Indonesia sebagai negara bermasyarakat multikultur rupanya belum memiliki paradigma
multikultur. Lemahnya nalar multikultural terlihat jelas dari intervensi negara yang deterministik dalam kehidupan beragama. Padahal bila ditinjau lebih lanjut Indonesia merupakan masyarakat majemuk, baik secara horisontal maupun vertikal. Secara horisontal bila dipilah ke dalam berbagai suku bangsa, bahasa, dan agama. Vertikal atas dasar perbedaan daya adaptasinya. Dalam kenyataannya, penghargaan dan pengakuan atas kehadiran yang lain tergantikan dengan upaya untuk “mempersamakan” (conformity) atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan memaksakan “monokulturalisme” yang hampir seragam, namun sekarang berimplikasi negatif ketika otonomisasi dan desentralisasi terjadi. Politik identitas kelompok dan “etnisitas” menimbulkan konflik antar kelompok yang makin marak. Satu faktor yang turut mempertumpul pendidikan multikultural adalah semangat “toleransi”. Bukannya penghargaan yang timbul melainkan terjebak pada ego-sentrisme, sikap daya mentoleransi yang lain demi saya sendiri. Setiap perbedaan mengakui perbedaan lain demi menguatkan dan mengawetkan perbedaannya sendiri (I am what I am not), sehingga yang timbul bukannya situasi rukun melainkan situasi acuh tak acuh (indiferrence). Sampai pada titik ini kesadaran akan pendidikan multikultural harus ditumbuhkan, sebab multikulturalisme adalah pengalaman normal manusia. Ia ada dan hadir dalam realitas empirik. Maka pendidikan multikultural bertujuan untuk membedakan pendidikan multikultural (education) dengan program sekolah formal (schooling). Pengembangan kompetensi kebudayaan adalah tanggung jawab semua pihak. Kedua, menolak penyamaan kebudayaan dengan kelompok etnik. Ketiga, meningkatkan kompetensi kebudayaan. Keempat, menjauhkan konsep dwi-budaya (bikultural) atau dikotomi antara pribumi dengan non-pribumi. Semua ini harus dikembangkan dalam prinsip solidaritas, melupakan upaya penguatan identitas lalu berjuang demi dan bersama yang lain, sampai kesadaran akan eksistensi diri tanpa merendahkan yang lain terwujud.