Anda di halaman 1dari 35

CASE REPORT

TUMOR CAVUM NASI DEXTRA

Disusun oleh:

Elzabad Netanya Gultom

1965050063

Pembimbing:

dr. Lina Marlina, Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT THT-KL

PERIODE 05 APRIL – 24 APRIL 2021

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Tumor sinonasal adalah penyakit di mana terjadinya pertumbuhan sel abnormal
pada sinus paranasal dan rongga hidung. Lokasi hidung dan sinus paranasal (sinonasal)
merupakan rongga yang dibatasi oleh tulang-tulang wajah yang merupakan daerah yang
terlindung sehingga tumor yang timbul di daerah ini sulit diketahui secara dini. Tumor
hidung dan sinus paranasal pada umumnya jarang ditemukan, baik yang jinak maupun
yang ganas. Di Indonesia dan di luar negeri, angka kejadian jenis yang ganas hanya
sekitar 1% dari keganasan seluruh tubuh atau 3% dari seluruh keganasan di kepala dan
leher. Asal tumor primer juga sulit untuk ditentukan, apakah dari hidung atau sinus
karena biasanya pasien berobat dalam keadaan penyakit telah mencapai tahap lanjut dan
tumor sudah memenuhi rongga hidung dan seluruh sinus.1,2
Lokasi rongga hidung dan sinus paranasal membuat tumor sangat dekat dengan
struktur vital. Masalah ini diperburuk oleh fakta bahwa manifestasi awal yang terjadi
(misalnya epistaksis unilateral, obstruksi nasi) mirip dengan kondisi awal yang umum
dikeluhkan tanpa adanya keluhan spesifik lainnya. Oleh karena itu, pasien dan dokter
sering mengabaikan atau meminimalkan presentasi awal dari tumor dan mengobati
tahap awal keganasan sebagai gangguan sinonasal jinak. Pengobatan keganasan
sinonasal paling baik dilakukan oleh tim dokter ahli dengan berbagai disiplin ilmu. 3
BAB II
LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1. Identitas Pasien
a. Nama : Nn. TK
b. Umur : 23 tahun
c. Alamat : Cawang
d. Pekerjaan : Karyawan
e. Pendidikan terakhir : S1
f. Suku : Jawa
g. Agama : Islam
h. Status : Belum menikah

2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama : Terdapat benjolan di dalam hidung sebelah kanan sejak ± 5 bulan
SMRS
b. Keluhan Tambahan : Hidung tersumbat, penciuman berkurang

3. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke poli THT RSU UKI dengan keluhan terdapat benjolan di hidung sebelah
kanan sejak ± 5 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS). Benjolan tersebut nyeri jika
ditekan. Pasien juga mengeluh hidung tersumbat di sebelah kanan sehingga penciuman
pasien berkurang. Dalam 4 bulan terakhir, pasien memiliki riwayat mimisan hilang timbul,
sedikit-sedikit dan setiap mimisan pasien menyumbat hidungnya dengan tissue dan akan
berhenti dalam 10-15 menit kemudian. Hidung pasien biasanya berdarah saat pasien
menggaruk atau menggosok hidungnya. Mimisan hanya keluar dari hidung dan tidak keluar
melalui tenggorokan dan pasien menyangkal adanya muntah darah. Sebelumnya pasien tidak
pernah merasakan benjolan tersebut. Tidak ada riwayat trauma sebelumnya, sakit kepala, rasa
nyeri pada pipi dan dahi. Riwayat bersin-bersin bila terkena debu tidak ada, sakit gigi, telinga
terasa penuh, pandangan ganda maupun bengkak di leher juga tidak ada. Riwayat penurunan
berat badan juga disangkal. Riwayat penyakit keluarga tidak ada sakit seperti pasien.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan seperti ini.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien
6. Riwayat Kebiasaan Pribadi
Pasien suka menggaruk dan menggosok hidung.
7. Pemeriksaan Fisik
STATUS GENERALIS
a. Keadaan umum : Tampak sakit ringan
b. Kesadaran : Kompos mentis
c. Tekanan darah : 110/80 mmHg
d. Frekuensi nadi : 90 kali/menit
e. Frekuensi napas : 20 kali/menit
f. Suhu : 36,4oC
g. Kepala : Normocephali
h. Mata : CA -/-, SI -/-
i. Leher : KGB tidak teraba teraba membesar
j. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
k. Thoraks :
 Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris kiri dan kanan
Palpasi : Vokal fremitus simetris kiri dan kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Bising nafas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
 Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus teraba 1 jari di linea mid-clavicularis sinistra ICS V
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Bunyi jantung dalam batas normal, tidak terdapat bunyi murmur
maupun gallop
l. Abdomen
Inspeksi : Perut tampak mendatar
Auskultasi : BU (+) 4x/menit
Palpasi : Hati dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
m. Ekstremitas
Reflex fisiologis : +/+
Reflex patologis : -/-
Oedem tungkai : -/-
Akral hangat : +/+
Sianosis : -/-
n. Integumen : kulit kuning langsat, urtikaria (-)

8. STATUS LOKALIS THT


Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Bentuk Normotia Normotia
Trauma Tidak ada Tidak ada
Infeksi Tidak ada Tidak ada
Daun telinga Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
(auricula) tragus
Tumor Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Auricula Tidak ada Tidak ada
Pre auricula assesoris
Abses Tidak ada Tidak ada
Sikatriks Tidak ada Tidak ada
Pembengkakan Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada

Retro auricula Sikatriks Tidak ada Tidak ada


Pembesaran Tidak ada Tidak ada
kelenjar pembesaran pembesaran
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Infra auricula Pembesaran Tidak ada Tidak ada
kelenjar parotis pembesaran pembesaran
Liang Telinga Lapang Lapang
Epidermis Merah muda Merah muda
Liang telinga
Sekret Tidak ada Tidak ada
Serumen Ada, sedikit Ada, sedikit
Kelainan Lain Tidak ada Tidak ada
Intak Intak Intak
Warna Putih seperti Putih seperti
Membran
mutiara mutiara
Timpani
Refleks Cahaya Positif Positif
Posisi Normal Normal
Kelainan Lain Tidak Ada Tidak Ada
Tes Pendengaran
Tes garpu tala Rinne (+) (+)
Schwabach Sama dengan Sama dengan
pemeriksa pemeriksa
Weber Tidak ada Tidak ada
lateralisasi lateralisasi

Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Bentuk luar Normal, Simetris
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Hidung luar Krepitasi Tidak ada Tidak ada

Hidung Dalam
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Vestibulum Nasi Furunkel Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Cavum Sempit Lapang
Cavum nasi Mukosa Hiperemis Merah muda
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Konka inferior Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Konka media(+) Ukuran Sulit dinilai Eutrofi
Warna Sulit dinilai Merah muda
Permukaan Sulit dinilai Licin
Meatus media & Sekret Tidak ada Tidak ada
inferior
Septum Deviasi Massa (+), bulat, Tidak ada deviasi
kemerahan, licin,
rapuh, kenyal

Sinus Paranasal
Pemerikssan Kelainan Dextra Sinistra
Sinus Maksilaris Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Sinus Frontalis Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada

Tenggorokan
Pemeriksaan Kelainan Hasil Pemeriksaan
Tonsil Ukuran T1-T1
Kripta Tidak melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Permukaan
Licin

Faring Massa Tidak ada


Warna Merah muda
Perlekatan Tidak ada
Gigi Lengkap, tidak ada gigi yang
berlubang
Gusi Tidak ada bengkak dan perdarahan
Lidah Dalam batas normal
Kelenjar liur Dalam batas normal
Kelainan Lain Tidak ada
Kelenjar limfoid Tidak teraba membesar
Leher
Kelainan lain Tidak ada

9. Diagnosis kerja : Tumor cavum nasi dextra


10. Diagnosa Banding : Angiofibroma Septum Nasi, Angiofibroma Nasofaring Juvenile
11. Tatalaksana:
 Non-medikamentosa:
Konservatif:
• Saran pemeriksaan: Biopsi, CT-scan, MRI
• Jika terjadi perdarahan kembali, tundukan kepala dan berikan penekanan pada daerah
yang berdarah dengan kassa, tissue atau ditampon, tahan selama 5-10 menit.
 Medikamentosa :
Oxymethazolin nasal spray 0,05% 2 x 2 gtt / hari
As. Traneksamat 30 mg tab 3x1 / hari jika terjadi mimisan kembali
 Konsul ke Sp. THT-KL
12. Prognosis
 Quo ad vitam : Ad bonam
 Quo ad Functionam : Ad bonam
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Hidung
2.1.1. Hidung Eksterna
Bagian hidung eksterna mempunyai peran yang sangat penting dalam fungsi
kosmetik serta karakteristik personal seseorang. Struktur piramid ini dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat, serta otot.
Bagian sepertiga atas hidung eksterna terdiri dari tulang dan membentuk pangkal hidung
(bridge), sedangkan bagian dua per tiganya terdiri dari tulang rawan dan membentuk
batang hidung (dorsum nasi). Selain itu, bagian lainnya dari hidung eksterna ada ala nasi,
kolumela, dan lubang hidung (nares anterior).
Otot-otot wajah yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang
hidung ada 4 yaitu procerus, nasalis, levator labii superioris alaeque nasi, dan depressor
septi. Kerangka tulang terdiri dari tulang hidung (os nasal), prosesus frontalis os maksila,
dan prosesus nasalis os frontal. Kerangka tulang rawan terdiri dari beberapa pasang
tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung yaitu sepasang kartilago nasalis
lateralis superior, sepasang kartilago nasalis lateralis inferior (yang disebut juga sebagai
kartilago alar mayor), dan tepi anterior kartilago septum. Kulit yang melapisi tulang
hidung serta kartilago atas lateral bersifat tipis dan sangat mobile. Namun kulit yang
melapisi kartilago alar bersifat tebal dan mengandung banyak kelenjar sebasea.4,5
Gambar 1. Anatomi Hidung Eksterna

2.1.2. Hidung Interna


Septum
nasi membagi
bagian internal hidung menjadi dua, yaitu kavum nasi kanan dan kiri. Kavum nasi
berhubungan dengan dunia luar melalui pintu lubang masuk hidung yang disebut nares
anterior, sedangkan lubang belakang disebut nares posterior (khoana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring. Bagian anterior kavum nasi adalah
vestibulum nasi yang berbatas pada ala nasi pada bagian posterior. Vestibulum dilapisi
oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut panjang disebut vibrise.6
Setiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu lateral, medial, inferior (floor),
dan superior (roof). Bagian dinding lateral kavum nasi terdiri dari 4 buah konkha. Konka
inferior merupakan konkha terbesar dan terletak paling bawah, kemudian yang lebih kecil
adalah konkha media dan yang paling kecil adalah konkha superior. Konkha superior
terletak di bagian posterosuperior dari konkha media sehingga biasanya tidak terlihat saat
pemeriksaan rinoskopi. Pada beberapa orang dapat terlihat konkha suprema, namun
biasanya konkha ini akan rudimenter. Di antara konkha-konkha dan dinding lateral hidung
terdapat rongga sempit disebut meatus. Berdasarkan letak ada 3 meatus yaitu meatus
inferior, medius, dan superior. Pada meatus inferior terdapat muara duktus nasolakrimalis.
Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid
anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding medial kavum nasi dibatasi oleh septum nasi yang dibentuk oleh tulang
dan tulang rawan. Dinding superior atau atap hidung terdiri dari 3 bagian yaitu os nasal,
lamina kribiformis yang merupakan lempeng tulang dari os etmoid (tulang ini berlubang-
lubang sebagai tempat masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius), dan os sfenoid.
Dinding inferior atau dasar rongga hidung dibentuk oleh os palatum dari kavum mulut dan
os maksila.4,5

