Anda di halaman 1dari 7

Apakah Sola Scriptura/ “Kitab Suci saja”

cukup?
Pendahuluan

Dalam diskusi antara umat Katolik dan non- Katolik perihal Kitab Suci, sering timbul perkataan
demikian, “Mari setuju dulu bahwa Kitab Suci adalah pegangan satu-satunya dalam iman kita”.
Seharusnya, jika kita mendengar pernyataan sedemikian, kita harus menjawab, “Tidak”. Sebab
Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Pandangan yang mengutamakan “hanya Kitab
Suci saja” (Sola Scriptura) atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, adalah
pandangan yang menolak Tradisi Suci dan otoritas Gereja, dan hal ini tidak sesuai dengan
pengajaran Kristus dan para rasul.

Apa itu Sola Scriptura?

Sola Scriptura adalah doktrin Protestan yang mengatakan bahwa Kitab Suci adalah “sumber
otoritas yang terutama dan absolut, keputusan akhir dalam menentukan, untuk semua doktrin dan
praktek (iman dan moral)” dan bahwa “Kitab suci, tidak lebih dan tidak kurang, dan tidak ada
lagi yang lain- yang diperlukan untuk iman dan moral.”[1]

Apakah yang ajaran Gereja Katolik dalam hal ini?

Gereja Katolik mengajarkan bahwa Wahyu Ilahi tidak saja disampaikan kepada kita dengan cara
tertulis sebagai pembicaraan Allah (speech of God) dalam Kitab Suci, tetapi juga dalam bentuk
Sabda Allah yang disampaikan secara lisan dari Kristus dan Roh Kudus kepada para rasul.((lih.
Katekismus Gereja Katolik no. 81, Dei Verbum 9))Pengajaran yang bersumber dari ajaran lisan
ini disebut sebagai Tradisi Suci, kemudian juga dituliskan dan diturunkan kepada para penerus
Rasul. Maka karena sumbernya sama, maka keduanya berhubungan erat sekali, terpadu, tidak
mungkin bertentangan, karena mengalir dari sumber yang sama dan mengarah ke tujuan yang
sama yaitu Tuhan sendiri.[2].

Selanjutnya dikatakan dalam Katekismus Gereja Katolik demikian:

KGK 82    Dengan demikian maka Gereja yang dipercayakan untuk meneruskan dan
menjelaskan wahyu, “menimba kepastiannya tentang segala sesuatu yang diwahyukan bukan
hanya melalui Kitab Suci. Maka dari itu keduanya [baik Tradisi maupun Kitab Suci] harus
diterima dan dihormati dengan cita rasa kesalehan dan hormat yang sama.” (Konsili
Vatikan II, Dei Verbum 9).

Dengan demikian, kita ketahui Gereja Katolik tidak mengatakan bahwa Kitab Suci “lebih tinggi/
lebih penting” dari Tradisi Suci, melainkan menekankan kesatuan antara keduanya, yaitu Kitab
Suci dan Tradisi Suci pada tingkat yang sama, karena keduanya berasal dari Tuhan dan
mengarahkan umat beriman kembali kepada Tuhan. Gereja Katolik tidak “merendahkan” Kitab
Suci dalam hal ini, melainkan hanya menyampaikan bahwa Kitab Suci bukan satu-satunya
pedoman iman karena memang Tuhan menyampaikan Sabda-Nya tidak hanya melalui Kitab
Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci

Jika “Sola Scriptura” adalah doktrin yang benar, tentunya Kitab Suci harus secara eksplisit
mengatakannya, namun tidak demikian yang kita baca dari Kitab Suci:

1. Kitab Suci memberitahukan kepada kita pentingnya pengajaran lisan para rasul.
Jemaat mula-mula “bertekun dalam pengajaran rasul-rasul… ” (Kis 2:42, lih. 2 Tim 1:14), dan
ini sudah terjadi sebelum kitab Perjanjian Baru ditulis, dan berabad- abad sebelum kanon
Perjanjian Baru ditetapkan.
Kitab Suci juga mengatakan bahwa pengajaran para rasul disampaikan secara lisan, “Apa yang
telah engkau dengar dari padaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang
yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain.” (2 Tim 2:2); dan bahwa
pengajaran para rasul tersebut disampaikan “baik secara lisan, maupun secara tertulis.” (2 Tes
2:15; lihat juga 1 Kor 11:2)

2. Kitab Suci mengatakan bahwa tidak semua ajaran Kristus terekam dalam Kitab Suci.
“Masih banyak hal-hal lain lagi yang diperbuat oleh Yesus, tetapi jikalau semuanya itu harus
dituliskan satu per satu, maka agaknya dunia ini tidak dapat memuat semua kitab yang harus
ditulis itu.” (Yoh 21:25)
Kitab Perjanjian Baru sendiri mengacu kepada Tradisi suci, yaitu pada saat mengutip perkataan
Yesus yang tidak terekam pada Injil, yaitu pada Kis 20:35.

3. Kitab Suci sendiri mengatakan bahwa Kitab Suci memerlukan pihak yang mempunyai
otoritas untuk menginterpretasikannya (lih. Kis 8:30-31; 2 Pet 1:20-21; 2 Pet 3:15-16). Rasul
Petrus mengatakan bahwa ada hal-hal di dalam Alkitab yang memang sulit untuk dicerna, dan
ketidakhati-hatian dalam penafsiran akan mendatangkan kesalahan yang fatal. Berapa banyak
kita mendengar dari agama lain, yang menggunakan Alkitab untuk menyanggah kebenaran iman
Kristen, seperti tentang ajaran Tritunggal Maha Kudus, ataupun bahwa Yesus adalah sungguh-
sungguh Tuhan.

4. Kristus memberikan otoritas kepada Gereja yang dimulai dari para rasul-Nya untuk
mengajar dalam nama-Nya (lih. Mat 16:13- 20; 18:18; Luk 10:16). Gereja akan bertahan sampai
pada akhir jaman, dan Kristus oleh kuasa Roh Kudus akan menjaganya dari kesesatan (lih. Mat
16:18; 28:19-20; Yoh 14:16). Karena itu, Kristus memberikan kuasa wewenang mengajar kepada
Magisterium Gereja yang terdiri dari para rasul dan para penerusnya. Magisterium/ wewenangan
mengajar ini hanya ada untuk melayani Sabda Allah, sehingga ia tidak berada di atas Kitab Suci
maupun Tradisi Suci, namun melayani keduanya.

5. Kitab Suci mengacu kepada Tradisi Suci untuk menyelesaikan masalah di dalam
jemaat, contohnya dalam hal sunat. Pada saat terjadinya krisis itu sekitar tahun 40-an, kitab PB
belum terbentuk, dan Kristus sendiri tidak pernah mengajarkan secara eksplisit tentang sunat ini.
Namun atas inspirasi Roh Kudus, atas kesaksian Rasul Petrus, maka Konsili Yerusalem
menetapkan bahwa sunat tidak lagi diperlukan bagi para pengikut Kristus (Kis 15). Konsili inilah
yang menginterpretasikan kembali Kitab Suci PL yang mengharuskan sunat (lih. Kej 17,
Kel12:48) dengan terang Roh Kudus dan penggenapannya oleh Kristus dalam PB, sehingga
ketentuan sunat tidak lagi diberlakukan. Di dalam Konsili itu, Magisterium Gereja: para rasul
dan penerusnya, dan pemimpin Gereja lainnya berkumpul untuk memeriksa Sabda Tuhan, yang
tertulis atau yang tidak, dan membuat suatu pengajaran apostolik sesuai dengan ajaran Kristus.

