumnya, maka pada bagian

ini diuraikan kerangka pikir yang dijadikan landasan berpikir dalam melaksanakan

penelitian ini. Hal ini perlu dikemukakan karena berfungsi mengarahkan penulis

untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan guna memecahkan masalah

penelitian secara teoritis, pada dasarnya kerangka berpikir merupakan

pengembangan dan kajian teori, adapun kerangka teori yang dimaksud adalah

sebagai berikut:

Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang


perlindungan anak

Kantor Dinas Sosial Kabupaten Bone

Perlindungan Negara
terhadap hak
konstitusional anak
terlantar pasal 20

Hasil

Bagan 1.1 kerangka pikir

Berdasarkan bagan kerangka pikir diatas, maka dapat dijelaskan bahwa

perlindungan Negara terhadap hak konstitusional anak terlantar berdasarkan

Undang- Undang Nomor 35 tahun 2014 perlindungan hak kostitusional anak

terlantar merupakan suatu peertanggungjawaban orangtua, keluarga, Negara,


11

pemerintah untuk menjamin hak-hak anak yang berusia dibawah 18 tahun untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya sebagaimana yang telah diatur dalam UUD 1945

dan Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014. Dalam hal ini kantor dinas sosial

yang bertugas membantu bupati dalam melaksanakan urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan daerah dan tugas pembantuan yang diberikan kepada daerah

dibidang sosial. perumusan kebijakan dibidang rehabilitasi sosial dan jaminan

perlindungan sosial, pemberdayaan sosian dan penanganan fakir miskin akan tetapi

dalam pelaksanaannya masih kurang efektif dikarenakan masih terdapat hak- hak

anak terlantar yang tidak terpenuhi oleh karena itu diperlukan tindakan tegas dan

juga kesadaran hukum agar perlindungan anak mengenai hak-haknya dapat berjalan

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

G. Metode penelitian

Sebagaimana diketahui bersama bahwa karya tulis ilmiah selalu ditopang

oleh beberapa metode baik dari pengumpulan data maupun dari pengolahannya

seperti dalam penyususnan skripsi ini dipergunakan sebagai berikut:

1. Jenis dan pendekatan penelitian

a. Jenis penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian

lapangan (field researgh), yaitu data utama diperoleh dari peneliti sendiri
yang secara langsung mengumpulkan informasi yang didapat dari

responden terkait dengan perlindungan Negara terhadap hak

konstitusional anak terlantar ditinjau dari Undang –Undang Nomor 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak dikota watampone.


12

b. Pendekatan penelitian

Pendekatan penelitian yang dilakukan oleh penulis menggunakan

pendekatan yaitu:

1) Pendekatan yuridis normatif adalah penelitian yang mengacu pada

norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dan putusan pengadilan serta norma-norma yang hidup dan

berkembang dalam masyarakat.7

2) Pendekatan yuridis empiris adalah penelitian yang dilakukan dengan

pendekatan realita hukum dalam masyarakat.8

2. Lokasi Penelitian

Adapun yang menjadi titik fokus dalam penelitian ini sebagai lokasi

penelitian adalah dikantor dinas sosial kabupaten bone, alas an penulis

menjadikan lokasi penelitian ini karena penulis ingin mengetahui upaya

pemerintah dalam menjalankan Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014

tentang perlindungan anak di Kabupaten Bone apakah sudah dijalankan

sesuai aturan Undang –Undang perlindungan anak.

3. Data dan Sumber Data

Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal yang

berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian tidak segala informasi


atau keterangan merupakan data. Dan hanyalah sebagian saja dari informasi

yang berkaitan dengan penelitian.9

7
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (cet.v; Jakarta: Sinar Grafika, 2014), h.13.
8
Syahruddin Nawawi, Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian Hukum Empiris
(Ed,II, Makassar:PT Umitoha Grafika,2013), h.8.
9
Tatang M. Amirin, Menyusun Rencana Penelitian (cet. III, Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 1995), h.130.
13

a. Sumber data primer

Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumbernya ,

baik melalui wawancara , observasi maupun laporan dalam bentuk dokumen

tidak resmi yang kemudian diolah oleh peneliti. Data primer dalam

penelitian ini diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu melalui

observasi dan wawancara. Adapun pihak yang terkait adalah pegawai kantor

dinas sosial Kabupaten Bone.

b. Sumber data sekunder

Merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi,

buku-buku yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian

dalam bentuk laporan, skripsi, tesis, disertasi dan peraturan perundang-

undangan. Data sumber tersebut dibagi menjadi tiga yaitu bahan hukum

primer adalah bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian.

Bahan hukum primer dalam penelitian ini yakni

Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 tentang fakir miskin dan anak

terlantar dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari buku-buku dan tulisan ilmiah

hukum yang terkait dengan objek penelitian.


c. Bahan Hukum tersier

Yaitu petunjuk atau penjelas mengenai bahan hukum primer atau

bahan hukum sekunder yang berasal dari kamus, ensiklopedia, majalah surat

kabar dan sebagainya.10

10
Zainuddin Ali, metode penelitian hukum,, h.106.
14

d. Sumber data

Sumber data dalam penelitianadalah subjek darimana data

diperoleh11. Sumber data dalam penelitian ini informan tentang

perlindungan negaran terhadap hak konstitusional anak terlantar yang

didasarkan dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 di Dinas

Sosial Kabupaten Bone.

4. Instrumen Penelitian

Instrument penelitian merupakan alat yang digunakan untuk

mengumpulkan data atau informasi yang bermanfaat untuk menjawab

masalah penelitian. Dalam makna luas, instrument penelitian merujuk pada

berbagai peralatan yang digunakan selama penelitian.12

Dalam penelitian ini menggunakan instrument:

a. Dalam metode observasi maka instrumen yang digunakan adalah kamera

b. Dalam metode wawancara maka instrumen yang digunakan penulis

adalah daftar pertanyaan

5. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data menentukan kualitas data dan kualitas dan

menentukan kualitas penelitian, karena itu harus mendapatkan penggarapan

yang cermat.
a. Observasi

Observasi, ini menuntut adanya pengamatan dari sisi peneliti baik

secara langsung maupun tidak langsung terhadap objek penelitian 13.

11
Suharmis Arikunto, Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (cet. XII; Jakarta: Rimeka
Cipta,2002), h.107.
12
Nanang Martono, Metode Penelitian Sosial Konsep-Konsep Kunci (cet.I; PT Raja
Grafindo) Jakarta, 2015, h. 22.
13
Husein Umar, Metode Penelitian Skripsi Tesis Dan Bisnis, (cet,II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1999), h.51.
15

Wawancara (interview) adalah situasi peran antar pribadi bertatap

muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan

pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban –

jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang

responden.14Wawancara akan difokuskan pada beberapa objek sebagai

sampel penelitian, dia

ntaranya adapun pihak yang terkait adalah kantor Dinas Sosial

Kabupaten Bone .

