Anda di halaman 1dari 34

BAB VII

Teori Kelembagaan (Institusional Theory)


Ghina Adhha Haura

Tujuan Pembelajaran:
Setelah mempelajari Bab ini, Anda diharapkan mampu:
1. Memahami dan menjelaskan sejarah paradigma Old
Institusionalism dan New Institusionalism.
2.
3. Memahami dan menerapkan Teori Kelembagaan dalam
Riset Akuntansi
PENDAHULUAN

Institusional Theory atau Teori Kelembagaan lazimnya


mengacu kepada kelompok yang memiliki prespektif luas
dalam menafsirkan hubungan antara lembaga dan perilaku
manusia, dengan landasan berfikir bahwa tidak hanya tindakan
manusia seperti perilaku, persepsi, kekuasaan, konsep
kebijakan, proses pengambilan keputusan yang dapat
membentuk lembaga, tetapi lembaga juga memiliki
berpengaruh terhadap tindakan manusia (Diogo & Carvalho,
2015). Kelembagaan juga berfokus atas kemampuan organisasi
untuk beradaptasi dengan kelembagaan lingkungan, seperti
norma, aturan, dan pemahaman tentang apa yang dapat
diterima atau berperilaku normal dan sebaliknya, apa yang
tidak dapat diterima dan diubah dengan mudah (March &
Olsen, 1983).
Pada intinya, landasan teori kelembagaan ialah
berusaha untuk memaparkan pengembangan aturan dan
persyaratan yang harus dipenuhi sebuah organisasi jika ingin
menerima dukungan dan legitimasi (Scott, 1983). Teori
kelembagaan menjadi sebuah prespektif yang menonjol dan
juga sering digunakan untuk menjelaskan tindakan adopsi dan
penyebaran struktur organisasi formal, termasuk kebijakan
tertulis, praktik standar, dan bentuk organisasi baru
(Greenwood et al., 2014).
Paradigma: Old Institusionalism dan New Institusionalism

