Anda di halaman 1dari 10

Kolekte sebagai kegiatan liturgis: Bawa

Pasar ke Altar dan Altar ke Pasar?


Belajar memberi

“Mama, mana uang kolektenya, adik yang akan masukkan ke dalam kantong kolekte ya Ma?”
Itulah keinginan seorang anak usia lima tahun. Luar biasa. Sudah sejak kecil seorang anak yang
biasa mengikuti perayaan Ekaristi Hari Minggu merasakan dorongan untuk memberi sumbangan
berupa kolekte. Patut dipuji kalau ada dorongan seperti itu untuk belajar memanfaatkan
kesempatan yang tersedia untuk memberi sesuatu bagi orang lain. Apalagi kalau dorongan itu
disalurkan dengan ikhlas hati tanpa pamrih.

Dalam Injil, Yesus telah memuji keikhlasan hati seperti itu yang diperlihatkan oleh seorang janda
miskin ketika ia memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Menurut Yesus si janda
miskin itu memberi lebih banyak karena ia memberi dari kekurangannya, bukan dari
kelebihannya (bdk Luk 21:1-4). Mengapa?

Umumnya manusia cenderung merasa kekurangan ini dan itu. Karena itu ada keinginan kuat juga
untuk mengumpulkan sebanyak-banyaknya dengan keyakinan semakin banyak memiliki,
semakin terjamin hidup hari ini dan masa depan. Maka dapat timbul rasa haus akan harta yang
semakin banyak dari waktu ke waktu dan dapat berkurang rasa rela memberi atau membagi apa
yang dimiliki kepada orang lain yang berkekurangan. Selain itu keberhasilan dalam
mengumpulkan lebih banyak dapat menimbulkan rasa perasaan bangga atas karya sendiri,
semacam rasa mengandalkan kekuatan diri sendiri, rasa sukses karena kerja keras dan bisa saja
pada akhirnya mengurangi kepekaan akan anugerah daya kekuatan dari atas, dari Allah sebagai
sumber hidup.

Pemberian si janda miskin dalam Injil itu amat bermakna karena sebenarnya mengungkapkan
pemberian seluruh diri. Si janda miskin itu tidak menunda kesempatan untuk memberi sesuatu
kepada orang lain meskipun ia tidak mengenal orang-orang itu. Ia tidak menanti sampai ia
berkecukupan atau berkelebihan. Kesempatan yang tersedia untuk memberi dimanfaatkannya
dengan segera. Kebiasaan menunda-nunda dalam memberi karena macam-macam pertimbangan
dapat membuat manusia kehilangan kepekaan terhadap kebutuhan orang lain yang sangat
mendesak. Setiap pemberian (termasuk derma atau kolekte) selain bermaksud menolong orang
yang berkekurangan, sebenarnya pertama-tama menjadi suatu tanda untuk menyampaikan pujian
dan syukur kepada Tuhan, sumber hidup yang memberi kepada semua makluk anugerah
berlimpah yang menguatkan dan menghidupkan.

Dua persepuluhan dan kolekte

Kolekte dalam liturgi mengingatkan kita akan kebiasaan orang Israel untuk mempersembahkan
kepada Tuhan hasil karya yang pertama, baik hewan maupun hasil panen perdana (Kel 27:7; Im
1:3; Im 23:10-13; Ul 26:2). Orang-orang Israel mengenal kebiasaan memberi dua persepuluhan,
yang menjadi tanda syukur atas anugerah dari Tuhan berupa hasil ternak dan panen. Secara
konkret pemberian itu digunakan untuk memberi makan kepada kaum Lewi yang menjalankan
fungsi pelayanan sebagai imam. Sebagian lagi diberikan kepada orang-orang miskin yang sangat
membutuhkan pertolongan.

Kebiasaan mempersembahkan persepuluhan ini diteruskan juga oleh para pengikut Kristus.
Banyak Gereja mempraktekkan cara persembahan ini. Besarnya persembahan itu bisa  tepat
sebagai persepuluhan, tetapi ada juga pemberian yang kurang atau bahkan lebih dari
persepuluhan. Ada yang memberikannya di luar perayaan liturgis tetapi ada yang melakukannya
sebagai bagian utuh dari perayaan liturgis. Kita mengenal bentuk pemberian sebagian dari hasil
karya atau pendapatan kita pada saat perayaan liturgis dengan nama kolekte.

Pada hari Minggu, Hari Raya atau hari-hari perayaan khusus, biasanya dibuat kolekte untuk
disatukan dengan bahan persembahan roti dan anggur serta bahan persembahan lain yang diarak
ke altar agar diambil oleh pemimpin perayaan yang bertindak selaku Kristus yang menghargai
setiap pemberian sekecil apa pun (bdk. Mat. 14:15-19). Kolekte bersama bahan persembahan
lainnya seharusnya diterima dengan penuh sukacita dan dihargai dengan meletakkannya di suatu
tempat yang pantas, sebaiknya dekat altar (bukan di atas meja altar), karena di atas altar hanya
diletakkan bahan korban syukur Yesus Kristus yaitu roti dan anggur[1] yang akan diubah
menjadi Tubuh dan Darah Yesus Kristus.