6. Maka di sini terlihat bahwa Gereja/ jemaat (bukan Kitab Suci saja) adalah “tiang
penopang dan dasar kebenaran.” (1 Tim 3:15) Kristus mendirikan Gereja, dan bukannya
menulis Kitab Suci, tentu juga ada maksudnya, bahwa Gereja-lah yang dipercaya oleh Kristus
untuk mengajar dan menafsirkan semua firman-Nya.

7. Kitab Suci tidak mengatakan bahwa Kitab Suci adalah satu-satunya sumber Sabda/
Firman Tuhan. Kristus itu sendiri adalah Firman Allah (lih. Yoh 1:1, 14) dan dalam 1 Tes 2:13
Rasul Paulus mengatakan bahwa ia telah menyampaikan pemberitaan Firman Allah (“when you
received the Word of God which you heard from us“- RSV) dan ini adalah Tradisi Suci.

Sola Scriptura tidak sesuai dengan sejarah Gereja

Selanjutnya, jangan lupa bahwa Tradisi Suci sudah ada lebih dahulu dari Kitab Suci, dan yang
melahirkan Kitab Suci adalah Tradisi Suci melalui Magisterium Gereja Katolik.

Jika kita mempelajari sejarah Gereja, kita akan mengetahui bahwa Tradisi Suci, yaitu pengajaran
iman Kristiani yang berasal dari pengajaran lisan Kristus dan para rasul itu sudah ada terlebih
dahulu daripada pengajaran yang tertulis. Silakan anda membaca bagaimana terbentuknya Kitab
Suci yang terbentuk pertama kali menurut kanon yang ditetapkan oleh Paus Damaskus pada
tahun 382, Konsili Hippo (393), Carthage (397) dan Chalcedon (451) seperti yang pernah ditulis
di artikel ini, silakan klik. Ini adalah bukti penerapan ayat 1 Tim 3:15. Jadi mengatakan bahwa
Kitab Suci saja “cukup” atau “hanya satu-satunya” sebagai pedoman iman, itu tidaklah benar,
sebab asal mula Kitab Suci itu sendiri melibatkan Tradisi Suci dan Magisterium Gereja.

Sola Scriptura membawa perpecahan Gereja

Sering kita melihat bahwa perpecahan gereja diakibatkan karena keinginan untuk
menafsirkan ayat-ayat Kitab Suci secara pribadi. Sebagai contoh Martin Luther, John Calvin
dan Ulrich Zwingli mempunyai banyak perbedaan pandangan dalam hal Ekaristi Kudus dalam
menginterpretasikan perikop Yoh 6, hal Pengakuan Dosa, dll. Pendapat manakah yang benar dari
para pendiri ini, yang masing-masing mendasarkan ajarannya hanya berdasarkan Alkitab? Belum
lagi dalam hal- hal lain seperti apakah Pembaptisan itu perlu atau hanya simbol saja, hal
Pembaptisan bayi, Pembaptisan dalam nama Allah Trinitas atau dalam nama Yesus saja, dan
seterusnya. Tiap-tiap kelompok yang bertentangan mengklaim bahwa Alkitab saja cukup jelas
untuk menentukannya, namun terjadi bermacam- macam interpretasi. Maka secara fakta harus
diakui bahwa Alkitab saja tidak cukup jelas mengajarkannya, dan diperlukan peran otoritas
Magisterium untuk menginterpretasikannya.

Hal ini mirip dengan yang terjadi di setiap negara, yang mempunyai konstitusi, namun juga
mempunyai kekuasaan yudikatif untuk menginterpretasikannya dengan benar. Jika setiap warga
dapat mengartikan sendiri konstitusi ini, tanpa adanya kuasa otoritas yang menjaga dan
melestarikannya, maka dapat terjadi kekacauan. Tuhan pastilah lebih bijaksana daripada para
bapa pendiri negara dalam hal ini. Ia tidak mungkin hanya meninggalkan dokumen tertulis
sebagai pedoman tanpa otoritas untuk menjaga dan menginterpretasikannya dengan benar.

