Anda di halaman 1dari 6

Diskusi panel Komisi Teologi

Gereja Kristen Pasundan


Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

PEMAHAMAN TENTANG

PERSEMBAHAN
KONTEKS PERIBADAHAN UMAT DAN MAKNA
JENIS-JENIS PERSEMBAHAN

Oleh: Rasid Rachman

Pendahuluan

Persembahan dalam perayaan ibadah yang dipahami oleh gereja sejak awal

dan muncul sangat kentara hingga kini adalah dalam perjamuan kudus. Pemahaman

persembahan dengan perjamuan ini mungkin terdengar agak aneh atau asing

terutama bagi gereja-gereja Protestan. Padahal, pemahaman ini “cukup biasa” dalam

dunia liturgi, juga bagi para teolog Protestan. Dalam paparan berikut, di samping

berangkat dari praktik gereja-gereja Protestan hingga kini, saya juga sengaja

mengutip pandangan dua orang Protestan sendiri tentang kaitan persembahan dan

perjamuan. Kedua sumber tersebut kami pilih karena mereka pernah

memublikasikan hasil penelitiannya tentang persembahan. Setelah itu, kami juga

akan sedikit menelusuri perkembangan pemahaman persembahan dalam praktik

bergereja dewasa ini.

J.L.Ch. Abineno: perjamuan dan diakonia

Baik di awal paparan maupun di akhir paparannya, Abineno menekankan

kaitan antara persembahan dan perjamuan. Sekalipun akibat “para pengkhotbah

keliling yang menyebabkan lepasnya kaitan pemberitaan Firman dan perjamuan”,

namun “ibadah pemberitaan Firman tetap diakhiri dengan unsur-unsur ibadah

perjamuan. Hal ini masih berlaku sampai sekarang. Salah satu dari unsur-unsur itu

1
Diskusi panel Komisi Teologi
Gereja Kristen Pasundan
Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

ialah pemberian atau persembahan jemaat.”1 Abineno cenderung tidak mengaitkan

persembahan dengan korban sebagaimana pemahaman gereja lama,2 namun setuju

menempatkan persembahan setelah khotbah. Persembahan, baik uang maupun in

natura (hasil pertanian), tersebut adalah sebagai salah satu unsur dari perjamuan.

Sebagai perjamuan, persembahan berkaitan dengan perjamuan kasih (agape) dan

diakonia.3 Intinya adalah bahwa persembahan jemaat adalah makanan dan perayaan

bagi semua orang.

Makanan dan perayaan bagi semua orang adalah pelayanan meja atau

diakonia. Pemakaian persembahan sebagai diakonia berkaitan dengan persekutuan

(bnd. Kis. 2:42 “… dalam persekutuan, … berkumpul untuk memecahkan roti dan

berdoa”), sehingga diakonia adalah untuk semua orang. Hal ini ditekankan oleh

Johannes Calvin, menurut Elsie Anne McKee, bahwa “fellowship was most often

concretely expressed as almsgiving, …. Another aspect of this fellowship would be an

awareness of mutual need, physical as well as spiritual ….”4

Bentuk persembahan, bagi Abineno, semua adalah in natura dalam bentuk

hasil bumi atau pertanian, makanan, dan minuman, termasuk roti dan anggur. Baru

pada abad ke-11, diganti dengan uang.5 Praktik pengumpulan persembahan di

gereja dimulai dengan satu nas dan diakhiri dengan doa pendek. Pengumpulan

berkeliling bangku-bangku umat dilakukan oleh diakon dan pemuda dengan

menggunakan kantong-kantong kecil. Kantong-kantong kecil itu diserahkan kepada

1J.L.Ch. Abinenio, Unsur-unsur Liturgia: Yang Dipakai oleh Gereja-gereja di Indonesia,


(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1986), 97; juga ditulisnya kembali dalam Ibadah Jemaat, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1987), Persembahan Jemaat, 59.
2 Abineno, Unsur-unsur, 101-102.
3 Abineno, Unsur-unsur, 104, dan Ibadah Jemaat, 59.
Elsie Anne McKee, “Reformed Worship in the Sixteenth Century,” dalam Christian
4

Worship in Reformed Churches Past and Present, editor Lukas Vischer, (Grand Rapids: William
B. Eerdmans Publishing Company, 2003), 23.
5 Abineno, Unsur-unsur, 98 dan 105, dan Ibadah Jemaat, 59-60.

2
Diskusi panel Komisi Teologi
Gereja Kristen Pasundan
Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

petugas dan diletakkan di meja perjamuan.6 Meja perjamuan ini menandakan

keterkaitan persembahan dengan perjamuan, persekutuan, dan diakonia.