Meremehkan kolekte

Sikap penghargaan atas bahan-bahan persembahan dan kolekte itu tidak selalu diungkapkan oleh
imam pemimpin perayaan. Bahkan bisa muncul kekecewaan atau kemarahan kalau imam melihat
bahan-bahan persembahan sangat minim dan tak berharga di hadapan matanya. Pernah terjadi
dalam suatu perayaan Ekaristi imam pemimpin merasa jengkel sekali melihat kurangnya bahan
persembahan yang dihantar oleh umat. Serta merta imam itu mengubah teks nyanyian persiapan
persembahan yang sedang dinyanyikan oleh umat untuk mengiringi perarakan. Teks nyanyian
sebenarnya adalah:

Trimalah roti anggur persembahan diri kami[2]


Trimalah ya Bapa trimalah
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Trimalah ya Bapa trimalah.
(Trimalah syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Trimalah ya Bapa trimalah): 2x

Secara spontan teks itu diubah oleh imam yang menyanyikannya dengan suara sangat lantang
sehingga didengar oleh seluruh umat (teks yang diubah dicetak dengan huruf tebal):

Tidak ada ya Tuhan persembahan diri kami


Tidak ada persembahan
Pralambang karya kami suka duka hidup ini
Tidak ada persembahan
(Tak ada syukur kami atas sgala kurnia-Mu
Tidak ada persembahan): 2x
Spontanitas yang kreatif ini (semoga tak terulang!) memang menimbulkan kegaduhan dalam
gereja. Umat bersungut-sungut karena pemberian mereka sama sekali dipandang hina tak berarti
bahkan dipandang “tidak ada” oleh sang pastor. Bagi umat spontanitas sang pastor itu tidak
mewakili sikap Kristus yang penuh rasa penghargaan terhadap semua bahan persembahan. Yesus
Kristus sendiri memberi contoh yang patut ditiru oleh semua imam, yang sebenarnya bertindak
dalam setiap perayaan liturgi “selaku Kristus” (in persona Christi).[3] Yesus sendiri menerima
dengan sukacita lima ketul roti dan dua ekor ikan dari seorang anak kecil, lalu mengucap syukur
atas roti dan ikan itu (bukan mengeluh dan menolak karena terlalu sedikit dan justru diberi oleh
anak kecil), Ia memecah-mecahkan dan membagi-bagikannya kepada ribuan orang (bukan
memakannya sendiri) dan mereka semua yang berjumlah ribuan makan sampai kenyang, bahkan
masih ada sisa duabelas bakul penuh (bdk. Yoh 1:1-14).

Menghargai dengan tulus dan gembira setiap pemberian, bersyukur atas setiap bentuk pemberian
dan kerelaan memecahkan serta membagi-bagikannya untuk banyak orang lain yang
membutuhkan, akan sungguh membuat banyak orang kagum dan bahagia. Itu berarti mengambil
bagian dalam melestarikan mujizat Yesus. Setiap kali kita merayakan Ekaristi, peristiwa itu dan
maknanya kita kenangkan dan alami kembali.

Menghargai dengan tulus

Dalam sharing pengalaman liturgi di Taipei (Taiwan) pada sidang para pemerhati liturgi Asia
Tenggara dan Asia Timur tahun 2004, seorang imam dari wilayah pedalaman Kamboja
berceritera sebagai berikut:

Dalam salah satu perayaan Ekaristi di sebuah desa yang terpencil, saya melihat seorang anak
kecil aktif menolong sebagai salah satu petugas pengumpul kolekte. Anak itu mengedarkan
kotak kolekte kepada teman-temannya yang masih kecil. Ia memperlihatkan dengan wajah
gembira kotak kolekte kepada semua anak dengan harapan dapat diisi oleh mereka. Namun
ternyata kotaknya kosong tak terisi. Anak itu tidak malu karenanya. Bahkan ia berani berarak
bersama para petugas kolekte lain menuju altar dan menyerahkan kotak yang kosong itu kepada
sang imam. Saya menerimanya dengan senyum. Lalu secara spontan saya mengangkat kotak
kolekte yang kosong itu dan berdoa, “Pandanglah kami umat-Mu ya Tuhan yang mahamurah,
berkenanlah menerima apa yang ada pada kami, diri kami seadanya, juga kekosongan dan
kekurangan kami, terimalah dan penuhilah sesuai dengan kehendak-Mu”.

Itulah sikap yang terpuji, sikap penghargaan yang tulus seperti Yesus sendiri yang tidak pernah
menolak pemberian yang tulus. Cerita contoh ini tidak bermaksud mendorong kita untuk tidak
memberi apa-apa dalam kesempatan kolekte, tetapi sebaliknya mau menyemangati kita untuk
mempersembahkan sesuatu sebagai bagian utuh dari diri kita dengan semangat “kenosis”,
semangat pengosongan diri di hadapan Tuhan sumber pemenuhan hidup manusia baik rohani
maupun jasmani.

