Anda di halaman 1dari 19

A. TEKS DAN TERJEMAH Q.S.

ALI-IMRAN [3]: 79
ْ ُ‫وا ِعبَ ٗادا لِّي ِمن دُو ِن ٱهَّلل ِ َو ٰلَ ِكن ُكون‬
‫وا‬ ۡ َ َ‫َم ا َك انَ لِبَ َش ٍر أَن ي ُۡؤتِيَ هُ ٱهَّلل ُ ۡٱل ِك ٰت‬
ِ َّ‫ب َوٱلح ُۡك َم َوٱلنُّبُ َّوةَ ثُ َّم يَقُ و َل لِلن‬
ْ ُ‫اس ُكون‬
٧٩ َ‫ب َوبِ َما ُكنتُمۡ ت َۡد ُرسُون‬ َ َ‫َر ٰبَّنِ ۧ‍يِّنَ بِ َما ُكنتُمۡ تُ َعلِّ ُمونَ ۡٱل ِك ٰت‬
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab,
Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.” Akan tetapi (dia
berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu
mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya”.
A. ASBABUN NUZUL
Ketika para Pendeta Yahudi dan Nasrani Najran berkumpul di hadapan
rasulullah SAW dan Rasulullah SAW mengajak mereka untuk memeluk agama
islam, Abu Rafi’ al-Quradhi berkata: “Wahai Muhammad, apakah kamu
menginginkan kami menyembahmu sebagaimana orang-orang Nasrani
menyembah Isa?. Jawab Rasulullah: “Ma’adzallah-aku berlindung kepada Allah
dari perbuatan itu”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan Q.S. Ali
Imran ayat ke-79 dan 80 untuk memberi dukungan terhadap apa yang telah
disabdakan oleh Rasulullah SAW itu. Selain itu juga memberi sanggahan terhadap
mereka, bahwa tidak ada seorang nabi pun yang mengajak ummatnya untuk
menyembah dirinya.
(HR. Ibnu Ishak dan Baihaqi daari Ibnu Abbas)
Pada suatu ketika ada seorang lelaki dating menghadap Rasulullah SAW,
seraya berkata: “Wahai Rasulullah, apakah memberi salam kepadamu itu seperti
memberi salam kepada teman kami saja, ataukah tidak lebih baik dengan sujud?”.
Jawab Rasulullah: “Jangan bersujud. Cukup kamu menghormati nabimu, dan
sampaikanlah perkara yang benar kepada siapa saja yang layak untuk diberi tahu.
Sebab seseorang tidak dibenarkan sujud kepada sesamanya. Hanya dibenarkan
bersujud kepada Allah saja”. sehubungan dengan peristiwa itu allah SWT
menurunkan ayat ke-79 dan 80 sebagai ketegasan bahwa apa yang disabdakan
Rasulullah SAW itu adalah benar. Selain itu menegaskan pula tentang tidak
diperbolehkannya bersujud kepada hamba. (HR. Abdurrazak dalam kitab tafsirnya
dari al-Hasan).
B. PENAFSIRAN MUFASSIR
1. Tafsir Ibnu Katsir
Firman allah Ta’ala, “Tidaklah layak bagi seorang manusia yang telah
diberikan oleh Allah Alkitab, hikmah, dan kenabian… setelah kamu islam?”
Maksudnya, tidaklah layak bagi seorang nabi dan seorang rasul untuk mengatakan
kepada manusia, “Sembahlah aku di samping menyembah Allah!” Jika perbuatan
seperti itu tidak dilakukan oleh seorang nabi dan rasul, maka ia lebih tidak layak
lagi dilakukan oleh manusia yang bukan nabi atau rasul. Hal itu karena sebagian
Ahli Kitab menyembah Ahli Kitab yang lain, yakni menyembah pendeta dan
uskupnya. Allah Ta’ala berfirman, “Mereka menjadikan para pendeta dan
rahibnya sebagai tuhan selain Allah”.
Dalam musnad dan riwayat at-Tirmidzi dikatakan, “Sesungguhnya Adi bin
Hatim berkata, ‘Wahai Rasulullah, mereka tidak menyembah para pendetanya?’
Nabibersabda, ‘Memang bukan menyembah demikian, tetapi para pendeta itu
mengharamkan yang halal kepada manusia, lalu mereka mengikutinya. Itulah
penyembahan mereka kepada pendetanya.’” Para rahib dan pendeta yang dungu
serta tokoh kesesatan termasuk ke dalam celaan ayat ini. Berbeda dengan para
rasul dan para pengikut mereka dari kalangan ulama yang mengamalkan ilmunya.
Sesungguhnya mereka hanya memerintahkan apa yang telah diperintahkan Allah
dan apa yang disampaikan oleh para rasul kepada mereka, serta mereka melarang
manusia dari perbuatan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya. Para rasul itu
merupakan duta-duta yang tepercaya antara Allah dan makhluknya, lalu mereka
menjalankan tugasnya dengan sempurna, mereka menasihati makhluk dan
menyampaikan kebenaran.
Firman Allah, “Namun dia berkata, ‘Hendaklah kamu menjadi orang-orang
rabbani,’ karena kamu selalu mengajarkan Alkitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya,” akan tetapi, seorang rasul akan berkata kepada manusia,
“Jadilah kamu orang-orang rabbani!” Yakni, ulama yang hilim dan ahli fikih yang
ahli ibadah dan bertakwa. Sehubungan dengan firman Allah, “Karena kamu
selalu mengajarkan Alkitab dan siebabkan kamu tetap mempelajarinya.” Adh-
Dhahhak berkata, “Yakni apa yang kalian pahamkan kepada manusia mengenai
berbagai makna Alkitab dan kalian ajarkan kepada mereka hukum-hukum,
perintah-perintah, dan larangannya, bukan apa yang kalian hafalkan kata-katanya
secara verbal”.1
٢٥ ‫ُون‬ ۡ َ‫َو َمٓا أَ ۡر َس ۡلنَا ِمن قَ ۡبلِكَ ِمن َّرسُو ٍل إِاَّل نُو ِح ٓي إِلَ ۡي ِه أَنَّ ۥهُ ٓاَل ِإ ٰلَهَ إِٓاَّل أَن َ۠ا ف‬
ِ ‫ٱعبُد‬
Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan Kami
wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan Aku,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku". (Q.S. Al-Anbiyaa: 25)
2. Tafsir al-maraghi
Penafsiran kata-kata sulit
- Al-Basyar: manusia, baik lelaki atau wanita satu atau banyak.
- Al-Hukma: Hikmah, yaitu pengetahuan mengenai Al-Kitab dan
rahasia-rahasianya, yang hal ini memerlukan pengamalan.
- Al-‘Ibaad: bentuk tunggalnya ‘abdun dengan makna ‘abidun,
orang yang menyembah (hamba). Al-‘Abiid merupakan bentuk
jamak dari ‘abdun, yang artinya hamba. Sifat hamba ini nisa
juga terhadap selain Allah.
- Ar-Rabbaaniyyiin: bentuk tunggalnya Rabbaniy, sebagaimana
dikatakan oleh Sibawaih, artinyaadalah dikaitkan dengan
Tuhan, dan taat terhadap-Nya. Sebagaimana dikatakan,
Rajulun ilahiy, artinya bila ia selalu taat kepada Allah dan
mengetahui-Nya. Diriwayatkan, bahwa Muhammad Ibnul-
Hanafiyah berkata sewaktu wafatnya Ibnu Abbas, “Padahari
ini, telah wafat seorang rabbaniy umat ini.
Dalam ayat ini, Allah SWT, telah menuturkan tentang bikinan orang-orang
Yahudi terhadap Allah SWT. dengan kebohongan, lalu menisbahkannya kepada
Allah. Padahal Allah tidak mengatakannya. Lalu Allah SWT. mengiringi hal
tersebut dengan penjelasan bikinan mereka terhadap para Nabi.
ۡ َ َ‫َما َكانَ لِبَ َش ٍر أَن ي ُۡؤتِيَهُ ٱهَّلل ُ ۡٱل ِك ٰت‬
ِ ‫ُون ٱهَّلل‬
ِ ‫وا ِعبَ ٗادا لِّي ِمن د‬ ِ َّ‫ب َوٱلح ُۡك َم َوٱلنُّبُ َّوةَ ثُ َّم يَقُو َل لِلن‬
ْ ُ‫اس ُكون‬