Pada tahun 1970-an, transformasi atas latar belakang yang kuat


menjadi penting untuk menelaah sebuah lembaga kontemporer,
karena sebuah lingkungan lembaga semakin dipandang penting
dalam memahami rotasi dinamika lembaga. Hal tersebut
sejalan dengan penekanan pada sekelompok manusia dan
lembaga yang dipersatukan oleh kebutuhan dan tujuan bersama
(Abrutyn & Turner, 2011). Saat ini, tidak banyak yang
mendebat proposisi bahwa lembaga itu penting, karena pada
hakikatnya lembaga dapat menyusun insentif dan kendala
strategis secara singular. Pemahaman akan perihal tersebut
merupakan hal yang lazim.
Namun, perlu kita ketahui bahwa bukan lembaga yang
menentukan sejarah, bukan pula manusia yang menciptakan
dan mengubah institusi, tetapi karena ekspektasi dan bias
kognitif yang mempengaruhi bagaimana manusia bekerja
dalam institusi dan beradaptasi dengan lingkungan. Historical
Institusionaliism bukan menjelaskan keutamaan teori atau
teknik khusus dalam pemecahan masalah, melainkan untuk
mempelajari pendekatan dari perubahan politik dan sosial.
Sehingga, muncul berbagai bentuk perhatian melalui
pertanyaan yang empiris berdasarkan realitas, orientasi historis
serta pandangan cara kerja lembaga (Marriott, 2012).
Pierson dan Skocpol menyatakan bahwa alih-alih
berfokus terhadap eksistensi sebuah lembaga, kelembagaan
historis juga berpusat pada pola hubungan antar sumber daya
karena pengaruh interaksi dengan berbagai lembaga dapat
membentuk proses dan hasil. Para kelembagaanis perlu
memahami analisis temporal untuk mencegah dimensi yang
kemungkinan tidak terlihat dan signifikan dalam jangka
pendek, namun berdampak pada jangka panjang serta
berpotensi secara kausal. Mereka menegaskan hal ini secara
metodologis dalam tiga cara, yaitu:
1) Memperkenalkan dimensi temporal dengan lebih
banyak kasus yang tersedia dan ada kemungkinan lebih
banyak variasi dalam hasil;
2) Menelusuri urutan sejarah sehingga dapat mengungkit
hubungan sebab akibat, termasuk dimensi historis yang
memberikan kontribusi nyata untuk mendukung atau
menantang klaim fenomena; dan
3) Meningkatkan kepekaan terhadap penyesuaian periode
yang mungkin saja terlewat dalam analisis berdasarkan
rentang waktu pendek.
Secara eksplisit, Pierson dan Skocpol mengklaim pendekatan
historis memungkinkan adanya persepsi elemen temporal pada
tingkat makro dan mezzo dari analisis kelembagaan (Marsh et
al., 2004).
Hollingsworth membuat peta konsep untuk menentukan
tiga tingkat analisis kelembagaan yaitu analisis mikro, mezzo,
dan makro. Analisis mikro adalah bentuk analisis kelembagaan
yang menelusuri bagaimana keputusan ekonomi melekat dalam
norma, nilai, arti kebersamaan, kebiasaan, dan pola perilaku.
Analisis mezzo mengacu pada sektor ekonomi, seperti
aktivitas akuntansi dan keuangan. Analisis tingkat ini bertujuan
untuk memahami bagaimana kegiatan perekenomian tertanam
dalam tatanan kelembagaan seperti rezim hukum dan regulasi
dan juga mengeksplorasi dinamika perubahan kelembagaan.
Sementara itu, analisis tingkat makro dianggap sebagai
susunan kelembagaan yang mengatur kegiatan ekonomi secara
keseluruhan. Pada tingkat ini mengamati proses sejarah jangka
panjang tatanan kelembagaan yang mengatur ekonomi kapitalis
muncul dan kemudian berubah menjadi respons terhadap krisis
ekonomi, mobilisasi politik, dan perjuangan sosial (Chapman
et al., 2009). Institusional Theory dan pemikiran ekonomi telah
melewati berbagai macam tantangan. Pemahaman ini memiliki
implikasi yang penting, baik untuk apa kita pelajari maupun
bagaimana cara kita mempelajari hal tersebut. Kelembagaan
mempelajari sejarah karena mereka percaya itu penting, tidak
hanya sebagai referensi namun juga untuk menajamkan analisis
(Della Porta & Keating, 2008).
Pada tahun 1918, muncul konsep “kelembagaan” yang
diperkenalkan oleh Wilton Hamilton. Dia mendefinisikan
lembaga sebagai bentuk “cara berfikir, bertindak dan berperan
yang diciptakan dalam kebiasaan kelompok serta adat istiadat
masyarakat”. Dari sudut pandang Hamilton, kesimpulan
institusi adalah prosedur stabil yang mencerminkan sebuah
kesepakatan umum dan telah berkembang di masyarakat.
Kelembagaan telah menyerap banyak gagasan mazhab seperti
sejarah Jerman, Fabian Inggris, dan tradisi sosiologis Prancis.
Intititusionalisme juga melewati jalur perkembangan sejarah
yang sulit, dimulai dari beberapa tahapan hingga disertai
dengan pembaharuan metodologi dan landasan teoritis
(Salamova, 2021).
Evolusi Institusional Theory pertama kali muncul dan
berkembang sebagai doktrin yang menentang ekonomi politik
dan ekonomi masa depan. Hal ini menjelaskan mengapa
Edwan RA Seligman, seorang ekonom asal Amerika
menyatakan Old Institusional sebagai “Pemberontakan
Melawan Formalisme”. Pemberontakan, timbul karena tokoh
kelembagaanis mencoba untuk mengedepankan konsep
alternatif dari doktrin utama. Sedangkan melawan formalisme,
kemampuan yang bermaksud untuk merefleksikan teori
ekonomi tidak hanya melalui model formal dan skema logika
yang kuat, tetapi juga pada kehidupan nyata (Nureev, 2017).
Pada akhir abad ke-19, peristiwa penyebaran organisasi
merajalela di seluruh sektor masyarakat. Sejak saat itu pula,
Old Institusionalism hadir dan mengambil arah kebijakan
tertentu yang mengacu pada Ekonomi Marxisme. Ekonomi
Marx ini bertolak belakang dengan karya para ekonom klasik
Inggris. Sehingga, Old Institusionalism mencoba untuk
menganalisis institusi dengan menyangkal dari teori ekonomi
klasik (Nureev, 2017). Teori kelembagaan “lama” yang
diperkenalkan secara konvensional oleh generasi John R.
Commons, sangat terikat pada kemampuan untuk bertahan
hidup dan kesatuan utuh institusi (Selznick, 2014).
Terdapat beberapa keterbatasan pada kelembagaan
lama, seperti yang tercatat oleh Thorstain B. Veblen sebagai
