Disusun oleh:
1965050063
Pembimbing:
JAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
2. Riwayat Penyakit
a. Keluhan Utama : Terdapat benjolan di dalam hidung sebelah kanan sejak ± 5 bulan
SMRS
b. Keluhan Tambahan : Hidung tersumbat, penciuman berkurang
Hidung
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Bentuk luar Normal, Simetris
Deformitas Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Hidung luar Krepitasi Tidak ada Tidak ada
Hidung Dalam
Pemeriksaan Kelainan Dextra Sinistra
Vestibulum Nasi Furunkel Tidak ada Tidak ada
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Cavum Sempit Lapang
Cavum nasi Mukosa Hiperemis Merah muda
Ukuran Eutrofi Eutrofi
Konka inferior Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Licin Licin
Konka media(+) Ukuran Sulit dinilai Eutrofi
Warna Sulit dinilai Merah muda
Permukaan Sulit dinilai Licin
Meatus media & Sekret Tidak ada Tidak ada
inferior
Septum Deviasi Massa (+), bulat, Tidak ada deviasi
kemerahan, licin,
rapuh, kenyal
Sinus Paranasal
Pemerikssan Kelainan Dextra Sinistra
Sinus Maksilaris Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Sinus Frontalis Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tenggorokan
Pemeriksaan Kelainan Hasil Pemeriksaan
Tonsil Ukuran T1-T1
Kripta Tidak melebar
Detritus Tidak ada
Perlekatan Tidak ada
Permukaan
Licin
3) Fungsi penghidu
Hidung berfungi sebagai indera penghidu (penciuman) dan pengecap dengan
adanya mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konkha superior, dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau akan mencapai sel-sel reseptor olfaktorius silia di
daerah ini dengan cara difusi bersama mukus yang melapisi silia-silia tersebut.
Kemudian, odoran yang sudah larut ini akan berikatan dengan protein reseptor pada
membran reseptor silia sel olfaktorius. Pengikatan ini menyebabkan aktivasi dari
protein G, kemudian mengaktivasi enzim adenil siklase dan mengaktifkan cAMP.
Pengaktifan cAMP ini akan membuka kanal Na + sehingga terjadi influx natrium dan
menyebabkan depolarisasi. Depolarisasi ini kemudian menyebabkan potensial aksi
dari saraf olfaktorius, ditransmisikan melewati bulbus olfaktorius sampai ke korteks
serebri. Fungsi hidung juga membantu indera pengecap untuk membedakan rasa
manis dan asam dari berbagai macam bahan.
4) Fungsi fonetik
Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan
menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau (rinolalia). Pada pembentukan konsonan nasal (M,
N, NG), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka, palatum mole turun untuk aliran
udara. Jika hidung atau nasofaring mengalami sumbatan maka konsonan tersebut
akan diucapkan berbeda (B, D, G).
5) Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran
cerna, kardiovaskuler, dan pernapasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan
refleks bersin dan nafas berhenti atau bradikardia. Selain itu, ransang bau tertentu
akan menyebabkan refleks sekresi air liur dan asam lambung serta pankreas.
2.3. Tumor Cavum Nasi
2.3.1. Definisi
Tumor cavum nasi adalah tumor yang terdapat pada rongga hidung. Cavum nasi
atau rongga hidung dimulai dari vestibulum nasi, melewati rongga sepanjang atap mulut
(palatum durum dan palatum mole) dan kemudian berakhir di nasofaring.