1
Tidak pantas bagi seorang manusia yang menerima kitab dari Allah, Allah
mengajarinya pengetahuan mengenai agama-Nya kenabian. Kemudian, ia
mengajak umat manusia agar menyembah dirinya, selain Allah. Sebab orang yang
dianugerahi Allah akan hal tersebut, hanya mengajak umat manusia agar
mengetahui-Nya, serta menganjurkan agar mengetahui Syari’at-syari’at agama-
Nya, serta menganjurkan mereka agar menjadi panutan dalam hal ketaatan dan
ibadah kepada-Nya, dan menjadi orang-orang yang mengajari umat manusia akan
kitab-Nya.
Maka firman Allah Min dunihi, maksudnya menjadi orang-orang yang
melewati batas yang diwajibkan, yaitu dalam hal mengkhususkan Allah SWT.
untuk diibadahi (disembah). Sebab, ibadah yang benar tidak akan terealisasikan
kecuali bila anda ikhlas kepada-Nya semata, lalu engkau tidak mencampuri hal ini
dengan yang lainnya, seperti menyembah kepada selain-Nya, sebagaimana firman
Allah:
ٗ ِ‫قُ ِل ٱهَّلل َ أَ ۡعبُ ُد ُم ۡخل‬
١٤ ‫صا لَّهۥُ ِدينِي‬
Katakanlah: “Hanya Allah saja Yang aku sembah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya dalam (menjalankan) agamaku” (Q.S. Az-Zumar [39]: 14)
Barangsiapa mengajak penyembahan kepada dirinya berarti ia mengajak umat
manusia agar menjadi hamba yang menyembah kepada selain-Nya, sekalipun ia
tidak melarang menyembah Allah. Bahkan, sekalipun ia memerintahkan agar
menyembah Allah.
Barangsiapa menjadikan perantara antara dirinya dengan Allah dalam masalah
ibadah, seperti berdoa, berarti ia menyembah perantaraan itu, bukannya Allah.
Sebab, adanya perantara ini bertentangan dengan pengertian ikhlas terhadap Allah
semata. ketika tiada rasa ikhlas, maka lenyap pula pengertian ibada kepada-Nya.
Oleh karena itu, Allah berfirman:
١ ‫يز ۡٱل َح ِك ِيم‬ ۡ ِ َ‫َنزي ُل ۡٱل ِك ٰت‬
ِ ‫ب ِمنَ ٱهَّلل ِ ٱل َع ِز‬ ِ ‫ت‬

Sesunguhnya Kami menurunkan kepadamu Kitab (Al Quran) dengan (membawa)


kebenaran. Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya;
Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (Q.S. Az-Zumar [39]:
2-3)
Tawassul (mengambil perantara) mereka melalui para wali, membuat Allah
berfirman, bahwa mereka telah mengambil tuhan-tuhan selain Allah. Dan,
Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah telah berfirman:

“Aku adalah sekutu yang paling tidak membutuhkan kemusyrikan, maka


barangsiapa melakukan suatu amal, kemudian ia memusyrikan selain Aku
didalamnya, Aku tinggalkan dia beserta kemusyrikannya.” Dan, dalam riwayat
lain disebutkan, “Maka Aku bebas dari padanya, ia adalah bagi yang
mengamalkannya.” (H.R. Muslim)
Dan, Rasulullah pernah bersabda:

“Bila Allah mengumpulkan umat manusia di hari kiamat, ada suara yang
memanggil, barangsiapa memusyrikkan dalam suatu pekerjaan (amal) dengan
seseorang yang seharusnya ia lakukan demi Allah, maka mintalah pahalanya
kepada selain Allah, sebab Allah tidak membutuhkan kemusyrikan.” (H.R.
Ahmad)
ْ ُ‫َو ٰلَ ِكن ُكون‬
َ َ‫وا َر ٰبَّنِ ۧ‍يِّنَ بِ َما ُكنتُمۡ تُ َعلِّ ُمونَ ۡٱل ِك ٰت‬
َ‫ب َوبِ َما ُكنتُمۡ ت َۡد ُرسُون‬

Akan tetapi, Nabi yang telah diberi kitab dan hikmah memerintahkan agar
menjadi manusia yang rabbaniy secara langsung, tidak melalui perantara atau
tawassul. Nabi memberikan petunjuk kepada mereka para wasilah hakiki yang
dapat mengantarkan seseorang ke arah Rabbaniy yaitu mengajarkan al-kitab dan
mempelajarinya. Sebab, dengan ilmu al-kitab, mengajarkan, dan mengamalkannya
seseorang bisa menjadikan rabbaniy yang diridhoi Allah, Ilmu yang tidak bisa
membangkitkan amal bukanlah ilmu yang benar. Karena itu-lah dalam ayat ini
tidak disebutkan secara jelas penuturan perintah beramal, karena cukup dengan
hal tersebut.
3. Tafsir Al-Misbah
Sekelompok pemuka agama Yahudi dan Nasrani menemui Rasul saw. mereka
bertanya: “Wahai Muhammad, apakah engkau ingin kami menyembahmu?” salah
seorang di antara mereka bernama ar-Rais mempertegas, ‘Apakah untuk itu
engkau mengajak kami” Nabi Muhammad saw. menjawab: “aku berlindung
kepada Allah dari penyembahan kepada selain Allah atau menyuruh yang
demikian. Allah sama sekali tidak menyuruh aku demikian, tidak pula mengutus
aku untuk itu.” Demikian jawaban Rasul saw. yang diperkuat dengan turunnya
ayat ini.
Dari segi hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya, dapat diuraikan
bahwa, setelah selesai dalam ayat-ayat yang lalu penjelasan tentang kebenaran
yang disembunyikan oleh Bani Israil dan hal-hal yang berkaitan dengannya dan
berakhir pada penegasan bahwa mereka tidak segan-segan berbohong terhadap
Allah-dan ini juga berarti berbohong atas nama nabi dan rasul- karena tidak ada
informasi pasti dari Allah keculai melalui mereka, di sini ditegaskan bahwa hal
tersebut tidak wajar bagi seorang nabi pun. Bahwa yang dinafikan oleh ayat ini
adalah penyembahan kepada selain Allah sangat pada tempatnya karena apapun
yang disampaikan oleh seorang nabi ats nama Allah adalah ibadah, baik dalam
pengertiannya yang khusus, yakni ibadah murni, maupun dalam pengertiannya
yang umum, yakni segala aktivitas yang dilakukan dengan motivasi mengikuti
rasul dan mendekatkan diri kepada Allah.
Tidak wajar dan tidak dapat tergambar dalam benak betapa pun keadaannya
bagi seseorang manusia siapa dia dan betapa pun tinggi kedudukannya, baik
Muhammad saw. maupun Isa as. Dan selain mereka yang Allah berikan
kepadanya al-Kitab dan hikmah yang digunakannya menetapkan hukum putusan.
Hikmah adalah ilmu amaliah dan amal ilmiah dan kenabian, yakni informasi yang
diyakini bersumber dari Allah yang disampaikan kepada orang-orang tertentu
pilihan-Nya yang mengandung ajakan untuk mengesakan-Nya. Tidak wajar bagi
seorang yang memeroleh anugerah-anugerah itu kemudian dia berkata bohong
kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan
penyembah Allah.” Betapa itu tidak wajar, bukankah kitab suci Yahudi atau
Nasrani, apalagi al-Quran, melarang mempersekutukan Allah dan mengajak
mengesakan-Nya dalam zat, sifat, perbuatan dan ibadah kepada-Nya? Bukankah
nabi dan rasul yang paling mengetahui tentang Allah? Bukankah penyembahan
kepada manusia berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya, sedang mereka
adalah orang yang memiliki hikmah sehingga tidak mungkin meletakkan manusia
atau makhluk apa pun di tempat dan kedudukan Allah, Sang Khaliq itu? Jika
demikian, tidak mungkin Isa as. Manusia ciptaan Allah dan pilihan-Nya itu,
menyuruh orang lain menyembahnya, sebagaimana diduga oleh orang-orang
Nasrani.
Selanjutnya, mereka juga tidak akan diam, tidak mengajak kepada kebaikan
atau mencegah keburukan. Tidak! Tetapi Dia akan mengajak dan akan berkata,
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, yang berpegang teguh serta
mengamalkan nilai-nilai Ilahi karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan
disebabkan kamu terus-menerus mempelajarinya.”
Kata ( ) tsumma, yakni kemudian, diletakkan antara uraian tentang
anugerah-anugerah-Nya dan pernyataan bahwa mereka menyuruh orang untuk
menyembah manusia. Kata kemudian itu bukan bermakna adanya jarak waktu,
tetapi untuk mengisyaratkan betapa jauh ucapan demikian dari sifat-sifat mereka
dan betapa ucapan tersebut tidak masuk akal.
Kalau nabi dan rasul demikian itu halnya, tentu lebih tidak wajar lagi bagi
manusia biasa untuk mengucapkan kata-kata demikian. Tidak wajar ada manusia
yang dengan ucapan atau perbuatan memerintahkan atau bahkan mengisyaratkan
agar dia disembah dan dikultuskan. Karena itu, para dictator adalah ornag-orang