Dokumentasi yaitu peneliti menggunakan metode ini untuk

mengumpulkan data dari berbagai jenis informasi, dapat juga diperoleh

melalui dokumentasi artikel, media, proposal, dan laporan perkembangan

yang relevan dengan peneliti yang dikerjakan, dalam metode dokumentasi

dalam penelitian ini akan mencoba mencari dokumen-dokumen yang

terkait dengan perlindungan negara terhadap hak konstitusional anak

terlantar ditinjau dari Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 di kantor

Dinas Sosial Watampone.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif terdiri dari tiga tahap, tahap

pertama adalah tahap kodifikasi data merupakan tahap ekodingan terhadap


data, yang dimaksud dengan pekodingan data adalah peneliti memberikan

nama atau penamaan terhadap hasil penelitian, 15tahap kedua adalah tahap

penyajian data merupakan sebuah tahap lanjutan analisis dimana peneliti

menyajikan temuan penelitian berupa kategori atau pengelompokan

14
Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, h.82.
15
Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu, (cet. I: Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004),
h.178.
16

dengan menggunakan matriks dan diagram untuk menyajikan hasil

penelitian16. Tahap ketiga adalah tahap penarikan kesimpulan atau

verifikasi merupakan suatu tahap lanjutan dimana pada tahap ini peneliti

menarik semua kesimpulan dari temuan data, ini adalah interpretasi

peneliti atas temuan dari suatu wawancara atau sebuah dokumen.17

16
Afrisal, Metode Penelitian Kualitatiif, h.179.
17
Afrisal, Metode Penelitian Kualitatif , h. 180.
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Undang-Undang Perlindungan Anak

1. Sejarah Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Anak

Sebelum berubahnya Undang – Undang Nomor 23 tahun 2002 menjadi

Undang – Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak. Berdasarkan

RUU usulan inisiatif maka wakil pengusul inisiatif DPR-RI menjalankan tugas

konstitusionalnya sebagaimana yang diamanatkan rakyat, bangsa dan Negara

sesuai dengan UUD 1945 yang menyatakan bahwa dewan perwakilan rakyat

memegang kekuasaan membentuk undang-undang.

Anak adalah amanah sekaligus karunia dari tuhan yang maha esa, yang

senantiasa harus dijaga, karena dalam dirinya melekat harkat dan martabat dan hak-

hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian

dari hak asasi manusia seperti yang termuat dalam UUD 1945 dan konvensi PBB

tentang hak-hak anak. Orang tua, keluarga dan masyarakat bertanggungjawab untuk

menjaga dan memelihara hak asasi ini sesuai dengan kewajiban yang dibebankan

oleh hukum. Demikian pula dalam rangka perlindungan anak, Negara

bertanggungjawab menyediakan fasilitas dan aksebilitas bagi anak, terutama dalam


menjamin pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar dan terarah. Dari sisi

kehidupan bernegara, anak adalah masa depan bangsa, generasi penerus bangsa,

shingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta

berhak atas perlindungan dari kekerasan diskriminasi.

Berbagai gejolak politik dan kerusuhan yang timbul pada kurun waktu lima

tahun terakhir yang timbul diberbagai tempat adalah suatu kondisi yang juga secara

signifikan menyebabkan penderitaan dan terganggunya masa depan anak. Konflik

17
18

antara etnis dan umat beragama yang meletus diberbagai wilayah tanah air, bukan

hanya memorak-porandakan aktivitas ekonomi masyarakat dan menelan korban

jiwa, tetapi juga mengakibatkan kelangsungan pendidikan anak – anak terkatung –

katung, rawan pangan yang berakibat pada rawan gizi, rentan terhadap berbagai

macam penyakit, dan sudah dapat dipastikan akan menyebabkan hilangnya generasi

penerus. melihat peliknya situasi dan kondisi anak-anak tersebut sudah sangat

mendesak bagi seluruh elemen bangsa untuk segera membuat peraturan perundang-

undangan yang memberikan perlindungan bagi mereka, karena sesuai dengan

arahan GBHN 1999, bahwa kita harus mengembangkan sumber daya manusia

sedini mungkin secara terarah, terpadu dan menyeluruh melalui berbagai upaya

proaktif dan reaktif oleh seluruh komponen bangsa agar generasi muda dapat

berkembang secara optimal disertai dengan hak dukungan dan lindungan sesuai

dengan potensinya.

RUU usulan inisiatif tentang perlindungan anak ini bermula satu visi, bahwa

masa depan bangsa dan Negara sangat ditentukan bagaimana kita mampu membina

anak-anak kita saat ini, dengan memberikan perhatian, pendidikan, jaminan

kesehatan dan perlindungan hukum yang memadai. Dalam kaitan itu rancangan

undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga,

atau masyarakat, dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan


secara terus-menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Rancangan kegiatan

tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan

perkembangan anak, baik secara fisik, mental, rohani maupun sosialnya. Tindakan

ini dimaksud dengan maksud untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang

diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, baik fisik maupun mental,

memiliki rasa nasionalisme yang dijiwai oleh nilai-nilai agama dan nilai-nilai luhur
19

pancasila, serta berkemauan keras menjaga persatuan dan kesatuan bangsa dan

Negara.

Meskipun Undang-undang Nomor 39 tahun 1999tentang hak asasi manusia

telah mencantumkan secara rinci tentang hak anak, namun pelaksana kewajiban dan

tanggungjawab orang tua, keluarga, masyarakat dan pemerintah untuk memberikan

perlindungan pada anak masih memerlukan undang-undang mengenai

perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksana kewajiban dan tanggung

jawab tersebut. Dengan demikian pembentukan Undang-undang ini masih

didasarkan pada pertimbanangan anakdalam segala aspeknya merupakan bagian

dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan kehidupan

bangsa dan Negara. Usaha perlindungan anak perlu dilakukan sejak dini mungkin,

yakni mulai janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Bertitik tolak

dari konsepsi perlindungan anak yang utuh menyeluruh dan kompherensif,

memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut.

a. Keimanan dan takwa

b. Kekeluargaan

c. Keseimbangan dan kesejahteraan

d. Manfaat

e. Nondiskriminasi
f. Budi pekerti luhur

g. Demokratis

Bab VII mengatur tentang pengasuhan anak dan pengangkatan anak yang

terdiri atas dua bagian yaitu tiga pasal pengasuhan anak, dan empat pasal tentang

pengangkatan anak. Sedangkan penyelenggaraan perlindungana anak yang juga

merupakan hal penting dalam rancangan Undang-Undang ini terbgai dalam empat

bagian, yang masing-masing terdiri dari empat pasal yang mengatur tentang
20

kesehatan, tujuh pasal mengatur tentang pendidikan, dan dua pasal mengatur

tentang perlindungan dibidang sosial, dan dua pasal mengatur tentang perlindungan

khusus seangkan emat Bab yang lain masing-masing mengatur mengenai Komisi

Nasional Perlindungan Anak yang diatur dalam Bab Sembilan, sebagai komisis

yang bertanggung jawab untukmelindungi anak dan hak-haknya diatur dalam tiga

pasal. Bab sepuluh mengatur pemberian sanksi bagi orang atau lembaga yang

melakukan tindakan tertentu yang diatur dalam rancangan undang-undang ini, yang

terdiri dari 11 pasal bagian sebelas mengatur tentang ketentuan peralihan sedangkan

ketentuan penutup diatur dalam bab dua belas. Oleh sebab itul lebih dari 21 tahun

yang lalu sudah timbul ide untuk membentuk undang-undang tentang perlindungan

anak sesuai dengan Konvensi Hak Anak Internasional yang disahkan tahun 1989

indonesia telah menandatanganinya tahun 1990 dan telah diratifikasi dengan

Keppres Nomor 36 tahun 1990 baru 12 tahun kemudian berhasil membahasnya.