Makna kolekte

Apa saja yang dikumpulkan untuk dipersembahkan dan apa maknanya? Dalam praktek Gereja
abad III, selain roti dan anggur untuk Ekaristi, dipersembahkan juga minyak, lilin, gandum, buah
anggur dan barang bernilai lainnya. Pada abad pertengahan muncul kebiasaan mengumpulkan
derma dalam bentuk uang sebagai bagian dari persiapan persembahan.[4] Pengumpulan uang
derma dapat dilakukan sebagai awal persiapan persembahan. Inilah yang disebut kolekte.[5]
Selain asal usul kata kolekte, juga konteks liturgis persiapan persembahan ini turut memberi
makna pada kegiatan kolekte itu.

Kata kolekte berasal dari collecta (bahasa Latin) yang berarti sumbangan untuk makan bersama,
pengumpulan, rapat atau sidang.[6] Istilah yang sama ini (collecta) dalam tradisi liturgi dipakai
untuk persekutuan beriman yang terbentuk sebagai satu kelompok doa di suatu tempat (gereja).
Di Roma pada abad-abad pertama biasanya umat berkumpul di salah satu gereja “statio”. Di sana
mereka berdoa bersama lalu berarak bersama-sama menuju tempat perayaan Ekaristi yang
dipimpin oleh Paus di sebuah gereja lain sambil berdoa dan bernyanyi.[7] Selanjutnya istilah
collecta dipakai juga sebagai nama untuk Doa Pembuka dalam perayaan Ekaristi, karena doa itu
yang diucapkan secara lantang oleh imam pemimpin sebenarnya mengumpulkan dalam rumusan
yang singkat-padat semua intensi atau maksud hati dari umat beriman yang hadir (yang berdoa
dalam hati dalam keheningan sesudah ajakan imam: “Marilah berdoa”).[8] Maka collecta dalam
arti pengumpulan uang (kolekte) sebagai bagian dari persiapan persembahan mempunyai
hubungan erat sekali dengan persatuan-persaudaraan dan dengan doa.

Kolekte tidak hanya sekedar memberikan sesuatu dari diri sendiri kepada orang lain, tetapi
kolekte itu mempererat persatuan-persaudaraan antara kita dengan orang lain yang menerima
sesuatu dari diri kita. Kolekte adalah bagian dari doa yang mempersatukan kita sebagai saudara
saudari dalam Tuhan. Kita bisa berdoa dengan kata-kata, dengan nyanyian, dengan sikap-gerak,
tetapi juga dengan pemberian (kolekte). Aspek penting dari doa yang seharusnya mewarnai juga
pemberian (kolekte) adalah syukur-pujian atas anugerah yang telah diterima dan atas kesempatan
untuk berbuat baik dengan meneruskan anugerah itu kepada orang lain yang membutuhkannya
meskipun orang-orang itu tidak kita kenal. Inilah makna liturgis penting dari kolekte: bersama-
sama mengumpulkan sesuatu untuk kepentingan banyak orang lain. Maka semakin kita rela
memberi (kolekte) semakin kita tahu bersyukur (dalam Doa Syukur Agung), semakin kita
bersatu padu dengan saudara-saudari yang lain dan dengan Tuhan sendiri sebagai sumber
anugerah (dalam komuni).

Menurut tradisi liturgi memang pernah ada semacam syarat untuk boleh menerima komuni
(menyambut Tubuh dan Darah Yesus Kristus), yaitu selain berada dalam keadaan pantas-layak
karena penuh rahmat dan tidak berdosa berat, juga kalau penerima komuni itu telah membawa
dan memberi sesuatu sebagai bagian dari kolekte pada saat persiapan persembahan.[9] Ada
hubungan yang erat antara kolekte dan komuni dalam perayaan Ekaristi. Dalam hal ini kolekte
tidak “membeli komuni”. Kalau kita memberi dengan penuh rasa syukur, dengan sendirinya kita
mengalami persaudaraan-persatuan sejati bersama sesama dan Tuhan yang dirayakan secara
sakramental dalam komuni.