god father ekonomi kelembagaan. Veblen dan pengikutnya
memandang adanya masalah pengetahuan dan ketidakpastian,
dimana dalam hal ini ialah tidak melibatkan probabilitas dan
tidak memainkan peran khusus yang menyebabkan para aktor
tidak memilih strategis yang tepat untuk hasil dalam setiap
kasus seperti dalam tulisan-tulisan Keynes, Hayek atau
Shackle. Selain itu, dualitas Veblen antara institusi dengan
teknologi mengandung banyak kesulitan dan risiko. Sebuah
lembaga akan dianggap menjadi kendala terhadap beberapa
kemajuan teknologi yang unggul dan tidak memenuhi syarat
(Hodgson, 1989).
Pada beberapa kuartal, kelembagaan menjadi sama arti
dengan pendekatan deskriptif yang naif, baik oleh praktisi
maupun kritikus. Setelah perang dunia II, ketika perkembangan
praktik yang saksama dan pemikiran secara matematis di
bidang ekonomi semakin meningkat, membuat kelembagaan
lama tertinggal (Hodgson, 1989). Kelembagaan materialistik
dan kolektif dari Veblen berbeda dengan kelembagaan regulatif
dari Commons. Dalam perkembangan kelembagaan lama ke
neo-kelembagaan modern atau new institusionalism telah
terjadi perubahan pardigma dari pemikiran Veblen menjadi
pemikiran Commons (Groenewegen et al., 1995).
Dimaggio dan Powell mendefinisikan kelembagaan
baru (new institusionalism) sebagai sesuatu yang kontras
dengan kelembagaan lama (old institusionalism) dalam
organisasi. Bagi mereka, kelembagaan baru terdiri dari tiga
rotasi (1) dari tindakan rasional dan utilitarianisme atau
memaksimalkan penggunaan (2) menuju emergentisme sosial
(kemunculan akan sistem hubungan kompleks dari interaksi
yang relatif sederhana) dan (3) menuju penjelasan kognitif
dan/atau budaya, artinya perilaku spesifik individu dalam
institusi bukan sebab intimidasi dan sebuah kewajiban (duty),
melainkan pemahaman individu tersebut tentang norma sosial
dan tatanan kelembagaan (Abbott et al., 1992).
Lantas, mengapa kita butuh sebuah label New Institusionalism
atau Kelembagaan Baru?
Budaya dan kemapuan kognisi individu sangat penting
untuk memahami realitas kehidupan sosial namun kita juga
tidak dapat mengabaikan konsep struktur sosial. Perlu kita
ketahui, efisiensi bukanlah segalanya, akan tetapi bukan berarti
tidak ada. Karena itu, para tokoh kelembagaan baru meminta
seseorang untuk mengambil sudut pandang tertentu dalam
memahami kehiupan dunia sosial, lalu mengingatkan orang
(melalui kritik yang sopan) bahwa fakta yang ada menunjukkan
kita tidak dapat terlalu intens mengambil pandangan tertentu
secara kuat jika kita menginginkan sebuah teori hanya dengan
kekuatan empiris umum (Abbott et al., 1992).
Kelembagaab “baru” bukan berarti hal baru dan harus
baru seperti yang mungkin kita pikirkan. Kata “baru” seperti
menyiratkan adanya ekonomi kelembagaan “lama”. Ini benar,
namun menjadi keliru jika berpikir bahwa yang baru berevolusi
dari yang lama. New Institutionalism memutar balik
pendekatan para old institutionalist. Kelembagaan ini adalah
salah satu arus pemikiran kelompok ilmuwan muda yang telah
melangkah secara signifikan untuk memasarkan konsep teortis,
gagasan, dan alat analisis. Perkembangan kelembagaan baru
merujuk kepada berbagai disiplin ilmu yang berbeda (Barnes,
2017).
Perihal tersebut dirangkum oleh pemikiran kelompok
yang berbeda dan digolongkan dalam jenis kelembagaan baru.
Contoh, Peter A. Hall dan Rosemary C.R. Taylor yang
mengidentifikasi ada 4 (empat) wujud kelembagaan baru,
yaitu: historis, sosiologis, pilihan rasional, dan kelembagaan
baru dalam ekonomi. Sementara itu, B. Guy Peters melakukan
pengembangan menjadi 7 (tujuh) jenis, yaitu: pilihan rasional,
normatif, sosiologis, empiris, historis, kepentingan lembaga
perwakilan dan institusi internasional. Mark Blyth, seorang
ilmuwan politik berfokus kepada 2 (dua) pendekatan
metodelogi tradisional yaitu: historis dan organisasi.
Sedangkan, Proffesor Vivien Lowndes mengacu atas jenis
historis dan empiris internasional yang memeriksa bagian dari
pilihan rasional dan pendekatan normatif (Marsh et al., 2004).
Perkembangan teori kelembagaan telah mendefinisikan
“lembaga” secara berbeda, masing-masing memiliki pandangan
teoritis sendiri tentang hubungan antara lembaga dan perilaku,
pemahaman konsep struktur lembaga serta teori perubahan
kelembagaan. Dasar pemikiran dari new institusionalism
bahwa ”institusi penting” dalam arah sosial dan politik,
menjadi teori yang cermat untuk memahami bagaimana mereka
penting, dan bagaimana mereka mampu berevolusi seiring
berjalannya waktu dan mengikuti perubahan lingkungan
(Sorensen, 2018).
Untuk memahami penjelasan atas perubahan paradigma
old institusionalism dan new institusionalism, berikut analogi
terkait old institusionalism (T. Veblen, J. Commons, serta J.C
Galbraith) dan new institusionalism (R.H Coase, Douglass C.
North dan J. Buchanan) :
Kelembagaan
Indikasi Kelembagaan Baru
Lama
Dari hukum dan Dari ekonomi hingga
Perubahan politik hingga politik dan hukum
ekonomi
Neoklasik ekonomi
Humaniora (hukum, (teori
Metodologi ilmu politik, permainan /game
sosiologi, dll.) theory dalam
ekonomi mikro)
Metode Induktif Deduktif
Titik fokus Individu yang
Tindakan kolektif
perhatian mandiri
Individualisme
Asumsi Holisme
metodologis
Sumber: (Salamova, 2021)
Kelembagaan lama dan baru memiliki sesuatu untuk
ditawarkan. Vellam (2012) berpendapat bahwa Kelembagaan
lama berfokus pada sebuah identitas organisasi yang diperoleh
dari aturan dan rutinitas. Asumsi kelembagaan baru bahwa
organisasi terbentuk sebagian besar dari faktor eksternal.
Faktor-faktor tersebut lebih berpengaruh daripada tujuan
memaksimalkan keuntungan dan mengakibatkan organisasi
bekerja di lingkungan yang sama atau menjadi serupa
(isomorfik) satu sama lain.
Kelembagaan dan Perubahan organisasi