Sebelum pansus dibentuk dan bekerja Komisi VII DPR RI lebih dari satu

tahun sevbelumnya telah membahas persiapan draf RUU tentang perlindungan anak

melalui seminar-seminar dan diskusi internal komisi VII DP RI. Komisi DPR RI

telah menerima masukan-masukan dari banyak kalangan termasuk kalangan agama,

pendidikan,kesehatan dan lain-lain guna kesempurnaan RUU Perlindungan Anak

ini. Selanjtnya tanggal 27 mei 2002 secara resmi pansus terbentuk dan mulai
bekerja secara intensif beserta pemerintah. Prinsip-prinsip yang termuat dalam

undang-undang ini adalah secara umum mengadopsi unsur-unsur Konvensi Hak-

Hak Anak, dengan menyesuaikan dengan kondisi Indonesia, terutama

penghormatan terhadap agama yang mewarnai aspek-aspek perlindungan anak

sebagai berikut:
21

a. Aspek-aspek unsur Konvensi Hak Anak meliputi kebutuhan fisik, mental

dan sosial (aspek spiritual dikembangkan sampai dengan aspek agama)

b. Prinsip-prinsip dasar KHA yang dianut RUU tentang perlindungan anak

ini sebagi berikut;

1) Nondiskriminasi (tidak membedakan suku, ras, etnis, warna kulit,

agaa dan lain-lain)

2) Kepentingan yang terpenting bagi anak

3) Hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangannya

4) Penghargaan terhadap pendapat anak

c. Tujuan RUU perlindungan anak ini adalah untuk menjamin

terpenuhinya hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan

berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diksriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia dan sejahtera anak disini diartikan sebagai makhluk

yang masih lemah dari berbagai sisi sehingga perlu perlindungan dari

berbagai aspek agar kelak dapat tumbuh kembang sebagai penerus yang

berkualitas.

RUU tentang perlindungan anak yang diharapkan dapat segera menjadi UU


terdiri dari 14 Bab dan 93 pasal. Dibandingkan dengan draf awal yang terdiri dari

14 Bab dan 87 pasal, maka RUU ini telah mengalami perkembangan, sehingga

terjadi penambahan sebanyak 6 pasal. Dari pasal 6 tambahan tersebut, tiga pasal

diantaranya merupakan pasal yang mengatur hal baru yang sebelumnya tidak

terdapat dalam draf awal, yaitu 2 (dua) pasal mengenai penyelenggaraan

perlindungan anak dibidang agama dan 1 pasal yang mengamanatkan segera


22

dibentuknya komisi perlindungan anak. Keberadaan komisi perlindungan anak

Indonesia paling lama 1 tahun setelah berlakunya UU ini.

Permasalahan agama dalam RUU ini merupakan masalah yang serius dan

sensitif yang menuntut kehati-hatian dan kecermatan tinggi dalam pembahasannya.

Masalah lain yang perlu diatur adalah mengenai penyelenggaraan perlindungan

anak. Keberadaan komisis perlindungan anak Indonesia yang bersifat independen

ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan efektifitas penyelenggaraan

perlindungan anak, agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Hal

penting lain yang juga diatur dalam RUU tentang perlindunan anak itu tentu saja

adalah ketentuan pidana. Ketentuan pidana diharapkan mampu menjadi terapi

psikis agar undang-undang ini dapat dilaksanakan dengan baik, sehingga anak dapat

terlindungi dan terpenuhi hak-haknya. Untuk itu perlu adanya dukungan dari aparat

penegak hukum atas pelaksanaan undang-undang tentang perlindungan anak.

Semula RUU tentang perlindungan anak akan dilaksanakan rapat paripurna

pengambilan keputusan tanggal 2 juli 2002 setelah pembahasan tingkat I yaitu

penandatanganan pansus fraksi-fraksi dalam mendapat akhir mini tanggal 26 juni

2002, namun sesuai hasil bamus tanggal 1juli 2002 atas usulan tiga fraksi DPR RI

yang diawali dengan adanya permintaan dari MUI dan beberapa ormas islam,

karena masih ada substansi yang prinsipil minta ditunda dan dibahas kembali, maka
ditetapkan pengambilan keputusan tanggal 18 juli 2002.

Sesuai hasil bamus tanggal 1 juli 2002 pertemuan pimpinan pansus dan

pimpinan fraksi-fraksi komisi VII DPR RI dengan pimpinan DPR RI Kabid Kesra

tanggal 3 juli 2002 antara lain memutuskan draf RUU tidak dibahas lagi dan tetap

diambil keputusan tanggal 18 juli 2002. Hal ini diperkuat oleh Pleno Komisi VII

DPR-RI tanggal 12 juli 2002 dengan disertai pemberian penjelasan secara utuh

RUU tersebut yang berkaitan dengan agama dan khususnya pasal 37 kepada pihak-
23

pihak yang terkait.setelah memberikan penjelasan kepada pihak MUI dan Ormas

tertentu, MUI dan Ormas-Ormas Islam tetap menghendaki agar DPR RI bidang

Kesra menerima masukan dari MUI dan Ormas-Ormas islam yang dihadiri oleh

fraksi dari Komisi VII DPR RI agar RUU ini dibahas kembali khususnya satu kata

dalam pasal 37 RUU tentang perlindungan anak. Tiga fraksi setuju dengan usul

MUI untuk menunda pengesahan dan membahas kembali pasal 37.

Atas keputusan kesepakatan pemimpin DPR RI Bidang Kesra dan atas

perwakilan fraksi-fraksi Komisi VII DPR RI agar fraksi-fraksi yang menyetujui

usul MUI menyampaikan ke pimpinan DPR RI untuk maksud penundaan rapat

pengambilan keputusan dan pada rapat pleno tanggal 15 juli 2002 diketahui bahwa

fraksi (PPP, PKB, Reformasi, dan PBB) telah menyurati pimpinan DPR RI untuk

maksud penundaan tersebut dan lima fraksi tetap pada pendiriannya tidak ada

perubahan pada draf RUU tersebut. Pad tanggal 26 agustus 2002 dilaksanakan

pertemuan konsultasi antara pimpinan-pimpinan fraksi dengan pimpinan dewan

untuk membahas penyelesaian RUU perlindungan anak, yang keputusannya

diserahkan kepada Komisi VII. Dan pada hari senin tanggal 27 agustus 2002 sesuai

dengan keputusan rapat Pleno Intern Komisi VII maka penyelesaian pembahasan

RUU perlindungan anak akan diserahkan kembali kepada Dewan, mengingat tugas

Komisi VII telah telah selesai dengan selesainya pembicaraan tingkat I yang telah
ditandai pendapat akhir mini dan penandatanganan baik DPR maupun pemerintah.

Sesuai dengan Keputusan Badan Musyawarah pada hari kamis tanggal 29

agustus 2002, maka penyelesaian pembahasan RUU ini diserahkan kembali ke

Komisi VII. Mandat yang diserahkan kepada Komisi VII dirasakan sangat berat,

dan dikhawatirkan akan terjadi kemandekan/kebutuan terhadap penyelesaian

pembahasan RUU tentang perlindungan anak mengingat akses membuka kembali

hasil pembicaraan tingkat I tidak ada aturannya serta substansi yang akan dibahas
24

sangat sensitif. Melalui pembahasan dalam rapat intern dan lobi komisi selama dua

hari yaitu pada tanggal 10 dan tanggal 12 september 2002. Komisi menyepakati

revisi pada tanggal 37 dengan komposisi sebagai berikut.

a. Ayat (1) tetap

b. Ayat (2) kata perseoranga dan dapat di drop

c. Ayat (3) diganti ayat (4) lama

d. Ayat (4) diganti ayat (5) lama

e. Ayat (5) diganti ayat (6) lama

f. Ayat (6)baru mengganti ayat (3) lama

Selanjutnya pada hari selasa tanggal 17 september 2002, dilakukan rapat

kerja dengan pemerintah (menteri pemberdayaan perempuan dan menteri sosial )

untuk membahas hasil revisi RUU perlindungan anak oleh Komisi VII, yang

akhirnya dapat disetujui dengan penyesuaian pada beberapa redaksional dan

penjelasan pasal 37 yang dilanjut dengan penandatanganan berita acara revisi RUU

perlindungan anak hasil pembicaraan Tingkat I oleh pemerintah, pimpinan pansus

dan masing-masing fraksi, yang selengkapnya telah disusun dalam suatu draf

naskah undang-undang.

2. Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Menjadi Undang-

Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak


Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dalam

perjalanannya mengalami perubahan. Perubahan Undang-Undang perlindungan

anak ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perubahan

undang-undang perlindungan anak disebabkan karena alasannya untuk

meningkatkan perlindungan terhadapa anak perlu dilakuakan penyesuaian terhadap


25

beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak.18

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anakdisahkan pada tanggal 17 oktober

1014 oleh Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan diundangkan pada hari itu

juga oleh Menkumham Amir Syamsuddin.

Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan Undang-Undang Nomor

23 tahun 2002 tentang perlindungan anak ditempatkan dalam lembaran Neagara

Republik Indonesia Nomor 5606. Agar semua orang Indonesia mengetahuinya

Anak adalah bagian yang tidak terpisah dari keberlangsungan hidup

manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan Negara. Agar kelak mampu

bertanggung jawab dalam kelangsungan bangsa dan Negara, setiap anak perlu

mendapat seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik,

mentalmaupun sosial. untuk itu perlu dilakukan upaya perlindungan untuk

mewujudkan kesejahteraan anak dengan memberikan jaminan terhadap pemenuhan

hak-haknya tanpa perlakuan diskriminatif.

Negara menjunjung tinggi hak asasi manusia, termasuk didalamnya hak

asasi anak yang ditandai dengan adanya jaminan perlindungan dan pemenuhan hak

anak dalam undang undang dasar Negara republik Indonesia tahun 1945 dan
beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan baik yang bersifat rasional

maupun yang bersifat internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui Konvensi

Internasional Hak Anak, yaitu pengesahan Konvensi Hak Anak melalui keputusan

presiden nomor 36 tahun 1990 tentang pengesahan convention on the rights of the

child (konvensi tentang hak-hak anak).

Gunawan,”UU 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU 23 tahun 2002”,dalam


18

https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-35-201-perubahan-uu-23-2002-perlindungan-anak, 24
september 2019.
26

Perlindungan terhadap anak yang dilakukan selama ini belum memberikan

jaminan bagi anak untuk mendapatlkan perlakuan dan kesempatan yang sesuai

dengan kebutuhanya dalam melaksanakan upaya perlindungan terhadap haka anak

oleh pemerintah harus didasarkan pada prinsip hak asasi manusia yaitu

penghormatan, pemenuhan, dan perlindungan atas hak anak.

Sebagai implementasi dari ratifikasi tersebut, pemerintah telah

mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak,

yang secara substantif telah mengatur beberapa hal antara lain persoalan anak yang

sedang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas, anak dari korban

eksploitasi ekonomi dan seksual, anak yang diperdagangkan, anak korban

kerusuhan, anak yang menjadi pengungsi dan anak dalam situasi konflik bersenjata,

perlindungan anakyang dilakukan berdasarkan prindip nondiskriminasi,

kepentingan terbaik bagi anak , penghargaan, terhadap pendapat anak, hak untuk

hidup, tumbuh dan berkembang. Dalam pelaksanaanya Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia tahun 1945 terkait jaminan hak asasi manusia, yaitu

anak sebagai manusia memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang.

Walaupun instrumen hukum telah dimiliki, dalam perjalanannya Undang-

Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak belum dapat berjalan

secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antar peraturan perundang-
undangan sektoral terkair dengan definisi anak. Disisi lain, maraknya kejahatan

terhadap anak dimasyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan

peningkatan komitmen dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta

semua pemangku kepentingan terkait dengan penyelenggaraan perlindungan

anak.untuk efektifitas pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak diperlukan

lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung pemerintah dan

pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perlindungan anak.


27

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan

anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi

pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong

adanya langkah konkret untuk memulihkan fisik, psikis dan sosial anak korban dan

atau/anak pelaku kejahatan dikemudian haritidak menjadi pelaku kejahatan yang

sama.

3. Kajian Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

Secara Tekstual Dan Konstekstual.

Diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang

perlindungan anak tidak lepas dari komitmen Indonesia terhadap Konvensi PBB

tentang Hak Anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan

anak merupakan upaya harmonisasi hukum dari Konvensi PBB tentang hak anak

(united nation convention on the rights of the child) yang diratifikasi hanya dengan

keputusan presiden Nomor 36 tahun 1990. Disebut demikian karena dapat dilihat

seluruh prinsip-prinsip umum (general principles) dari Konvensi PBB tentang Hak

Anak (selanjutnya disebut KHA) telah diserap ke prinsip-prinsip dasar Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 (pasal 2).

Selain itu, jika dianalisis dari konsideransnya , Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014 juga mengacu pada sejumlah ketentuan hukum nasional yakni:
a. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

b. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak

c. Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 tentang penyandang anak cacat

d. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak dalam

konsideresnya juga mengacu pada instrumen internasional atau konvensi yang

sudah diratifikasi, yakni:


28

a. Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap

perempuan (Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984

b. Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan

bekerja ( Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999);

c. Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelarangan dan tindakan segera

penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak ( Undang-

Undang Nomor 1 tahun 2000).

Adapula konvensi-konvensi lain, baik sudah diratifikasi maupun belum,

yang tidak secara eksplisit diterangkan dalam konsiderensi Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014, namun banyak memberi inspirasi dalam analisis isi Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014. Dengan demikian kendati Keppres Nomor 36 tahun 1990

tidak dicantumkan kebagian konsiderens Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014,

namun substansi hak-hak anak dalam KHA telah diserap dalam norma hukum

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014. Penyerapan ini mengakibatkan suatu

konsekuensi bahwa Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tidak dapat dilepaskan

dari dan mengandung unsur-unsur hak anak dalam KHA.

Dari segi isinya, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 terdiri atas norma

hukum (legal norm) tentang:

1) Hak-hak anak
2) Kewajiban dan tanggungjawab Negara

3) Bentuk-bentuk perlindungan yang dilakukan terhadap anak

4) Peran serta masyarakat

5) Lembaga independen perlindungan anak, serta

6) Ketentuan sanksi hukum pidana dalam hal terjadi pelanggaran

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014


29

Menurut sistematikanya, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 terdiri

atas:

a. Bagian konsiderens yang terdiri atas filosofis, landasan sosiologis dan

landasan yuridis yang melatar belakangi Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014. ( ditulis dalam bagia “menimbang” dan “mengingingat”).

b. Bagian batang tubuh, yakni pasal-pasal Undang-Undang Nomor 35 tahun

2014 bagian penjelasan, yang terdiri atas:

1) Umum, dan

2) Pasal demi pasal

Tujuan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak

dapat dengan jelas dilihat dalam pasal 3 dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

menyebutkan, perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak

anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisispasi secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat manusia, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,

berakhlak mulia dan sejahtera. Terkait dengan tujuan tersebut, selanjutnya Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 mengatur lebih lanjut dalam pasal-pasal lain. Dalam

hal menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang,

dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 mengatur hak tersebut dalam Bab III pasal

4 (hak dan kewajiban anak). Dalam pasal 13 mengatur hak anak untuk mendapat

perlindungan adari kekerasan dan diskriminasi.

Khusus dalam partisipasi anak dalam proses pembangunan, Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 secara tegas mengakui hak anak untuk menyatakan

pendapatnya, seperti termuat dalam pasal 10 yang berbunyi “setiap anak berhak

menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mrncari dan memberi informasi


30

sesuai dengan kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan

nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.” Dan pada pasal 24 yang berbunyi “Negara

dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam

menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak”.

