Anda di halaman 1dari 14

SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI

& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019


GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

LITURGI DAN PERKEMBANGANNYA

Oleh: Rasid Rachman

sesi 1

Pendahuluan

Dewasa ini, mulai menggeliat perkembangan liturgi di (hanya) beberapa


Gereja-gereja Protestan di Indonesia. Namun, perkembangan yang lebih “heboh“
terjadi di Seminari-seminari Teologi (STT, STFT, FT) dan Gereja-gereja se-aliran di
luar negeri. Di luar negeri semisal: Filipina, Taiwan, Amerika, dan liturgi-liturgi
khusus yang dirayakan oleh WCC, menampilkan asyiknya sebuah perayaan ibadah.
Perjamuan dan ibadah harian dirayakan dengan indah dan kreatif (dalam arti
sesungguhnya). Sementara itu, Seminari-seminari teologi di Indonesia telah
menelurkan belasan skripsi, tesis, dan disertasi perihal Liturgi Lingkungan Hidup,
Liturgi bagi Orang dengan Down Syndrome (tesis Yoga Pratama 2018 STFT Jakarta),
rumah adat sebagai rumah ibadah, Liturgi bagi Penyandang HIV-AIDS (skripsi
Erma Kristiyono 2018, STFT Jakarta), busana dan kain adat untuk liturgi (skripsi Egla
Nababan 2015 STT Jakarta), tari liturgi (skripsi Jenni Missa 2011 STT Jakarta), nyanyi
liturgi, dsb. Perjalanan ke depan, masih banyak lagi akan lahir perkembangan baru.

Beberapa hal di bawah ini, bagi saya, menunjukkan kemajuan luar biasa
dalam ilmu liturgi, baik masih berupa wacana maupun sudah menjadi praktik
sesehari. Ada banyak kemajuan, namun tetap ada kritik terhadap praktik keliru yang
dilakukan oleh beberapa gereja terhadap pembaruan dan kemajuan berliturgi.

Paparan berikut akan menampilkan beberapa bentuk pembaruan dan


perkembangan selebrasi liturgi dewasa kini, baik yang mulai terlihat maupun masih
berupa “pekerjaan rumah“. Bagian akhir paparan ini adalah gagasan tentang sikap
waspada terhadap efek buruk dari pembaruan dan perkembangan tersebut.

Mempercantik liturgi

Salah satu tantangan liturgi dewasa kini adalah mempercantik gaya


konservatif liturgi dengan gaya kreatif sesuai perkembangan teologi. Irwin mencatat

1
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

bahwa Prosper Guéranger (1805-1875), Abas biara Solesmes dan seorang tokoh awal
gerakan liturgis yang menulis L’Année Liturgique (Tahun Liturgi) 15 volume,
menekankan keindahan (beauty), kepantasan (dignity), dan mistis (mystical) sebagai
karakter liturgi.1 Ini juga ditegaskan kembali oleh Paus Pius XII (1876-1958) dalam
Mediator Dei 5, 6, dan 29.2 Kemudian menurut Irwin, Odo Casel (1886-1948)
memperjelas bahwa selebrasi liturgi merupakan aktualisasi karakter tersebut,
terutama misteri Kristus.3 Maka, selebrasi liturgi harus ditampilkan indah, pantas
(misalnya tak-lebay), dan misteri (misalnya tak-memaksakan verbalisme). Karakter
tersebut diperoleh dan ditampilkan dalam liturgi melalui beberapa elemen berikut
ini, yaitu: budaya, cerita, dan trinitarian.

Budaya adat menawarkan mutiara kekristenan kepada gereja. Tentang


limaratus tahun lalu, Carlos Eire menulis bahwa para Reformator mendualismekan
“baik” dan “buruk”, “rohani“ dan “kedagingan“ (bnd. Yoh. 6:63), “ibadah benar”
dan “ibadah salah“ dalam paradigma pemberhalaan buatan manusia dan karya
Allah.4 Perabot dan ritus Katolik dianggap berhala. Walaupun Andreas Bodenstein
von Karlstadt tak menyebut ibadah Katolik sebagai penyelewengan ibadah,
melainkan tak-pantas, namun pada 1520 ia menolak perabot (prop = perabot
penopang) ibadah, semisal: air suci, garam suci, dan gambar.5 Walaupun beberapa
orang masa kini melihat sikap Johannes Calvin akan pemberhalaan lebih merupakan
politik ketimbang religi,6 namun sikap penolakan terhadap perabot-perabot ibadah
yang bernilai sekunder itu masih kita alami hingga kini terhadap perabot adat.

Sikap dualisme dan paradigma pemberhalaan terhadap ritus inisiasi dan seni
juga merupakan pengalaman kekristenan awal di Indonesia. Antara 1890 dan 1900,
misionaris Gereja Batak Karo Protestan, mempersoalkan keterlibatan adat, atau lebih
tepatnya: keterlibatan Kristen di dalam adat, terutama menyangkut kematian dan
perkawinan. Memang, GBKP kemudian bersikap kritis terhadap adat, dalam arti
dualisme. Misalnya, dalam kematian ada gendang adat atau gendang mistik, dan

Kevin W. Irwin, Context and Text: Method in Liturgical Theology, (Minnesota: A Pueblo
1

Book, The Liturgical Press, 1994), 19.