Praktik pengumpulan uang dari bangku umat merupakan praktik paling

umum. Beberapa gereja baik asing maupun Indonesia yang kami kunjungi, dan juga

dikemukakan oleh Kasonga wa Kasonga, menerapkan hal yang sama. Hal itu adalah

sebagaimana diajarkan oleh para misionaris Eropa dan Amerika masa lalu.7

Mungkin ada sedikit saja perbedaan di sana-sini, misalnya dengan nyanyian rakyat

atau disertai tarian juga,8 namun petugas dengan pundi-pundinya berkeliling

mengumpulkan uang kolekte dari bangku-bangku umat. Jadi, dasar dan bentuk

persembahan adalah satu, yakni untuk diakonia atau pelayanan meja.

Ester A. Sutanto: persembahan untuk diakonia

Salah satu poin menonjol dalam paparan Ester A. Sutanto adalah kaitan

persembahan dengan pelayanan. Berangkat dari kebiasaan gereja zaman Patristik,

yang dimaksud persembahan adalah membawa roti-anggur-air ke meja perjamuan.

Setelah pemimpin mengucapkan berkat, kemudian diakon membagikan sebagian

persembahan kepada umat beribadah. Setelah itu, para diakon membawa sebagian

persembahan kepada orang miskin, janda, yatim piatu, dan orang asing di luar

tempat ibadah.9 Selain roti-anggur (ini yang disebut viaticum = roti atau bekal

perjalanan), diakon juga membawa uang persembahan atau dana kepada orang

miskin.10 Ritus perjamuan sejak awal dalam persembahan adalah untuk koinonia

(hidup persekutuan sesama saudara) dan pelayanan diakonia (pelayanan meja).

Abineno, Unsur-unsur, 100-101. Ini juga dikemukakan oleh Constance M. Cherry,


6

The Worship Architect: a Blueprint for Designing Culturally Relevant and Biblically Faithful Services,
(Grand Rapids: Baker Academic, 2010), 283-284 catatan 19.
Kasonga wa Kasonga, “Reformed Worship Taking Root in the New Guinea:
7

Congolese Experience (Democratic Republic of the Congo),” dalam Lukas Vischer, 226.
8 Sebagaimana kesaksian Kasonga, 229.
Ester A. Sutanto, Liturgi Meja Tuhan: Dinamika Perayaan-Pelayanan, editor Ioanes
9

Rakhmat (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2005), 27.


10 Sutanto, 47.

3
Diskusi panel Komisi Teologi
Gereja Kristen Pasundan
Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

Sekalipun ajaran tentang persembahan melenceng pada zaman Patristis dan Abad-

abad Pertengahan,11 namun beberapa bapak/ibu gereja pada masa itu juga

mengoreksinya.

Penyelewengan yang lain juga terjadi pada zaman Reformasi, menurut info

Ester A. Sutanto, adalah ketika tiadanya kolekte atau derma gereja bagi orang miskin

dalam perayaan liturgi. Derma hanya dilakukan di luar ibadah. Gereja masa itu

memahami tiadanya hubungan antara persembahan dan pelayanan. Baru kemudian,

para Reformator (kembali) memasukkan kolekte di dalam liturgi. Sekalipun

tempatnya tidak seragam di setiap gereja,12 namun tujuannya adalah untuk derma

kepada orang miskin. Tampilan liturgi menggambarkan dan mengantisipasi

implementasi di lapangan pelayanan gereja.

Adalah teologi Reformasi bahwa kolekte persembahan berhubungan

langsung dengan diakonia. Bahkan tentang persembahan setelah perjamuan,

gerakan liturgis abad ke-20 menekankan bahwa “pengumpulan persembahan bagi

mereka yang memerlukan dapat juga berlangsung pada akhir pelayanan meja,

tetapi … harus tidak untuk membayar belanja gereja atau biaya pelayanan meja itu

sendiri. Persembahan adalah berupa makanan untuk orang lapar.”13 Persembahan

tidak melulu untuk kehidupan diri gereja sendiri.

Kurban dan syukur

Selain banyak pandangan lain tentang persembahan, pemahaman kurban

dan syukur mencuat dalam dunia liturgi saat ini. Alexander Schmemann, teolog

gereja Ortodoks Rusia, mendukung penggunaan dan pemahaman bahwa

persembahan adalah sebuah kurban. Kata kurban (atau korban) ini juga

Sutanto, 28, dan 31 memberi contoh offertorium menjadi mempersembahkan tubuh


11

Kristus dengan menutupi roti-annggur.