4. Batasan usia anak

Dalam hal ini usia ana, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, lebih maju

dari Undang-Undang Hak Asasi Manusia. Pasal 1 Undang-Undang Nomor 35 tahun

2014 autentik dengan pasal 1 KHA. Pasal 1 butir 1Undang-Undang Nomor 35 tahun

2014 berbunyi: “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk anak yang dalam kandungan”. Dalam pengertian dan batasan

tentang anak sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1 butir 1 Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014 ini tercakup 2 (dua) isu penting yang menjadi unsur definisi

anak, yakni: pertama, seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.

Dengan demikian, setiap orang yang telah melewati batas usia 18 (delapan belas)

tahun, termasuk orang yang secara mental tidak cakap, dikualifikasi sebagai bukan

anak, yakni orang dewasa. Dalam hal ini, tidak dipersoalkan apakah statusnya

sudah kawin atau tidak. Kedua, anak yang masih dalam kandungan. Jadi Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 ini bukan hanya melindungi anak yang sudah lahir

tetapi diperluas, yakni termasuk anak dalam kandungan.


Pendekatan perlindungan (protection approach) dalam membatasi usia dan

pengertian anak. Artinya Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 ini memberi

batasan siapakah subjek hukum yang dilegalisasi secara yuridis formal dalam

rumusan norma hukum (legal norm) Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang

berhak memperoleh perlindungan dari Negara. Karenanya, yang ditentukan adalah

subjek hak perlindungan, bukan siapa yang dikualifikasi sebagai orang yang masih

anak-anak, dan siapa yang sudah masuk dalam status hukum sebagai orang dewasa.
31

Pendapat senada dikemukakan Savitri Goonesekere dalam bukunya “children, low

and justice A south Asian perspective”. Disebutkan bahwa definisi anak dalam

pasal 1 KHA adalah siapa yang menjadi pemegang hak (rights holders). 19katanya,

“…article I defines the holder of rights under the convention on the rights of the

child as every human being below the age 18 years…”. Denga demikian, pengertian

dan batasan usia anak dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, bukan

dimaksudkan untuk menentukan siapa yang telah dewasa, dan siapa nyang masih

anak-anak. Sebaliknya, dengan pendekatan perlindungan, maka setiap orang (every

human being) yang berusia dibawah 18 tahun selaku subjek hukum dari Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014 meempunyai ha katas perlindungan dari Negara

yang diwujudkan dengan jaminanhukum dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun

2014.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak

memberikan batasan usia anak adalah orang berusia 21 tahun. Sedangkan dalam

Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang pemilihan umum, orang yang

berhak menjadi pemilih dalam pemilihan umum adalah berusia 17 tahun. Dalam

Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan, batasan usia orang yang

dapat menikah (kawin) bagi laki-laki 19 dan perempuan 16 tahun.

5. Norma Hukum Tentang Hak Dan Kewajiban Anak


Dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 diatur tentang hak dan

kewajiban anak yang dirumuskan dalam pasal 4 s.d pasal 19. Penegasan hak anak

dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 ini merupakan legalisasi hak-hak

anak yang diserap dari KHA dan norma hukum nasional. Dengan demikian, secara

yuridis ketentuan pasal 4 s.d pasal 18 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

menciptakan norma hukum (legal norm) tentang apa yang menjadi hak-hak

19
Savitri Goonesekere, “Children, Law And Justice A South Asian Perspective”. Unicef
& sage Publications, New Delhi, 1998, h.79.
32

anak.selutuhnya yang dirmuskan dalam pasal 4 s.d. pasal 18 Undang-Undang

Nomor 35 tahun 2014, diletakkan dengan kata hak, yakni “berhak atas..”, “berhak

mendapat…”, “berhak menyatakan… oleh karena hak (rights) sesungguhnya

merupakan hukum (law), maka pencantuman kata hak merupakan legalisi norma

menjadi norma hukum. Dengan demikian maka penormaan yang terjadi dalam

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 dapat diacu kepada pendapat Sudikno

Mertokusumo, yangmengemukakan bahwa suatu norma hukum apabila ditinjau

dari sisi isinya dapat dibagi dalam 3 (tiga) isi norma hukum, yakni:20

a. Norma hukum yang berisi perintah yakni, norma hukum yang mau tidak

mau harus ditaati;

b. Norma hukum yang berisi larangan yakni, norma hukum yang melarang

atau tidak membolehkan terhadapa suatu perbuatan;

c. Norma hukum yang berisi perkenaan

Selanjutnya, dijelaskan bahwa norma hukum yang berisi perintah dan

larangan adalah norma hukum yang bersifat imperatif, yakni norma hukum yang

memaksa dan karenanya bersifat a priori harus ditaati. Sementara itu, masuknya

ketentuan tentang kewajiban anak dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014

merupakan hasil “negosiasi” dari perdebatan di Komisi VII DPR yang memosisikan

kewajiban sebagai penyimbang hak anak. Dalam draf awalnya, kewajiban anak
tidak dimasukkan sebagaimana akhirnya dirumuskan dalam pasal 19 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014.

20
Sudikno Mertokususmo, “Mengenal Hukum-Suatu Pengantar”, liberty, Yogyakarta,
1999. h. 31-32.
33

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 merumuskan:

1) Hak hidup

2) Hak untuk tumbuh kembang

3) Hak untuk berpartisipasi wajar

4) Hak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.

B. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Hukum Hak Anak Terlantar

1. Pengertian anak terlantar

Anak terlantar adalah anak karena suatu sebab orang tuanya melalaikan

kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar baik

secara rohani, jasmani dan sosial yang dimaksud anak terlantar adalah anak yang

tinggal dalam keluaraga miskin usia sampai dengan 18 tahun. Pengertian anak

terlantar adalah anak karena suatu sebab orang tuanya melalikan kewajibannya

sehingga kebutuhan anak tidak dapat terpenuhi dengan wajar, baik secara rohani,

jasmani maupun sosial.21anak terlantar adalah anak yang tida mendapatkan asuhan

secara minimal dari orang tuanya sebab kondisi keluarganya baik ekonpomi, sosial,

kesehatan jasmani maupun psikisnya tidak layak sehingga anak-anak tersebut

membutuhkan adanya bantuan pelayanan dari sumber-sumber yang ada


22
dimasyarakat sebagai pengganti orang tuanya. anak terlantar diberi pengertian
sebagai suatu bentuk pengabaian terhadap perawatan anak sehingga menimbulkan

resiko bagi anak. Orang tua sebagai pemberi perawatan (coregiver parents)

melalaikan tanggung jawabnya untuk memenuhi kebutuhan anak. Pengabaian

terhadap anak tersebut tidak semata-mata disebabkan karena kemiskinan orang tua

21
UU No.4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
22
Walter AFriedlander (1982:45), http://benradit.Wordpress.com/2012/04/14/anak-
jalanan.
34

tetapi faktor-faktor lain seperti perceraian orang tua, atau karena kesibukan orang

tua dalam mengejar karier.23

Ciri-ciri anak terlantar menurut Keputusan Menteri Sosial RI. No. 27 tahun

1984 terdapat beberapa karakteristik atau ciri-ciri anak terlantar, yaitu sebagai

berikut.

a. Tidak memiliki ayah, karena meninggal (yatim), atau ibu karena

meninggal tanpa dibekali secara ekonomis untuk belajar, atau

melanjutkan pelajaran pada pendidikan dasar.

b. Orang tua sakit-sakitan dan tidak memiliki tempat tinggal dan pekerjaan

yang tetap. Penghasilan yang tidak tetap dan sangat kecil serta tidak

mampu membiayai sekolah anaknya.

c. Orang tua yang tidak memiliki tempat tinggal yang tetap baik itu rumah

sendiri maupun rumah sewaan.

d. Tidak memiliki ibu dan bapak (yatim piatu), dan saudara, serta belum

ada orang lain yang menjamin kelangsungan pendidikan pada tingkatan

dasar dalam kehidupan anak.