Pius XII, “Mediator Dei, ”http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/
2

documents/hf_p-xii_enc_20111947_mediator-dei.html (diakses 16 Juni 2018).


3 Irwin, 23.
4 Carlos M.N. Eire, War Againts the Idols: the Reformation of Worship from Erasmus to
Calvin, (Cambridge: Cambridge University Press, 1986), 54.
5 Eire, 56.
6 Eire, 304-305.

2
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

ada gendang gereja yang terjamin tak mengandung mistik.7 Gereja Toraja melihat
kekristenan dan modernitas (baca: budaya barat) sebagai pelunak adat. Beberapa
ritus, semisal hierarki sunat, kawin beda kasta, “dipermudah“ demi injil.8 Namun,
gereja juga menjadi keras terhadap perceraian dan seksualitas di luar nikah.9 Di
Papua abad kesembilanbelas, kekristenan adalah ancaman dan perusak bagi adat,
walaupun tak sepenuhnya demikian.10 Kamma mencatat bahwa adat (pesta) dan seni
(musik dan nyanyian) dianggap jahat, kafir, Iblis,11 dan secara keras menegakkan
“taurat“ Minggu sebagai legalisme Sabat.12Ini hanya sebagian kecil contoh sikap
dualisme dan pemberhalaan akan budaya adat pada abad kesembilanbelas.

Kini dua abad kemudian, kita justru harus belajar dan menyerap kearifan
lokal, budaya adat, dan tradisi locus untuk liturgi konservatif-global. Hal ini telah
ditampilkan melalui lagu dan syair dengan teologi lokal di Indonesia yang langsung
ditempatkan dalam liturgi. KJ 1 “Haleluya, Pujilah!“ menjadi fenomenal, karena
ditempatkan sebagai nyanyian terdepan dari buku nyanyian jemaat modern pertama
di Indonesia.13 Kolintang, gondang, gong, gamelan, tari-tari telah menjadi liturgi
yang tak dikhawatiran nilai-nilainya. Mandi-mandi di GPIB Tugu, Seren Taun di
GKP Cigugur, unduh-unduh di GKJ dan GKJW, dan Pengucapan Syukur di GMIM,
sudah menjadi ekstra-liturgi, atau ritus pendamping ibadah konvensional-global.

Penggunaan unsur budaya adat sebenarnya bukan hal baru dalam


kekristenan. Sejak awal, Angelus Marco mencatat bahwa gereja yang terdiri dari
berbagai suku bangsa menggunakan bahasa rakyat dan sesehari (Aram, Yunani,

7 Team Peneliti GBKP Staf Proyek Survey Menyeluruh DGI, dan Frank L. Cooley,
Benih Yang Tumbuh IV: suatu Survey mengenai Gereja Batak Karo Protestan, (Jakarta: Lembaga
Peneliti dan Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1976), 122-125.
8 J.A. Sarira, Benih Yang Tumbuh VI: suatu Survey mengenai Gereja Toraja Rantepao,
(Jakarta: Badan Pekerja Sinode Gereja Kristen Toraja Rantepao dan Lembaga Peneliti dan
Studi Dewan Gereja-gereja di Indonesia, 1975), 285-287.
9 Sarira, 289.
10 F.C. Kamma, Ajaib di Mata Kita II: Masalah Komunikasi antara Timur dan Barat Dilihat
dari Sudut Pengalaman selama Seabad Pekabaran Injil di Irian Jaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1982), 2-3.
Kamma, 23-24, tentang Masa J.L. van Hasselt menegur para tamu di rumah pesta di
11

Doreh pada 1873.


12 Kamma, 26-27.
13Rasid Rachman, “Se-Abad Gerakan Liturgis: Konteks Gereja-gereja Protestan di
Indonesia,“ dalam Seberkas Bunga Puspa Warna: Book of Friends 75 Tahun Pdt. H.A. van Dop,
peny. Binsar Pakpahan (Jakarta: Yayasan Musik Gereja Indonesia, 2010), 117-118, Kidung
Jemaat adalah titik penting dalam pembaruan buku nyanyian.

3
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Latin) untuk liturgi hingga duaratus tahun pertama.14 Bahasa rakyat dan sesehari
yang kemudian bukan hanya soal percakapan verbal ini,15 menurut hemat saya,
merupakan jalan masuk bagi mudahnya berliturgi dengan bercerita.