yang merasa dirinya tuhan-tuhan yang harus disembah, ditaati, dan diagungkan.
Kata ( ) Rabbani terambil dari kata ( ) Rabb yang memiliki
aneka makna, antara lain pendidik dan pelindung. Jika kata ini berdiri sendiri,
yang dimaksud tidak lain kecuali Allah swt. Kalau Anda bermaksud menisbahkan
sesuatu, biadanya kata ini ditambah dengan huruf ( ) ya’ seperti kata ( )
insan menjadi ( ) insani atau ( ) nur menjadi ( )
nuri. Dalam bahasa Indonesia, terkadang untuk memudahkan pengucapan
ditambah terlebih dahulu dengan huruf “W” sehingga misalnya berbunyi
manusiawi. Apabila Anda ingin menekankan sifat itu, dalam bahasa Arab
ditambah juga sebelum huruf ( ) ya’ dengan huruf alif dan nun, sehingga
kata ( ) nur menjadi ( ) nurani dan kata ( ) rabb menjadi (
) rabbani, sebagaimana bunyi ayat di atas.
Mereka yang dianugerahi kitab, hikmah, dan kenabian menganjurkan semua
orang agar menjadi rabbani, dalam arti semua aktivitas, gerak, dan langkah, niat
dan ucapan kesemuanya sejalan dengan nilai-nilai yang dipesankan oleh Allah
swt. Yang Maha Pemelihara dan Pendidik itu.
Kata ( ) tadrusun digunakan untuk meneliti sesuatu guna
diambil manfaatnya. Dalam konteks-teks-baik dalam kitab suci maupun selainnya
—ia adalah membahaas, mendiskusikan teks untuk menarik informasi dan pesan-
pesan yang dikandungnya.
Seorang Rabbani-menurut ayat ini- paling tidak melakukan dua hal. Pertama,
terus-menerus mengajarkan kitab suci, dan kedua terus-menerus mempelajarinya.
Pengertian terus-menerus itu dipahami dari bentuk kata kerja mudhari yang
digunakan ayat ini untuk kedua hal tersebut.
Bahwa seorang Rabbani harus terus-menerus mengajar karena manusia tidak
pernah luput dari kekurangan. Seandainya si A telah tahu, si B dan si C boleh jadi
belum, atau lupa, atau mereka adalah generasi muda yang selama ini belum
mengetahui. Itu dari sayu sisi. Di sisi lain, Rabbani bertugas terus-menetus
membahas dan mempelajari kitab suci karena firman-firman Allah sedemikian
luas kandungan maknanya sehingga, semakin digali, semakin banyak yang diraih,
walaupun yang dibaca adalah teks yang sma. Kitab Allah yang tertulis tidak
ubahnya dengan kitab-Nya yang terhampar, yaitu alam raya. Walaupun alam raya
sejak diciptakannya hingga kini tidak berubah, rahasia yang dikandungnya tidak
pernah habis terkuak. Rahasia-rahasia alam tidak henti-hentinya terungkap, dari
saat ke saat ditemukan hal-hal baru yang belum ditemukan saat ini. Jika demikian,
seseorang tidak boleh berhenti belajar, meneliti, dan membahas, baik objeknya
alam raya maupun kitab suci. Nah, yang ditemukan dalam bahasan dan penelitian
itu hendaknya diajarkan pula sehingga bertemu antara mengajar dan meneliti
dalam satu lingkaran yang tidak terputus kecuali dengan putusnya lingkaran,
yakni dengan kematian seseorang. Bukankan pesan agama “Belajarlah dari buaian
hingga liang lahat” dan bukankah al-Quran menegaskan kerugian orang-orang
yang tidak saling wasiat-mewasiati tentang kebenaran dan ketabahan, yakni ajar-
mengajar tentang ilmu dan petunjuk serta saling ingat-mengingatkan tentang
perlunya ketabahan dalam hidup ini?
4. Tafsir Fi zhilalil Quran (Sayyid Quthb)
Sang Nabi yakin dengan sepenuh hati bahwa dia adalah seorang hamba dan
hanya Allah saja sebagai Tuhan yang kepada-Nyalah semua hamba menunjukan
pengabdian dan ibadahnya. Karena itu, tidak mungkin dia mendakwakan bagi
dirinya sifat ketuhanan yang menuntut manusia beribadah kepadanya. seorang
nabi tidak akan berkata kepada manusia, “Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku, bukan penyembah Allah.” Akan tetapi, yang dikatakan nabi
kepada mereka adalah, “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,”dengan
menisbatkan diri kepada rabb ‘Tuhan, Allah’, sebagai hamba-hamba dan
pengabdi kepada-Nya. Menghadaplah kepada-Nya saja dalam beribadah dan
ambillah manhaj hidupmu dari-Nya saja, sehingga kamu menjadi orang yang
tulus kepada-Nya dan kamu menjadi “Rabbani”. Jadilah kamu orang-orang
rabbani, sesuai dengan pengetahuanmu terhadap Alkitab dank arena kamu
mempelajarinya. Ini sudah menjadi konsekuensi logis bagi orang-orang yang
mengerti dan mempelajari kitab Allah.
5. Tafsir Al-Qur’anul Majid an-Nuur (Teungku Muhammad Hasbi ash-
Shiddieqy)
Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab,
Hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah.”
Tidaklah patut bagi seseorang yang telah diberi Kitab dari Allah, dijelaskan
rahasia-rahasianya dan hikmat-hikmat agama, serta diberi kenabian (nubuwwah),
namun jutru menyeru manusia untuk menyembah dirinya bukan menyembah
allah. Dia sesungguhnya diminta menggerakkan (mendorong) manusia
mempelajari syariat-syariat agama.
Yang dimaksud dengan pernyataan ayat yang selain Allah adalah tidak
mengeskan Allah dalam ibadat, atau juga menuhankan yang lain. Ibaday yang
benar adalah yang dijalankan dengan tulus ikhlas hanya untuk Allah, tidak
dicemari oleh kepercayaan yang menempatkan sesuatu setara dengan Allah.
Orang yang menyeru manusai untuk juga menyembah (mengagungkan,
menyucikan) dirinya, selain menyembah Allah, dipandang sebagai perbuatan yang
mengajak orang lain untuk memperhambakan diri kepadanya, seolah dia itu setara
dengan Allah, walapun orang lain itu juga disuruh menyembah Allah.