2.3.3. Patofisiologi
Perubahan dari sel normal menjadi sel kanker dipengaruhi oleh multifaktor
seperti yang sudah dipaparkan diatas dan bersifat individual. Faktor resiko terjadinya
tumor sinonasal semisal bahan karsinogen seperti bahan kimia inhalan, debu industri,
sinar ionisasi dan lainnya dapat menimbulkan kerusakan ataupun mutasi pada gen
yang mengatur pertumbuhan tubuh yaitu gen proliferasi dan diferensiasi. Dalam proses
diferensiasi ada dua kelompok gen yang memegang peranan penting, yaitu gen yang
memacu diferensiasi (proto-onkogen) dan yang menghambat diferensiasi (anti-
onkogen). Untuk terjadinya transformasi dari satu sel normal menjadi sel kanker oleh
karsinogen harus melalui beberapa fase yaitu fase inisiasi dan fase promosi serta
progresi. Pada fase inisiasi terjadi perubahan dalam bahan genetik sel yang
memancing sel menjadi ganas akibat suatu onkogen, sedangkan pada fase promosi sel
yang telah mengalami inisiasi akan berubah menjadi ganas akibat terjadinya kerusakan
gen. Sel yang tidak melewati tahap inisiasi tidak akan terpengaruh promosi sehingga
tidak berubah menjadi sel kanker. Inisiasi dan promosi dapat dilakukan oleh
karsinogen yang sama atau diperlukan karsinogen yang berbeda.10,11
Sejak terjadinya kontak dengan karsinogen hingga timbulnya sel kanker
memerlukan waktu induksi yang cukup lama yaitu sekitar 15-30 tahun. Pada fase
induksi ini belum timbul kanker namun telah terdapat perubahan pada sel seperti
displasia. Fase selanjutnya adalah fase in situ dimana pada fase ini kanker mulai
timbul namun pertumbuhannya masih terbatas jaringan tempat asalnya tumbuh dan
belum menembus membran basalis. Fase in situ ini berlangsung sekitar 5-10 tahun. Sel
kanker yang bertumbuh ini nantinya akan menembus membrane basalis dan masuk ke
jaringan atau organ sekitarnya yang berdekatan atau disebut juga dengan fase invasif
yang berlangsung sekitar 1-5 tahun. Pada fase diseminasi (penyebaran) sel-sel kanker
menyebar ke organ lain seperti kelenjar limfe regional dan atau ke organ-organ jauh
dalam kurun waktu 1-5 tahun.10,11
Sel-sel kanker ini akan tumbuh terus tanpa batas sehingga menimbulkan
kelainan dan gangguan. Sel kanker ini akan mendesak (ekspansi) ke sel-sel normal
sekitarnya, mengadakan infiltrasi, invasi, serta metastasis bila tidak didiagnosis sejak
dini dan di berikan terapi.11
2. Pemeriksaan Fisik
Saat memeriksa pasien, pertama-tama perhatikan wajah pasien apakah
terdapat asimetri atau tidak. Selanjutnya periksa dengan seksama kavum nasi dan
nasofaring melalui rinoskopi anterior dan posterior. Permukaan yang licin
merupakan pertanda tumor jinak sedangkan permukaan yang berbenjol-benjol,
rapuh dan mudah berdarah merupakan pertanda tumor ganas. Jika dinding lateral
kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila.