Kalau memang “hanya Alkitab” saja cukup, dan dapat membawa persatuan Gereja, bersama-
sama kita perlu merenungkan, kenapa setelah revolusi Gereja oleh Martin Luther di abad
pertengahan, gereja menjadi terpecah belah sehingga sampai saat ini ada sekitar 28,000
denominasi? Seharusnya kalau memang kembali kepada kemurnian jemaat awal, katanya
hanya berdasarkan Alkitab, maka Gereja seharusnya bersatu dan bukannya tercerai
berai. Hal ini sungguh bertentangan dengan pesan Yesus terakhir yang menginginkan seluruh
dunia melihat ada kesatuan di dalam tubuh Kristus, sehingga dunia dapat tahu bahwa kita semua
adalah pengikut Kristus (lih Yoh 17). Dan inilah yang menjadi kerinduan Gereja Katolik untuk
menyatukan seluruh umat Allah, yang dapat dilihat dari dekrit tentang Ekumenisme (Unitatis
Redintegratio).

Tiga pilar kebenaran: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja

Jika kita telah mengetahui bahwa Sola Scriptura tidak sesuai dengan ajaran Alkitab itu sendiri,
maka kita dapat melihat pula bahwa sebenarnya Kristus telah menentukan tiga pilar kebenaran
yang tidak terpisahkan yaitu: Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium. Silakan membaca lebih
lanjut di artikel ini, Gereja Tonggak Kebenaran dan Tanda Kasih Tuhan, bagian 3, silakan klik.

Ayat yang umumnya digunakan untuk menyatakan pandangan Sola Scriptura

Sekarang mari kita melihat kepada ayat-ayat yang sering digunakan sebagai dasar Sola
Scriptura[3]:

1. 2 Tim 3:16-17  “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar,
untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam
kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap
perbuatan baik.”

Ada banyak orang menginterpretasikan bahwa karena ayat ini, maka mereka hanya
membutuhkan Kitab suci untuk menjadi umat Kristen yang baik. Padahal pada saat surat kepada
Timotius ini ditulis, kanon Kitab Suci belum ada. Jadi di kalangan jemaat masih beredar berbagai
tulisan, dan jemaat tidak dapat tahu dengan pasti, mana tulisan yang “diilhami oleh Allah”, dan
mana yang tidak.

Lihatlah juga bahwa “sesuatu yang bermanfaat” itu bukan berarti hanya satu-satunya yang kita
perlukan, atau segalanya yang kita butuhkan. Sesuatu dapat bermanfaat, tetapi tidak menjadi
satu-satunya yang kita butuhkan. Misalnya, cahaya matahari diperlukan untuk tanaman agar
tumbuh, tetapi tanaman juga memerlukan air dan tanah agar dapat bertumbuh dengan baik.

Juga perkataan “diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik” juga tidak dapat dijadikan dasar
bahwa Kitab Suci secara total mencukupi semuanya. Rasul Paulus pada 2 Tim 2:19-21 juga
menggunakan frasa yang sama, pada waktu mengatakan, “Jika seorang menyucikan dirinya dari
hal-hal yang jahat, ia akan menjadi perabot rumah untuk maksud yang mulia, ia dikuduskan,
dipandang layak untuk dipakai tuannya dan disediakan untuk setiap pekerjaan yang mulia.” (pan
ergon agathon- dalam bahasa Yunani). Jika logika yang sama dipakai untuk mengartikan ayat
ini, maka pandangan tersebut mengatakan bahwa perbuatan menyucikan diri adalah “cukup”,
tanpa kasih karunia, iman dan pertobatan, dan ini adalah kesimpulan yang keliru.