Semangat yang benar

Dalam konteks persiapan persembahan, membuat kolekte berarti memberikan bagian dalam
mempersiapkan bahan kurban syukur Yesus Kristus. Maka urutan perarakan dan penyerahan
bahan-bahan persembahan adalah: pertama-tama roti dan anggur (yang akan menjadi Tubuh dan
Darah Yesus Kristus) lalu bahan-bahan lain dan kolekte.[10] Itu berarti kita tidak mengandalkan
atau mengutamakan pemberian-kurban kita, tetapi menomorsatukan pemberian-kurban Yesus
Kristus. Bila demikian kita terhindar dari sikap “memberi sambil menuntut balasan dari Tuhan”
alias do ut des (Latin = saya beri supaya engkau membalas). Yesus sendiri memberi seluruh diri-
Nya sebagai kurban syukur pujian kepada Bapa, tanpa menuntut apa-apa dari Bapa sebagai
gantinya. Maka ganti memberi sambil menuntut, kita akan memberi dengan penuh rasa syukur
kepada Tuhan yang selalu memperhatikan kebutuhan-kebutuhan kita. Kehadiran orang yang
berkekurangan bisa menjadi kesempatan bagi kita untuk meneruskan kebaikan dan perhatian
Tuhan yang berlimpah-limpah itu seraya mendorong orang-orang lain untuk selalu bersyukur
kepada Tuhan, dan bukan terutama kepada kita. Itulah sebabnya Yesus mengingatkan kita untuk
memberi dengan tangan kanan sedemikian rupa sehingga tangan kiri tidak mengetahuinya (bdk
Mat 6:3).

Bila dirayakan Ibadat Sabda tanpa Ekaristi, ada kemungkinan membuat kolekte pada Ritus
Penutup ibadat sebelum pengutusan dan berkat. Itu berarti kolektenya diberikan dalam konteks
pengutusan ke tengah dunia. Kolekte lalu menjadi satu bentuk dari kesaksian iman bagi banyak
orang lain yang dilayani dalam hidup harian. Selanjutnya dengan kolekte itu orang yang
menerimanya dapat semakin percaya dan berharap pada Tuhan sumber kekuatan dan hidup.
Maka kita tidak memberi kepada orang lain untuk membuat mereka menjadi malas dan kurang
berusaha berdikari. Patut disesali bila kita enggan memberi kolekte hanya karena berprasangka
bahwa pemberian cuma-cuma itu akan membuat si penerima kurang bersemangat untuk mencari
jalan keluar mengatasi kekurangannya.

Untuk siapa?

Untuk siapa kolekte itu digunakan? Sejak abad-abad pertama umat beriman membuat kolekte
dengan tujuan menopang hidup para pelayan altar, mengatasi kemiskinan orang-orang papa, dan
memenuhi kebutuhan rumah Allah atau tempat ibadat. Para pelayan altar yang menjalankan
tugas-tugas pengabdian bagi banyak orang lain termasuk memimpin perayaan-perayaan liturgis
sepantasnya mendapat dukungan materi dan keuangan selain dukungan moril serta rohani agar
dapat sehat, kuat dan tekun memberikan pelayanan sebagaimana mestinya. Bagi orang-orang
miskin dan berkekurangan kolekte itu dapat membantu menciptakan keadilan untuk lebih banyak
orang. Santo Yustinus dalam abad ke-tiga mengingatkan orang Kristen untuk tidak melalaikan
kewajiban menolong orang miskin. Ia menulis dalam Apologia I, no. 65: “Orang-orang yang
berada dalam kelimpahan kalau ingin menyumbang hendaknya meletakkan itu di dekat si
pemimpin yang akan menggunakannya untuk membantu yatim piatu dan para janda, orang
miskin yang sakit, para narapidana, orang-orang asing disekitarnya dan semua orang yang sangat
membutuhkannya.”[11] Kemudian St. Agustinus kembali mencanangkan kewajiban orang
Kristiani untuk memberi kolekte buat orang miskin.[12]

Kolekte merupakan tanda solidaritas dengan orang-orang kecil, juga dengan keluarga,
lingkungan, wilayah dan paroki bahkan keuskupan atau siapa saja yang menderita kekurangan
tanpa batas wilayah maupun agama. Maka di beberapa tempat kolekte itu menjadi sumber untuk
membentuk dana solidaritas. Ada banyak tempat yang membutuhkan dana untuk membangun
dan memperlengkapi kebutuhan rumah sakit, panti asuhan atau rumah para lansia, selain rumah
ibadat dan pastoran atau gedung paroki dan ruang serba guna untuk berbagai kegiatan umum.
Dalam kenyataan ada banyak paroki yang jumlah kolektenya setiap minggu mencapai jutaan
bahkan puluhan juta rupiah. Namun tidak dapat disangkal bahwa banyak paroki hanya berhasil
mengumpulkan kolekte mingguan sebanyak ratusan ribu atau bahkan hanya puluhan ribu rupiah.
Mengapa? Umumnya orang langsung menunjukkan sebab perbedaan itu dalam tingkat
kesejahteraan hidup para anggota persekutuan beriman di paroki masing-masing. Kolektenya
besar karena umatnya kebanyakan kaya raya, kolektenya sedikit karena umatnya sebagian besar
terdiri dari orang miskin. Mungkin ada benarnya, tetapi belum tentu selalu demikian.