Liturgi bercerita, alih-alih perintah. Paus Pius XII (1876-1958) menuliskan


dalam Mediator Dei 23 bahwa liturgi merupakan saksi iman, yakni “interior dan
exterior worship.“16 Liturgi bercerita merupakan bagian penting dalam kekristenan
awal, terutama dalam perjamuan. Oleh karena bercerita dan bersaksi itulah, menurut
Alan Streett, kaisar menganggap gerakan Yesus sebagai ancaman bagi Pax Romana.
Cerita dan kesaksian para murid (verbal) dan penulis kitab (tekstual) bahwa Yesus
adalah Kyrios (Tuhan), Pater (Bapa), raja, Divi filius (anak Allah), merupakan
subversif dan rival terhadap kaisar.17 Pemakaian lambang-lambang merpati
(menggantikan elang) dalam baptisan Yesus (menggantikan inagurasi kaisar)18 dan
keledai (menggantikan kuda atau kereta perang)19 adalah sebagian hidden transcript
yang menggambarkan gerakan Yesus sebagai gerakan anti-kaisar.20 Bercerita yang
berbobot mengandung kesaksian yang mencetarbahanakan.

Paulus menghendaki orang Kristen bercerita dalam perkumpulan atau


pertemuan jemaat (1Kor. 14:26 dst.: mempersembahkan sesuatu, mazmur, berkata-
kata, menanggapi).

Liturgi Gereja-gereja Protestan di Indonesia, apalagi dalam perjamuan, masih


terkesan menyeramkan dan keramat. Padahal, umat Indonesia terbiasa berkumpul
sekitar cerita sejak Sekolah Minggu dan awal kekristenan.21 Bercerita dalam liturgi
dapat disampaikan secara verbal, tekstual, gestur atau koreo, waktu, atau gambar.

14 Angelus A. De Marco, Rome and the Vernacular, (The Newman Press, 1961), 4-5.
15 De Marco, 148-149, tentang musik dan kebiasaan.
Pius XII, “Mediator Dei, ”http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/
16

documents/hf_p-xii_enc_20111947_mediator-dei.html (diakses 16 Juni 2018).


R. Alan Streett, Subversive Meals: an Analysis of the Lord’s Supper under Roman
17

Domination during the First Century, (Eugene: Pickwick Publications, 2013), 84-85, 86, 92.
18 Streett, 118-120.
19 Streett, 121-123.
20 Streett, 127-128, daftar terminologi propaganda kekaisaran atas Romawi yang
ditransliterasi oleh penulis kitab-kitak Perjanjian Baru, semisal: ekklesia (asosiasi sosial),
euanggelion (kemenangan kekaisaran), eirene (damai) atau Pax Romana, kyrios (tuhan), pistis
(setia kapada hukum), dsb.
21 Kamma, 241, tentang bercerita di Papua.

4
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Bercerita verbal terutama dalam pembacaan Alkitab. Sistem leksionari adalah sebuah
cerita; bagian ini akan saya uraikan di bawah.

Bercerita tekstual yang dimaksud adalah teks liturgi, baik teks baptisan
maupun teks perjamuan. Ada berbagai cerita sekitar baptisan. Paulus, misalnya,
menuliskan bahwa baptisan orang Kristen adalah cerita tentang kematian,
penguburan, dan kebangkitan Yesus (Rm. 6:3-5). Hipplytus, Traditio Apostolica XV –
XXI (217), bercerita panjang tentang Paska melalui baptisan.22 Baptisan
menyimbolkan perjalanan umat Israel dari Mesir menuju tanah perjanjian. Paulus
juga melihat perjamuan jemaat Korintus sebagai cerita perjamuan terakhir Yesus
yang diturunalihkan (tradisi) dan diulangi (1Kor. 11:23-26). Didakhe IX (abad
pertama) menghayati perjamuan sebagai syukur berkat atas kerja manusia di kebun
dan berkat atas tanah, sehingga menjadi makanan dan minuman perjamuan.23

Tantangan bagi pembaruan liturgi adalah menceritakan karya Allah melalui


verbal, tekstual, gestur atau koreo, waktu, atau gambar.

Liturgi trinitarian sebagai public space yang inklusif, eksklusif, dan majemuk
sebagai selebrasi liturgi yang tak-sekadarnya-eksklusif di tengah kemajemukan
Nusantara. Gagasan ini dikemukakan oleh Joas Adiprasetya, bahwa konsep
Trinitarian perichoresis sebagai kategori teologis yang lebih eklklusif, lebih inklusif,
dan lebih pluralis di dalam keberbagaian agama.24 Singkatnya, mengacu pada
Adiprasetya berdasarkan Jürgen Moltmann, liturgi trinitarian perichoresis adalah
liturgi yang memberi ruang bagi segala makhluk, sebagaimana interaksi Allah
Trinitas yang berkarya, dalam kesetaraan, keberbagaian, kesatuan, dan keunikan
masing-masing.25 Segala macam manusia mendapat ruang dalam satu gereja
bersama.

James F. White, Documents of Christian Worship: Descriptive and Interpretive Sources,


22

(Edinburg: T&T Clark, 1992), 151-156.


23 White, 182.
24 Joas Adiprasetya, “The Trinitarian and the Public Space,” dalam Interactive
Pluralism in Asia Religious Life and Public Space, peny. Simone Sinn dan Tong Wing-sze
(Geneva: LWF Studies 2016/1), 33 dan 41 “The public space is a space where gays and
straights, rich and poor, men and women, and other identities meet and is not limited to the
interreligious public space.” (33-42).
25 Bnd. Adiprasetya, 35-36.