2. Ul 4:2 “Janganlah kamu menambahi apa yang kuperintahkan kepadamu dan janganlah kamu
menguranginya….”

Ada orang yang berpendapat, dengan adanya ayat ini maka Kitab Suci sudah cukup, dan segala
“tambahan” di luar Kitab Suci berarti tidak diilhami Tuhan. Namun jika logika ini yang dipakai,
maka semua kitab dalam Kitab Suci selain kitab Ulangan dianggap sebagai “tambahan” Wahyu
Allah yang hanya sampai pada kitab Ulangan. Dan tentu ini tidak benar, karena Inkarnasi
Kristus, yaitu panggenapan Wahyu Allah tersebut, malah ada berabad- abad setelah kitab
Ulangan ditulis.

3. Mat 4:1-11 Tiga kali Yesus menanggapi pencobaan Iblis dengan Kitab Suci, “Ada tertulis….”

Ada yang berpendapat, bahwa dari ayat ini Kristus mengacu hanya kepada Kitab Suci, dan tidak
kepada Tradisi Suci atau Gereja. Namun sebenarnya Yesus mengatakan, “Ada tertulis: Manusia
hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” (ay.4) Namun
Kitab Suci juga mengatakan bahwa tidak semua perkataan Tuhan tercantum dalam Kitab Suci,
sebab banyak di antaranya juga sampai kepada kita lewat pengajaran lisan (lih. Yoh 21:25; Kis
20:27; 1 Tes 2:14-15, 3:6; 2 Tim 2:2). Dan jangan kita lupa, bahwa Kristus sendiri adalah Sabda
Allah (Yoh 1:1, 14) yang tidak dapat dibatasi oleh tulisan dan lembaran-lembaran Kitab Suci.

Maka di sini Yesus tidak sedang mengajarkan Sola Scriptura, tetapi sedang mengajarkan kita
untuk berpegang pada semua pengajaran yang dikatakan-Nya, tidak hanya yang tertulis di Kitab
Suci. Lagipula jangan lupa, Iblispun mengutip Kitab Suci untuk maksud yang tentu saja keliru
dan jahat. Jadi kita harus memahami Kitab Suci dan menginterpretasikannya dengan benar.
Ingatlah pesan Rasul Petrus pada saat mengomentari surat Rasul Paulus, “Dalam surat-suratnya
itu ada hal-hal yang sukar difahami, sehingga orang-orang yang tidak memahaminya dan yang
tidak teguh imannya, memutarbalikkannya menjadi kebinasaan mereka sendiri, sama seperti
yang juga mereka buat dengan tulisan-tulisan yang lain.” (2 Pet 3:16)

4. Mat 15:3 “Mengapa kamupun melanggar perintah Allah demi adat istiadat nenek
moyangmu?” (lih. Mrk 7:7-9, Kol 2:8)

Di sini kita melihat tradisi yang dikecam oleh Yesus dan Rasul Paulus adalah tradisi manusia
yang bertentangan dengan hukum-hukum dan perintah-perintah Tuhan. Mereka tidak sedang
mengecam semua tradisi, sebab Rasul Paulus mengatakan juga demikian,
“Aku harus memuji kamu, sebab dalam segala sesuatu kamu tetap mengingat akan aku dan teguh
berpegang pada ajaran [tradisi] yang kuteruskan kepadamu.” (1 Kor 11:2)

“Sebab itu, berdirilah teguh dan berpeganglah pada ajaran-ajaran yang kamu terima dari kami,
baik secara lisan, maupun secara tertulis. (2 Tes 2:15)

5. Why 22: 18-19: “Jika seorang menambahkan sesuatu kepada perkataan-perkataan ini, maka
Allah akan menambahkan kepadanya malapetaka-malapetaka yang tertulis di dalam kitab ini.
Dan jikalau seorang mengurangkan sesuatu dari perkataan-perkataan dari kitab nubuat ini, maka
Allah akan mengambil bagiannya dari pohon kehidupan dan dari kota kudus, seperti yang tertulis
di dalam kitab ini.”