Meningkatkan kesadaran

Hal lain yang sebenarnya sangat menentukan besar kecilnya kolekte adalah “kesadaran” para
peraya akan pentingnya memberi sebagian dari hasil karya (pendapatan) tiap minggu kepada
Tuhan dan sesama yang sangat membutuhkan. Maka perlu ditempuh cara yang tepat dan
bijaksana untuk menumbuhkembangkan kesadaran itu. Menanamkan motivasi yang kuat,
membuat laporan yang jujur dan transparan, menggunakan hasil kolekte sesuai dengan tujuan
sebenarnya, menerima dengan rela dan menghargai dengan tulus berbagai bentuk kolekte (uang
dan barang), kesaksian hidup (cara hidup) yang jujur dan sederhana dari para petugas pastoral
yang bertanggungjawab mengelola dan menggunakan hasil kolekte, membuat pengawasan yang
teliti dan memberikan katekese yang memadai, adalah beberapa cara yang dapat digunakan
untuk meningkatkan “kesadaran” memberi dan sekaligus memperbesar jumlah hasil kolektenya.

Untuk menanamkan kesadaran dan motivasi yang kuat dalam diri umat agar rela membagi apa
yang ada padanya untuk kepentingan banyak orang lain yang membutuhkan, ada seorang pastor
paroki yang menceriterakan anekdot sbb:

Konon ada pertengkaran antara lembaran uang kertas limapuluh ribu dengan limaratus rupiah.
Lembaran limapuluh ribu mengejek yang limaratus rupiah katanya: Wah saya ini paling laku dan
bersih karena saya bisa naik ojek, bisa naik taksi, bisa masuk rumah makan dan bisa masuk
tempat diskotek, tetapi kau limaratus rupiah tidak laku apa-apa, naik ojek saja tidak bisa, apalagi
naik taksi, lebih sulit lagi kau masuk diskotek dan rumah makan. Saya sangat bersih tapi kau
kotor dan hitam. Kau sungguh tidak laku.
Maka kata lembaran limaratus rupiah: Iya saya memang tidak bisa naik ojek, juga sulit untuk
naik taksi, apalagi masuk rumah makan, bioskop atau diskotek dan hotel mewah. Namun saya
paling rajin dan setia masuk gereja. Kau biar bersih tetapi takut tampil bahkan tidak laku di
hadapan Allah dalam gereja. Tetapi saya biar hitam, kotor dan lusuh, toh paling laku di tempat
kudus. Kalau kau tidak undang saya untuk sama-sama naik ojek dan  taksi atau untuk sama-sama
masuk rumah makan, diskotek, bioskop dan hotel berbintang karena saya kotor dan hitam, maka
saya dengan sangat senang hati mengundang engkau hai limapuluh ribu rupiah agar rajin-rajinlah
bersama saya mengunjungi gereja dan masuk ke dalamnya. Ayo jangan lupa minggu depan
datang ke gereja ya. Pasti kau akan senang dan bahagia karena kau membawa kegembiraan besar
kepada banyak orang. Kalau saya saja telah menggembirakan banyak orang termasuk pastor dan
pembantu di sekretariat dan dapur, apalagi kau yang bersih dan cerah pasti membuat wajah orang
lain semakin cerah. Saya yakin kalau kau rajin ke gereja, seratus ribu juga bisa tergerak melihat
kegembiraan yang kau bagi-bagikan kepada banyak orang. Ayooo kita rame-rame bagi
kegembiraan. Mari kita setia pergi ke gereja.
Ketika sang Pastor menceriterakan anekdot ini kepada umatnya, ada tawa ria di dalam gereja.
Umat menganggukkan kepala tanda tergelitik geli dan setuju. Mereka memahami makna ajakan
sang Pastor yang jenaka. Pesan yang jelas, dibalut dengan cerita lucu, mampu memberi umat
motivasi yang kuat untuk rela memberi. Perlahan-lahan tetapi pasti, kolekte pada kesempatan-
kesempatan berikutnya meningkat dan sungguh menggembirakan seluruh umat serta petugas
pastoralnya. Pastor menyadari bahwa suatu katekese mengenai makna dan manfaat dari kolekte
dalam liturgi serta hidup Gereja perlu dilaksanakan bagi seluruh umat dalam paroki.

Bawa pasar ke Altar dan Altar ke pasar?

Kolekte sungguh menggembirakan tetapi bisa saja disalahpahami dan disalahgunakan. Ada
orang yang memandang kolekte sebagai alat yang ampuh di tangan manusia untuk membeli
kemurahan Tuhan. Semangat jual beli di pasar dibawa masuk ke dalam tempat perayaan,
menyusup masuk sampai di panti imam. Ada yang merasa bahwa tempat panti imam dan
suasananya amat tepat untuk menyampaikan macam-macam reklame. Altar jadi tempat tawar
menawar barang jualan antara manusia, tempat tawar menawar dengan Allah untuk membeli
anugerah-Nya. Terjadilah simonia (bdk. Kis. 8:18-24). Sadar atau tidak ada kecenderungan
mencontohi Simon seorang tukang sihir di sebuah kota di Samaria yang berani menawarkan
uang kepada Petrus dan Yohanes untuk membeli kuasa menumpangkan tangan supaya Roh
Kudus turun atas orang-orang yang mendapat tumpangan tangan itu. Hati Simon tidak lurus
karena ia mau membeli karunia Allah dengan uang.