Banyak factor yang menjadi penyebab mengapa si anak menjadi terlantar,

antara lain anak:

a. Faktor keluarga, keluarga adalah unit terkecil dalam amsyarakat yang


terdiri dari suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan

anaknya.24 Dimana keluarga ini merupakan faktor yang paling penting

yang sangat berperan dalam pola dasar anak. Kelalaian orang tua

terhadap anak sehingga anak merasa diterlantarkan. Anak-anak

23
Menurut Howard Dubowitz (2000:10):) http://benradit.wordpress.com/2012/04/14anak-
jalanan.
24
UU No. 10 tahun 1992.
35

sebetulnya hanya membutuhkan perlindungan, tetapi juga perlindungan

orang tuanya untuk tumbuh berkembang secara wajar.

b. Faktor pendidikan, dalam hal kelangsungan pendidikan anak, misalnya,

akibat krisis kepercayaan akan arti pentingnya sekolah, di lingkungan

komunitas masyarakat miskin acap terjadi kelangsungan pendidikan

anak cenderung diterlantarkan.

c. Faktor sosial, politik dan ekonomi, akibat situasi krisis ekonomi yang tak

kunjung usai, pemerintah mau tidak mau memang harus menyisihkan

anggaran untuk membayar utang dan memperbaiki kinerja prekonomian

jauh lebih banyak daripada anggaran yang disediakan untuk fasilitas

kesehatan, pendidikan, perlindungan sosial anak

d. Kelahiran diluar nikah, seorang anak yang kelahirannya tidak

dikehendaki pada umunya sangat rawan untuk diterlantarkan dan bahkan

diperlakukan salah (child abuse). Pada tingkat yang ekstream perilaku

penelantaran anak bias berupa tindakan pembuangan anak untuk

menutupi aib atau karena tidak sanggup orang tua untuk melahirkan dan

nenelihara anaknya secara wajar.

Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak terlantar yaitu sebagai

berikut.25
a. Anak terlantar disebabkan sebagian besar karena orang tuanya berasal

dari ekonomi rendah.

b. Anak terlantar disebabkan karena hanya memiliki salah satu orang tua

terutama apabila dikepalai seorang ibu yang tidak memiliki pekerjaan

25
Alfred Kadhusin dalam Zastrow (1982:152),
http://benradit.wordpress.com/2012/04/14/ana-jalanan.
36

c. Ibu yang mempunyai intelektual dibawah normal, akan mengurangi

kemampuan dalam memenuhi kebutuhan anak, sehingga anak menjadi

tidak terurus.

d. Orang tua yang menelantarkan anak disebabkan mempunyai intelektual

dibawah normal, akan mengurangi kemampuan dalam memenuhi

kebutuhan anak sehingga sehingga tidak dapat menggunakan fungsinya

sebagai pengasuh

e. Kelalaian dari orang tua dalam memeperhatikan anaknya, orang tua

mengalami gangguan secara fisik, kestabilan emosi yang menurun

karena lelah, memiliki masalah kesehatan secara medis, bersikap apatis

dan putus asa, sehingga mengalami kesulitan dalam mengurus anak.

f. Orang tua yang menelantarkan anak mempunyai pengalaman emosional

yang tidak menyenangkan pada anak-anaknya.

Permasalahan yang dapat ditimbulkan oleh anak terlantar diantaranya

sebagai berikut:26

a. Pengemis, pada umumnya orang menjadi pengemis sebagai akibat dari

tekanan ekonomi keluarga sehingga demi mempertahankan hidupnya

dengan cara meminta-minta didepan umum.

b. Kenakalan anak dan kriminalitas, kenakalan anak atau tindak kejahatan


disebabkan oleh tekanan hidup yang mendesak, maupun kehidupan

dimasa depan yang suram dan sebagai kompensasi dari hidup yang

berstatus anak terlantar.

c. Akibat pengangguran, pemenuhan kebutuhan yang diinginkan tidak

terpenuhi seperti kebutuhan akan pendidikan sebagai bekal hidup di masa

26
Waluyo (1976:23) http://benradit.wordpress.com/2012/04/14
37

yang akan datang, maka banyak anak-anak menganggur atau tidak

memiliki keahlian dan keterampilan tertentu.

Pasal 34 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan “fakir

miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”. Dalam konteks ini paling tidak

ada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan

“anak pemeliharaan” oleh Negara itu?. Istilah “anak terlantar” yang digunakan

“bapak bangsa” lebih dari setengah abad yang lalu itu telah didenifikasikan oleh

pemerintah melalui pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 4 tahun 1979 tentang

kesejahteraan anak. Disebutkan bahwa anak terlantar adalah anak yang karena suatu

sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya sehingga kebutuhan anak tidak

terpenuhi secara wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial. selanjut pada

pasal 4 ayat (1) disebutkan bahwa “anak yang tidak mempunyai orang tua berhak

memperoleh asuhan Negara atau badan.” Begitu pula dengan pasal 5 ayat (1)

disebutkan bahwa “ anak yang tidak mampu berhak memperoleh bantuan agar

dalam lingkungan keluarganya dapat tumbuh dan berkembang secara wajar.

Undang-Undang Nomor 4 tahun 1997 secara eksplisit juga menyoroti

tanggung jawab orang tua dalam hal pengasuhan anak pasal 9 menyebutkan bahwa

“orang tua adalah yang pertama-tama bertanggungjawab atas terwujudnya

kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial”. pernyataan itu
diperkuat dengan bunyi pasal 10 ayat (1): “orang tua yang terbukti melalaikan

tanggungjawabnya sebagaimana yang termaktub dalam pasal 9 sehingga

mengakibatkan timbulnya hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak,

dapat dicabut kuasa asuhnya sebagai orang tua terhadap anaknya".

2. Perlindungan hukum anak terlantar

Perlindungan hukum adalah segala upaya untuk menjamin dan melindungi

anak dan hak-haknya agar dapat tumbuh, hidup, berkembang dan berpartisipasi,
38

secara optimal harkat dan martabat kemanusiaan. Anak adalah penerus cita-cita

bangsa yang wajib dilindungi segala hak-hak yang ada pada anak, agar setiap anak

dapat tumbuh dan berkembang baik secara fisik, mental maupun sosial, oleh karena

itu perlu adanya perlindungan hukum terhadap anak atas pemenuhan hak-hak anak

serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi.

Adapun bentuk perlindungan hukum terhadap anak terlantar menurut

Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perlindungan anak meliputi

pengawasan, pencegahan, perawatan, konseling, rehabilitas sosial dan

pendampingan sosial. oleh karena itu perlindungan hukum terhadap anak

merupakan suatu keharusan yang harus ada agar dapat menjamin anak untuk hidup,

tumbuh dan berkembang dengan baik.

Adapun sanksi pidana terhadap orang yang melakukan penelantaran

terhadap anak dikenakan pasal 77B Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 yang

berbunyi “setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 76B (setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melibatkan,

menyuruh melibatkan anak dalam situasi perlakuan salah dan penelantaran) maka

akan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

3. Konvensi hak-hak anak


Konvensi hak-hak anak merupakan perjanjian internasional yang mengikat

secara yuridis dan maupun politis diantara Negara-negara yang mengatur hak-hal

yang berhubungan dengan hak anak.27menurut UNICEF hak anak berarti hak asasi

manusia untuk anak. Pandangan ini menghasilkan pemahaman bahwa konvensi

hak-hak anak adaalah perjanjian internasional yang mengikat secara yuridis dan

politi diantara berbagai Negara yang mengatur barbagai hal-hal yang berkaitan

27
UNICEF, konvensi hak-hak anak, Jakarta 1999. h.1.
39

dengan hak asasi manusia untuk anak. Hak asasi manusia untuk anak merupakan

bagian integral dari hak asasi manusia. Dengan demikian konvensi hak-hak anak

merupakan bagian integral dari instrumen internasional dibidang hak asasi manusia,

karena anak mempunyai keadaan dan kebutuhan khusus, sehingga perlu perlakuan-

perlakuan khusus yang berkaitan dengan situasinya, apalagi anak dinilai sangat

rentan terhadap berbagai persoalan.

Peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan konvensi hak-hak

anak, diantaranya,

a. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak

b. Undang-Undang Nomor 20 tahun 1999 tentang Ratifikasi Konvensi ILO

138 tentang usia minimum diperbolehkan bekerja

c. Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

d. Undang-Undang nomor 1 tahun 2000 tentang Ratifikasi Konvensi ILO

182 tentang pelanggaran dan tindakan segera penghapusan bentu-bentuk

pekerjaan terburuk anak

e. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 35

tahun 2014 tentang perlindungan anak

f. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan

g. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan


nasional

h. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan

dalam rumah tangga

i. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

Republik Indonesia

j. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang 0pemberantasan tindak

pidana perdagangan orang


40

k. Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan

l. Keprpres Nomor 87 tahun 2002 tentang rencana aksi nasional

penghapusan eksploitasi seksual komersial anak (RAN-PESKA).

a. Hak atas kelangsungan hidup (survival rights)

Tahap kehidupan seorang anak adalah dalam proses

pertumbuhannya meliputi; (a) anak, (b) dewasa, (c) tua. Setiap tahap dalam

kehidupan seseorang mempunyai makna penting. Masa kanak-kanak

mengambil peran yang sangat krusial dalam menentukan kehidupan

berikutnya. Oleh karena itu, kesadaran dan perhatian baik dari orang tua,

masyarakat maupun pemerintah adalah hal yang sangat esensi untuk

menjamin keberlangsungan kehidupan anak. Cara yang ditempuh oleh

Konvensi Hak-Hak Anak berkaitan dengan hal ini adalah dengan

menegaskan adanya hak bagi anak untuk kelangsungan hidupnya (survival

rights).

b. Hak atas perlindungan (protechtion rights)

Anak memerlukan perlindungan (protection), keperluan perlindungan

bagi anak merupakan hal yang objektif didasarkan pada keadaan raga (fisik)

dan jiwa (psikis). Raga atau badan anak kecil yang lemah. Jiwa anak sangat

rentang terhadap aneka pengaruh, baik dari lingkungan maupun daya tahan
tubuh anak. Disamping itu, adanya kenyataan bahwa anak sering menjadi

korban dalam berbagai tindakan pidana. Meningkatkan jumlah anak putus

sekolah dan maraknya kasus perdagangan anak juga menjadi dasar perlu adanya

hak perlindungan bagi anak. Untuk menjamin adanya perlindungan terhadap

anak, maka Konvensi Hak-Hak Anak menegaskan bahwa perlindungan baik

dari pemerintah maupun orang-orang sekitarnya merupakan hak bagi anak.

Anak perlu dilindungi karena anak merupakan individu yang belum matang,
41

fisik, mental, maupun sosial. disamping itu anak juga rawan terhadap kebijakan

eknomi dan hukum. Dari sudut ekonomi, anak merupakan tenaga kerja murah.

Sementara dari sudut hukum, anak merupakan subjek pengaturan atau regulasi

yang hamper tidak pernah prites dan tidak berani bicara terbuka.

c. Hak untuk berkembang (development rights)

Kata “perkembangan” dan “pertumbuhan” sering disamakan maknanya.

Namun, apabila kedua kata tersebut berkaitan dengan anak, maka makna

keduanya akan sangat jauh berbeda. Kata “pertumbuhan” berkaitan dengan

perubahan kuantitatif, yaitu peningkatan ukuran dan struktur tubuh

anak.28peningkatan ukuran disini bukan hanya secara fisik, tetapi juga berkaitan

dengan ukuran dan struktur dalam otak yang meningkat. Akibat adanya

pertumbuhan otak, anak mempunyai kemampuan yg lebih besar untuk belajar,

mengingat dan berpikir. Anak tumbuh baik secara fisik maupun mental. Kata

“perkembangan” berkaitan dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif.

Elizabeth B Hurlock mendenifikan kata “ perkembangan”, sebagai deretan

progresif dari perubahan yang diatur dan koheren perkembangan menandai

perubahannya terarah, yaitu menunjukkan adanya hubungan nyata antara

perubahan yang terjadi dan yang telah mendahului atau yang akan

mengikutinya. Dengan demikian di dalam kata “perkembangan” tercakup


makna “pertumbuhan”.

Hak anak untuk berkembang dijamin oleh Konvensi Hak-hak anak.

Kedua hal ini menjadi fokus Konvensi Hak-Hak Anak berkaitan dengan hak

anak untuk berkembang, yaitu (a) hak anak berkaitan dengan standar kehidupan

28
Elizabeth B harlock, Child Development, Megraw-Hill, Inc, 1978, Diterjemahkan Oleh
Melitasari Tjandrasa Dan Muslichah Zarkasih, perkembangan anak (jilid I), Jakarta Erlangga,
1997, h. 23.
42

yang layak, dan (b) hak anak untuk memperoleh pendidikan dalam semua

tingkatan

d. Hak untuk berpasrtisipasi(participation rights)

Partisipasi adalah turut serta dalam suatu kegiatan. Konvensi Hak-hak

anak yang mengakui hak anak untuk berpartisipasi untuk menyatakan pendapat

dalam segala hal yang berkaitan dengan anak. Pengakuan hak anak untuk

berpartisipasi untuk menyatakan pendapat oleh Konvensi Hak-hak anak ini

dilator belakangi oleh pemikiran bahwa sejak awal perkembangannya, anak

harus ditampilkan sebgai subjek hukum. Pengakuan seperti ini merupakan

bagian dari pembelajaran bahwa perkembangan anak harus diberikan perhatian

sedini mungkin. Pengakuan oleh Konvensi Hak-Hak Ana katas anak untuk

berpartisipasi tersebut memperoleh kebenaran dari teori perkembangan anak

yang disampaikan oleh Elizabeth B Hurlock. B. Hurlock menegaskan bahwa

didalam perkembangan anak ada hubungan anatara partisipasi dengan

penerimaan sosial. menurut Hurlock ada beberpa kategori penerimaan sosial,

yaitu (a) star, (b) accepted, (c) isolated, (d) friger, (e) climber, (f) neglectee.

Semakin anak berpartisispasi dalam masyarakat, ia akan semakin diterima oleh

masyarakat. Semakin seorang anak diterima oleh masyarakat, maka

perkembangan jiwa dan raganya akan semakin baik.


Menegaskan bahwa di dalam hal yang berkaitan dengan anak, pendapat

anak harus didengar bahkan didalam persidangan dan urusan administrasi yang

berkaitan dengan anak, pendapat anak harus diperhatikan. Pengakuan seperti ini

merupakan perwujudan bahwa anak tidak sekedar dijadikan objek pemikiran

orang dewasa , melainkan juga diakui sebagai subjek.


43

4. Perlindungan hukum terhadap hak anak

Hak anak adalah hak asasi manusia. Pengakuan ini ditandai oleh hukum

internasional yang mengatur hak asasi manusia. Instrument Hukum Hak Asasi

Manusia Internasionak mengakui bahwa anak-anak seperti orang dewasa memiliki

hak asasi manusia. Hak anak adalah hak asasi manusia termasuk anak-anak. Anak-

anak juga harus dijamin untuk menikmati hak asasinya khususnya hak yang terkait

dengan statusnya sebagai anak yang membutuhkan perawatan dan perlindungan

sampai batas usia tertentu29.