Pemeriksaan nasoendoskopi dan sinuskopi dapat membantu menemukan tumor
pada stadium dini. Adanya pembesaran kelenjar leher juga perlu dicari meskipun
tumor ini jarang bermetastasis ke kelenjar leher.1
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Biopsi
Biopsi adalah pengangkatan sejumlah kecil jaringan untuk pemeriksaan
dibawah mikroskop. Apusan sampel di ambil untuk mengevaluasi sel, jaringan,
dan organ untuk mendiagnosa penyakit. Ini merupakan salah satu cara untuk
mengkonfirmasi diagnosis apakah tumor tersebut jinak atau ganas. Untuk yang
ukuran kecil, tumor dapat diangkat seluruhnya, sedangkan untuk ukuran besar
maka tumor hanya diambil sebagian untuk contoh pemeriksaan tumor yang
sudah diangkat.7
Hasil pemeriksaan patologi anatomi (PA) dengan cara seperti inilah yang
dijadikan gold standart atau diagnosis pasti suatu tumor. Bila hasilnya jinak,
maka selesailah pengobatan tumor tersebut, namun bila ganas atau kanker,
maka ada tindakan pengobatan selanjutnya apakah berupa operasi kembali atau
diberikan kemoterapi atau radioterapi.7
b. Pemeriksaan Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi menggunakan alat endoskop yaitu berupa pipa
fleksibel yang ramping dan memiliki penerangan pada ujungnya sehingga
dapat membantu untuk melihat area sinonasal yang tidak dapat terjangkau dan
terevaluasi dengan baik melalui pemeriksaan rhinoskopi. Pemeriksaan
endoskopi dapat merupakan pemeriksaan penunjang sekaligus dapat berfungsi
sebagai media biopsi dan juga terapi bedah pada tumor sinonasal yang jinak.7
c. Pemeriksaan X-ray
Normal sinus x-ray dapat menunjukkan sinus dipenuhi dengan gambaran
seperti udara. Tanda-tanda kanker pada pemeriksaan x-ray sebaiknya
dikonfirmasi dengan pemeriksaan CT scan.7
Gambar 4. CT Scan Sinus Paranasal menunjukkan sebuah tumor yang berbentuk lobus
tajam sehingga terjadi peningkatan di kedua rongga hidung yang dapat meluas ke sinus etmoid,
sinus sphenoid dan nasofaring. Lesi menonjol ke dalam orbit kiri dan kedua sinus maksilaris.9
CT scan lebih akurat dari pada plain film untuk menilai struktur tulang
sinus paranasal. Pasien beresiko tinggi dengan riwayat terpapar karsinogen,
nyeri persisten yang berat, neuropati kranial, eksoftalmus, kemosis, penyakit
sinonasal dan dengan gejala persisten setelah pengobatan medis yang adekuat
seharusnya dilakukan pemeriksaan dengan CT scan axial dan coronal dengan
kontras. CT scan merupakan pemeriksaan superior untuk menilai batas tulang
traktus sinonasal dan dasar tulang tengkorak. Penggunaan kontras dilakukan
untuk menilai tumor, vaskularisasi dan hubungannya dengan arteri karotis.3
e. Pemeriksaan MRI
MRI menggunakan medan magnet. Dipergunakan untuk membedakan
daerah sekitar tumor dengan jaringan lunak, membedakan sekret di dalam nasal
yang tersumbat yang menempati rongga nasal, menunjukkan penyebaran
perineural, membuktikan temuan imaging pada sagital plane, dan tidak
melibatkan paparan terhadap radiasi ionisasi. Coronal MRI image terdepan
untuk mengevaluasi foramen rotundum, vidian canal, foramen ovale dan
kanalis optik. Sagital image berguna untuk menunjukkan replacement signal
berintensitas rendah yang normal dari Meckel cave signal berintensitas tinggi
dari lemak di dalam fossa pterygopalatine oleh signal tumor yang mirip dengan
otak.3,7
4. Staging
Sistem TNM adalah suatu cara untuk melukiskan stadium kanker. Sistem
TNM didasarkan atas 3 kategori. Masing–masing kategori dibagi lagi menjadi
subkategori untuk melukiskan keadaan masing– masing pada T, N, dan M dengan
memberi indeks angka dan huruf, yaitu:
1. T = Tumor primer
a. Indeks angka : Tx, Tis, T0, T1, T2, T3, dan T4.
b. Indeks huruf : T1a, T1b, T1c, T2a, T2b, T3b, dst.
2. N = Nodus regional, metastase kelenjar limfe regional
a. Indeks angka : N0, N1, N2, dan N3.
b. Indeks huruf : N1a, N1b, N2a, N2b, dst.