Karunia adalah karunia bukanlah barang jual-beli. Bila karunia dipandang sebagai barang
dagangan, dan kolekte dipergunakan sebagai alat untuk membeli karunia dari Tuhan, maka kita
telah membuat kekeliruan. Petrus menamakan sikap ini “suatu kejahatan” dan ia berseru kepada
Simon tukang sihir itu, “Bertobatlah dari kejahatanmu ini dan berdoalah kepada Tuhan, supaya
Ia mengampuni niat hatimu ini; sebab kulihat, bahwa hatimu telah seperti empedu yang pahit dan
terjerat dalam kejahatan.” Akhirnya Simon tukang sihir itu bertobat katanya, “Hendaklah kamu
berdoa untuk aku kepada Tuhan, supaya kepadaku jangan kiranya terjadi segala apa yang telah
kamu katakan itu” (Kis. 8:22-24). Beranikah kita mendengar dan menanggapi secara serius
seruan Petrus itu? Maukah kita melihat kembali praktek-praktek kita dalam liturgi yang
mengarah kepada simonia yaitu membeli karunia Allah dengan uang? Bukankah karunia-karunia
Allah tidak boleh dibeli oleh manusia tetapi harus disyukuri terus menerus?

Ada petugas pastoral yang menggunakan kesempatan perayaan liturgi sebagai saat yang jitu
untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dengan memperbanyak saat kolekte yang
dikumpulkan dalam beberapa jenis kotak kolekte. Ada kotak satu, dua dan tiga atau dibedakan
dengan warna: kotak abu-abu, kuning, merah dll disertai penjelasan tentang perbedaan
peruntukannya. Liturgi dan gereja dapat berubah menjadi kesempatan jual beli, tempat
pengumpulan dana sebesar-besarnya. Mengapa tidak diciptakan kesempatan non liturgis untuk
mengumpulkan dana seperti bazar, malam dana dengan acara lelang dan jual suara? Ada banyak
kalangan-kelompok dan paroki juga keuskupan yang telah melakukannya dan sangat berhasil
tanpa mengorbankan perayaan liturgi dan ruang ibadat dalam gereja sebagai kesempatan
transaksi.
Yesus pernah sangat marah karena pelataran Bait Suci di Yerusalem dijadikan tempat jual beli
barang dagangan (bdk. Yoh. 2:13-16). Apalagi kalau bagian dalam gereja dipakai untuk
mempromosikan barang-barang dan menjadi tempat jual-beli atau lelang-lelangan. Sangat
disayangkan kalau gereja dan perayaan-perayaan liturgi khususnya Ekaristi menjadi tempat
penawaran barang-barang jualan kepada umat dengan cara menggugah rasa religius umat. Kita
harus cukup waspada terhadap kecendrungan membawa pasar kedalam gereja dan menggunakan
Altar atau Mimbar Sabda sebagai tempat reklame barang-barang dagangan. Kewaspadaan yang
sama perlu kita miliki bila mau membawa altar ke tengah pasar.

Di tengah pasar kita sebagai orang beriman mau bertransaksi dengan semangat penuh syukur dan
kerelaan untuk saling membagi keuntungan dan kebahagiaan, bukan untuk mengeruk dan
mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya seraya merugikan orang-orang lain secara tidak
adil dalam bentuk apa saja entah sebagai penjual atau pembeli. Mampukah kita menghayati di
tengah pasar semangat kurban-syukur yang kita rayakan di altar dalam gereja? Mampukah kita
menghayati semangat yang sama dalam segala kegiatan tukar-menukar lain baik di rumah
maupun di tempat kerja dan rekreasi? Sebagai orang beriman kita yakin bahwa dalam dan
bersama Tuhan kita dapat menghayati semangat kurban syukur itu. Kalau kita menyadari dan
menghayatinya dalam liturgi, kita diberi kekuatan juga untuk menjadi orang utusan yang berani
memberi kesaksian tentang semangat ini dalam hidup sehari-hari.

Sacra comercia dan profana comercia

Dalam tradisi doa-doa liturgis digunakan satu ungkapan dari dunia pasar yang bisa menimbulkan
salah kaprah. Ungkapan itu adalah sacra comercia (= perdagangan atau pertukaran suci) yang
terdapat dalam kumpulan doa-doa Sacramentarium Veronense (abad V-VII) dan dipakai juga
dalam Buku Misa Paulus VI edisi ke-tiga hasil revisi Paus Yohanes Paulus II tahun 2002,
khususnya dalam doa-doa pada masa Natal dan Paskah.[13] Ungkapan “pertukaran suci” dipakai
untuk menjelaskan tindakan Tuhan sebagai karya penyelamatan yang agung, anugerah terbesar
bagi manusia ketika Yesus Putra Tunggal Allah turun ke dunia dan lahir menjadi manusia supaya
kita ditebus dari dosa-dosa dan kematian abadi, dan ketika Yesus naik ke surga, kembali kepada
Bapa, kita semakin diberi kemampuan untuk mengambil bagian dalam hidup ilahi Allah. Itulah
tindakan penyelamatan Allah: menukar dosa dan kematian kita dengan penebusan dan hidup
dalam Yesus Kristus, menukar kemanusiaan kita dan hidup sementara di bumi ini dengan hidup
ilahi dan abadi dalam Allah.