5
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Liturgi trinitarian perichoresis bukan hanya memasukkan dan menggunakan


kalimat Trinitas, sebagaimana pernah saya usulkan.26 Semisal contoh penutup doa:

“< kami berdoa di dalam nama Yesus Kristus, yang hidup dan berkuasa bersama
Engkau dalam persekutuan Roh Kudus, sepanjang segala abad.”

Lebih daripada itu, liturgi trinitarian perichoresis menerima dan memberi


tempat bagi segala ciptaan Allah.27 Saat ini, misalnya, masih banyak gereja yang tak
memberi tempat bagi orang berkebutuhan khusus. Yoga Pratama mengangkat soal
tak-mungkinnya bagi Down syndrome ikut perjamuan karena inisiasinya berhenti
pada baptis anak/bayi. “Gereja lebih sering memperlakukan kaum disabilitas sebagai
obyek yang dikasihani dan pihak yang bergantung pada orang lain,” tulis Pratama.
Artinya, umat disabilitas belum sepenuhnya diterima sebagai anggota jemaat.28
Wacana yang mulai ramai di beberapa seminari teologi ini kiranya kelak menambah
khazanah liturgi gereja.

Wacana lahirnya liturgi baru

Khazanah liturgi universal-konservatif29 tak lagi dinilai memadai untuk


teologi masa kini (living theology). Searah dengan Paus Pius XII bahwa

“The Church is without question a living organism, and as an organism, in respect


of the sacred liturgy also, she grows, matures, develops, adapts and
accommodates herself to temporal needs and circumstances” (Mediator Dei 59).30

26Rasid Rachman, “Sebuah Upaya Memahami Pengungkapan Trinitas di dalam


Ibadah,” dalam Merayakan Tuhan: Topik-topik sekitar Liturgi, Rasid Rachman (Jakarta: Grafika
KreasIndo, 2016). 93 (81-95).
27 Adiprasetya, 36.
28Yoga Willy Pratama, “Merayakan Iman bersama Penyandang Down Syndrome:
Suatu Kajian Teologis-Liturgis tentang Ritus Inisiasi Sakramental bagi Penyandang Down
Syndrome di Gereja Kristen Pasundan” (Tesis M.Th. Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta,
2018), 8.
29 Istilah universal-konservatif ini saya gunakan untuk “memberi tempat“ bagi gagasan
liturgi-liturgi baru yang tidak atau belum lazim dirayakan di sebuah gereja atau Jemaat.
Liturgi-liturgi baru tersebut sebenarnya telah dirayakan di komunitas tertentu.
Pius XII, “Mediator Dei, ”http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/
30

documents/hf_p-xii_enc_20111947_mediator-dei.html (diakses 16 Juni 2018).

6
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Perjalanan gereja masa kini dan ke depan adalah mulai terbuka dengan
penambahan liturgi-liturgi dan ritus baru. Beberapa liturgi dan ritus baru, yang
menurut hemat saya bermanfaat dan perlu, antara lain: ritus pembacaan naskah
pengenangan; ibadah pengenangan yang telah meninggal; ritus doa Getsemani pada
malam setelah ibadah Kamis Putih; Liturgi Minggu “Gereja di Bumi“.

Perihal penambahan liturgi ini telah saya kemukakan beberapa waktu lalu.
Berpijak dari liturgi sanctorale (peringatan para kudus) dengan mengembangkan
peringatan hari-hari lingkungan. Misalnya, Gereja tertantang untuk merayakan hari
Anti Rasis dan Diskriminasi 21 Mei, AIDS 1 Desember, dsb. Gereja juga tertantang
untuk kreatif mengembangkan liturgi-liturgi baru, khususnya, dengan wawasan
lingkungan dan kemanusiaan juga.31

Perihal ritus doa Getsemani telah dikemukakan oleh Binsar Pakpahan.


Liturgi global-konservatif hanya merayakan Kamis Putih. Ada beberapa Jemaat yang
berdoa semalam suntuk setelah ibadah selesai hingga Jumat Agung, semisal Paroki-
paroki dan Katedral Larantuka. Namun, kenapa Gereja-gereja Protestan tak
melakukan ritus doa Getsemani, doa bersama Yesus yang me-recharge diri dan
berkomunikasi dengan Allah di taman itu32 menurut Injil-injil Sinoptik (Luk. 21:39-
46)(?) Ritus doa Getsemani, menurut hemat saya, dapat menjadi tambahan
melanjutkan ibadah Kamis Putih dan menyambungkan dengan Kisah Sengsara
Yesus di Jumat Agung (Yoh. 18 – 19).