Parsons (1956) mengemukakan bahwa sebagai komponen dari


sosial masyarakat, organisasi perlu menunjukkan dukungan
dasar dari ruang lingkup gagasan yang lebih luas. Dalam hal
ini, Talcott Parsons membedakan 3 (tiga) tingkat organisasi
yang luas, masing-masing tingkatan memiliki fungsi yang
berbeda, yaitu teknis (kegiatan produksi), manajerial
(koordinasi dan kontrol), dan kelembagaan (mengelola
hubungan eksternal). Dari 3 tingkatan, Parsons menunjukkan
tingkat kelembagaan sangat penting untuk mengartikulasikan
hubungan antara tujuan organisasi yang dianut dan fungsi
masyarakat yang lebih luas, sehingga memberikan legitimasi
umum yang akan menjadi tema dalam kelembagaan organisasi.
Meyer & Rowan, BrianAcland (1977) menggambarkan
kelembagaan sebagai proses sosial, kewajiban, serta tindakan
untuk mengambil keputusan seperti aturan dalam pemikiran
dan perilaku sosial. Dari perspektif mereka, proses ini didorong
oleh kekuatan faktor eksternal seperti persyaratan fungsional
atau rasionalitas organisasi internal. Organisasi menyerap
kebijakan dan struktur untuk memberi isyarat kepada
lingkungan sekitar bahwa organisasi tersebut sah atau
legitimasi dan berfungsi sebagai sumber simbolik bagi
organisasi.
Legitimasi merupakan modal penting bagi organisasi,
terutama pada lingkungan organisasi yang diatur dengan kuat.
Struktur organisasi tidak hanya terkait dengan fungsionalitas
teknis sistem, tetapi juga berasal dari tekanan faktor eksternal
yang dianggap sah, yaitu sejauh mana rangkaian budaya yang
kuat mampu untuk memberikan penjelasan tentang eksistensi,
fungsi, dan yurisdiksi, dan menyangkal atau menolak alternatif.
Legitimasi organisasi menjadikan aktivitas organisasi konsisten
dengan struktur dan aturan organisasi. Legitimasi lahir dari
aturan sosial, norma, serta hukum (Scott, 1983).
Konsep dan praktik dari organisasi dapat dilembagakan
melalui tindakan kebiasaan. Tindakan yang dilakukan berulang
bisa saja terjadi secara simultan dan parsial meskipun terdapat
pengaturan yang berbeda, proses-proses tersebut ialah inovasi,
pembiasaan, objektifikasi, dan sedimentasi. Inovasi menjadi
tindakan paling baik untuk dipahami karena kontras dengan
kelembagaan, misalnya individu berusaha memecahkan
masalah organisasi diluar kebiasaan. Pembiasaan juga penting
sebelum melakukan sesuatu. Struktur organisasi yang sudah
terbiasa dan objektif dapat disebut dengan “semi-
dilembagakan”, sedangkan institusionalisasi dikatakan penuh
apabila terdapat kontinuitas sejarah yakni berksinambungan
atau sedimentasi (Tolbert & Zucker, 2012).
Organisasi yang membentuk suatu bidang serupa secara
struktural dan simbolis dapat berbagi motivasi yang sama
untuk mendapatkan legitimasi. Organisasi yang kuat biasanya
menjadi lebih mirip dan mengacu sebagai isomorphism.
Persaingan saja tidak dapat menjelaskan isomorfisme tetapi
tekanan koersif, mimetik, dan normatif mampu mengendalikan
kelembagaan. Tekanan koersif adalah tekanan yang melibatkan
pengaruh organisasi menjadi lebih kuat. Tekanan meniru dapat
membuat suatu organisasi meniru organisasi lain yang
dianggap berhasil. Sedangkan, tekanan normatif berkaitan
dengan praktik yang dibagikan di seluruh organisasi melalui
ikatan organisasi secara profesional (Scott, 1983).
Proses elemen difusi disamakan dengan “kelembagaan”
artinya digunakan untuk meningkatkan daya dukung elemen
sebagai komponen yang tepat dari organisasi dan sudah
dikelola dengan baik. Sehingga, proses difusi dan kelembagaan
memiliki sebuah teori yang kuat, yaitu semakin banyak
organisasi yang mengadopsi elemen struktural tertentu, maka
organisasi tersebut akan memperoleh penerimaan sosial yang
lebih besar (menjadi semakin dilembagakan). Pada akhirnya,
hal ini menyebabkan peningkatan tekanan kesesuaian
(isomorphism) pada organisasi yang segera melakukan adopsi
dan mempercepat proses difusi (Reform et al., 2013).
Institutional Entrepreneurship

Kewirausahaan kelembagaan (Institutional Entrepreneurship)


menyerang inti dari masalah klasik dalam studi organisasi yaitu
tentang agensi yang tertanam. Bagaimana para aktor dapat
mengubah institusi jika institusi tersebut membatasi tindakan
dan rasionalitas mereka?. Seo (2002) mengajukan “Kerangka
Dialektika” yang mengidentifikasi kontradiksi kelembagaan
dan praktik manusia sebagai mekanisme perubahan
kelembagaan. Beckert (1999) mengemukakan bahwa seorang
wirausahawan sepatutnya sanggup untuk “mengambil posisi
reflektif terhadap praktik yang dilembagakan”.
Wirausahawan bisa berupa individu, organisasi, profesi,
ataupun jaringan (Hardy, C., & Maguire, 2008). Seperti Wijen
& Ansari (2007) yang melakukan penyelidikan “kewirausahaan
kelembagaan kolektif”. Mereka mempelajari aktor tingkat pada
negara bagian yang mengembangkan kebijakan iklim global.
Meskipun para wirausahawan tidak memiliki banyak
kekuasaan, mereka dapat memegang posisi yang memberikan
akses kepada bidang kelembagaan yang lain. Aktor-aktor
tersebut harus melepaskan praktik-praktik yang ada untuk
memperkenalkan dan memastikanbahwa praktik-yang baru
akan diadopsi secara luas dan diterima begitu saja.
Battilana et al., (2009) menyatakan bahwa
wirausahawan membuat sebuah argumen dengan kalimat majas
retoris yang menyelaraskan logika kelembagaan (institusional
logic) dengan “potensi nilai dan kepentingan sekutu”. Aktor
kewirausahaan ada yang bersifat refleksif tentang logika dan
ada juga yang membangun strategi. Misalnya, teks pola
berulang, teks seperti itu dapat mendukung atapun menolak
logika institusional saat ini. Seorang wirausahawan akan
menyusun ulang masalah saat ini dan menawarkan ide-ide
alternatif untuk mempengaruhi bagaimana aktor-aktor yang
lain mampu memahami keadaan tatanan kelembagaan.
Battilana et al., (2009) mengembangkan sebuah model
kewirausahaan institusional yang ditujukan untuk melegitimasi
bentuk-bentuk organisasi baru yang sedang berkembang.
Secara signifikan, kewirausahaan institusional bisa
membangun afiliasi dan mampu terlibat dalam tindakan
kolektif. Secara empiris, mereka menunjukkan bagaimana para
pendukung organisasi konsultasi manajemen awal yang
berafiliasi dengan universitas bergengsi, komunitas ilmiah, dan
elit sosial untuk mendapatkan legitimasi. Singkatnya,
kewirausahaan institusional ini memiliki kaitan erat dengan
proyek atau kegiatan perubahan kelembagaan yang didorong
oleh pelaku lembaga pelaksana dalam mengejar kepentingan
mereka.
Peran Institusional Theory dalam Adopsi IFRS