Ada pula yang mengartikan ayat ini dengan mengatakan bahwa Gereja Katolik menambahkan
Tradisi Suci kepada Kitab Suci, sehingga ini tidak benar. Namun pada ayat ini yang dimaksud
dengan “kitab ini” adalah kitab Wahyu itu sendiri, dan bukan Kitab Suci secara keseluruhan.
“Kitab ini” juga mengacu kepada “scroll“/ gulungan naskah di mana kitab dituliskan. Maka
perintah ini mengacu kepada larangan agar jangan mengadakan perubahan pada salinan teks
kitab Wahyu ini, dan ini juga berlaku pada kitab-kitab lainnya.

Kesimpulan

“Sola Scriptura” atau Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman iman, bukanlah merupakan
pengajaran yang bersumber dari Kitab Suci. Kitab Suci adalah sebagian dari Tradisi Suci Gereja,
sehingga Kitab Suci tidak dapat dipisahkan dari Tradisi Suci secara keseluruhan, yang dijaga dan
dilestarikan oleh otoritas Magisterium Gereja Katolik. Kristus mendirikan Gereja untuk
mengajar, menyucikan dan memimpin umat manusia dalam nama-Nya, sampai kepada akhir
jaman. Maka jika kita menolak otoritas dari Tuhan ini, yang diberikan kepada para rasul dan para
penerusnya, maka sesungguhnya kita menolak Kristus (lih. Luk 10:16). Gereja Katolik
menerima Kitab Suci sebagai salah satu pedoman iman (lihatlah kepada Katekismus dan hasil-
hasil Konsili yang mengutip banyak sekali ayat Kitab Suci sebagai landasan ajarannya), dan
karenanya, menerima otoritas Kitab Suci sebab Kitab Suci merupakan Sabda Allah.
Namun umat Katolik tidak dapat menerima Kitab Suci sebagai satu-satunya pedoman
iman (Sola Scriptura), terutama karena Kitab Suci sendiri tidak mengajarkan demikian. Selain
itu, Sola Scriptura juga bertentangan dengan sejarah, karena pada faktanya Gereja-lah yang
menentukan kitab-kitab mana yang termasuk di dalam Kitab Suci, dan kitab-kitab mana yang
tidak. Akhirnya, Sola Scriptura juga bertentangan dengan akal sehat dan membawa perpecahan,
karena bahkan di kehidupan sehari-haripun, kita mengetahui bahwa setiap peraturan tertulis
(contohnya konstitusi negara) memerlukan otoritas yang menjaga, menjamin dan
menginterpretasikannya dengan benar. Jika tidak, tentu terjadi kekacauan, karena tiap pribadi
dapat mempunyai pandangan yang berbeda. Dan ini sungguh telah terbukti dengan adanya
sekitar 28.000 jumlah denominasi gereja Protestan. Jika kita memakai prinsip yang diajarkan
Kristus untuk menilai apakah pohon itu baik atau tidak dari buahnya (Mat 12:33, Luk 6:44),
maka kita akan mengetahui apakah ajaran Sola Scriptura itu baik atau tidak.

Semoga Roh Kudus sendiri menerangi kita untuk mengetahui kebenaran ini, bahwa memang
Kitab Suci adalah sangat perlu dan sangat penting untuk menuntun dan menumbuhkan iman kita,
namun Kitab Suci bukan satu-satunya pedoman iman kita. Sebab Tuhan Yesus telah memberikan
kepada kita Magisterium Gereja yang menyampaikan juga ajaran lisan dari-Nya dan para rasul
-yaitu Tradisi Suci, dan Magisterium ini dengan setia menginterpretasikan semua ajaran itu
dalam terang Roh Kudus sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul.

CATATAN KAKI:

1. diterjemahkan dari Geisler, Norman L. dan MacKenzie, Ralph E., Roman Catholics and
Evangelicals: Agreements and Differences (Grand Rapids: Baker, 1995) [↩]
2. lih. Katekismus Gereja Katolik no. 80, 81, Dei Verbum 9 [↩]
3. disarikan dari Fr. Frank Chacon dan Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, (Farmington: San
Juan Catholic Seminars, 2003), hl. 17-19 [↩]

Anda mungkin juga menyukai