- sesi 2 -

Terbuka terhadap persamaan ritus dan simbol

Sebagai sebuah gereja ekumenis sebagai bagian dari gereja rasuli, dengan
liturgi ekumenis, tidaklah mungkin ritus dan liturgi sebuah gereja tak-mirip sama
sekali dengan liturgi lain dan budaya sekitar. Beberapa sikap kaum Protestan antara
lain:

Rasid Rachman, “Liturgi dan Keutuhan Ciptaan: Pesan melalui Bangunan Gereja,“
31

dalam Spiritualitas Ekologis: Buku Kenangan Syukur Ulang Tahun ke-50 Pdt. Dr. Victor
Tinambunan, peny. Robinson Butarbutar, Benny Sinaga, Julius Simaremare, (Jakarta: Institut
Darma Mahardika, 2014), 123-124 (119-126).
Binsar Jonathan Pakpahan, “Menuju Model(-model) Ibadah Yang Membangun:
32

Sebuah Telaah Relasi Pertumbuhan Spiritualitas dan Ibadah dalam Budaya Postmodern,”
dalam Spiritualitas Ekologis: Buku Kenangan Syukur Ulang Tahun ke-50 Pdt. Dr. Victor
Tinambunan, peny. Robinson Butarbutar, Benny Sinaga, Julius Simaremare, (Jakarta: Institut
Darma Mahardika, 2014),136-137 (127-147).

7
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Jangan sama dengan Katolik. James White menginformasikan bahwa sejak 1520,
yakni ekskomunikasi Martin Luther hingga 1570, ekskomunikasi Elizabeth I,
merupakan tonggak terpecah dan saling menjauhnya liturgi Protestan dari liturgi
Katolik. Sejak 1570, kedua liturgi tersebut berjalan dan membuat tradisi masing-
masing secara terpisah.33 Sayangnya, beberapa gereja dan pihak masih menunjukkan
sikap anti-mirip-katolik hingga kini,34 sekalipun lama sebelum itu White juga
memaparkan kondisi liturgi abad keduapuluh yang bertolakbelakang dengan sikap
abad keenambelas itu. Sekitar 1940, pada satu sisi, pembaruan liturgi Katolik Roma
menyebabkan semakin “mirip”-nya dengan liturgi Protestan. Pada lain sisi, KV II
menjelang 1970, mendorong pembaruan juga di dalam liturgi Protestan sehingga
semakin “mirip”-nya dengan liturgi Katolik Roma.35

Gereja-gereja ekumenis berada dalam oikos bersama, sehingga tidaklah


mungkin jika tanpa kemiripan dan bahkan kesamaan dalam rumah bersama. Simbol
(benda, kata, doa) dan ritus (pembacaan Alkitab, baptisan, perjamuan)
memperlihatkan banyak kesamaan.

Hanya, tradisi dan gestur coba ditolak dalam Protestanisme. Namun dalam
gerakan liturgis, White mencatat bahwa beberapa kalangan Protestan (di luar
Pantekostal dan Quaker) dan Katolik membuat kedua tradisi liturgi mendekat,
sekalipun tidak semakin mendekati satu sama lain hingga akhir abad keduapuluh.36
Khotbah dan gaya berkhotbah, nyanyian jemaat, penyederhaan pembahasaan di
Katolik lebih terkesan Protestan dewasa ini. Demikian pula, simbol dan gestur,
pembacaan Alkitab dan tahun liturgi di Protestan semakin terkesan Katolik pada
abad keduapuluhsatu ini. Jika tidak dalam organisasi, setidaknya “persaudaraan
serumah” itu terlihat dalam selebrasi liturgi.

Menuju pemberitaan Firman dan tahun liturgi

Tahun liturgi dan pembacaan Alkitab belum banyak dirapikan dalam sebuah
pola oleh penyelenggara ibadah. Pola pembacaan sistem leksionari modern

James F. White, Protestant Worship: Tradition in Transition, (Louisville:


33

Westminster/John Knox Press, 1989), 29-30. Selanjutnya: White, Protestant Worship.


Bnd. Sinode GMIT, Posted on April 10, 2017 by Wanto Menda, “Pdt. Dr. Andreas
34

Yewangoe Kritik Perayaan Rabu Abu dan Kamis Putih,“ https://sinodegmit.or.id/pdt-dr-


andreas-yewangoe-kritik-perayaan-rabu-abu-dan-kamis-putih/ (diakses 16 Juni 2018).
35 White, Protestant Worship, 34-35.
36 White, Protestant Worship, 35.

8
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

(Common Lectionary), yaitu: (1) prinsip siklus tiga-tahun; (2) central pada Injil;
dan(3) tahun liturgi.37 Ini merupakan tantangan dan “pekerjaan rumah” kita.
Sebagaimana tahun liturgi Guéranger dari Solesmes menjadi titik berangkat gerakan
liturgis, dan Paus Pius XII menegaskan bahwa tahun liturgi sepatutnya merayakan
karya Kristus yang terus hidup di dalam sejarah.