Prinsip tata kelola perusahaan yang baik tentunya


membutuhkan informasi keuangan secara akurat dan andal.
Setiap negara telah mengembangkan dan mengikuti standar
keuangan di masing-masing negara. Namun, ketika pasar
keuangan berkonsolidasi menjadi pasar dalam skala global,
terdapat kebutuhan untuk mewujudkan sebuah standar
keuangan yang sama. Oleh karena itu, terjadi harmonisasi
dalam pembentukan Standar Pelaporan Keuangan Internasional
(IFRS) di seluruh perekonomian global (Judge et al., 2010).
Perlu diketahui, standar yang diharmonisasi tidak selalu
mengarah pada praktik akuntansi yang selaras dan sebanding
dengan pelaporan keuangan
Perkembangan bisnis multinasional yang semakin
pesat, mengharuskan negara untuk mengembangkan standar
akuntansi yang berlaku dengan tujuan mempercepat proses
komunikasi dan informasi keuangan antar negara. Standar
akuntansi yang dikembangkan oleh Dewan Standar Akuntansi
Internasional (IASB) ialah Standar Pelaporan Keuangan
Internasional atau International Financial Reporting Standards
(IFRS). Dengan adanya IFRS sebagai standar yang berlaku
sama, diharapkan dapat mengurangi hambatan investasi dan
perdagangan secara internasional (Ramdani, 2017).
Pada umumnya, standar dan praktik akuntansi berbeda
dari satu yurisdiksi dengan yurisdiksi yang lain karena
beberapa faktor. Faktor yang paling berpengaruh ialah budaya,
hukum, penyedia modal, pajak, inflasi, regulasi, ekologi,
kelembagaan, politik, ekonomi dan sistem pendidikan. Namun,
pengaruh peningkatan dukungan IFRS dalam skala global,
menimbulkan banyak perdebatan (Pricope, 2016). Beberapa
ahli berpendapat bahwa negara memutuskan untuk melakukan
transisi ke IFRS karena besar manfaat ekonomi yang dirasakan
(Cai & Wong, 2010). Ada pandangan lain yang menyatakan
bahwa yurisdiksi mengadopsi seperangkat aturan karena
mencari penerimaan dan legitimasi di lingkungan internasional
(Judge et al., 2010).
Sampai pada saat ini, setidaknya terdapat 166 yurisdiksi
telah mengadopsi Standar Pelaporan Keuangan Internasional
(IFRS) untuk memudahkan proses rekonsiliasi bisnis di semua
negara. Beberapa negara yang telah mengadopsi IFRS, sering
melakukan perubahan yang signifikan dalam sistem pelaporan
keuangan. Proses adopsi kelembagaan sistem akuntansi baru
seperti IFRS, mampu menciptakan ruang lingkup kajian yang
luas. Beberapa penelitian menggunakan Teori Kelembagaan
untuk menyelidiki bentuk dinamika kelembagaan yang terlibat
dalam penerapan IFRS dan bermanfaat bagi para pemangku
kepentingan (Guerreiro et al., 2021).
Teori kelembagaan telah digunakan untuk menjelaskan
konvergensi IFRS di beberapa negara. Fenomena global seperti
IFRS dikembangkan secara profesional serta perbaikan teknis
oleh berbagai pemangku kepentingan yaitu anggota selain dari
profesi akuntansi serta perwakilan negara dan industri untuk
berbagi ide memperoleh kerangka kerja yang berguna. IFRS
sering dianggap sebagai trend yang telah mempengaruhi
hampir seluruh negara bagian di dunia, hingga akhirnya
menjadi standar bertaraf global. Dalam hal ini, Teori
kelembagaan berguna untuk memahami bagaimana standar
global tersebut mempengaruhi organisasi melalui lembaga
negara yang melakukan penerimaan standar akuntansi dalam
organisasi individu.
Proses adopsi IFRS dapat terjadi dalam tiga tahapan.
Awalnya terjadi di tingkat global, kemudian di tingkat
nasional, dan terakhir ialah tingkat lapangan organisasi. Bidang
organisasi pada negara tertentu mengadopsi praktik
kelembagaan lokal untuk mendapatkan legitimasi. Prinsip-
prinsip akuntansi akan dilegitimasi ketika badan-badan
internasional yang kuat seperti Bank Dunia, Dana Moneter
Internasional (IMF), dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan
Pembangunan (OECD) mendukung penerapan standar
akuntansi ini. Teori Kelembagaan membantu untuk memahami
bagaimana berbagai negara dan organisasi individu
menanggapi tekanan global ini (Khlif et al., 2020).
Bersamaan dengan keadaan tersebut, teori kelembagaan
juga menjelaskan bagaimana mekanisme suatu organisasi
dalam menjalankan aktivitas yang mengikuti nilai-nilai sosial
dan lingkungan budaya sekitar. Sebuah fenomena
menunjukkan bahwa badan regulator telah meyakini dan
memberi indoktrinasi akan nilai-nilai sosial budaya yang
disebut dengan legitimasi (Ikbal et al., 2020). Secara ringkas,
teori kelembagaan ini menekankan legitimasi dan acuan
prosedur organisasi yang dilembagakan untuk diakui dan
dipandang sah oleh organisasi yang telah melakukan adopsi.
Legitimasi ini bisa dianggap sebagai kebiasaan atau rutinitas
(Riahi & Khoufi, 2019).
Faktor tekanan kelembagaan memainkan peran penting