3. M = Metastase jauh
Indeks angka saja : M0 dan M1.7
Tiap–tiap indeks angka dan huruf mempunyai arti sendiri–sendiri untuk
tiap jenis atau tipe kanker, jadi arti indeks untuk kanker mamma tidak sama
dengan kulit, dsb. Untuk satu jenis kanker tertentu tidak semua indeks harus
dipakai. Rinciannya sebagai berikut :
Penentuan stadium tumor ganas hidung dan sinus paranasal menurut
American Joint Committee on Cancer (AJCC) 2010, yaitu:
1.7 Penatalaksanaan
Pasien dengan tumor cavum nasal biasanya dirawat oleh tim spesialis
menggunakan pendekatan holistik multidisiplin ilmu. Setiap pasien menerima
rencana pengobatan yang disesuaikan untuk memenuhi kebutuhannya. Pilihan
pengobatan utama untuk tumor cavum nasal meliputi:
1. Pembedahan
Terapi bedah yang dilakukan biasanya adalah terapi kuratif dengan reseksi
bedah. Pengobatan terapi bedah ini umumnya berdasarkan staging dari masing-
masing tumor. Secara umum, terapi bedah dilakukan pada lesi jinak atau lesi dini
(T1-T2). Terkadang, pembedahan dengan margin/batas yang luas tidak dapat
dilakukan karena dekatnya lokasi tumor dengan struktur-struktur penting pada
daerah kepala, serta batas tumor yang tidak jelas. Radiasi post operatif sangat
dianjurkan untuk mengurangi insiden kekambuhan lokal. Pada beberapa kasus
eksisi paliatif ataupun debulking perlu dilakukan untuk mengurangi nyeri yang
hebat, ataupun untuk membebaskan dekompresi saraf optik dan rongga orbita,
serta untuk drainase sinus paranasalis yang mengalami obstruksi. Jenis reseksi
dan pendekatan bedah yang akan dilakukan bergantung pada ukuran tumor dan
letaknya/ekstensinya.7,8
Tumor yang berlokasi di kavum nasi dapat dilakukan berbagai pendekatan
bedah seperti reseksi endoskopi nasal, transnasal, sublabial, sinus paranasalis,
lateral rhinotomy atau kombinasi dari bedah endoskopi dan bedah terbuka (open
surgery). Tumor tahap lanjut mungkin membutuhkan tindakan eksenterasi orbita,
total ataupun parsial maksilektomi ataupun reseksi anterior cranial base, dan
kraniotomi. Maksilektomi kadang-kadang direkomendasikan untuk tatalaksana
kanker sinus paranasal, dan umumnya dapat menyelamatkan organ vital seperti
mata yang berada dekat dengan kanker sedangkan reseksi kraniofasial atau skull
base surgery sering direkomendasikan untuk keganasan pada sinus paranasal.
Terapi ini mengharuskan untuk membebaskan beberapa jaringan tambahan
disamping dilakukannya maksilektomi. 1,7,14
Kontraindikasi absolut untuk terapi pembedahan adalah pasien dengan
gangguan nutrsi, adanya metastasis jauh, invasi tumor ganas ke fascia
prevertebral, ke sinus kavernosus, dan keterlibatan arteri karotis pada pasien-
pasien dengan resiko tinggi, serta adanya invasi bilateral tumor ke nervus optik
dan chiasma optikum. Keuntungan dari pendekatan bedah endoskopik adalah
mencegah insisi pada daerah wajah, angka morbiditas rendah, dan lamanya
perawatan di rumah sakit lebih singkat.8,14
Reseksi luas dari tumor kavum nasi dan sinus paranasalis dapat
menyebabkan kecacatan/kerusakan bentuk wajah, gangguan berbicara dan kesulit
an menelan. Tujuan utama dari rehabilitasi post pembedahan adalah
penyembuhan luka, penyelamatan/preservasi dan rekonstruksi dari bentuk wajah,
restorasi pemisahan oronasal, hingga memfasilitasi kemampuan berbicara,
menelan, dan pemisahan kavum nasi dan kavum cranii.1,7,8
2. Radioterapi
Terapi radiasi juga disebut radioterapi kadang-kadang digunakan sendiri pada
stadium I dan II, atau dalam kombinasi dengan operasi dalam setiap tahap penyakit
sebagai adjuvant radioterapi (terapi radiasi yang diberikan setelah dilakukannya terapi
utama seperti pembedahan). Pada tahap awal kanker sinus paranasal, radioterapi
dianggap sebagai terapi lokal alternatif untuk operasi. Radioterapi melibatkan