Jadi sacra comercia adalah tindakan Allah, adalah anugerah keselamatan dari Allah, bukanlah
tindakan kita manusia ala profana comercia (manusia mau menukar barang dan jasanya dengan
uang sesama bahkan dengan anugerah Allah). Profana comercia terjadi kalau kita memberi
kolekte sesudah homili, dengan maksud untuk membayar jasa pengkhotbah, sehingga semakin
hebat pengkhotbahnya semakin besar kolektenya. Kalau kita menghantar kolekte ke kaki altar,
dengan tujuan utama untuk membayar jasa imam yang memimpin misa dan mau membeli
anugerah kebaikan Tuhan di altar yang sebenarnya diberi kepada kita dengan cuma-cuma, itu
juga profana comercia yang tidak lain adalah simonia. Apalagi kalau Mimbar Sabda dan Altar
kita pakai untuk menjual produk-produk kegiatan manusia kepada para pembeli yang adalah
umat beriman. Seraya menghindarkan profana comercia di dalam liturgi, kita mau mengalami
dengan rasa kagum dan penuh syukur-pujian sacra comercia Allah sendiri, karunia
penyelamatan cuma-cuma dari Allah. Maka kita akan memberi kolekte dengan rela dan tulus
terutama untuk bersyukur kepada Tuhan atas anugerah Sabda-Nya dan mengambil bagian dalam
kurban Syukur Yesus Kristus. Kita boleh memberi kolekte sambil menyampaikan permohonan-
permohonan tetapi selalu dalam semangat penuh syukur bukan dalam semangat menuntut dan
memaksa Tuhan.

Kiat-kiat

Untuk menghindarkan penyalahgunaan kolekte agar tujuan sebenarnya dapat terwujud, maka
pemantauan tentang penggunaan kolekte serta laporan pertanggunganjawab yang transparan
akan sangat berguna. Pemantauan yang teliti menolong membentuk satu sistim keuangan yang
rapih dan teliti sekaligus menjauhkan kecenderungan untuk korupsi. Administrasi keuangan yang
amburadul memberi peluang yang besar untuk menggelapkan uang dan barang-barang milik
Gereja. Kalau hal itu terjadi, berdasarkan pengalaman di banyak paroki atau komunitas,
semangat umat beriman untuk memberi kolekte akan menurun.

Laporan yang transparan dan jujur tidak hanya meliputi besarnya pemasukan dan pengeluaran,
tetapi juga pengeluaran untuk pemakaian sesuai dengan tujuan awal pengumpulan kolekte itu.
Kalau tujuan kolekte jelas dan pengeluarannya juga sesuai dengan sasaran yang dimaksud, maka
kepercayaan umat akan bertumbuh dan kerelaan untuk memberi kolekte dengan sendirinya akan
dipacu. Bagi semua orang yang telah dengan rela memberikan kolekte, pertanggunganjawab
yang transparan merupakan satu tanda terima kasih yang ikhlas. Transparansi laporan keuangan
turut memperlihatkan penghargaan yang tulus kepada semua orang yang telah memberi kolekte
dengan rela dan tulus.

Kesaksian lewat cara hidup yang sederhana sangat berpengaruh dalam meningkatkan jumlah
kolekte, sebaliknya gaya hidup yang serba mewah dari para petugas pastoral dapat
mengurangkan kolekte. Demikian pula cara pemanfaatan uang atau barang-barang milik Gereja
yang efektif demi kepentingan umum akan menanamkan kepercayaan dalam diri umat untuk rela
memberi. Sebaliknya cara hidup boros dari para petugas pastoral turut memperlemah semangat
umat untuk memberi. Bila petugas pastoral memiliki semangat tinggi untuk melayani orang lain
dengan rendah hati, maka umat semakin percaya bahwa pemberian mereka tidak disia-siakan
tetapi diteruskan oleh para hamba yang setia dalam melaksanakan tugas penggembalaan. Petugas
pastoral seperti inilah yang selalu didukung oleh umat yang dilayani, misalnya lewat kerelaan
dan kesetiaan memberi kolekte.