dalam proses pengambilan keputusan adopsi IFRS. Institusi
mempengaruhi negara dan organisasi dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi. Peristiwa tersebut dapat diterima oleh
akal bahwa aktor kelembagaan bisa mempengaruhi sebagian
besar perilaku sosial. Sehingga, negara-negara tidak hanya
bersaing memperebutkan sumber daya dan meningkatkan
kinerja ekonomi mereka, tetapi juga untuk menjadi sah dan
diterima secara sosial (Pricope, 2016). Teori kelembagaan
mengakui beragam tekanan isomorfik yang menggeser negara
menuju IFRS untuk mendapatkan sebuah legitimasi (Alon &
Dwyer, 2014).
DiMaggio & Powell (1983) mengidentifikasi tiga jenis
tekanan isomorfik kelembagaan yang terdiri atas tekanan
koersif, tekanan mimetik dan tekanan normatif. DiMaggio dan
Powell menyatakan bahwa tekanan koersif paling kuat terletak
pada badan-badan yang menuntut akan perubahan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Vellam (2012:121),
isomorfisme koersif muncul ketika lembaga eksternal
memaksakan otoritas mereka untuk memperkenalkan
perubahan entitas melalui kontrol langsung atau tidak
langsung.
Pricope (2016) menambahkan bahwa tekanan koersif
berasal dari masalah legitimasi dan pengaruh politik. Jenis
tekanan ini muncul ketika lembaga meminta negara untuk
mengadopsi aturan dan standar. Negara berkembang
bergantung atas badan-badan internasional seperti Bank Dunia
(WB), Dana Moneter Internasional (IMF), Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Kerja Sama dan
Pembangunan Ekonomi (OECD). Oleh sebab itu, negara-
negara berkembang penting mengangkat standar dan praktik
IFRS untuk memenuhi kriteria yang diperlukan dalam
menerima pendanaan. Hasil serupa dijelaskan oleh Tahat et al.
(2018) dalam kasus Yordania, bahwa pengaruh tekanan yang
diberikan oleh peraturan badan donor internasional utama
dianggap berasal dari tekanan koersif yang signifikan.
Jenis tekanan isomorfik kedua ialah tekanan mimetik
yang mengacu pada kecenderungan untuk meniru organisasi
lain yang dipandang berhasil. Vellam (2012:121)
mengemukakan bahwa isomorfisme mimetik ini melibatkan
peniruan perilaku terhadap entitas lain yang mungkin dianggap
oleh organisasi memiliki legitimasi, keahlian, atau pengalaman
yang lebih baik dari prosedur yang dipublikasikan. Negara
berkembang dapat mengadopsi norma dan standar ekonomi
yang lebih maju untuk mencapai legitimasi di kancah
internasional. Tindakan meniru antar aktor di lingkungan
internasional juga bisa muncul sebagai alasan persaingan
(Judge et al., 2010).
Seperti yang telah dicatat oleh Sahlin, K., & Wedlin
(2008) bahwa “Ide atau pemikiran tidak menyebar dalam ruang
hampa, namun secara aktif dapat ditransfer dan diterjemahkan
kedalam sebuah kerangka ide yang lain seperti aktor, tradisi
dan institusi”. Artinya, peran aktor dan kepentingan juga
penting untuk mengembangkan dan menerjemahkan arti dari
kegiatan yang ditiru. Perusahaan domestik cenderung meniru
organisasi multinasional yang sukses dan sesuai dengan IFRS
(El-Gazzar et al., 1999). Tekanan meniru bisa berasal dari
keinginan untuk menarik perusahaan multinasional, menarik
investasi asing langsung melalui pasar ekuitas, dan keinginan
menarik mitra asing untuk entitas swasta lokal (Hassan et al.,
2014).
Jenis tekanan terakhir yang diidentifikasi oleh
DiMaggio & Powell (1983) adalah tekanan normatif yang
berkaitan dengan sikap profesionalisme. Isomorfisime normatif
ini bisa membuat organisasi menjadi lebih homogen melalui
tindakan profesi, seperti melakukan tindakan pelatihan khusus
secara kompeten dan terorganisir melalui badan-badan
profesional. Pencapaian pendidikan suatu negara menjadi
prediksi dari tekanan normatif yang ditimbulkan melalui
profesionalisasi. Tekanan normatif ini mengacu pada nilai-nilai
kolektif yang menghasilkan kesesuaian pemikiran dan
perbuatan dalam lingkungan kelembagaan (Judge et al., 2010).
Tekanan normatif muncul dari norma dan nilai profesi
bisa mempengaruhi sejauh mana suatu negara akan
mengadopsi praktik terbaik internasional. Seperti halnya terjadi
pada profesi akuntan Irak yang kemungkinan menghadapi
tekanan normatif dari anggota Asian Oceanian Standard
Setters Group (AOSSG) untuk sepenuhnya bergabung dengan
IFRS dan menyelaraskan dengan anggota lain. Tekanan
normatif dari profesi akuntansi, melalui keanggotaan Federasi
Akuntan Internasional (IFAC) dan AOSSG, kemungkinan akan
mendorong profesi akuntan di Irak untuk mencari bantuan
program pelatihan akuntansi, dan merevitalisasi pendidikan
akuntansi dengan memilih akuntansi IFRS dalam pelajaran
universitas (Hassan et al., 2014).
RANGKUMAN