Gambar 2. Anatomi Kavum Nasi


2.1.3. Vaskularisasi
Vaskularisasi hidung didapat dari cabang-cabang arteri karotis eksterna dan
interna. Perdarahan pada bagian posterior inferior hidung diberikan oleh cabang A.
Maksilaris interna (cabang dari A. Carotis eksterna) yaitu A. Sfenopalatina dan A.
Palatina mayor. Perdarahan dinding nasal lateral berasal dari A. Sfenopalatina. Arteri ini
akan diteruskan sebagai arteri nasal posterior yang akan memperdarahi bagian posterior
koana di anterior sinus sfenoid hingga septum bagian posterior. Cabang vertikal dari
arteri ini akan berdarah jika permukaan anterior dari sinus sfenoid terbuka. Daerah
vaskular lain yang potensial pada dinding nasal lateral adalah daerah di bawah posterior
dari konkha inferior, dimana terdapat anastomosis A. Sfenopalatina dan A. Faringeal
posterior yang disebut Woodruff’s Area.
Bagian anterior hidung mendapat perdarahan dari cabang arteri fasialis, yaitu A.
Labialis superior. Arteri ini juga masuk ke dalam rongga hidung untuk memperdarahi
septum serta alae hidung. Bagian superior atau atap rongga hidung diperdarahi oleh
cabang A. Oftalmika dari A. Karotis interna yaitu A. Etmoid anterior dan posterior. Pada
bagian depan septum terdapat area vaskular yang disebut Little’s area atau Plexus
Kiesselbach, dimana cabang-cabang A. Sfenopalatina, A. Etmoid anterior, A. Labialis
superior, dan A. Palatina mayor membentuk anastomosis.2 Sebagian besar perdarahan
spontan yang terjadi pada daerah posterior hidung berasal dari arteri maksilaris yang
berasal di dalam fossa pterygopalatina.
Vena hidung memiliki nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arteri.
Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke V. Ophtalmika yang
berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena di hidung tidak memiliki katup sehingga
dapat menjadi faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke
intrakranial.3 Pleksus vena submukosa ini diatur oleh sistem saraf otonom. Stimulus
simpatis akan menyebabkan vasokonstriksi, sedangkan stimulus parasimpatis akan
menyebabkan vasodilatasi dan keluarnya cairan hidung (rinore).4
A)
B) Perdarahan
PerdarahanSeptum
DindingNasi
Lateral Kavum Nasi
Gambar 3. Vaskularisasi Hidung

2.1.4. Persarafan Hidung


Bagian hidung eksterna mendapat persarafan sensoris dari nervus oftalmikus (N.
Etmoidalis anterior) dan maksilaris dari nervus trigeminal (cabang nervus infraorbital dan
sfenopalatina). N. Etmoidalis anterior memberi persarafan sensoris untuk bagian anterior
dan superior kavum nasi, sedangkan 2/3 posterior kavum nasi dipersarafi oleh cabang-
cabang ganglion sfenopalatina yang melewati foramen sfenopalatina, terletak di dekat
ujung posterior konkha media. Cabang-cabang dari nervus infraorbital mempersarafi
vestibulum nasi.
Fungsi penghidu berasal dari nervus olfaktorius yang terdiri dari 12-20 nervus
membentuk traktus olfaktorius. Saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan
bawah bulbus olfaktorius dan berakhir di sel-sel reseptor penghidu pada mukosa
olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. Sistem saraf otonom (parasimpatis maupun
simpatis) mempersarafi kelenjar hidung dan secretemotor melalui nervus vidian yang
berfungsi untuk vasokonstriksi dan vasodilatasi pembuluh darah hidung.4,5

Gambar 4. Persarafan Hidung

2.2. Fisiologi Hidung


Hidung memiliki beberapa fungsi penting, yaitu:4-6
1) Fungsi respirasi
Manusia adalah penghirup nafas hidung natural. Bayi yang lahir akan
langsung dapat bernafas melalui hidung, tapi tidak melalui mulut. Aliran udara
inspirasi masuk melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konkha media dan
turun ke bawah ke arah nasofaring. Di dalam hidung terjadi siklus nasal yang ritmik
(diatur oleh sistem saraf otonom) dimana mukosa hidung mengalami kongesti dan
dekongesti secara siklik untuk mengatur aliran udara di kavum nasi. Selain itu aliran
udara juga diregulasi oleh konkha sehingga udara yang masuk dapat lancar sampai ke
saluran pernapasan bawah.
Hidung juga berperan sebagai air-conditioner untuk menyaring, melembapkan
serta humidifikasi sehingga udara yang akan masuk ke paru-paru memiliki suhu yang
sesuai dan bersih. Udara yang masuk akan disaring mlewati rambut (vibrissae), silia,
dan palut lender. Partikel-partikel yang berukuran 0.5 – 0.3 µm dapat ditangkap oleh
mukus hidung. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 0C.
Struktur hidung dengan luas permukaan mukosa yang besar berfungsi untuk mengatur
suhu udara inspirasi dengan meregulasi ukuran konkha. Mekanisme “radiator” ini
dapat menghangatkan udara yang dingin menjadi 370C dan sedangkan pada udara
panas terjadi sebaliknya.
Kelenjar serosa di membran mukosa hidung mengatur humidifikasi udara.
Sekitar 1 liter air dievaporasi oleh mukosa hidung selama 24 jam. Saat ekspirasi,
hidung melepaskan air (untuk menjaga hidrasi) dan panas (untuk mencegah
hipotermia) dari udara yang diekspirasi.