“Hence, the liturgical year, devotedly fostered and accompanied by the Church, is
not a cold and lifeless representation of the events of the past, or a simple and
bare record of a former age. It is rather Christ Himself who is ever living in His
Church. Here He continues that journey of immense mercy which He lovingly
began in His mortal life, going about doing good,[151] with the design of bringing
men to know His mysteries and in a way live by them” (Mediator Dei 165).38

Paus Pius XII dalam Mediator Dei 21 menegaskan pemberitaan Firman, yaitu:
“the reading of the Law, the prophets, the gospel and the apostolic epistles; and last
of all the homily or sermon.“39 Pola tiga-empat pembacaan ini, yakni leksionari, telah
lama dikenal dan dipraktikkan dalam sejarah gereja. Bahkan sejak ibadah Yahudi di
Sinagoge, Constance Cherry menuliskan bahwa leksionari memainkan peran
signifikan dalam pembacaan Alkitab sejak zaman awal Kekristenan (bnd. Luk. 4:16-
22 Yesus membaca Alkitab di rumah ibadah Yahudi).40 Bukan khotbah, melainkan
Alkitab yang mendasari seluruh khotbah, sakramen-sakramen, dan ibadah gereja.

Sebagai sarana pembaruan liturgi, sejak 1984 BAKI PGI menyajikan


pembacaan Alkitab untuk ibadah Minggu dan hari-hari raya.41

Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa leksionari? Saya pernah


menuliskan tiga alasan ini, yaitu: karena <

John H. Fitzsimmons, Guide to the Lectionary, (Great Wakering: Mayhew-


37

McCrimmon, 1981), 10-19.


Pius XII, “Mediator Dei, ”http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/
38

documents/hf_p-xii_enc_20111947_mediator-dei.html (diakses 16 Juni 2018).


Pius XII, “Mediator Dei, ”http://w2.vatican.va/content/pius-xii/en/encyclicals/
39

documents/hf_p-xii_enc_20111947_mediator-dei.html (diakses 16 Juni 2018).


40Constance M. Cherry, The Worship Architect: a Blueprint for Designing Culturally
Relevant and Biblically Faithful Services, (Grand Rapids: Baker Academic, 2010), 69.
Rasid Rachman, Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja, (Jakarta: BPK
41

Gunung Mulia, 2001), 175. Selanjutnya: Rachman, Hari Raya.

9
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

(1) Menghindari pilih-tolak kitab, sehingga pembacaan Alkitab untuk ibadah


tidak ditentukan secara spontan atau itu-itu saja.

(2) Teratur dalam kalender liturgi, sehingga selebrasi bercerita tentang karya
Allah di dalam Kristus.

(3) Kontinuitas pembacaan, sehingga menggambarkan keterbatasan manusia dan


keabadian waktu Allah.42

Selain, ketiga alasan tersebut di atas, juga perlu saya melengkapi dengan
tahun liturgi, ekumenisitas, dan bercerita.

(4) Leksionari membimbing kita mengikuti alur tahun liturgi. Pengalaman


menggunakan leksionari selama hampir 20 tahun membuktikan bahwa alur per-
Minggu dan per-tahun berjalan nyaman dengan sistem leksionari.

(5) Ekumenisitas kita terlihat melalui wajah dan mulut gereja, yakni selebrasi
liturgi. Kecuali kalangan Pastekostal, pembacaan Alkitab yang sama akan kita
jumpai di Protestan, Katolik, dan Anglikan setiap waktu ibadah.

(6) Cerita adalah salah satu kekuatan sistem leksionari yang sangat kuat.
Misalnya Minggu Pembaptisan Tuhan.

Pembacaan Injil dari kisah Yesus dibaptis menurut Matius 3:13-17 (tahun A),
Markus 1:4-11 (tahun B), dan Lukas 3:15-17,21-22 (tahun C). Pembacaan pertama
pada tahun A adalah Yesaya 42:1-9 “lihat, itu hamba-Ku, orang pilihan-Ku, yang
kepada-Nya Aku berkenan”. Suara ini sejajar dengan suara yang terdengar ketika
Yesus dibaptis. Pembacaan kedua adalah Kisah 10:34-43 kesaksian Petrus tentang
kuasa Yesus. Pembacaan pertama tahun B adalah Kejadian 1:1-5 tentang
permulaan segala sesuatu, sejajar dengan baptisan Yesus adalah mukadimah
pelayan dan penampilan-Nya menurut Markus. Permbacaan kedua adalah Kisah
19:1-7 tentang pembaptisan ke atas orang-orang percaya, juga turunlah Roh
Kudus ke atas mereka, sama seperti ke atas Yesus. Pembacaan pertama tahun C
adalah Yesaya 43:1-7 tentang TUHAN adalah penebus, dan pembacaan kedua
tentang Roh Kudus turun juag ke atas orang-orang Samaria (Kis 8:14-17).
Minggu ini juga dapat dipergunakan untuk pembaptisan. Para calon baptis yang

42Rasid Rachman, “Leksionari dan Penerapannya“ (Seminar dan Lokakarya


Peribadahan Sinode GKJ Salatiga-Kopeng, 14 – 15 November 2016).