Teori kelembagaan melewati jalur sejarah perkembangan yang


sulit, melalui beberapa tahapan yang masing-masing disertai
dengan pembaruan metode dan landasan teoritis. Kelembagaan
lama dan baru memiliki sesuatu yang baik untuk ditawarkan.
Vellam (2012) mengemukakan bahwa kelembagaan lama
berfokus pada identitas organisasi yang diperoleh dari rutinitas.
Sedangkan kelembagaan baru mengakibatkan organisasi
bekerja di lingkungan yang serupa (isomorfik). Organisasi
yang serupa secara struktural dan simbolis dapat berbagi
motivasi yang sama untuk mendapatkan legitimasi. Tiga
tekanan isomorfik terdiri dari tekanan koersif , tekanan meniru
dan tekanan normatif.
Kewirausahaan institusional memiliki kaitan erat
dengan proyek perubahan kelembagaan yang didorong oleh
pelaku lembaga dalam mengejar kepentingan organisasi.
Penerapan teori kelembagaan untuk mengidentifikasi tentang
adopsi dan implementasi IFRS oleh negara dan organisasi
memiliki potensi yang kuat. Karena teori kelembagaan mampu
meningkatkan kompleksitas pemahaman atas proses perubahan
kelembagaan terkait dengan konvergensi IFRS dan faktor-
faktor kunci yang mempengaruhi keberhasilan maupun
kesulitan organisasi dalam memenuhi standar dan praktik
adopsi IFRS.
Soal Latihan
1. Jelaskan proses paradigma dari old institusionalism dan
new institusionalism?
2. Bagaimana suatu organisasi memperoleh legitimasi?
3. Jelaskan 3 (tiga) jenis tekanan teori kelembagaan
sebagai bentuk pertahanan organisasi?
4. Mengapa menggunakan teori kelembagaan
(institusional theory) sebagai bentuk pemahaman dalam
adopsi IFRS?
DAFTAR PUSTAKA