penggunaan energi tinggi, penetrasi sinar untuk menghancurkan sel-sel kanker di zona
yang akan diobati. Terapi radiasi juga digunakan untuk terapi paliatif pada pasien
dengan kanker tingkat lanjut. Jenis terapi radiasi yang diberikan dapat berupa
teleterapi (radiasi eksternal) maupun brachyterapi (radiasi internal). 2,10
3. Kemoterapi
Kemoterapi biasanya diperuntukkan untuk terapi tumor stadium lanjut. Selain
terapi lokal, upaya terbaik untuk mengendalikan sel-sel kanker beredar dalam tubuh
adalah dengan menggunakan terapi sistemik (terapi yang mempengaruhi seluruh
tubuh) dalam bentuk suntikan atau obat oral. Bentuk pengobatan ini disebut
kemoterapi dan diberikan dalam siklus (setiap obat atau kombinasi obat-obatan
biasanya diberikan setiap tiga sampai empat minggu). Tujuan kemoterapi untuk terapi
tumor sinonasal adalah sebagai terapi tambahan (baik sebagai adjuvant maupun
neoadjuvant), kombinasi dengan radioterapi (concomitant), ataupun sebagai terapi
paliatif. Kemoterapi dapat mengurangi rasa nyeri akibat tumor, mengurangi obstruksi,
ataupun untuk debulking pada lesi-lesi masif eksternal. Pemberian kemoterapi dengan
radiasi diberikan pada pasien-pasien dengan resiko tinggi untuk rekurensi seperti
pasien dengan hasil PA margin tumor positif setelah dilakukan reseksi, penyebaran
perineural, ataupun penyebaran ekstrakapsular pada metastasis regional.8
1.8 Komplikasi
Komplikasi keganasan sinus terkait dengan pembedahan dan rekonstruksi.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi yaitu :
1. Perdarahan : untuk menghindari perdarahan arteri etmoid anterior
dan posterior dan arteri sfenopalatina dapat dikauter atau diligasi.8
2. Kebocoran cairan otak : cairan otak dapat bocor dekat dengan basis cranii.
Tanda dan gejala yang terjadi termasuk rinorhea yang jernih, rasa asin
dimulut, dan tanda halo. Perawatan konservatif dengan tirah baring dan
drainase lumbal dapat dilakukan selama 5 hari bersama antibiotik. Jika
gagal, harus dilakukan intervensi pembedahan.8
3. Epifora : hal ini sering terjadi saat pembedahan disebabkan oleh
obstruksi pada aliran traktus lakrimalis. Endoskopik lanjutan dan tindakan
dakriosisto rhinostomi mungkin perlu dilakukan.8
4. Diplopia : perbaikan dasar orbita yang tepat adalah kunci
untuk menghindari komplikasi ini. Jika terjadi diplopia, penggunaan
kacamata prisma merupakan terapi yang paling sederhana.8
1.9 Prognosis
Pada umumnya prognosis kurang baik. Banyak sekali faktor yang
mempengaruhi prognosis keganasan pada sinonasal. Faktor-faktor tersebut seperti
perbedaan diagnosis histologi, asal tumor primer, perluasan tumor, pengobatan yang
diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi adjuvan yang diberikan, status
imunologis, lamanya follow up dan banyak lagi faktor lain yang dapat berpengaruh
terhadap agresifitas penyakit dan hasil pengobatan yang tentunya berpengaruh juga
terhadap prognosis penyakit ini.1,3
Angka ketahanan hidup 5 tahun berdasarkan penelitian Patel dkk, low-grade
neoplasma seperti esthesioneuroblastoma 78%, adenokarsinoma 52%, karsinoma sel
skuamos 44%, undifferentiated carcinoma 37%, serta mucosal melanoma 18%.8
Walaupun demikian, pengobatan multimodalitas akan memberikan hasil yang
terbaik dalam mengontrol tumor primer dan akan meningkatkan angka ketahanan
hidup 5 tahun sebesar 75% untuk seluruh stadium tumor.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A, Armiyanto. Tumor Hidung dan Sinonasal. dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga Hidung Tenggorokan Kepala & Leher: edisi 6. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin
J, Restuti RD, editor. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. hal : 178-81.