Orang yang mengadakan perantaraan antara dia dengan Allah dalam
beribadat, seperti dalam berdoa, sama artinya dengan menyembah perantara itu,
bukan menyembah Allah. Adanya oerantara berlawanan dengan ikhlas kepada
Allah atau beribadat langsung jepada Allah. Dengan hilangnya keikhlasan, maka
hilang pula ibadat.
Dengan ayat ini jelaslah bahwa Allah memandang tawassul (beribadat atau
melakukan acara agama dengan perantaraan orang lain) sama dengan menjadikan
beberapa acara agama dengan perantaraan orang lain) sama dengan menjadikan
beberapa tuhan selain Allah.
Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani,
karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap
mempelajarinya”
Para rasul itu hanya menunjukkan kepada manusia tentang jalan yang benar
atau menyampaikannya apa yang menjadi tugasnya, yaitu mengajarkan al-Kitab
dan mempelajarinya. Dengan mengetahui isi al-kitab dan mengamalkannya, maka
menjadilah seseorang sebagai manusia yang rabbani (hidup menurut aturan
Tuhan).
Ilmu yang tidak mendorong manusia untuk beramal tidak dipandang sebagai
ilmu yang benar. Karena itu dalam ayat ini kembali ditegaskan tentang amalan itu.
6. Tafsir Al-Wasith (Prof. dr. Wahbah az-Zuhaili)
Hasan al-Bashri berkata, “Disampaikan kepadaku bahwa seseorang bertanya,
‘Wahai Rasulullah, kami mengucapkan salam kepadamu sebagaimana kami saling
mengucapkan salam satu sama lain, tidakkah kami bersujud kepadamu? ‘Beliau
bersabda, “Tidak semestinya bersujud kepada seseorang selain daripada Allah.
Akan tetapi, muliakanlah nabi kalian dan tunaikanlah hak kepada pemiliknya.”
Lalu Allah menurunkan ayat ini.”
Maka, tidak benar bagi seseorang yang telah mendapatkan karunia dari Allah
berupa diturunkannya Kitab, petunjuk kepada hikmah dan kebenaran dalam
memahami apa yang diturunkan Allah kepadanya, serta diberikannya kenabian
dan risalah kepadanya, kemudain ia meminta kepada manusia untuk
menyembahnya semata atau menyembahnya bersama Allah. Ini adalah kesyirikan
itu sendiri. akan tetapi hendaknya ia berkata, “Wahai manusia, jadilah kalian
rabbaniyyin, yakni orang-orang yang berpegang teguh dengan agama dan taat
kepada Allah dengan sebenar-benar ketaatan, disebabkan kalian mengajarkan
kitab selain kalian, juga kalian telah mengkaji kitab selain kalian, juga kalian telah
mengkaji dan mempelajarinya.” Tidak logis jika seorang nabi menyuruh
menjadikan malaikat atau nabi menjadi tuhan yang layak disembah selain Allah,
semua itu adalah kefasikan dan kemaksiatan, tidak selaras dengan Islam dan
ketertundukkan kepada Allah berdasarkan tabiat dan fitrah, yang mana manusia
diciptakan atas fitrah tersebut.
7. Tafsir kementrian agama RI
Secara etimologis, rabbaniyyin adalah jamak dari kata rabbani. Kta rabbani
adalah menisbatkan sesuatu kepada Rabb, yaitu Tuhan. Jika dikaitkan dengan
orang, kata ini berarti orang yang telah mencapai derajar makrifat kepada Allah
atau orang yang sangat menjiwai ajaran agamanya. Dalam ayat ini Allah
memerintahkan Ahli Kitab untuk menisbatkan diri mereka kepada allah, artinya
mengikhlaskan diri beribadah hanya kepada Allah, bukan kepada selain Allah
sesuai dengan ajaran Alkitab yang mereka pelajari.
Munasabah
Di dalam ayat yang lalu sudah diterangkan kebohongan orang-orang Yahudi
yan sengaja dilakukannya terhadap Allah yaitu menyatakan sesuatu dari Allah,
padahal bukan daripada-Nya. Kemudia di dalam ayat ini Allah menegaskan lagi
tuduhan orang Yahudi terhadap nabi-nabi. Bahwa nabi-nabi menghendaki agar
mereka disembah oleh manusia. Tuduhan ini dibantah dengan ayat ini.
Tafsir
Tidak mungkin terjadi dan tidak pantas bagi seorang manusia yang diberi
kitab oleh Allah dan diberi pelajaran tentang pengetahuan agama, serta diangkat
menjadi nabi, kemudian dia mengajak manusia untuk menyembah dirinya sendiri
bukan menyembah Allah. Orang yang diberi keutamaan-keutamaan seperti itu
tentunya akan mengajak manusia mempelajari sifat-sifat Allah serta mempelajari
hukum-hukum agama, dan memberikan contoh yang baik dalam hal menaati
Allah dan beribadan kepada-Nya, serta mengajarkan Kitab kepada sekalian
manusia.
Nabi sebagai seorang manusia yang telah diberi keutamaan yang telah
disebutkan, tentu tidak mungkin dan tidak pantas menyuruh orang lain
menyembah dirinya, sebab dia adalah makhluk Allah. Maka penciptanya yaitu
Allah yang harus disembah. Ditegaskan kepadanya adalah menyuruh manusia
agar bertakwa kepada Allah, mengajarkan Al-Kitab dan melaksanakannya, hal itu
telah ditegaskan oleh firman Allah
Qulillahu a’budu mukhlishollahudiin
Katakalanlah, “Hanya Allah yang aku sembah dengan penuh ketaatan kepada-
Nya dalam (menjalankan) agamaku,” (az-Zumar[39]: 14)
Barangsiapa menyuruh manusia menyembah dirinya, berarti ia mengakui
bahwa Allah mempunyai sekutu yaitu dirinya sendiri. Barangsiapa
mempersukutukan Allah dengan lain-Nya, berarti ia telah menghilangkan
kemurnian ibadah kepada Allah semata. dengan hilangnya kemurnian ibadah
berarti hilang pulalah arti ibadah.
‫وا ِمن دُونِ ِٓۦه أَ ۡولِيَٓا َء َما ن َۡعبُ ُدهُمۡ إِاَّل لِيُقَرِّ بُونَ ٓا إِلَى ٱهَّلل ِ ُز ۡلفَ ٰ ٓى إِ َّن ٱهَّلل َ يَ ۡح ُك ُم بَ ۡينَهُمۡ فِي‬
ْ ‫صُ َوٱلَّ ِذينَ ٱتَّ َخ ُذ‬ۚ ِ‫أَاَل هَّلِل ِ ٱلدِّينُ ۡٱل َخال‬