Abbott, A., Powell, W. W., & DiMaggio, P. (1992). An Old


Institutionalist Reads the New InstitutionalismThe New
Institutionalism in Organizational Analysis.
Contemporary Sociology, 21(6), 754.
https://doi.org/10.2307/2075613
Abrutyn, S., & Turner, J. H. (2011). The Old Institutionalism
meets the New Institutionalism. Sociological
Perspectives, 54(3), 283–306.
https://doi.org/10.1525/sop.2011.54.3.283
Alon, A., & Dwyer, P. D. (2014). Early adoption of IFRS as a
strategic response to transnational and local influences.
International Journal of Accounting, 49(3), 348–370.
https://doi.org/10.1016/j.intacc.2014.07.003
Barnes, T. O. M. (2017). New Institutionalism. Weber 1978.
https://doi.org/10.1002/9781118430873.est0262
Battilana, J., Leca, B., & Boxenbaum, E. (2009). How Actors
Change Institutions: Towards a Theory of Institutional
Entrepreneurship. The Academy of Management Annals,
3(1), 65–107.
https://doi.org/10.1080/19416520903053598
Beckert, J. (1999). Agency, Entrepeneurs & Institutional
Change. Organization Studies, 20(5), 777–799.
http://hjb.sagepub.com.proxy.lib.umich.edu/content/9/2/1
83.full.pdf+html
Cai, F., & Wong, H. (2010). The Effect Of IFRS Adoption On
Global Market Integration. International Business &
Economics Research Journal (IBER), 9(10), 25–34.
https://doi.org/10.19030/iber.v9i10.636
Chapman, C. S., Cooper, D. J., & Miller, P. (2009).
Accounting, organizations, and institutions: Essays in
honour of Anthony Hopwood. OUP Oxford.
Della Porta, D., & Keating, M. (2008). Approaches and
methodologies in the social sciences: A pluralist
perspective. Cambridge University Press.
DiMaggio, P. J., & Powell, W. W. (1983). The Iron Cage
Revisited: Institutional Isomorphism in Organizational
Fields. American Sociological Review, 48(2), 147–160.
http://www.jstor.org/stable/2095101 .
Diogo, S., & Carvalho, T. (2015). Institutionalism and
Organizational Change. September.
https://doi.org/10.1007/978-1-137-45617-5
El-Gazzar, S. M., Finn, P. M., & Jacob, R. (1999). An
empirical investigation of multinational firms’ compliance
with international accounting standards. International
Journal of Accounting, 34(2), 239–248.
https://doi.org/10.1016/s0020-7063(99)00005-9
Greenwood, R., Oliver, C., Sahlin, K., & Suddaby, R. (2014).
Institutional Theory in Organization Studies. Institutional
Theory in Organization Studies, May, 1–23.
https://doi.org/10.4135/9781446262023
Groenewegen, J., Kerstholt, F., & Nagelkerke, A. (1995). On
Integrating New and Old Institutionalism: Douglass North
Building Bridges. Journal of Economic Issues, 29(2),
467–475.
https://doi.org/10.1080/00213624.1995.11505684
Guerreiro, M. S., Lima Rodrigues, L., & Craig, R. (2021).
Institutional theory and IFRS: an agenda for future
research. Revista Espanola de Financiacion y
Contabilidad, 50(1), 65–88.
https://doi.org/10.1080/02102412.2020.1712877
Hardy, C., & Maguire, S. (2008). T. S. L. (2008). Institutional
Entrepreneurship. In The SAGE handbook of
organizational institutionalism (pp. 198–217).
https://doi.org/https://www.doi.org/10.4135/97818492003
87.n8
Hassan, E. A., Rankin, M., & Lu, W. (2014). The development
of accounting regulation in iraq and the IFRS adoption
decision: An institutional perspective. International
Journal of Accounting, 49(3), 371–390.
https://doi.org/10.1016/j.intacc.2014.07.001
Hodgson, G. M. (1989). Institutional economic theory: The old
versus the new. Review of Political Economy, 1(3), 249–
269. https://doi.org/10.1080/09538258900000021
Ikbal, M., Paminto, A., Darma, D. C., Ulfah, Y., & Ilmi, Z.
(2020). Business and accounting standards that only
support the capitalist interest : Critical thinking with
institutional theory Journal of Public Value and Business
and accounting standards that only support the capitalist
interest : Critical thinking with inst. December.
https://doi.org/10.31580/jpvai.v3i4.1478
Judge, W., Li, S., & Pinsker, R. (2010). National adoption of
international accounting standards: An institutional
perspective. Corporate Governance: An International
Review, 18(3), 161–174. https://doi.org/10.1111/j.1467-
8683.2010.00798.x
Khlif, H., Ahmed, K., & Alam, M. (2020). Accounting
Regulations and IFRS Adoption in Francophone North
African Countries : The Experience of Algeria , Morocco ,
and Tunisia. 55(1).
https://doi.org/10.1142/S1094406020500043
March, J. G., & Olsen, J. P. (1983). The New Institutionalism:
Organizational Factors in Political Life. American
Political Science Review, 78(3), 734–749.
https://doi.org/10.2307/1961840
Marriott, L. (2012). Historical institutionalism. Taxation: A
Fieldwork Research Handbook, 97–106.
https://doi.org/10.1093/oso/9780198850014.003.0008
Marsh, D., Batters, E., & Savigny, H. (2004). Historical
institutionalism: beyond Pierson and Skocpol. 1–13.
http://eprints.anu.edu.au/archive/00002572/01/davemarsh.
pdf
Meyer, J. W., & Rowan, BrianAcland. (1977). Made Helpful
Suggestions. American Journal of Sociology, 340(2), 340–
363.
https://security.ufpb.br/gets/contents/documentos/meyer_r
owan_teoria_institucional.pdf
Nureev, R. (2017). The evolution o f institutional theory and its
structure. The Institutional Economics of Russia’s
Transformation, 3–20.
https://doi.org/10.4324/9781351146449-12
Parsons, T. (1956). Suggestions for a Sociological Approach to
the Theory of Organizations.II. Administrative Science
Quarterly, 1(2), 225. https://doi.org/10.2307/2390988
Pricope, C. F. (2016). The role of institutional pressures in
developing countries . Implications for IFRS. XXIII(2),
27–40.
Ramdani, R. F. (2017). Analisis Bentuk Adopsi International
Financial Reporting Standard (IFRS) Dalam Konteks
Institusional. Journal of Accounting & Finance, 13(2),
108–127.
Reform, C. S., Tolbert, P. S., & Zucker, L. G. (2013).
Institutional Sources of in the Formal Change Structure of
Organizations: The Diffusion of Civil Service Reform.
Administrative Science Quarterly, 28(1), 22–39.
Riahi, O., & Khoufi, W. (2019). Understanding IFRS adoption:
Consideration of the institutional dimension through a
behavioral context. Journal of Applied Accounting
Research, 20(4), 543–570. https://doi.org/10.1108/JAAR-
02-2017-0034
Sahlin, K., & Wedlin, L. (2008). Circulating ideas: imitation,
translation and editing. In R. Greenwood C. Oliver, & R.
Suddaby. In The SAGE handbook of organizational
institutionalism.
https://doi.org/https://www.doi.org/10.4135/97818492003
87.n9
Salamova, A. (2021). Basic theories of modern
institutionalism. SHS Web of Conferences, 94, 03001.
https://doi.org/10.1051/shsconf/20219403001
Scott, J. W. M. and W. R. (1983). Organizational
environments: Ritual and rationality,. In Beverly Hills,
CA: Sage.
Selznick, P. (2014). " Old " Institutionalism and " New ".
41(2), 270–277.
Seo, M.-G. W. E. D. C. (2002). Institutional Contradictions ,
and Institutional Change : a Dialectical. Academy of
Management Review, 27(2), 222–247.
Sorensen, A. (2018). New Institutionalism and Planning
Theory. The Routledge Handbook of Planning Theory, Di,
250–263. https://doi.org/10.4324/9781315696072-20
Tahat, Y., Omran, M. A., & AbuGhazaleh, N. M. (2018).
Factors affecting the development of accounting practices
in Jordan: an institutional perspective. Asian Review of
Accounting, 26(4), 464–486.
https://doi.org/10.1108/ARA-01-2017-0010
Tolbert, P. S., & Zucker, L. G. (2012). The Institutionalization
of Institutional Theory. Studying Organization: Theory &
Method, 169–184.
https://doi.org/10.4135/9781446218556.n6
Vellam, I. (2012). The Adoption of IFRS in Poland : An
Institutional Approach Iwona Vellam. August.
Wijen, F., & Ansari, S. (2007). Overcoming Inaction through
Collective Institutional Entrepreneurship : Insights from
Regime Theory.
https://doi.org/10.1177/0170840607078115

Anda mungkin juga menyukai