2) Fungsi proteksi saluran nafas


Dalam sekresi hidung terdapat enzim-enzim dan immunoglobulin untuk
memberi perlindungan. Muramidase (lisozim) dapat membunuh bakteri dan juga
virus. Immunoglobulin (IgA dan IgE) dan interferon memberi imunitas terhadap
infeksi saluran napas atas. Proteksi juga dilakukan dengan tindakan refleks bersin.
Partikel asing yang mengiritasi mukosa hidung akan dikeluarkan dengan refleks ini.
Selain itu, mukosa hidung juga kaya akan kelenjar serosa dan mucus (600-700
ml dalam 24 jam) yang membentuk lapisan mucus di seluruh mukosa hidung. Mukus
ini dapat menangkap bakteri, virus, partikel debu dari udara inspirasi dan dengan
silia-silia hidung akan membawa mereka ke faring lalu ditelan masuk ke saluran
digestivus.

3) Fungsi penghidu
Hidung berfungi sebagai indera penghidu (penciuman) dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konkha superior, dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau akan mencapai sel-sel reseptor olfaktorius silia di
daerah ini dengan cara difusi bersama mukus yang melapisi silia-silia tersebut.
Kemudian, odoran yang sudah larut ini akan berikatan dengan protein reseptor pada
membran reseptor silia sel olfaktorius. Pengikatan ini menyebabkan aktivasi dari
protein G, kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase dan mengaktifkan cAMP.
Pengaktifan cAMP ini akan membuka kanal Na + sehingga terjadi influx natrium dan
menyebabkan depolarisasi. Depolarisasi ini kemudian menyebabkan potensial aksi
dari saraf olfaktorius, ditransmisikan melewati bulbus olfaktorius sampai ke korteks
serebri. Fungsi hidung juga membantu indera pengecap untuk membedakan rasa
manis dan asam dari berbagai macam bahan.

4) Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Pada pembentukan konsonan nasal (M,
N, NG), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran
udara. Jika hidung atau nasofaring mengalami sumbatan maka konsonan tersebut
akan diucapkan berbeda (B, D, G).

5) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan nafas berhenti atau bradikardia. Selain itu, ransang bau tertentu
akan menyebabkan refleks sekresi air liur dan asam lambung serta pankreas.
2.3. Tumor Cavum Nasi
2.3.1. Definisi
Tumor cavum nasi adalah tumor yang terdapat pada rongga hidung. Cavum nasi
atau rongga hidung dimulai dari vestibulum nasi, melewati rongga sepanjang atap mulut
(palatum durum dan palatum mole) dan kemudian berakhir di nasofaring.

2.3.2. Etiologi dan Faktor Resiko


Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh banyak faktor
(multifaktor) dan bersifat individual atau tidak sama pada setiap orang. Faktor-faktor
yang dapat meningkatkan resiko terjadinya tumor sinonasal antara lain:
1. Penggunaan tembakau
Penggunaan tembakau (termasuk di dalamnya adalah rokok, cerutu, rokok pipa,
mengunyah tembakau, menghirup tembakau) adalah faktor resiko terbesar penyebab
kanker pada kepala dan leher.7
2. Alkohol
Peminum alkohol berat dengan frekuensi rutin merupakan faktor resiko kanker kepala
dan leher.7
3. Inhalan spesifik
Menghirup substansi tertentu, terutama pada lingkungan kerja, mungkin dapat
meningkatkan resiko terjadinya kanker kavum nasi dan sinus paranasal, termasuk
diantaranya adalah :
a. Debu yang berasal dari industri kayu, tekstil, pengolahan kulit/kulit sintetis, dan
tepung.
b. Debu logam berat : kromium, asbes
c. Uap isoprofil alkohol, pembuatan lem, formaldehyde, radium
d. Uap pelarut yang digunakan dalam memproduksi furniture dan sepatu.1,7,8,9,10
4. Sinar ionisasi : Sinar radiasi; Sinar UV10
5. Virus : Virus HPV, Virus Epstein-barr7,10
6. Usia
Penyakit keganasan ini lebih sering didapatkan pada usia antara 45 tahun hingga 85
tahun.7
7. Jenis Kelamin
Keganasan pada kavum nasi dan sinus paranasalis ditemukan dua kali lebih sering
pada pria dibandingkan pada wanita.7
Efek paparan ini mulai timbul setelah 40 tahun atau lebih sejak pertama kali
terpapar dan menetap setelahnya. Paparan terhadap thorotrast, agen kontras radioaktif
juga menjadi faktor resiko tambahan. 1,4,9

2.3.3. Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya
tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri,
sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen
yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang
memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-
onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh
karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel
yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan
gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga
tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh
karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.10,11
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel
kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke
jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif
yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker
menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh
dalam kurun waktu 1-5 tahun.10,11
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal
sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak
dini dan di berikan terapi.11