2. Slomski G, Ph.D. Paranasal Sinus Cancer, Gale Encyclopedia of Cancer. 2002. [cited on
April 4th 2013]. Available from : http://www.encyclopedia.com/c/2981-literature-and-arts.html
3. Agussalim, dr. Tumor Sinonasal. 2006. Universitas Sumatera Utara.[cited on April 4 th 2013].
Available from :http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789 /24571/.../Chapter%20II.pdf
4. Mohan Bansal. Diseases of ear, nose, and throat - Head and neck surgery. 1st ed. New Delhi:
Jaypee Brothers Medical Publishers; 2013.
5. Soepardi EA, dkk. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher.
Edisi Keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2007: 188-190.
6. BS Tuli. Textbook of ear, nose and throat. 2nd ed. New Delhi: Jaypee Brothers Medical
Publishers; 2013.
7. American Society of Clinical Oncology. Nasal Cavity and Paranasal Sinus Cancers. 2011.
USA. [cited on April 4th 2013]. Available from : http://www. cancer.net/cancer-types/nasal-
cavity-and-paranasal-sinus-cancer
8. Carrau RL, MD. Malignant Tumor of the Nasal Cavity and Sinuses. [cited on April 4th 2013].
Available from : http://emedicine.medscape.com/article /846995-overview#showall
9. Hilger PA, Adam GL. Penyakit Hidung dan Tumor-Tumor Ganas Kepala Leher. dalam :
BOEIS Buku Ajar Penyakit THT : edisi 6. Effendi H, Santoso RAK, editor. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran EGC. hal : 235-7, 429-44.
10. Siregar, BH. Head and Neck, Breast, Soft Tissue, Skin Tumor. 2005. Makassar. Oncology
Surgery Dept. of Hasanuddin University. hal : 4-19.
11. Surakardja, IDG. Onkologi Klinik. 2000. Fakultas kedokteran Universitas Airlangga/RSUD
Dr. Soetomo Surabaya. hal : 85-103.
12. Hermans, Robert. Neoplasms of the Sinonasal Cavities. in : Head and Neck Cancer Imaging.
Hermans R, ed. University Hospitals Leuven. Belgium. p 192-217.
13. Sargi RB, Casiano RR. Surgical Anatomy of the Paranasal Sinuses. in : Rhinologic and
Sleep Apnea Surgical Techniques. Kountakis SE, Onerci M, eds. 2007. Springer-Verlag Berlin
Heidelberg. p 17-26.
14. Holman PR, Weisman RA, Kavanagh et al. Lymphoma, Myeloproliferative Disorders,
Leukemia, and Malignant Melanoma. In : Head and Neck Manifestation of Systemic Disease.
Harris JP, Weisman MH, eds. 2007. Informa Healthcare USA, Inc. New York. p 251-83.
15. Loevner L, Bradshaw J. Paranasal Sinuses and Adjacent Spaces. Radiology Dept. of the
University of Pennsylvania, USA and the Radiology Dept. of the Medical Centre Alkmaar, the
Netherlands. [cited on April 4th 2013]. Available from :
http://www.radiologyassistant.nl/en/p491710c96a36d/paranasal-sinuses-and-adjacent-
spaces.html