٣ ‫ار‬ ٞ َّ‫ب َكف‬ٞ ‫ونَ إِ َّن ٱهَّلل َ اَل يَ ۡه ِدي َم ۡن هُ َو ٰ َك ِذ‬


ۗ ُ‫َما هُمۡ فِي ِه يَ ۡختَلِف‬

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan
orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah
dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara
mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak
menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar (Q.S. Az-Zumar [39]:
3)
Begitu juga firman Allah yang menceritakan seruan Nabi Hud kepada kaumnya:
٢٦ ‫اب يَ ۡو ٍم أَلِ ٖيم‬
َ ‫أَن اَّل ت َۡعبُد ُٓو ْا ِإاَّل ٱهَّلل ۖ َ إِنِّ ٓي أَخَافُ َعلَ ۡي ُكمۡ َع َذ‬
Agar kamu tidak menyembah selain Allah. Sesungguhnya aku takut kamu akan
ditimpa azab (pada) hari yang sangat menyedihkan (Q.S. Hud [11]: 26)

8. ANALISIS ISI KANDUNGAN AYAT


Berdasarkan ayat al-Quran di atas (Ali Imraan:79), terdapat manusia yang
diberi anugerah besar oleh Allah SWT berupa kitab, hikmah dan kenabian.
Mereka adalah para nabi dan rasul. Para nabi dan rasul menyeru kepada umatnya
untuk tidak menghamba kepada mereka. Tetapi pengikutnya itu harus menjadi
seorang yang “rabbani” yang salah satu maknanya ialah orang yang sempurna
ilmu dan takwanya. Diantara pengikut para nabi dan rasul terdapat sekelompok
oranng yang mengajarkan isi kitab (ajaran agama) berupa berbagai macam
pengetahuan yang telah mereka pelajari (dirasah). Mereka itulah yang sekarang
dikenal sebagai guru. Berdasarkan penalaran dan pemahaman terhadap ayat al-
Quran tersebut, maka guru harus memiliki jiwa “rabbani”. Salah satu makna
rabbani ialah memiliki sifat-sifat ketuhanan, dalam arti meneladani sifat-sifat
Tuhan dalam kehidupan terutama pada saat menjalankan tugas edukatifnya sejauh
batas-batas dan kapasitas kemanusiaannya.
Ibnu katsir menafsirkan kata rabbani dengan hukama, ulama, hulama yang
masing-masing merupakan jamak dari kata hakim, alim halim. Hakim artiinya
orang yang memiliki hikmah (wisdom); bijaksana. Dalam tataran manusiawi,
kandungan makana yang terdapat dalam kata ini harus diteladani manusia,
terutama mereka yang berkedudukan sebagai guru. Dengan sifat ini seorang guru
harus memiliki sifat bijak, artinya senantiasa mempertimbangkan segala perkataan
dan perbuatannya, terutama dampak yang akan ditimbulkannya. Dengan kata lain
ia harus senantiasa bijaksana dalam setiap tindakannya. Tidak mudah menjadi
orang bijak itu. Hal ini karena kemampuan berbuat bijak ialah yang mampu
mengintegrasikan kekuatan iman dan ilmu disertai akhlak yang luhur dengan
menjadikan al-Quran dan Sunnah sebagai landasan perilakunya. Merekalah yang
diberi anugerah besar berupa hikmah yang Allah berikan kepada orang yang
dikehendaki-Nya. Makanya tidak semua orang bisa menjadi guru dengan hakim
(hikmah) sebagai salah satu sifat utamanya. Hal ini didasarkan pada firman Allah
Q.S. Al-Baqarah[2]: 269:
٢٦٩ ‫ب‬ِ َ‫وا ٱأۡل َ ۡل ٰب‬
ْ ُ‫ير ۗا َو َما يَ َّذ َّك ُر إِٓاَّل أُوْ ل‬ ۡ ‫ي ُۡؤتِي ۡٱل ِح ۡك َمةَ َمن يَ َشٓا ۚ ُء َو َمن ي ُۡؤتَ ۡٱل ِح ۡك َمةَ فَقَ ۡد أُوتِ َي‬
ٗ ِ‫خَي ٗرا َكث‬
Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran
dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang
dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan
hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari
firman Allah)
Hikmah yang diberikan allah kepada seseorang akan senantiasa
menjadikannya memiliki banyak kelebihan disbanding dengan yang lainnya.
Kelebihan itu dalam kehidupan di dunia bisa berbentuk keluasan ilmu, keluhuran
akhlak, kelapangan sikao, kecukupan harta, dan sebagainya. Al-Quran
menyebutnya khairan katsira dan diakhirat berbentuk kebahagiaan yang kekal
abadi. Dengan hikmah juga seorang meraih Ulul Albab; satu predikat yang hanya
dapat diraih dengan senantiasa berdzikir kepada Allah SWT serta merasa dekat
dan takut kepada-Nya.
Penafsiran kedua dari Ibnu Katsir terhadap kata Rabbani ialah al-Ulama. Kata
ini merupakan bentuk jama dari kata al-‘Aalim atau al-‘Aliim artinya orang yang
berilmu. Ulama adalah orang-orang yang berilmu yang dengan ilmunya ia
beramal dan benar-benar memiliki rasa takut kepada Allah Q.S. Fathir [35]: 28:
ۗ ٓ ۡ
َ ۗ ِ‫ف أَ ۡل ٰ َونُ ۥهُ َك ٰ َذل‬
ِ ‫ك إِنَّ َما يَ ۡخ َشى ٱهَّلل َ ِم ۡن ِعبَا ِد ِه ٱل ُعلَ ٰ َمؤ ُْا إِ َّن ٱهَّلل َ ع‬
٢٨ ‫َزي ٌز َغفُو ٌر‬ ٌ ِ‫اس َوٱل َّد َوٓابِّ َوٱأۡل َ ۡن ٰ َع ِم ُم ۡختَل‬
ِ َّ‫َو ِمنَ ٱلن‬
Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-
binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah
ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun
Seorang guru harus merupakan sosok seorang ulama yang luas ilmunya dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengamalan ilmu tersebut
didasarkan pada ketaatan dan rasa takut kepada Allah.
٣ َ‫وا َما اَل ت َۡف َعلُون‬ ْ ُ‫ٰيَٓأَيُّهَا ٱلَّ ِذينَ َءا َمن‬