Sutanto, 36-37, mencatat bahwa ada yang selama khotbah, selama Pengakuan
12

Iman, di pintu gereja, atau selama di tempat kolekte yang sekarang ini.
13 Sutanto, 38.

4
Diskusi panel Komisi Teologi
Gereja Kristen Pasundan
Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

dipertahankan oleh sebagian pendukung gerakan liturgis, alih-alih kolekte.14

Perjamuan adalah kurban, yakni persembahan terbaik yang diberikan demi kelegaan

si pemberi.15 Meneladan Kristus, hidup-Nya adalah persembahan dan kurban. Gereja

pun terpanggil, diwujudkan dalam tampilan liturgi dengan persembahan roti-

anggur, untuk merespons dengan mempersembahkan diri kepada persekutuan umat

dan dunia, dan berkurban demi kasih, kesatuan dan pemulihan,16 melalui pelayanan

diakonia.

Nilai praksis liturgi paling jelas akan persembahan adalah sebagai ungkapan

syukur. Namun, Franklin M. Segler, dosen di Seminari Baptis Texas, menegaskan

lebih fundamental yaitu bahwa ungkapan syukur pun merupakan simbol kurban.

Ungkapan syukur melalui pemberian materi, yakni uang, menyimbolkan sikap batin

kepada Allah berupa pengurbanan.17 Persembahan uang yang kemudian

dikumpulkan di altar atau meja perjamuan menggambarkan persembahan diri.18 Ia

merupakan bukti syukur akan kasih Allah dalam meneladan Kristus.

Dalam pemahaman persembahan yang satu itu, kemudian melahirkan

berbagai kegiatan dan urusan manajemen keuangan dan pembukuan gereja.

Terabaikannya persembahan jemaat dari pelayanan diakonia melahirkan praktik

berbagai kantong persembahan dalam liturgi, semisal: setelah perjamuan,

persembahan maju ke depan, dsb.; dan berbagai jenis persembahan dalam gereja,

semisal: bulanan, syukur, perpuluhan, dsb. Sebagusnya, liturgi tidak mengulang

unsur dan gereja rapi manajemen, termasuk manajemen pembukuan.

Bnd. Abineno, 98-99, menyatakan bahwa ia dan beberapa orang lain tidak bersetuju
14

dengan pemahaman persembahan sebagai kurban.


Alexander Schmemann, The Eucharist: Sacrament of the Kingdom, terjemahan Paul
15

Kachur (New York: St Vladimir’s Seminary Press, 1988), 101-102.


16 Schmemann, 104.
Franklin M. Segler dan Randall Bradley, Christian Worship: Its Theology and Practice,
17

3 edition (Nashville: B & H Publishing Group, 2006), 188.


rd

18 Segler, 189-190.

5
Diskusi panel Komisi Teologi
Gereja Kristen Pasundan
Kantor Sinode GKP, Bandung 21 Desember 2015

Kesimpulan: persembahan – perjamuan – diakonia

Persembahan kita adalah meneladan kurban Kristus. Kristus adalah satu dan

Ia berkurban satu kali saja (bnd. Ibr. 10:12-14 “satu korban …, menyempurnakan

untuk selamanya”) sebagai kurban sempurna, maka hanya ada satu jenis

persembahan gereja. Persembahan itu adalah meneladan Kristus dalam wafat dan

bangkit untuk berbagi.

Belajar dari tradisi-tradisi gereja, memperdalam makna persembahan adalah

dengan memerhatikan secara serius praktik perjamuan kudus. Selain mempersering

frekuensi perjamuan, tata perayaan, dan tampilan liturgi perjamuan pun perlu

mendapat perhatian serius para penyelenggara ibadah. Sebagai theologia prima,

liturgi mencerminkan bagaimana gereja berteologi. Tak salah memahami

persembahan sebagai pemberian uang, namun bukan itu saja, juga bukan itu

puncaknya. Puncaknya adalah menghayati peristiwa Kristus (Paska) melalui

perayaan perjamuan.

Jadi sederhananya, apa yang dipersembahkan sebagai syukur oleh umat

dalam liturgi adalah untuk kehidupan bersama, baik umat (koinonia) maupun orang

lain dan perdamaian dunia (diakonia). Belajar dari ritus masyarakat, persembahan

kurban dan perjamuan selalu berkaitan. Pesta raya panen yang disertai dengan

persembahan atau pemberian kurban adalah sekaligus pesta dan menu makan

bersama. Makan bersama bukan hanya untuk warga setempat, tetapi juga bagi

semua orang termasuk orang miskin dan orang asing. ●

Anda mungkin juga menyukai