Perlindungan ini sangat dibutuhkan karena anak-anak pada dasarnya pada

seluruh komunitas kehilangan kuasa manakala menjalin relasi dengan orang

dewasa. Pada titik ini anak-anak sangat rentan mendapatkan perlakuan

diskriminatif. Oleh karenanya anak-anak membutuhkan suatu hak yang spesifik dan

perlindungan yang spesifik dalam suatu rezim hak asasi manusia yang bersifat

spesifik pula. Meskipun kelompok anak juga mendapatkan jaminan perlindungan

melalui perjanjian internasional umum yang memberikan perlindungan terhadap

setiap manusia, namun masyarakat internasional memandang perlu mengelaborasi

melalui suatu Konvensi yang mengakomodasi kebutuhan anak yang bersifat

spesifik (office of the high commisoner for human rights).

Hal ini dapat dilihat dalam pembukaan KHA yang menyatakan bahwa:
“mengingat bahwa kebutuhaan untuk memberikan pengasuhan khusus kepada

anak, telah dinyatakan dalam deklarasi jenewa mengenai hak-hak anak tahun 1974

dan dalam deklarasi hak-hak anak yang disetujui oleh majelis umum pada tanggal

20 november 1959 dan diakui dalam Deklarasi Universal tentang hak-hak asasi

manusia, dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (terutama

dalam pasal 23 dan pasal 24), dalam Kovenan Internasional tentang hak-hak

Panduan advokasi hak anak: Memperjuangkan Kebijakan Yang Memenuhi Hak Anak “
29

WVI-YPHA, 2010
44

ekonomi, sosial dan budaya (terutama pasal 10 ). “oleh karena itu, KHA sebagai

instrument Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dirancangkan sebagai

instrument spesifik untuk menjamin hak-hak anak yang bersifat spesifik dapat

dinikmati oleh anak-anak. Kekhususan KHA dapat dilihat dari prinsi-prinsip

terkandung didalamnya pembukaan KHA sebagai landasan filosofis hak-hak anak,

yaitu:

a. Anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus

b. Anak harus diberikan perlindungan dan bantuan yang diperlukan

sedemikian rupa sehingga dapat dengan sepenuhnya memikul tanggung

jawab didalam massyarakat

c. Anak untuk perkembangan kepribadiannya sepenuhnya dan serasi,

harus tumbuh berkembang dalam lingkungan keluarganya dalam

suasana kebahgiaan, cinta dan pengertian

d. Anak karena alas an ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan

perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum

yang tepat baik sebelum dan juga sesudah kelahiran.

Pembukaan tersebut kemudian diformulasikan dalam pasal 5 KHA yang

menyatakan bahwa “Negara harus menghormati tanggung jawab, hak-hak dan

kewajiban-kewajiban orang tua, atau apabila dapat diberlakukan, para anggota


keluarga yang diperluas atau masyarakat seperti yang diurus oleh kebiasaan local,

wali hukum, atau orang-orang lain secara sah bertanggung jawab atas anak itu,

untuk memberikan dalam suatu cara yang sesuai dengan kemampuan anak yang

berkembang pengarahan dan bimbingan yang tepat dalam pelaksanaan oleh anak

mengenai hak-hak yang diakui Konvensi ini.


45

KHA merupakan instrument hukum HAM internasional yang pertama kali.

Memperkenalkan konsep perkembangan kemampuan anak.pasal 5 menentukan

bahwa arahan dn bimbingan orang tua atau pihak lain yang bertanggungjawab

terhadap anak harus memperhitungkan kemampuan anak untuk melaksanakan hak-

haknya.

Pemerintah bertanggungjawab terhadap pendidikan anak yang tidak

mampu, terlantar yang bertempat tinggal didaerah terpencil (pasal 53 Undang-

Undang Nomor 35 tahun 2014). Anak yang sekolah wajib dilindungi dari tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya atau

lembaga pendidikan lainnya (pasal 54 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014).

Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar.

Kewajiban-kewajiban tersebut agar dimaksudkan;

a. Anak bebas berpartisipasi

b. Anak bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani

dan agamanya

c. Bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia

dan perkembangan anak

d. Bebas berserikat dan berkumpul

e. Bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkarya, dan berkumpul


f. Memperoleh sarana bermain yang memenuhi syarat kesehatan dan

keselamatan (pasal 56 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014.

Khusus perlindungan terhadap anak, pasal 28B ayat (2) UUD Negara

Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan: “setiap anak berhak atas kelangsungan

hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan

diskriminisasi”. Meskipun secara eksplisit hanya pasal 28B ayat (2) UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan adanya hak asasi anak, akan
46

tetapi secara keseluruhan pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

sepanjang dapat dilaksanakan dan dapat diterima serta bermanfaat bagi anak, maka

hak-hak yang dimaksud harus dialamatkan kepada anak dan bukan monopoli

manusia dewasa.
DAFTAR RUJUKAN

A. Buku-Buku

Afrizal, Metode Penelitian Kualitatif : Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan


Penelitian Kualitatif Dalam Berbagai Disiplin Ilmu. cet.I: Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 2004.

Ali, Zainuddin. metode penelitian hukum. cet.v; Jakarta: Sinar Grafika, 2014.

Amirin,bTatang M. Menyusun Rencana Penelitian. cet. III, Jakarta:PT. Raja


Grafindo Persada. 1995.

Amiruddin dan Asikin, Zainal. pengantar metode penelitian hukum.

Arikunto, Suharmis. Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. cet. XII; Jakarta:


Rimeka Cipta. 2002.

Goonesekere, Savitri. “children, law and justice A South Asian Perspective”.


Unicef & sage Publications. New Delhi. 1998.

Martono, Nanang. Metode Penelitian Sosial Konsep-Konsep Kunci. cet.I; PT Raja


Grafindo: Jakarta. 2015.

Mertokususmo, Sudikno. “Mengenal Hukum-Suatu Pengantar”, liberty.


Yogyakarta. 1999.

Muladi. Hak asasi manusia (hakekat, konsep dan implikasinya dalam perspektif
hukum dan masyarakat). PT. Refika Aditama. Bandung . 2005.

Nawawi Syahruddin. Penelitian Hukum Normatif Versus Penelitian Hukum


Empiris. Ed,II, Makassar: PT Umitoha Grafika. 2013.

Republik Indonesia, Undang – Undang Nomor 2014 tentang perlindungan anak.

Rosyadi, Ahmad. skripsi, “perlindungan hukum terhadap Anak terlantar dalam


perspektif hukum islam dan hukum positif”. Fakultas Syariah dan Hukum.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2016.

B. Jurnal

Umar, Husein. Metode Penelitian Skripsi Tesis Dan Bisnis. cet,II; Jakarta: Raja
Grafindo Persada. 1999.

Warganegara, Damanhuri. skripsi,” perlindungan hukum terhadap anak jalanan”.


Fakultas Hukum, Universitas Lampung Bandar Lampung, 2017.

47
48

C. Undang-Undang

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 tahun 1992

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan

Anak.

D. Internet

Alfred, Kadhusin dalam Zastrow (1982:152),


http://benradit.wordpress.com/2012/04/14/ana-jalanan.

Gunawan, ”UU 35 tahun 2014 tentang perubahan atas- UU 23 tahun 2002”,dalam


https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-35-2014-perubahan-uu-23-
2002-perlindungan-anak, 24 september 2019.

Menurut Howard Dubowitz (2000:10):)


http://benradit.wordpress.com/2012/04/14anak-jalanan.

Rina Yunita, Kumpulan Artikel Anak Penelantaran. di Expos Pada Tanggal 24


Agustus 2015. Koran Tempo.com.

Waluyo(1976:23) http://benradit.wordpress.com/2012/04/14.

Anda mungkin juga menyukai