ْ ُ‫ َكبُ َر َم ۡقتًا ِعن َد ٱهَّلل ِ أَن تَقُول‬٢ َ‫وا لِ َم تَقُولُونَ َما اَل ت َۡف َعلُون‬
Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang
tidak kamu kerjakan; Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu
mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan. (Q.S. Ash-Shaff: 2-3)
Kecurangan dan manipulasi dalam berbagai bentuknya akan senantiasa
dihindarinya. Seorang guru yang berkarakter ulama akan menjalankan tugasnya
dengan penuh perhatian, cinta kasih, takut kepaa Allah seperti yang dicontohkan
oleh Rasulullah SAW ketika mendidik keluarga dan sahabatnya, karena ulama
merupakan pewaris para nabi (al-Ulama waratsat al-Anbiya). Kekuatan akidah
dan kemuliaan akhlak merupakan ciri utamanya.
Dalam pandangan Quraish Shibab, terdapat empat tugas utama yang harus
dijalankan oleh ulama sesuai dengan tugas kenabian dalam mengembankan kitab
suci. Pertama, menyampaikann (tabligh) ajaran-ajarannya, sesuai dengan
perintah, “wahai Rasul sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu” (Q.S. al-Maidah [5]: 67). Kedua, menjelaskan ajaran-ajarannya
berdasarkat ayat, “dan Allah turunkan bersama mereka Al-Kitab dengan benar,
agar dapat memutuskan perkara yang diperselisihkan manusia” (Q.S. al-
Baqarah[2]: 213). Keempat, memberikan contoh pengamalan, sesuai dengan
hadits Aisyah yang diriwayatkan Bukhari yang menyatakan bahwa perilaku nabi
adalah praktik dari Al-Quran.
Penguasaan seorang guru terhadap ilmu pengetahuan terutama yang menjadi
bidang keahliannya merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan proses
pendidikan dan pembelajaran. Cara yang dapat ditempuh untuk meningkatkan
kemampuan dan penguasaan materi kelimuan diantaranya lebih banyak membaca
sumber, diskusi dengan pakar atau teman sejawat, mengakses dari berbagai media
seprti internet, melakukan studi lanjut, dan sebagainya. Keberhasilan seorang guru
dalam menguasai sejumlah ilmu pengetahuan –walaupun tetap dalam pandangan
al-Quran ilmunya sedikit (Q.S. al-Isra [17]: 85)- dan menjadikan dirinya sebagai
seorang guru yang professional, harus dapat menjadikan dia berkepribadian ulama
dengan memiliki sikap tawadhu (rendah hati), tasamuh (toleran), ta’awun (tolong
menolong), dan sebagainya. Cahaya keulamaan dan keluhuran akhlaknya akan
menjadikan hati anak didiknya tersinari. Mereka akan mendapatkan banyak ilmu
yang barokah dan bermanfaat dari sosok guru yang berkepribadian ulama.
Penafsiran ketiga dari Ibnu Katsir terhadap kata Rabbani adalah al-Hulamaa,
yang merupakan bentuk jamak dari kata al-haliim. Dengan sifat ini guru seorang
guru akan memiliki sifat santun dan tidak sudah melakukan tindakan keras
(menyiksa) walaupun memiliki kesempatan dan kemampuan untuk
melaksanakannya. Seorang guru yang memiliki sifat halim/hilm akan menghadapi
perilaku anak didiknya terutama yang negative dengan sifat bijaksana dan penuh
kasih sayang. Halim/hilm juga merupakan puncak tertinggi dari kesadaran dan
kesantunan seseorang dalam meperlakukan orang lain dengan penuh kasih sayang.
Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW salah satu factor penunjangnya
adalah sifat Halim/hilm yang dimilikinya tersebut merupakan cermin kelembutan
hatinya (layyin al-qalb), kesantunan dan kelembutan hati Nabi SAW tersebut
dijelaskan dalam firman Allah Q.S. ali Imran [3]: 159:
ِ ‫ٱست َۡغفِ ۡر لَهُمۡ َو َش‬
ۡ‫او ۡرهُم‬ ۡ ‫ٱعفُ ع َۡنهُمۡ َو‬ َ ۖ ِ‫وا ِم ۡن َح ۡول‬
ۡ َ‫ك ف‬ ْ ُّ‫ب ٱَلنفَض‬ ِ ‫فَبِ َما َر ۡح َم ٖة ِّمنَ ٱهَّلل ِ لِنتَ لَهُمۡۖ َولَ ۡو ُكنتَ فَظًّا َغلِيظَ ۡٱلقَ ۡل‬
١٥٩ َ‫فِي ٱأۡل َمۡ ۖ ِر فَإ ِ َذا َعزَمۡ تَ فَتَ َو َّك ۡل َعلَى ٱهَّلل ۚ ِ إِ َّن ٱهَّلل َ يُ ِحبُّ ۡٱل ُمتَ َو ِّكلِين‬
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka
menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-
Nya.
9. PENUTUP
Berdasarkan ayat Quran Surat Ali-Imran [3]: 79, jika kaitkan dengan
pendidikan maka dapat ditafsirkan bahwa seorang pendidik harulah memiliki jiwa
yang rabbani yakni jiwa yang meneladani asma-asma Allah serta sempurna ilmu
dan takwanya. Ada tiga tafsiran menurut Ibnu Katsir dalam memahami kata
rabbani dengan kaitannya dengan seorang pendidik. Yakni: Pertama, seorang
pendidik harus memiliki sifak hukamaa (bijak); Kedua, pendidik haru memiliki
sifat ulamaa yakni berilmu yang dengan ilmunya ia beramal dan benar-benar
takwa kepada Allah; dan Ketiga, Pendidik harus memiliki sifat al-Hulamaa
(santun) yakni memperlakukan muridnya dengan penuh kasih sayang.
Sekian ulasan saya dalam paper ini mengenai kajian tafsir tentang pendidik
berdasarkan Q.S. Ali-Imran ayat 79. Saya mohon maaf apabila terdapat kata-kata
yang kurang berkenan di dalam paper ini. Kebenaran hanya milik Allah SWT.
dan kesalahan adalah milik saya. Terimakasih atas waktu yang pembaca luangkan,
semoga ada manfaat yang dapat dipetik dalam paper ini.