10
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

telah mempersiapkan diri sejak Adven (17 Desember), kini akan dibaptiskan pada
hari itu.43

Pembacaan Alkitab sistem leksionari membuat alur cerita. Sistem ini telah
dipraktikkan sejak tahun 200-an dan terus sepanjang sejarah, termasuk liturgi-liturgi
Reformasi. Namun, Cherry menyesalkan bahwa beberapa gereja zaman medern
mengabaikan pembacaan Alkitab.44

Beberapa catatan, karena ada dampak buruk

Hebohnya perkembangan liturgi dewasa ini mungkin tak pernah diduga oleh
para tokoh awal gerakan liturgis (Liturgical Movement) sekitar se-abad yang lalu. Ini
merupakan tantangan bagi Gereja-gereja Protestan di Indonesia untuk mulai ikut
dalam iringan geliatan tersebut.

Merayakan liturgi yang tetap relevan dengan kebutuhan dan geliat zaman
ini, Kevin Irwin membuka tulisannya dengan mengemukakan bahwa dua puluh
lima tahun setelah Konsili Vatikan II (Sacrosanctum Consilium) gereja membutuhkan
gerakan liturgis baru (a new liturgical movement) yang menampung isu-isu
bangkitnya praktik liturgi masa kini. Gereja perlu berdialog dengan teologi
sistematika.45 Setengah abad setelah KV II dan se-abad GL, kita bukan hanya perlu
berdialog dengan teologi sistematika. Kini kita harus berdialog juga dengan adat dan
budaya, teologi konstruktif, teologi kontekstual, dsb. Namun, kita perlu tetap
waspada terhadap beberapa kecerobohan yang justru memataforganakan
pembaruan liturgi.

Berbarengan dengan geliat semaraknya perkembangan liturgi dewasa ini


adalah munculnya fenomena kekeliruan pemahaman dan persepsi. Inilah yang
membuat saya prihatin. Beberapa yang memprihatinkan antara lain:

Kreatif, namun menjadi karismatik. Saya tidak mengatakan bahwa ibadah


karismatik salah, apalagi sesat. Saya hendak mengatakan bahwa ibadah karismatik
cocok hanya untuk umat dan gereja karismatik, sehingga jangan serta merta gereja
lain meniru dan menjiplaknya. Pembaruan liturgi bukan melulu ramai, melainkan

43 Rachman, Hari Raya, 111.


44 Cherry, 69.
45 Irwin, ix.

11
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

makna. Menjadikan liturgi kreatif tidak lantas menjadikan liturgi kita meniru liturgi
beda gaya atau sekadar ramai.

Paul Basden, setelah pemaparannya tentang lima gaya ibadah dengan lima
karakternya (liturgical, traditional, revivalist, praise & worship, seeker) di Amerika
pada 1990-an, mengemukakan bahwa yang terjadi kemudian adalah tak ada blended
worship, melainkan “multiple services with different styles at different times” dalam
satu gereja. Tujuannya adalah hanya agar umat dapat memilih hendak bergabung
dalam ibadah yang mana,46 sehingga tetap di gerejanya. Jadi, menggantikan gaya
berliturgi menjadi karismatik, atau sekadar meniru sini-sana, bukanlah kreativitas
sama sekali.

Liturgi menjadi tontonan umat. Salah satu isu menonjol dalam pembaruan
liturgi kontemporer adalah umat menonton liturgi yang diperankan oleh para
petugas ibadah. Berdasarkan SC 14 dan 21 (KV II), kita belajar dari Katolik, peran
aktif umat dalam beribadah merupakan tugas yang harus sangat diperhatikan dalam
pembaruan dan pengembangan liturgi. Penyelenggara ibadah harus memperhatikan
hakikat liturgi, yakni agar umat mendapat kesempatan untuk menanggapi dan
memahami perayaan ibadah.47 Agar umat dapat terus memaknai bahasa liturgi
(simbol, gestur, teks ritus), yang sesekali mengalami perubahan arti, maka
selanjutnya, Irwin mempertegas bahwa pembaruan liturgi harus menjadi dynamic
dialectic (percakapan dinamis) bagi umat.48 Irwin mengambil contoh “pengucapan”
misteri Paska dalam formula perjamuan yang tak dipahami umat.

Contoh dynamic dialectic di Gereja-gereja Protestan di Indonesia adalah


perjamuan pada Jumat Agung, karena masih memahami perjamuan sebagai
pengenangan akan kematian Kristus. Padahal, ajaran perjamuan adalah “setiap kali
kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan
sampai Ia datang” (1Kor. 11:26). Peristiwa Kristus antara kematian dan kedatangan-
Nya adalah Kristus yang hidup. Gereja merayakan Kristus yang hidup dan bangkit
melalui perjamuan, bukan Kristus yang mati. Bagi Gereja-gereja Protestan di
Indonesia tetap merayakan perjamuan pada Jumat Agung, bukan pada Paska,
menurut hemat saya, ini adalah contoh tepat untuk mencerdaskan umat perihal
teologi liturgi.