1.2 Klasifikasi Tumor


1. Tumor Jinak
a. Papiloma Skuamosa
Tumor jinak tersering adalah papiloma skuamosa. Secara makroskopis
mirip dengan polip, tetapi lebih vaskuler, padat dan tidak mengkilap. Etiologinya
mungkin disebabkan oleh virus, namun perubahan epitel pada papiloma skuamosa
dapat bervariasi dalam berbagai derajat diskeratosis. Lesi seringkali diamati pada
sambungan mukoutaneus hidung anterior, terutama pada batas kaudal anterior dan
septum. Untuk kepentingan diagnosis ataupun pengobatan, eksisi lesi dilakukan
dengan anestesi lokal dan di periksakan untuk biopsi.1,9
b. Papiloma Inversi
Papiloma inversi ini membalik ke dalam epitel permukaan. Jarang
ditemukan pada hidung dan sinus paranasalis, seringkali berasal dari dinding
lateral hidung dan secara makroskopis terlihat hanya seperti gambaran polip.
Tumor ini bersifat sangat invasif, dapat merusak jaringan sekitarnya. Tumor ini
sangat cenderung untuk residif dan dapat berubah menjadi ganas (pada 10%
kasus). Lebih sering dijumpai pada laki-laki usia tua. Terapi pada tumor ini adalah
bedah radikal misalnya rinotomi lateral atau maksilektomi media.1,7,9
c. Displasia Fibrosa
Displasa fibrosa sering mengacu pada tumor fibro-oseus tak berkapsul
yang melibatkan tulang-tulang wajah dan sering mengenai sinus paranasalis.
Etiologinya tidak diketahui, tumor ini merupakan tumor yang tumbuh lambat,
jarang disertai nyeri dan cenderung timbul sekitar waktu pubertas dimana pasien
datang dengan alasan kosmetik akibat asimetri wajah. Karena pertumbuhan tumor
kembali melambat dengan bertambahnya usia, maka kebutuhan akan pengobatan
bergantung pada derajat deformitas atau ada tidaknya nyeri. Meskipun reseksi
total diperlukan pada terapi tumor ini tapi pada mayoritas kasus hanya dilakukan
pengangkatan sebagian tumor saja untuk memulihkan kontur dan fungsi wajah.9
d. Angiofibroma Nasofaring Juvenil
Tumor jinak angiofibroma nasofaring sering bermanifestasi sebagai massa
yang mengisi rongga hidung bahkan juga mengisi seluruh rongga sinus paranasal
dan mendorong bola mata keanterior.1,9
2. Tumor Ganas
a. Karsinoma Sel Skuamosa
Karsinoma sel skuamosa adalah jenis yang paling umum yang sering
ditemukan pada karsinoma sinonasal, sekitar 60% dari semua kasus.
Kebanyakan karsinoma sel skuamosa sinonasal yang timbul dalam hidung atau
sinus maksila, tapi ketika pertama kali dilihat tumor biasanya sudah melibatkan
hidung, sel ethmoidal dan antrum/maksila. Karsinoma sel skuamosa merupakan
neoplasma epitelial maligna yang berasal dari epitelium mukosa kavum nasi
atau sinus paranasal termasuk tipe keratinizing dan nonkeratinizing. Karsinoma
sel skuamosa sinonasal terutama ditemukan di dalam sinus maksilaris (sekitar
60-70%), diikuti oleh kavum nasi (sekitar 10-15%) dan sinus sfenoidalis dan
frontalis (sekitar 1%). Gejala berupa rasa penuh atau hidung tersumbat,
epistaksis, rinorea, nyeri, parastesia, pembengkakan pada hidung, pipi atau
palatum, luka yang tidak kunjung sembuh atau ulkus, adanya massa pada
kavum nasi, pada kasus lanjut dapat terjadi proptosis, diplopia atau
lakrimasi.1,9,12,13
Pemeriksaan radiologis, CT scan atau MRI didapatkan perluasan lesi,
invasi tulang dan perluasan pada struktur-struktur yang bersebelahan seperti
pada mata, pterygopalatine atau ruang infratemporal. Secara makroskopik,
karsinoma sel skuamosa kemungkinan berupa exophytic, fungating atau papiler.
Biasanya rapuh, berdarah, terutama berupa nekrotik, atau indurated,
demarcated atau infiltratif.3
Secara umum, lesi dini (T1-T2) dapat dilakukan terapi bedah maupun
radioterapi, sedangkan pada tahap lanjut (T3-T4) dilakukan multimodal terapi
seperti terapi bedah diikuti dengan radioterapi atau kemoterapi post operatif.8
i. Mikroskopik Keratinizing Squamous Cell Carcinoma
Secara histologi, tumor ini identik dengan karsinoma sel skuamosa
dari lokasi mukosa lain pada daerah kepala dan leher. Ditemukan
diferensiasi skuamosa, di dalam bentuk keratin ekstraseluler atau keratin
intraseluler (sitoplasma merah muda, sel-sel diskeratotik) dan/atau
intercellular bridges. Tumor tersusun di dalam sarang-sarang, massa atau
sebagai kelompok kecil sel-sel atau sel-sel individual. Invasi ditemukan
tidak beraturan. Sering terlihat reaksi stromal desmoplastik. Karsinoma ini
dinilai dengan diferensiansi baik, sedang atau buruk.1,3,7,9
ii. Mikroskopik Non-Keratinizing Karsinoma (Cylindrical Cell, transitional)
Tumor ini merupakan tumor yang berbeda dari traktus sinonasal
yang di karakteristikkan dengan pola plexiform atau ribbon-like growth
pattern. Dapat menginvasi ke dalam jaringan dibawahnya dengan batas
yang jelas. Tumor ini dinilai dengan diferensiasi sedang ataupun buruk.
Diferensiasi buruk sulit dikenal sebagai skuamosa, dan harus dibedakan dari
olfactory neuroblastoma atau karsinoma neuroendokrin.3,7
b. Undifferentiated Carcinoma
Merupakan karsinoma yang jarang ditemukan, sangat agresif dan
histogenesisnya tidak pasti. Undifferentiated carcinoma berupa massa yang
cepat memperbesar sering melibatkan beberapa tempat (saluran sinonasal) dan
melampaui batas-batas anatomi dari saluran sinonasal. Gambaran mikroskopik
berupa proliferasi hiperselular dengan pola pertumbuhan yang bervariasi,
termasuk trabekular, pola seperti lembaran, pita, lobular, dan organoid. Sel-sel
tumor berukuran sedang hingga besar dan bentuk bulat hingga oval dan
memiliki inti sel pleomorfik dan hiperkromatik, anak inti menonjol, sitoplasma
eosinofilik, rasio inti dan sitoplasma tinggi, aktivitas mitosis meningkat dengan
gambaran mitosis atipikal.7,9
c. Rhabdomyosarkoma
Kejadian Rhabdomyosarcoma pada daerah kepala dan leher berkisar
antara 35-45% kasus, 10% terjadi pada traktus sinonasal. Secara histologi,
tumor Rhabdomyosarcoma ini terbagi atas lima kategori besar yaitu, embrional
(paling sering), alveolar, botryoid embrional, spindel sel embrional dan
anaplastik. Jenis embrional dan alveolar merupakan tumor yang sering terjadi
pada anak-anak dan dewasa muda meskipun begitu kejadian anaplastik pun
juga sering terjadi pada usia dewasa. Angka keberhasilan terapi dan bertahan
hidup dalam jangka lima tahun 35% lebih rendah pada orang dewasa.7,8,9,13
Rhabdomyosarcoma yang terjadi pada traktus sinonasal atau tumor
diluar parameningeal orbita akan berkembang lebih agresif dibanding tumor
yang berada dilokasi yang lain. Metastase sistemik maupun regional sering
terjadi. Penatalaksanaan yang diperlukan melibatkan banyak modalitas terapi
seperti kemoterapi, radioterapi, dan pembedahan.7,9,13
d. Chondrosarkoma