DAFTAR PUSTAKA

A. Mudjab Mahali. 2002. Asbabun nuzul: studi pendalaman al-Quran. Jakarta: PT


RajaGrafindo Persada
Ahmad Mustafa al-Maragi. 1974. Tafsir Al-Maraghi. Diterjemahkan oleh: Bahrun
Abubakar dkk. Semarang: CV. Toha Putra Semarang
Cecep Anwar. 2016. Tafsir ayat-ayat pendidikan. Bandung
Kementrian Agama RI. 2011. Al-Quran dan tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya
M. Quraish Shihab. 2002. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera hati
Muhammad Nasib ar-Rifa’i. 2011. Kemudahan dari Allah: ringkasan tafsir ibnu
katsir jilid 1. Diterjemahkan oleh: Budi Permadi. Jakarta: Gema Insani
Syahid Sayyid Quthb. 2001. Tafsir fi Zhilali-Quran dibawah naungan al-Quran
jilid 2. Diterjemahkan oleh: As’ad Yasin dkk. Jakarta: gema Insani Press
Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy. 2000. Tafsir al-Quranul Majid an-
Nuur. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Wahbah Az-Zuhaili. 2012. Tafsir al-Wasith jilid 1 (Al-Faatihhah-At-Taubat).
Diterjemahkan oleh: Muhtadi. Jakarta: Gema Insani

Anda mungkin juga menyukai