46Paul Basden, The Worship Maze: Finding a Style to Fit Your Church, (Downers Grove:
InterVarsity Press, 1999), 104-105.
47MAWI, Tonggak Sejarah Pedoman Arah: Dokumen-dokumen Konsili Vatikan II, terj. J.
Riberu (Jakarta: Dokpen MAWI, 1983), 7-8, 9-10.
48 Irwin, 62-63.

12
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Berbagai susunan liturgi, namun satu teks. Dalam pembaruan liturgi yang
mengacu pada praktik liturgi Patristik semisal: Didakhe, Apostolic Tradition
Hippolytus, Didascalia Syria, dan Apostolic Constitution, Irwin seakan kritis menyoroti
ragam-ragam atau model susunan atau struktur liturgi beberapa Gereja Protestan di
Indonesia. Berdasarkan Irwin, struktur liturgi seharusnya hanya satu, namun teks
dan ritual seharusnya beragam. Ada ruang bagi teks dan ritual untuk dapat berubah,
berevolusi, dan berkembang sesuai kebutuhan zaman di dalam struktur yang tetap.49
Keragaman teks doa dapat disusun berdasarkan hari raya, semisal: doa syafaat bagi
Yerusalem pada Minggu Palem, doa bagi orang yang membutuhkan anugerah Allah
karena dikucilkan dan ditolak oleh dunia dan gereja pada Jumat Agung, dsb.50

Hal satu struktur ini sejajar dengan konsep pembaruan liturgi yang
dilakukan oleh banyak gereja se-azas, semisal Hoyt Hickman dkk., dalam The New
Handbook of the Christian Year, dengan struktur tetap dan khas untuk masing-masing
hari raya liturgi, namun menyediakan beberapa pilihan untuk doa, bacaan, teks
liturgi, dsb.51 Memang, liturgi bukanlah teks semata, melainkan lebih daripada itu.
“Liturgi,” menurut Irwin, “adalah seluruh aktivitas tampilan umat dalam
merayakan peristiwa simbolik dengan menggunakan segenap unsur, termasuk teks
dan struktur liturgi.”52

Selebrasi yang merintih menanggung beban ekologis dan humanis demi


kepuasan-keliru merespons modernitas. Misalnya penggunaan multimedia di
banyak gereja kota akhir-akhir ini. Saya mencatat tiga hal dampak buruk, yaitu:

(1) Multimedia tidak membuat umat cerdas dalam beribadah sebagai muara
liturgi.
(2) Umat enggan membawa Alkitab.
(3) Luka bagi orang lain, terutama pencipta, penggubah, penerjemah nyanyian
jemaat, karena tak memperoleh hak cipta (royalty) pemusik nyanyian jemaat.53

49 Irwin, 5.
50 Irwin, 5-6.
Hoyt L. Hickman, dkk., The New Handbook of the Christian Year: Based on the Revised
51

Common Lectionary, (Nashville: Abingdon Press, 1992).


52Irwin, 32; hal ini juga pernah saya kemukakan, Rasid Rachman, “Gereja Yang
(Selalu) Berteologi Ibadah” (Semiloka Teologi GPIB, Yogyakarta, 23 – 28 April 2018).
Rasid Rachman, “Peran Multimedia untuk Ibadah di GKI,” (pembinaan Jemaat,
53

GKI Serpong, BSD, 8 Mei 2010

13
SEMINAR DAN LOKAKARYA TENTANG: LITURGI, HARI RAYA GEREJAWI
& PENYUSUNAN LEKSIONARI GMIST TAHUN 2019
GMIST Musafir Pancurang, Manado, 19 Juni 2018

Saya juga menambahkan dengan dampak lingkungan. Multimedia


menanggung dosa karena jejak karbon yang ditinggalkan dari produksi, pekamaian,
dan pembuangan multimedia.

Kekeliruan sikap ingin ikut modernisasi ini meninggalkan banyak luka.

Penutup

Beberapa catatan sebagai penutup, yaitu:

(1) Gereja terpanggil untuk masuk di dalam iringan panjang perkembangan


liturgi ekumenis saat ini. Saat ini, iringan tersebut masih pada barisan depan dan
pendek. Namun, iringan ini akan menjadi panjang, dan mungkin kita sudah di
bagian tengah atau belakang.

(2) Gereja harus melompat keluar dari kotak warisan konservatisme.

(3) Sejalan dengan Cornelis van Peursen, kebudayaan, termasuk di dalamnya


adalah agama dan gereja, merupakan sebuah proses belajar yang besar. Manusia
yang terlibat di dalam kebudayaan, misalnya gereja, terus-menerus mencari bentuk-
bentuk ekspresi baru, melalui simbol, tanda, dan aksi.54 Intinya, liturgi itu, yang
melibatkan unsur-unsur kebudayaan dan seni, mencerdaskan umat dan gereja,
karena kebudayaan adalah proses belajar. °

54Cornelis A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, (Yogyakarta:


Penerbit Kanisius & Jakarta: BPK Gunungn Mulia, 1976),a 144.

14

Anda mungkin juga menyukai