Chondrosarcoma merupakan tumor dengan pertumbuhan tumor lambat
yang berasal dari struktur kartilago. Angka kejadiannya berkisar antara 5-10%
pada kepala dan leher, terbanyak pada maxilla dan mandibula. Tumor ini
berkembang dari tingkat I ke tingkat III berdasarkan pada kecepatan mitosis,
seluler, dan ukuran sel. Ukuran tumor memiliki korelasi dengan kemajuan
agresivitas, kecepatan metastasis dan kemampuan bertahan hidup pasien.
Pilihan terapi untuk Chondrosarcoma adalah pembedahan. Radiasi pasca
pembedahan dianjurkan utamanya jika ditemukan hasil grade tumor yang
tinggi setelah pemeriksaan histologi.7,13
e. Limfoma Maligna Sinonasal
Limfoma pada sinonasal ditemukan sekitar 5.8-8% dari limfoma
ekstranodal pada kepala dan leher. Meskipun jarang, tumor ini merupakan
tumor ganas non epithelial yang sering ditemukan pada keganasan hidung.
Kebanyakan limfoma yang timbul di dalam kavum nasi berasal dari sel natural
killer (NK). Meskipun demikian, beberapa laporan kasus mengindikasikan
bahwa limfoma primer dapat juga berasal dari sel B dan T. Limfoma pada
sinonasal jarang ditemukan di negara barat, umumnya dijumpai di negara-
negara Asia. Limfoma sinonasal dengan origin sel T maupun sel NK sering
ditemukan pada usia muda dan berkaitan dengan infeksi virus Epstein-Barr.
Nekrosis koagulatif luas dan apoptotic bodies selalu ditemukan.. Terkadang
hiperlasia pseudoepiteliomatosa pada pelapis epitel skuamosa dapat ditemukan,
menyerupai karsinoma sel skuamosa berdiferensiasi baik. Terapi pada tumor
ini adalah radioterapi untuk lesi lokal dan kemoterapi untuk keterlibatan
sistemik dan rekurensi sistemik. Angka ketahanan hidup 5 tahun pada segala
jenis tipe limfoma ini adalah 52%.3,7,8,13,14
f. Adenokarsinoma Sinonasal
Adenokarsinoma dikenal sebagai tumor glandular maligna dan tidak
menunjukkan gambaran spesifik. Adenokarsinoma dijumpai 10 hingga 14%
dari keseluruhan tumor ganas nasal dan sinus paranasal. Secara klinis
merupakan neoplasma agresif lokal, sering ditemukan pada laki-laki dengan
usia antara 40 hingga 70 tahun. Tumor ini timbul di dalam kelenjar salivari
minor dari traktus aerodigestivus bagian atas. Sering ditemukan pada sinus
maksilaris dan etmoid. Gejala utama berupa hidung tersumbat, nyeri, massa
pada wajah dengan deformasi dan atau proptosis dan epistaksis, bergantung
pada lokasinya. Gambaran histologi yang dapat ditemukan adalah tipe
cribriform, tubular, dan solid. Tipe cribriform paling sering ditemukan dengan
gambaran khas penampakan “swiss cheese”. Adenokarsinoma menyebar
dengan menginvasi dan merusak jaringan lunak dan tulang di sekitarnya dan
jarang bermetastasis. Terapi pembedahan dan adjuvant radioterapi adalah
pengobatan pilihan yang umum digunakan untuk terapi pada adenokarsinoma.
Prognosisnya jelek dan biasanya penderita meninggal dunia disebabkan
penyebaran lokal tanpa adanya metastasis.3,7,8,13
g. Olfactory Neuroblastoma
Esthesioneuroblastoma (ENB) atau dikenal dengan nama
neuroblastoma olfaktorius adalah tumor ganas yang muncul dari epitel
olfaktorius pada dinding superior nasi. Merupakan 7-10% keganasan yang
ditemukan di sinonasal pada kisaran usia 10-20 dan 50-60 tahun baik pada
wanita maupun laki-laki. Secara mikroskopis, tumor terdiri dari gambaran sel
bulat berbentuk rosette, pseudorosette, ataupun berbentuk lembaran dan
cluster. Tumor ini mengekspresikan penanda neuroendokrin seperti neuron-
specific enolase (NSE), chromogranin, dan synaptophysin yang sangat berguna
dalam membedakannya dengan small cell carcinoma lainnya. Terapi bedah
eksisi tumor dengan batas bebas tumor merupakan pilihan terapi pada tumor ini.
Penambahan terapi dengan radioterapi postoperatif meningkatkan angka
kesembuhan pada penyakit ini.7,8,13
h. Mukosal Melanoma Maligna
Sekitar 1% kasus melanoma maligna ditemukan pada 20% kasus
melanoma maligna dengan origin kepala dan leher. Umumnya didapatkan pada
daerah kavum nasi kemudian pada sinus maxillaris dan kavum oral. Biasanya
ditemukan pada usia 50 tahun. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara pria
dan wanita, dapat ditemukan pada kedua jenis kelamin. Secara makroskopik,
didapatkan massa polipoid berwarna keabu-abuan atau hitam kebiru-biruan
pada 45% kasus. Tumor ini menyebar melalui aliran darah atau secara limfatik.
Metastasis nodul servikal dapat ditemukan pada pemeriksaan awal. Melanoma
bisa terjadi sebagai sindrom autosomal dominan familial sekitar 8% dari 12 %
semua kasus. Terapi bedah yaitu reseksi tumor dengan batas yang jelas adalah
pilihan utama pengobatan dilanjutkan dengan pemberian radioterapi
lokoregional.3,7,8,14
2.3.4. Diagnosis
1. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Kurang lebih 9-
12% keganasan di hidung dan sinus paranasal stadium awal bersifat asimptomatis.
Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang dihubungkan dengan
pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan faktor
resiko.1
Gejala yang dikeluhkan oleh pasien tergantung dari asal primer tumor
serta arah dan perluasannya. Gejala yang dikeluhkan dapat dikategorikan sebagai
berikut:1
Gejala nasal.
Gejala nasal berupa obstruksi hidung unilateral dan rinorea. Jika ada
Sekret, sering sekret yang timbul bercampur darah atau terjadi epistaksis.
Tumor yang besar dapat mendesak tulang hidung sehingga terjadi deformitas
hidung. Khas pada tumor ganas ingusnya berbau karena mengandung
jaringan nekrotik.1,7,14
Gejala orbital.
Perluasan tumor kearah orbita menimbulkan gejala diplopia, proptosis
atau penonjolan bola mata, oftalmoplegia, gangguan visus dan epifora.1,7,15
Gejala oral.
Perluasan tumor ke rongga mulut menyebabkan penonjolan atau ulkus
di palatum atau di prosesus alveolaris. Pasien mengeluh gigi palsunya tidak
pas lagi atau gigi geligi goyah. Seringkali pasien datang ke dokter gigi karena
nyeri di gigi, tetapi tidak sembuh meskipun gigi yang sakit telah dicabut.1,7,8
Gejala fasial
Perluasan tumor akan menyebabkan penonjolan pipi, disertai nyeri,
anesthesia atau parestesia muka jika sudah mengenai nervus trigeminus.1,7,8
Gejala intrakranial
Perluasan tumor ke intrakranial dapat menyebabkan sakit kepala
hebat, oftalmoplegia dan gangguan visus. Dapat disertai likuorea, yaitu cairan
otak yang keluar melalui hidung ini terjadi apabila tumor sudah menginvasi
atau menembus basis cranii. Jika perluasan sampai ke fossa kranii media
maka saraf otak lainnya bisa terkena. Jika tumor meluas ke belakang, terjadi
trismus akibat terkenanya muskulus pterigoideus disertai anestesia dan
parestesia daerah yang dipersarafi nervus maksilaris dan mandibularis.1,7,8

2. Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin
merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol,
rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral
kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.1

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan,
dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang
sudah diangkat.7
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,
maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,
maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau
diberikan kemoterapi atau radioterapi.7
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa
fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga
dapat membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan
terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan
endoskopi dapat merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi
sebagai media biopsi dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.7
c. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran
seperti udara. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.7

Gambar 3. Foto polos kepala tampak kista didalam sinus maksilaris1


d. CT - Scan

Gambar 4. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus
tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid,
sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.9

CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit
sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan
untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.3
e. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal
yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran
perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan
untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan
kanalis optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi
dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan
otak.3,7

f. Pemeriksaan Positron Emission Tomography (PET)


PET scan adalah cara untuk membuat gambar organ dan jaringan dalam
tubuh. Sejumlah kecil zat radioaktif disuntikkan ke tubuh pasien. Zat ini
diserap terutama oleh organ dan jaringan yang menggunakan lebih banyak
energi. Karena kanker cenderung menggunakan energi secara aktif, sehingga
menyerap lebih banyak zat radioaktif. Scanner kemudian mendeteksi zat ini
untuk menghasilkan gambar bagian dalam tubuh. Sering digunakan untuk
keganasan kepala dan leher untuk staging dan surveillance. 3,7

4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem
TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T, N, dan M dengan
memberi indeks angka dan huruf, yaitu:
1. T = Tumor primer
a. Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b. Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional
a. Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b. Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
3. M = Metastase jauh
Indeks angka saja : M0 dan M1.7
Tiap–tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri untuk
tiap jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama
dengan kulit, dsb. Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus
dipakai. Rinciannya sebagai berikut :
Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut
American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu:

Sinus Maksillaris 3,7,12


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada mukosa sinus maksilaris tanpa erosi dan
T1
destruksi tulang.
Tumor menyebabkan erosi dan destruksi tulang hingga palatum
T2 dan atau meatus media tanpa melibatkan dinding posterior sinus
maksilaris dan fossa pterigoid.
Tumor menginvasi dinding posterior tulang sinus maksilaris,
T3 jaringan subkutaneus, dinding dasar dan medial orbita, fossa
pterigoid, sinus etmoidalis.
Tumor menginvasi bagian anterior orbita, kulit pipi, fossa
T4a pterigoid, fossa infratemporal, fossa kribriformis, sinus
sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, duramater, otak,
T4b fossa kranial medial, nervus kranialis selain dari divisi maksilaris
nervus trigeminal V2, nasofaring atau klivus.