Semoga Nama Tuhan semakin dipuji karena kesaksian hidup orang beriman baik yang memberi
maupun yang mengelola dan memanfaatkan kolekte yang diperoleh dalam liturgi. Kiranya
orang-orang yang berkehendak baik memperoleh rahmat dan damai sejahtera dari Tuhan secara
berlimpah-limpah dan berusaha meneruskan anugerah kebaikan Tuhan kepada lebih banyak
orang lain yang berkekurangan agar dapat semakin mengalami sacra comercia Allah dan
menjauhkan profana comercia yang mengarah kepada simonia baik dalam liturgi maupun dalam
hidup harian.
CATATAN KAKI:

1. Pedoman Umum Misale Romawi no. 73 dan 140 (terj. dari Institutio Generalis Missalis Romani,
editio typica tertia 200, oleh Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2002), hlm. 53 dan 75. Selanjutnya
disingkat PUMR. [↩]
2. Teks nyanyian liturgi berjudul “Trimalah ya Bapa” dalam Yubilate: Buku Doa dan Nyanyian
Katolik, no. 262, Disusun Oleh Komisi Liturgi Keuskupan Senusa Tenggara, Seksi Musik Liturgi
(Penerbit Nusa Indah, Ende, 1991), hlm. 426. [↩]
3. PUMR, no 27; Sacramentum Caritatis (Sakramen Cinta Kasih), Anjuran Apostolic Pasca-Sinode
dari Bapa Suci Benedictus XVI kepada Para Uskup, Imam, Biarawan-Biarawati, dan Kaum
Beriman Awam, mengenai Ekaristi sebagai Puncak Kehidupan serta Perutusan Gereja (Terj.
Komisi Liturgi Konferensi Waligereja, Jakarta, 2008), no. 23. [↩]
4. P.Visentin, “Eucaristia”, dalam Domenico Sartore e Achille M.Tricca (ed.), Nuovo Dizionario di
Liturgia (Edizioni Paoline, Roma, 1983), hlm 497;  Bdk. P.Bernard Boli Ujan, SVD, Mendalami
Bagian-bagian Perayaan Ekaristi (Yogyakarta, 1992), hlm. 44-48. [↩]
5. Tata Perayaan Ekaristi (Ordo Missae), Buku Imam (Terj. Komisi Liturgi KWI, Jakarta 2008), no.
19, hlm. 37. Selanjutnya disingkat TPE. [↩]
6. P. Th. L Verhoeven, SVD, dan Marcus Carvallo, Kamus Latin-Indonesia (Ende, Penerbit Ledalero,
Maumere 1969), hlm. 163. [↩]
7. Mengenai sejarah Ekaristi di gereja statio di Roma, lihat Marcel Metzger, “The History of the
Eucharistic Liturgy in Rome” dalam Anscar J.Chupungco, O.S.B. (ed.), Handbook for Liturgical
Studies: The Eucharist (A Pueblo Book, The Liturgical Press Collegeville, Minnesota, 1997), hlm.
110-114 [↩]
8. PUMR, no. 54; Bdk. Vincenzo Raffa, Liturgia eucaristica, mistagogia della messa: dalla storia e
dalla teologia alla pastorale practica (Edizioni Liturgiche, Roma, 1998), hlm. 68-69; P.Bernard
Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 23-24. [↩]
9. “Dalam sinode Elvira (awal abad IV) ditegaskan bahwa umat yang membawa persembahan
adalah umat yang ikut komuni. Maka persembahan itu dibawa hanya oleh orang yang telah
dipermandikan dan mau berpartisipasi lebih penuh sebagai umat beriman yang sudah dipilih
menjadi imam rajawi. Di daerah Gallia terdapat kebiasaan menyebut nama orang yang
membawa pesembahan dalam doa persembahan. Tetapi di Roma tidak ada tradisi itu.”
P.Bernard Boli Ujan, SVD, Op.Cit. hlm. 45-46. [↩]
10. Bdk. Peter J. Elliott, Ceremonies of the Modern Roman Rite: The Eucharist and the Liturgy of the
Hours, A Manula for Clergy and All Involved in Liturgical Ministries (Ignatius Press, San Francisco,
1995), hlm. 100-105. [↩]
11. Lihat terjemahan dalam bahasa Inggris oleh R.C.D. Jasper & G.J.Cuming, Prayers of the Eucharist,
2nd ed. (New York, 1980), hlm. 20. Bdk. Herman Wegman, Christian Worship in East and West:
A Study Guide to Liturgical History (terj. Gordon W. Lathrop dari teks asli Geshiedenis van de
Christelijke Eredienst in het Westen en in het Oosten, Pueblo Publishing Company, New York,
1985), hlm. 42. [↩]
12. Bdk. Joseph A. Jungmann, The Mass of the Roman Rite: Its Origins and Development Vol. Two
(Benzinger Brothers, Inc., New York, 1955) hlm. 1-41. [↩]
13. MISSALE ROMANUM, Ex Decreto Sacrosncti Oecumenici Concilii Vaticani II Instauratum
Auctoritate Pauli PP. VI Promulgatum Ioannis Pauli PP. II Cura Recognitum, Editio Typica Tertia
(Typis Vaticanis, A.D. MMII), hlm. 155, 163, 383, 384, 399-400, 406, 425 [↩]

Anda mungkin juga menyukai