Kavum Nasi dan Ethmoidal 3,7,12


Tx Tumor primer tidak dapat ditentukan
T0 Tidak terdapat tumor primer
Tis Karsinoma in situ
Tumor terbatas pada salah satu bagian dengan atau tanpa invasi
T1
tulang
T2 Tumor berada di dua bagian dalam satu regio atau tumor meluas
dan melibatkan daerah nasoetmoidal kompleks, dengan atau
tanpa invasi tulang
Tumor menginvasi dinding medial atau dasar orbita, sinus
T3
maksilaris, palatum atau fossa kribriformis.
Tumor menginvasi salah satu dari bagian anterior orbita, kulit
T4a hidung atau pipi, meluas minimal ke fossa kranialis anterior,
fossa pterigoid, sinus sfenoidalis atau frontal.
Tumor menginvasi salah satu dari apeks orbita, dura, otak, fossa
T4b kranial medial, nervus kranialis selain dari V2, nasofaring atau
klivus.

Kelenjar Getah Bening Regional (N) 3,7


Nx Tidak dapat ditentukan pembesaran kelenjar
N0 Tidak ada pembesaran kelenjar
N1 Pembesaran kelenjar ipsilateral ≤3 cm
Pembesaran satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm, atau multipel
N2 kelenjar ipsilateral <6 cm atau metastasis bilateral atau
kontralateral < 6 cm
N2a Metastasis satu kelenjar ipsilateral 3-6 cm
N2b Metastasis multipel kelanjar ipsilateral, tidak lebih dari 6 cm
Metastasis kelenjar bilateral atau kontralateral, tidak lebih dari 6
N2c
cm
N3 Metastasis kelenjar limfe lebih dari 6 cm

Metastasis Jauh (M) 3,7


Mx Metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh

Stadium Tumor Ganas dan Sinus Paranasal 3,7


0 Tis N0 M0
I T1 N0 M0
II T2 N0 M0
III T3 N0 M0
T1 N1 M0
T2 N1 M0
T3 N1 M0
IVa T4a N0 M0
T4a N1 M0
T1 N2 M0
T2 N2 M0
T3 N2 M0
T4a N2 M0
IVb T4b Semua N M0
Semua T N3 M0
IVc Semua T Semua N M1

1.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan tumor cavum nasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor cavum nasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi
dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.7,8
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi. 1,7,14
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia
prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik
dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah
mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya
perawatan di rumah sakit lebih singkat.8,14
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit
an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah,
restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara,
menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.1,7,8
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi
utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan
penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona
yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien
dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 2,10
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi
tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi
paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan
radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti
pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.8
1.8 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.8
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii.
Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin
dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan
drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika
gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.8
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan
dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.8
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.8

1.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang
diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh
terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga
terhadap prognosis penyakit ini.1,3
Angka ketahanan hidup 5 tahun berdasarkan penelitian Patel dkk, low-grade
neoplasma seperti esthesioneuroblastoma 78%, adenokarsinoma 52%, karsinoma sel
skuamos 44%, undifferentiated carcinoma 37%, serta mucosal melanoma 18%.8
Walaupun demikian, pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.1
DAFTAR PUSTAKA

1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2. Slomski G, Ph.D. Paranasal Sinus Cancer, Gale Encyclopedia of Cancer. 2002. [cited on
April 4th 2013]. Available from : http://www.encyclopedia.com/c/2981-literature-and-arts.html
3. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on April 4 th 2013].
Available from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /24571/.../Chapter%20II.pdf
4. Mohan Bansal. Diseases of ear, nose, and throat - Head and neck surgery. 1st ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.
5. Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 188-190.
6. BS Tuli. Textbook of ear, nose and throat. 2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2013.
7. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. 2011.
USA. [cited on April 4th 2013]. Available from : http://www. cancer.net/cancer-types/nasal-
cavity-and-paranasal-sinus-cancer
8. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on April 4th 2013].
Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995-overview#showall
9. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. dalam :
BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso RAK, editor. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
10. Siregar, BH. Head and Neck, Breast, Soft Tissue, Skin Tumor. 2005. Makassar. Oncology
Surgery Dept. of Hasanuddin University. hal : 4-19.
11. Surakardja, IDG. Onkologi Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
12. Hermans, Robert. Neoplasms of the Sinonasal Cavities. in : Head and Neck Cancer Imaging.
Hermans R, ed. University Hospitals Leuven. Belgium. p 192-217.
13. Sargi RB, Casiano RR. Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses. in : Rhinologic and
Sleep Apnea Surgical Techniques. Kountakis SE, Onerci M, eds. 2007. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. p 17-26.
14. Holman PR, Weisman RA, Kavanagh et al. Lymphoma, Myeloproliferative Disorders,
Leukemia, and Malignant Melanoma. In : Head and Neck Manifestation of Systemic Disease.
Harris JP, Weisman MH, eds. 2007. Informa Healthcare USA, Inc. New York. p 251-83.
15. Loevner L, Bradshaw J. Paranasal Sinuses and Adjacent Spaces. Radiology Dept. of the
University of Pennsylvania, USA and the Radiology Dept. of the Medical Centre Alkmaar, the
Netherlands. [cited on April 4th 2013]. Available from :
http://www.radiologyassistant.nl/en/p491710c96a36d/paranasal-sinuses-and-adjacent-
spaces.html

Anda mungkin juga menyukai